You are on page 1of 740
R 0 M pea PRAMOEDYA ~. -ANANTA TOER _ JEJAK LANGKAH eo ea a LENTERA DIPANTARA . Jeax Lanckan Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa- - Tengah, Indonesia. Hampir separuh-hidupnya dihabiskan dalam penjara-— sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (1j Oktober 1965Juli 1969, pulau Nusa-kambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, pulau Buru Agustus 1969-12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer men- dapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G3oS PKI tetapi masih dikenakan .tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara ‘sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya « lahie dari tempat purba ini, diantaranya Tetralogi Buru ” @Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Fejak Langkab, dan Rumab Kaca). - Pénjara tak mefnbuatnya berhenti sejengkal pun menutis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali- kali karyanya dilarang dan dibakar. Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 kanya + dan diterjemahkan ke: dalafiy lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan’ kebudayaan, - Pramoedya Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan internasional, di antacanya; The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Ramon Magsaysay Award pada 1995, Fukuoka Culeur Grand Price, Jepang pada tahun 2000, tahun 2003 mendapatkan penghargaan The Norwegian Axuthours Union dan tahun 2004 Pablo Neruda’ dari Presiden: Republik Chile Senor Ricardo Lagos Escobar. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia | yang nama- ‘ nya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang: : Nobel Sastra. JejAK LANGKAH PRAMOEDYA ANANTA TOER Le spe Jeyax Lancxan Pramoedya Ananta Toer Copyright © Pramoedya Ananta Toer 2006 All rights reserved Diterbitkan dan diluaskan oleh LENTERA DIPANTARA Malti Kavya 11/26 Utan'Kayu, Jakarea Timur, Indonesia: 13120 Telp./Faks. +62-21-8509793 » Desain Sampul: Ong Hari Wahyu Editor : Ascuti Ananta Toer Layout : Tim Lentera Dipantara Cerakan kelima, Oktober 2006 Cerakan keenam, Desember 2007 Cetakan ketujuh, Januari 2009 Cetakan kedelapan, Juni 2010 * Cetakan kesembilan, Februari 2012. ISBN: MBSE SS Hak cipta » tind oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh: Percetakun Grufika Mardi Yuuns, Bejgor Naskah ini pernah diterbirkan oleh: Fejak Langkab (1985), bagian keriga Tetralogi Buru. Dilarang * Jaksa Agung tahun 1985. Naskah ini pernah diterbitkan oleh: tL 2 3 Hasta Mitra, 1985 (Fejak Langkab), edisi Indonesia. Manus Amici, 1989/1991 (Voeesporen), edisi Amsterdam; Pent. Henk Maier. Da Xue, 1989 (Zu Fi), bahasa China, edisi Beijing; Pent. . Huang chen Fang Xiao, Zhang Yuan, Ju Sanghuan Ti. 4 2 gon 10. i. m2. 33. 14. 15. 76, on Penguin Books, 1990, 1996, 2001 (Footsteps) edisi Australia; Pent, Max Lane. . Shingkuwara Mekong Published, z995, 1998 (Sokw Seéi), edisi Jepang; Pent. .. William Morrow | & Co., Inc, 1994 (Footsteps), edisi New York, Amerika; pent. Max Lane. . De Geus by, 1988, 1999 (Kind van Aller Volker), edisi Breda, Beianda. . Agathon, 1995 (Voersporen), edisi Belanda; Pent. Henk Maier. Strom Verlag Luzern, 1991 (Kind Aller Volker ), edisi German. . Txalaparta, 1997 (Hacia Ef Manama), edisi Nafarroa, Spanyol; Pent. Alfonso Ormaetxea. Ultgeverij De Geus, 1999 Coetsporen), edisi Breda; Pent. Henk Maier. Payot & Rivages, 2001 (), edisi Paris, Prancis. Pax Forlag A/S, 2001 (Fostpor), edisi Oslo Norwegia; Pent. Kjell Olaf Jensen. Edisiones Destino, S.. A, 200r/o3/2004 (), edisi Barcelona Spanyol. Union Verlag, 2002 (Spur der Schritte), edisi Jerman; Pent. Giok* Hiang Garnik. Radio 68H, 2002 Gejake Langkah dalam cerita bersambung di radio). Kobfai Publishing, 2004 Cootstep:), edisi’ Thai Pent. Pakevadi Verapaspag. Dou Shi Chu Ban Selangor (), bahasa China, edisi Malaysin. , 18. 