You are on page 1of 139

i

UNIVERSITAS INDONESIA

TATA LAKSANA NUTRISI PADA KASUS


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

SERIAL KASUS

ADE ERNI
1106026772

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
JUNI 2013

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


i

UNIVERSITAS INDONESIA

TATA LAKSANA NUTRISI PADA KASUS


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

SERIAL KASUS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik

ADE ERNI
1106026772

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
JUNI 2013

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Penulisan makalah serial kasus ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Ade Erni

NPM : 1106026772

Tanda tangan

Tanggal : 18 Juni 2013

ii
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


iii

HALAMAN PENGESAHAN

Serial Kasus ini diajukan oleh :


Nama : Ade Erni
NPM : 1106026772
Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Program Studi Ilmu Gizi Klinik
Judul serial kasus : Tata Laksana Nutrisi pada Kasus Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik pada Program Studi Ilmu Gizi Klinik, Program
Pendidikan Dokter Spesialis-1, Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Inge Permadhi, MS, SpGK (.............................)

Penguji : Dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK (.............................)

Penguji : DR. Dr. Fiastuti Witjaksono, MS, SpGK (.............................)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 18 Juni 2013

iii
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan saya kesempatan,
kesehatan, petunjuk, dan kemudahan, sehingga penyusunan laporan serial kasus
ini dapat diselesaikan.
Serial kasus ini mengenai dukungan nutrisi terhadap pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) yang disebabkan oleh rokok dan faktor risiko lain.
Semua kasus diambil dari Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW), Jakarta Barat.
Penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari tuntunan dan bimbingan
dosen pembimbing, dan staf pengajar Departemen Ilmu Gizi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. Inge Permadhi, MS, SpGK selaku
pembimbing yang dengan kesabaran, ketekunan, ketelitian serta dedikasinya
hingga selesainya penyusunan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Victor Tambunan MS,
SpGK selaku Ketua Departemen Ilmu Gizi Klinik, Dr. Sri Sukmaniah, MSc,
SpGK selaku Ketua Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-I dan DR. Dr. Johana
Titus, MS, SpGK selaku sekretaris Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-I, atas
bimbingan dan dukungan yang telah diberikan sejak awal menjalani pendidikan
hingga saat ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dr. Bambang Heru Sp.
Paru atas kesempatan, bimbingan, dan kepercayaan yang telah diberikan kepada
penulis untuk memberikan dukungan nutrisi kepada pasien-pasien penyakit paru,
khususnya pasien PPOK.
Terima kasih kepada Direktur RSSW Jakarta Barat yang memberikan
kesempatan untuk melaksanakan tugas sebagai PPDS-1 PSIGK. Terima kasih
penulis ucapkan untuk seluruh staf dietisien dan perawat yang terlibat dalam
proses pemberian dukungan nutrisi pada pasien PPOK. Begitu juga, terima kasih
yang tak terhingga untuk seluruh pasien dan keluarganya yang terlibat dalam
penyusunan serial kasus ini.
Penulis menghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Ibu
saya yang telah memberikan motivasi, dukungan dan doa untuk keberhasilan
penulis dalam menjalani pendidikan kedokteran. Tak lupa, kepada suami tercinta,

iv
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


v

Ir. H. Ahmad Yani, penulis mengucapkan terima kasih atas doa, pengertian,
toleransi dan kasih sayangnya sehingga memberikan semangat, inspirasi dan
motivasi. Begitu juga penulis ucapkan kepada teman dan saudara di Bandung,
yang telah membantu mengerjakan segala tugas di Bandung selama penulis
menjalani pendidikan di Jakarta. Seluruh sahabat, rekan, dan semua pihak yang
turut membantu, mendukung dan memberikan motivasi selama menjalankan
pendidikan, penulis ucapkan terima kasih.
Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu dan memberi kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan pendidikan dan serial kasus ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 18 Juni 2013


Penulis

v
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :
Nama : Ade erni
NPM : 1106026772
Program Studi : Program pendidikan Dokter Spesialis-1Ilmu Gizi Klinik
Fakultas : Kedokteran
Jenis Karya : Laporan Serial Kasus

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
free right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
TATA LAKSANA NUTRISI PADA
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Jakarta
Pada tanggal 18 Juni 2013
Yang menyatakan

(Ade Erni)

vi Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


vii

ABSTRAK

Nama : Ade Erni


Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Program Studi Ilmu Gizi Klinik
Judul : Tata Laksana Nutrisi Pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK)
Pembimbing : Dr. Inge Permadhi, MS, SpGK

Penyajian serial kasus ini bertujuan untuk menganalisis dukungan nutrisi optimal
pada penderita paru-paru obstruktif kronis. Pemilihan kasus berdasarkan
karakteristik yang terdapat pada pasien paru-paru obstruktif kronis, yaitu usia
lansia, sedang mengalami eksaserbasi akut, terdapat komplikasi dan faktor
komorbid, serta malnutrisi (underweight atau obesitas), yang dirawat di rumah
sakit. Kebutuhan energi ditentukan dengan menggunakan perhitungan rumus
Harris Benedict dan dikalikan dengan faktor stres yang sesuai. Komposisi protein
1,2–1,7 gr/kg BB/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 50–60%.
Hasil analisis dari dua kasus didapatkan rerata pencapaian asupan lebih
dari 90% kebutuhan energi basal pada hari terakhir perawatan, satu kasus
mencapai 70%, dan satu kasus lagi telah mencapai mencapai 85% kebutuhan
energi total. Hanya satu kasus yang mendapat suplementasi mikronutrien lengkap
dosis RDA. Monitoring dan evaluasi yang diberikan meliputi klinis, imbang
cairan, toleransi asupan, dan analisis asupan. Dukungan nutrisi yang optimal,
pemberian edukasi serta motivasi kepada pasien dan keluarganya, akan
memberikan toleransi asupan yang baik disertai perbaikan klinis.

Kata kunci : Nutrisi, Penyakit Paru Obstruktif kronis (PPOK)

vii
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


viii

ABSTRACT

Name : Ade Erni


Study Programe : Study Programme of Clinical Nutrition Specialist,
Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
Title : Nutritional Management in Chronic Obstructive
Pulmonary Disease
Counsellor : Dr. Inge Permadhi, MS, SpGK

The aim of this serial case is to analyze optimal nutritional support in patients
with COPD. The cases selection based on the characteristics of COPD patients,
i.e. older age, acute exacerbation, complications, and comorbidity factor, as well
as malnutrition (underweight or obese), who were hospitalized. Basal energy
requirement were determined by the Harris-Benedict equotion and was multiplied
by stress factor to calculate total energy requirement. Macronutriens compositions
for protein ranged from 1.2 - 1.7 g/kg bw /day, lipids 25-30%, and carbohydrate
50-60% of total calories requirement.
Intake analysis from two cases showed a mean intake over 90% of basal
energy needs on the last day of treatment, one case reached 70%, and other case
reached up to 85% of total energy needs. Only one case received full-dose
micronutrient supplementation equal to RDA. Monitoring and evaluation included
clinical status, fluid balance, intake tolerance, and intake analysis. Optimal
nutritional support, provision of education and motivation to patients and their
families, will enhanced intake tolerance along with clinical improvement.

Keyword : Nutrition, Chronic Obstructive Pulmonary Disease

viii
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... I
HALAMAN PERNYATAAN ORISINAL.................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI..................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH................ vi
ABSTRAK................................................................................................... vii
DAFTAR ISI................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiii
DAFTAR SINGKATAN.............................................................................. xiv
1. PENDAHULUAN................................................................................... 1

2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4
2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)................................... 4
2.1.1 Anatomi dan fisiologi paru..................................................... 4
2.1.2 Definisi.................................................................................... 5
2.1.3 Epidemiologi........................................................................... 6
2.1.4 Etiologi.................................................................................... 6
2.1.5 Patofisiologi............................................................................. 7
2.1.6 Manifestasi klinis..................................................................... 10
2.2. Terapi............................................................................................... 12
2.2.1 Terapi umum........................................................................... 12
2.2.2 Tatalaksana Nutrisi................................................................. 13
2.2.2.1 Hubungan nutrisi dan sistim pernapasan…………... 13
2.2.2.2 Hubungan malnutrisi dan penyakit pada sistim
Pernapasan…………………………………………. 13
2.2.2.3 Penilaian status gizi…............................................... 14
2.2.2.4 Kebutuhan nutrisi dan faktor-faktor yang 18
mempengaruhi asupan nutrisi……………………... 33
2.2.3 Prognosis...............................................................................

3. K A S U S................................................................................................. 34
Teknis pelaksanaan................................................................................... 34
3.1 Kasus 1............................................................................................... 36
3.2 Kasus 2............................................................................................... 44
3.3 Kasus 3............................................................................................... 52
3.4 Kasus 4............................................................................................... 60

4. PEMBAHASAN..................................................................................... 68

5. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 88


6. DAFTAR REFERENSI.......................................................................... 90
7. LAMPIRAN............................................................................................ 98

Universitas Indonesia
ix
Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013
x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK berdasarkan tingkat keparahan........................ 11


Tabel 2.2 Perubahan metabolik pada kaheksia............................................. 16
Tabel 2.3 Suplementasi vitamin C dan E pada PPOK.................................. 22
Tabel 2.4 PUFA dan bahan makanan sumber.............................................. 27
Tabel 2.5 Omega-3 dan omega-6 dalam beberapa ikan di Indonesia........... 29
Tabel 2.6 Kandungan omega-3 dalam beberapa minyak tmbuhan.............. 29
Tabel 4.1 Perbedaan faktor risiko................................................................. 69
Tabel 4.2 Perbedaan gejala klinis................................................................. 71
Tabel 4.3 Perbedaan hasil pemeriksaan penunjang...................................... 72
Tabel 4.4 Perbedaan komplikasi................................................................... 75
Tabel 4.5 Perbedaan faktor komorbid.......................................................... 75
Tabel 4.6 Perberdaan terapi medikamentosa................................................ 76
Tabel 4.7 Perbedaan skrining gizi dan status gizi........................................ 78
Tabel 4.8 Perbedaan permasalahan nutrisi................................................... 79
Tabel 4.9 Perbedaan kebutuhan kalori dan komposisi makronutrien........... 81
Tabel 4.10 Perbedaan prognosis..................................................................... 87

x
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem respirasi................................................................. 4


Gambar 2.2 Mekanisme molekular dan selular.................................... 8
Gambar 2.3 Efek sistemik PPOK......................................................... 9
Gambar 2.4 Kaheksia pada PPOK........................................................ 15
Gambar 2.5 Kriteria kaheksia............................................................... 15
Gambar 2.6 Pengaruh asupan garam pada gagal jantung…………… 23
Gambar 3.1.1 Analisis asupan makanan sebelum sakit dan setelah 37
sakit (kasus 1)..................................................................
Gambar 3.1.2 Grafik status hemodinamik (kasus 1).............................. 39
Gambar 3.1.3 Analisis asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat 40
(kasus 1)..........................................................................
Gambar 3.1.4 Grafik kapasitas fungsional (kasus 1)............................. 41
Gambar 3.1.5 Grafik persentase analisis asupan energi, dan 42
makronutrien menurut target kebutuhan (kasus 1)..........
Gambar 3.1.6 Imbang cairan (kasus 1).................................................. 42
Gambar 3.2.1 Analisis asupan makanan sebelum sakit dan setelah 45
sakit (kasus 2).........................................................
Gambar 3.2.2 Grafik status hemodinamik (kasus 2)............................... 47
Gambar 3.2.3 Analisis asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat 48
(kasus 2)............................................................................
Gambar 3.2.4 Grafik kapasitas fungsional (kasus 2)............................... 49
Gambar 3.2.5 Grafik persentase analisis asupan energi, dan 50
makronutrien menurut target kebutuhan (kasus 2)...........
Gambar 3.2.6 Imbang cairan (kasus 2).................................................... 50
Gambar 3.3.1 Analisis asupan makanan sebelum sakit dan setelah 53
sakit (kasus 3)...................................................................
Gambar 3.3.2 Grafik status hemodinamik (kasus 3)............................... 55
Gambar 3.3.3 Analisis asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat 56
(kasus 3)............................................................................
Gambar 3.3.4 Grafik kapasitas fungsional (kasus 3)............................... 57
Gambar 3.3.5 Grafik persentase analisis asupan energi, dan 58
makronutrien menurut target kebutuhan (kasus 3)..........
Gambar 3.3.6 Imbang cairan (kasus 3).................................................... 58
Gambar 3.4.1 Analisis asupan makanan sebelum sakit dan setelah 61
sakit (kasus 4) ....................................................
Gambar 3.4.2 Grafik status hemodinamik (kasus 4)............................ 63

xi
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


xii

Gambar 3.4.3 Analisis asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat 64


(kasus 4)......................................................................
Gambar 3.4.4 Grafik kapasitas fungsional (kasus 4)............................. 65
Gambar 3.4.5 Grafik persentase analisis asupan energi, dan 66
makronutrien menurut target kebutuhan (kasus 4).........
Gambar 3.4.6 Imbang cairan (kasus 4)............................................. 66

xii
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Monitor pasien kasus 1..................................................... 98


Lampiran 2. Monitor pasien kasus 2..................................................... 101
Lampiran 3 Monitor pasien kasus 3...................................................... 105
Lampiran 4 Monitor pasien kasus 4...................................................... 108
Lampiran 5 Komposisi makanan cair.................................................. 111
Lampiran 6 Menu makanan lunak ……………................................... 112
Lampiran 7 Preskripsi diet kasus 1....................................................... 114
Lampiran 8 Preskripsi diet kasus 2....................................................... 115
Lampiran 9 Preskripsi diet kasus 3....................................................... 116
Lampiran 10 Preskripsi diet kasus 4....................................................... 117
Lampiran 11 Format skrining gizi……. ................................................ 118
Lampiran 12 Indeks Barthel kasus 1....................................................... 119
Lampiran 13 Indeks Barthel kasus 2....................................................... 120
Lampiran 14 Indeks Barthel kasus 3....................................................... 121
Lampiran 15 Indeks Barthel kasus 4....................................................... 122

xiii
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


xiv

DAFTAR SINGKATAN

AA : arachidonic acid
AARC : asam amino rantai cabang
ADA : American Dietetic Association
ADO : age, dyspnoe, and airflow obstruction
AGD : analisis gas darah
AHA : American Heart Association
AMKRI : Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia
APP : acute phase protein
ATP : adenosine triphosphate
ATS : American Thoracic Society
BAB : buang air besar
BAK : buang air kecil
BCAA : branched- chain amino acids
BMD : bone mineral density
BODE : body-mass index, airflow obstruction, dyspnoe, and
exercise capacity
BTA : basil tahan asam
BTS : British Thoracic Society
COPD : chronic obstructive pulmonary disease
CRP : C-reactive protein
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
DHA : docosahexaenoic acid
DM : diabetes melitus
DPG : 2,3-diphosphoglycerate
DPJP : dokter penanggung jawab pasien
DRI : dietary reference intakes
EKG : elektrokardiografi
EPA : eicosapentaenoic acid
FEV : forced expiratory volume
FVC : forced vital capacity
GDS : gula darah sewaktu

xiv
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


xv

GSH : glutathione
HADO : health, activity, dyspnoe, obstruction
Hb : hemoglobin
IB : indeks brinkman
IL : interleukin
Iwl : insisible water loss
HDL : high density lipoprotein
HIV : human immunodeficiency virus
HNP : hernia nucleosus pulposus
IMT : indeks masa tubuh
INH : isoniazid
IU : internasional unit
KCl : kalium klorida
KEB : kebutuhan energi basal
KEP : kurang energi protein
KET : kebutuhan energi total
KGDH : kadar gula darah harian
KSR : kalsium slow release
LDL : low density lipoprotein
LLA : lingkar lengan atas
LTB4 : leukotriene B4
LTOT : long term oxygen therapy
MAPK : mitogen-activated protein kinase
MCP-1 : monocyte chemoattractant protein-1
MDA : malondialdehyde
MIP 1 : macrophage inflammatory protein-1
MMP : matrix metaloproteinases
MRC : medical research council
MUFA : monounsaturated fatty acid
NAC : n-acetyl-L-cysteine
N:NPC : nitrogen : nonprotein calorie
OAT : obat antituberkulosis

xv
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


xvi

OBH : obat batuk hitam


ONS : oral nutrisi suplemen
PDE : phosphodiesterase
PPOK : penyakit paru obstruktif kronis
PPM & PL : penanggulangan penyakit menular dan penyakit
Lingkungan
PUFA : polyunsaturated fatty acid
RDA : recommended dietary allowance
REE : resting energy expenditure
ROS : reactive oxygen spesies
RSSW : Rumah Sakit Sumber Waras
SAA : serum amyloid A
SAFA : saturated fatty acid
SMRS : sebelum masuk rumah sakit
SGOT : serum glutamic oxaloacetic transaminase
SGPT : serum glutamic piruvic transaminase
SOD : superoxide dismutase
TEE : total energy expenditure
TNF- : tumor necrosis factor-
TTG : tim terapi gizi
Usila : Usia lanjut
WHO : World Health Organization

xvi
Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


1

BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah
dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran pernapasan yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial disertai efek sistemik, yang
berhubungan dengan respon inflamasi paru abnormal terhadap gas atau partikel
yang berbahaya.1,2
Data dari World Health Organization (WHO), menunjukkan bahwa pada
tahun 2002 PPOK telah menempati urutan ketiga setelah penyakit kardiovaskular
dan kanker. Di Indonesia, PPOK meningkat karena kebiasaan merokok masih
merupakan perilaku yang sulit dihentikan, disamping polusi udara dan lingkungan
3
hidup yang belum dapat dikendalikan dengan baik.
Respon inflamasi abnormal yang terjadi pada PPOK, adalah akibat
pajanan asap rokok baik aktif maupun pasif, polusi udara, infeksi saluran
pernafasan berulang, dan hiperreaktivitas bronkus. Asap rokok merupakan
penyebab dominan dibandingkan faktor penyebab lainnya. 3,4 Beberapa penelitian
terakhir menemukan bahwa selain mempengaruhi paru-paru, respon inflamasi
tersebut juga menimbulkan efek sistemik yang bermakna. Manifestasi sistemik
PPOK dapat menurunkan kualitas hidup pasien, meningkatkan risiko perawatan di
rumah sakit, dan meningkatkan mortalitas terutama pada pasien dengan derajat
PPOK yang berat.3,4,5
Tata laksana PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah
progresivitas penyakit, mencegah dan menangani komplikasi serta eksaserbasi,
meningkatkan toleransi latihan dan kualitas hidup penderita, dan menurunkan
angka kematian.3 Sedangkan dukungan nutrisi pada PPOK bertujuan untuk
memperbaiki malnutrisi, mempertahankan fungsi respirasi, mengurangi masa
rawat rumah sakit, serta meningkatkan kualitas hidup. Malnutrisi yang terjadi
pada PPOK, menyebabkan kelemahan otot secara umum (terutama otot
pernapasan), gangguan ventilasi paru-paru, dan gangguan fungsi imun. Penilaian
status nutrisi pada pasien PPOK penting dilakukan untuk mengetahui risiko
malnutrisi dan untuk memperbaiki pasien yang telah menderita malnutrisi.6,7

1 Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


2

Dukungan nutrisi yang adekuat menjadi bagian penting dalam tata laksana
pasien PPOK. Penelitian Ferreira dkk, 8 menunjukkan bahwa dukungan nutrisi
pada pasien PPOK memperlihatkan terjadinya perubahan signifikan dari massa
bebas lemak, dan perbaikan yang signifikan dari kekuatan otot pernapasan.
Penelitian Creutzberg dkk,9 menunjukkan bahwa dukungan nutrisi memberikan
efek yang baik pada pasien PPOK. Sedangkan menurut Roelinka dkk,10 dukungan
makanan cair peroral dapat mengoptimalkan asupan nutrisi pada pasien PPOK.
Untuk mengetahui peran dukungan nutrisi pada pasien PPOK, maka telah
dilakukan intervensi nutrisi pada empat orang pasien PPOK yang dirawat di
Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). Intervensi nutrisi yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien berdasarkan kondisi klinis.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum

Untuk mengkaji tata laksana nutrisi pada pasien PPOK agar dapat memperbaiki
status gizi pasien, meningkatkan kualitas hidup pasien, sehingga pada akhirnya
dapat menurunkan angka mortalitas dan meningkatkan angka harapan hidup.

