Professional Documents
Culture Documents
اللهُ اَكْبَرْ
اللهُ اَكْبَرْ
Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan
dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah
melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya “mudik
(pulang kampung)” yang notabene hanya ada di Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap
ditandai dengan hampir 90% mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru,
sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah). Maklum saja karena
perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna
dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik
untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat?.
Saudara, Idul Fithri pun seharusnya mengantar kita kepada persatuan dan kesatuan. Fithri
yang terambil dari kata “fithrah” berarti agama yang benar, suci, dan asal kejadian.
Jika kita memahami fithrah dalam arti agama, maka perlu diingat sabda Nabi Saw. yang
menyatakan ( الللدديلن اللمعُاَلملللةAgama adalah interaksi harmonis). Semakin baik interaksi seseorang,
semakin baik keberagamaannya. Dalam konteks kehidupan bermayarakat kita dapat berkata, “tidak
mungkin satu masyarakat dapat maju dan berkembang tanpa jalinan yang harmonis antar
anggotanya, jalinan yang menjadikan mereka bekerja sama, sehingga yang ringan sama dijinjing
dan yang berat sama dipikul.
Semakin harmonis interaksi satu masyarakat, maka semakin banyak manfaat yang dapat
mereka raih serta semakin berhasil mereka dalam perjuangannya. Semakin baik hubungan manusia
dengan alam, semakin terpelihara alam dan semakin banyak pula rahasianya yang dapat diungkap
dan dengan demikian semakin sejahtera kehidupan mereka. Namun, perlu diingat bahwa kemajuan
satu bangsa tidak diukur dengan kekayaan alamnya tetapi dengan nilai-nilai yang mereka anut
bersama dan yang menjalin hubungan harmonis mereka.
Sekian banyak negara yang kalah dalam peperangan namun berhasil bangkit, bahkan lebih maju
dari sebelumnya, karena mereka memiliki nilai-nilai yang merekatkan hubungan mereka. Disisi
lain, satu masyarakat, kecil atau besar, akan runtuh dan mencapai ajalnya ketika hubungan mereka
tercabik, karena ketercabikan menguras tenaga dan fikiran, sehingga bukan saja mereka tidak dapat
melangkah bersama tetapi tidak dapat melangkah maju sama sekali. Allah mengingatkan :
طاَئبرر يلبطيِلر ببلجلناَلحميِبه إبيل أللموم ألمملثاَلللكمم لولماَ بممن لدابيرة بفيِ امللمر ب
ض لولل ل
“Dan tiadalah binatang-binatang yang melata di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu” (QS. Al-An’âm [6]: 38).
Kesadaran tersebut ditanamkan dalam diri setiap pribadi atas dasar prinsip bahwa seluruh manusia
adalah satu kesatuan. Semua kamu berasal dari Adam, sedang Adam diciptakan dari tanah” dan
semua makhluk adalah ciptaan Tuhan.
Rasa inilah yang menghasilkan “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sehingga pada akhirnya
seseorang yang diperkaya dengan kesadaran menyangkut keterikatan dengan sesamanya akan
merasakan derita umat, serta akan berupaya mewujudkan kesejahteraan bersama.
Ia akan berkawan dengan kemerdekaan, keadilan, pengetahuan, kesehatan, keramahan dan
sebagainya, serta akan berseteru dengan musuh-musuh kemanusiaan, seperti penganiayaan,
kebodohan, penyakit, kemiskinan,dan lain-lain.
Itu salah satu sebab mengapa dalam rangkaian puasa, setiap muslim, kecil atau besar, kaya atau
miskin, berkewajiban menunaikan zakat fithrah yang dijadikan sebagai pertanda kepedulian sosial
dan lambang kesediaan memberi hidup bagi orang lain.
Jika kita memahami Fithrah dalam arti suci, maka kesucian adalah gabungan yang menyatu
di dalamnya, indah, benar, dan baik. Mengekspresikan keindahan melahirkan seni, menemukan
kebenaran menghasilkan ilmu, dan memperagakan kebaikan membuahkan budi. Gabungan
ketiganya jika direkat oleh nilai spiritual akan menghasilkan peradaban.
Dengan ber-’idul fithri seorang muslim menjadi seniman, ilmuan, sekaligus budiman. Dengan
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang dikandung dalam ‘Idul Fithri kita dapat membangun
peradaban.
Sementara pakar berkata bahwa untuk mewujudkan peradaban diperlukan tiga unsur yang
menyatu , yaitu manusia + tanah/wilayah + waktu. Wujud ketiganya saja belum berarti kecuali
kalau tidak ada zat perekatnya yaitu agama atau nilai–nilai spiritual.
