Professional Documents
Culture Documents
UNIVERSITAS INDONESIA
SERIAL KASUS
ADE ERNI
1106026772
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
SERIAL KASUS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik
ADE ERNI
1106026772
Universitas Indonesia
Penulisan makalah serial kasus ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
NPM : 1106026772
Tanda tangan
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 18 Juni 2013
iii
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan saya kesempatan,
kesehatan, petunjuk, dan kemudahan, sehingga penyusunan laporan serial kasus
ini dapat diselesaikan.
Serial kasus ini mengenai dukungan nutrisi terhadap pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) yang disebabkan oleh rokok dan faktor risiko lain.
Semua kasus diambil dari Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW), Jakarta Barat.
Penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari tuntunan dan bimbingan
dosen pembimbing, dan staf pengajar Departemen Ilmu Gizi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. Inge Permadhi, MS, SpGK selaku
pembimbing yang dengan kesabaran, ketekunan, ketelitian serta dedikasinya
hingga selesainya penyusunan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Victor Tambunan MS,
SpGK selaku Ketua Departemen Ilmu Gizi Klinik, Dr. Sri Sukmaniah, MSc,
SpGK selaku Ketua Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-I dan DR. Dr. Johana
Titus, MS, SpGK selaku sekretaris Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-I, atas
bimbingan dan dukungan yang telah diberikan sejak awal menjalani pendidikan
hingga saat ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dr. Bambang Heru Sp.
Paru atas kesempatan, bimbingan, dan kepercayaan yang telah diberikan kepada
penulis untuk memberikan dukungan nutrisi kepada pasien-pasien penyakit paru,
khususnya pasien PPOK.
Terima kasih kepada Direktur RSSW Jakarta Barat yang memberikan
kesempatan untuk melaksanakan tugas sebagai PPDS-1 PSIGK. Terima kasih
penulis ucapkan untuk seluruh staf dietisien dan perawat yang terlibat dalam
proses pemberian dukungan nutrisi pada pasien PPOK. Begitu juga, terima kasih
yang tak terhingga untuk seluruh pasien dan keluarganya yang terlibat dalam
penyusunan serial kasus ini.
Penulis menghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Ibu
saya yang telah memberikan motivasi, dukungan dan doa untuk keberhasilan
penulis dalam menjalani pendidikan kedokteran. Tak lupa, kepada suami tercinta,
iv
Universitas Indonesia
Ir. H. Ahmad Yani, penulis mengucapkan terima kasih atas doa, pengertian,
toleransi dan kasih sayangnya sehingga memberikan semangat, inspirasi dan
motivasi. Begitu juga penulis ucapkan kepada teman dan saudara di Bandung,
yang telah membantu mengerjakan segala tugas di Bandung selama penulis
menjalani pendidikan di Jakarta. Seluruh sahabat, rekan, dan semua pihak yang
turut membantu, mendukung dan memberikan motivasi selama menjalankan
pendidikan, penulis ucapkan terima kasih.
Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu dan memberi kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan pendidikan dan serial kasus ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
v
Universitas Indonesia
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Jakarta
Pada tanggal 18 Juni 2013
Yang menyatakan
(Ade Erni)
vi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Penyajian serial kasus ini bertujuan untuk menganalisis dukungan nutrisi optimal
pada penderita paru-paru obstruktif kronis. Pemilihan kasus berdasarkan
karakteristik yang terdapat pada pasien paru-paru obstruktif kronis, yaitu usia
lansia, sedang mengalami eksaserbasi akut, terdapat komplikasi dan faktor
komorbid, serta malnutrisi (underweight atau obesitas), yang dirawat di rumah
sakit. Kebutuhan energi ditentukan dengan menggunakan perhitungan rumus
Harris Benedict dan dikalikan dengan faktor stres yang sesuai. Komposisi protein
1,2–1,7 gr/kg BB/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 50–60%.
Hasil analisis dari dua kasus didapatkan rerata pencapaian asupan lebih
dari 90% kebutuhan energi basal pada hari terakhir perawatan, satu kasus
mencapai 70%, dan satu kasus lagi telah mencapai mencapai 85% kebutuhan
energi total. Hanya satu kasus yang mendapat suplementasi mikronutrien lengkap
dosis RDA. Monitoring dan evaluasi yang diberikan meliputi klinis, imbang
cairan, toleransi asupan, dan analisis asupan. Dukungan nutrisi yang optimal,
pemberian edukasi serta motivasi kepada pasien dan keluarganya, akan
memberikan toleransi asupan yang baik disertai perbaikan klinis.
vii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
The aim of this serial case is to analyze optimal nutritional support in patients
with COPD. The cases selection based on the characteristics of COPD patients,
i.e. older age, acute exacerbation, complications, and comorbidity factor, as well
as malnutrition (underweight or obese), who were hospitalized. Basal energy
requirement were determined by the Harris-Benedict equotion and was multiplied
by stress factor to calculate total energy requirement. Macronutriens compositions
for protein ranged from 1.2 - 1.7 g/kg bw /day, lipids 25-30%, and carbohydrate
50-60% of total calories requirement.
Intake analysis from two cases showed a mean intake over 90% of basal
energy needs on the last day of treatment, one case reached 70%, and other case
reached up to 85% of total energy needs. Only one case received full-dose
micronutrient supplementation equal to RDA. Monitoring and evaluation included
clinical status, fluid balance, intake tolerance, and intake analysis. Optimal
nutritional support, provision of education and motivation to patients and their
families, will enhanced intake tolerance along with clinical improvement.
viii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... I
HALAMAN PERNYATAAN ORISINAL.................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI..................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH................ vi
ABSTRAK................................................................................................... vii
DAFTAR ISI................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiii
DAFTAR SINGKATAN.............................................................................. xiv
1. PENDAHULUAN................................................................................... 1
2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4
2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)................................... 4
2.1.1 Anatomi dan fisiologi paru..................................................... 4
2.1.2 Definisi.................................................................................... 5
2.1.3 Epidemiologi........................................................................... 6
2.1.4 Etiologi.................................................................................... 6
2.1.5 Patofisiologi............................................................................. 7
2.1.6 Manifestasi klinis..................................................................... 10
2.2. Terapi............................................................................................... 12
2.2.1 Terapi umum........................................................................... 12
2.2.2 Tatalaksana Nutrisi................................................................. 13
2.2.2.1 Hubungan nutrisi dan sistim pernapasan…………... 13
2.2.2.2 Hubungan malnutrisi dan penyakit pada sistim
Pernapasan…………………………………………. 13
2.2.2.3 Penilaian status gizi…............................................... 14
2.2.2.4 Kebutuhan nutrisi dan faktor-faktor yang 18
mempengaruhi asupan nutrisi……………………... 33
2.2.3 Prognosis...............................................................................
3. K A S U S................................................................................................. 34
Teknis pelaksanaan................................................................................... 34
3.1 Kasus 1............................................................................................... 36
3.2 Kasus 2............................................................................................... 44
3.3 Kasus 3............................................................................................... 52
3.4 Kasus 4............................................................................................... 60
4. PEMBAHASAN..................................................................................... 68
Universitas Indonesia
ix
Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013
x
DAFTAR TABEL
x
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
xi
Universitas Indonesia
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
AA : arachidonic acid
AARC : asam amino rantai cabang
ADA : American Dietetic Association
ADO : age, dyspnoe, and airflow obstruction
AGD : analisis gas darah
AHA : American Heart Association
AMKRI : Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia
APP : acute phase protein
ATP : adenosine triphosphate
ATS : American Thoracic Society
BAB : buang air besar
BAK : buang air kecil
BCAA : branched- chain amino acids
BMD : bone mineral density
BODE : body-mass index, airflow obstruction, dyspnoe, and
exercise capacity
BTA : basil tahan asam
BTS : British Thoracic Society
COPD : chronic obstructive pulmonary disease
CRP : C-reactive protein
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
DHA : docosahexaenoic acid
DM : diabetes melitus
DPG : 2,3-diphosphoglycerate
DPJP : dokter penanggung jawab pasien
DRI : dietary reference intakes
EKG : elektrokardiografi
EPA : eicosapentaenoic acid
FEV : forced expiratory volume
FVC : forced vital capacity
GDS : gula darah sewaktu
xiv
Universitas Indonesia
GSH : glutathione
HADO : health, activity, dyspnoe, obstruction
Hb : hemoglobin
IB : indeks brinkman
IL : interleukin
Iwl : insisible water loss
HDL : high density lipoprotein
HIV : human immunodeficiency virus
HNP : hernia nucleosus pulposus
IMT : indeks masa tubuh
INH : isoniazid
IU : internasional unit
KCl : kalium klorida
KEB : kebutuhan energi basal
KEP : kurang energi protein
KET : kebutuhan energi total
KGDH : kadar gula darah harian
KSR : kalsium slow release
LDL : low density lipoprotein
LLA : lingkar lengan atas
LTB4 : leukotriene B4
LTOT : long term oxygen therapy
MAPK : mitogen-activated protein kinase
MCP-1 : monocyte chemoattractant protein-1
MDA : malondialdehyde
MIP 1 : macrophage inflammatory protein-1
MMP : matrix metaloproteinases
MRC : medical research council
MUFA : monounsaturated fatty acid
NAC : n-acetyl-L-cysteine
N:NPC : nitrogen : nonprotein calorie
OAT : obat antituberkulosis
xv
Universitas Indonesia
xvi
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah
dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran pernapasan yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial disertai efek sistemik, yang
berhubungan dengan respon inflamasi paru abnormal terhadap gas atau partikel
yang berbahaya.1,2
Data dari World Health Organization (WHO), menunjukkan bahwa pada
tahun 2002 PPOK telah menempati urutan ketiga setelah penyakit kardiovaskular
dan kanker. Di Indonesia, PPOK meningkat karena kebiasaan merokok masih
merupakan perilaku yang sulit dihentikan, disamping polusi udara dan lingkungan
3
hidup yang belum dapat dikendalikan dengan baik.
Respon inflamasi abnormal yang terjadi pada PPOK, adalah akibat
pajanan asap rokok baik aktif maupun pasif, polusi udara, infeksi saluran
pernafasan berulang, dan hiperreaktivitas bronkus. Asap rokok merupakan
penyebab dominan dibandingkan faktor penyebab lainnya. 3,4 Beberapa penelitian
terakhir menemukan bahwa selain mempengaruhi paru-paru, respon inflamasi
tersebut juga menimbulkan efek sistemik yang bermakna. Manifestasi sistemik
PPOK dapat menurunkan kualitas hidup pasien, meningkatkan risiko perawatan di
rumah sakit, dan meningkatkan mortalitas terutama pada pasien dengan derajat
PPOK yang berat.3,4,5
Tata laksana PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah
progresivitas penyakit, mencegah dan menangani komplikasi serta eksaserbasi,
meningkatkan toleransi latihan dan kualitas hidup penderita, dan menurunkan
angka kematian.3 Sedangkan dukungan nutrisi pada PPOK bertujuan untuk
memperbaiki malnutrisi, mempertahankan fungsi respirasi, mengurangi masa
rawat rumah sakit, serta meningkatkan kualitas hidup. Malnutrisi yang terjadi
pada PPOK, menyebabkan kelemahan otot secara umum (terutama otot
pernapasan), gangguan ventilasi paru-paru, dan gangguan fungsi imun. Penilaian
status nutrisi pada pasien PPOK penting dilakukan untuk mengetahui risiko
malnutrisi dan untuk memperbaiki pasien yang telah menderita malnutrisi.6,7
1 Universitas Indonesia
Dukungan nutrisi yang adekuat menjadi bagian penting dalam tata laksana
pasien PPOK. Penelitian Ferreira dkk, 8 menunjukkan bahwa dukungan nutrisi
pada pasien PPOK memperlihatkan terjadinya perubahan signifikan dari massa
bebas lemak, dan perbaikan yang signifikan dari kekuatan otot pernapasan.
Penelitian Creutzberg dkk,9 menunjukkan bahwa dukungan nutrisi memberikan
efek yang baik pada pasien PPOK. Sedangkan menurut Roelinka dkk,10 dukungan
makanan cair peroral dapat mengoptimalkan asupan nutrisi pada pasien PPOK.
Untuk mengetahui peran dukungan nutrisi pada pasien PPOK, maka telah
dilakukan intervensi nutrisi pada empat orang pasien PPOK yang dirawat di
Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). Intervensi nutrisi yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien berdasarkan kondisi klinis.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Untuk mengkaji tata laksana nutrisi pada pasien PPOK agar dapat memperbaiki
status gizi pasien, meningkatkan kualitas hidup pasien, sehingga pada akhirnya
dapat menurunkan angka mortalitas dan meningkatkan angka harapan hidup.
Universitas Indonesia
1.3 Manfaat
1. Manfaat untuk pasien
mendapatkan tata laksana nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan dan
diharapkan dapat menambah pengetahuan pasien tentang pentingnya
nutrisi sebagai penunjang keberhasilan terapi yang dijalani
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4 Universitas Indonesia
merupakan stadium akhir respirasi. Pada stadium ini zat-zat dioksidasi untuk
mendapatkan energi adenosine triphospate (ATP), dan dihasilkan CO2 sebagai
hasil akhir dari proses metabolisme sel, yang kemudian dikeluarkan oleh paru-
paru.11
Pada kondisi normal, 97% oksigen dibawa ke jaringan oleh hemoglobin
yang terdapat dalam eritrosit. Sisa oksigen yang lain terdapat dalam cairan plasma
dan sel. Molekul oksigen berikatan secara reversibel dengan bagian heme dari
hemoglobin. Jika PO2 tinggi (kapiler paru), menyebabkan oksigen berikatan
dengan hemoglobin. Tetapi oksigen akan dilepaskan dari hemoglobin, jika PO2
rendah (kapiler jaringan). Fungsi yang cukup baik dari semua sistem ini penting
untuk respirasi sel. Malfungsi dari setiap komponen dapat mengganggu
pertukaran dan pengangkutan O2 dan CO2 dan dapat membahayakan proses
kehidupan.11
2.1.2 Definisi
Menurut American Thoracic Society (ATS), PPOK adalah suatu penyakit dengan
karakteristik obstruksi saluran pernapasan karena bronkitis kronis atau emfisema.