1.2.2 Tujuan khusus :


1. Mengetahui perubahan metabolisme pada PPOK yang diakibatkan oleh
inflamasi di paru-paru dan secara sistemik
2. Menilai kondisi klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang untuk
menentukan diagnosis kerja gizi pada pasien PPOK
3. Melakukan intervensi gizi pada pasien PPOK selama perawatan di rumah
sakit
4. Menilai keberhasilan tatalaksana nutrisi yang telah diberikan melalui
monitoring dan evaluasi

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


3

1.3 Manfaat
1. Manfaat untuk pasien
mendapatkan tata laksana nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan dan
diharapkan dapat menambah pengetahuan pasien tentang pentingnya
nutrisi sebagai penunjang keberhasilan terapi yang dijalani

2. Manfaat untuk institusi


diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi dalam hal
tata laksana nutrisi pada pasien PPOK dan dapat menjadi salah satu
sumber dalam penyusunan standar operasional prosedur tata laksana
nutrisi pada pasien PPOK

3. Manfaat untuk penulis


dapat menerapkan ilmu selama masa pendidikan dokter spesialis gizi
klinik, sebagai sarana untuk melatih pola pikir, dan meningkatkan
kompetensi dalam tata laksana pasien PPOK.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru
Paru-paru terletak di dalam rongga torak, dan dibungkus oleh pleura parietalis dan
pleura visceralis. Rongga torak dipisahkan dari rongga abdomen oleh diafragma.
Sistem pernapasan terdiri dari rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara
luar sampai ke membran kapiler alveoli. Berikut ini adalah gambar dari sistem
pernapasan.11

Gambar 2.1 Sistem respirasi


Gambar 2.1 Sistim pernapasan
Sumber : daftar referensi no. 12
Proses pernapasan terdiri dari tiga stadium. Stadium pertama adalah
ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium
kedua adalah transportasi, yang terdiri dari : (1) difusi gas-gas dari alveolus ke
kapiler paru-paru (respirasi eksterna) dan dari peredaran darah sistemik ke sel-sel
tubuh; (2) distribusi darah di dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya
dengan distribusi udara di dalam alveolus. Respirasi sel atau respirasi interna

4 Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


5

merupakan stadium akhir respirasi. Pada stadium ini zat-zat dioksidasi untuk
mendapatkan energi adenosine triphospate (ATP), dan dihasilkan CO2 sebagai
hasil akhir dari proses metabolisme sel, yang kemudian dikeluarkan oleh paru-
paru.11
Pada kondisi normal, 97% oksigen dibawa ke jaringan oleh hemoglobin
yang terdapat dalam eritrosit. Sisa oksigen yang lain terdapat dalam cairan plasma
dan sel. Molekul oksigen berikatan secara reversibel dengan bagian heme dari
hemoglobin. Jika PO2 tinggi (kapiler paru), menyebabkan oksigen berikatan
dengan hemoglobin. Tetapi oksigen akan dilepaskan dari hemoglobin, jika PO2
rendah (kapiler jaringan). Fungsi yang cukup baik dari semua sistem ini penting
untuk respirasi sel. Malfungsi dari setiap komponen dapat mengganggu
pertukaran dan pengangkutan O2 dan CO2 dan dapat membahayakan proses
kehidupan.11

2.1.2 Definisi
Menurut American Thoracic Society (ATS), PPOK adalah suatu penyakit dengan
karakteristik obstruksi saluran pernapasan karena bronkitis kronis atau emfisema.
Obstruksi yang terjadi umumnya bersifat progresif, dan disertai hiper-reaktifitas
bronkus yang mungkin kembali menjadi normal walaupun hanya sebagian
fungsinya.13 Sedangkan British Thoracic Society (BTS) mendiskripsikan PPOK
sebagai suatu gangguan kronis, yang mengalami perkembangan lambat dengan
karakteristik berupa obstruksi saluran pernapasan [diprediksi forced expiration
volume 1 (FEV1) < 80%, dan FEV1/FVC < 70%). Sebagian besar fungsi paru
akan berkurang secara menetap namun sebagian akan kembali normal dengan
pengobatan bronkodilator.14
Penyakit Paru Obstruktif Kronis terdiri dari bronkitis kronis, emfisema,
atau gabungan keduanya. Bronkitis kronis merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus, minimal tiga
bulan dalam setahun, dan terjadi selama dua tahun berturut turut. 15 Sedangkan
emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomi parenkim paru yang ditandai
oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal. 15,16 Bronkitis
kronis merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema adalah diagnosis

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


6

anatomi.3 Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa, selain mempengaruhi


paru, PPOK ternyata dapat menimbulkan konsekuensi sistemik yang
bermakna.15,16

2.1.3 Epidemiologi
Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2002, menunjukkan
bahwa PPOK menempati urutan ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker. Hasil survey dari Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Menular
dan Penyakit Lingkungan (PPM & PL) di lima rumah sakit propinsi di Indonesia
(Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada
tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya
(2%).3

2.1.4 Etiologi
Pada PPOK terjadi respon inflamasi abnormal dari bronkus atau alveoli, akibat
pajanan material-material seperti asap rokok (aktif maupun pasif), polusi udara
(gas buangan kendaraan bermotor, dan debu jalanan), polusi dari perindustrian
(bahan kimia, zat iritasi, gas beracun), infeksi saluran pernapasan berulang,
hiperreaktifitas bronkus, dan defisiensi α-1 antitripsin (AAT).3,5
Kelainan struktur jaringan paru berkaitan erat dengan respon inflamasi
yang ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun, tetapi faktor utama dan
dominan adalah asap rokok. Merokok bukan hanya menyebabkan inflamasi paru
tetapi juga inflamasi sistemik. Faktor inflamasi berperan penting dalam
patogenesis PPOK yang mengakibatkan timbulnya berbagai morbiditas kompleks
lain, seperti osteoporosis, anemia, dan sindroma metabolik. Proses inflamasi
masih dapat berlangsung, walaupun kebiasaan merokok telah dihentikan. 3,5
Risiko terkena PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui Indeks
Brinkman (IB). Indeks Brinkman adalah penilaian derajat berat ringannya seorang
perokok, berdasarkan perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap
sehari dikalikan lamanya merokok (tahun). Dikatakan sebagai perokok ringan
apabila merokok antara 0-200 batang; perokok sedang apabila merokok antara

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


7

200-600 batang, dan perokok berat apabila merokok lebih 600 batang. Semakin
besar angkanya, semakin tinggi kemungkinan untuk menderita PPOK. 3,5
Di dalam sebatang rokok terdapat kurang lebih 4000 zat kimia dengan 60
zat di antaranya bersifat karsinogenik dan adiktif. Komponen yang terkandung di
dalam rokok dapat mengiritasi dinding sistim pernapasan yang menyebabkan
meningkatnya sekresi mukus di bronkus, dan fungsi mukosilia. Perokok pasif
mempunyai risiko yang sama besar dibandingkan perokok aktif. Sebanyak 25%
zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok masuk ke dalam tubuh perokok,
sedangkan 75% beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke dalam tubuh orang
disekelilingnya (perokok pasif).17

2.1.5 Patofisiologi PPOK


2.1.5.1 Mekanisme seluler PPOK
PPOK merupakan penyakit inflamasi sistemik yang juga mempengaruhi sistem
organ lain dalam tubuh. Rokok yang merupakan faktor risiko utama, dapat
menimbulkan respon inflamasi di paru, inflamasi sistemik selular dan humoral,
stres oksidatif, perubahan vasomotor dan disfungsi endotel, serta peningkatan
beberapa faktor prokoagulan darah.18,19 Berdasarkan beberapa penelitian adanya
inflamasi sistemik pada PPOK, ditandai oleh peningkatan kadar C-reactive
protein (CRP), tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin-6 (IL-6) serta IL-8. Hal
ini menggambarkan progresifitas penyakit paru, yang menyebabkan muscle
wasting, penyakit jantung koroner dan aterosklerosis. 20 Mekanisme molekuler dan
seluler pada PPOK dapat dilihat pada gambar 2.2.
Sel-sel yang terlibat dalam respon inflamasi pada PPOK terutama
neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel inflamasi tersebut selanjutnya
melepaskan sejumlah mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan
kemoatraktan yang memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi kaskade
inflamasi kronik dan progresif.4

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


8

Gambar 2.2 Mekanisme molekular pada PPOK


Sumber : daftar referensi no. 21
Paparan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel-sel epitel
saluran pernapasan. Makrofag alveolar meningkatkan pelepasan IL-8 dan TNF-α.
Sedangkan epitel saluran pernapasan melepaskan kemokin seperti IL-8, leukotrien
B4 (LTB4), macrophage inflammatory protein-1α (MIP 1α) dan monocyte
chemoattractant protein-1 (MCP-1).20 Pada PPOK terjadi ketidakseimbangan
antara proteinase dan antiproteinase serta antara oksidan dan antioksidan.15
Neutrofil melepaskan proteinase yang merupakan enzim proteolisis. Yang
termasuk proteinase adalah elastase, proteinase-3, cathepsin-G, cathepsin-B, dan
matrix metaloproteinases (MMP). Proteinase menyebabkan destruksi parenkim
dan perubahan struktur paru.4 Sedangkan oksidan yang dihasilkan oleh neutrofil
dan makrofag menyebabkan juga destruksi jaringan paru. Pada saluran pernapasan
terdapat peningkatan jumlah neutrofil yang nekrosis sehingga dihasilkan elastase
dan reactive oxygen species (ROS).20 Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan destruksi
parenkim paru dengan melepaskan perforin, granzyme, dan TNF-α.16

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


9

2.1.5.2 Mekanisme Inflamasi Sistemik


Respon inflamasi sistemik pada PPOK ditandai oleh mobilisasi dan aktivasi sel
inflamasi ke dalam sirkulasi. Proses inflamasi ini merangsang sistem
hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit
serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein (APP) seperti
CRP dan fibrinogen. Acute phase protein akan meningkatkan pembekuan darah
sehingga menjadi pemicu terjadinya trombosis koroner, aritmia, dan gagal
jantung.20,22,23 Efek sistemik PPOK dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.

PPOK

Inflamasi sistemik : Nutrisi abnormal &


- Stres oksidatif Disfungsi otot rangka : Efek sistemik lainnya :
penurunan BB : - Muscle wasting Kardiovaskular, sistem
- Aktivasi sel inflamasi - Peningkatan REE
- Peningkatan kadar - Struktur/fungsi syaraf, dan osteoskeletal
- Komposisi tubuh abnormal
sitokin plasma dan abnormal
protein fase akut - Keterbatasan latihan
- Metabolisme asam
amino abnormal

Gambar 2.3 Efek sistemik PPOK


Sumber : daftar referensi no. 20,22
Inflamasi paru terhadap paparan gas atau asap rokok dibuktikan oleh peningkatan
jumlah makrofag, neutrofil, dan limfosit T (didominasi oleh CD8+), peningkatan
leukotrien B4, IL-8 dan TNF. Hal ini juga sebagai bukti adanya stres oksidatif
yang disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau sel inflamasi yang diaktifkan.
Perubahan respon inflamasi yang sama juga ditemukan pada sirkulasi
sistemik.20,22
Reactive oxygen species menyebabkan stres oksidatif. Stres oksidatif
tersebut mencakup semua perubahan fungsi atau struktur. Penilaian kadar ROS
secara in vivo sulit karena waktu paruhnya sangat pendek. Peningkatan stress
oksidatif dapat dideteksi dalam plasma berupa peningkatan peroksidasi lipid
diikuti dengan penurunan kapasitas antioksidan.20

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


10

Pada penderita PPOK yang stabil, terjadi juga perubahan beberapa


mediator inflamasi seperti TNF-α, dan IL-8, sehingga menimbulkan peningkatan
kadar APP. TNF-α mengatur proses inflamasi pada tingkat multiseluler dengan
cara merangsang peningkatan ekspresi molekul adhesi leukosit dan sel endotel,
meningkatkan pengaturan sitokin proinflamasi lainnya (IL-8 dan IL-6) serta
menginduksi angiogenesis. 16,23,24
Proses eksaserbasi PPOK sebagian berhubungan dengan peningkatan
inflamasi pada bronkus dan sistemik. Etiologi dari eksaserbasi adalah infeksi
bakteri, virus, polusi udara, dan hal-hal yang menyebabkan perburukan inflamasi
pada saluran napas. Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan
neutrofil, dan eosinofil dalam sputum dan dinding saluran pernapasan. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan TNF-α, LTB4, IL-8, dan stres oksidatif. Gejala
eksaserbasi mencakup : batuk yang hebat, peningkatan volume dan purulensi
sputum, sesak napas yang bertambah, keterbatasan aktivitas, adanya wheezing dan
gagal napas.3,5,25

2.1.6 Manifestasi Klinis


Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan rutin, dan
pemeriksaan penunjang lanjutan. Gambaran klinis didapat melalui anamnesis
(yaitu: keluhan, riwayat penyakit, dan faktor predisposisi), dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan rutin mencakup spirometri, uji bronkodilator, laboratorium darah,
dan radiologi. Pemeriksaan penunjang lanjutan meliputi pemeriksaan faal paru
lengkap, uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, analisis gas darah,
radiologi (CT scan, scan ventilasi perfusi), elektrokardiografi (EKG),
ekokardiografi, dan bakteriologi.3,5
Gejala klinis PPOK sangat bervariasi, mulai dari asimptomatis, gejala
ringan, hingga berat. Penderita PPOK biasanya berobat dengan keluhan sesak
napas, batuk-batuk kronis, dan sputum yang produktif. Tipe emfisema paru,
cenderung memiliki keluhan sesak napas yang biasanya diekspresikan berupa pola
napas pendek. Pada tipe bronkitis kronis gejala batuk sebagai keluhan yang
menonjol, batuk disertai sputum yang banyak, dan kental ataupun encer.
Komplikasi yang terjadi berupa gangguan pernapasan dan jantung. Perburukan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


11

penyakit menyebabkan penurunan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-


hari, bahkan sampai kehilangan kualitas hidup. 3,5
Pada pemeriksaan fisik didapat pursed-lips breathing (mulut setengah
terkatup atau mulut mencucu), adanya dada barrel chest. Pada saat bernapas dapat
ditemukan penggunaan otot bantu pernapasan dan hipertrofi otot. Terdapat
pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi efek pada jantung kanan (kor pulmonal)
dan gagal jantung kanan (heart failure), terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai. Bila dilakukan palpasi pada penderita emfisema, didapat stem
fremitus yang lemah. Sedangkan pada perkusi didapat hipersonor, batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Auskultasi
digunakan untuk mendengar apakah suara napas vesikuler normal, atau melemah,
apakah terdapat wheezing atau ronki pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa, ekspresi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.3,5
Berdasarkan klinis dan spirometri, PPOK dibagi menjadi 4 derajat. Pada
derajat 1 (ringan): dengan atau tanpa gejala klinis (batuk, produksi sputum),
keterbatasan aliran udara ringan. Derajat 2 (sedang) : hambatan aliran udara
semakin memburuk, disertai adanya napas pendek, dan pasien mulai merasa perlu
berobat karena sesak. Derajat 3 (berat) : ditandai keterbatasan/hambatan aliran
udara yang semakin memburuk, sesak napas semakin berat, penurunan kapasitas
latihan dan eksaserbasi yang berulang serta berdampak pada kualitas hidup
pasien. Derajat 4 (sangat berat) : hambatan aliran udara yang berat, disertai gagal
napas kronis dan gagal jantung kanan. 3,5

Tabel 2.1. Klassifikasi PPOK berdasarkan tingkat keparahan


DERAJAT KLINIS FAAL PARU
Derajat 1 : Batuk kronik dan terdapat produksi sputum, VEP1 / KVP < 70%
PPOK tetapi tidak sering. Pasien sering tidak VEP1 ≥ 80% prediksi
ringan menyadari bahwa faal paru mulai menurun
Derajat 2 : Sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan VEP1 / KVP < 70%
PPOK kadang ditemukan gejala batuk dan produksi 50% < VEP1< 80%
sedang sputum. Pasien mulai memeriksakan prediksi
kesehatannya
Derajat 3 : Sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa VEP1 / KVP < 70%
PPOK berat lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering 30% < VEP1< 50%
dan berdampak pada kualitas hidup pasien prediksi

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


12

Derajat 4 : Gejala diatas ditambah tanda-tanda gagal VEP1 / KVP < 70%
PPOK napas atau gagal jantung kanan dan VEP1< 30% prediksi
sangat berat ketergantungan oksigen. Pada derajat ini atau VEP1< 50%
kualitas hidup pasien memburuk dan jika prediksi disertai gagal
eksaserbasi dapat mengancam jiwa napas kronik

Sumber : daftar referensi no. 3,5

2.2 Terapi
2.2.1 Terapi umum
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah
progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi penyakit, meningkatkan kualitas
hidup penderita, mencegah dan mengobati komplikasi, mencegah dan mengobati
eksaserbasi akut, dan menurunkan angka kematian. Secara umum,
penatalaksanaan PPOK meliputi edukasi, berhenti merokok, obat-obatan,
rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik, dan pemberian nutrisi adekuat.
Program berhenti merokok merupakan salah satu tujuan penting selama
tatalaksana PPOK. Obat-obatan yang biasa digunakan meliputi : bronkodilator,
glukokortikosteroid, antioksidan, dan mukolitik. PPOK merupakan penyakit paru
kronik progresif dan nonreversibel, sehingga dalam penatalaksanaannya terbagi
menjadi terapi pada kondisi stabil, dan pada kondisi eksaserbasi akut. 3,5
Inflamasi di paru harus dikendalikan untuk mencegah perluasan inflamasi
sistemik yang mungkin terjadi, serta penatalaksanaan komorbiditas sistemik yang
didapat pada pasien. Hal ini berdasarkan berbagai penelitian observasional yang
telah menunjukkan bahwa terapi dan tatalaksana komorbiditas pada PPOK dapat
memberikan manfaat lebih pada pasien. Terapi pengendalian inflamasi pada
PPOK yang sudah luas dilakukan dengan pemberian kortikosteroid inhalasi, ß2-
agonis kerja lama (long acting ß2-agonist), antikolinergik, teofilin, lung volume
reduction surgery, dan rehabilitasi paru. Pemberian kortikosteroid inhalasi
merupakan terapi utama pada pasien PPOK. Terapi komorbiditas yang diduga
memiliki efek antiinflamasi meliputi pemberian statin, ACE-inhibitor, peroxisome
proliferator-activated receptors agonist, antioksidan, dan terapi antiinflamasi baru
yang masih dalam pengembangan dan penelitian seperti phosphodiesterase
(PDE)4 inhibitor, dan p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) inhibitor.20

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


13

2.2.2 TATA LAKSANA NUTRISI


2.2.2.1 Hubungan nutrisi dan sistem pernapasan
Sistem pernapasan pada janin dapat diidentifikasi pada usia kehamilan satu bulan.
Selama masa kehamilan, bayi, dan anak-anak, sistem pernapasan mengalami
pertumbuhan dan pematangan. Usia lanjut menyebabkan integritas paru-paru
menurun. Fungsi utama dari sistem pernapasan yaitu pertukaran antara oksigen
dan karbondioksida atau sebaliknya, melalui proses metabolisme seluler. Selain
itu sistim pernapasan berfungsi juga untuk menyaring, menghangatkan dan
melembabkan udara pernapasan, sintesis surfaktan, mengatur keseimbangan
asam-basa, sintesis asam arakidonat, dan mengkonversi angiotensin I menjadi
angiotensin II.26
Nutrisi berhubungan dengan mekanisme imunitas di paru-paru. Partikel-
partikel dan mikroorganisme yang terhirup melalui udara inspirasi, ditangkap oleh
mukus di saluran pernapasan. Trakea, bronkus, dan bronkiolus dilapisi oleh sel-sel
yang memiliki silia. Silia-silia tersebut menangkap dan membuang partikel-
partikel dan mikroorganisme. Epitel yang melapisi permukaan alveoli
mengandung makrofag. Mikroorganisme yang terhirup dimusnahkan melalui
proses fagositosis. Meskipun mekanisme molekularnya belum jelas diketahui,
nutrisi yang mengandung antioksidan dapat melindungi jaringan paru-paru dari
stres oksidatif. Status nutrisi yang optimal, penting untuk pembentukan,
pertumbuhan dan perkembangan, serta proteksi kesehatan paru-paru selama masa
kehidupan.26

2.2.2.2 Hubungan malnutrisi dan penyakit pada sistem pernapasan


Malnutrisi menyebabkan gangguan dan kerusakan pada struktur paru-paru,
elastisitas dan fungsi paru-paru, massa otot pernapasan, kekuatan dan ketahanan
otot pernapasan, sistem imunitas paru-paru, dan kontrol pernapasan. Kekurangan
protein dan zat besi mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin, sehingga
kapasitas oksigen di darah berkurang. Kadar kalsium, magnesium, dan fosfor
yang rendah, dapat mengganggu fungsi otot pernapasan pada tingkat seluler.
Hipoproteinemia menyebabkan penurunan tekanan osmotik, sehingga cairan
tubuh pindah ke ruang interstisial, dan terjadi edema paru. Penurunan kadar

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


14

surfaktan (senyawa yang disintesis dari protein dan fosfolipid), dapat


menyebabkan kolaps alveoli dan meningkatkan beban kerja otot pernapasan.
Kolagen yang terdapat pada jaringan ikat paru-paru membutuhkan vitamin C
dalam pembentukannya. Sedangkan mukus, secara normal terbentuk dari air,
glikoprotein, dan elektrolit.7,26
Penurunan berat badan karena asupan energi yang tidak adekuat secara
signifikan berkorelasi dengan prognosis buruk pada pasien penyakit paru.
Malnutrisi menyebabkan gangguan imunitas pada setiap pasien yang berisiko
tinggi mengalami infeksi pada saluran pernapasan. Pasien penyakit paru yang
dirawat di rumah sakit dan mengalami kurang gizi cenderung mengalami masa
perawatan yang lebih lama dan rentan terhadap peningkatan morbiditas
dan mortalitas.7,26,30
Berbagai penyakit pada sistem pernapasan dapat mempengaruhi status
gizi. Penyakit paru menyebabkan peningkatan kebutuhan energi, penurunan
asupan makanan, keterbatasan dalam menyediakan makanan, dan perubahan
metabolisme. Komplikasi penyakit paru dan terapi medikamentosa dapat
menimbulkan masalah tentang asupan, pencernaan, absorpsi, sirkulasi, utilisasi,
penyimpanan, dan ekskresi dari sebagian besar zat nutrien. 7,26

2.2.2.3 Penilaian status gizi


Malnutrisi terjadi pada sebagian besar penderita PPOK, dan insiden meningkat
sesuai dengan tingkat keparahan penyakit. Malnutrisi tersebut menyebabkan
kaheksia, kelemahan otot pernapasan, gangguan ventilasi paru, dan gangguan
fungsi imun.7 Kaheksia yang terjadi pada pasien PPOK, disebabkan oleh hipoksia
jaringan, proses penuaan, aktivitas fisik, peningkatan kebutuhan energi
(hipermetabolisme), dan proses inflamasi sistemik yang kronik (gambar 2.4).27

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


15

Hipermetabolisme Hipoksia
jaringan

SINDROMA
Usia tua KAHEKSIA Inaktivitas
PULMONAL

Medika Inflamasi
mentosa sistemik

Gambar 2.4. Sindroma kaheksia pada PPOK


Sumber : daftar referensi no. 27
Dikatakan kaheksia jika memenuhi tiga dari lima kriteria (gambar 2.5). Kriteria
tersebut adalah : penurunan berat badan kurang dari 5% dalam 12 bulan (BMI <
20 kg/m2), penurunan kekuatan otot, kelelahan, anoreksia, penurunan massa bebas
lemak, serta peningkatan marker inflamasi, anemia dan hipoalbuminemia.28

PENYAKIT KRONIK
Gagal jantung, PPOK, GGK, Kanker, Sepsis,
Infeksi kronis

Resistensi Hipogonadisme Anemia


Anoreksia Inflamasi insulin

Penurunan
masa lemak Muscle wasting

Kelemahan otot
Penurunan BB Penurunan kekuatan otot, VO2 max. , dan
aktivitas fisik

DIAGNOSIS KAHEKSIA
- Penurunan BB  5% dalam 12 bln (BMI < 20 kg/m²), dan penurunan massa bebas lemak
- Penurunan kekuatan otot, dan kelelahan
- Anoreksia
- Peningkatan marker inflamasi (CRP, IL-6), anemia (Hb < 12 g/dL), albumin < 3,2 g/dL

Kaheksia: memenuhi 3 dari 5 kriteria diatas

Gambar 2.5 Kriteria kaheksia


Sumber : daftar referensi no. 28

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


16

Pada kaheksia terjadi perubahan metabolisme protein, lemak dan karbohidrat,


seperti yang dijelaskan pada tabel 2.2. 29

Tabel 2.2 Perubahan metabolisme pada kaheksia

Protein
Peningkatan kehilangan nitrogen urin
Peningkatan turnover protein
Penurunan sintesis protein otot rangka
Peningkatan proteolisis
Peningkatan sintesis protein fase akut
Penurunan kadar protein AARC
Lemak
Peningkatan lipolisis
Penurunan lipogenesis
Hiperlipidemia
Peningkatan turnover asam lemak bebas
Penurunan aktivitas lipoprotein lipase
Karbohidrat
Intoleransi glukosa
Hiperinsulinemia
Resistensi insulin
Peningkatan turnover glukosa
Peningkatan glukoneogenesis

Sumber : daftar referensi no. 29


Penilaian status gizi penting dilakukan untuk mengidentifikasi pasien yang
berisiko malnutrisi. Selain itu, konseling, dan intervensi nutrisi merupakan
komponen penting dalam tata laksana pasien PPOK. Terdapat beberapa faktor
yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian status gizi pada PPOK, yaitu
pengukuran antropometri, riwayat nutrisi (evaluasi asupan nutrisi, penggunaan
suplementasi), serta aktivitas fisik.7,26

Perubahan Antropometri
Berat badan kurang atau kehilangan berat badan yang cepat, khususnya deplesi
massa bebas lemak pada pasien PPOK merupakan prediktor mortalitas, resiko
eksaserbasi akut, indikasi rawat rumah sakit, dan pemakaian ventilator. 7,30,31
Penurunan berat badan sering terjadi terutama pada penderita emfisema karena
adanya peningkatan Resting Energy Expenditure (REE) untuk bernapas,
penurunan asupan nutrisi, dan inefisiensi proses metabolisme nutrien.7 Pasien
emfisema umumnya tampak kurus, kaheksia, kelihatan tua, disertai hipoksemia
ringan. Sedangkan bronkitis kronik, umumnya mempunyai indeks massa tubuh