19. a, a. 25. 2} PRAMOEDYA ANANTA TOER ‘Wira Karya, (Jejak Langkah), edisi Kuala Lumpur, Malaysia. Moskwa, (), edisi Rusia. Indian, oo . U1 Saggiacore, 1990 (), edisi Milan, Italia. Express Editio, 1984 (), edisi Berlin, Jerman. Albert Kiutsch-Verlags-V ertrag, 1984 (), edisi Dutch. Folaget Hjulet, 1986 (), edisi Stockholm, Swedia. ‘Leopard Fértag, 2003 (), edisi Stockholm, Swedia. Alfa-Narodna Knjiga, 20.03 (), edisi Serbian. . Sverigos radio, Sweden, 2004. S.A.A. Qudsi, Calicut, Kerala state, 2005 (), edisi Malayalam, Dari Lentera Dipantara “Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan Hukum, Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri iru memashurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.” ~-Pramoedya Ananta Toer— TT eccatogi Pulau Buru ditulis se- waktu Pramoedya Ananta Toer masih mendekam dalam kamp kerjapaksa tanpa proses hukum pengadilan di Pulau Buru, Sebelum dituliskan, roman ini dicerita- ulangkan oleh penulisnya kepada teman-temannya di pulau tersebur. Hal itu mengisyaratkan dua hal, kesatu bahwa penulisnya memang menguasai betul-betul cerita yang dimaksud. Kédua, agar cerita tersebut tidak menghilang dari ingatan yang cergerus oleh datang perginya pecistiwa dan seiring usia yang kian meringsek ke depan. ° vii PRANOEDYA ANANTA TOER Tetralogi mengambil latar kebangunan dan cikal bakal nasion bernama Indonesia di awal abad ke-zo. Dengan membacanya,. waktu kita dibalikkan sede- mikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula. Pram memang tidak menceritakan sejarah sebagai- mana terwarta secara objektif dan dingin yang selama ini diampuh oleh orang-orang sekolahan. Pram juga berbeda dengan penceritaan kesilaman yang lazim sebagaimana terskripta dalam buku-buku pelajaran sekolah yang memberi jarak antara pembaca dan kurun sejareh yang tercerita, Dengan gayanya sendiri, Pram coba merigajak, bukan saja ingatan, tapi juga pikir, rasa, bahkah diri untuk bertarung dalam golak gerakan nasional awal abad. Karena itu, dengan gaya kepenga- rangan dan bahasa Pram yang khas, pembaca diseret untuk mengambil peran di antara tokoh-tokoh yang ditampilkannya. ’ Hadirnya roman sejarah ini, bukan saja menjadi pengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusasteraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini, Karena itu hadirnya roman ini memiberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda. Mungkin pembaca ada yang mengatakan bahwa ‘novel tak lebih hanya bangunan khayal penulis-. nya, Akan tetapi roman ini disandarkan penulisnya Jewat sebuah penelusuran dokumen pergerakan awal eink Langhab abad 20 yang kukuh dan ketat. Tetralogi ini merupakan roman empat serial: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Fejak Langkab, dan Rumab Kaca. Pembagian dalam format empat buku ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa episode. Kalau roman bagian pertama, Bumi Manusia, merv- pakan periode penyemaian dan, kegelisahan; roman kedua Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupaa arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa; maka roman ketiga ini, Jak Langkab, adalah pengorganisasian perlawanan. Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad- abad umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan mem- buat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan Prijaji. Dengan koran ini, Minke ingin mengembalikan agensi kepada rakyat Pri- bumi tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi, dan - menghapuskan kebudayaan feodalistik. Perpaduan jurnalistik dan organisasi, tak hanya * membangkitkan nasionalisme di setiap kantong perla- wanan di daerah, tapi juga menusuk para pembesar Belanda tepat di pusataya. Itu pula modal awal negeri ini untuk bersuara kepada dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi di Negeri Angin Selatan ini di bawah genggaman imperialisme Negeri-Angin Utara. Lewat ix , PRAMOEDYA ANANTA TOER langkah jurnalistik, Minke berseru-seru: “Didikiah rak- r. yat dengan organisasi dan didiklah. penguasa dengan perlawanan:”- x untuk yang dilupakan dan yang terlupakan Arthicnya bumi betawi terhampar di bawah kaki, kuhirup udara darat dalam-dalam. Sela- mat tinggal, kau kapal. Selamat tinggal, kau, Jaut. Sela- mat tinggal semua yang telah terlewati. Pengalaman- pengalaman masa silam, kau pun tak terkecuali, selamat tinggal. Memasuki alam Betawi—memasuki abad duapuluh. Juga kau, sembilanbelas! selamat tinggal! Aku datang untuk jaya, besar dan sukses. Menying- kir kalian, semua penghalang! Tak Jaku bagiku panji- panji Veni, Vidi, Viet, Diri datang bukan untuk me- nang, tak pernah bercita-cita jadi pemenang atas sesama. Orang yang mengajari mengibarkan panji-panji Caesar ita—dia belum pernah menang. Sekarang bahkan menu- kik jatuh bersama panji-panjinya sekali: jadi pesakitan— hanya karena hendak membangun kejayaan dalam satu_ malam, seperti. Bandung Bondowoso membangun Prambanan. Tak ada orang muncu! untuk menjemput. Peduli apa? Orang bilang: hanya orang modern yang maju-di t PRAMQEDYA ANANTA TOER jaman ini, pade tangannya nasib’ umat mahusia tergan- tung, Tidak mau jadi modern? Orang akan jadi taklukan semua kekuaten yang bekerja di lwar dirinya di dunia ini, Aku manusia modern. Telah kubebaskan semua dekorasi dari tubuh, dari pandangan. Dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim- piatu, dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikar- an yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya. Tak perlu penjemput itu. Lakukan segala keperluan tanpa pertolongan! Karena: barangsiapa memerlukan per- tolongan, dia tempatkan diri dalam keadaan takluk ter- gantung-gantung pada orang lain. Bebas! Sepenuh bebas. Hanya kepentingan-kepentingan yang bakal mengikac- kan diri pada sesuatu. : Dengan hati, badan, jiwa sepenuhnya bebas begini, aku duduk di pojokan trem. Di Surabaya belum ada kendaraan senikmat ini. Besjalan di atas rel besi. Dengan lonceng-lonceng kuningan pengusir kantuk. Kias hijau memang peauh-sesak; klas putih, klas satu yang aku ‘tampangi, longgar. Bawaanku tak banyak: kopor tua, cekung dan cembung di banyak tempat, tas dan sebuah lukisan wanita dalam sampul beledu merah anggur, dibungkus lagi dengan kain blacu, Trem berjalan tenang. Royan kapal masih membi- kin badan merasa:berayun-ayun seperti naik seribu gelumbang. Omong kosong kata orang sebentar lagi trem akan ditarik dengan tenaga listrik. Bagaimana * mungkin listrik menarik ‘trem! eink