Obstruksi yang terjadi umumnya bersifat progresif, dan disertai hiper-reaktifitas
bronkus yang mungkin kembali menjadi normal walaupun hanya sebagian
fungsinya.13 Sedangkan British Thoracic Society (BTS) mendiskripsikan PPOK
sebagai suatu gangguan kronis, yang mengalami perkembangan lambat dengan
karakteristik berupa obstruksi saluran pernapasan [diprediksi forced expiration
volume 1 (FEV1) < 80%, dan FEV1/FVC < 70%). Sebagian besar fungsi paru
akan berkurang secara menetap namun sebagian akan kembali normal dengan
pengobatan bronkodilator.14
Penyakit Paru Obstruktif Kronis terdiri dari bronkitis kronis, emfisema,
atau gabungan keduanya. Bronkitis kronis merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus, minimal tiga
bulan dalam setahun, dan terjadi selama dua tahun berturut turut. 15 Sedangkan
emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomi parenkim paru yang ditandai
oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal. 15,16 Bronkitis
kronis merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema adalah diagnosis
Universitas Indonesia
2.1.3 Epidemiologi
Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2002, menunjukkan
bahwa PPOK menempati urutan ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker. Hasil survey dari Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Menular
dan Penyakit Lingkungan (PPM & PL) di lima rumah sakit propinsi di Indonesia
(Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada
tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya
(2%).3
2.1.4 Etiologi
Pada PPOK terjadi respon inflamasi abnormal dari bronkus atau alveoli, akibat
pajanan material-material seperti asap rokok (aktif maupun pasif), polusi udara
(gas buangan kendaraan bermotor, dan debu jalanan), polusi dari perindustrian
(bahan kimia, zat iritasi, gas beracun), infeksi saluran pernapasan berulang,
hiperreaktifitas bronkus, dan defisiensi α-1 antitripsin (AAT).3,5
Kelainan struktur jaringan paru berkaitan erat dengan respon inflamasi
yang ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun, tetapi faktor utama dan
dominan adalah asap rokok. Merokok bukan hanya menyebabkan inflamasi paru
tetapi juga inflamasi sistemik. Faktor inflamasi berperan penting dalam
patogenesis PPOK yang mengakibatkan timbulnya berbagai morbiditas kompleks
lain, seperti osteoporosis, anemia, dan sindroma metabolik. Proses inflamasi
masih dapat berlangsung, walaupun kebiasaan merokok telah dihentikan. 3,5
Risiko terkena PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui Indeks
Brinkman (IB). Indeks Brinkman adalah penilaian derajat berat ringannya seorang
perokok, berdasarkan perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap
sehari dikalikan lamanya merokok (tahun). Dikatakan sebagai perokok ringan
apabila merokok antara 0-200 batang; perokok sedang apabila merokok antara
Universitas Indonesia
200-600 batang, dan perokok berat apabila merokok lebih 600 batang. Semakin
besar angkanya, semakin tinggi kemungkinan untuk menderita PPOK. 3,5
Di dalam sebatang rokok terdapat kurang lebih 4000 zat kimia dengan 60
zat di antaranya bersifat karsinogenik dan adiktif. Komponen yang terkandung di
dalam rokok dapat mengiritasi dinding sistim pernapasan yang menyebabkan
meningkatnya sekresi mukus di bronkus, dan fungsi mukosilia. Perokok pasif
mempunyai risiko yang sama besar dibandingkan perokok aktif. Sebanyak 25%
zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok masuk ke dalam tubuh perokok,
sedangkan 75% beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke dalam tubuh orang
disekelilingnya (perokok pasif).17
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
PPOK
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Derajat 4 : Gejala diatas ditambah tanda-tanda gagal VEP1 / KVP < 70%
PPOK napas atau gagal jantung kanan dan VEP1< 30% prediksi
sangat berat ketergantungan oksigen. Pada derajat ini atau VEP1< 50%
kualitas hidup pasien memburuk dan jika prediksi disertai gagal
eksaserbasi dapat mengancam jiwa napas kronik
2.2 Terapi
2.2.1 Terapi umum
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah
progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi penyakit, meningkatkan kualitas
hidup penderita, mencegah dan mengobati komplikasi, mencegah dan mengobati
eksaserbasi akut, dan menurunkan angka kematian. Secara umum,
penatalaksanaan PPOK meliputi edukasi, berhenti merokok, obat-obatan,
rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik, dan pemberian nutrisi adekuat.
Program berhenti merokok merupakan salah satu tujuan penting selama
tatalaksana PPOK. Obat-obatan yang biasa digunakan meliputi : bronkodilator,
glukokortikosteroid, antioksidan, dan mukolitik. PPOK merupakan penyakit paru
kronik progresif dan nonreversibel, sehingga dalam penatalaksanaannya terbagi
menjadi terapi pada kondisi stabil, dan pada kondisi eksaserbasi akut. 3,5
Inflamasi di paru harus dikendalikan untuk mencegah perluasan inflamasi
sistemik yang mungkin terjadi, serta penatalaksanaan komorbiditas sistemik yang
didapat pada pasien. Hal ini berdasarkan berbagai penelitian observasional yang
telah menunjukkan bahwa terapi dan tatalaksana komorbiditas pada PPOK dapat
memberikan manfaat lebih pada pasien. Terapi pengendalian inflamasi pada
PPOK yang sudah luas dilakukan dengan pemberian kortikosteroid inhalasi, ß2-
agonis kerja lama (long acting ß2-agonist), antikolinergik, teofilin, lung volume
reduction surgery, dan rehabilitasi paru. Pemberian kortikosteroid inhalasi
merupakan terapi utama pada pasien PPOK. Terapi komorbiditas yang diduga
memiliki efek antiinflamasi meliputi pemberian statin, ACE-inhibitor, peroxisome
proliferator-activated receptors agonist, antioksidan, dan terapi antiinflamasi baru
yang masih dalam pengembangan dan penelitian seperti phosphodiesterase
(PDE)4 inhibitor, dan p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) inhibitor.20
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Hipermetabolisme Hipoksia
jaringan
SINDROMA
Usia tua KAHEKSIA Inaktivitas
PULMONAL
Medika Inflamasi
mentosa sistemik
PENYAKIT KRONIK
Gagal jantung, PPOK, GGK, Kanker, Sepsis,
Infeksi kronis
Penurunan
masa lemak Muscle wasting
Kelemahan otot
Penurunan BB Penurunan kekuatan otot, VO2 max. , dan
aktivitas fisik
DIAGNOSIS KAHEKSIA
- Penurunan BB 5% dalam 12 bln (BMI < 20 kg/m²), dan penurunan massa bebas lemak
- Penurunan kekuatan otot, dan kelelahan
- Anoreksia
- Peningkatan marker inflamasi (CRP, IL-6), anemia (Hb < 12 g/dL), albumin < 3,2 g/dL
Universitas Indonesia
Protein
Peningkatan kehilangan nitrogen urin
Peningkatan turnover protein
Penurunan sintesis protein otot rangka
Peningkatan proteolisis
Peningkatan sintesis protein fase akut
Penurunan kadar protein AARC
Lemak
Peningkatan lipolisis
Penurunan lipogenesis
Hiperlipidemia
Peningkatan turnover asam lemak bebas
Penurunan aktivitas lipoprotein lipase
Karbohidrat
Intoleransi glukosa
Hiperinsulinemia
Resistensi insulin
Peningkatan turnover glukosa
Peningkatan glukoneogenesis
Perubahan Antropometri
Berat badan kurang atau kehilangan berat badan yang cepat, khususnya deplesi
massa bebas lemak pada pasien PPOK merupakan prediktor mortalitas, resiko
eksaserbasi akut, indikasi rawat rumah sakit, dan pemakaian ventilator. 7,30,31
Penurunan berat badan sering terjadi terutama pada penderita emfisema karena
adanya peningkatan Resting Energy Expenditure (REE) untuk bernapas,
penurunan asupan nutrisi, dan inefisiensi proses metabolisme nutrien.7 Pasien
emfisema umumnya tampak kurus, kaheksia, kelihatan tua, disertai hipoksemia
ringan. Sedangkan bronkitis kronik, umumnya mempunyai indeks massa tubuh
Universitas Indonesia
(IMT) normal atau di atas normal.7 Namun demikan kehilangan massa bebas
lemak tetap terjadi pada kedua kondisi tersebut. Pada suatu penelitian yang
menilai komposisi tubuh pada penderita PPOK, menemukan deplesi massa bebas
lemak terjadi pada 37% pasien emfisema dan 12% pada bronkitis kronis.
Walaupun pada berat badan normal, deplesi massa bebas lemak tetap terjadi, yaitu
sebanyak 16% pada emfisema dan 8% pada bronkitis kronis. Hal ini
menunjukkan, selain berat badan dan IMT diperlukan juga penilaian komposisi
tubuh untuk mengetahui perubahan massa lemak dan massa bebas lemak pada
PPOK.7
Berat badan lebih karena kelebihan massa lemak dapat mengganggu dan
menambah beban kerja sistem pernapasan. Individu dengan obesitas berat
mengalami kesulitan bernapas disebabkan akumulasi lemak di sekitar rongga
torak, diafragma, dan abdomen, sehingga kapasitas paru berkurang, disertai
pertukaran O2 dan CO2 yang menurun. Pasien yang berat badannya > 40% berat
badan ideal, harus dievaluasi untuk menentukan intervensi yang sesuai, agar
memberikan efek jangka panjang. Intervensi nutrisi yang diberikan diharapkan
dapat mencegah pertambahan berat badan, dan kehilangan berat badan. Restriksi
berat badan merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan status kesehatan
borderline, khususnya pada pasien yang mempunyai riwayat berat badan dan
selera makan berfluktuasi, kehilangan berat badan selama fase eksaserbasi, dan
pertambahan berat badan karena penggunaan steroid yang lama. Hal ini karena,
restriksi tersebut dapat memperberat kehilangan berat badan karena proses
penyakit, dan juga menyebabkan penurunan fungsi paru.7
Riwayat Nutrisi
Asupan nutrisi yang kurang, penurunan berat badan, dan kaheksia, sering terjadi
pada PPOK derajat moderat dan berat. Hal ini karena adanya gejala anoreksia,
sesak napas, kembung, merasa cepat kenyang, dan fatique (kelelahan). Gangguan
pengecapan dapat timbul seiring dengan kronisitas pernapasan mulut dan
penurunan selera makan karena depresi. Walaupun asupan adekuat, kehilangan
berat badan tetap terjadi. Hal ini disebabkan pada penderita PPOK terjadi
peningkatan resting energy expenditure (REE) dan total energy expenditure
Universitas Indonesia
Aktivitas Fisik
Keluhan umum pada Pasien PPOK berhubungan dengan aktivitas sehari-hari
termasuk makan dan aktivitas lain. Pasien mengeluh sesak sewaktu makan dan
minum, dan pada beberapa pasien, merasa cepat lelah bila makan. Kelelahan
karena sesak juga mengganggu aktivitas makan. Proses pengunyahan dan menelan
dapat terhalang oleh gangguan pernapasan dan ambilan oksigen yang menurun.
Pernapasan mulut yang kronis dan terapi medikamentosa yang digunakan dapat
mengubah pengecapan dan serostomia. Pada PPOK sering terjadi hiperventilasi
paru, disertai posisi diafragma yang mendatar dan volume abdomen yang
berkurang, yang menyebabkan pasien merasa cepat kenyang dan kembung pada
waktu makan. Jika pasien makan terlalu banyak, lambung akan meningkatkan
tekanan pada diafragma, sehingga susah bernapas. Aerophagia sering terjadi pada
PPOK dan menyebabkan gastric bloating. Faktor lain yang berkontribusi terhadap
asupan nutrisi yang buruk adalah depresi, halangan ekonomi dalam membeli dan
menyediakan makanan, serta kurangnya dukungan dan motivasi dari keluarga atau
orang terdekat.7
Universitas Indonesia
dipengaruhi status nutrisi dan berhubungan erat dengan berat badan dan massa
bebas lemak. Karena itu, pasien PPOK harus mendapatkan asupan kalori dan
protein yang cukup, untuk mempertahankan berat badan, massa bebas lemak, dan
status nutrisi yang adekuat.7
Walaupun asupan nutrisi pada pasien PPOK baik, namun kehilangan berat
badan tetap terjadi karena peningkatan Resting Energy Expenditure (REE) dan
Total Energy Expenditure (TEE) independent. Idealnya kebutuhan energi
ditentukan dengan menggunakan indirect calorimetry.7 Namun, jika tidak ada
indirect calorimetry, dapat memakai formula Harris Benedict. Kebutuhan kalori
basal ditentukan berdasarkan formula Harris benedict, sedangkan kebutuhan total
dikalikan faktor stres yang sesuai dengan derajat hipermetabolisme pasien.
Besarnya faktor stres pada PPOK (eksaserbasi akut) mencapai ≥ 1,5.33
Menurut Pia,34 kebutuhan energi pada PPOK sebesar ≥ 1,7 x REE. Sedangkan
menurut Thorsdottir dkk,7 asupan energi pada pasien PPOK 125%-156% (±
140%) dari basal energy expenditure. Selain itu, kebutuhan energi dapat dihitung
dengan mengalikan BB dengan 25-30 kkal/kgBB.7
Kebutuhan protein 20% dari energi total atau 1,2-1,7 gram/kgBB/hari. Pia
dkk mengatakan,34 kebutuhan protein pada PPOK ≥1,5 gram/kgBB. Pendapat lain
mengatakan, pada pasien PPOK yang stabil dapat diberikan protein 15-20% KET,
lemak 30-45% KET, dan karbohidrat 40-55% KET. Menurut Thorsdottir dkk,7
asupan protein 1,2-1,7 gram/kgBB/hari, cukup untuk mencegah proteolisis pada
pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit dengan eksaserbasi akut.7,30
Pemberian nutrisi pada pasien PPOK yang memakai ventilator perlu
diperhatikan agar tidak terjadi overfeeding. Pemberian glukosa infus tidak boleh
lebih dari 0,5 mg/kgBB/menit, karena dapat menyebabkan overfeeding. Pada
kondisi overfeeding terjadi peningkatan produksi CO2 dan komplikasi ventilasi,
sehingga pasien menjadi lama weaning dari ventilator. Produksi karbondioksida
(CO2) akan meningkat jika pasien overfeeding > 1,5 kali REE.7
Metabolisme karbohidrat menghasilkan CO2 yang lebih banyak
dibandingkan makronutrien lain (khususnya lemak). Suatu penelitian klinis yang
menggunakan modifikasi komposisi makronutrien menghasilkan jumlah CO 2
yang lebih kecil dibandingkan standard formula yang kalorinya sama tetapi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
vitamin C, A, dan E pada pasien PPOK, didapatkan hasil yang beragam (tabel
2.3).36
JUMLAH
NO SUPLEMENTASI EFEK
PASIEN
1 200 IU/hari vitamin E, dan 500 21 PPOK dan 10 Terdapat peningkatan
mg/hari vitamin C selama 1 bulan kontrol signifikan waktu latihan (10
orang pasien PPOK)
2 50 mg/hari -tokoferol dan 20 29.133 orang Tidak mempengaruhi rekuren
mg/hari ß-karoten, selama 5-8 dan insiden dari batuk dan
tahun sesak
3 400 IU vitamin E/hari selama 12 30 orang pasien Spirometri : Tidak ada
minggu PPOK perbaikan dan perubahan
signifikan
4 400 IU vitamin E (group A) dan 24 orang pasien Terdapat perbaikan klinis dan
dibandingkan dengan standard PPOK fungsi paru yang sama pada
terapi (group B/plasebo), 2x/hari kedua kelompok
selama 8 minggu
5 Group 1(9) : vit.E 400 mg/hr. 35 orang pasien Tidak ada perbaikan fungsi
Group 2(9) : vit.E 200 mg/hr PPOK paru
Group 3(9) : vit.C 250 mg/hr
Group plasebo 8 orang.
Intervensi diberikan selama 12
minggu.
6 Vit. A selama 30 hari diberikan 36 orang sehat Perbaikan rerata fungsi paru
untuk orang sehat bukan perokok, dan 21 orang (FEV1) pada group vitamin A
perokok sehat, PPOK derajat pasien PPOK
ringan, PPOK sedang, PPOK berat,
dan PPOK dengan eksaserbasi
Universitas Indonesia
Peningkatan tekanan
darah
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Omega-3
Kondisi PPOK ditandai adanya inflamasi kronis saluran pernapasan dan parenkim
paru yang disertai infiltrasi neutrofil dan makrofag. Inflamasi tersebut
menyebabkan fibrosis dan penyempitan saluran pernapasan serta kerusakan
parenkim paru. Walaupun telah berhenti merokok, inflamasi akan terus berlanjut.
Secara imunologis, PPOK menyebabkan dihasilkannya beberapa mediator
inflamasi, yaitu IL-8, TNF-, dan leukotriene B4 (LTB4). Salah satu strategi
terapi PPOK adalah mengendalikan inflamasi.52,53
Infamasi sistemik sehubungan dengan PPOK dapat merusak massa dan
fungsi otot rangka, kardiovaskular, integritas tulang dan kesehatan mental,
sehingga meningkatkan risiko osteoporosis, penyakit kardiovaskular, diabetes dan
depresi. Intervensi nutrisi yang telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan
penyakit inflamasi seperti artritis rematoid dan penyakit kardiovaskuler, adalah
suplementasi omega-3. Diharapkan omega-3 bermanfaat juga untuk PPOK.53
Polyunsaturated fatty acids (PUFA) atau asam lemak tak jenuh ganda
(omega-3 dan omega-6) adalah asam lemak esensial yang harus ada dalam
makanan sehari hari, karena tubuh manusia tidak dapat mensintesisnya. Omega-3
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
transkripsi gen. DHA dan EPA dianggap mampu menghambat aktivasi NF-kB,
sehingga mengurangi transkripsi dari sejumlah sitokin inflamasi dan kemokin.53
Omega-3 memiliki efek antiinflamasi dengan cara menurunkan produksi sitokin-
sitokin.52
Penelitian-penelitian tentang asupan asam lemak omega-3 pada pasien
PPOK menghasilkan outcome yang beragam. Suplementasi PUFA (3,4 g/hari)
pada 102 pasien PPOK selama delapan minggu, menghasilkan peningkatan
signifikan kapasitas latihan, tetapi tidak berefek pada perbaikan FEV1, kekuatan
otot, dan tidak mempengaruhi kadar marker inflamasi. 56 Penelitian yang
mengamati hubungan asupan makanan yang banyak mengandung omega-3,
menunjukkan hasil yang berlawanan dengan angka prevalensi PPOK. 57,58 Pada
penelitian Matsuyama,52 pemberian nutrisi yang diperkaya omega 3 dapat
menurunkan IL-8, TNF-, dan LTB4 secara signifikan. Dosis omega 3 yang
dipakai pada penelitian Matsuyama lebih kecil dari dosis omega 3 yang
direkomendasikan untuk penyakit jantung. Rasio omega 3/omega 6 pada
penelitian Matsuyama (kelompok omega 3) adalah 1,5 : 1, sedangkan kelompok
kontrol 1:13.