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


17

(IMT) normal atau di atas normal.7 Namun demikan kehilangan massa bebas
lemak tetap terjadi pada kedua kondisi tersebut. Pada suatu penelitian yang
menilai komposisi tubuh pada penderita PPOK, menemukan deplesi massa bebas
lemak terjadi pada 37% pasien emfisema dan 12% pada bronkitis kronis.
Walaupun pada berat badan normal, deplesi massa bebas lemak tetap terjadi, yaitu
sebanyak 16% pada emfisema dan 8% pada bronkitis kronis. Hal ini
menunjukkan, selain berat badan dan IMT diperlukan juga penilaian komposisi
tubuh untuk mengetahui perubahan massa lemak dan massa bebas lemak pada
PPOK.7
Berat badan lebih karena kelebihan massa lemak dapat mengganggu dan
menambah beban kerja sistem pernapasan. Individu dengan obesitas berat
mengalami kesulitan bernapas disebabkan akumulasi lemak di sekitar rongga
torak, diafragma, dan abdomen, sehingga kapasitas paru berkurang, disertai
pertukaran O2 dan CO2 yang menurun. Pasien yang berat badannya > 40% berat
badan ideal, harus dievaluasi untuk menentukan intervensi yang sesuai, agar
memberikan efek jangka panjang. Intervensi nutrisi yang diberikan diharapkan
dapat mencegah pertambahan berat badan, dan kehilangan berat badan. Restriksi
berat badan merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan status kesehatan
borderline, khususnya pada pasien yang mempunyai riwayat berat badan dan
selera makan berfluktuasi, kehilangan berat badan selama fase eksaserbasi, dan
pertambahan berat badan karena penggunaan steroid yang lama. Hal ini karena,
restriksi tersebut dapat memperberat kehilangan berat badan karena proses
penyakit, dan juga menyebabkan penurunan fungsi paru.7

Riwayat Nutrisi
Asupan nutrisi yang kurang, penurunan berat badan, dan kaheksia, sering terjadi
pada PPOK derajat moderat dan berat. Hal ini karena adanya gejala anoreksia,
sesak napas, kembung, merasa cepat kenyang, dan fatique (kelelahan). Gangguan
pengecapan dapat timbul seiring dengan kronisitas pernapasan mulut dan
penurunan selera makan karena depresi. Walaupun asupan adekuat, kehilangan
berat badan tetap terjadi. Hal ini disebabkan pada penderita PPOK terjadi
peningkatan resting energy expenditure (REE) dan total energy expenditure

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


18

(TEE) independen. Suatu penelitian prospektif menyimpulkan bahwa asupan yang


diperkaya dengan sayur, buah, dan ikan dapat menurunkan insiden PPOK.7

Aktivitas Fisik
Keluhan umum pada Pasien PPOK berhubungan dengan aktivitas sehari-hari
termasuk makan dan aktivitas lain. Pasien mengeluh sesak sewaktu makan dan
minum, dan pada beberapa pasien, merasa cepat lelah bila makan. Kelelahan
karena sesak juga mengganggu aktivitas makan. Proses pengunyahan dan menelan
dapat terhalang oleh gangguan pernapasan dan ambilan oksigen yang menurun.
Pernapasan mulut yang kronis dan terapi medikamentosa yang digunakan dapat
mengubah pengecapan dan serostomia. Pada PPOK sering terjadi hiperventilasi
paru, disertai posisi diafragma yang mendatar dan volume abdomen yang
berkurang, yang menyebabkan pasien merasa cepat kenyang dan kembung pada
waktu makan. Jika pasien makan terlalu banyak, lambung akan meningkatkan
tekanan pada diafragma, sehingga susah bernapas. Aerophagia sering terjadi pada
PPOK dan menyebabkan gastric bloating. Faktor lain yang berkontribusi terhadap
asupan nutrisi yang buruk adalah depresi, halangan ekonomi dalam membeli dan
menyediakan makanan, serta kurangnya dukungan dan motivasi dari keluarga atau
orang terdekat.7

2.2.2.4 Kebutuhan nutrisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi asupan


nutrisi

2.2.2.4.1 Kebutuhan makronutrien


Tata laksana nutrisi pada PPOK bertujuan untuk mencegah dan memperbaiki
malnutrisi, serta mempertahankan fungsi respirasi. 32 Hipermetabolisme yang
terjadi pada PPOK karena peningkatan REE (untuk aktifitas pernapasan), dan
peningkatan inflamasi sistemik yang diketahui dari peningkatan TNF-α.
Mempertahankan keseimbangan energi yang optimal pada PPOK penting
dilakukan untuk menjaga berat badan, massa bebas lemak, dan kondisi tubuh yang
baik.7
Sesuai dengan analisis American Dietetic Association (ADA), prevalensi
IMT <20 kg/m2 terdapat pada 30% pasien PPOK. Fungsi otot pernapasan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


19

dipengaruhi status nutrisi dan berhubungan erat dengan berat badan dan massa
bebas lemak. Karena itu, pasien PPOK harus mendapatkan asupan kalori dan
protein yang cukup, untuk mempertahankan berat badan, massa bebas lemak, dan
status nutrisi yang adekuat.7
Walaupun asupan nutrisi pada pasien PPOK baik, namun kehilangan berat
badan tetap terjadi karena peningkatan Resting Energy Expenditure (REE) dan
Total Energy Expenditure (TEE) independent. Idealnya kebutuhan energi
ditentukan dengan menggunakan indirect calorimetry.7 Namun, jika tidak ada
indirect calorimetry, dapat memakai formula Harris Benedict. Kebutuhan kalori
basal ditentukan berdasarkan formula Harris benedict, sedangkan kebutuhan total
dikalikan faktor stres yang sesuai dengan derajat hipermetabolisme pasien.
Besarnya faktor stres pada PPOK (eksaserbasi akut) mencapai ≥ 1,5.33
Menurut Pia,34 kebutuhan energi pada PPOK sebesar ≥ 1,7 x REE. Sedangkan
menurut Thorsdottir dkk,7 asupan energi pada pasien PPOK 125%-156% (±
140%) dari basal energy expenditure. Selain itu, kebutuhan energi dapat dihitung
dengan mengalikan BB dengan 25-30 kkal/kgBB.7
Kebutuhan protein 20% dari energi total atau 1,2-1,7 gram/kgBB/hari. Pia
dkk mengatakan,34 kebutuhan protein pada PPOK ≥1,5 gram/kgBB. Pendapat lain
mengatakan, pada pasien PPOK yang stabil dapat diberikan protein 15-20% KET,
lemak 30-45% KET, dan karbohidrat 40-55% KET. Menurut Thorsdottir dkk,7
asupan protein 1,2-1,7 gram/kgBB/hari, cukup untuk mencegah proteolisis pada
pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit dengan eksaserbasi akut.7,30
Pemberian nutrisi pada pasien PPOK yang memakai ventilator perlu
diperhatikan agar tidak terjadi overfeeding. Pemberian glukosa infus tidak boleh
lebih dari 0,5 mg/kgBB/menit, karena dapat menyebabkan overfeeding. Pada
kondisi overfeeding terjadi peningkatan produksi CO2 dan komplikasi ventilasi,
sehingga pasien menjadi lama weaning dari ventilator. Produksi karbondioksida
(CO2) akan meningkat jika pasien overfeeding > 1,5 kali REE.7
Metabolisme karbohidrat menghasilkan CO2 yang lebih banyak
dibandingkan makronutrien lain (khususnya lemak). Suatu penelitian klinis yang
menggunakan modifikasi komposisi makronutrien menghasilkan jumlah CO 2
yang lebih kecil dibandingkan standard formula yang kalorinya sama tetapi

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


20

dengan tinggi karbohidrat. Namun demikian, perbaikan klinis yang dihasilkan


tidak konsisten. Keburukan dari pemberian nutrisi tinggi lemak adalah lambatnya
pengosongan lambung, sehingga perut tidak nyaman, kembung, dan merasa cepat
kenyang. Hal ini penting diperhatikan dalam menentukan toleransi pasien
terhadap formula nutrisi komersial, karena penundaan pengosongan lambung bisa
mengakibatkan distensi abdomen yang lama. 7,26,30
Pemberian serat sebaiknya ditingkatkan secara bertahap, dan perlu
memperhatikan gangguan absorpsi kalsium pada konsumsi serat yang berlebih. 7,26
Pemberian serat bertujuan untuk mencegah konstipasi, sehingga mengurangi
begah dan abdominal discomfort. Asupan serat sebaiknya tidak melebihi 14
g/1000 kkal.
Dalam menyusun komposisi diet, penting memperhatikan kesukaan dan
selera makan pasien terhadap menu makanan. Perlu digunakan berbagai variasi
menu tinggi energi dan protein untuk meningkatkan asupan nutrisi.

2.2.2.4.2 Kebutuhan mikronutrien


Cairan ekstraselular mengandung berbagai macam antioksidan. Antioksidan
tersebut berfungsi melindungi paru-paru dari stres oksidatif yang berasal
dari proses inflamasi yang disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau polusi udara.
Berdasarkan beberapa penelitian, sejumlah antioksidan seperti vitamin C, vitamin
E, β-karoten, dan selenium berhubungan dengan fungsi paru-paru yang sehat.
Suatu penelitian yang menilai hubungan antara asupan antioksidan dan fungsi
paru-paru selama tiga tahun pada suatu populasi, menunjukkan adanya korelasi
positif antara fungsi paru-paru dan asupan vitamin C, vitamin E, dan
karotenoid.40,41 Begitu juga penelitian pada golongan karotenoid,
lutein/zeaxanthin ternyata memiliki hubungan yang kuat dengan fungsi paru-paru,
yang terlihat dari perbaikan FEV dan FEV1. Adanya hubungan yang erat antara
antioksidan dan kesehatan fungsi pernapasan menjadikan penggunaan antioksidan
sebagai terapi baru untuk menurunkan inflamasi pada berbagai penyakit sistem
pernapasan.7,38
Merokok berkaitan dengan penurunan kapasitas antioksidan (asam
7,37
askorbat, α-tocopherol, β-karoten, dan selenium) pada berbagai cairan tubuh.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


21

Suatu metaanalisis membuktikan bahwa asupan makanan seorang perokok


mengandung tinggi energi, lemak, SAFA, kolestrol, dan alkohol serta rendah
antioksidan dan serat dibandingkan bukan perokok. Seorang perokok mempunyai
turnover metabolisme vitamin C sebesar 35 mg/hari, sehingga dianjurkan untuk
meningkatkan asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, 37 atau
meningkatkan suplementasi vitamin C lebih dari 35 mg/hari dari dietary reference
intake (DRI).7 Pada pasien PPOK, terdapat penurunan kadar vitamin B kompleks,
sehingga disarankan pemberian suplementasi vitamin B kompleks, agar terjadi
keseimbangan oksidan antioksidan.43
Stres oksidatif terjadi pada pasien PPOK selama periode stabil dan
eksaserbasi akut. Konsentrasi vitamin A dan E menurun selama periode
eksaserbasi akut.7 Namun suplementasi vitamin E tidak berkorelasi dengan
perbaikan fungsi paru. 42
Vitamin D memegang peranan penting dalam proses mineralisasi matriks
tulang yang berhubungan langsung dengan bone mineral density (BMD).
Kekurangan vitamin D akan mengurangi proses mineralisasi dan menurunkan
BMD. Penggunaan glukokortikoid akan menurunkan sekresi gonadotropin
(luteinizing hormon dan follicle-stimulating hormone) sehingga produksi estrogen
dan testosteron menurun. Kadar 25-hydroxyvitamin D yang rendah pada PPOK,
menunjukkan adanya defisiensi vitamin D karena kurangnya asupan dan paparan
sinar matahari, yang merupakan faktor penting pada penyakit tulang. Asupan
kalsium dan vitamin D pada pasien PPOK harus diperhatikan, terutama pada
pasien dengan asupan yang kurang atau pada konsumsi serat yang berlebihan
yang dapat mengganggu absorpsi kalsium. 7,26,30 Penelitian oleh Monadi dkk,
menunjukkan adanya hubungan antara kadar 25- hydroxyvitamin D serum dengan
FEV1, sehingga disarankan untuk mengoptimalkan kebutuhan vitamin D pada
pasien PPOK.39 Rekomendasi asupan kalsium adalah : 1200-1500 mg/hari,
sedangkan vitamin D 400 IU/hari.7
Stres oksidatif berperan dalam patogenesis PPOK. Suatu penelitian
membuktikan terdapatnya peningkatan stres oksidatif (peningkatan kadar MDA)
dan penurunan kadar antioksidan (GSH, SOD, dan vitamin C) secara signifikan
pada pasien PPOK.35 Tetapi beberapa penelitian tentang pemberian suplementasi

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


22

vitamin C, A, dan E pada pasien PPOK, didapatkan hasil yang beragam (tabel
2.3).36

Tabel 2.3 Suplementasi vitamin C dan E pada PPOK

JUMLAH
NO SUPLEMENTASI EFEK
PASIEN
1 200 IU/hari vitamin E, dan 500 21 PPOK dan 10 Terdapat peningkatan
mg/hari vitamin C selama 1 bulan kontrol signifikan waktu latihan (10
orang pasien PPOK)
2 50 mg/hari -tokoferol dan 20 29.133 orang Tidak mempengaruhi rekuren
mg/hari ß-karoten, selama 5-8 dan insiden dari batuk dan
tahun sesak
3 400 IU vitamin E/hari selama 12 30 orang pasien Spirometri : Tidak ada
minggu PPOK perbaikan dan perubahan
signifikan
4 400 IU vitamin E (group A) dan 24 orang pasien Terdapat perbaikan klinis dan
dibandingkan dengan standard PPOK fungsi paru yang sama pada
terapi (group B/plasebo), 2x/hari kedua kelompok
selama 8 minggu
5 Group 1(9) : vit.E 400 mg/hr. 35 orang pasien Tidak ada perbaikan fungsi
Group 2(9) : vit.E 200 mg/hr PPOK paru
Group 3(9) : vit.C 250 mg/hr
Group plasebo 8 orang.
Intervensi diberikan selama 12
minggu.
6 Vit. A selama 30 hari diberikan 36 orang sehat Perbaikan rerata fungsi paru
untuk orang sehat bukan perokok, dan 21 orang (FEV1) pada group vitamin A
perokok sehat, PPOK derajat pasien PPOK
ringan, PPOK sedang, PPOK berat,
dan PPOK dengan eksaserbasi

Sumber : daftar referensi no. 36


Magnesium dan kalsium berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot,
sehingga mineral ini penting bagi pasien PPOK. Pemberiannya disarankan sesuai
Dietary Referance Intakes (DRI). Pasien yang mendapat dukungan nutrisi agresif
sebaiknya dilakukan monitoring rutin kadar magnesium dan fosfor, karena kedua
mineral ini berfungsi sebagai kofaktor pembentukan ATP. 26
Garam perlu dibatasi karena dapat mengakibatkan retensi cairan dan
7,26,30
edema perifer, yang dapat mengganggu pernapasan. Gambar 2.6 berikut ini,
memperlihatkan pengaruh garam terhadap tekanan darah dan edema.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


23

ASUPAN GARAM DAN GAGAL JANTUNG

Peningkatan tekanan
darah

GARAM Peningkatan kegagalan


jantung
Hipertrofi
ventrikel kanan
Disfungsi Progresivitas gejala edema dan
ventrikel kanan gagal ventrikel kanan

Retensi natrium dan cairan

Gambar 2.6 Pengaruh asupan garam pada gagal jantung


Sumber : daftar referensi no. 65
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah disebutkan, suplementasi
antioksidan untuk pasien PPOK, memberikan hasil yang beragam, sehingga
belum ada rekomendasi dosis yang jelas. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui efek pemberian suplementasi vitamin dan mineral yang
berfungsi sebagai antioksidan dengan dosis yang efektif dan tidak toksik pada
PPOK.7

2.2.2.4.3 Kebutuhan cairan


Pertambahan usia, menyebabkan jumlah total cairan tubuh berkurang. Pada usila
total cairan tubuh sekitar 50% dari berat badan. Penurunan ini berhubungan
dengan berkurangnya masa bebas lemak. Konsumsi cairan pada kelompok usila
pada umumnya tidak optimal, sehingga berisiko terjadi dehidrasi. Kurangnya
asupan cairan pada usila, berhubungan dengan berkurangnya sensasi rasa haus,
penurunan fungsi ginjal, dan inkontinensia urin. Keadaan dehidrasi yang umum
terjadi pada usila, akan menimbulkan gangguan elektrolit, konstipasi, penurunan
elastisitas kulit, penurunan BB, sakit kepala, gangguan kognitif, dan mulut kering.
Asupan cairan harus adekuat untuk mengatasi kehilangan cairan melalui proses
fisiologis yang normal, seperti kehilangan melalui ginjal, sistem gastrointestinal
dan respirasi, serta dari kulit.26,63,64

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


24

Kebutuhan cairan pada lansia normal : 30-35 ml/kgBB/hari (50-65 tahun),


dan 25-30 ml/kgBB/hari (> 65 tahun). 26,63,64 Pada kondisi tertentu, seperti gagal
jantung, rekomendasi kebutuhan cairan 1500 ml/hari.7
Pada pasien PPOK asupan cairan harus cukup dan dianjurkan banyak,
terutama jika pasien demam dan untuk mengurangi kekentalan sputum. Untuk
mencegah abdominal discomfort disarankan agar pasien minum dengan volume
kecil setelah makan atau di antara waktu makan.7,26,30

2.2.2.4.4 Kebutuhan nutrien spesifik


Asam amino rantai cabang (AARC)
Berbagai penelitian yang dilakukan pada pasien PPOK memperlihatkan adanya
perubahan profil asam amino dalam plasma dan otot. Perubahan yang umum dan
konsisten, adalah penurunan kadar asam amino rantai cabang dan konsentrasi
glutamat otot. Perubahan metabolisme asam amino rantai cabang tampaknya
dipengaruhi oleh derajat muscle wasting, sedangkan penurunan kadar glutamat
otot terkait dengan luasnya emfisema.44 Penurunan kadar glutamat berkaitan
dengan penurunan kadar glutation otot. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
glikolisis yang terbukti dari peningkatan kadar laktat selama latihan. Mekanisme
yang mendasari perubahan profil asam amino tersebut diperkirakan karena faktor
mediator inflamasi kronis dan hipoksia.44
Kehilangan berat badan dan muscle wasting umumnya terdapat pada
pasien PPOK. Kondisi ini menyebabkan penurunan kapasitas fungsional,
peningkatan morbiditas dan mortalitas. Muscle wasting merupakan proses yang
kompleks, yang melibatkan metabolisme intermedier, diffrensiasi sel otot,
regenerasi dan apoptosis. Meskipun penelitian tentang metabolisme intermedier
pada PPOK masih sedikit, tetapi ternyata asam amino memiliki potensi yang
berarti dalam anabolisme otot. Berdasarkan penelitian, hipoksia dan inflammasi
sistemik yang terjadi pada PPOK, dapat mempengaruhi metabolisme asam amino.
Asam amino berperan penting dalam metabolisme intermedier, komponen
penyusun protein, bahan pembentuk nukleotida dan neurotransmiter.44
Beberapa penelitian berikut menunjukkan adanya perubahan profil asam
amino rantai cabang dan aromatik pada pasien PPOK.44 Penelitian oleh Morrisson

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


25

dkk,45 membuktikan bahwa pada pasien underweight dengan kondisi muscle


wasting dan emfisema, terdapat penurunan kadar AARC (leusin, dan valin),
glutamin, glutamat, dan alanin. Sedangkan penelitian oleh Schols dkk, Pouw dkk
pada pasien PPOK derajat sedang dan berat, 46,47 menemukan penurunan kadar
AARC, glutamin, glutamat, alanin, fenilalanin, dan tirosin. Pada penelitian lain,48
ditemukan adanya hubungan antara deplesi glutamin plasma dengan
hipermetabolisme pada pasien PPOK. Penelitian oleh Yoneda dkk pada 30 pasien
PPOK sedang dan berat dengan BB normal,49 membuktikan adanya penurunan
kadar AARC (isoleusin, valin), alanin, tirosin, serta peningkatan kadar glutamin,
glutamat, dan fenilalanin. Sedangkan penelitian Hofford dkk pada pasien PPOK
dengan kondisi underweight dan emfisema,50 menemukan adanya penurunan
kadar AARC (leusin), serta peningkatan kadar glutamin dan tirosin.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah disebutkan, memperlihatkan
adanya perubahan tidak konsisten dari asam amino aromatik (fenilalanin, tirosin),
dan glutamin pada plasma pasien PPOK. Sedangkan hasil yang konsisten terdapat
pada penurunan kadar asam amino rantai cabang. Kadar AARC menurun
signifikan pada pasien underweight (< 90% IBW) dibanding pasien dengan BB
normal.44 Penelitian oleh Schols dkk,46 memperlihatkan hubungan signifikan
antara penurunan kadar AARC dengan deplesi massa bebas lemak dan penurunan
kekuatan otot pernapasan.
Penurunan kadar AARC pada PPOK terutama disebabkan penurunan
kadar asam amino leusin. Insulin sebagai hormon anabolik dapat mempengaruhi
metabolisme asam amino, khususnya AARC. Data menunjukkan bahwa
kemungkinan terdapat abnormalitas sistem transport intermembran dari leusin
pada pasien PPOK. Inflamasi menimbulkan juga efek negatif pada kadar AARC
plasma. Pemberian endotoxin intravena pada tikus, menunjukkan bahwa inflamasi
dapat menurunkan kadar AARC plasma melalui peningkatan aktivasi enzim
branched-chain keto acid dehydrogenase yang terdapat di otot. Sitokin yang
dimediasi oleh enzim branched-chain keto acid dehydrogenase, dapat
mempercepat oksidasi AARC, yang dapat dilihat pada kondisi katabolisme
protein akut (misalnya : sepsis, trauma). Selain itu, inflamasi dapat merangsang
ambilan asam amino oleh hepatosit, sehingga menurunkan kadar AARC di

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


26

plasma. Sebagian besar penelitian eksperimental menilai bahwa inflamasi lokal


yang akut dapat mempengaruhi metabolisme AARC. Kondisi eksaserbasi akut
merupakan inflamasi jangka pendek, tetapi secara umum PPOK ditandai dengan
inflamasi sistemik yang kronis.44
Asupan protein kasein yang banyak mengandung AARC pada individu
sehat, memberikan efek anabolik bila dibandingkan dengan asupan protein dari
kacang kedelai saja.51 Sedangkan pada penelitian engelen dkk,51 suplementasi
protein kacang kedelai yang diperkaya AARC pada pasien PPOK dengan berat
badan normal, dapat menurunkan proteolisis dan meningkatkan sintesis protein
tubuh.
Walaupun telah banyak penelitian yang menyatakan tentang penurunan
kadar AARC pada pasien PPOK, tetapi penelitian tentang efek pemberian AARC
masih terbatas. Rekomendasi dosis asupan AARC, untuk pasien PPOK, masih
belum jelas.

Omega-3
Kondisi PPOK ditandai adanya inflamasi kronis saluran pernapasan dan parenkim
paru yang disertai infiltrasi neutrofil dan makrofag. Inflamasi tersebut
menyebabkan fibrosis dan penyempitan saluran pernapasan serta kerusakan
parenkim paru. Walaupun telah berhenti merokok, inflamasi akan terus berlanjut.
Secara imunologis, PPOK menyebabkan dihasilkannya beberapa mediator
inflamasi, yaitu IL-8, TNF-, dan leukotriene B4 (LTB4). Salah satu strategi
terapi PPOK adalah mengendalikan inflamasi.52,53
Infamasi sistemik sehubungan dengan PPOK dapat merusak massa dan
fungsi otot rangka, kardiovaskular, integritas tulang dan kesehatan mental,
sehingga meningkatkan risiko osteoporosis, penyakit kardiovaskular, diabetes dan
depresi. Intervensi nutrisi yang telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan
penyakit inflamasi seperti artritis rematoid dan penyakit kardiovaskuler, adalah
suplementasi omega-3. Diharapkan omega-3 bermanfaat juga untuk PPOK.53
Polyunsaturated fatty acids (PUFA) atau asam lemak tak jenuh ganda
(omega-3 dan omega-6) adalah asam lemak esensial yang harus ada dalam
makanan sehari hari, karena tubuh manusia tidak dapat mensintesisnya. Omega-3

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


27

terdiri dari docosahexaenoic acid (DHA) dan eicosapentaenoic acid (EPA).