Lima belas peradaban besar yang dikenal dalam sejarah, dimulai dari Peradaban Sumaria hingga
Peradaban Amerika dewasa ini, kesemuanya lahir dari upaya mempertahankan nilai-nilai tersebut
yang terpaksa mereka lakukan dengan berhijrah. Begitu nilai-nilai tersebut ditinggalkan, maka
peradaban tersebut berangsur punah.
Umat Islam dewasa ini memiliki ketiga unsur peradaban di atas. Umat Islam pun memiliki
ajaran agama, namun keadaan kita tidak seperti yang kita harapkan. Jika demikian, kita harus
mencari kekeliruan kita pada penerapan unsur-unsur peradaban itu yakni manusia, tanah dan waktu,
serta pemahaman dan pengamalan ajaran agama kita. Kita harus bertanya, “adakah yang keliru di
sana?” Apakah manusia-nya telah mampu dan terjalin hubungan harmonis antar mereka? Apakah
tanah yang menampung kekayaan alam telah kita olah dengan baik dan benar? Apakah kita
menghargai waktu yang tepat, sehingga menggunakannya dengan baik sekaligus tidak tergesa-gesa
menuntut hasil konkrit hanya dalam waktu beberapa saat.
Dan, yang tidak kurang pentingnya apakah kita memahami dan mengamalkan ajaran agama secara
benar dan utuh. Allah mengecam mereka yang mengamalkan ajaran agama setengah-setengah dan
mengancam mereka dengan kenistaan hidup di dunia dan di akhirat;
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat pada hari kiamat.
Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah [2]: 85).
Selanjutnya, ketika seorang ber-‘idul fithri dalam arti kembali ke asal kejadian-nya, maka ini
menimbulkan kesadaran tentang jati diri kita sebagai manusia. Jati diri kita sebagai makhluk dwi
dimensi yang merupakan kesatuan atau perpaduan dari ruh dan jasad, tak ubahnya dengan air yang
terpadu dari oksigen dan hidrogen dalam kadar-kadar tertentu.
Perpaduan ruh dan jasad dalam diri manusia mengantarnya menjadi manusia utuh, sehingga tidak
terjadi pemisahan antara aqidah (keimanan) dan syariah (pengamalan agama), tidak juga antara
perasaan dan prilaku, perbuatan dengan moral, idea dengan kenyataan, dunia dengan akhirat, tetapi
masing-masing merupakan bagian yang tak terpisahkan dan saling melengkapi.
Ma'asyiral muslimin wal muslimat jamaah shalat ied Rohimakumullah..
Mudah – mudahan dalam hari raya kemenangan ini amalan dan ibadah kita kepada Allah SWT
khusunya di bulan Ramadhan puasa kita, tarawih kita, tadarrus Al qur’an dan lain – lainnya semoga
diterima oleh Allah SWT. Amiin Allahumma Amiin
شريبطاَئن الْلرئجريئم اب بحلق اتقاَئتئه بول بتامَّواتلن إئلل بوأبرناترم امَّرسلئامَّون ئبرسم ل
ائ الْلررحبمَّئن الْلرئحيئم أباعرواذ ئباَ ئ
ل ئمَّبن الْ ل بياَ أبييبهاَ اللْئذريبن آبمَّانوا التاقوا ل
ئ
Barokallahi li walakum fil Qur”anil Adzim wa nafa’ani waiyyakum bima fihi minal ayat
wadzdzikril hakim wa taqobbala minni wa minkum innahu huwassami’ul alim
.
ِ بفبمَّــرن أببطــاَبعاه،ِ بوأباحيثاكــرم بعبلــىَ بطــاَبعئتئه،سئعريئد
ا ئفي هبذا ارلْئعريئد الْ ل ا أ ارو ئ
صرياكرم بوبنرفئسري ئببترقبوىِ ئ ئعبباَبد ئ
ْ ْأبقارول ا بقرولْئري هــبذا بوأبرســبترغفئار ب.ضلبئل ارلْببئعريئد
اــ ارلْبعئظريــبم لْئــري سئعريمد بوبمَّرن أبرعبر ب
ض بوبتبوللْىَ بعرناه بفاهبو ئفي الْ ل بفاهبو ب
ِ بفاَرســبترغفئارروها إئلنــاه اهــبو ارلْبغفاــروار الْلرئحريــام،ت
ت بوارلْامَّــرؤئمَّئنريبن بوارلْامَّرؤئمَّبنــاَ ئ
ســآَئئئر ارلْامَّرســلئئمَّريبن بوارلْامَّرســلئبمَّاَ ئ
بولْباكــرم بولْئ ب