Langhabs Meninggalkan daerah pelabuhan, trem seperti ter- sasac di daerah rawa-rawa, di sana-sini dirimbuni semak dan hutan belukar. Udara dibuntingi bau luruhan de- daunan membusuk. Monyet-monyet bergelantungan pada dahan-dahan, tak gentar mendengar bunyi lon- ceng kuningan. Beberapa ekor berlonjak-lonjakan girang. Bahkan ada yang menuding-nuding dengan sebatang ranting. Barangkali juga sudah sepakat meiionton tam- pangku, dan dengan bahasanya sendiri bersorak: itu dia st Minkie, yang merasa diri manusia modern! Ya, itu dia, yang duduk sendiri di pojokan. Itu, yang kumisnya mulai cumbuh, tapi dagunya tandus merana! Ya, itu dia, pribumi yang lebih suka berpakaian Eropa, berlagak seperti sinyo-sinyo. Naik trem pun memilih kfas putih. Kas satu! , Huh! Ha, ‘sana itu kiranya Villa Bintang Mas, cerkenal dengan ceritanya tentang kehidupan budak~budak belian jaman V.O.C. Pada suatu kali mungkin terluang kesempatan menulis tentang salah satu di antaranya, Daerah rawa-rawa ini hanya dihiasi Ville Bintang Mas itu saja.. Selebihnya membosankan, dan yang mem- bosankan tidak menarik. Biar begitu rawa-rawa ite pula yang telah menelan jiwa tigapuluh prosen balatentara Kompeni pada awal penjajahaonya. Cukup ‘lama dia telah berpihak pada Pribumi. Sebaliknya rawa-rawa itu juga yang telah membunuh enampuluh ribu Pribumi waktu membangun kota Betawi. Sebagian terbesar ta- * wanan perang. Juga Kapten Bontekoe, yang mashur itu, PRAMOEDYA ANANTA TOER yang memulai, penanjakannya dengan mengangkuci pasir dan batu dari Tangerang ke Betawi dalam pembangun- an, hampir-hampir tewas ditelan demam rawa yang itu jvga. “Apa nama daerah ini?” tanyaku dalam Melayu pada kondektur Peranakan Eropa itu. ‘Matanya membeliak karena ketambahan tugas: “Aacol.” “Perahu-perahu itu bisa berlayar sampai Betawi?” tanyaku dalam Belanda, “Tencu, Tuan, kalau memasuki Ci Liwung,” ia ber- jalan terus menjual karcis. ~ Kemudian trem memasuki Betawi Kotta. Jalan- jalannya sama seripitnya dengan Surabaya, juga dari batu cadas kuning keputih-putihan. Gedung-gedung tua pe- ninggalan Kompeni dari abad-abad yang Jalu dan kema- rin. Penerangan jalanan rupa-rupanya juga gas. Cerita burung, Betawi mulai menutup jalanannya dengan aspal, ternyata isapan jempol. Betapa banyak cerita burung di dunia ini. - . Betawi Kotea! Ini kiranya ibukota Hindia. yang dibangun Gubernur Jenderal Jan Pieterz. Coen dengan korban enampuluh orang Pribumi. Siapa pula yang menyusun angka ini? Kota yang pernah diserang dan dikepung balatentara Sultan Agung pada 1629. Orang Belanda téman sekolah sering mengolok-olok aku pada waktu pelajaran sejarah Hindia dulu: Berapa balatentara “Agung yang menyerbu? duaratus ribu prajurit? Berapa Kompeni yang bertahan di Betawi? Limaratus! Belanda eek Langbob menggunakan meriam. Juga Agung! Mengapa bala- tentara rajamu, itu toh kalah juga? Ya, memang kalah. Nyatanya—semua dikuasai Belanda sampai sekarang. Sampai sekarang! Walau pun Coen sendiri mati karena sakie dalam mempertahankan kota yang dibangunnya itu dan tak pernah.sempat lagi melihat tanahairnya. Duaracus ribu prajurit; kata teman-teman sekolah itu. Juga dengan meriam. Aku percaya Agung telah meng- gunakannya. Tapi duaratus ribu! siapa punya bukei-bukti penyangkal? Mereka juga tak punya bukti-bukti pengu- kuh. Walhasil einggal jadi penyundut kejengkelan. Batavia alias Betawi memang tak seramai Surabaya. Sungguh-sungguh bersih, ‘Di tempat-tempat terteatu ‘berdiri