Omega-6 terdiri dari arachidonic acid (AA). Fungsi PUFA adalah sebagai
komponen membran sel, berpengaruh pada fluiditas membran serta
mempengaruhi enzim yang terdapat pada membran sel dan reseptor. PUFA
mengatur berbagai fungsi dalam tubuh, termasuk tekanan darah, pembekuan
darah, perkembangan dan fungsi otak serta sistem saraf.54 Bahan makanan sumber
omega-3 adalah ikan, sedangkan omega-6 dapat diperoleh dari daging, susu, dan
telur (tabel 2.4).53,55 Rasio optimal omega-6/omega-3 yang disarankan adalah
4:1.54

Tabel 2.4 PUFA dan bahan makanan sumber


PUFA Sumber
Omega-3
Α-linolenic acid (ALA) Walnut, minyak flaxseed, minyak kanola
Eicosapentaenoic acid (EPA) Ikan, minyak ikan
Docosahexaenoic acid (DHA) Ikan, minyak ikan
Omega-6
Linoleic acid (LA) Minyak : jagung, biji bunga matahari, kacang
kedelai, safflower, dan cottonseed
γ-linolenic acid Minyak : evening primrose, borage, black
current seed
Arachidonic acid (AA) Daging, ayam/unggas, susu, telur

Sumber : daftar referensi no. 55


Omega-3 (ALA) dan omega-6 (LA) merupakan precursor dari
eicosanoids. Eicosanoids adalah derivat dari AA (prostaglandin-2, Tromboksan-2,
Leukotrien-4, asam hydroxyeikosatetraenoik) dan EPA (prostaglandin-3,
tromboksan-3, Leukotrien-5, asam hydroxyeikosatetraenoik). EPA dan AA
merupakan kunci dari mediasi dan regulasi proses inflamasi.54 Efek inflamasi AA
lebih kuat dibandingkan EPA. EPA, DHA dan AA memiliki peran yang berbeda
dalam mediator inflamasi. Peningkatan konsumsi EPA dan DHA akan
meningkatkan komposisi asam lemak omega-3 dalam sel-sel inflamasi dengan
mengorbankan AA. Omega-3 mempengaruhi produksi mediator inflamasi pada
tingkat sel melalui perubahan transkripsi gen. Faktor transkripsi gen yang penting
dalam respon inflamasi adalah nuklear faktor kappa beta (NF-kB), yang harus
diaktifkan sebelum melakukan translokasi ke dalam inti untuk memulai

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


28

transkripsi gen. DHA dan EPA dianggap mampu menghambat aktivasi NF-kB,
sehingga mengurangi transkripsi dari sejumlah sitokin inflamasi dan kemokin.53
Omega-3 memiliki efek antiinflamasi dengan cara menurunkan produksi sitokin-
sitokin.52
Penelitian-penelitian tentang asupan asam lemak omega-3 pada pasien
PPOK menghasilkan outcome yang beragam. Suplementasi PUFA (3,4 g/hari)
pada 102 pasien PPOK selama delapan minggu, menghasilkan peningkatan
signifikan kapasitas latihan, tetapi tidak berefek pada perbaikan FEV1, kekuatan
otot, dan tidak mempengaruhi kadar marker inflamasi. 56 Penelitian yang
mengamati hubungan asupan makanan yang banyak mengandung omega-3,
menunjukkan hasil yang berlawanan dengan angka prevalensi PPOK. 57,58 Pada
penelitian Matsuyama,52 pemberian nutrisi yang diperkaya omega 3 dapat
menurunkan IL-8, TNF-, dan LTB4 secara signifikan. Dosis omega 3 yang
dipakai pada penelitian Matsuyama lebih kecil dari dosis omega 3 yang
direkomendasikan untuk penyakit jantung. Rasio omega 3/omega 6 pada
penelitian Matsuyama (kelompok omega 3) adalah 1,5 : 1, sedangkan kelompok
kontrol 1:13.
Data tentang rekomendasi dosis asupan omega 3 untuk pasien PPOK,
masih belum jelas. Sedangkan rekomendasi dosis optimal untuk kesehatan tubuh,
sebesar 0,5-1,8 g/hari, atau mengkonsumsi dua porsi ikan/minggu.59 Rekomendasi
WHO untuk omega-3 minimal 0,3-0,5 gram/hari untuk EPA dan DHA, sedangkan
untuk asam linolenat disarankan sebanyak 0,8-1,1 gram/hari.61 Pemberian
suplementasi omega-3 lebih dari 3 g/hari, akan menimbulkan efek samping antara
lain perdarahan, dan gangguan gastrointestinal. 60 Rekomendasi dosis maksimal
omega-3 adalah 3 g/hari, namun sejumlah penelitian yang memberikan omega-3
dosis tinggi (3,4 g/hari - 6,6 g/hari), ternyata tanpa disertai efek samping. 53
Omega-3 banyak terdapat dalam ikan laut dalam, dan minyak yang berasal dari
tumbuhan. Tabel 2.5 berikut ini berisikan kandungan omega-3 dalam beberapa
ikan di Indonesia.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


29

Tabel 2.5 Kadar omega-3 dan omega-6 yang terkandung dalam beberapa ikan di
Indonesia
Nama ikan Kandungan omega-3/ Kandungan omega-6/ Rasio
100 g ikan 100 g ikan Omega-
3/omega-6
Tembang 1,2 0,3 4,0
Sirkuning 0,2 0,2 1,0
Belanak 0,4 0,3 1,3
Teri 1,4 0,3 4,7
Tenggiri 1,1 0,7 1,6
Sardin 1,2 0,6 2,0
Kakap 0,6 0,3 2,0
Cucut 1,9 0,5 3,8

Sumber : daftar referensi no. 62


Tabel 2.6 berikut ini berisikan kandungan omega-3 dalam beberapa
minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Tabel 2.6 Kadar omega-3 dalam berbagai minyak yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan (/1 sendok teh)
Jenis minyak/lemak Energi (kkal) Kadar omega-3 (mg)
Minyak Flaxseed 120 7.980
Minyak ikan salmon 123 525
Minyak ikan sarden 123 592
Minyak cod liver 123 254
Minyak kanola 124 1.302
Saus mustard 124 826
Minyak kacang walnut 120 1.414
Minyak zaitun 119 81
Minyak kacang kedelai 120 925
Shortening 115 141
Minyak kelapa sawit 120 27
Margarin 102 103
Mayonais 99 414
Cocoa butter 120 14

Sumber : daftar referensi no. 61

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


30

N-acetyl-L-cysteine (NAC)
N-acetyl-L-cysteine berasal dari asam amino L-sistein. Sistein merupakan asam
amino yang mengandung sulfur, precursor antioksidan seluler GSH (glutation).
Glutation adalah antioksidan utama di dalam dan di luar sel, dan disintesis dari
sistein, glisin, dan asam glutamat. Glutation merupakan antioksidan yang kuat,
berfungsi memproteksi asam lemak dari kerusakan akibat radikal bebas. Sintesis
glutation sangat tergantung dari adekuasi asupan protein, dan menurun pada
kondisi inflamasi.26
Sistein merupakan faktor utama dalam sintesis glutation, namun
ketersediaan sistein di dalam tubuh terbatas. Sistein dapat diproduksi tubuh dari
asam amino metionin. Dalam metabolismenya, metionin akan berubah menjadi
homosistein, dan kemudian menjadi sistein. Perubahan tersebut melibatkan peran
asam folat, vitamin B12, dan vitamin B6. 26 Bahan makanan sumber sistein antara
lain semua sumber protein (telur, ikan, daging, dan susu), dan dalam jumlah kecil
terdapat dalam brokoli, cabai, dan bawang. Sedangkan bahan makanan sumber
metionin adalah daging, ayam, ikan, telur, susu, dan kacang-kacangan.
Pemberian NAC bertujuan sebagai antioksidan (meningkatkan produksi
GSH), dan mukolitik, sehingga dapat menurunkan eksaserbasi akut. Beberapa
penelitian telah membuktikan efek terapi dari NAC, tetapi pemberian NAC tidak
dapat dijadikan sebagai maintenance.38

2.2.2.4.5 Bentuk nutrisi dan cara pemberian


Nutrisi dilakukan secara bertahap sesuai kondisi klinis pasien, dengan porsi kecil
namun sering (small frequency meals). Disarankan pemberian oral nutrisi
suplemen (ONS), untuk mencegah sesak setelah makan, rasa cepat kenyang, dan
kembung.66 Namun penelitian tentang penggunaan oral nutrisi suplemen untuk
penambahan kalori dan protein menghasilkan hasil yang beragam. Penambahan
disarankan jika asupan yang dikonsumsi tidak cukup meningkatkan perbaikan
fisik dan status nutrisi. Begitu juga dengan suplemen vitamin mineral, diberikan
jika sumber dari bahan makanan tidak mencukupi. 7 Pendapat lain menyarankan
pemberian suplemen nutrisi pada penderita dengan IMT <20 kg/m2, dan disertai
dengan latihan fisik secara teratur untuk membangun massa otot. The American

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


31

Thoracic Society merekomendasikan suplementasi nutrisi diberikan jika terdapat


penurunan berat badan >10% dalam enam bulan terakhir atau >5% dalam sebulan.
Pada PPOK berat, intervensi nutrisi harus sedini mungkin, untuk mendeteksi dan
mencegah penurunan berat badan sebelum pasien jatuh pada kondisi malnutrisi.7
Bila keadaan pasien membaik, nutrisi dapat ditingkatkan dalam bentuk
bubur beras, nasi tim, dan nasi biasa. Pemberian nutrisi dilakukan melalui oral.
Jika asupan tidak adekuat (< 60% dari estimasi energy expenditure) selama lebih
dari 10 hari disarankan pemberian nutrisi enteral. 67

2.2.2.4.6 Interaksi obat dan nutrisi


Evaluasi obat-obatan yang digunakan penting dilakukan untuk mengetahui apakah
dapat mempengaruhi status gizi. Bronkodilator menimbulkan mulut kering,
nausea, mual, jantung berdebar, dan kram tangan. Mukolitik menimbulkan mulut
kering, dan nausea, sehingga dapat menurunkan asupan makanan.
Kortikosteroid dapat menurunkan absorpsi kalsium dan meningkatkan
ekskresi urin, yang menyebabkan peningkatan kadar hormon paratiroid dan
resorpsi tulang. Penderita yang mendapat oral glukokortikoid berisiko lebih tinggi
terkena osteoporosis daripada yang mendapat terapi hanya bronkodilator. 7
Osteoporosis merupakan salah satu efek sistemik yang sering terjadi pada pasien
PPOK tahap lanjut. Risiko terkena osteoporosis semakin meningkat sejalan
dengan beratnya penyakit. Pengukuran densitas tulang harus dilakukan setahun
sekali pada penderita PPOK, terutama yang mendapat terapi glukokortikoid
jangka panjang (>7,5 mg prednison/hari).7
Selain itu, kortikosteroid oral dapat menimbulkan efek samping berupa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, hipertensi, peningkatan selera
makan, peningkatan BB, hiperglikemi, dan hiperlipidemia. Sedangkan
kortikosteroid inhaler menyebabkan suara serak, nyeri/rasa tidak nyaman di
rongga mulut, batuk, dan infeksi tenggorokan.
Fosfat dibutuhkan untuk sintesis ATP dan 2,3-diphosphoglycerate (DPG);
keduanya penting untuk fungsi paru. Simpanan fosfat di otot perifer dan otot
pernapasan menurun pada pasien PPOK. Terapi medikamentosa seperti
kortikosteroid, diuretik, dan bronkodilator menyebabkan hipofosfatemia dan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


32

tampaknya berkontribusi terhadap deplesi simpanan fosfat. Pada penyakit paru,


gagal napas, dan yang mendapat dukungan nutrisi agresif, perlu dilakukan
monitoring fosfat serum secara ketat untuk memastikan adekuasi kadarnya.7
Golongan diuretik menimbulkan gangguan elektrolit, dan ekskresi
vitamin-vitamin larut air.7,26

2.2.2.7 Konseling dan edukasi


Konseling dan edukasi merupakan bagian penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada pasien PPOK stabil.3 Suatu penelitian menunjukkan bahwa pasien
PPOK yang mendapat konseling nutrisi dan fortifikasi makanan cukup energi dan
protein, dapat menambah berat badan dibandingkan dengan yang tidak mendapat
edukasi nutrisi.7
Tujuan edukasi pada pasien PPOK adalah mengetahui dan memahami
perjalanan penyakit dan pengobatan, melaksanakan pengobatan yang maksimal,
mencapai aktivitas optimal sesuai kemampuan fisik pasien, dan meningkatkan
kualitas hidup. Inti edukasi mencakup penyesuaian keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Edukasi diberikan sejak ditentukan
diagnosis dan berlanjut secara berulang bagi keluarga pasien. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan, memberikan semangat hidup walaupun
dengan keterbatasan aktivitas. Salah satu edukasi yang penting adalah berhenti
merokok, dan intervensi nutrisi yang adekuat. 3
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif
dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas
penyakit. Intervensi nutrisi penting, karena kondisi malnutrisi (kurang gizi) sering
terjadi pada PPOK. Kondisi malnutrisi akan meningkatkan mortalitas karena
berkorelasi dengan penurunan fungsi paru.3

2.2.2.4.8 Latihan fisik


Latihan fisik sebagai bagian dari rehabilitasi nutrisi pada pasien PPOK,
merupakan komponen yang sama pentingnya dengan terapi lain. Tujuan latihan
fisik untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem transportasi oksigen.
Latihan fisik yang baik akan menghasilkan peningkatan VO2 max, perbaikan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


33

kapasitas kerja aerobik maupun anaerobik, peningkatan cardiac output dan stroke
volume, peningkatan efisiensi distribusi darah, dan percepatan pemulihan.3
Dukungan nutrisi disertai dengan latihan fisik, menunjukkan hasil yang
lebih baik dalam peningkatan berat badan, massa bebas lemak, dan kekuatan otot
pernapasan pada pasien PPOK yang stabil. Jenis latihan fisik tergantung tingkat
keparahan PPOK. Suatu penelitian klinis yang membandingkan latihan fisik yang
berbeda pada pasien PPOK, menyimpulkan bahwa latihan regangan otot
menghasilkan perbaikan kualitas hidup. Disfungsi otot skeletal merupakan
indikator bertambah beratnya kondisi PPOK. Latihan regangan otot dapat
meningkatkan fungsi otot skeletal dan meningkatkan kondisi tubuh secara umum. 7

2.2.2.9 Terapi oksigen


Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan kronik yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik diotot
maupun organ-organ lain. Manfaat pemberian oksigen yaitu : mengurangi sesak,
memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmonal, mengurangi
vasokontriksi, menurunkan hematokrit, memperbaiki fungsi neuropsikiatri, dan
meningkatkan kualitas hidup. Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah sakit
maupun di rumah.3

2.2.3 Prognosis
Melakukan penilaian terhadap derajat keparahan penyakit dan memprediksi
mortalitas, merupakan bagian penting dalam tata laksana terapi pada pasien
PPOK. Indikator prognosis yang sering digunakan adalah nilai FEV1, karena
penurunan FEV1 berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas. Indikator
prognosis lain yang dapat digunakan adalah indeks BODE (body-mass index,
airflow obstruction, dyspnoea, and exercise capacity), St. George’s respiratory
questionnaire, indeks Charlson, C-reactive protein (CRP),68 indeks ADO (age,
dyspnoea, and airflow obstruction), dan skor HADO (health, activity, dyspnea,
obstruction). Cara yang paling akurat untuk menentukan prognosis dan angka
harapan hidup seorang penderita PPOK adalah melalui BODE indeks.69

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


34

Prognosis PPOK dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : obstruksi berat


saluran pernapasan yang ditandai oleh penurunan nilai FEV1, adanya emfisema,
kapasitas latihan yang rendah, sesak berat [dinilai dengan medical research
council (MRC) dyspnoea scale], jenis kelamin laki-laki, malnutrisi (underweight
atau overweight), adanya komplikasi kor pulmonal atau gagal napas, rokok (lama
dan jumlah), adanya infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan frekuensi
eksaserbasi akut.70

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


35

BAB 3
KASUS

Teknis pelaksanaan
Serial kasus ini diambil dari RSSW pada kurun waktu Januari sampai April 2013.
Pengambilan dan penentuan pasien yang termasuk dalam serial kasus,
berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut adalah : pasien
memiliki permasalahan nutrisi yang memerlukan dukungan nutrisi, dan
berdasarkan skrining gizi yang berlaku di RSSW, pasien termasuk dalam
pemantauan tim terapi gizi (TTG) rumah sakit.
Sebelum menentukan dan mengambil data pasien untuk serial kasus, maka
dilakukan beberapa persiapan. Persiapan tersebut antara lain : studi literatur
tentang hal-hal yang berhubungan dengan pasien PPOK, mengamati profil pasien-
pasien dengan penyakit paru (khususnya PPOK) yang dirawat di RSSW,
mengetahui dan mempelajari beberapa jenis nutrisi yang dapat disediakan oleh
rumah sakit, mendata hal-hal yang diperlukan untuk keberhasilan dukungan
nutrisi yang diberikan, dan mengetahui beberapa fasilitas yang mungkin didapat
oleh pasien dengan berbagai macam jaminan pembayaran. Selain itu, dilakukan
juga perkenalan, dan diskusi dengan beberapa dokter yang kemungkinan akan
turut merawat pasien-pasien PPOK, seperti spesialis interna, spesialis paru,
spesialis jantung, dan dokter ruangan. Tak lupa, dilakukan juga pendekatan
dengan dietisen, perawat ruangan, dan keluarga pasien. Hal ini penting dilakukan
agar dapat membantu keberhasilan dukungan nutrisi yang diberikan, mengingat
bahwa dukungan nutrisi tidak berdiri sendiri, dan tidak dapat dipisahkan dari tata
laksana penyakit secara umum.
Pendekatan dan interaksi kepada pasien dan keluarga dilakukan selama
perawatan di rumah sakit. Hal ini bertujuan agar pasien sekeluarga lebih koperatif,
dan dapat menerima dengan baik bila diberikan edukasi dan motivasi selama
perawatan. Penerimaan yang baik akan menimbulkan interaksi dan komunikasi
yang baik, sehingga rencana nutrisi yang diberikan dapat diterima dan
dilaksanakan.

35 Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


36

3.1. Kasus 1
Seorang pasien dengan identitas Tn. MM, usia 70 tahun, beragama Islam,
menikah, dan tidak bekerja, masuk ke Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) pada
tanggal 25 Januari 2013. Pasien masuk dengan keluhan utama sesak napas.
Berdasarkan skrining gizi, pasien memerlukan pemantauan Tim Terapi Gizi
(TTG), karena asupan yang tidak adekuat selama satu minggu, kadar albumin < 3
g/dL, dan adanya penyakit dengan stres metabolik.
Riwayat perjalanan penyakit diawali dengan keluhan sesak napas sejak
tujuh hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), dan memberat pada dua hari
SMRS. Pasien sesak disertai batuk dengan dahak yang banyak. Karena sesak,
pasien merasa lebih nyaman duduk dibandingkan berbaring. Pasien juga
mengeluh nyeri ulu hati, dan mual sejak lima hari SMRS. Selama satu minggu
SMRS asupan makanan pasien menurun. Buang air kecil (BAK) dan buang air
besar (BAB) normal. Pada saat pemeriksaan, sesak masih ada, tetapi mulai
berkurang. Keluhan sakit perut, nyeri ulu hati dan mual masih ada.
Berdasarkan data rekam medik, pasien telah didiagnosis dokter RSSW
dengan PPOK pada bulan November 2002, kor pulmonal dan gagal jantung
kongestif pada bulan Juni 2012. Riwayat hipertensi, DM tipe 2, gangguan fungsi
hati dan fungsi ginjal disangkal oleh pasien. Pasien memiliki kebiasaan merokok
sebanyak tiga bungkus/hari, dan telah berhenti sejak satu tahun yang lalu. Pasien
tidak bekerja lagi, sehingga kebutuhan sehari hari ditanggung oleh anak-anaknya.
Pada pemeriksaan objektif, pasien tampak sakit sedang, dengan kesadaran
kompos mentis. Tanda vital menunjukkan tekanan darah 140/90 mmHg, frekuensi
nadi 90x/menit, respirasi 28x/menit, dan suhu 36,5ºC. Pada pemeriksaan kepala
didapatkan: pursed-lips breathing (mulut mencucu), bibir basah, dan gigi geligi
tidak lengkap. Pada hidung terpasang kanul oksigen, dengan oksigen 2 liter/menit.
Pemeriksaan torak didapatkan, barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan,
dan ronki paru. Sedangkan pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus
yang normal, dan edema pada kedua ekstremitas bawah. Penilaian kapasitas
fungsional terbatas karena kondisi sesak. Berdasarkan indeks Barthel, kapasitas
fungsional termasuk ketergantungan sedang.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


37

Pada pemeriksaan antropometri didapatkan tinggi badan (TB) 160 cm,


berat badan aktual (BBA) 44 kg, berat badan tanpa edema 41,8 kg (dengan
koreksi 5% dari BBA), dan indeks massa tubuh (IMT) 16,32 kg/m2 (status gizi
malnutrisi sedang). Bila berdasarkan lingkar lengan atas (LLA), yaitu 18 cm,
maka berat badan perkiraan (BBP) 41 kg, sehingga IMT : 16 kg/m2. BB sebelum
sakit 50 kg. Fungsi saluran cerna dalam batas normal. Imbang cairan positif 100
mL, dengan diuresis 0,9 mL/kgBB/jam.
Pemeriksaan laboratorium menggambarkan anemia [hemoglobin (Hb)
10,9 g/dL], hipoalbuminemia (2,7 g/dL), hiponatremi [natrium (Na) 133 mEq/L],
hipokloremi [klorida (Cl) 95 mEq/L], dan hipokalsemi [kalsium (ca) ion 1,13
mmol/L]. Fungsi hati dan fungsi ginjal dalam batas normal. Pada rontgen torak
terlihat corakan bronkovaskular kasar dengan gambaran emfisema pada kedua
paru (sesuai gambaran PPOK). Pada kedua paru, infiltrat ataupun tanda-tanda
tuberkulosis aktif tidak ditemui. Sedangkan pada pemeriksaan mikrobiologi, tidak
ditemui kuman basil tahan asam (BTA).
Asupan makanan dan selera makan pasien sebelum sakit baik. Namun
selama sakit, terjadi penurunan asupan makanan. Analisis asupan makanan pasien
dapat dilihat pada gambar 3.1.1 berikut ini.

