Professional Documents
Culture Documents
4012 11316 1 SM PDF
4012 11316 1 SM PDF
SOETOMO
(Clinical Features of Children with Diphtheria on Soetomo Hospital)
ABSTRACT
Introduction: Diphtheria is an important disease in children that could lead to fatal disease. East Java
Province was declared to have Diphtheria outbreak in 2011 with increasing morbidity and mortality,
including on Soetomo Hospital. Our paper aimed to describe the profile of diphtheria cases in
children admitted at dr Sutomo Hospital. Method: This descriptive study reviewed all medical records
of diphtheritic patients admitted to Dr. Soetomo Hospital, January 2004–December 2010, of concerns
were clinical presentations, age, sex, immunizations status, complications, and outcomes. Result:
From 148 diphtheria cases, 22.3% were bacteriologically proven; 53.4% were male with sex ratio
1.1:1. The age proportion of ≤ 5 years old, 5- ≤ 10 years old, and > 10 years old were 61.5%, 31.8%,
and 6.7%. Fever occurred in 99% cases, sore throat, stridor and bullneck occurred respectively in
62.2%, 39.9%, and 29.7% cases. There were 56.8% severe and 41.9% moderate diphtheria. Subjects
were immunized in 84%, but none of them have adequate immunization. Myocarditis, being one of
the commonest complications occurred in 11.4% cases and tracheostomy was the second (4.0%).
All of the death cases (7.9%) were unvaccinated and in severe form. Discussion: The mostly prevalent
clinical manifestations in diphtheria children were fever and sore throat. Half of the cases came with
severe diphtheria and most cases were inadequately vaccinated. Death occurred in the unvaccinated
and severe form.
136
Gambaran Klinis Penderita Difteri Anak (Dwiyanti Puspitasari, dkk.)
diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan sedang bila menderita difteri tonsil, atau
akan penyakit difteri dan komplikasinya, faring dan mendapat ADS 40.000–60.000,
sehingga dapat melakukan identifikasi kasus difteri berat bila menderita komplikasi difteri,
dan pelayanan keperawatan yang komprehensif bullneck, pseudomembran yang meluas, dan
dapat dicapai. mendapat ADS 100.000 IU. Pemberian ADS
dilakukan segera ketika diagnosis difteri
dibuat. Terapi tambahan lain tergantung dari
BAHAN DAN METODE
komplikasi yang terjadi. Pengumpulan data
Penelitian ini merupakan penelitian yang dimasukkan dalam Lembar Pengumpul
deskriptif retrospektif pada seluruh anak data (LPD) antara lain presentasi klinis, usia,
yang dirawat dengan diagnosis difteri di jenis kelamin, status imunisasi, keparahan
Ruang Isolasi Anak RSUD Dr. Soetomo dari difteri, gambaran klinis, pemeriksaan kultur
Januari 2004 hingga Desember 2010. Data difteri dari hapusan hidung dan tenggorok,
diambil dari rekam medis penderita, bila komplikasi yang timbul selama masuk rumah
rekam medis tidak ditemukan maka penderita sakit, dan keluaran pasien selama dirawat.
diekslusi. Diagnosis difteri dibuat secara klinis Status imunisasi dikatakan vaccinated
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik bila pernah mendapatkan imunisasi difteri
tanpa memperhatikan hasil kultur. Penderita setidaknya 1 kali, bila tidak pernah sama
difteri secara rutin diterapi dengan Penisilin sekali dikelompokkan dalam unvaccinated.
Prokain. Alternatif untuk terapi tersebut Data deskriptif yang disajikan dalam studi ini
adalah Eritromisin. Antibiotika tambahan menggunakan nilai frekuensi, interval (range),
diberikan pada infeksi tumpangan. Jumlah dan prosentase (%).
Anti Diphtheria Serum (ADS) yang diberikan
tergantung derajat keparahan difteri sesuai
HASIL
protokol di Dept/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo. Difteri ringan Sejumlah 148 penderita anak (pasien
bila menderita difteri nasal, konjungtiva, atau keseluruhan) dengan difteri dimasukkan dalam
kulit, dan mendapat ADS 20.000 IU. Difteri studi ini. Tidak ada penderita yang dieksklusi.