Data tentang rekomendasi dosis asupan omega 3 untuk pasien PPOK,
masih belum jelas. Sedangkan rekomendasi dosis optimal untuk kesehatan tubuh,
sebesar 0,5-1,8 g/hari, atau mengkonsumsi dua porsi ikan/minggu.59 Rekomendasi
WHO untuk omega-3 minimal 0,3-0,5 gram/hari untuk EPA dan DHA, sedangkan
untuk asam linolenat disarankan sebanyak 0,8-1,1 gram/hari.61 Pemberian
suplementasi omega-3 lebih dari 3 g/hari, akan menimbulkan efek samping antara
lain perdarahan, dan gangguan gastrointestinal. 60 Rekomendasi dosis maksimal
omega-3 adalah 3 g/hari, namun sejumlah penelitian yang memberikan omega-3
dosis tinggi (3,4 g/hari - 6,6 g/hari), ternyata tanpa disertai efek samping. 53
Omega-3 banyak terdapat dalam ikan laut dalam, dan minyak yang berasal dari
tumbuhan. Tabel 2.5 berikut ini berisikan kandungan omega-3 dalam beberapa
ikan di Indonesia.
Universitas Indonesia
Tabel 2.5 Kadar omega-3 dan omega-6 yang terkandung dalam beberapa ikan di
Indonesia
Nama ikan Kandungan omega-3/ Kandungan omega-6/ Rasio
100 g ikan 100 g ikan Omega-
3/omega-6
Tembang 1,2 0,3 4,0
Sirkuning 0,2 0,2 1,0
Belanak 0,4 0,3 1,3
Teri 1,4 0,3 4,7
Tenggiri 1,1 0,7 1,6
Sardin 1,2 0,6 2,0
Kakap 0,6 0,3 2,0
Cucut 1,9 0,5 3,8
Tabel 2.6 Kadar omega-3 dalam berbagai minyak yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan (/1 sendok teh)
Jenis minyak/lemak Energi (kkal) Kadar omega-3 (mg)
Minyak Flaxseed 120 7.980
Minyak ikan salmon 123 525
Minyak ikan sarden 123 592
Minyak cod liver 123 254
Minyak kanola 124 1.302
Saus mustard 124 826
Minyak kacang walnut 120 1.414
Minyak zaitun 119 81
Minyak kacang kedelai 120 925
Shortening 115 141
Minyak kelapa sawit 120 27
Margarin 102 103
Mayonais 99 414
Cocoa butter 120 14
Universitas Indonesia
N-acetyl-L-cysteine (NAC)
N-acetyl-L-cysteine berasal dari asam amino L-sistein. Sistein merupakan asam
amino yang mengandung sulfur, precursor antioksidan seluler GSH (glutation).
Glutation adalah antioksidan utama di dalam dan di luar sel, dan disintesis dari
sistein, glisin, dan asam glutamat. Glutation merupakan antioksidan yang kuat,
berfungsi memproteksi asam lemak dari kerusakan akibat radikal bebas. Sintesis
glutation sangat tergantung dari adekuasi asupan protein, dan menurun pada
kondisi inflamasi.26
Sistein merupakan faktor utama dalam sintesis glutation, namun
ketersediaan sistein di dalam tubuh terbatas. Sistein dapat diproduksi tubuh dari
asam amino metionin. Dalam metabolismenya, metionin akan berubah menjadi
homosistein, dan kemudian menjadi sistein. Perubahan tersebut melibatkan peran
asam folat, vitamin B12, dan vitamin B6. 26 Bahan makanan sumber sistein antara
lain semua sumber protein (telur, ikan, daging, dan susu), dan dalam jumlah kecil
terdapat dalam brokoli, cabai, dan bawang. Sedangkan bahan makanan sumber
metionin adalah daging, ayam, ikan, telur, susu, dan kacang-kacangan.
Pemberian NAC bertujuan sebagai antioksidan (meningkatkan produksi
GSH), dan mukolitik, sehingga dapat menurunkan eksaserbasi akut. Beberapa
penelitian telah membuktikan efek terapi dari NAC, tetapi pemberian NAC tidak
dapat dijadikan sebagai maintenance.38
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kapasitas kerja aerobik maupun anaerobik, peningkatan cardiac output dan stroke
volume, peningkatan efisiensi distribusi darah, dan percepatan pemulihan.3
Dukungan nutrisi disertai dengan latihan fisik, menunjukkan hasil yang
lebih baik dalam peningkatan berat badan, massa bebas lemak, dan kekuatan otot
pernapasan pada pasien PPOK yang stabil. Jenis latihan fisik tergantung tingkat
keparahan PPOK. Suatu penelitian klinis yang membandingkan latihan fisik yang
berbeda pada pasien PPOK, menyimpulkan bahwa latihan regangan otot
menghasilkan perbaikan kualitas hidup. Disfungsi otot skeletal merupakan
indikator bertambah beratnya kondisi PPOK. Latihan regangan otot dapat
meningkatkan fungsi otot skeletal dan meningkatkan kondisi tubuh secara umum. 7
2.2.3 Prognosis
Melakukan penilaian terhadap derajat keparahan penyakit dan memprediksi
mortalitas, merupakan bagian penting dalam tata laksana terapi pada pasien
PPOK. Indikator prognosis yang sering digunakan adalah nilai FEV1, karena
penurunan FEV1 berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas. Indikator
prognosis lain yang dapat digunakan adalah indeks BODE (body-mass index,
airflow obstruction, dyspnoea, and exercise capacity), St. George’s respiratory
questionnaire, indeks Charlson, C-reactive protein (CRP),68 indeks ADO (age,
dyspnoea, and airflow obstruction), dan skor HADO (health, activity, dyspnea,
obstruction). Cara yang paling akurat untuk menentukan prognosis dan angka
harapan hidup seorang penderita PPOK adalah melalui BODE indeks.69
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 3
KASUS
Teknis pelaksanaan
Serial kasus ini diambil dari RSSW pada kurun waktu Januari sampai April 2013.
Pengambilan dan penentuan pasien yang termasuk dalam serial kasus,
berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut adalah : pasien
memiliki permasalahan nutrisi yang memerlukan dukungan nutrisi, dan
berdasarkan skrining gizi yang berlaku di RSSW, pasien termasuk dalam
pemantauan tim terapi gizi (TTG) rumah sakit.
Sebelum menentukan dan mengambil data pasien untuk serial kasus, maka
dilakukan beberapa persiapan. Persiapan tersebut antara lain : studi literatur
tentang hal-hal yang berhubungan dengan pasien PPOK, mengamati profil pasien-
pasien dengan penyakit paru (khususnya PPOK) yang dirawat di RSSW,
mengetahui dan mempelajari beberapa jenis nutrisi yang dapat disediakan oleh
rumah sakit, mendata hal-hal yang diperlukan untuk keberhasilan dukungan
nutrisi yang diberikan, dan mengetahui beberapa fasilitas yang mungkin didapat
oleh pasien dengan berbagai macam jaminan pembayaran. Selain itu, dilakukan
juga perkenalan, dan diskusi dengan beberapa dokter yang kemungkinan akan
turut merawat pasien-pasien PPOK, seperti spesialis interna, spesialis paru,
spesialis jantung, dan dokter ruangan. Tak lupa, dilakukan juga pendekatan
dengan dietisen, perawat ruangan, dan keluarga pasien. Hal ini penting dilakukan
agar dapat membantu keberhasilan dukungan nutrisi yang diberikan, mengingat
bahwa dukungan nutrisi tidak berdiri sendiri, dan tidak dapat dipisahkan dari tata
laksana penyakit secara umum.
Pendekatan dan interaksi kepada pasien dan keluarga dilakukan selama
perawatan di rumah sakit. Hal ini bertujuan agar pasien sekeluarga lebih koperatif,
dan dapat menerima dengan baik bila diberikan edukasi dan motivasi selama
perawatan. Penerimaan yang baik akan menimbulkan interaksi dan komunikasi
yang baik, sehingga rencana nutrisi yang diberikan dapat diterima dan
dilaksanakan.
35 Universitas Indonesia
3.1. Kasus 1
Seorang pasien dengan identitas Tn. MM, usia 70 tahun, beragama Islam,
menikah, dan tidak bekerja, masuk ke Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) pada
tanggal 25 Januari 2013. Pasien masuk dengan keluhan utama sesak napas.
Berdasarkan skrining gizi, pasien memerlukan pemantauan Tim Terapi Gizi
(TTG), karena asupan yang tidak adekuat selama satu minggu, kadar albumin < 3
g/dL, dan adanya penyakit dengan stres metabolik.
Riwayat perjalanan penyakit diawali dengan keluhan sesak napas sejak
tujuh hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), dan memberat pada dua hari
SMRS. Pasien sesak disertai batuk dengan dahak yang banyak. Karena sesak,
pasien merasa lebih nyaman duduk dibandingkan berbaring. Pasien juga
mengeluh nyeri ulu hati, dan mual sejak lima hari SMRS. Selama satu minggu
SMRS asupan makanan pasien menurun. Buang air kecil (BAK) dan buang air
besar (BAB) normal. Pada saat pemeriksaan, sesak masih ada, tetapi mulai
berkurang. Keluhan sakit perut, nyeri ulu hati dan mual masih ada.
Berdasarkan data rekam medik, pasien telah didiagnosis dokter RSSW
dengan PPOK pada bulan November 2002, kor pulmonal dan gagal jantung
kongestif pada bulan Juni 2012. Riwayat hipertensi, DM tipe 2, gangguan fungsi
hati dan fungsi ginjal disangkal oleh pasien. Pasien memiliki kebiasaan merokok
sebanyak tiga bungkus/hari, dan telah berhenti sejak satu tahun yang lalu. Pasien
tidak bekerja lagi, sehingga kebutuhan sehari hari ditanggung oleh anak-anaknya.
Pada pemeriksaan objektif, pasien tampak sakit sedang, dengan kesadaran
kompos mentis. Tanda vital menunjukkan tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi
nadi 90x/menit, respirasi 28x/menit, dan suhu 36,5ºC. Pada pemeriksaan kepala
didapatkan: pursed-lips breathing (mulut mencucu), bibir basah, dan gigi geligi
tidak lengkap. Pada hidung terpasang kanul oksigen, dengan oksigen 2 liter/menit.
Pemeriksaan torak didapatkan, barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan,
dan ronki paru. Sedangkan pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus
yang normal, dan edema pada kedua ekstremitas bawah. Penilaian kapasitas
fungsional terbatas karena kondisi sesak. Berdasarkan indeks Barthel, kapasitas
fungsional termasuk ketergantungan sedang.
Universitas Indonesia
Kkal/g
Gambar 3.1.1 Analisis asupan makanan sebelum sakit dan setelah sakit
(kasus 1)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
mL/kgBB (1254 mL). Natrium diberikan 2000 mg atau setara dengan 5 gram
garam.
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir dan kondisi klinis pasien,
maka pemberian nutrisi dimulai dari KEB (965 kkal), dengan komposisi protein
48 gram, lemak 30 gram, dan karbohidrat 125 gram. Cara pemberian nutrisi
melalui oral, dalam bentuk bubur sumsum dan makanan cair. Nutrisi diberikan
dengan porsi kecil dan frekuensi sering. Jumlah makanan cair adalah 3x150 mL
(450 kkal) dan tiga kali bubur sumsum (500 kkal).
Selain komposisi makronutrien, beberapa mikronutrien yang perlu
diterima pasien ini adalah vitamin B kompleks, C, A, E, D, dan kalsium. Namun
mikronutrien yang disarankan, belum dapat diterima pasien, karena masalah
biaya. Pasien hanya mendapatkan vitamin B kompleks (3x1) dan vitamin C (3x1).
Selama perawatan, dilakukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital
(hemodinamik), analisis asupan makanan, imbang cairan, dan kapasitas
fungsional. Hasil pemantauan dapat dilihat pada beberapa grafik berikut ini.
Pada gambar 3.1.2 diperlihatkan grafik hemodinamik dari kasus 1. Dari
gambar menunjukkan, selama perawatan, kesadaran pasien kompos mentis,
hemodinamik pasien berangsur membaik (stabil). Tekanan darah menjadi normal,
sesak berkurang dan frekuensi pernapasan menurun, serta pasien tidak febris.
Suhu (°C)
Respirasi (x/menit)
A B
Gambar 3.1.2 Grafik : (A) Tekanan darah ; (B) Nadi, suhu, dan respirasi
Universitas Indonesia
Asupan energi
A. Asupan energi
Universitas Indonesia
Keterangan :
20 : Mandiri. 12-19 : Ketergantungan ringan. 9-11 : Ketergantungan sedang
Gambar 3.1.4. Grafik kapasitas fungsional berdasarkan indeks Barthel
(kasus 1)
Gambar 3.1.5, memperlihatkan persentase energi yang dapat dikonsumsi
pasien terhadap KEB dan KET. Begitu juga persentase asupan protein, lemak, dan
karbohidrat terhadap target kebutuhan. Dari grafik tersebut tampak adanya
perbaikan asupan energi dan komposisi makronutrien.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.2. Kasus 2
Seorang pasien, dengan identitas Tn. M, usia 52 tahun, menikah, dan tidak
bekerja, masuk RSSW pada tanggal 22 februari 2013. Pasien dirawat dengan
keluhan utama sesak napas. Berdasarkan skrining gizi pada tanggal 23 Februari
2013, Tn. M. termasuk dalam pemantauan TTG, karena asupan makanan yang
tidak adekuat selama dua minggu, dan adanya penyakit dengan stres metabolik.
Riwayat perjalanan penyakit diawali dengan keluhan utama sesak napas
sejak dua minggu SMRS, dan memberat pada tiga hari SMRS. Pasien sesak
disertai batuk dengan lendir yang banyak, tidak ada batuk darah, dan terdapat
keringat pada malam hari. Batuk terutama bila berbaring, berbicara dan berjalan.
Pasien juga mengeluh sakit perut, dan mual. Selama dua minggu SMRS asupan
makanan menurun, karena sesak, dan tidak ada selera makan. Pada saat
pemeriksaan dilakukan, sesak mulai berkurang.
Berdasarkan data rekam medik, sebelumnya pasien telah didiagnosis
dokter sebagai penderita PPOK sejak dua tahun yang lalu. Saat masuk RSSW,
pasien sedang menjalani pengobatan tuberkulosis paru kategori 1 (fase awal)
selama enam bulan. Tetapi pengobatan baru dijalani satu bulan. Riwayat penyakit
hipertensi, diabetes melitus (DM) tipe 2, gangguan fungsi hati dan ginjal
disangkal oleh pasien. Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak dua sampai
tiga bungkus per-hari, tetapi telah berhenti sejak didiagnosis menderita
tuberkulosis paru. Pekerjaan pasien adalah buruh bangunan dan pengeboran tanah.