Kkal/g

Gambar 3.1.1 Analisis asupan makanan sebelum sakit dan setelah sakit
(kasus 1)

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


38

Asupan kalori sebelum sakit sebesar 1650 kkal, dengan komposisi


makronutrien sebagai berikut : protein 58 gram (14%), lemak 45 gram (24,5%),
dan karbohidrat 253 gram (60%), serta serat 22 gram. Namun sejak didiagnosis
PPOK (sebelum eksaserbasi akut), asupan makanan menurun menjadi 1400 kkal,
dengan komposisi makronutrien terdiri dari protein 45 gram (12,8%), lemak 35
gram (22,5%), dan karbohidrat 233 (66%), serta serat 17 gram. Selama sakit di
rumah (tujuh hari SMRS), asupan energi hanya 1000 kkal, dengan komposisi
makronutrien : protein 25 gram (10%), lemak 23 gram (20,7%), dan karbohidrat
173 (69%), serta serat 12 gram.
Analisis asupan di atas menunjukkan bahwa asupan energi dan komposisi
makronutrien sebelum sakit masih seimbang. Namun sejak didiagnosis PPOK,
asupan makanan berkurang, dan semakin menurun sejak satu minggu SMRS.
Begitu juga komposisi makronutrien menjadi tidak seimbang. Pada 24 jam
sebelum pemeriksaan, asupan pasien menjadi lebih sedikit karena sesak, cepat
kenyang, dan tidak ada selera makan, sehingga makanan yang dapat dihabiskan
hanya 1/3 porsi. Analisis asupan pasien 24 jam terakhir sebelum pemeriksaan ini
adalah sebesar 875 kkal, dengan komposisi makronutrien : protein 30 gram, lemak
23 gram, dan karbohidrat 137 gram.
Terapi yang diperoleh pasien dari Dokter Penanggung Jawab Pasien
(DPJP) adalah infus Ringer Laktat (RL) 1 kolf, nebulizer 4x/hari, ciprofloksazin
2x500 mg, aminophilin 3x150 mg, salbutamol 3x2 mg, Unalium 5 mg, KCl 300
mg 1x1, furosemid 1x1, ambroksol 3x1, ranitidin 3x1 ampul, omeprazol 2x1, dan
antasida 3x15 mL.
Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut, kor
pulmonal, gagal jantung kongestif, hipertensi derajat 1, dispepsia, malnutrisi
sedang, hipermetabolisme sedang (hipoalbuminemia), hiponatremi, hipokloremi,
hipokalsemi.
Selama perawatan di rumah sakit, rencana target kebutuhan energi basal
(KEB) adalah 965 kkal, dan kebutuhan energi total (KET) 1447 kkal (faktor stres :
1,5). Komposisi makronutrien adalah sebagai berikut. Protein 1,7 g/kg/hari (71
gram), 20% KET, dan N : NPC=1: 102. Lemak 48 g (30% KET). Karbohidrat 180
gram (50% KET), dan serat 14 gram/1000 kkal/hari. Kebutuhan cairan 30

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


39

mL/kgBB (1254 mL). Natrium diberikan 2000 mg atau setara dengan 5 gram
garam.
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir dan kondisi klinis pasien,
maka pemberian nutrisi dimulai dari KEB (965 kkal), dengan komposisi protein
48 gram, lemak 30 gram, dan karbohidrat 125 gram. Cara pemberian nutrisi
melalui oral, dalam bentuk bubur sumsum dan makanan cair. Nutrisi diberikan
dengan porsi kecil dan frekuensi sering. Jumlah makanan cair adalah 3x150 mL
(450 kkal) dan tiga kali bubur sumsum (500 kkal).
Selain komposisi makronutrien, beberapa mikronutrien yang perlu
diterima pasien ini adalah vitamin B kompleks, C, A, E, D, dan kalsium. Namun
mikronutrien yang disarankan, belum dapat diterima pasien, karena masalah
biaya. Pasien hanya mendapatkan vitamin B kompleks (3x1) dan vitamin C (3x1).
Selama perawatan, dilakukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital
(hemodinamik), analisis asupan makanan, imbang cairan, dan kapasitas
fungsional. Hasil pemantauan dapat dilihat pada beberapa grafik berikut ini.
Pada gambar 3.1.2 diperlihatkan grafik hemodinamik dari kasus 1. Dari
gambar menunjukkan, selama perawatan, kesadaran pasien kompos mentis,
hemodinamik pasien berangsur membaik (stabil). Tekanan darah menjadi normal,
sesak berkurang dan frekuensi pernapasan menurun, serta pasien tidak febris.

Sistol Nadi (x/menit)

Suhu (°C)

Respirasi (x/menit)

A B

Gambar 3.1.2 Grafik : (A) Tekanan darah ; (B) Nadi, suhu, dan respirasi

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


40

Gambar 3.1.3 memperlihatkan analisis asupan energi, makronutrien dan


komposisinya selama perawatan dibandingkan dengan kebutuhan total. Dari
gambar terlihat bahwa selama 10 hari perawatan, walaupun cenderung lambat
asupan kalori meningkat bertahap, dengan toleransi yang baik. Perencanaan
nutrisi diberikan dalam bentuk makanan cair disertai makanan lunak, agar
memudahkan pasien untuk makan.

Asupan energi

A. Asupan energi

B. Asupan protein, lemak, dan karbohidrat

Gambar 3.1.3 Analisis asupan energi, dan makronutrien (kasus 1)


Sampai hari terakhir perawatan, asupan makronutrien belum mencapai
kebutuhan total, tetapi cenderung meningkat setiap hari. Hal ini karena pasien
mengeluh makanan terasa hambar, dan cepat kenyang. Walaupun asupan belum
mencapai kebutuhan total, tetapi rerata komposisi makronutrien setiap harinya
seimbang, dan analisis asupan protein meningkat. Peningkatan asupan protein ini

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


41

dibutuhkan mengingat kondisi pasien hipoalbuminemia. Peningkatan asupan


dapat dilihat dari perbaikan kapasitas fungsional pasien (gambar 3.1.4).
Pada gambar 3.1.4 diperlihatkan grafik perbaikan kapasitas fungsional
pasien selama pemantauan. Pada saat masuk rumah sakit, kapasitas fungsional
pasien menunjukkan ketergantungan sedang, dan pada waktu akhir perawatan,
kapasitas fungsional membaik menjadi ketergantungan ringan. Selain itu penilaian
kapasitas fungsional dilakukan juga melalui kekuatan genggam. Pada saat asupan
nutrisi meningkat, kekuatan genggaman tangan mulai membaik secara perlahan.

Skor indeks Barthel

Keterangan :
20 : Mandiri. 12-19 : Ketergantungan ringan. 9-11 : Ketergantungan sedang
Gambar 3.1.4. Grafik kapasitas fungsional berdasarkan indeks Barthel
(kasus 1)
Gambar 3.1.5, memperlihatkan persentase energi yang dapat dikonsumsi
pasien terhadap KEB dan KET. Begitu juga persentase asupan protein, lemak, dan
karbohidrat terhadap target kebutuhan. Dari grafik tersebut tampak adanya
perbaikan asupan energi dan komposisi makronutrien.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


42

Gambar 3.1.5. Grafik persentase analisis asupan energi dan makronutrien


terhadap target kebutuhan
Gambar 3.1.6, memperlihatkan grafik dari imbang cairan. Dari grafik
menunjukkan selama perawatan, imbang cairan negatif.

Gambar 3.1.6 Grafik imbang cairan (kasus 1)

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


43

Monitoring dan evaluasi dilakukan setiap hari, yang mencakup kondisi


klinis, tanda vital, analisis asupan, dan imbang cairan. Penilaian laboratorium
dilakukan juga untuk analisis gas darah, elektrolit, dan profil lipid. Bila asupan
dan toleransi baik, pemberian nutrisi ditingkatkan 10-20% dari asupan makanan
terakhir setiap satu sampai dua hari, sampai mencapai kalori total.
Kondisi klinis pasien berangsur membaik selama pemantauan. Keluhan
sesak berkurang, asupan meningkat perlahan, dan kapasitas fungsional mengalami
perbaikan. Rencana nutrisi diberikan sesuai dengan kondisi klinis dan analisis
asupan pasien. Ketika klinis mengalami perbaikan, toleransi asupan pasien
meningkat. Setiap hari diberikan edukasi dan motivasi kepada pasien agar
menghabiskan makanannya secara bertahap dan perlahan. Kepada perawat telah
disarankan untuk memberikan oksigen kepada pasien pada waktu makan. Hal ini
bertujuan agar pasien bisa lebih nyaman dalam mengonsumsi makanan, sehingga
asupan nutrisi meningkat. Begitu juga kepada anggota keluarga pasien, disarankan
agar selalu menemani pasien bila makan, sehingga pasien memiliki motivasi
untuk menghabiskan makanannya.
Pasien pulang pada tanggal 4 Februari 2013. Saat pulang, edema sudah
berkurang, dan berat badan menjadi 42 kg. Pada pemeriksaan laboratorium,
terdapat perbaikan kadar albumin, dan elektrolit. Selain itu, kepada pasien dan
keluarga, tetap diberikan edukasi nutrisi selama perawatan di rumah, yang
mencakup kebutuhan energi, makronutrien dan komposisinya, serta daftar contoh
menu (lampiran 7).
Pada pasien ini dilakukan kunjungan rumah sebanyak dua kali, yaitu
tanggal 9 Februari dan 23 Februari 2013. Selama pelaksanaan kunjungan rumah
selalu diberikan edukasi yang berhubungan dengan pola hidup sehat terutama pola
makan sehat. Pola makan yang dianjurkan mencakup kebutuhan kalori, komposisi
makronutrien dan mikronutrien yang sesuai dengan kondisi pasien. Edukasi
tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh pasien dan keluarga.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


44

3.2. Kasus 2
Seorang pasien, dengan identitas Tn. M, usia 52 tahun, menikah, dan tidak
bekerja, masuk RSSW pada tanggal 22 februari 2013. Pasien dirawat dengan
keluhan utama sesak napas. Berdasarkan skrining gizi pada tanggal 23 Februari
2013, Tn. M. termasuk dalam pemantauan TTG, karena asupan makanan yang
tidak adekuat selama dua minggu, dan adanya penyakit dengan stres metabolik.
Riwayat perjalanan penyakit diawali dengan keluhan utama sesak napas
sejak dua minggu SMRS, dan memberat pada tiga hari SMRS. Pasien sesak
disertai batuk dengan lendir yang banyak, tidak ada batuk darah, dan terdapat
keringat pada malam hari. Batuk terutama bila berbaring, berbicara dan berjalan.
Pasien juga mengeluh sakit perut, dan mual. Selama dua minggu SMRS asupan
makanan menurun, karena sesak, dan tidak ada selera makan. Pada saat
pemeriksaan dilakukan, sesak mulai berkurang.
Berdasarkan data rekam medik, sebelumnya pasien telah didiagnosis
dokter sebagai penderita PPOK sejak dua tahun yang lalu. Saat masuk RSSW,
pasien sedang menjalani pengobatan tuberkulosis paru kategori 1 (fase awal)
selama enam bulan. Tetapi pengobatan baru dijalani satu bulan. Riwayat penyakit
hipertensi, diabetes melitus (DM) tipe 2, gangguan fungsi hati dan ginjal
disangkal oleh pasien. Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak dua sampai
tiga bungkus per-hari, tetapi telah berhenti sejak didiagnosis menderita
tuberkulosis paru. Pekerjaan pasien adalah buruh bangunan dan pengeboran tanah.
Pasien berhenti bekerja karena sakit sejak lima tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan objektif, tampak pasien sakit sedang, dengan kesadaran
kompos mentis. Tanda vital menunjukkan tekanan darah 100/90 mmHg, frekuensi
nadi 80x/menit, respirasi 26x/menit, dan suhu 36,5ºC. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan: pursed-lips breathing, iga gambang, barrel chest, penggunaan otot
bantu pernapasan, pelebaran sela iga, dan ronki paru. Pasien tidak bisa tidur
berbaring karena merasa sesak, sehingga lebih nyaman bila duduk dengan posisi
tegak. Bagian tubuh lain dalam batas normal. Kapasitas fungsional terbatas karena
kondisi sesak. Berdasarkan indeks Barthel, kapasitas fungsional termasuk
ketergantungan sedang. Pemeriksaan laboratorium awal menggambarkan
hipoalbumin, dan gangguan fungsi hati. Hal ini terlihat dari peningkatan kadar

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


45

serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) sebesar 71 U/L, serum


glutamic piruvic transaminase (SGPT) sebesar 120 U/L, dan kadar albumin 2,9
g/dL. Sedangkan nilai laboratorium lain dalam batas normal. Pada rontgen torak
didapatkan kesimpulan tuberkulosis paru, dan pneumoni. Sedangkan pada
pemeriksaan mikrobiologi, ditemui kuman basil tahan asam (BTA) sebanyak
positif satu (+1).
Pada pemeriksaan antropometri: TB pasien 165 cm, BBA 31 kg dan IMT
11,4 kg/m2, kesan status gizi malnutrisi berat. Berat badan pasien enam bulan
yang lalu sebesar 35 kg. Fungsi saluran cerna dalam batas normal. Imbang cairan
positif 150 mL, dengan diuresis 1,2 mL/kgBB/jam.
Asupan makanan dan selera makan pasien sebelum sakit baik. Selama
sakit, asupan menurun dari biasa. Analisis asupan makanan pasien sebelum sakit
dan setelah sakit, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.2.1. Analisis asupan sebelum sakit dan setelah sakit (kasus 2)
Asupan kalori sebelum sakit sebesar 1550 kkal, dengan komposisi protein
35 gram (10%), lemak 40 gram (23%), dan karbohidrat 262 gram (67%), serta
serat 20 gram. Dua minggu SMRS asupan menurun menjadi 1150 kkal, dengan
komposisi protein 34 gram (11,8%), lemak 30 gram (23%), dan karbohidrat 186
gram (64,6%), serta serat 15 gram. Namun tiga hari SMRS, asupan energi hanya

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


46

1000 kkal, dengan komposisi protein 30 gram (12%), lemak 27 gram (21,6%), dan
karbohidrat 155 (66%), serta serat 11 gram.
Analisis asupan diatas menunjukkkan bahwa komposisi makronutrien
sebelum sakit yang tidak seimbang, terutama asupan protein dan karbohidrat. Dua
minggu SMRS dan tiga hari SMRS asupan semakin menurun. Komposisi
makronutrien yang tidak seimbang tersebut, karena pasien tidak ada selera makan,
rasa begah, dan cepat kenyang. Selain itu, asupan protein yang tidak adekuat
karena kurangnya kemampuan pasien membeli makanan sumber protein. Selama
sakit, pasien lebih suka minum susu kental manis. Walaupun sakit, pasien masih
merokok satu sampai dua batang perhari. Sebelum dilakukan pemeriksaan TTG
(24 jam terakhir), asupan makanan berkurang karena sesak, rasa tidak nyaman di
perut, dan tidak ada selera makan, sehingga makanan yang diberikan hanya
dihabiskan 1/3-1/2 porsi. Analisis asupan pasien 24 jam terakhir sebesar 800 kkal,
protein 30 gram, lemak 23 gram, dan karbohidrat 118 gram.
Terapi yang diterima pasien : infus RL (1), nebulizer 3x/hari, rifampicin
450 mg, INH 1x300 mg, ethambutol 2x500 mg, OBH 3x15 mL, Lasix 1x1, KSR
1x1, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 3x1 ampul/hari, dexametason 3x1.
Diagnosis kerja gizi pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut, kor
pulmonal, tuberkulosis paru, pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme
sedang (hipoalbumin, gangguan fungsi hati).
Selama perawatan di rumah sakit, target KEB adalah 964 kkal, dan KET
1446 kkal (FS: 1,5). Komposisi makronutrien adalah sebagai berikut, protein 1,2
g/kg/hari (37 gram), dengan sumber protein utama berasal dari asam amino rantai
cabang (AARC). Lemak sebanyak 30% (48 gram). Karbohidrat 216 gram (59%),
terdiri dari karbohidrat kompleks. Kebutuhan cairan 30-35 mL/kg/hari.
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi dimulai dari
basal (964 kkal, protein 37 gram, lemak 28 gram, dan karbohidrat 141 gram. Cara
pemberian nutrisi melalui oral, dalam bentuk bubur lauk cincang dan ekstra
makanan cair. Frekuensi pemberian nutrisi adalah tiga kali bubur lauk cincang
(600 kkal) dan 2x150 mL makanan cair (300 kkal) dan satu kali puding putih telur
(50 kkal).

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


47

Selain komposisi makronutrien, beberapa mikronutrien yang perlu


diterima pasien ini adalah vitamin B kompleks, C, A, E, D, dan kalsium. Namun
mikronutrien yang disarankan, belum dapat diterima pasien, karena masalah
biaya, sehingga Pasien hanya mendapatkan vitamin B kompleks dan vitamin C.
Monitoring dan evaluasi dilakukan setiap hari, mencakup kondisi klinis,
tanda vital, analisis dan toleransi asupan, kapasitas fungsional, serta imbang
cairan. Penilaian laboratorium mencakup kadar albumin, SGOT, SGPT, dan
analisis gas darah. Pemberian nutrisi ditingkatkan 10%-20% dari asupan terakhir
setiap satu sampai dua hari, sampai mencapai kebutuhan kalori total. Hasil
pemantauan dapat dilihat pada beberapa grafik berikut.
Pada gambar 3.2.2 diperlihatkan grafik status hemodinamik dari pasien.
Dari gambar menunjukkan, selama perawatan, kesadaran pasien kompos mentis,
hemodinamik pasien berangsur membaik (stabil). Tekanan darah menjadi normal,
sesak berkurang dan frekuensi pernapasan menurun, serta pasien tidak febris.

Sistol Nadi (x/menit)

Diastol
Suhu (° C)

Respirasi (x/menit)

A. Tekanan darah B. Nadi, suhu, dan respirasi

Gambar 3.2.2 Grafik status hemodinamik kasus 2


Gambar 3.2.3 memperlihatkan analisis asupan energi, dan komposisi
makronutrien selama perawatan dibandingkan dengan kebutuhan total. Dari
gambar terlihat bahwa selama 10 hari perawatan, jumlah asupan perharinya
bervariasi. Walaupun cenderung lambat tetapi asupan kalori meningkat bertahap.
Pada hari kedua, kelima, dan ketujuh, terjadi penurunan asupan nutrisi, karena
masih sesak dan bosan dengan makanan rumah sakit. Untuk mengatasi hal ini,

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


48

maka diberikan kombinasi makanan lunak dan cair peroral sejumlah 3x150 mL,
agar memudahkan pasien untuk mengonsumsi makanannya.

A. Asupan energi

B. Asupan protein, lemak, dan karbohidrat


Gambar 3.2.3 Analisis asupan energi, dan makronutrien (kasus 2)
Selama pemantauan, pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien,
baik dalam bentuk, maupun jumlah, agar terjadi peningkatan asupan setiap
harinya. Pada hari terakhir pemantauan asupan kalori telah mencapai 89,9%
kebutuhan total. Asupan protein selama pemantauan meningkat perlahan sesuai
dengan yang telah direncanakan. Sampai hari kelima, asupan protein telah
mencapai 1,2 gram/kgBB/hari (37 gram). Pada hari selanjutnya sampai akhir
perawatan, pemberian protein kemudian ditingkatkan menjadi 1,3
gram/kgBB/hari (40 gram). Asupan lemak sampai hari terakhir perawatan, telah
mencapai 93% target kebutuhan, dan perharinya telah memenuhi > 25%

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


49

kebutuhan total. Asupan karbohidrat setiap harinya berkisar 55% - 63% asupan
total perhari.
Peningkatan asupan dapat dilihat dari perbaikan kapasitas fungsional
pasien. Pada gambar 3.2.4 diperlihatkan grafik perbaikan kapasitas fungsional
pasien selama pemantauan. Pada saat masuk rumah sakit, kapasitas fungsional
pasien menunjukkan ketergantungan sedang, dan pada waktu akhir perawatan,
kapasitas fungsional membaik menjadi ketergantungan ringan. Selain itu penilaian
kapasitas fungsional dilakukan juga melalui penilaian kekuatan genggam. Pada
saat asupan nutrisi meningkat, kekuatan genggaman tangan mulai membaik secara
perlahan.

Skor indeks
Skor indeks Barthel
Barthel

Keterangan :
20 : mandiri. 12-19 : ketergantungan ringan. 9-11 : ketergantungan sedang
Gambar 3.2.4 Grafik kapasitas fungsional berdasarkan indeks Barthel (kasus 2)
Pada gambar 3.2.5, diperlihatkan persentase energi yang dapat diasup
pasien terhadap KEB dan KET. Begitu juga persentase asupan protein, lemak, dan
karbohidrat terhadap target kebutuhan. Dari grafik tersebut tampak adanya
perbaikan asupan energi dan komposisi makronutrien.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


50

Gambar 3.2.5 Grafik persentase analisis asupan dan makronutrien


terhadap target kebutuhan (kasus 2)
Gambar 3.2.6, memperlihatkan grafik imbang cairan. Dari grafik tersebut
tampak bahwa selama perawatan, imbang cairan berkisar -100 mL s/d +50 mL,
dengan diuresis antara 0,7 s/d 0,9 mL/kgbb/jam.