peti sampah dari kayu, dan orang membuang kotoran di situ. Tidak seperti di Surabaya. Di sini di mana-mana ada taman kecil terawat dengan bunga- bungaan membikin kehidupan meriah dengan warna- warninya. Hampir tak tecdapat di Surabaya kecuali rumah bambu yang berhimpit-himpit dan kebakaran, dan sam- pah di mana-mana, 1901. Koran pembelian dari pelabuhan memberitakan: penjualan wanita dari Priangan ke Singapura dan Hong- “kong dan Bangkok. Sekilas aku tétingat ‘pada harga- harga wanita seperti dikatakan Maiko di hadapan penga- dilan, sebagaimana pernah aku sebut dalam Bumi Manu- sia, ingatan itv segera kubebaskan. Buat-apa memikickan 5 PRAMQEDYA ANANTA TOER yang sudah lewat? Masalalu tak perlu lagi jadi beban, -bila tak sudi jadi pembantu. "Ada komentar menarik: koran-koran Melayu-Tiong- hoa tidak mengindahkan anjuran Gubermen untuk menggunakan ejaan Melayu baru susunan Ch. Van Ophuy- zen, Kami tidak menggunakan bahasa Melayu seko- Iahan, bahasa Melayu tinggi, kata mereka. Langganan kami. bukan lulusan sekolah Gubermen, Kami tidak mau merisikokan kebangkrutan perusahaan. Komentar itu juga mengeluh tentang aturan Dinas Pos, yang mewajibkan surat-surat berbahasa Melayu menggunakan ejaan baru, Dan tak ada yang menggubris aturan itu. Ancaman Dinas Pos yang tidak akan mela- “yani fangganan yang tidak mematuhinya sama halnya _ menghadang air laut dengan tangan telanjang. Apa? Mengapa baru kuperhatikan berita utama? Dengan huruf-huruf besar ‘seperti ini? Jepang menuntut pulau Sabang dengan stasiun batubaranya! Astaga, Je- pang bikin lompatan yang menggemparkan. Apa berita ini punya dasar? Dan terlontar komentar: Badut itu mu- lai menjadi-jadi tingkahaya. Tapi tak urung ada berita kecil teatang rapat mendadak di kalangan Angkatan Laut. , ‘Trem berjalan tenang di bawah keleneng fonceng . kuningan. Betawil Ai, Betawi! Kini aku di tengah-tengah- mu. Kau belum kenal aku, Betawi! Aku telah kenal kau. Ci Liwung telah kau bikin semacam gracht' seperti di 1. gracht @ld), saluran buaton. 6 Feiok Lenght negeri ‘Belanda, dengan sampan hilir-mudik, dan rakit- rakit membawa bahan bangunan dari pedalaman. Ham- pir-hampir seperti Surabaya. Gedung-gedungmu me- mang besar dan megah, jiwaku lebih besar dan megah lagi. Dahulu sepanjang Ci Liwung berdiri séderetan tak putus-putusoya rumah-rumah mewah, kata orang. Seka- rang sebagian besar telah jadi roko dan bengkel me- sum. Pada umumnya milik Tionghoa. Di tengah-tengah semua ini aku masih tetap bagian dari golongan luar- biasa: Kakiku bersepatu, sebagian terbesar orang berca- kar ayam! ;Kepalaku bertopi vilt, sebagian terbesar bercaping, atau berdestar. Pakaianku serta Eropa, orang lain bercelana komprang, bertelanjang dada atau ber- piyama. . Pemandangan memang berwarna-warni. Hatiku lebih berwarna-warni lagi—meriah. Mana kalian, gadis- gadis Priangan, yang dimashurkan luwes, cantik, ber- kulit beledu langsat? Belum seorang pun kutemui. Ayoh, keluar dari rumah kalian. Ini aku datang. Mana Dasima-Dasimanya Francis itu? Tak juga nampak olehku apa yang kucari, Dalam ruang klas satu trem ini yang ada hampir-hampir orang Peranakan Eropa melulu, berkulit kerontang dengan keangkuhan menjadi-jadi. Di sampingku duduk seorang nenek Peramakan Eropa yang sibuk menggaruki kepala, mungkin lupa menyisir kutu. Di hadapanku seorang lelaki setengah baya, kurus, dengan kumis sebesar le-" ngan. Disampingnya seorang Totok sedang asyik mem- 7

You might also like