Pasien berhenti bekerja karena sakit sejak lima tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan objektif, tampak pasien sakit sedang, dengan kesadaran
kompos mentis. Tanda vital menunjukkan tekanan darah 100/90 mmHg, frekuensi
nadi 80x/menit, respirasi 26x/menit, dan suhu 36,5ºC. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan: pursed-lips breathing, iga gambang, barrel chest, penggunaan otot
bantu pernapasan, pelebaran sela iga, dan ronki paru. Pasien tidak bisa tidur
berbaring karena merasa sesak, sehingga lebih nyaman bila duduk dengan posisi
tegak. Bagian tubuh lain dalam batas normal. Kapasitas fungsional terbatas karena
kondisi sesak. Berdasarkan indeks Barthel, kapasitas fungsional termasuk
ketergantungan sedang. Pemeriksaan laboratorium awal menggambarkan
hipoalbumin, dan gangguan fungsi hati. Hal ini terlihat dari peningkatan kadar
Universitas Indonesia
Gambar 3.2.1. Analisis asupan sebelum sakit dan setelah sakit (kasus 2)
Asupan kalori sebelum sakit sebesar 1550 kkal, dengan komposisi protein
35 gram (10%), lemak 40 gram (23%), dan karbohidrat 262 gram (67%), serta
serat 20 gram. Dua minggu SMRS asupan menurun menjadi 1150 kkal, dengan
komposisi protein 34 gram (11,8%), lemak 30 gram (23%), dan karbohidrat 186
gram (64,6%), serta serat 15 gram. Namun tiga hari SMRS, asupan energi hanya
Universitas Indonesia
1000 kkal, dengan komposisi protein 30 gram (12%), lemak 27 gram (21,6%), dan
karbohidrat 155 (66%), serta serat 11 gram.
Analisis asupan diatas menunjukkkan bahwa komposisi makronutrien
sebelum sakit yang tidak seimbang, terutama asupan protein dan karbohidrat. Dua
minggu SMRS dan tiga hari SMRS asupan semakin menurun. Komposisi
makronutrien yang tidak seimbang tersebut, karena pasien tidak ada selera makan,
rasa begah, dan cepat kenyang. Selain itu, asupan protein yang tidak adekuat
karena kurangnya kemampuan pasien membeli makanan sumber protein. Selama
sakit, pasien lebih suka minum susu kental manis. Walaupun sakit, pasien masih
merokok satu sampai dua batang perhari. Sebelum dilakukan pemeriksaan TTG
(24 jam terakhir), asupan makanan berkurang karena sesak, rasa tidak nyaman di
perut, dan tidak ada selera makan, sehingga makanan yang diberikan hanya
dihabiskan 1/3-1/2 porsi. Analisis asupan pasien 24 jam terakhir sebesar 800 kkal,
protein 30 gram, lemak 23 gram, dan karbohidrat 118 gram.
Terapi yang diterima pasien : infus RL (1), nebulizer 3x/hari, rifampicin
450 mg, INH 1x300 mg, ethambutol 2x500 mg, OBH 3x15 mL, Lasix 1x1, KSR
1x1, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 3x1 ampul/hari, dexametason 3x1.
Diagnosis kerja gizi pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut, kor
pulmonal, tuberkulosis paru, pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme
sedang (hipoalbumin, gangguan fungsi hati).
Selama perawatan di rumah sakit, target KEB adalah 964 kkal, dan KET
1446 kkal (FS: 1,5). Komposisi makronutrien adalah sebagai berikut, protein 1,2
g/kg/hari (37 gram), dengan sumber protein utama berasal dari asam amino rantai
cabang (AARC). Lemak sebanyak 30% (48 gram). Karbohidrat 216 gram (59%),
terdiri dari karbohidrat kompleks. Kebutuhan cairan 30-35 mL/kg/hari.
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi dimulai dari
basal (964 kkal, protein 37 gram, lemak 28 gram, dan karbohidrat 141 gram. Cara
pemberian nutrisi melalui oral, dalam bentuk bubur lauk cincang dan ekstra
makanan cair. Frekuensi pemberian nutrisi adalah tiga kali bubur lauk cincang
(600 kkal) dan 2x150 mL makanan cair (300 kkal) dan satu kali puding putih telur
(50 kkal).
Universitas Indonesia
Diastol
Suhu (° C)
Respirasi (x/menit)
Universitas Indonesia
maka diberikan kombinasi makanan lunak dan cair peroral sejumlah 3x150 mL,
agar memudahkan pasien untuk mengonsumsi makanannya.
A. Asupan energi
Universitas Indonesia
kebutuhan total. Asupan karbohidrat setiap harinya berkisar 55% - 63% asupan
total perhari.
Peningkatan asupan dapat dilihat dari perbaikan kapasitas fungsional
pasien. Pada gambar 3.2.4 diperlihatkan grafik perbaikan kapasitas fungsional
pasien selama pemantauan. Pada saat masuk rumah sakit, kapasitas fungsional
pasien menunjukkan ketergantungan sedang, dan pada waktu akhir perawatan,
kapasitas fungsional membaik menjadi ketergantungan ringan. Selain itu penilaian
kapasitas fungsional dilakukan juga melalui penilaian kekuatan genggam. Pada
saat asupan nutrisi meningkat, kekuatan genggaman tangan mulai membaik secara
perlahan.
Skor indeks
Skor indeks Barthel
Barthel
Keterangan :
20 : mandiri. 12-19 : ketergantungan ringan. 9-11 : ketergantungan sedang
Gambar 3.2.4 Grafik kapasitas fungsional berdasarkan indeks Barthel (kasus 2)
Pada gambar 3.2.5, diperlihatkan persentase energi yang dapat diasup
pasien terhadap KEB dan KET. Begitu juga persentase asupan protein, lemak, dan
karbohidrat terhadap target kebutuhan. Dari grafik tersebut tampak adanya
perbaikan asupan energi dan komposisi makronutrien.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.3. Kasus 3
Seorang pasien, dengan identitas Tn. SA, usia 84 tahun, masuk RSSW pada
tanggal 3 februari 2013. Pasien dirawat dengan keluhan utama penurunan asupan
makanan dan sesak napas. Berdasarkan skrining gizi pada tanggal 3 Februari
2013, kasus 3 termasuk dalam pemantauan TTG, karena asupan makanan yang
tidak adekuat selama satu minggu.
Riwayat perjalanan penyakit diawali dengan keluhan utama penurunan
asupan sejak satu minggu SMRS. Menurut pengakuan anak pasien, sebelum
terjadi penurunan asupan, pasien terlihat lebih banyak diam dan tidur. Kalau
ditanya dan diajak berbicara, pasien marah-marah. Kadang-kadang terdengar
batuk dari dalam kamar pasien. Empat hari SMRS, pasien mengeluh sesak napas
dan batuk yang disertai dengan lendir yang banyak dan sulit dikeluarkan. Tidak
ada batuk darah, dan keringat pada malam hari. Pasien tidak bisa tidur berbaring
karena sesak, dan merasa lebih nyaman bila duduk dengan posisi tegak. Pasien
juga mengeluh mual, muntah, dan tidak BAB selama tiga hari. Asupan makanan
menurun selama satu minggu, karena sesak, tidak ada selera makan, dan tidak
BAB. pasien hanya menghabiskan ¼ sampai dengan ½ porsi. Bila tidak makan
nasi, pasien lebih senang untuk minum teh manis atau kopi susu.
Berdasarkan data rekam medik, pasien telah didiagnosis dokter sebagai
penderita PPOK (1995), dan hipertensi (2012). Riwayat DM, dan gangguan fungsi
ginjal disangkal. Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak tiga bungkus per-
hari, tetapi telah berhenti sejak dua tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan objektif, tampak sakit sedang, lemah, dengan kesadaran
kompos mentis. Tanda vital menunjukkan tekanan darah 190/90 mmHg, frekuensi
nadi 98x/menit, respirasi 29x/menit, dan suhu 38ºC. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan: konjungtiva tidak anemis, gigi geligi tidak ada, penggunaan otot
bantu pernapasan, terdapat ronki dan wheezing pada kedua lapangan paru.
Pemeriksaan pada bagian tubuh lain, dalam batas normal. Kapasitas fungsional
terbatas karena kondisi sesak. Berdasarkan indeks barthel, kapasitas fungsional
termasuk ketergantungan sedang. Pemeriksaan laboratorium hari pertama
menunjukkan leukositosis (leukosit : 15.700/uL), peningkatan laju endap darah
(79 mm/jam), hiponatremi (129 mmol/l), dislipidemia [kolestrol total : 266
Universitas Indonesia
mg/dL, low density lipoprotein (LDL) : 175 mg/dL], dan hiperglikemia [gula
darah sewaktu (GDS) : 171 mg/dL], HbA1C : 6,20%. Fungsi hati dan fungsi ginjal
dalam batas normal. Pemeriksaan AGD hari kedua perawatan memperlihatkan
asidosis respiratorik. Pada rontgen torak didapatkan adanya kesuraman di
parakardial kiri (bronkopneumonia), kesan bronkitis kronis. Sedangkan pada
pemeriksaan mikrobiologi, tidak ditemui kuman BTA.
Pada pemeriksaan antropometri: PB pasien 165 cm, LLA : 28 cm, BBP 69
kg, berat badan ideal (BBI): 65 kg, dan IMT perkiraan 25,5 kg/m2. Berdasarkan
data antropometri tersebut, status gizi pasien tergolong obes 1. Berat badan enam
bulan sebelumnya sebesar 73 kg. Fungsi saluran cerna dalam batas normal.
Imbang cairan positif +150 mL, dengan diuresis 0,5 mL/kgBB/jam.
Asupan makanan dan selera makan pasien sebelum sakit baik. Selama
sakit, asupan makanan menurun dari biasanya. Analisis asupan makanan pasien
sebelum sakit dan setelah sakit, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 3.3.1 Analisis asupan sebelum sakit dan selama sakit (kasus 3)
Asupan kalori sebelum eksaserbasi sebesar 1650 kkal, dengan komposisi
protein 50 gram (12%), lemak 42 gram (22,9%), karbohidrat 268 gram (65%), dan
serat 18 gram. Namun, satu minggu SMRS asupan menurun menjadi 700 kkal,
dengan komposisi protein 20 gram (11,4%), lemak 17 gram (21,8%), karbohidrat
Universitas Indonesia
116 gram (66%), dan serat 7 gram. Pada 24 jam SMRS, asupan energi hanya 200
kkal, dengan komposisi protein 5 gram (10%), lemak 4 gram (18%), karbohidrat
36 (72%), dan serat 1 gram.
Analisis asupan di atas menunjukkkan bahwa asupan energi sebelum
timbul eksaserbasi masih termasuk cukup, tetapi komposisi makronutrien tidak
seimbang, begitu juga asupan serat. Asupan karbohidrat cukup besar, dan ternyata
lebih banyak berasal dari karbohidrat sederhana. Menurut pengakuan anak pasien,
asupan makanan sebelum sakit lebih besar dari 1650 kkal. Sebelum sakit, selain
rokok pasien sering minum kopi susu sachet, empat sampai lima sachet/hari, dan
juga teh manis. Kebiasaan ini tidak berhenti, walaupun dalam kondisi sakit. Satu
minggu SMRS asupan makanan pasien menurun karena pasien tidak mau makan,
sesak, dan tidak BAB. Asupan serat baik sebelum eksaserbasi maupun selama
sakit tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga pasien mengalami konstipasi.
Analisis asupan pasien 24 jam terakhir hanya 200 kkal, protein 5 gram, lemak 4
gram, dan karbohidrat 36 gram.
Terapi yang diterima pasien : oksigen 3 l/menit, NaCl 0,9%(1), NaCl 3%
(1), nebulizer 3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Seretide 500 2x1, OBH 3x15 mL,
amlodipin 1x10 mg, alprazolam 0,5 mg, euphylin R 2x1, lasix 1x1.
Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut,
hipertensi derajat 2, dislipidemia, obes 1, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hiperglikemi), hiponatremia, dan asidosis respiratorik.
Selama perawatan di rumah sakit, target KEB adalah 1217 kkal, dan KET
1825 kkal (FS : 1,5). Komposisi makronutrien adalah sebagai berikut: protein 1,4
g/kg/hari (91 gram), sebanyak 19%, dengan N : NPC=1:100; dan lemak : 30 %
(60 gram). Karbohidrat 230 gram (50%), terdiri dari karbohidrat kompleks, dan
serat 14 gram/1000 kkal (diberikan bertahap). Kebutuhan cairan 30 ml/kg/hari.
Natrium diberikan 2000 mg atau setara dengan 5 gram garam.
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi
dimulai dari 80% basal (973 kkal, protein 48,5 gram, lemak 31 gram, dan
karbohidrat 125 gram. Cara pemberian nutrisi melalui oral, dalam bentuk bubur
lauk cincang, rendah kolesterol, dan makanan cair. Frekuensi pemberian nutrisi
adalah tiga kali bubur lauk cincang (600 kkal) dan 3x150 mL makanan cair (450
Universitas Indonesia
kkal). Makanan lunak maupun makanan cair yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi hiperglikemi pasien.
Selain komposisi makronutrien, beberapa mikronutrien yang perlu
diterima pasien ini adalah vitamin B kompleks, C, E, D, kalsium, dan omega 3.
Namun, pada pasien ini tidak diberikan suplementasi mikronutrien, karena
kebutuhan mikronutrien terlebih dahulu dimaksimalkan dari bahan makanan
sumber.
Monitoring dan evaluasi dilakukan setiap hari, mencakup kondisi klinis,
tanda vital, analisis dan toleransi asupan, kapasitas fungsional, serta imbang
cairan. Pemeriksaan laboratorium mencakup kadar gula darah harian (KGDH),
analisis gas darah, dan elektrolit. Pemberian nutrisi ditingkatkan 10%-20% dari
asupan terakhir setiap satu sampai dua hari, sampai mencapai kebutuhan kalori
total. Hasil pemantauan dapat dilihat pada grafik 3.4.2 sampai dengan 3.4.6.
Pada gambar 3.3.2 diperlihatkan grafik status hemodinamik dari pasien.
Dari gambar menunjukkan, selama perawatan, kesadaran pasien kompos mentis,
hemodinamik pasien berangsur membaik (stabil) sampai akhir perawatan.
Diastol
Suhu (° C)
Respirasi (x/menit)
Universitas Indonesia
penurunan asupan nutrisi, karena pasien ingin pulang dan bosan dengan makanan
rumah sakit. Emosi pasien sangat labil. Dalam pemberian nutrisi, makanan lunak
tetap disertai dengan makanan cair sejumlah 3x150 mL, agar memudahkan pasien
untuk mengonsumsi makanannya.
A. Asupan energi
B. Asupan makronutrien
Gambar 3.3.3 Analisis asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat (kasus 3)
Selama pemantauan, pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien,
baik dalam bentuk, maupun jumlah, agar terjadi peningkatan asupan setiap
harinya. Pada hari terakhir pemantauan asupan kalori telah mencapai kebutuhan
kalori basal, tetapi belum mencapai kebutuhan kalori total. Asupan protein selama
Universitas Indonesia
Keterangan :
20 : mandiri. 12-19: ketergantungan ringan. 9-11 : ketergantungan sedang
Gambar 3.3.4 Grafik kapasitas fungsional berdasarkan indeks Barthel
(kasus 3)
Pada gambar 3.3.5, diperlihatkan persentase energi yang dapat diasup
pasien terhadap KEB dan KET. Begitu juga persentase asupan protein, lemak, dan
karbohidrat terhadap energi yang telah dicapai pasien setiap harinya. Dari grafik
tersebut tampak adanya perbaikan asupan energi dan komposisi makronutrien.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.4. Kasus 4
Seorang pasien, dengan identitas Tn. LAP, usia 67 tahun, masuk RSSW pada
tanggal 2 April 2013. Pasien masuk dengan keluhan utama demam dan sesak
napas. Berdasarkan skrining gizi pada tanggal 2 April 2013, pasien termasuk
dalam pemantauan TTG, karena asupan makanan yang tidak adekuat selama satu
minggu, penurunan BB sebanyak 6% dalam 4 bulan, dan adanya penyakit dengan
stres metabolik.