Gambar 3.2.6 Grafik imbang cairan (kasus 2)

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


51

Kondisi klinis pasien berangsur membaik selama pemantauan. Keluhan


sesak berkurang, asupan meningkat perlahan walaupun belum mencapai
kebutuhan total. Rencana nutrisi diberikan sesuai dengan kondisi klinis dan
analisis asupan pasien. Ketika klinis mengalami perbaikan, toleransi asupan
pasien meningkat, dan kapasitas fungsional membaik juga. Setiap hari diberikan
edukasi dan motivasi kepada pasien agar menghabiskan makanannya secara
bertahap. Begitu juga kepada anggota keluarga pasien, disarankan agar selalu
menemani pasien bila makan, sehingga pasien memiliki motivasi untuk
menghabiskan makanannya.
Pasien pulang tanggal 4 Maret 2013, yaitu pasca perawatan hari ke-10.
Saat pulang, berat badan menjadi 32 kg. Pada pemeriksaan laboratorium, terdapat
perbaikan kadar SGOT dan SGPT, walaupun belum mencapai nilai normal. Selain
itu, kepada pasien dan keluarga, diberikan edukasi nutrisi selama perawatan di
rumah, yang mencakup kebutuhan energi, makronutrien dan komposisinya, dan
daftar contoh menu (lampiran 8).
Pada pasien ini dilakukan kunjungan rumah sebanyak dua kali, yaitu
tanggal 9 Maret dan 23 Maret 2013. Selama pelaksanaan kunjungan rumah selalu
diberikan edukasi yang berhubungan dengan pola hidup sehat terutama pola
makan sehat. Pola makan yang dianjurkan mencakup kebutuhan kalori, komposisi
makronutrien dan mikronutrien. Bahan makanan dan contoh menu yang
dianjurkan disesuaikan dengan kemampuan keuangan dan waktu yang digunakan
untuk menyediakan makanan pasien.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


52

3.3. Kasus 3
Seorang pasien, dengan identitas Tn. SA, usia 84 tahun, masuk RSSW pada
tanggal 3 februari 2013. Pasien dirawat dengan keluhan utama penurunan asupan
makanan dan sesak napas. Berdasarkan skrining gizi pada tanggal 3 Februari
2013, kasus 3 termasuk dalam pemantauan TTG, karena asupan makanan yang
tidak adekuat selama satu minggu.
Riwayat perjalanan penyakit diawali dengan keluhan utama penurunan
asupan sejak satu minggu SMRS. Menurut pengakuan anak pasien, sebelum
terjadi penurunan asupan, pasien terlihat lebih banyak diam dan tidur. Kalau
ditanya dan diajak berbicara, pasien marah-marah. Kadang-kadang terdengar
batuk dari dalam kamar pasien. Empat hari SMRS, pasien mengeluh sesak napas
dan batuk yang disertai dengan lendir yang banyak dan sulit dikeluarkan. Tidak
ada batuk darah, dan keringat pada malam hari. Pasien tidak bisa tidur berbaring
karena sesak, dan merasa lebih nyaman bila duduk dengan posisi tegak. Pasien
juga mengeluh mual, muntah, dan tidak BAB selama tiga hari. Asupan makanan
menurun selama satu minggu, karena sesak, tidak ada selera makan, dan tidak
BAB. pasien hanya menghabiskan ¼ sampai dengan ½ porsi. Bila tidak makan
nasi, pasien lebih senang untuk minum teh manis atau kopi susu.
Berdasarkan data rekam medik, pasien telah didiagnosis dokter sebagai
penderita PPOK (1995), dan hipertensi (2012). Riwayat DM, dan gangguan fungsi
ginjal disangkal. Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak tiga bungkus per-
hari, tetapi telah berhenti sejak dua tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan objektif, tampak sakit sedang, lemah, dengan kesadaran
kompos mentis. Tanda vital menunjukkan tekanan darah 190/90 mmHg, frekuensi
nadi 98x/menit, respirasi 29x/menit, dan suhu 38ºC. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan: konjungtiva tidak anemis, gigi geligi tidak ada, penggunaan otot
bantu pernapasan, terdapat ronki dan wheezing pada kedua lapangan paru.
Pemeriksaan pada bagian tubuh lain, dalam batas normal. Kapasitas fungsional
terbatas karena kondisi sesak. Berdasarkan indeks barthel, kapasitas fungsional
termasuk ketergantungan sedang. Pemeriksaan laboratorium hari pertama
menunjukkan leukositosis (leukosit : 15.700/uL), peningkatan laju endap darah
(79 mm/jam), hiponatremi (129 mmol/l), dislipidemia [kolestrol total : 266

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


53

mg/dL, low density lipoprotein (LDL) : 175 mg/dL], dan hiperglikemia [gula
darah sewaktu (GDS) : 171 mg/dL], HbA1C : 6,20%. Fungsi hati dan fungsi ginjal
dalam batas normal. Pemeriksaan AGD hari kedua perawatan memperlihatkan
asidosis respiratorik. Pada rontgen torak didapatkan adanya kesuraman di
parakardial kiri (bronkopneumonia), kesan bronkitis kronis. Sedangkan pada
pemeriksaan mikrobiologi, tidak ditemui kuman BTA.
Pada pemeriksaan antropometri: PB pasien 165 cm, LLA : 28 cm, BBP 69
kg, berat badan ideal (BBI): 65 kg, dan IMT perkiraan 25,5 kg/m2. Berdasarkan
data antropometri tersebut, status gizi pasien tergolong obes 1. Berat badan enam
bulan sebelumnya sebesar 73 kg. Fungsi saluran cerna dalam batas normal.
Imbang cairan positif +150 mL, dengan diuresis 0,5 mL/kgBB/jam.
Asupan makanan dan selera makan pasien sebelum sakit baik. Selama
sakit, asupan makanan menurun dari biasanya. Analisis asupan makanan pasien
sebelum sakit dan setelah sakit, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.3.1 Analisis asupan sebelum sakit dan selama sakit (kasus 3)
Asupan kalori sebelum eksaserbasi sebesar 1650 kkal, dengan komposisi
protein 50 gram (12%), lemak 42 gram (22,9%), karbohidrat 268 gram (65%), dan
serat 18 gram. Namun, satu minggu SMRS asupan menurun menjadi 700 kkal,
dengan komposisi protein 20 gram (11,4%), lemak 17 gram (21,8%), karbohidrat

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


54

116 gram (66%), dan serat 7 gram. Pada 24 jam SMRS, asupan energi hanya 200
kkal, dengan komposisi protein 5 gram (10%), lemak 4 gram (18%), karbohidrat
36 (72%), dan serat 1 gram.
Analisis asupan di atas menunjukkkan bahwa asupan energi sebelum
timbul eksaserbasi masih termasuk cukup, tetapi komposisi makronutrien tidak
seimbang, begitu juga asupan serat. Asupan karbohidrat cukup besar, dan ternyata
lebih banyak berasal dari karbohidrat sederhana. Menurut pengakuan anak pasien,
asupan makanan sebelum sakit lebih besar dari 1650 kkal. Sebelum sakit, selain
rokok pasien sering minum kopi susu sachet, empat sampai lima sachet/hari, dan
juga teh manis. Kebiasaan ini tidak berhenti, walaupun dalam kondisi sakit. Satu
minggu SMRS asupan makanan pasien menurun karena pasien tidak mau makan,
sesak, dan tidak BAB. Asupan serat baik sebelum eksaserbasi maupun selama
sakit tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga pasien mengalami konstipasi.
Analisis asupan pasien 24 jam terakhir hanya 200 kkal, protein 5 gram, lemak 4
gram, dan karbohidrat 36 gram.
Terapi yang diterima pasien : oksigen 3 l/menit, NaCl 0,9%(1), NaCl 3%
(1), nebulizer 3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Seretide 500 2x1, OBH 3x15 mL,
amlodipin 1x10 mg, alprazolam 0,5 mg, euphylin R 2x1, lasix 1x1.
Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut,
hipertensi derajat 2, dislipidemia, obes 1, hipermetabolisme sedang (leukositosis,
hiperglikemi), hiponatremia, dan asidosis respiratorik.
Selama perawatan di rumah sakit, target KEB adalah 1217 kkal, dan KET
1825 kkal (FS : 1,5). Komposisi makronutrien adalah sebagai berikut: protein 1,4
g/kg/hari (91 gram), sebanyak 19%, dengan N : NPC=1:100; dan lemak : 30 %
(60 gram). Karbohidrat 230 gram (50%), terdiri dari karbohidrat kompleks, dan
serat 14 gram/1000 kkal (diberikan bertahap). Kebutuhan cairan 30 ml/kg/hari.
Natrium diberikan 2000 mg atau setara dengan 5 gram garam.
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi
dimulai dari 80% basal (973 kkal, protein 48,5 gram, lemak 31 gram, dan
karbohidrat 125 gram. Cara pemberian nutrisi melalui oral, dalam bentuk bubur
lauk cincang, rendah kolesterol, dan makanan cair. Frekuensi pemberian nutrisi
adalah tiga kali bubur lauk cincang (600 kkal) dan 3x150 mL makanan cair (450

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


55

kkal). Makanan lunak maupun makanan cair yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi hiperglikemi pasien.
Selain komposisi makronutrien, beberapa mikronutrien yang perlu
diterima pasien ini adalah vitamin B kompleks, C, E, D, kalsium, dan omega 3.
Namun, pada pasien ini tidak diberikan suplementasi mikronutrien, karena
kebutuhan mikronutrien terlebih dahulu dimaksimalkan dari bahan makanan
sumber.
Monitoring dan evaluasi dilakukan setiap hari, mencakup kondisi klinis,
tanda vital, analisis dan toleransi asupan, kapasitas fungsional, serta imbang
cairan. Pemeriksaan laboratorium mencakup kadar gula darah harian (KGDH),
analisis gas darah, dan elektrolit. Pemberian nutrisi ditingkatkan 10%-20% dari
asupan terakhir setiap satu sampai dua hari, sampai mencapai kebutuhan kalori
total. Hasil pemantauan dapat dilihat pada grafik 3.4.2 sampai dengan 3.4.6.
Pada gambar 3.3.2 diperlihatkan grafik status hemodinamik dari pasien.
Dari gambar menunjukkan, selama perawatan, kesadaran pasien kompos mentis,
hemodinamik pasien berangsur membaik (stabil) sampai akhir perawatan.

Sistol Nadi (x/menit)

Diastol
Suhu (° C)

Respirasi (x/menit)

A. Tekanan darah B. Suhu, frekuensi nadi dan respirasi

Gambar 3.3.2 Grafik status hemodinamik (kasus 3)


Gambar 3.3.3 memperlihatkan analisis asupan energi, makronutrien dan
komposisinya selama perawatan. Dari gambar terlihat bahwa selama 7 hari
perawatan, jumlah asupan perharinya sangat bervariasi. Walaupun cenderung
lambat tetapi asupan kalori meningkat bertahap. Pada hari ketujuh, terjadi

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


56

penurunan asupan nutrisi, karena pasien ingin pulang dan bosan dengan makanan
rumah sakit. Emosi pasien sangat labil. Dalam pemberian nutrisi, makanan lunak
tetap disertai dengan makanan cair sejumlah 3x150 mL, agar memudahkan pasien
untuk mengonsumsi makanannya.

A. Asupan energi

B. Asupan makronutrien

Gambar 3.3.3 Analisis asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat (kasus 3)
Selama pemantauan, pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien,
baik dalam bentuk, maupun jumlah, agar terjadi peningkatan asupan setiap
harinya. Pada hari terakhir pemantauan asupan kalori telah mencapai kebutuhan
kalori basal, tetapi belum mencapai kebutuhan kalori total. Asupan protein selama

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


57

pemantauan meningkat perlahan, sampai hari terakhir pemantauan telah mencapai


65% dari target asupan protein. Asupan lemak sampai hari terakhir perawatan,
telah mencapai 60% dari target kebutuhan lemak. Walaupun asupan lemak belum
mencapai 100%, tetapi setiap harinya asupan lemak memenuhi >25% kebutuhan
energi perhari. Asupan karbohidrat setiap harinya berkisar 53% - 61% dari
kebutuhan energi perhari.
Peningkatan asupan dapat dilihat dari perbaikan kapasitas fungsional
pasien. Pada gambar 3.3.4 diperlihatkan grafik perbaikan kapasitas fungsional
pasien selama pemantauan. Pada saat masuk rumah sakit, kapasitas fungsional
pasien menunjukkan ketergantungan sedang. Hari terakhir perawatan, kapasitas
fungsional mengalami perbaikan menjadi ketergantungan ringan. Selain itu
penilaian kapasitas fungsional dilakukan juga melalui penilaian kekuatan
genggam.

Skor Indeks Barthel

Keterangan :
20 : mandiri. 12-19: ketergantungan ringan. 9-11 : ketergantungan sedang
Gambar 3.3.4 Grafik kapasitas fungsional berdasarkan indeks Barthel
(kasus 3)
Pada gambar 3.3.5, diperlihatkan persentase energi yang dapat diasup
pasien terhadap KEB dan KET. Begitu juga persentase asupan protein, lemak, dan
karbohidrat terhadap energi yang telah dicapai pasien setiap harinya. Dari grafik
tersebut tampak adanya perbaikan asupan energi dan komposisi makronutrien.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


58

Gambar 3.3.5 Grafik persentase analisis asupan energi dan makronutrien


terhadap target kebutuhan (kasus 3)
Gambar 3.3.6, memperlihatkan grafik imbang cairan. Dari grafik tersebut
tampak bahwa selama perawatan, imbang cairan berkisar -250 mL s/d 0 mL.

Gambar 3.3.6 Grafik analisis cairan (kasus 3)


Kondisi klinis pasien berangsur membaik selama pemantauan. Keluhan sesak
berkurang, asupan meningkat perlahan walaupun belum mencapai kebutuhan
total. Rencana nutrisi diberikan sesuai dengan kondisi klinis dan analisis asupan
pasien. Ketika klinis mengalami perbaikan, toleransi asupan pasien meningkat,

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


59

dan kapasitas fungsional membaik juga. Selama perawatan terdapat fluktuasi


KGDH, yaitu 116 mg/dL-174 mg/dL. Setiap hari diberikan edukasi dan motivasi
kepada pasien agar menghabiskan makanannya secara bertahap. Begitu juga
kepada anggota keluarga pasien, disarankan agar selalu menemani pasien bila
pasien sedang makan, sehingga pasien memiliki motivasi untuk menghabiskan
makanannya.
Pasien pulang tanggal 10 Februari 2013, yaitu pasca perawatan hari
ketujuh. Walaupun selama perawatan terdapat fluktuasi KGDH, yaitu 116 mg/dL-
174 mg/dL, tetapi pada pemeriksaan laboratorium akhir, terdapat perbaikan kadar
gula darah. Kepada pasien dan keluarga, diberikan edukasi nutrisi selama
perawatan di rumah, yang mencakup kebutuhan energi, makronutrien dan
komposisinya, serta daftar contoh menu (lampiran 9).

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


60

3.4. Kasus 4
Seorang pasien, dengan identitas Tn. LAP, usia 67 tahun, masuk RSSW pada
tanggal 2 April 2013. Pasien masuk dengan keluhan utama demam dan sesak
napas. Berdasarkan skrining gizi pada tanggal 2 April 2013, pasien termasuk
dalam pemantauan TTG, karena asupan makanan yang tidak adekuat selama satu
minggu, penurunan BB sebanyak 6% dalam 4 bulan, dan adanya penyakit dengan
stres metabolik.
Riwayat perjalanan penyakit diawali dengan keluhan utama demam dan
sesak napas. Demam dialami sejak tiga hari SMRS. Sedangkan sesak yang
disertai batuk dengan lendir yang banyak, bertambah berat sejak satu minggu
terakhir. Sesak napas dialami pada waktu duduk, maupun berjalan. Pasien tidak
bisa berbaring (karena sesak), oleh karena itu pasien merasa lebih nyaman bila
duduk dengan posisi tegak. Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri di punggung
dan sulit tidur. Asupan makanan menurun sejak satu minggu terakhir, karena
sesak yang bertambah berat, mual, demam, dan konstipasi. Saat diperiksa, pasien
masih sesak, dan tidak bab selama empat hari.
Berdasarkan data rekam medik, sebelumnya pasien telah didiagnosis
dokter sebagai penderita PPOK sejak tahun 2003, tuberkulosis paru (2010), tetapi
telah sembuh, dislipidemi (2010), dan hernia nukleus pulposus (HNP) pada tahun
2012. Selama tiga bulan terakhir, pasien dirawat di rumah dengan fasilitas long
term oxygen therapy (LTOT). Riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus tipe 2
(DM tipe 2), gangguan hati dan gangguan ginjal disangkal oleh pasien. Pasien
memiliki kebiasaan merokok sebanyak tiga bungkus/hari, tetapi telah berhenti
sejak satu tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan objektif, tampak sakit sedang, lemah, dengan kesadaran
kompos mentis, terkesan depresi dan cemas. Tanda vital menunjukkan tekanan
darah 150/90 mmHg, frekuensi nadi 118x/menit, respirasi 30x/menit, dan suhu
38ºC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: konjugtiva anemi, pursed-lips
breathing, iga gambang, barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan,
pelebaran sela iga, dan ronki paru. Bagian tubuh lain dalam batas normal.
Kapasitas fungsional terbatas karena kondisi sesak. Berdasarkan indeks barthel,
kapasitas fungsional termasuk ketergantungan berat.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


61

Pemeriksaan darah rutin pada tanggal 2 April 2013, menggambarkan


anemia (Hb : 11,6 g/dL), dan leukositosis (leukosit : 25.000/uL). Analisis gas
darah menggambarkan asidosis respiratorik. Sedangkan fungsi hati, fungsi ginjal,
dan elektrolit dalam batas normal. Pada rontgen torak didapatkan kesan : corakan
bronkovaskular yang kasar dan gambaran emfisema pada kedua paru.
Bronkiektasis di lapangan tengah dan bawah paru kanan, dan adanya infeksi
skunder pada bronkiektasis. Sedangkan pada pemeriksaan mikrobiologi, tidak
ditemui kuman BTA. Pada rontgen torakolumbal, kesan : osteopeni tulang-tulang
torakolumbal, spondyloarthritis torakolumbal, hiperlordosis (unstable) kurva
lumbosakral, dan skoliosis minimal kurva torakolumbal.
Pada pemeriksaan antropometri: panjang badan (PB) pasien 160 cm, LLA
17 cm, BBP 38 kg dan IMT 14,8 kg/m2, kesan status gizi malnutrisi berat. BB
tujuh bulan yang lalu sebesar 40 kg. Fungsi saluran cerna dalam batas normal.
Balans cairan negatif 125 mL, dengan diuresis 1,5 mL/kgBB/jam.
Bila tidak dalam kondisi sakit, asupan makanan dan selera makan pasien
baik. Selama sakit, asupan menurun dari biasa. Analisis asupan makanan pasien,
dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.4.1 Analisis asupan sebelum sakit dan setelah sakit (kasus 3)
Asupan kalori sebelum sakit sebesar 1450 kkal, dengan komposisi protein 49
gram (13,5%), lemak 40 gram (24%), dan karbohidrat 223 gram (60%), serta serat

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


62

18 gram. Satu minggu SMRS asupan menurun menjadi 500 kkal, dengan
komposisi protein 16 gram (12,8%), lemak 13 gram (23%), dan karbohidrat 80
gram (64%), serta serat 5 gram.
Analisis asupan diatas menunjukkkan bahwa komposisi makronutrien
sebelum eksaserbasi akut dan selama sakit (satu minggu SMRS) tidak sesuai
dengan kondisi penyakit pasien. Asupan yang menurun selama sakit disebabkan
karena sesak dan nyeri pada punggung. Sebelum dilakukan pemeriksaan TTG (24
jam terakhir), analisis asupan pasien sebesar 800 kkal, protein 30 gram (15%),
lemak 22 gram (24%), dan karbohidrat 120 gram (60%).
Terapi yang diterima oleh pasien adalah oksigen 3 l/menit, infus RL (1
kolf), nebulizer 3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Cefotaxime 3x1 g, amlodipin
1x10 mg, alprazolam 1x0,5 mg, Esilgan 1x1 (malam), Zolmia 1x1, OBH 3x15
mL, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 1 ampul/hari, dexametason 1 ampul/hari,
Remopain 2 ampul/hari, parasetamol (kalau perlu).
Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut,
pneumonia, hipertensi derajat 1, spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan
neurosis (cemas, depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme sedang,
dan asidosis respiratorik.
Selama perawatan di rumah sakit, target KEB adalah 936 kkal, dan KET
1400 kkal, dengan komposisi makronutrien, yaitu protein 1,7 g/kg/hari (65 gram),
sejumlah 18% KET, dengan N : NPC =1:100. Lemak sebanyak 30% KET (46,7
gram). Karbohidrat 181 gram (52% KET), terdiri dari karbohidrat kompleks, dan
serat 14 gram/1000 kkal/hari (diberikan bertahap). Natrium diberikan 2000 mg
atau setara dengan 5 gram garam. Kebutuhan cairan 30 ml/kg/hari.
Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi
dimulai dari basal (936 kkal, protein 43 gram, lemak 31 gram, dan karbohidrat
121 gram). Cara pemberian nutrisi melalui oral, dalam bentuk bubur lauk cincang
dan ekstra makanan cair. Frekuensi pemberian nutrisi adalah 3x200 ml makanan
cair (600 kkal), dan tiga kali bubur lauk cincang (600 kkal). Makanan cair 1x200
mL berasal dari susu tinggi kalsium (milik pasien), dan 2x200 berasal dari rumah
sakit. Makanan cair diharapkan habis 100%, sedangkan bubur diharapkan habis

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


63

75%-80%. Pada pasien ini diberikan mikronutrien berupa multivitamin mineral


dosis recommended dietary allowance (RDA).
Monitoring dan evaluasi dilakukan setiap hari, mencakup kondisi klinis,
tanda vital, analisis dan toleransi asupan, kapasitas fungsional, serta imbang
cairan. Penilaian laboratorium mencakup pemeriksaan profil lemak, analisis gas
darah. Pemberian nutrisi ditingkatkan 10%-20% dari asupan terakhir setiap satu
sampai dua hari, sampai mencapai kebutuhan kalori total. Hasil pemantauan dapat
dilihat pada grafik 3.4.2, sampai dengan grafik 3.4.7.
Pada gambar 3.4.2 diperlihatkan grafik hemodinamik pasien kasus
keempat. Gambar tersebut menunjukkan, selama perawatan, kesadaran pasien
kompos mentis. Tekanan darah, frekuensi nadi, respirasi, dan suhu tubuh
mengalami perbaikan.

A. Tekanan darah B. Suhu, frekuensi nadi dan respirasi


Gambar 3.4.2 Grafik status hemodinamik (kasus 4)
Gambar 3.4.3 memperlihatkan analisis asupan energi, makronutrien dan
komposisinya selama perawatan dibandingkan dengan kebutuhan total. Dari
gambar 3.4.3 terlihat bahwa selama 7 hari perawatan, jumlah asupan perharinya
bervariasi. Walaupun cenderung lambat tetapi asupan kalori meningkat bertahap.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


64

A. Asupan energi

B. Asupan potein, lemak, dan karbohidrat


Gambar 3.4.3. Analisis asupan energi, dan makronutrien
Selama pemantauan, pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien,
baik dalam bentuk, maupun jumlah, agar tercapai peningkatan asupan setiap
harinya. Pada hari terakhir pemantauan asupan kalori telah mencapai 85,7%
kebutuhan total. Asupan protein selama pemantauan meningkat perlahan sesuai
dengan yang telah direncanakan. Asupan lemak sampai hari terakhir perawatan,
telah mencapai 85,6% dari kebutuhan lemak yang direncanakan. Walaupun
asupan lemak belum mencapai 30% kebutuhan total, tetapi setiap harinya asupan
lemak memenuhi > 25% kebutuhan total. Asupan karbohidrat setiap harinya
berkisar 54% - 57% kebutuhan kalori total.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


65

Peningkatan asupan dapat dilihat dari perbaikan kapasitas fungsional


pasien. Pada gambar 3.4.4 diperlihatkan grafik perbaikan kapasitas fungsional
pasien selama pemantauan. Sebelum timbul eksaserbasi akut, kapasitas fungsional
pasien sudah tidak optimal, yaitu berdasarkan indeks Barthel termasuk
ketergantungan ringan. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan neurosis, dan
keadaan PPOK sudah dialami selama 10 tahun. Pada saat masuk rumah sakit,
kapasitas fungsional pasien menunjukkan ketergantungan berat, dan pada waktu
akhir perawatan, kapasitas fungsional membaik menjadi ketergantungan sedang.
Selain itu penilaian kapasitas fungsional dilakukan juga melalui kekuatan
genggam. Pada saat asupan nutrisi meningkat, kekuatan genggaman tangan mulai
membaik secara perlahan.

Skor indeks Barthel

Keterangan :
20: mandiri. 12-19: ketergantungan ringan. 9-11: ketergantungan sedang.
5-8 : ketergantungan berat

Gambar 3.4.5. Grafik kapasitas fungsional berdasarkan


indeks Barthel (kasus 4)
Pada gambar 3.4.6, diperlihatkan persentase energi yang dapat diasup
pasien terhadap KEB dan KET. Begitu juga persentase asupan protein, lemak, dan
karbohidrat terhadap energi yang telah dicapai pasien setiap harinya. Dari grafik
tersebut tampak adanya perbaikan asupan energi dan komposisi makronutrien.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


66

Gambar 3.4.6. Grafik persentase analisis asupan energi dan makronutrien


terhadap target kebutuhan (kasus 4)
Pada gambar 3.4.7, diperlihatkan grafik dari imbang cairan. Dari grafik
menunjukkan selama perawatan, rerata imbang cairan pada pasien adalah negatif
dengan diuresis 0,65 s/d 1,2 mL/kgBB/jam.

Gambar 3.4.7. Grafik analisis cairan (Kasus 4)


Kondisi klinis pasien berangsur membaik selama pemantauan. Keluhan
sesak berkurang, asupan meningkat perlahan walaupun belum mencapai
kebutuhan total. Rencana nutrisi diberikan sesuai dengan kondisi klinis dan
analisis asupan pasien. Ketika klinis mengalami perbaikan, toleransi asupan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


67

pasien meningkat, dan kapasitas fungsional membaik juga. Setiap hari diberikan
edukasi dan motivasi kepada pasien agar menghabiskan makanannya secara
bertahap. Begitu juga kepada anggota keluarga pasien, disarankan agar selalu
menemani pasien bila makan, sehingga pasien memiliki motivasi untuk
menghabiskan makanannya. Saran ini dapat dilaksanakan oleh keluarga pasien,
sehingga pada hari ketujuh perawatan rerata asupan telah mencapai 85% dari
rencana nutrisi awal.
Pasien dirawat hanya seminggu, dan pulang pada tanggal 9 April 2013.
Saat pulang, demam sudah tidak ada, sesak berkurang, dan pasien sudah bisa
BAB. Pasien pulang masih dengan fasilitas oksigen. Selain itu, kepada pasien dan
keluarga, diberikan edukasi nutrisi selama perawatan di rumah, yang mencakup
kebutuhan energi, komposisi makronutrien dan mikronutrien, dan daftar contoh
menu (lampiran 10).