137
Jurnal Ners Vol. 7 No. 2 Oktober 2012: 136–141
Jenis kelamin terdiri dari 79 (53,4%) laki- 46,6% perempuan. Hasil ini sesuai dengan
laki dan 69 (46,6%) perempuan. Terdapat 91 studi terdahulu dan yang menyebutkan tidak
(61,5%) penderita berusia kurang dari 5 tahun, ada perbedaan bermakna jenis kelamin pada
47 (31,8%) berusia 5–10 tahun, dan 10 (6,7%) kejadian difteri (Top, 1976; Pancharoen, et al.,
berusia > 10 tahun, dengan rata-rata usia 5,11 2002). Penderita difteri terbanyak pada usia di
tahun. Sebagian besar, 77 (52%) penderita bawah 5 tahun yaitu 61,5% diikuti dengan usia
datang ke rumah sakit sebelum hari kelima 5–10 tahun sebanyak 31,8% dan sisanya pada
sakit. Karakteristik penderita difteri lebih usia lebih dari 10 tahun. Hal ini sesuai dengan
lanjut dapat dilihat di Tabel 1. studi di Delhi, yang mendapatkan gambaran
Sebagian besar (125/148, 84,4%) serupa, dengan 93% penderita berusia kurang
penderita datang dengan lokasi pseudomembran dari 9 tahun (Sharma, et al., 2007). Sedangkan
di tonsil bilateral dan sisanya tonsil unilateral, laporan penelitian KLB di USA dan negara-
faring, laring, dan konjungtiva. Hampir seluruh negara bekas Rusia menemukan pergeseran
penderita datang dengan klinis panas, tetapi epidemiologi usia penderita difteri dari usia
hanya 29 (19,6%) dengan klinis suara parau. sebelum sekolah menjadi usia sekolah dan
Dari seluruh penderita yang dilakukan kultur dewasa yang menggambarkan rendahnya
Corynebacterium diphtheriae didapatkan hasil antibodi pada kelompok umur tersebut,
positif pada 34 pasien (22,9%). Komplikasi sehingga saat KLB kelompok ini menjadi
tersering yang didapatkan adalah Miokarditis rentan terhadap difteri (Naiditch, 1954; Jukka,
(17/148, 11,5%). Enam (4%) penderita 2003).
menjalani trakeostomi. Sebelas penderita Inkubasi difteri terjadi pada hari ke 2–7
(7,4%) meninggal dunia, dengan penyebab (interval 1–10 hari) setelah paparan di mana
kematian Miokarditis (9/81,8%). transmisinya bisa berupa partikel droplet nuklei
dari pernafasan atau bisa juga melalui kontak
langsung dengan kulit pasien karier difteri.
PEMBAHASAN
Manifestasi klinis umum yang terjadi pada
Penelitian ini menunjukkan dari 148 difteri adalah panas badan dan nyeri telan.
kasus difteri terdiri dari 53,4% laki-laki dan Awalnya nyeri telan merupakan gejala awal
138
Gambaran Klinis Penderita Difteri Anak (Dwiyanti Puspitasari, dkk.)
yang tidak menyebabkan orang tua membawa setelah imunisasi terakhir dan saat usia
anaknya ke dokter tetapi panas yang terjadi 5 tahun. Di Jawa Timur termasuk di RSUD
kemudian membuat seorang anak dibawa Dr. Soetomo, terjadi peningkatan kejadian
ke dokter. Pada studi ini didapatkan bahwa difteri dimulai tahun 2004 sampai 2009, hal
panas badan terjadi pada hampir semua kasus ini bisa disebabkan oleh banyak hal antara lain
(99,3%), diikuti nyeri telan (62,2%), dan stridor gagalnya cakupan imunisasi, kelangkaan ADS
(39,9%). dan resistensi kuman terhadap antibiotik pada
Pseudomembran merupakan tanda saat itu, vaksin yang tak imunogenik karena
khas difteri yang terbentuk dari sel-sel beku, dan tidak dilakukannya imunisasi
leukosit, fibrin, jaringan nekrosis dan kuman ulangan (booster) pada usia 2 tahun. Studi
difteri yang melekat kuat dengan jaringan ini menemukan bahwa tidak ada pasien yang
di bawahnya dan akan mengeluarkan darah menjalani imunisasi lengkap (adequately
jika berusaha dilepaskan. Pada penelitian ini, vaccinated), 84,5% kasus tidak diimunisasi
84,4% pseudomembran terdapat pada kedua sisi lengkap atau tidak di booster (inadequately
tonsil, 12,8% pada satu tonsil tetapi lebih dari vaccinated) dan 15,5% tidak diimunisasi
setengah luas tonsil atau meluas keluar tonsil. (unvaccinated ) di mana kesemuanya
Terdapat 6 kasus dengan pseudomembran merupakan difteri berat. Studi di Thailand
di faring, 3 kasus di laring yang sebagian dan India mendapatkan hampir 2/3 penderita
besar merupakan perluasan dari difteri tonsil. tidak pernah mendapatkan imunisasi DPT