Riwayat perjalanan penyakit diawali dengan keluhan utama demam dan
sesak napas. Demam dialami sejak tiga hari SMRS. Sedangkan sesak yang
disertai batuk dengan lendir yang banyak, bertambah berat sejak satu minggu
terakhir. Sesak napas dialami pada waktu duduk, maupun berjalan. Pasien tidak
bisa berbaring (karena sesak), oleh karena itu pasien merasa lebih nyaman bila
duduk dengan posisi tegak. Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri di punggung
dan sulit tidur. Asupan makanan menurun sejak satu minggu terakhir, karena
sesak yang bertambah berat, mual, demam, dan konstipasi. Saat diperiksa, pasien
masih sesak, dan tidak bab selama empat hari.
Berdasarkan data rekam medik, sebelumnya pasien telah didiagnosis
dokter sebagai penderita PPOK sejak tahun 2003, tuberkulosis paru (2010), tetapi
telah sembuh, dislipidemi (2010), dan hernia nukleus pulposus (HNP) pada tahun
2012. Selama tiga bulan terakhir, pasien dirawat di rumah dengan fasilitas long
term oxygen therapy (LTOT). Riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus tipe 2
(DM tipe 2), gangguan hati dan gangguan ginjal disangkal oleh pasien. Pasien
memiliki kebiasaan merokok sebanyak tiga bungkus/hari, tetapi telah berhenti
sejak satu tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan objektif, tampak sakit sedang, lemah, dengan kesadaran
kompos mentis, terkesan depresi dan cemas. Tanda vital menunjukkan tekanan
darah 150/90 mmHg, frekuensi nadi 118x/menit, respirasi 30x/menit, dan suhu
38ºC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: konjugtiva anemi, pursed-lips
breathing, iga gambang, barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan,
pelebaran sela iga, dan ronki paru. Bagian tubuh lain dalam batas normal.
Kapasitas fungsional terbatas karena kondisi sesak. Berdasarkan indeks barthel,
kapasitas fungsional termasuk ketergantungan berat.
Universitas Indonesia
Gambar 3.4.1 Analisis asupan sebelum sakit dan setelah sakit (kasus 3)
Asupan kalori sebelum sakit sebesar 1450 kkal, dengan komposisi protein 49
gram (13,5%), lemak 40 gram (24%), dan karbohidrat 223 gram (60%), serta serat
Universitas Indonesia
18 gram. Satu minggu SMRS asupan menurun menjadi 500 kkal, dengan
komposisi protein 16 gram (12,8%), lemak 13 gram (23%), dan karbohidrat 80
gram (64%), serta serat 5 gram.
Analisis asupan diatas menunjukkkan bahwa komposisi makronutrien
sebelum eksaserbasi akut dan selama sakit (satu minggu SMRS) tidak sesuai
dengan kondisi penyakit pasien. Asupan yang menurun selama sakit disebabkan
karena sesak dan nyeri pada punggung. Sebelum dilakukan pemeriksaan TTG (24
jam terakhir), analisis asupan pasien sebesar 800 kkal, protein 30 gram (15%),
lemak 22 gram (24%), dan karbohidrat 120 gram (60%).
Terapi yang diterima oleh pasien adalah oksigen 3 l/menit, infus RL (1
kolf), nebulizer 3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Cefotaxime 3x1 g, amlodipin
1x10 mg, alprazolam 1x0,5 mg, Esilgan 1x1 (malam), Zolmia 1x1, OBH 3x15
mL, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 1 ampul/hari, dexametason 1 ampul/hari,
Remopain 2 ampul/hari, parasetamol (kalau perlu).
Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut,
pneumonia, hipertensi derajat 1, spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan
neurosis (cemas, depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme sedang,
dan asidosis respiratorik.
Selama perawatan di rumah sakit, target KEB adalah 936 kkal, dan KET
1400 kkal, dengan komposisi makronutrien, yaitu protein 1,7 g/kg/hari (65 gram),
sejumlah 18% KET, dengan N : NPC =1:100. Lemak sebanyak 30% KET (46,7
gram). Karbohidrat 181 gram (52% KET), terdiri dari karbohidrat kompleks, dan
serat 14 gram/1000 kkal/hari (diberikan bertahap). Natrium diberikan 2000 mg
atau setara dengan 5 gram garam. Kebutuhan cairan 30 ml/kg/hari.
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi
dimulai dari basal (936 kkal, protein 43 gram, lemak 31 gram, dan karbohidrat
121 gram). Cara pemberian nutrisi melalui oral, dalam bentuk bubur lauk cincang
dan ekstra makanan cair. Frekuensi pemberian nutrisi adalah 3x200 ml makanan
cair (600 kkal), dan tiga kali bubur lauk cincang (600 kkal). Makanan cair 1x200
mL berasal dari susu tinggi kalsium (milik pasien), dan 2x200 berasal dari rumah
sakit. Makanan cair diharapkan habis 100%, sedangkan bubur diharapkan habis
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
A. Asupan energi
Universitas Indonesia
Keterangan :
20: mandiri. 12-19: ketergantungan ringan. 9-11: ketergantungan sedang.
5-8 : ketergantungan berat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pasien meningkat, dan kapasitas fungsional membaik juga. Setiap hari diberikan
edukasi dan motivasi kepada pasien agar menghabiskan makanannya secara
bertahap. Begitu juga kepada anggota keluarga pasien, disarankan agar selalu
menemani pasien bila makan, sehingga pasien memiliki motivasi untuk
menghabiskan makanannya. Saran ini dapat dilaksanakan oleh keluarga pasien,
sehingga pada hari ketujuh perawatan rerata asupan telah mencapai 85% dari
rencana nutrisi awal.
Pasien dirawat hanya seminggu, dan pulang pada tanggal 9 April 2013.
Saat pulang, demam sudah tidak ada, sesak berkurang, dan pasien sudah bisa
BAB. Pasien pulang masih dengan fasilitas oksigen. Selain itu, kepada pasien dan
keluarga, diberikan edukasi nutrisi selama perawatan di rumah, yang mencakup
kebutuhan energi, komposisi makronutrien dan mikronutrien, dan daftar contoh
menu (lampiran 10).
Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) mer upakan penyakit yang ditandai oleh
adanya keterbatasan jalan napas yang irreversibel atau reversibel parsial.
Gangguan ini bersifat progresif yang disebabkan inflamasi kronik, dan dapat
menimbulkan gangguan pada sistem pernapasan maupun komplikasi ekstra
pulmoner (sistemik).3,5
Serial kasus ini menyajikan data tentang PPOK yang telah mengalami
berbagai komplikasi, disertai adanya penyakit penyerta. Karakteristik dasar dari
keempat kasus ini adalah : usila, mengalami eksaserbasi akut, terdapat
komplikasi, adanya faktor komorbid, dan malnutrisi (underweight atau obesitas).
Pembahasan akan diuraikan dengan membandingkan keempat kasus berdasarkan
beberapa faktor yaitu faktor klinis penyakit PPOK, dukungan nutrisi, serta
prognosis.
Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan
dan penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko PPOK
dalam banyak hal masih belum lengkap, masih diperlukan banyak pengetahuan
tambahan tentang interaksi dan hubungan antara faktor-faktor risiko tersebut
sehingga diperlukan investigasi lebih lanjut.3,5
Keempat pasien memiliki faktor risiko yang sama, yaitu rokok (tabel 4.1).
Kebiasaan merokok merupakan penyebab terpenting dibandingkan faktor
penyebab lain.3,5 Di negara industri, rokok merupakan faktor risiko terbesar.
Sebanyak 50% perokok kronis akan berkembang menjadi PPOK. Sedangkan di
negara lain, polusi udara merupakan faktor risiko terbesar. 84 Asap rokok
mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang
bermakna dibandingkan dengan bukan perokok. Risiko terjadinya PPOK pada
perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah
batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks Brinkman). 3 Derajat berat
merokok dapat dilihat melalui indeks Brinkman (IB).3 Bila berdasarkan indeks
Universitas Indonesia
68
Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013
69
tersebut, maka keempat pasien termasuk dalam kategori risiko berat, yaitu rerata
banyaknya rokok yang dihisap pertahun adalah lebih dari 600 batang.
Tabel 4.1 Faktor risiko
FAKTOR Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
RISIKO
Rokok + + + +
Jumlah rokok
32-40 32-40 25-30 40-44
/hari (batang)
Polusi ++ ++ + +
Lama merokok
50 35 59 49
(tahun)
Masalah sosial
+ ++ - -
ekonomi
Keterangan : (+) : memiliki faktor risiko tertentu, (++): sangat memiliki faktor risiko tertentu,
(-): tidak memiliki faktor risiko
Fungsi paru mencapai puncak pada usia 25 tahun. Pada usia 60 tahun,
fungsi paru pada bukan perokok masih optimal, sedangkan kelompok perokok
telah kehilangan fungsi paru sebanyak 50%. Kelompok perokok yang berhenti
merokok pada usia 45 tahun, masih memiliki fungsi paru sebanyak 75%.75 Pada
usia 60 tahun, fungsi paru pasien kasus pertama, ketiga, dan keempat sudah tidak
optimal. Sedangkan penurunan fungsi paru pasien kasus kedua terjadi pada usia
yang lebih muda, yaitu 52 tahun.
Selain rokok, keempat pasien juga memiliki faktor risiko lain yang
memperberat kondisi inflamasi yang sudah ada. Berbagai macam polusi udara
yang disebabkan oleh partikel dan gas dapat menjadi sumber faktor risiko.3 Pada
kasus pertama, selain rokok, pasien juga sering terpapar oleh asap pembakaran
sampah. Hal ini berlangsung hampir setiap hari selama delapan tahun sebelum
berhenti merokok. Pasien kedua, selain rokok, juga terpapar setiap hari oleh polusi
di tempat kerja. Sedangkan faktor risiko lain pada pasien ketiga dan keempat
adalah polusi udara bila keluar rumah. Faktor sosial ekonomi yang rendah
sehubungan dengan pemukiman padat dan nutrisi yang jelek, juga memperberat
risiko terjadinya PPOK pada kasus kedua. Keempat pasien ini, walaupun telah
didiagnosis PPOK oleh dokter, tetapi kebiasaan merokok tetap berjalan, sehingga
faktor inflamasi dari rokok semakin bertambah. Walaupun kebiasaan merokok
telah berhenti, proses inflamasi masih dapat berlangsung. 3,5
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pemeriksaan darah
Hemoglobin (g/dL) 10,9 Normal Normal 11,6
Leukosit (/uL) Normal Normal 15.700 25.000
Trombosit Normal Normal Normal Normal
Analisa gas darah Asidosis Asidosis Asidosis Asidosis
respiratorik respiratorik respiratorik respiratorik
Albumin (g/dL) 2,7 ↓ 2,6 ↓ Normal Normal
SGOT/SGPT Normal 71 ↑ / 120 ↑ Normal Normal
Fungsi ginjal Normal Normal Normal Normal
KGD (mg/dL) Normal Normal 171 ↑ Normal
HbA1C (%) Normal Normal 6,20 ↑ Normal
Riwayat
Profil lemak - - Dislipidemia
dislipidemia
Tuberkulosis
Emfisema,
Rontgen torak Emfisema paru, Bronkopneumoni
bronkokiektasis
pneumoni
Pemeriksaan BTA - + - -
Elektrolit
129 ↓
Natrium (mEq/L) 133 ↓
Nomal Normal Normal
Klorida (Cl) 95 ↓
Normal
Kalsium (Ca ion) 1,13 ↓
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dengan nasal kanul 1-2 l/menit. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila pasien tidur. Terapi oksigen pada
waktu aktivitas (termasuk makan) bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktivitas.3 Pemberian terapi LTOT ini berhubungan
dengan kemampuan pasien dalam membeli dan menyediakan tabung oksigen.
Pada umumnya pasien PPOK sering masuk dan dirawat di rumah sakit
dalam keadaan eksaserbasi akut. Kondisi PPOK menyebabkan pasien kehilangan
berat badan, sehingga terjadi penurunan status gizi, yang pada akhirnya mudah
mencetuskan eksaserbasi akut. Berdasarkan penelitian ternyata terdapat korelasi
kuat antara malnutrisi dengan penurunan fungsi paru sehingga menimbulkan
eksaserbasi akut.74
Kurang gizi (underweight) yang sering terjadi pada PPOK, adalah karena
adanya peningkatan kebutuhan energi yang diperlukan tubuh untuk kerja otot-otot
pernapasan yang meningkat. Peningkatan kerja otot-otot pernapasan ini
disebabkan kondisi hipoksemia kronik dan hiperkapnia, yang akan menyebabkan
hipermetabolisme. Kondisi underweight akan meningkatkan angka mortalitas
PPOK karena berkorelasi kuat dengan penurunan fungsi paru.7,9 Oleh karena itu,
penting melakukan skrining gizi untuk mengetahui status gizi pasien PPOK dan
intervensi nutrisi selanjutnya.
Skrining gizi pada semua pasien dilakukan dengan memakai format
skrining yang berlaku di RSSW. Status gizi ditentukan berdasarkan IMT dan
disesuaikan dengan kriteria Asia Pasifik.5,73 Selain itu, penentuan status gizi juga
ditentukan melalui LLA, untuk mengkonfirmasikan BB, karena adanya
ketidakakuratan dalam pengukuran akibat pasien mengalami edema. Penentuan
status gizi dilakukan untuk menentukan faktor risiko pada pasien PPOK dan
diagnosis kerja gizi untuk menentukan langkah intervensi nutrisi berikutnya.
Tabel 4.7 berikut ini memperlihatkan hasil skrining gizi dan status gizi dari
keempat pasien.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sehingga mereka bekerja sama dalam menyediakan dana untuk semua kebutuhan
pasien sehari-hari, termasuk untuk makanan pasien. Begitu juga istri pasien
perduli dalam menyediakan makanan dan keperluan sehari-hari. Kasus ketiga
tidak memiliki istri lagi, dan tinggal bersama anak-anaknya. Kehidupan
perekonomian kasus ketiga lebih baik dari kasus pertama dan kedua. Diantara
semua anaknya, hanya satu orang yang perduli dengan kesehatan pasien. Tetapi
anak tersebut bertempat tinggal di luar kota, hanya seminggu sekali mengunjungi
pasien, sehingga asupan makanan pasien sehari-hari kurang adekuat. Sedangkan
kehidupan perekonomiannya kasus keempat cukup baik, serta istri dan anak-anak
pasien perduli dengan kondisi kesehatan dan asupan makanatn pasien. Sehingga
selama perawatan di rumah sakit, perbaikan asupan makanan kasus keempat lebih
baik dari kasus yang lain.
Asupan makanan dan selera makan setiap pasien sebelum sakit baik.
Namun setelah menderita penyakit tersebut terjadi penurunan asupan makanan
secara bertahap. Berdasarkan analisis asupan menunjukkan bahwa rerata asupan
energi dan komposisi makronutrien sebelum sakit masih seimbang. Namun sejak
didiagnosis PPOK, asupan makanan berkurang, dan semakin menurun bila timbul
eksaserbasi akut. Begitu juga komposisi makronutrien menjadi tidak seimbang.
Penurunan asupan sejak didiagnosis PPOK, disebabkan sesak, rasa begah bila
makan banyak, dan cepat kenyang. Hal ini karena berdasarkan foto torak, tampak
posisi diafragma yang rendah dan cenderung mendatar, sehingga mengurangi
kapasitas lambung. Selain itu inflamasi kronik pada PPOK meningkatkan sitokin-
sitokin proinflamasi (TNF-, IL-1, dan IL-6) yang dapat mempengaruhi selera
makan.80
Pada PPOK terjadi hipermetabolisme dan peningkatan inflamasi sistemik
yang diketahui dari peningkatan TNF-α. Mempertahankan keseimbangan energi
yang optimal pada PPOK penting dilakukan untuk menjaga berat badan, massa
bebas lemak, dan kondisi tubuh yang baik. Fungsi otot pernapasan dipengaruhi
oleh status nutrisi dan berhubungan erat dengan berat badan dan massa bebas
lemak. Karena itu, pasien PPOK harus mendapatkan asupan kalori dan protein
yang cukup, untuk mempertahankan berat badan, massa bebas lemak, dan status
Universitas Indonesia
nutrisi yang adekuat.7 Walaupun asupan nutrisi pasien baik, namun kehilangan
berat badan tetap terjadi karena peningkatan REE.
Kebutuhan kalori basal pasien ditentukan berdasarkan formula Harris
benedict, kemudian dikalikan faktor stres untuk mendapatkan kebutuhan total.