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


68

BAB 4
PEMBAHASAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) mer upakan penyakit yang ditandai oleh
adanya keterbatasan jalan napas yang irreversibel atau reversibel parsial.
Gangguan ini bersifat progresif yang disebabkan inflamasi kronik, dan dapat
menimbulkan gangguan pada sistem pernapasan maupun komplikasi ekstra
pulmoner (sistemik).3,5
Serial kasus ini menyajikan data tentang PPOK yang telah mengalami
berbagai komplikasi, disertai adanya penyakit penyerta. Karakteristik dasar dari
keempat kasus ini adalah : usila, mengalami eksaserbasi akut, terdapat
komplikasi, adanya faktor komorbid, dan malnutrisi (underweight atau obesitas).
Pembahasan akan diuraikan dengan membandingkan keempat kasus berdasarkan
beberapa faktor yaitu faktor klinis penyakit PPOK, dukungan nutrisi, serta
prognosis.
Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan
dan penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko PPOK
dalam banyak hal masih belum lengkap, masih diperlukan banyak pengetahuan
tambahan tentang interaksi dan hubungan antara faktor-faktor risiko tersebut
sehingga diperlukan investigasi lebih lanjut.3,5
Keempat pasien memiliki faktor risiko yang sama, yaitu rokok (tabel 4.1).
Kebiasaan merokok merupakan penyebab terpenting dibandingkan faktor
penyebab lain.3,5 Di negara industri, rokok merupakan faktor risiko terbesar.
Sebanyak 50% perokok kronis akan berkembang menjadi PPOK. Sedangkan di
negara lain, polusi udara merupakan faktor risiko terbesar. 84 Asap rokok
mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang
bermakna dibandingkan dengan bukan perokok. Risiko terjadinya PPOK pada
perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah
batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks Brinkman). 3 Derajat berat
merokok dapat dilihat melalui indeks Brinkman (IB).3 Bila berdasarkan indeks

Universitas Indonesia
68
Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013
69

tersebut, maka keempat pasien termasuk dalam kategori risiko berat, yaitu rerata
banyaknya rokok yang dihisap pertahun adalah lebih dari 600 batang.
Tabel 4.1 Faktor risiko
FAKTOR Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
RISIKO
Rokok + + + +
Jumlah rokok
32-40 32-40 25-30 40-44
/hari (batang)
Polusi ++ ++ + +
Lama merokok
50 35 59 49
(tahun)
Masalah sosial
+ ++ - -
ekonomi

Keterangan : (+) : memiliki faktor risiko tertentu, (++): sangat memiliki faktor risiko tertentu,
(-): tidak memiliki faktor risiko

Fungsi paru mencapai puncak pada usia 25 tahun. Pada usia 60 tahun,
fungsi paru pada bukan perokok masih optimal, sedangkan kelompok perokok
telah kehilangan fungsi paru sebanyak 50%. Kelompok perokok yang berhenti
merokok pada usia 45 tahun, masih memiliki fungsi paru sebanyak 75%.75 Pada
usia 60 tahun, fungsi paru pasien kasus pertama, ketiga, dan keempat sudah tidak
optimal. Sedangkan penurunan fungsi paru pasien kasus kedua terjadi pada usia
yang lebih muda, yaitu 52 tahun.
Selain rokok, keempat pasien juga memiliki faktor risiko lain yang
memperberat kondisi inflamasi yang sudah ada. Berbagai macam polusi udara
yang disebabkan oleh partikel dan gas dapat menjadi sumber faktor risiko.3 Pada
kasus pertama, selain rokok, pasien juga sering terpapar oleh asap pembakaran
sampah. Hal ini berlangsung hampir setiap hari selama delapan tahun sebelum
berhenti merokok. Pasien kedua, selain rokok, juga terpapar setiap hari oleh polusi
di tempat kerja. Sedangkan faktor risiko lain pada pasien ketiga dan keempat
adalah polusi udara bila keluar rumah. Faktor sosial ekonomi yang rendah
sehubungan dengan pemukiman padat dan nutrisi yang jelek, juga memperberat
risiko terjadinya PPOK pada kasus kedua. Keempat pasien ini, walaupun telah
didiagnosis PPOK oleh dokter, tetapi kebiasaan merokok tetap berjalan, sehingga
faktor inflamasi dari rokok semakin bertambah. Walaupun kebiasaan merokok
telah berhenti, proses inflamasi masih dapat berlangsung. 3,5

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


70

Pada dasarnya semua risiko PPOK merupakan hasil dari interaksi


lingkungan dan gen. Dua orang dengan riwayat merokok yang sama, hanya satu
yang berkembang menjadi PPOK. Hal ini karena adanya perbedaan dalam
predisposisi genetik untuk penyakit ini, adanya faktor risiko lain, atau dalam
berapa lama mereka hidup sehingga PPOK mulai timbul. 3,4 Faktor risiko pada
keempat pasien merupakan interaksi antara rokok, polusi udara, dan faktor
ekonomi (terutama kasus kedua). Faktor ekonomi yang dimaksud adalah,
kemampuan untuk mendapatkan pengobatan adekuat, rumah dan lingkungan yang
sehat, serta nutrisi yang optimal.
Faktor genetik pada keempat pasien tidak diketahui, karena tidak
dilakukan pemeriksaan α-1 antitrypsin (AAT). Faktor risiko genetik yang paling
sering terjadi adalah kekurangan AAT sebagai inhibitor dari protease serin. 3 α-1
antitrypsin adalah glikoprotein yang diproduksi oleh hati dan merupakan serum
antiprotease paling banyak di sirkulasi. Mayoritas AAT adalah turunan hepatosit,
dan secara aktif ditranskripsi dan disekresi oleh tipe sel lain termasuk makrofag,
monosit, neutrofil, sel epitel intestinal, dan berbagai sel epitel di paru-paru dalam
jumlah yang sedikit.76
Berbagai gejala klinis yang terdapat pada semua pasien terutama berkaitan
dengan gangguan pernapasan. Batuk kronis yang hilang timbul selama lebih dari
tiga bulan, disertai sputum yang banyak, dan sulit dikeluarkan (retensi sputum),
walaupun kadang-kadang tanpa disertai sputum. Sesak napas bersifat progresif
lambat, bertambah berat dengan aktivitas, dan persisten. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan pursed-lips breathing, dada barrel chest, penggunaan otot bantu
pernapasan, dan pelebaran sela iga. Adanya defek pada jantung kanan (kor
pulmonal) dan gagal jantung kanan (heart failure), memperlihatkan peningkatan
denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai. Palpasi pada kondisi emfisema,
akan didapat stem fremitus yang lemah. Sedangkan pada perkusi didapat
hipersonor, batas jantung mengecil, dan hepar terdorong ke bawah. Pada
auskultasi ditemui wheezing atau ronki. Tabel 4.2 memperlihatkan beberapa
gejala klinis yang ada pada semua pasien dalam serial kasus ini.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


71

Tabel 4.2 Perbedaan gejala klinis

GEJALA KLINIS Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4

Sesak,batuk berulang dan berdahak + + + +


Pursed-lips breathing + + - +
Barrel chest + + + +
Penggunaan otot bantu pernapasan + + + +

Pelebaran sela iga + + Tidak +


jelas
Iga gambang - + - +
Emfisema + + - +
(+/+)
Ronki/wheezing Ronki (+/+) (+/+) ekspirasi
memanjang
Pink puffer/blue bloater Pink puffer Pink puffer blue Pink puffer
bloater
Edema tungkai + - - -
Foto torak : jantung sempit, vertical + + - +

Keterangan : (+) : sesuai kriteria; (-): tidak sesuai kriteria


Keluhan sesak, batuk kronis, dan dan adanya sputum dapat ditemui pada
keempat kasus ini. Gejala sesak paling berat ditemui pada kasus pertama, kedua,
dan keempat. Pada kasus pertama, sesak diperberat karena sudah adanya
komplikasi gagal jantung kongestif. Pada kasus kedua, fungsi paru yang sudah
menurun diperberat oleh adanya tuberkulosis paru yang masih aktif disertai
pneumonia. Sedangkan pada kasus keempat, sesak dimungkinkan karena adanya
emfisema, dan bronkiektasis. Bronkiektasis adalah dilatasi (ektasis) dan distorsi
bronkus lokal yang bersifat patologis, kronis, dan persisten. 85 Sedangkan
emfisema adalah pembesaran abnormal dan permanen dari terminal bronkiolus
disertai destruksi dinding bronkiolus. 96 Beratnya sesak dapat dilihat dari
pemeriksaan fisik terdapat pursed-lips breathing yang menetap pada kasus
pertama, kedua, dan keempat. Walaupun pada akhir perawatan kondisi pasien
sudah lebih baik, tetapi pursed-lips breathing sekali-sekali masih kelihatan.
Pursed-lips breathing adalah sikap bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. 3,5

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


72

Kondisi pursed-lips breathing, barrel chest, penggunaan otot bantu


pernapasan, dan pelebaran sela iga, terlihat lebih jelas pada kasus pertama, kedua,
dan keempat. Iga gambang terlihat jelas pada kasus kedua dan keempat karena
kondisi malnutrisi yang berat. Edema tungkai hanya terdapat pada kasus pertama,
karena adanya hipoalbumin, dan gagal jantung kongestif.
Batas jantung yang mengecil, dan letak diafragma rendah, terdapat pada
semua kasus. Batas jantung yang mengecil lebih terlihat pada rontgen torak, di
mana bentuk jantung seperti pendulum, sedangkan diafragma terlihat lebih
mendatar dibanding dalam keadaan normal.
Berdasarkan hasil awal pemeriksaan laboratorium terdapat hasil yang
beragam, seperti yang tertulis pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Perbedaan hasil pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan
penunjang Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4

Pemeriksaan darah
Hemoglobin (g/dL) 10,9 Normal Normal 11,6
Leukosit (/uL) Normal Normal 15.700 25.000
Trombosit Normal Normal Normal Normal
Analisa gas darah Asidosis Asidosis Asidosis Asidosis
respiratorik respiratorik respiratorik respiratorik
Albumin (g/dL) 2,7 ↓ 2,6 ↓ Normal Normal
SGOT/SGPT Normal 71 ↑ / 120 ↑ Normal Normal
Fungsi ginjal Normal Normal Normal Normal
KGD (mg/dL) Normal Normal 171 ↑ Normal
HbA1C (%) Normal Normal 6,20 ↑ Normal

Riwayat
Profil lemak - - Dislipidemia
dislipidemia
Tuberkulosis
Emfisema,
Rontgen torak Emfisema paru, Bronkopneumoni
bronkokiektasis
pneumoni
Pemeriksaan BTA - + - -
Elektrolit
129 ↓
Natrium (mEq/L) 133 ↓
Nomal Normal Normal
Klorida (Cl) 95 ↓
Normal
Kalsium (Ca ion) 1,13 ↓

Keterangan : (+) sesuai kriteria; (-): tidak memenuhi kriteria


Pemeriksaan darah memperlihatkan bahwa anemia terdapat pada kasus
pertama dan keempat. Berdasarkan penelitian prevalensi anemia pada pasien
PPOK adalah 13%. Jenis anemia pada PPOK umumnya adalah normokrom

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


73

normositik.81 Secara umum anemia terdapat pada penyakit-penyakit kronis, yang


ditandai dengan lemah, kelelahan, kaheksia, gangguan nutrisi, gangguan mood,
penurunan fungsi kognitif, penurunan kapasitas fungsional, sesak, dan penurunan
kualitas hidup. Anemia pada PPOK dihubungkan dengan inflamasi sistemik yang
kronis. Peningkatan kadar sitokin inflamasi menyebabkan usia sel eritrosit tidak
panjang, sementara kebutuhan eritrosit meningkat, tetapi sumsum tulang tidak
mampu merespon peningkatan kebutuhan eritrosit tersebut. Hal ini menyebabkan
resisten eritropoetin relatif, karena kegagalan progenitor eritrosit untuk merespon
eritropoetin. Selain itu, terdapat juga gangguan mobilisasi zat besi (Fe) dari sel
retikuloendotelial.81
Leukositosis terdapat pada kasus ketiga dan keempat, hal ini karena
adanya faktor pencetus yaitu infeksi. Dari analisis gas darah, keempat pasien
mengalami asidosis. Hipoalbuminemia terdapat pada pasien kasus pertama dan
kasus kedua. Kondisi hipoalbuminemia kategori sedang tersebut, 86 terjadi karena
proses inflamasi sistemik yang kronis. Hipoalbuminemia pada PPOK eksaserbasi
akut akan mempengaruhi masa eksaserbasi dan merupakan prognosis buruk. 87,88
Peningkatan kadar SGOT/SGPT pada kasus kedua karena hepatoksisitas dari
pemakaian obat anti tuberkulosis (OAT) kategori 1. Hepatoksisitas tersebut
karena enzim untuk metabolisme OAT di mikrosom hati kemungkinan memiliki
cacat bawaan, malformasi, aktivitas yang rendah, atau dihambat oleh obat-obatan,
sehingga OAT ataupun metabolitnya menjadi toksik untuk hepatosit. Penyebab
lain adalah hipersensitivitas dari OAT. 89,90 Gangguan fungsi paru berhubungan
dengan insiden penyakit arteri koroner dan kardiovaskular. 94 Hal ini yang
mendasari kondisi hiperglikemi dan dislipidemia pada beberapa pasien.
Hiperglikemi yang terjadi pada kasus ketiga karena konsekuensi dari inflamasi
sistemik yang kronis, stres oksidatif, dan penggunaan kortikosteroid yang
sering.91,92 Dislipidemia yang terjadi pada kasus ketiga, karena konsekuensi dari
inflamasi sistemik, dan pemakaian yang sering dari kortikosteroid. 93 Gangguan
elektrolit yang terdapat pada kasus pertama dan kasus ketiga, mungkin karena
pemakaian diuretik.
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis didapat melalui anamnesis dan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


74

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang meliputi faal paru (spirometri, uji


bronkodilator), pemeriksaan darah rutin, analisis gas darah, radiologi,
elektrokardiografi, ekokardiografi, dan bakteriologi.3,5
Diagnosis semua pasien pada serial kasus ini ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan penunjang (darah rutin, analisis gas darah, radiologi,
elektrokardiografi, dan bakteriologi), dan berdasarkan diagnosis DPJP (Sp. Paru)
sebelumnya melalui spirometri. Semua pasien didiagnosis sebagai PPOK
eksaserbasi akut. Hal ini karena adanya beberapa gejala, yaitu : sesak napas yang
semakin berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin
sering, napas yang dangkal dan cepat, peningkatan suhu tubuh, peningkatan
denyut nadi, serta gangguan status mental pasien. Indikasi rawat inap pada semua
pasien adalah : peningkatan gejala yang mendadak dan nyata, riwayat PPOK
berat, munculnya gejala fisik baru (sianosis, edema perifer), adanya komorbiditas
yang signifikan, eksaserbasi yang tidak responsif terhadap pengobatan, usia lanjut,
dan perawatan rumah yang tidak memadai.85
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu
ke waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala dan perubahan obstruksi
saluran napas harus dipantau untuk mengetahui timbulnya komplikasi.
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif
dan tidak sepenuhnya reversibel. Komplikasi tersebut yaitu : penyakit
kardiovaskular (kor pulmonal, gagal jantung), gangguan muskuloskeletal, deficit
kognitif, depresi, infeksi berulang, dan gagal napas (kronik, maupun akut pada
gagal napas kronik).77
Kondisi PPOK pada kasus pertama dan kasus kedua telah menimbulkan
komplikasi kor pulmonal. Kor pulmonal pada kasus kedua, disertai dengan gagal
jantung kongestif. Kor pulmonal merupakan komplikasi kardiovaskular yang
paling sering ditemui pada penderita PPOK. Kor pulmonal adalah perubahan
struktur dan/atau fungsi dari jantung kanan akibat penyakit yang mengenai
struktur, fungsi paru atau pembuluh darahnya, tetapi tidak termasuk penyakit paru
yang disebabkan oleh kelainan jantung kiri atau penyakit jantung kongenital.
Keadaan ini ditandai adanya hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.71

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


75

Infeksi berulang (pneumonia) terjadi pada kasus kedua dan kasus


keempat. Pada kasus kedua, kondisi pneumonia disertai infeksi kuman
tuberkulosis. Infeksi berulang dapat menimbulkan eksaserbasi akut. Tabel berikut
menyimpulkan tentang beberapa komplikasi yang terjadi pada keempat pasien.

Tabel 4.4 Perbandingan komplikasi


Komplikasi Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
Kor pulmonal + + - -
Gagal jantung kanan + - - -
Infeksi berulang - + - +
(pneumoni)

Keterangan : (+) : sesuai kriteria; (-): tidak sesuai kriteria


Faktor komorbid PPOK merupakan penyakit penyerta lain yang dapat
memperberat kondisi PPOK. Pendapat lain mengatakan bahwa komorbid pada
PPOK disebabkan oleh efek inflamasi sistemik dari PPOK. Faktor komorbid
tersebut, antara lain : penyakit jantung, DM tipe 2, hipertensi, osteoporosis,
artritis, depresi, dan infeksi paru lain (tuberkulosis). 72 Tabel 4.5 memperlihatkan
faktor komorbid PPOK pada pasien-pasien di serial kasus ini.

Tabel 4.5 Faktor komorbid


Komorbid Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
Kardiak + + - -
Hipertensi + - + +
Hiperglikemi (DM ?) - - + -
Dislipidemia - - + -
Depresi - - + ++
Gastrointestinal + + - +
Artritis - - - +
Malnutrisi + + + +

Keterangan : (+) : sesuai kriteria; (-): tidak sesuai kriteria


Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi
akut, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, dan meningkatkan kualitas
hidup penderita. Secara umum, penatalaksanaan PPOK meliputi edukasi, obat-
obatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitasi PPOK. Obat-

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


76

obatan dan tindakan yang biasa digunakan meliputi : bronkodilator, antiinflamasi,


antibiotik, antioksidan, mukolitik, dan antitusif. Demikian pula, inflamasi di paru
harus dikendalikan untuk mencegah perluasan inflamasi sistemik yang mungkin
terjadi, serta penatalaksanaan komorbiditas sistemik yang didapat pada pasien. 3,5
Keempat pasien pada serial kasus ini, selain mendapat obat-obatan utama
pada PPOK, juga mendapat obat-obatan lain, yaitu antibiotik, obat dispepsia, obat
antituberkulosis (OAT), obat-obatan psikosomatik, dan vitamin/mineral, serta
oksigen dan fisioterapi. Tabel 4.6 berikut memperlihatkan perbandingan obat-
obatan dan tindakan yang didapat oleh keempat pasien.

Tabel 4.6 Terapi yang diterima


Jenis obat Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
Bronkodilator + + + +
Kortikosteroid - + - +
Antibiotik + + + +
Diuretik + + + -
Obat dispepsia + + - +
Antihipertensi - - + +
OAT - + - -
Obat psikosomatik - - + ++
Mikronutrien + + - +
LTOT - - - +
Fisioterapi + + + +

Keterangan : (+) : sesuai kriteria; (-): tidak sesuai kriteria


Dari tabel 4.6, menunjukkan bahwa selama perawatan di rumah sakit semua
pasien mendapat dukungan fisioterapi, yang mana hal ini turut meningkatkan
asupan nutrisi. Long term oksigen terapi (LTOT) yang terdapat pada kasus
keempat, dapat meningkatkan asupan nutrisi pasien selama di rumah sakit dan
dalam perawatan di rumah. LTOT merupakan terapi oksigen yang dilaksanakan di
rumah pasien.
Terapi oksigen jangka panjang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktivitas. Lama pemberian 15 jam setiap hari,

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


77

dengan nasal kanul 1-2 l/menit. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila pasien tidur. Terapi oksigen pada
waktu aktivitas (termasuk makan) bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktivitas.3 Pemberian terapi LTOT ini berhubungan
dengan kemampuan pasien dalam membeli dan menyediakan tabung oksigen.
Pada umumnya pasien PPOK sering masuk dan dirawat di rumah sakit
dalam keadaan eksaserbasi akut. Kondisi PPOK menyebabkan pasien kehilangan
berat badan, sehingga terjadi penurunan status gizi, yang pada akhirnya mudah
mencetuskan eksaserbasi akut. Berdasarkan penelitian ternyata terdapat korelasi
kuat antara malnutrisi dengan penurunan fungsi paru sehingga menimbulkan
eksaserbasi akut.74
Kurang gizi (underweight) yang sering terjadi pada PPOK, adalah karena
adanya peningkatan kebutuhan energi yang diperlukan tubuh untuk kerja otot-otot
pernapasan yang meningkat. Peningkatan kerja otot-otot pernapasan ini
disebabkan kondisi hipoksemia kronik dan hiperkapnia, yang akan menyebabkan
hipermetabolisme. Kondisi underweight akan meningkatkan angka mortalitas
PPOK karena berkorelasi kuat dengan penurunan fungsi paru.7,9 Oleh karena itu,
penting melakukan skrining gizi untuk mengetahui status gizi pasien PPOK dan
intervensi nutrisi selanjutnya.
Skrining gizi pada semua pasien dilakukan dengan memakai format
skrining yang berlaku di RSSW. Status gizi ditentukan berdasarkan IMT dan
disesuaikan dengan kriteria Asia Pasifik.5,73 Selain itu, penentuan status gizi juga
ditentukan melalui LLA, untuk mengkonfirmasikan BB, karena adanya
ketidakakuratan dalam pengukuran akibat pasien mengalami edema. Penentuan
status gizi dilakukan untuk menentukan faktor risiko pada pasien PPOK dan
diagnosis kerja gizi untuk menentukan langkah intervensi nutrisi berikutnya.
Tabel 4.7 berikut ini memperlihatkan hasil skrining gizi dan status gizi dari
keempat pasien.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


78

Tabel 4.7 Skrining gizi dan status gizi


Kriteria Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
Asupan makanan tidak adekuat 3-5
+ + + +
hari
Kehilangan BB > 10% dan >15% + + - +
Albumin < 3 g/dL + + - -
Penyakit dengan stres metabolik + + + +

IMT (kg/m2) 16,32 11,4 25,5 14,8

Malnutrisi Malnutrisi Malnutrisi


Status gizi sedang berat Obes 1 berat
(KEP I) (KEP III) (KEP III)

Keterangan : (+) : sesuai kriteria; (-): tidak sesuai kriteria


Skrining tersebut menentukan apakah pasien bermasalah gizi atau tidak, dan itu
terlihat pada keempat kasus bahwa semuanya membutuhkan dukungan tim terapi
gizi (TTG).
Secara umum, permasalahan nutrisi pada semua pasien mencakup
peningkatan kebutuhan energi, penurunan asupan makanan, adanya interaksi obat
dan nutrisi, faktor ekonomi rendah dan kurangnya dukungan keluarga, adanya
perubahan metabolisme, dan faktor usia.7,26
Malnutrisi merupakan hal yang umum terjadi pada pasien PPOK,
khususnya dengan kondisi emfisema. Faktor yang menyebabkan malnutrisi adalah
tingginya REE. Peningkatan REE karena peningkatan kerja otot pernapasan,
asupan makanan yang kurang, efek pemakaian obat kortikosteroid dan β2-
agonis.82 Penurunan asupan makanan diakibatkan karena sesak, anoreksia,
keluhan dispepsia, dan usia lanjut. Perubahan metabolisme menyebabkan
gangguan pada metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat, seperti peningkatann
proteolisis, hiperlipidemia, dan resistensi insulin.7,26
Pada usia lanjut terdapat penurunan fungsi kelenjar saliva, atrofi gusi
(shrinkage gum), gigi geligi rentan tanggal, penurunan kemampuan indera
penghidu untuk membedakan berbagai bau, penurunan kemampuan indera
pengecap untuk membedakan berbagai rasa, perlambatan waktu pengosongan
lambung, penurunan sekresi insulin dan respon rasa lapar. Terdapat pula
peningkatan hormon kolesistokinin dan respon refleks peregangan dinding
lambung yang berlebihan sehingga usia lanjut menjadi cepat kenyang. 78

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


79

Interaksi obat nutrisi khususnya penggunaan bronkodilator dan mukolitik


dapat menimbulkan mulut kering, dan nausea. Mulut kering dan nausea
menyebabkan pasien lebih suka minum, tidak mau makan. Penggunaaan
kortikosteroid menyebabkan retensi cairan dan garam, kelemahan otot. 7
Furosemid yang termasuk golongan loop diuretik, dapat menimbulkan efek
samping hiponatremi, hipokalemi, ototoksisitas, hiperurisemia, hiperglikemi,
meningkatkan LDL kolestrol, dan menurunkan HDL kolestrol. 79 Gangguan
elektrolit yang merupakan efek samping furosemid terdapat pada kasus pertama
dan kasus ketiga. Efek hiperglikemi terdapat pada kasus ketiga, sedangkan
dislipidemia terjadi pada kasus ketiga dan kasus keempat. Kelemahan otot terjadi
pada semua pasien, sehingga memerlukan fisioterapi. Tabel 4.8 berikut ini
menyimpulkan tentang permasalahan nutrisi yang timbul pada pasien PPOK.