Adanya satu kasus difteri di konjungtiva
(Pancharoen, 2002; Ray, 1998). Pada studi
merupakan hal yang sangat jarang terjadi pasca
kami, sekitar 85% penderita sudah pernah
era imunisasi DPT, yang mengindikasikan
diimunisasi tetapi tidak adekuat, akan tetapi
t i nggi nya kasus dif ter i d a n k u ma n
pengambilan data imunisasi hanya berdasarkan
C. diphtheria yang beredar di masyarakat.
anamnesis orangtua, tanpa menunjukkan
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
kartu imunisasi, sehingga bias ingatan sangat
Timur tahun 2011 juga melaporkan mulai
mungkin terjadi. Perlu dilakukan studi lebih
munculnya kasus difteri di luar saluran nafas
lanjut untuk mengetahui kadar protektif
seperti difteri kulit, konjungtiva dan urogenital
antibodi difteri setelah mendapat imunisasi,
(vagina) yang setelah era imunisasi sudah
menghilang (Dinas Kesehatan Jawa Timur, ketepatan pemberian imunisasi serta rantai
2011). penyimpanan vaksin.
Diagnosis difteri terutama berdasarkan Prinsip tata laksana medikamentosa
gejala klinis dan konfirmasi laboratorium difteri yang terpenting adalah pemberian ADS
berupa hasil kultur C. diphtheria hanya sesuai derajat severitasnya dan antibiotik untuk
ditemukan pada 23,3%. Studi di India mengeliminasi kuman sampai 95%, tetapi
mengemukakan bahwa diagnosis difteri tetap bukan sebagai pengganti ADS. Selain itu,
secara klinis perlu mendapat perhatian atau isolasi pasien, bed rest total, serta cukup cairan
sangat penting karena rendahnya temuan dan elektrolit merupakan penunjang yang
positif kuman C. diphtheria. Jika terjadi penting dalam tatalaksana difteri (Buescher,
keterlambatan diagnosis selama 48–72 jam 2007). Hasil penelitian menunjukkan 56,7%
akan menimbulkan komplikasi yang serius penderita datang dalam kondisi difteri berat;
bagi pasien (Ray, 1998). bisa dikarenakan luas pseudomembran yang
Difteri merupakan penyakit yang dapat ekstensif, adanya bullneck ataupun komplikasi
dicegah dengan imunisasi. Di Indonesia, lain. Diperlukan pemeriksaan fisik yang
program imunisasi yang telah digalakkan mulai menyeluruh dengan membuka mulut dan
tahun 1970-an, telah berhasil menurunkan memeriksa faring pada semua penderita anak,
angka kejadian difteri. Imunisasi kombinasi terlebih bila datang dengan keluhan demam
DTP (diphtheria toxoid, tetanus toxoid, dan dan nyeri telan. Dengan semikian, diharapkan
pertussis) dimulai saat seseorang berusia 6 difteri dapat terdeteksi dini, sehingga penderita
minggu kemudian diulang 2× interval tiap tidak terlambat terdiagnosis dan mendapatkan
4 minggu kemudian di-booster setahun terapi.
139
Jurnal Ners Vol. 7 No. 2 Oktober 2012: 136–141
140
Gambaran Klinis Penderita Difteri Anak (Dwiyanti Puspitasari, dkk.)
Ray, S.K., Das, Gupta, S., Saha, I. 1998. A diphtheria cases in and around Delhi
report of diphtheria surveillance from a – A retrospective study. Indian J Med
rural medical college hospital. J Indian Res, 126, 545–52.
Med Assoc, 96, 236–8. Top, F.H., Wehrle, P.F., 1976. Diphtheria. In:
Sharma, N.C., Banavaliker, J.N., Ranjan. Communicable and Infectious disease,
R, dkk., 2007. Bacteriological & 8 th ed. St. Louis: Mosby Co, hlm.
epidemiological characteristics of 223–38.
141