Tabel 4.9 berikut ini memperlihatkan kebutuhan energi dan makronutrien keempat
pasien.
Semua pasien pada serial kasus ini termasuk malnutrisi dengan variasi
yang berbeda. Pasien kasus pertama, kedua, dan keempat termasuk underweight,
sedangkan pasien kasus ketiga termasuk obesitas. Kondisi ini tentu saja
mempengaruhi kebutuhan kalori basal. Pasien yang malnutrisi karena
underweight, kebutuhan kalori basalnya tidak melebihi 1000 kkal, sedangkan
pasien yang obesitas, kebutuhan basalnya lebih besar. Kebutuhan basal ditentukan
dengan memakai formula Harris Benedict berdasarkan BB koreksi (kasus 1), BB
aktual (kasus 2), BB ideal (kasus 3), dan BB perkiraan yang berasal dari
pengukuran lingkar lengan atas (LLA) untuk kasus keempat. Kebutuhan total
diperoleh dari perkalian kebutuhan basal dengan stres faktor 1,5. Semua pasien
memakai stres faktor 1,5 karena dalam kondisi eksaserbasi akut.
Pemakaian formula Harris Benedict untuk menentukan kebutuhan basal
karena formula tersebut memperhatikan faktor usia, BB, dan TB/PB sehingga
hasilnya lebih individual. Untuk mencegah terjadinya overfeeding, nutrisi
diberikan secara bertahap, disesuaikan dengan kondisi klinis pasien dan hasil
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
terutama pada waktu makan. Selain itu, dalam pemberian lemak memperhatikan
juga komposisi dari saturated fatty acid (SAFA), Monounsaturated fatty acid
(MUFA), dan polyunsaturated fatty acid (PUFA). Komposisi lemak tersebut yaitu
SAFA < 7%, PUFA 10%, MUFA 13%. Selama perawatan, asupan lemak belum
mencapai 30%, tetapi rerata asupan lemak selama perawatan lebih dari 25%, dan
pada hari terakhir perawatan telah mencapai 28% dari kebutuhan total. Sumber
lemak berasal dari makanan cair, minyak sayur, minyak kanola, ikan, dan alpukat.
Karbohidrat diberikan sebanyak 50-60%, terdiri dari karbohidrat simpleks
dan kompleks, serta serat 14 gram/1000 kkal/hari. Karbohidrat simpleks diberikan
untuk memudahkan pasien dalam memperoleh energi, tetapi jumlahnya lebih
sedikit dari karbohidrat kompleks. Pemberian karbohidrat kompleks dan serat
ditujukan agar pasien bisa BAB secara teratur, sehingga mengurangi rasa begah di
perut. Khusus untuk pasien kasus ketiga, pemberian karbohidrat kompleks
bertujuan untuk menurunkan hiperglikemi. Serat diberikan secara bertahap, dan
tidak melebihi 14 gram/1000 kkal/hari, karena pemberian serat berlebihan akan
mengurangi absorpsi kalsium. Selama perawatan di rumah sakit, kasus pertama
dan kasus kedua tidak bermasalah dalam hal BAB. Sedangkan kasus ketiga dan
keempat sebelum masuk rumah sakit mengalami konstipasi, tetapi pada perawatan
hari kedua ketiga, keduanya sudah bisa BAB. Kelancaran dalam hal BAB,
membantu meningkatkan asupan nutrisi.
Selama perawatan di rumah sakit, asupan makanan keempat pasien
meningkat perlahan. Pemberian nutrisi awal pada semua pasien, direncanakan
dalam bentuk cair, karena memudahkan pasien dalam mengkonsumsinya
sehubungan pasien dalam kondisi sesak. Pemberian makanan cair disesuaikan
dengan kebutuhan cairan pasien, dan restriksi cairan seperti pada kasus pertama.
Setelah kondisi klinis pasien mengalami perbaikan, nutrisi ditingkatkan perlahan
baik jumlah maupun bentuknya. Peralihan asupan dari cair ke padat serta
peningkatan asupan paling baik terjadi pada kasus keempat. Walaupun kondisi
psikis pasien kasus keempat tidak sebaik pasien yang lain, tetapi dukungan
keluarga, terutama istri pasien, sangat membantu peningkatan asupan nutrisi
pasien. Istri pasien cukup terampil dalam menenangkan pasien, dan membujuk
pasien agar menghabiskan makanannya. Bila tiba waktu makan, pasien selalu
Universitas Indonesia
dikelilingi oleh anak-anaknya dan istri pasien. Pasien makan dengan dibantu istri,
sedangkan istri dan anak-anak pasien turut makan juga. Sambil makan, oksigen
tetap terpasang.
Secara umum pasien PPOK membutuhkan asupan vitamin mineral yang
juga berfungsi sebagai antioksidan. Pada serial kasus ini, keempat pasien
mendapat vitamin mineral yang bervariasi. Kasus pertama dan kedua hanya
mendapakan vitamin B kompleks dan vitamin C, karena kendala biaya. Asupan
mikronutrien lain didapat pasien dengan memaksimalkan asupan makanan yang
telah direncanakan. Sampai hari terakhir perawatan, asupan telah mencapai 90%,
dengan rerata komposisi makronutrien seimbang. Sehingga hal ini memungkinkan
tercukupinya mikronutrien. Selain makanan dari rumah sakit, pasien juga
membawa makanan dari rumah, seperti ikan, putih telur, dan buah-buahan (bentuk
jus atau potongan buah). Sedangkan kasus keempat mendapat mikronutrien sesuai
dosis RDA, ditambah mikronutrien dari asupan makanan.
Nutrien spesifik yang disarankan adalah omega 3. Sumber omega 3 untuk
keempat pasien berasal dari bahan makanan sumber, antara lain ikan (dari rumah
sakit maupun dari pasien), telur, dan minyak kanola. Kandungan omega 3 dalam
sebutir telur (60 gram) adalah minimal 300 mg/butir, dan 50% berupa EPA.61
Pembatasan cairan dilakukan hanya pada kasus pertama, sehubungan
dengan gagal jantung kongestif dan edema tungkai. Selain itu, diberikan juga
diuretik untuk mengurangi kongesti paru dan udema perifer sehingga dapat
mengurangi beban jantung kanan. Walaupun demikian, karena sebagian besar
pasien tergolong lansia, maka kebutuhan cairan tetap diperhatikan sesuai dengan
kebutuhan untuk lansia. Begitu juga dengan kasus kedua, selama perawatan di
rumah sakit, keseimbangan cairan diusahakan negatif atau nol, karena pasien telah
didiagnosis DPJP dengan kor pulmonal, walaupun secara klinis belum terdapat
edema. Tanda-tanda dehidrasi pada setiap pasien, tidak ditemui selama perawatan.
Restriksi natrium dilakukan pada kasus pertama dan ketiga, yaitu sebesar
2000 mg atau setara dengan 5 gram garam. 7,26,64 Restriksi natrium dilakukan
sehubungan dengan edema (kasus 1) dan adanya hipertensi (kasus 1 dan kasus 3).
Selama perawatan, nutrisi diberikan dalam porsi kecil namun sering,
bentuk cair dan makanan padat yang lunak (dengan lauk cincang), serta diberikan
Universitas Indonesia
secara oral. Pemberian makanan cair ditujukan agar pasien mudah mengkonsumsi
makanan, sehubungan dengan adanya sesak. Sedangkan pemberian makanan
lunak dan lauk cincang selain karena sesak, juga karena gigi geligi yang tidak
lengkap. Gabungan pemberian makanan cair dan makanan lunak terutama
diberikan pada kasus pertama dan kedua. Pemberian makanan cair pada kasus
ketiga dan keempat tidak lama, sehingga pada kedua pasien ini, pemberian
makanan cair cepat berubah menjadi makanan padat yang lunak.
Selama perawatan, telah dilakukan beberapa hal untuk meningkatkan
asupan nutrisi pasien pantauan, yaitu :
- Makanan cair diberikan dengan warna yang bervariasi, agar pasien tidak
bosan.
- Menyarankan kepada pasien agar memakai pipet dalam mengonsumsi
makanan cair, serta meminumnya perlahan dan bertahap.
- Mengkomunikasikan kepada DPJP tentang perkembangan pasien
- Dilakukan fisioterapi pada semua pasien, agar sputum mudah dikeluarkan,
sehingga sewaktu makan tidak terganggu dengan adanya sputum
- Oksigen tetap diberikan bila pasien makan, agar pasien tidak cepat lelah,
dan tidak sesak
- Memberikan edukasi dan motivasi kepada pasien dan keluarga, agar
pasien mau menghabiskan makanan
- Mengetahui apa yang menjadi keinginan/cita-cita pasien dalam menjalani
masa tuanya. Hal ini penting diketahui agar menjadi tujuan kesehatan
pasien, sehingga pasien lebih termotivasi untuk sehat.
- Menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan pasien dan
keluarga, agar edukasi dan motivasi yang diberikan dapat diterima dengan
baik.
- Mengetahui dan menjalin hubungan yang baik dengan anggota keluarga
yang paling dekat dengan pasien, agar dapat membujuk pasien bila terjadi
penurunan asupan atau timbul kebosanan.
- Menjalin komunikasi yang baik dengan perawat ruangan dan dietisien
ruangan sehingga keluhan pasien yang berhubungan dengan makanan
dapat cepat diketahui dan diselesaikan
Universitas Indonesia
Edukasi diberikan kepada pasien dan keluarga pasien, selama perawatan, dan juga
pada waktu pasien akan pulang ke rumah. Untuk pasien pertama dan kedua,
edukasi juga diberikan di rumah pasien, karena pada kedua pasien ini (kasus 1 dan
kasus 2) telah dilakukan kunjungan rumah. Beberapa edukasi yang telah diberikan
yaitu :
- Pentingnya berhenti merokok untuk kesehatan pasien
- Pemahaman tentang kondisi penyakit pasien, agar keluarga memaklumi
keterbatasan pasien
- Menekankan pentingnya makanan sehat dalam jumlah yang adekuat untuk
pasien dalam mendukung penyembuhan pasien
- Memberikan pemahaman tentang konsekuensi dan pengaruhnya kepada
penyakit pasien bila asupan nutrisi tidak adekuat
- Memberikan semangat dan motivasi kepada pasien dalam menghabiskan
makanan, dan agar tidak terlalu memikirkan dan merasakan keadaan
anoreksia
- Pentingnya kontrol ke Dokter atau klinik/puskesmas terdekat setelah
keluar dari rumah sakit
- Memberikan contoh-contoh bahan makanan sumber yang baik dan sesuai
dengan kebutuhan pasien, serta sesuai dengan kemampuan ekonomi pasien
- Memberikan contoh cara pengolahan bahan makanan dan menu yang baik,
tetapi sesuai dengan kemampuan pasien.
Semua pasien pada serial kasus ini prognosisnya tidak dapat ditentukan
secara tepat, karena tidak didukung oleh adanya pemeriksaan fungsi paru
(spirometri, dan uji bronkodilator). Kriteria yang mungkin dapat dipakai untuk
memperkirakan prognosis adalah : jenis kelamin laki-laki, malnutrisi
(underweight atau overweight), adanya komplikasi kor pulmonal, rokok (lama dan
jumlah), dan frekuensi eksaserbasi akut.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 K E S I M P U L A N
1. Semua pasien yang terdapat pada serial kasus ini, memiliki faktor risiko
yang sama untuk terjadinya PPOK, yaitu rokok. Berdasarkan indeks
Brinkman, semua pasien termasuk risiko berat.
2. Selain rokok, semua pasien memiliki faktor risiko lain serta faktor
komorbid yang berbeda, yang dapat memperberat kondisi inflamasi yang
telah ada.
3. Rerata pencapaian asupan energi sampai hari terakhir pemantauan sebesar
90% (2 pasien), 85% (1 pasien), dan 70% (1 pasien).
4. Kebutuhan protein yang diberikan sebesar 1,2-1,7 gram/kgBB/hari.
Pencapaian asupan protein sampai hari terakhir adalah : pasien yang
dipantau selama 10 hari, telah mencapai 95% dari rencana kebutuhan awal
(2 pasien), sedangkan pasien yang dipantau selama 5 hari mencapai 20%
dari rencana kebutuhan awal (2 pasien). Sumber protein utama : asam
amino rantai cabang, yang berasal dari bahan makanan putih telur, serta
tempe dan tahu.
5. Kebutuhan lemak maksimal 30% kebutuhan total. Pencapaian asupan
lemak sampai hari terakhir adalah : pasien yang dipantau selama 10 hari,
telah mencapai 90% dari rencana kebutuhan awal (2 pasien), dan pasien
yang dipantau selama 5 hari mencapai 20% dari rencana kebutuhan awal
(2 pasien). Sumber lemak : ikan, minyak kanola, dan minyak kelapa.
6. Kebutuhan karbohidrat 50-60% kebutuhan total. Pencapaian asupan
karbohidrat sampai hari terakhir adalah : pasien yang dipantau selama 10
hari, telah mencapai 90% dari rencana kebutuhan awal (2 pasien), dan
pasien yang dipantau selama 5 hari mencapai 60% dari rencana kebutuhan
awal (2 pasien). Sumber karbohidrat : karbohidrat kompleks dan simpleks.
7. Dua orang pasien mendapat mikronutrien B kompleks dan vitamin C, 1
orang mendapat mikronutrien dosis RDA, dan seorang lagi tidak mendapat
mikronutrien.
88 Universitas Indonesia
8. Semua pasien mendapat omega-3 dan AARC dari bahan makanan sumber
yang banyak mengandung kedua nutrien spesifik tersebut.
9. Bentuk dan jenis makanan yang diberikan adalah kombinasi makanan cair
dan makanan padat yang lunak (bubur, dan nasi tim), dan diberikan secara
peroral.
10. Semua pasien diberikan edukasi tentang penting memenuhi kebutuhan
nutrisi untuk mendukung terapi yang sedang dijalani, baik selama
perawatan di rumah sakit maupun pada saat akan pulang ke rumah.
11. Semua pasien diberikan fisioterapi dan disarankan untuk melanjutkannya
di rumah.
5.2 S A R A N
1. Skrining gizi penting dilakukan pada penderita PPOK, agar segera
terdeteksi yang berisiko malnutrisi.
2. Perlu dukungan nutrisi optimal pada penderita PPOK, walaupun belum
mengalami malnutrisi (underweight)
3. Program berhenti merokok merupakan hal penting dari pencegahan PPOK,
serta intervensi penting bagi pasien yang telah menderita PPOK.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang manfaat pemberian nutrisi
yang banyak mengandung asam amino rantai cabang.
5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang manfaat pemberian bahan
makanan yang banyak mengandung omega-3, suplementasi minyak ikan,
atau kapsul omega-3 pada pasien PPOK.
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
1. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Gobal strategy for
the diagnosis, management, and preventive of chronic obstruktive
pulmonary disease. Medical Communication Resources Inc. 2011
10. Roelinka B, Eva CC, Clarie A P M, et al. Optimizing oral nutritional drink
supplementation in patients with COPD. British Journal of Nutrition 2005;
93: 965-971.
11. Wilson LM. Anatomi dan fisiologi sistem pernapasan. Dalam : Price SA.,
Wilson LM. Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6,
2006. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Universitas Indonesia
12. Scanlon VC, Sanders T. The respiratory system. Essentials of anatomy and
physiology. 5th edition, p.348, 2007. FA. Davis Company.
13. American Thoracic Society guidelines. Standard for the Diagnosis and
Management of Patients with COPD.
15. Vijayan VK. Chronic obstructive pulmonary disease. Indian J Med Res
2013;137:251-269.
20. Fitriani F., Yunus F., Wiyono WH., Antariksa B. Penyakit Paru Obstruktif
Kronis sebagai Penyakit Sistemik. J Resp Indo 2008; 28(3): 55-59.
23. Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient
particulate matter. Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 61-7.
Universitas Indonesia
26. Mahan LK, Stump SE. Pulmonary diseases. Krause’s. Food, Nutrition, &
Diet Therapy. 11th edition
33. Guidelines for the diagnosis and treatment of COPD. 2nd ed, 2004. The
Japanese respiratory society.
34. Pia S, Gronberg AM, Hulthe´n L, et al. Energy and nutrient intake in
patients with COPD hospitalized owing to an acute exacerbation.
Scandinavian Journal of Nutrition 2005;49(3): 116-121
Universitas Indonesia
42. Nadeem A, Raj HG, Chabra SK. Effect of vitamin E supplementation with
standard treatment on oxidant-antioxidant status in chronic obstructive
pulmonary disease. Indian J Med Res 2008;128: 705-11.
43. Kirkil G, Muz MH. B group vitamin levels in patients with chronic
obstructive pulmonary disease and the relation between pulmonary
functions. Tur Toraks Der 2008;9:88-92.
44. Engelen MPKJ, Schols AMWJ. Altered amino acid metabolism in chronic
obstructive pulmonary disease: new therapeutic perspective ? Current
Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care 2003; 6:73-78.
45. Morrison WL, Gibson JNA, Scrimgeour C, Rennie MJ. Muscle wasting in
emphysema. Clin Sci 1988;75:415-420.
46. Schols AMWJ, Deutz NEP, Mostert R, Wouters EFM. Plasma amino acid
levels in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Monaldi
Arch Chest Med 1993;48: 546-548.
47. Pouw EM, Schols AMWJ, Deutz NEP, Wouters EFM. Plasma and muscle
amino acid levels in relation to resting energy expenditure and
inflammation in stable COPD. Am J Respir Crit Care Med 1998;158: 797-
801.
48. Schols AMWJ, Buurman WA, Staal, et al. Evidence for a relation between
metabolic derangements and increased levels of inflammatory mediators in
a subgroup of patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Thorax. 1996; 52: 819-824.
50. Hofford JM, Milakofsky L, Vogel WH, et al. The nutritional status in
advanced emphysema associated with chronic bronchitis: a study of amino
acid and catecholamine levels. Am Rev respire Dis 1990;141:902-908.
51. Engelen MPKJ, Rutten EPA, Carmen, Wouters EFM, Schols AMWJ,
Deutz NEP. Supplementation of soy protein with BCAA alters protein
Universitas Indonesia
53. Fulton AS, Hill AM, Williams MT, Howe PRC, Frith PA, Wood LG, et al.
Feasibility of omega-3 fatty acid supplementation as an adjunct therapy for
people with COPD : study protocol for a randomized controlled trial.
Fulton et al Trials 2013;14:107. BioMed Central Ltd.
54. Wall R, Ross RP, Fitzgerald GF, Stanton C. Fatty acids from fish: the anti-
inflammatory potential of long chain omega 3 fatty acids. Nutrition
reviews 2010; 68(5):280-289.
57. Shahar E, Boland LL, Folsom AR, Tockman M, McGovern PG, Eckfeldt
JH. DHA and smoking-related COPD. Am J Respir Crit Care Med.
1999;159: 1780-1785.
59. Kris-etherton, Griegera JA, Etherton TB. Dietary reference intakes for
DHA, EPA. Prostaglandins Leukot Essent Fatty Acids. 2009;81: 99-104.
61. Astawan M. Kuliah Ilmu Pangan, 2010. Staf Pengajar Dept. Ilmu &
Teknologi Pangan, IPB.
Universitas Indonesia
64. Whitney E, Rolfes SR. Water and the major mineral. In : Understanding
Nutrition. 12th ed. Belmont, Wadsworth ; 2011.h.384-385.
65. Feng JH, Michel B, Graham AM. Nutrition in cardiovascular disease: salt
in hypertension and heart failure. European Heart Journal 2011;32: 3073-
3080.
66. Anker SD, John M, Pedersen PU, Raguso, Cicoira, Dardai E, et al. ESPEN
Guidelines on Enteral Nutrition: Cardiology and Pulmonology. Clinical
Nutrition 2006;25: 311-318. European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism.
68. Gan WQ, Man P. Systemic effects and mortality in COPD. Medical
journal 2008;50(3): 148-151
70. Rabe KF, Hurd S, Anzueto A et al. "Global Strategy for the Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease:
GOLD Executive Summary". Am J Respir Crit Care Med 2007;176(6):
532-55.
73. Chizuru N. Appropriate body-mass index for Asian populations and its
implications for policy and intervention strategies. The lancet 2004;l: 363.
75. Fletcher CM, Peto R. The natural history of chronic airflow obstruction.
BMJ 1977; 1(6077): 1645-1648.
76. Carroll TP, O’Connor CA, Reeves EP, McElvaney NG. Alpha-1
antitrypsin deficiency-a genetic risk factor for COPD. Dalam : Chronic
Obstructive Pulmonary Disease-Current Consepts and Practice. 2012; 9.
Universitas Indonesia
80. Schols AMWJ, Wouters EFM. The Lung. Dalam : Gibney MJ., Elia M.,
Ljungqvist O, Dowsett J. Clinical Nutrition 2005; 238-245. The Nutrition
Society
81. John M, Hoering S, Doehner W, Okonko DD, Witt C, Anker SD. Anemia
and inflammation in COPD. Chest 2005; 127: 825-829
82. Newton LE, Morgan SL. Pulmonary disease. Dalam : Heimburger DC.,
Ard JD. Handbook of Clinical Nutrition. 4th ed. Alabama, Mosby Elsevier.
2006; 503-509.
84. Shavelle RM, Paculdo DR, Kush SJ, Mannino DM, Strauss DJ. Life
expectancy and years of life lost in COPD : Findings from the NHANES
III Follow-up study. International Journal of COPD 2009;4:137-148.
89. Pan L, Jia ZS, Chen L, Fu EQ, Li GY. Effect of anti-tuberculosis therapy
on liver function of pulmonary tuberculosis patients infected with hepatitis
B virus. World J Gastroenterol 2005;11(16):2518-2521.
Universitas Indonesia
92. Lavi S, Prasad A, Yang EH, Mathew V, Simari RD, Rihal CS. Smoking is
associated with epicardial coronary endothelial dysfunction and elevated
white blood cell count in patients with chest pain and early coronary artery
disease. Circulation 2007;115(20):2621-2627
94. Dourado VZ, Tanni SE, Vale SA, Faganello MM, Sanchez FF, Godoy I.
Systemic manifestations in COPD, rev. J Bras Pneumol 2006;32(2):161-
171
96. Schols A, Wouters EFM. The Lung. In : Gibney MJ, Ljungqvist O, Elia
M, Dowsett J. Clinical Nutrition 2005:238-245.
97. Gropper SS, Smith JL. Body composition, energy expenditure, and energy
balance. In : Advanced nutrition and human metabolism, 6th ed. 2013;h.
290.
Universitas Indonesia
S Sesak (+) , mual (+/-), nyeri ulu hati , BAB (+) Sesak (+) , mual (-), nyeri ulu hati (-), BAB (+) Sesak (+) , mual (-), nyeri ulu hati (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 130/83 mmHg RR = 26 x/menit TD = 115/80 mmHg RR = 25 x/menit TD = 140/90 mmHg RR = 23 x menit
N = 82 x/menit S = 36,5 N = 80 S = 37ºC N = 84 x/menit S = 37ºC
Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+)
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki
Ekstremitas: edema (+) ; abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (+) ; abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (+) ; abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Laboratorium : elektrolit: hiponatremi (+) Laboratorium : AGD : perbaikan (+) Laboratorium : sama ;
Antropometri : BB 43,5 kg ; Terapi sejawat : stqa Terapi sejawat :antasida, omeprazol, ranitidin stop Terapi sejawat : sama
Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol E P L KH
(g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 300 300 12 9 43
Bbr 500 25 16,5 75 Bbr 500 25 16,5 75 Tim lauk 900 37 30 109
Total 950 43 30 139 Total 950 43 30 139 cincang
Universitas Indonesia
Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x
Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C
Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang
cairan, elektrolit cairan, elektrolit cairan, elektrolit
S Sesak (+/-), mual (-), BAB (+), asupan baik Sesak (-), mual (-), BAB (+), asupan meningkat Sesak (-), mual (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 135/85 RR = 22 x/menit TD = 115/85 RR = 22 x/menit TD = 120/85 mmHg RR = 21 x menit
mmHg N = 82x/menit S = 36,4 N = 82 x/menit S = 36,8
N = 84 x/menit S = 37,2ºC
Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing Kepala : pursed-lips breathing
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-)
Ekstremitas: edema ; abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema ; abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema ; abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Laboratorium : elektrolit: perbaikan hiponatremi Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan
Laboratorium : elektrolit: perbaikan hiponatremi Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan Laboratorium : Hb : 12 g/dL, albumin: 2,9 g/dL, ureum/kreatinin
Terapi sejawat : stqa Terapi sejawat : stqa normal
Antropometri : BB = 42 kg. Terapi sejawat : stqa
Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1250 mL Intake 1225 mL Imbang cairan :
IWL 440 mL IWL 440 mL Intake 1175 mL
Output 1300 mL Output 1300 mL IWL 440 mL
BC (-) 50 BC (-) 75 mL Output 1225 mL
BC (-) 50 mL
A PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung kongestif, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung kongestif,
kongestif, malnutrisi berat, hipermetabolisme berat malnutrisi berat, hipermetabolisme berat (hipoalbuminemia) malnutrisi berat, hipermetabolisme berat (hipoalbuminemia)
Universitas Indonesia
(hipoalbuminemia), .
P
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g)
MC 300 300 12 9 43 MC 300 300 12 9 43 MC 300 300 12 9 43
Tim lauk 600 37 30 109 Tim lauk 850 37 22 64 Tim lauk 850 37 22 64
cincang cincang cincang
Total 1200 60 39 152 Total 1450 73 48 180 Total 1450 73 48 180
Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x
Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin. C Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C
Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan, Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan,
cairan, albumin albumin albumin
4/2/2013
Pasien pulang dengan kondisi yang lebih baik. Hemodinamik stabil, walaupun sesekali masih terlihat pursed- lips breathing. Keluhan dispepsia (-), BAB (+). Pada pemeriksaan fisik, edema minimal. Asupan
kalori telah mencapai 90% kebutuhan target.
Universitas Indonesia
S Sesak (+), mual (+), BAB (-), BAK (+) Sesak (+), mual (+), BAB (-), BAK (+) Sesak (+) , mual (+/-), BAB (+), BAK (+), selera makan (+/-)
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 135/80 mmHg RR = 28 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 28 x/menit TD = 125/80 mmHg RR = 27 x menit
N = 98 x/menit S = 37,5ºC N = 94x/menit S = 37ºC N = 88 x/menit S = 36,8ºC
Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+)
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+)
Ekstremitas: edema (-/-). Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (-/-). Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (-/-). Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Laboratorium : Laboratorium : elektrolit normal. Antropometri : sama Laboratorium : sama. Antropometri : sama
AGD : asidosis respiratorik; GDS: 110 mg/dL.
Antropometri : BBA 31 kg, TB 165 cm, IMT :11,4 kg Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1000 mL Intake 1000 mL
Imbang cairan : IWL 500 mL IWL 500 mL
Intake 1100 mL Output 600 mL Output 550 mL
IWL 500 mL BC - 100 mL BC - 50 mL
Output 700 mL
BC - 100 Analisis asupan : Analisis asupan :
Vol E P (g) L (g) KH Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
Analisis Asupan : (mL) (kkal) (g) MC 350 1000 25 31 155
Vol E P L KH MC 200 550 20 17 79 +bbr
(mL) (kkal) (g) (g) (g) +bbr
MC+bbr 300 600 20 18 89,5 Terapi sejawat : stqa
Terapi sejawat :
Terapi sejawat : RL (1 kolf), nebulizer 3x/hari, rifampicin 450 mg, INH 1x300
RL (1 kolf), nebulizer 3x/hari, rifampicin 450 mg, INH mg, ethambutol 2x500 mg, OBH 3x15 mL, Lasix 1x1, KSR 1x1,
1x300 mg, ethambutol 2x500 mg, OBH 3x15 mL, Lasix ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 3x1 ampul/hari, dexametason 3x1
1x1, KSR 1x1, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 3x1
ampul/hari, dexametason 3x1
Universitas Indonesia
Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g)
(g) (g) Vol E P L KH
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 (mL) (kkal) (g) (g) (g)
Bbr 500 19 14,5 77 Bbr 500 19 14,5 77 MC 450 450 18 13,5 64
Total 964 37 28 141 Total 964 37 28 141 Bbr lauk 750 19 14,5 77
cincang
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Total 1200 37 40 173
Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C
Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Monitoring : Monitoring : Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam
cairan cairan Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang
cairan.
S Sesak (+) , mual (+/-), BAB (+), BAK (+) Sesak (+) , mual (-),BAB (+), BAK (+), selera makan (+/-) Sesak (+) , mual (-),BAB (+), BAK (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 100/80 mmHg RR = 27 x/menit TD = 110/80 mmHg RR = 26 x/menit TD = 125/80 mmHg RR = 25 x menit
N = 85 x/menit S = 36,5ºC N = 80x/menit S = 37ºC N = 84 x/menit S = 37ºC
Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+)
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (+) . Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (+) . Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Laboratorium : AGD : perbaikan (+) Laboratorium : sama
Imbang cairan :
Intake 1100 mL Imbang cairan : Imbang cairan :
IWL 440 mL Intake 1100 mL Intake 1100 mL
Output 500 mL IWL 500 mL IWL 500 mL
BC 0 Output 575 mL Output 550 mL
BC 25 mL BC 50 mL
Universitas Indonesia
A PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru,
pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat
(hipoalbumin, gangguan fungsi hati), asidosis respiratorik (hipoalbumin, gangguan fungsi hati). (hipoalbumin, gangguan fungsi hati)
Vol E (kkal) P L (g) KH (g) Vol E P L (g) KH (g) Vol E P (g) L (g) KH (g)
(mL) (g) (mL) (kkal) (g) (mL) (kkal)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64
Bbr lauk 750 19 14,5 77 Bbr lauk 750 19 14,5 77 Bbr lauk 996 22 34,5 152
cincang cincang cincang
Total 1200 37 40 173 Total 1200 37 40 173 Total 1446 40 48 216
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C
Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan
S Sesak (+/-), mual (-), BAB (+), asupan baik Sesak (-), mual (-), BAB (+), asupan meningkat Sesak (-), mual (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 125/90 mmHg RR = 24 x/menit TD = 110/90 RR = 23 x/menit TD = 110/80 mmHg RR = 23 x menit
N = 84 x/menit S = 37,2ºC N = 82x/menit S = 36,5ºC N = 84 x/menit S = 36,8ºC
Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing Kepala : pursed-lips breathing
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-)
Ekstremitas: edema . Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema . Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal ; Ekstremitas: edema
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Laboratorium : elektrolit: perbaikan hiponatremi Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan
Laboratorium :stqa Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan Laboratorium : Hb : 12 g/dL, albumin: 2,9 g/dL, ureum/kreatinin
Universitas Indonesia
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C
Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis & toleransi asupan per hari, imbang cairan. Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan
4/3/2013 (H10)
Pasien pulang dengan kondisi yang lebih baik, hemodinamik stabil. Keluhan dispepsia (-), BAK/BAB (+). Pada pemeriksaan fisik, sesekali masih terlihat pursed- lips breathing. Kapasitas fungsional :
ketergantungan ringan, dan kekuatan genggam sedikit lebih kuat dibanding pemeriksa. Asupan kalori telah mencapai 90% kebutuhan target.
Universitas Indonesia
S Sesak (+), mual (+), BAB (-) Sesak (+), mual (+), BAB (-) Sesak (+), mual (+/-), BAB (+) sedikit
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 180/90 mmHg RR = 29 x/menit TD = 160/90 mmHg RR = 27 x/menit TD = 150/80 mmHg RR = 27 x menit
N = 98x/menit S = 38ºC N = 95x/menit S = 36,8ºC N = 98 x/menit S = 37ºC
Kepala : pursed-lips breathing (-) Kepala : pursed-lips breathing (-) Kepala : pursed-lips breathing (-)
Torak : ronki (+/+), wheezing (+/+) Torak : , ronki (+/+) , wheezing (+/+) Torak : , ronki (+/+) , wheezing (+/+)
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Laboratorium : GDS 135 mg/dL Laboratorium : GDS 155 mg/dL Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Antropometri : BBP 69 kg (LLA : 28 cm), TB 165 cm, BB Antropometri : sama Laboratorium : GDS 170 mg/dL, AGD (+) perbaikan
IMT : 25,5 kg,m2 Antropometri : sama
Imbang cairan: Imbang cairan :
Intake 1400 mL Intake 1500 mL Imbang cairan :
IWL 900 mL IWL 900 mL Intake 1600 mL
Output 750 mL Output 600 mL IWL 900 mL
BC - 250 BC (-) 75 mL Output 800 mL
BC -100 mL
Analisis Asupan : Analisis asupan :
Vol E P L KH Vol E P (g) L (g) KH Analisis asupan :
(mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
MC+bbr 250 423 16 13 60,5 MC 150 380 15 10 57,5 MC 200 400 16 12 57
+bbr +bbr
Terapi sejawat :
oksigen 3 l/menit, NaCl 0,9%(1), NaCl 3% (1), nebulizer Terapi sejawat : Terapi sejawat : stqa
3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Seretide 500 2x1, OBH oksigen 3 l/menit, NaCl 0,9%(1), NaCl 3% (1), nebulizer
3x15 mL, amlodipin 1x10 mg, alprazolam 0,5 mg, euphylin 3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Seretide 500 2x1, OBH 3x15
R 2x1, lasix 1x1. mL, amlodipin 1x10 mg, alprazolam 0,5 mg, euphylin R 2x1,
. lasix 1x1..
A PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, DM PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, DM
DM tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat (leukositosis, tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat (leukositosis,
(leukositosis, hiperglikemi), dan asidosis respiratorik hiperglikemi), dan asidosis respiratorik hiperglikemi), dan asidosis respiratorik
Universitas Indonesia
Vol E P (g) L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g)
(mL) (kkal) (g) (g)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64
Bbr 500 30 16,5 61 Bbr 500 30 16,5 61 Bbr 500 30 16,5 61
Total 970 48 30 125 Total 970 48 30 125 Total 970 48 30 125
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan
cairan cairan
S Sesak (+) , mual (+/-), BAB (+) Sesak (+) , mual (-), BAB (+), lebih banyak, lembek Sesak (+) , mual (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 140/90 mmHg RR = 25 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 23 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 21 x menit
N = 90 x/menit S = 37,5ºC N = 86x/menit S = 37ºC N = 90 x/menit S = 37,5ºC
Kepala : pursed-lips breathing (-) Kepala : pursed-lips breathing (-) Kepala : pursed-lips breathing (-)
Torak : , ronki (+/+) , wheezing Torak : ronki , wheezing Torak : , ronki (+/+) , wheezing
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan
Laboratorium : GDS 170 mg/dL kekuatan genggam membaik Laboratorium : 145 mg/dL
Antropometri : sama Laboratorium : GDS : 135 mg/dL Antropometri : sama
Antropometri : sama
Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1600 mL Imbang cairan : Intake 1450 mL
IWL 900 mL Intake 1500 mL IWL 900 mL
Output 850 mL IWL 900 mL Output 550 mL
BC -150 Output 600 mL BC 0
BC 0
Analisis asupan :
Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Analisis asupan : Analisis asupan :
MC 300 600 21 18 88,5 Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
+bbr MC 350 550 19 16,5 81 MC 400 964 40 31 131
+bbr +bbr
Universitas Indonesia
A PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, DM PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, DM
DM tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat (leukositosis, tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat (leukositosis,
(leukositosis, hiperglikemi), dan asidosis respiratorik hiperglikemi), dan asidosis respiratorik. hiperglikemi), dan asidosis respiratorik
Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol E P L KH
(g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 600 600 23 17 88
Bbr 500 25 16,5 75 Bbr 500 25 16,5 75 Tim lauk 600 37 22 64
Total 950 43 30 139 Total 950 43 30 139 cincang
Total 1200 60 39 152
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Monitoring : Monitoring : Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan, Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan
10/2/2013
Pasien pulang dengan kondisi yang lebih baik. Hemodinamik stabil, Sesak berkurang, mual (-), BAK/ BAB lancar. Pada pemeriksaan fisik, ronki (-) dan wheezing (-). Analisa asupan: energi 1300 kkal, protein
55 gram, lemak 36 gram, KH 151 gram. Pasien pulang atas permintaan sendiri.
Universitas Indonesia
S Sesak (+), mual (+), BAB (-), nyeri punggung (+) Sesak (+), mual (+), BAB (-), nyeri punggung (+) Sesak (+), mual (+/-), BAB (+), konsistensi keras, nyeri
punggung (+/-), makanan habis
O Kesadaran : CM, lemah Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 180/90 mmHg RR = 30 x/menit TD = 160/90 mmHg RR = 27 x/menit TD = 150/80 mmHg RR = 27 x menit
N = 100 x/menit S = 38ºC N = 98x/menit S = 36,8ºC N = 98 x/menit S = 37ºC
Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+) Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+) Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+)
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+)
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan berat Kapasitas fungsional : ketergantungan berat Kapasitas fungsional : ketergantungan berat
Laboratorium : stqa Laboratorium : stqa. Antropometri : sama Laboratorium : stqa. Antropometri : sama
Antropometri : BBP 38 kg, LLA 17 cm, PB 160 cm, IMT
14,8 kg/m2 Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1250 mL Intake 1300 mL
Imbang cairan : IWL 825 mL IWL 825 mL
Intake 1300 mL Output 550 mL Output 650 mL
IWL 825 mL BC -125 mL BC -75 mL
Output 600 mL
BC -125 Analisis asupan : Analisis asupan :
Vol E P (g) L (g) KH (g) Vol E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
Analisis Asupan : (mL) (kkal) (mL)
Vol E P L KH MC+bbr 500 950 35 28,5 138,5 Tim - 1150 46 35,7 161
(mL) (kkal) (g) (g) (g) lauk
MC+bbr 500 800 32 24 114 cincang
Terapi sejawat :
Terapi sejawat : Oksigen 3 l/menit, infus RL (1 kolf), nebulizer 3x/hari, Terapi sejawat : stqa
Oksigen 3 l/menit, infus RL (1 kolf), nebulizer 3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Cefotaxime 3x1 g, amlodipin 1x10 mg,
Azitromycin 1x500 mg, Cefotaxime 3x1 g, amlodipin 1x10 alprazolam 1x0,5 mg, Esilgan 1x1 (malam), Zolmia 1x1, OBH
mg, alprazolam 1x0,5 mg, Esilgan 1x1 (malam), Zolmia 1x1, 3x15 mL, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 1 ampul/hari,
OBH 3x15 mL, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 1 ampul/hari, dexametason 1 ampul/hari, Remopain 2 ampul/hari, parasetamol
dexametason 1 ampul/hari, Remopain 2 ampul/hari, (kalau perlu)
parasetamol (kalau perlu)
A PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1, PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1, PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1,
spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis (cemas, spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis (cemas,
(cemas, depresi, insomnia), malnutrisi berat, depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme berat depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme berat
hipermetabolisme berat, dan asidosis respiratorik. .
Universitas Indonesia
S Sesak , mual (+/-), BAB (+) Sesak (+) , mual (-), BAB (+) Sesak (+) , mual (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 140/90 mmHg RR = 25 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 23 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 21 x menit
N = 90 x/menit S = 37,5ºC N = 86x/menit S = 37ºC N = 90 x/menit S = 37,5ºC
Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+) Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+) Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+)
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan berat Kapasitas fungsional : ketergantungan berat Kapasitas fungsional : ketergantungan berat
Laboratorium : stqa. Antropometri : sama Laboratorium : stqa. Antropometri : sama Laboratorium : AGD : perbaikan (+). Antropometri : sama.
Universitas Indonesia
A PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1, PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1, PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1,
spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis (cemas, spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis (cemas,
(cemas, depresi, insomnia), malnutrisi berat, depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme sedang, depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme sedang,
hipermetabolisme sberatqmqh, dan asidosis respiratorik. dan asidosis respiratorik. dan asidosis respiratorik
P
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P (g) L (g) KH (g)
(mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal)
Tim lauk - 1400 65 46,7 181 Tim lauk - 1400 65 46,7 181 Tim lauk - 1400 65 46,7 181
cincang cincang cincang
Total 1400 65 46,7 181 Total 1400 65 46,7 181 Total 1400 65 46,7 181
Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA) Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA) Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA)
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang cairan
cairan cairan
9/4/2013
Pasien pulang dengan kondisi yang lebih baik. Hemodinamik stabil, walaupun sesekali masih terlihat pursed- lips breathing. Keluhan dispepsia (-), BAB (+). Pada pemeriksaan fisik, edema minimal. Analisa
asupan : energi 1200 kkal, protein 46 gram, lemak 40 gram, KH 162 gram.
Universitas Indonesia
Lampiran 5
Keterangan :
Energi : 1500 kkal ; Protein : 55 g (15%) ; Lemak : 43 g (26%)
KH : 195 g (52%) ; BCAA : 4,2 gram ; Omega 3 : 11% (minyak kanola)
Skim (Produgen) 80 3 P
FF (Bendera) 25 1P
Putih telur 66 4 P
Wortel 300 5 P
Maizena 40 1P
Tepung beras 25 0,5 P
Tempe 50 1P
Minyak kanola 15 3P
Keterangan :
Energi : 1500 kkal ; Protein : 63 g (17%) ; Lemak : 37 g (22%)
KH : 177 g ; BCAA : 3,4 gram ; Omega 3 : 11% (minyak kanola)
Keterangan :
BCAA : 1 gram
Universitas Indonesia
Lampiran 6
DAFTAR MENU MAKANAN LUNAK
MENU 1
MENU 2
Sarapan Siang Sore
Ayam bumbu kuning Ayam bombay + doperten Kakap bumbu kuning+wortel
Tumis kacang Tahu kulit semur Tempe tumis
panjang+wortel Tumis labu siam Martabak kentang
Sup wortel jagung muda
MENU 3
MENU 4
MENU 5
Universitas Indonesia
MENU 6
MENU 7
MENU 8
MENU 9
MENU 10
Universitas Indonesia
Lampiran 7
Energi 1447 kkal, protein 71 gram, lemak 48 gram , karbohidrat 188 gram ,
dan serat 14 gram/1000 kkal/ perhari.
Keterangan :
- URT: ukuran rumah tangga; E:energi; P: protein; L: lemak; KH:
karbohidrat; sdt: sendok teh; sdm: sendok makan
- Mengurangi garam dalam proses pemasakan
- Mengurangi penyedap dalam proses pemasakan
- Tidak memakai bahan makanan yang diawetkan
Universitas Indonesia
Lampiran 8
Energi 1369 kkal, protein 32 gram, lemak 41 gram, karbohidrat 204 gram dan
serat 14 gram/1000 kkal/ perhari.
Makan siang :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Telur 25 ½ butir 25 3,5 1 - Dadar dengan
sedikit daun
bawang
Wortel, 75 1 gelas 20 - - 5 Tumis wortel,
tauge tauge
Minyak 10 2 sdt 90 - 10 -
Selingan sore :
Pisang rebus 45 1 buah 50 - - 12
Makan malam :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Ikan 40 1 potong 50 7 2 - Sambal ikan,
tahu
Tahu 75 1 biji 50 3 2 4,7
kecil
Bayam,wortel 75 1 gelas 20 - - 5 Rebus bayam,
wortel
Minyak 10 g 1½ sdt 90 - 10 -
Selingan malam :
Pisang rebus 45 1 buah 50 - - 12
1349 33 41 208,7
Keterangan :
URT: ukuran rumah tangga; E:energi; P: protein; L: lemak; KH: karbohidrat; sdt:
sendok teh; sdm: sendok makan.
Menu sarapan sama dengan makan siang, untuk memudahkan dalam menyediakan
Protein yang dianjurkan : putih telur, tempe, tahu, dan ikan
Universitas Indonesia
Lampiran 9
Energi 1825 kkal, protein 91 gram, lemak 60 gram, karbohidrat 230 gram dan
serat 14 gram/1000 kkal/ perhari.
Makan siang :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Ikan 40 1 ptg sdg 50 7 2 - Ikan tempe
Tempe 50 2 ptg sdg 75 5 3 7 bumbu kuning
Wortel, tauge 75 1 gelas 20 - - 5 Tumis wortel,
tauge
Minyak 10 2 sdt 90 - 10 -
Selingan sore :
Buah 50 1 buah 50 - - 12 Jus jeruk
Kacang hijau 40 4 150 10 6 14 hangat
Kacang hijau
rebus tanpa
santan
Makan malam :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Ayam tanpa kulit 40 1 potong 50 7 2 - Sup ayam, tahu
Tahu 110 1 biji bsr 75 5 3 7
Bayam,wortel 75 1 gelas 20 - - 5 Rebus bayam,
wortel
Minyak 10 g 1½ sdt 90 - 10 -
Selingan malam :
MC DM 60 4 sendok 250 10 8 39
takar
1800 70 60 227
Keterangan :
URT: ukuran rumah tangga; E:energi; P: protein; L: lemak; KH: karbohidrat; sdt:
sendok teh; sdm: sendok makan.
Universitas Indonesia
Lampiran 10
Energi 1400 kkal, protein 65 gram, lemak 46 gram, karbohidrat 181 gram dan
serat 14 gram/1000 kkal/ perhari.
Selingan pagi :
Kacang hijau 20 2 sdm 75 3 3 7 Rebus tanpa
Gula pasir 5 ½ sdm 20 - - 5 santan
Makan siang :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40 Ikan pepes
ikan 80 2 ptg sdg 100 14 4 - Sup-supan
Sup sayur 75 1 gelas 20 - - 5
Minyak 10 2 sdt 100 - 10 -
Selingan sore :
Alpukat 120 1 bh 100 - 10 -
Makan malam :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Putih telur 65 - 50 7 2 - Putih telur
direbus, potong
dadu
Tofu 100 - 77 8 5 - Sapo putih
telur, tofu,
wortel
wortel 75 1 gelas 20 - - 5
Keterangan :
URT: ukuran rumah tangga; E:energi; P: protein; L: lemak; KH: karbohidrat; sdt:
sendok teh; sdm: sendok makan.
Universitas Indonesia
Lampiran 11
Universitas Indonesia
Lampiran 12
Universitas Indonesia
Lampiran 13
Universitas Indonesia
Lampiran 14
Universitas Indonesia
Lampiran 15
No Fungsi Skor Uraian Sblm sakit Saat MRS Mgg I RS Saat Pulang
1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/
rangsang perlu pencahar
defekasi (BAB) 1 Kadang-kadang tak 2 2 2 2
terkendali
2 Mandiri
2 Mengendalikan 0 Tak terkendali/
rangsang pakai kateter
berkemih 1 Kadang tidak 2 2 2 2
(BAK) terkendali (1x24jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan 0 Butuh pertolongan
diri (cuci muka, orang lain
1 0 1 1
sisir rambut, 1 Mandiri
sikat gigi)
4 Penggunaan 0 Tergantung
jamban, masuk pertolongan orang
dan keluar lain
(melepaskan, 1 Perlu pertolongan
memakai pada beberapa
1 1 1 1
celana, kegiatan tetapi
membersihkan, dapat mengerjakan
menyiram) sendiri kegiatan
yang lain
2 Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong
2 1 1 1
memotong makanan
2 Mandiri
6 Berubah sikap 0 Tidak mampu
dari berbaring 1 Perlu banyak
ke duduk bantuan untuk bisa
duduk (2 orang) 2 1 1 1
2 Bantuan (2 orang)
3 Mandiri
7 Berpindah/ 0 Tidak mampu
berjalan 1 Bisa (pindah) dengan
kursi roda
2 0 0 0
2 Berjalan dengan
bantuan 1 orang
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang
lain
1 Sebagian dibantu
2 0 0 0
(misalnya
mengancing baju)
2 Mandiri
9 Naik turun 0 Tidak mampu
tangga 1 Butuh pertolongan 1 0 0 0
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang
lain 1 0 0 0
1 Mandiri
TOTAL SKOR 17 8 10 10
KETERANGAN
20 : Mandiri 5–8 : Ketergantungan berat 9 – 11:Ketergantungan sedang
12 -19 : Ketergantungan ringan 0 –4 : Ketergantungan total
Universitas Indonesia