Tabel 4.8 Permasalahan nutrisi yang dialami pasien


Masalah Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
Kebutuhan energi + + + +
meningkat
Perubahan metabolism + + + +
Asupan makanan menurun + + + +
Permasalahan Mual, nyeri
Mual Konstipasi Konstipasi
Gastrointestinal uluhati
Obat – nutrisi + + + +
Faktor ekonomi rendah + ++ - -
Dukungan keluarga + - + ++
Usia tua + + + +
Gangguan psikologis - (-) + ++

Keterangan : (+) : sesuai kriteria; (-): tidak sesuai kriteria


Dari tabel 4.8 terlihat bahwa pasien yang memiliki kendala terbesar untuk
mendapatkan asupan nutrisi adekuat adalah kasus kedua. Selain kendala yang
berasal dari kondisi PPOK, masih ditambah lagi faktor usia tua, faktor ekonomi
rendah dan kurangnya dukungan keluarga. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi
kualitas hidup pasien selanjutnya. Kualitas hidup yang tidak baik, akan
mempengaruhi perburukan prognosis. Kehidupan ekonomi kasus pertama, tidak
lebih baik dari kasus kedua. Tetapi semua anak perduli pada kesehatan pasien

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


80

sehingga mereka bekerja sama dalam menyediakan dana untuk semua kebutuhan
pasien sehari-hari, termasuk untuk makanan pasien. Begitu juga istri pasien
perduli dalam menyediakan makanan dan keperluan sehari-hari. Kasus ketiga
tidak memiliki istri lagi, dan tinggal bersama anak-anaknya. Kehidupan
perekonomian kasus ketiga lebih baik dari kasus pertama dan kedua. Diantara
semua anaknya, hanya satu orang yang perduli dengan kesehatan pasien. Tetapi
anak tersebut bertempat tinggal di luar kota, hanya seminggu sekali mengunjungi
pasien, sehingga asupan makanan pasien sehari-hari kurang adekuat. Sedangkan
kehidupan perekonomiannya kasus keempat cukup baik, serta istri dan anak-anak
pasien perduli dengan kondisi kesehatan dan asupan makanatn pasien. Sehingga
selama perawatan di rumah sakit, perbaikan asupan makanan kasus keempat lebih
baik dari kasus yang lain.
Asupan makanan dan selera makan setiap pasien sebelum sakit baik.
Namun setelah menderita penyakit tersebut terjadi penurunan asupan makanan
secara bertahap. Berdasarkan analisis asupan menunjukkan bahwa rerata asupan
energi dan komposisi makronutrien sebelum sakit masih seimbang. Namun sejak
didiagnosis PPOK, asupan makanan berkurang, dan semakin menurun bila timbul
eksaserbasi akut. Begitu juga komposisi makronutrien menjadi tidak seimbang.
Penurunan asupan sejak didiagnosis PPOK, disebabkan sesak, rasa begah bila
makan banyak, dan cepat kenyang. Hal ini karena berdasarkan foto torak, tampak
posisi diafragma yang rendah dan cenderung mendatar, sehingga mengurangi
kapasitas lambung. Selain itu inflamasi kronik pada PPOK meningkatkan sitokin-
sitokin proinflamasi (TNF-, IL-1, dan IL-6) yang dapat mempengaruhi selera
makan.80
Pada PPOK terjadi hipermetabolisme dan peningkatan inflamasi sistemik
yang diketahui dari peningkatan TNF-α. Mempertahankan keseimbangan energi
yang optimal pada PPOK penting dilakukan untuk menjaga berat badan, massa
bebas lemak, dan kondisi tubuh yang baik. Fungsi otot pernapasan dipengaruhi
oleh status nutrisi dan berhubungan erat dengan berat badan dan massa bebas
lemak. Karena itu, pasien PPOK harus mendapatkan asupan kalori dan protein
yang cukup, untuk mempertahankan berat badan, massa bebas lemak, dan status

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


81

nutrisi yang adekuat.7 Walaupun asupan nutrisi pasien baik, namun kehilangan
berat badan tetap terjadi karena peningkatan REE.
Kebutuhan kalori basal pasien ditentukan berdasarkan formula Harris
benedict, kemudian dikalikan faktor stres untuk mendapatkan kebutuhan total.
Tabel 4.9 berikut ini memperlihatkan kebutuhan energi dan makronutrien keempat
pasien.

Tabel 4.9 Kebutuhan energi dan makronutrien


Nutrisi Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
KEB (kkal) 965 964 1217 936
KET (kkal) 1447 1446 1825 1400
Protein
(g/kgBB/hari) 1,7 (71) (20) 1,2 (37) (10) 1,4 (91) (19) 1,7(65 g) (18)
(g) (%KET)
N : NPC 1 : 102 1 : 219 1 : 100 1 : 100
Lemak 30 (48) 30 (48) 30 (60) 30 (46,7)
(%KET) (g)
KH
180 (50) 216 (59) 230 (50) 181 (52)
(g) (%KET)

Semua pasien pada serial kasus ini termasuk malnutrisi dengan variasi
yang berbeda. Pasien kasus pertama, kedua, dan keempat termasuk underweight,
sedangkan pasien kasus ketiga termasuk obesitas. Kondisi ini tentu saja
mempengaruhi kebutuhan kalori basal. Pasien yang malnutrisi karena
underweight, kebutuhan kalori basalnya tidak melebihi 1000 kkal, sedangkan
pasien yang obesitas, kebutuhan basalnya lebih besar. Kebutuhan basal ditentukan
dengan memakai formula Harris Benedict berdasarkan BB koreksi (kasus 1), BB
aktual (kasus 2), BB ideal (kasus 3), dan BB perkiraan yang berasal dari
pengukuran lingkar lengan atas (LLA) untuk kasus keempat. Kebutuhan total
diperoleh dari perkalian kebutuhan basal dengan stres faktor 1,5. Semua pasien
memakai stres faktor 1,5 karena dalam kondisi eksaserbasi akut.
Pemakaian formula Harris Benedict untuk menentukan kebutuhan basal
karena formula tersebut memperhatikan faktor usia, BB, dan TB/PB sehingga
hasilnya lebih individual. Untuk mencegah terjadinya overfeeding, nutrisi
diberikan secara bertahap, disesuaikan dengan kondisi klinis pasien dan hasil

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


82

pemeriksaan laboratorium. Penentuan kalori basal kasus pertama berdasarkan BB


koreksi 5%, karena adanya edema pada wajah dan tungkai.
Pemberian protein diharapkan untuk memperbaiki dan mengatasi
peningkatan turnover protein, penurunan sintesis protein otot rangka, peningkatan
proteolisis, penurunan kadar AARC, peningkatan sintesis protein fase akut, dan
peningkatan kehilangan nitrogen urin. Pemberian protein tinggi pada pasien tetap
memperhatikan fungsi ginjal dan fungsi hati yang masih baik. Pada kasus kedua,
protein diberikan lebih rendah (1,2 g/kgBB/hari) karena adanya gangguan fungsi
hati sehubungan dengan pemakaian OAT. Setelah ada perbaikan fungsi hati,
kebutuhan protein ditingkatkan. Selama perawatan, kalori dan protein diberikan
secara bertahap. Sumber protein utama berasal dari AARC, misalnya putih telur,
dan kacang-kacangan (tempe,tahu). Putih telur berasal dari makanan cair, putih
telur dari rumah sakit, ataupun yang dibawa keluarga pasien. Diberikannya AARC
pada PPOK bertujuan untuk meningkatkan selera makan dan sintesis protein.
Selain itu, beberapa penelitian telah membuktikan secara konsisten, bahwa pada
pasien PPOK terjadi penurunan kadar AARC. Penurunan kadar AARC
disebabkan kondisi hipermetabolisme, hipoksia yang menstimulus metabolisme
anaerobik, dan disfungsi mitokondria.95
Pemberian lemak sebesar 30% KET dapat menurunkan produksi CO 2 ,
sehingga sesak berkurang. Pemberian Lemak 30% tersebut dengan pertimbangan
bahwa respiratory quetiont (RQ) lemak lebih kecil (0,7) dari karbohidrat (1,0) dan
protein (0,8). Agar dapat menghasilkan energi, maka karbohidrat, lemak, dan
protein terlebih dahulu mengalami metabolisme di dalam sel. Proses metabolisme
tersebut memerlukan sejumlah oksigen dan menghasilkan sejumlah
karbondioksida. Rasio antara karbondioksida yang dihasilkan dan oksigen yang
dibutuhkan disebut respiratory quetiont (RQ). RQ lemak yang lebih kecil
menunjukkan bahwa dalam metabolismenya, lemak menghasilkan karbondioksida
yang lebih sedikit dibandingkan dengan karbohidrat. 83,97 Pemberian lemak 30%
diharapkan tidak menambah jumlah karbondioksida yang sering meningkat pada
pasien PPOK. Peningkatan asupan lemak memerlukan konsumsi oksigen yang
lebih tinggi. Oleh karena itu, pemberian asupan lemak tidak melebihi 30% dari
kebutuhan total), dan selama perawatan pasien mendapat oksigen adekuat,

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


83

terutama pada waktu makan. Selain itu, dalam pemberian lemak memperhatikan
juga komposisi dari saturated fatty acid (SAFA), Monounsaturated fatty acid
(MUFA), dan polyunsaturated fatty acid (PUFA). Komposisi lemak tersebut yaitu
SAFA < 7%, PUFA 10%, MUFA 13%. Selama perawatan, asupan lemak belum
mencapai 30%, tetapi rerata asupan lemak selama perawatan lebih dari 25%, dan
pada hari terakhir perawatan telah mencapai 28% dari kebutuhan total. Sumber
lemak berasal dari makanan cair, minyak sayur, minyak kanola, ikan, dan alpukat.
Karbohidrat diberikan sebanyak 50-60%, terdiri dari karbohidrat simpleks
dan kompleks, serta serat 14 gram/1000 kkal/hari. Karbohidrat simpleks diberikan
untuk memudahkan pasien dalam memperoleh energi, tetapi jumlahnya lebih
sedikit dari karbohidrat kompleks. Pemberian karbohidrat kompleks dan serat
ditujukan agar pasien bisa BAB secara teratur, sehingga mengurangi rasa begah di
perut. Khusus untuk pasien kasus ketiga, pemberian karbohidrat kompleks
bertujuan untuk menurunkan hiperglikemi. Serat diberikan secara bertahap, dan
tidak melebihi 14 gram/1000 kkal/hari, karena pemberian serat berlebihan akan
mengurangi absorpsi kalsium. Selama perawatan di rumah sakit, kasus pertama
dan kasus kedua tidak bermasalah dalam hal BAB. Sedangkan kasus ketiga dan
keempat sebelum masuk rumah sakit mengalami konstipasi, tetapi pada perawatan
hari kedua ketiga, keduanya sudah bisa BAB. Kelancaran dalam hal BAB,
membantu meningkatkan asupan nutrisi.
Selama perawatan di rumah sakit, asupan makanan keempat pasien
meningkat perlahan. Pemberian nutrisi awal pada semua pasien, direncanakan
dalam bentuk cair, karena memudahkan pasien dalam mengkonsumsinya
sehubungan pasien dalam kondisi sesak. Pemberian makanan cair disesuaikan
dengan kebutuhan cairan pasien, dan restriksi cairan seperti pada kasus pertama.
Setelah kondisi klinis pasien mengalami perbaikan, nutrisi ditingkatkan perlahan
baik jumlah maupun bentuknya. Peralihan asupan dari cair ke padat serta
peningkatan asupan paling baik terjadi pada kasus keempat. Walaupun kondisi
psikis pasien kasus keempat tidak sebaik pasien yang lain, tetapi dukungan
keluarga, terutama istri pasien, sangat membantu peningkatan asupan nutrisi
pasien. Istri pasien cukup terampil dalam menenangkan pasien, dan membujuk
pasien agar menghabiskan makanannya. Bila tiba waktu makan, pasien selalu

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


84

dikelilingi oleh anak-anaknya dan istri pasien. Pasien makan dengan dibantu istri,
sedangkan istri dan anak-anak pasien turut makan juga. Sambil makan, oksigen
tetap terpasang.
Secara umum pasien PPOK membutuhkan asupan vitamin mineral yang
juga berfungsi sebagai antioksidan. Pada serial kasus ini, keempat pasien
mendapat vitamin mineral yang bervariasi. Kasus pertama dan kedua hanya
mendapakan vitamin B kompleks dan vitamin C, karena kendala biaya. Asupan
mikronutrien lain didapat pasien dengan memaksimalkan asupan makanan yang
telah direncanakan. Sampai hari terakhir perawatan, asupan telah mencapai 90%,
dengan rerata komposisi makronutrien seimbang. Sehingga hal ini memungkinkan
tercukupinya mikronutrien. Selain makanan dari rumah sakit, pasien juga
membawa makanan dari rumah, seperti ikan, putih telur, dan buah-buahan (bentuk
jus atau potongan buah). Sedangkan kasus keempat mendapat mikronutrien sesuai
dosis RDA, ditambah mikronutrien dari asupan makanan.
Nutrien spesifik yang disarankan adalah omega 3. Sumber omega 3 untuk
keempat pasien berasal dari bahan makanan sumber, antara lain ikan (dari rumah
sakit maupun dari pasien), telur, dan minyak kanola. Kandungan omega 3 dalam
sebutir telur (60 gram) adalah minimal 300 mg/butir, dan 50% berupa EPA.61
Pembatasan cairan dilakukan hanya pada kasus pertama, sehubungan
dengan gagal jantung kongestif dan edema tungkai. Selain itu, diberikan juga
diuretik untuk mengurangi kongesti paru dan udema perifer sehingga dapat
mengurangi beban jantung kanan. Walaupun demikian, karena sebagian besar
pasien tergolong lansia, maka kebutuhan cairan tetap diperhatikan sesuai dengan
kebutuhan untuk lansia. Begitu juga dengan kasus kedua, selama perawatan di
rumah sakit, keseimbangan cairan diusahakan negatif atau nol, karena pasien telah
didiagnosis DPJP dengan kor pulmonal, walaupun secara klinis belum terdapat
edema. Tanda-tanda dehidrasi pada setiap pasien, tidak ditemui selama perawatan.
Restriksi natrium dilakukan pada kasus pertama dan ketiga, yaitu sebesar
2000 mg atau setara dengan 5 gram garam. 7,26,64 Restriksi natrium dilakukan
sehubungan dengan edema (kasus 1) dan adanya hipertensi (kasus 1 dan kasus 3).
Selama perawatan, nutrisi diberikan dalam porsi kecil namun sering,
bentuk cair dan makanan padat yang lunak (dengan lauk cincang), serta diberikan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


85

secara oral. Pemberian makanan cair ditujukan agar pasien mudah mengkonsumsi
makanan, sehubungan dengan adanya sesak. Sedangkan pemberian makanan
lunak dan lauk cincang selain karena sesak, juga karena gigi geligi yang tidak
lengkap. Gabungan pemberian makanan cair dan makanan lunak terutama
diberikan pada kasus pertama dan kedua. Pemberian makanan cair pada kasus
ketiga dan keempat tidak lama, sehingga pada kedua pasien ini, pemberian
makanan cair cepat berubah menjadi makanan padat yang lunak.
Selama perawatan, telah dilakukan beberapa hal untuk meningkatkan
asupan nutrisi pasien pantauan, yaitu :
- Makanan cair diberikan dengan warna yang bervariasi, agar pasien tidak
bosan.
- Menyarankan kepada pasien agar memakai pipet dalam mengonsumsi
makanan cair, serta meminumnya perlahan dan bertahap.
- Mengkomunikasikan kepada DPJP tentang perkembangan pasien
- Dilakukan fisioterapi pada semua pasien, agar sputum mudah dikeluarkan,
sehingga sewaktu makan tidak terganggu dengan adanya sputum
- Oksigen tetap diberikan bila pasien makan, agar pasien tidak cepat lelah,
dan tidak sesak
- Memberikan edukasi dan motivasi kepada pasien dan keluarga, agar
pasien mau menghabiskan makanan
- Mengetahui apa yang menjadi keinginan/cita-cita pasien dalam menjalani
masa tuanya. Hal ini penting diketahui agar menjadi tujuan kesehatan
pasien, sehingga pasien lebih termotivasi untuk sehat.
- Menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan pasien dan
keluarga, agar edukasi dan motivasi yang diberikan dapat diterima dengan
baik.
- Mengetahui dan menjalin hubungan yang baik dengan anggota keluarga
yang paling dekat dengan pasien, agar dapat membujuk pasien bila terjadi
penurunan asupan atau timbul kebosanan.
- Menjalin komunikasi yang baik dengan perawat ruangan dan dietisien
ruangan sehingga keluhan pasien yang berhubungan dengan makanan
dapat cepat diketahui dan diselesaikan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


86

Edukasi diberikan kepada pasien dan keluarga pasien, selama perawatan, dan juga
pada waktu pasien akan pulang ke rumah. Untuk pasien pertama dan kedua,
edukasi juga diberikan di rumah pasien, karena pada kedua pasien ini (kasus 1 dan
kasus 2) telah dilakukan kunjungan rumah. Beberapa edukasi yang telah diberikan
yaitu :
- Pentingnya berhenti merokok untuk kesehatan pasien
- Pemahaman tentang kondisi penyakit pasien, agar keluarga memaklumi
keterbatasan pasien
- Menekankan pentingnya makanan sehat dalam jumlah yang adekuat untuk
pasien dalam mendukung penyembuhan pasien
- Memberikan pemahaman tentang konsekuensi dan pengaruhnya kepada
penyakit pasien bila asupan nutrisi tidak adekuat
- Memberikan semangat dan motivasi kepada pasien dalam menghabiskan
makanan, dan agar tidak terlalu memikirkan dan merasakan keadaan
anoreksia
- Pentingnya kontrol ke Dokter atau klinik/puskesmas terdekat setelah
keluar dari rumah sakit
- Memberikan contoh-contoh bahan makanan sumber yang baik dan sesuai
dengan kebutuhan pasien, serta sesuai dengan kemampuan ekonomi pasien
- Memberikan contoh cara pengolahan bahan makanan dan menu yang baik,
tetapi sesuai dengan kemampuan pasien.

Semua pasien pada serial kasus ini prognosisnya tidak dapat ditentukan
secara tepat, karena tidak didukung oleh adanya pemeriksaan fungsi paru
(spirometri, dan uji bronkodilator). Kriteria yang mungkin dapat dipakai untuk
memperkirakan prognosis adalah : jenis kelamin laki-laki, malnutrisi
(underweight atau overweight), adanya komplikasi kor pulmonal, rokok (lama dan
jumlah), dan frekuensi eksaserbasi akut.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


87

Tabel 4.10 Perbandingan kriteria prognosis


Kriteria Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
Laki-laki + + + +
Malnutrisi
(underweight/ underweight underweight Obes 1 Underweight
overweight)
Kor pulmonal + + - -
Rokok ++ ++ + ++
Frekuensi ++ + + ++
eksaserbasi akut

Berdasarkan kriteria diatas, prognosis keempat pasien, adalah dubia ad malam.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


88

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 K E S I M P U L A N
1. Semua pasien yang terdapat pada serial kasus ini, memiliki faktor risiko
yang sama untuk terjadinya PPOK, yaitu rokok. Berdasarkan indeks
Brinkman, semua pasien termasuk risiko berat.
2. Selain rokok, semua pasien memiliki faktor risiko lain serta faktor
komorbid yang berbeda, yang dapat memperberat kondisi inflamasi yang
telah ada.
3. Rerata pencapaian asupan energi sampai hari terakhir pemantauan sebesar
90% (2 pasien), 85% (1 pasien), dan 70% (1 pasien).
4. Kebutuhan protein yang diberikan sebesar 1,2-1,7 gram/kgBB/hari.
Pencapaian asupan protein sampai hari terakhir adalah : pasien yang
dipantau selama 10 hari, telah mencapai 95% dari rencana kebutuhan awal
(2 pasien), sedangkan pasien yang dipantau selama 5 hari mencapai 20%
dari rencana kebutuhan awal (2 pasien). Sumber protein utama : asam
amino rantai cabang, yang berasal dari bahan makanan putih telur, serta
tempe dan tahu.
5. Kebutuhan lemak maksimal 30% kebutuhan total. Pencapaian asupan
lemak sampai hari terakhir adalah : pasien yang dipantau selama 10 hari,
telah mencapai 90% dari rencana kebutuhan awal (2 pasien), dan pasien
yang dipantau selama 5 hari mencapai 20% dari rencana kebutuhan awal
(2 pasien). Sumber lemak : ikan, minyak kanola, dan minyak kelapa.
6. Kebutuhan karbohidrat 50-60% kebutuhan total. Pencapaian asupan
karbohidrat sampai hari terakhir adalah : pasien yang dipantau selama 10
hari, telah mencapai 90% dari rencana kebutuhan awal (2 pasien), dan
pasien yang dipantau selama 5 hari mencapai 60% dari rencana kebutuhan
awal (2 pasien). Sumber karbohidrat : karbohidrat kompleks dan simpleks.
7. Dua orang pasien mendapat mikronutrien B kompleks dan vitamin C, 1
orang mendapat mikronutrien dosis RDA, dan seorang lagi tidak mendapat
mikronutrien.

88 Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


89

8. Semua pasien mendapat omega-3 dan AARC dari bahan makanan sumber
yang banyak mengandung kedua nutrien spesifik tersebut.
9. Bentuk dan jenis makanan yang diberikan adalah kombinasi makanan cair
dan makanan padat yang lunak (bubur, dan nasi tim), dan diberikan secara
peroral.
10. Semua pasien diberikan edukasi tentang penting memenuhi kebutuhan
nutrisi untuk mendukung terapi yang sedang dijalani, baik selama
perawatan di rumah sakit maupun pada saat akan pulang ke rumah.
11. Semua pasien diberikan fisioterapi dan disarankan untuk melanjutkannya
di rumah.

5.2 S A R A N
1. Skrining gizi penting dilakukan pada penderita PPOK, agar segera
terdeteksi yang berisiko malnutrisi.
2. Perlu dukungan nutrisi optimal pada penderita PPOK, walaupun belum
mengalami malnutrisi (underweight)
3. Program berhenti merokok merupakan hal penting dari pencegahan PPOK,
serta intervensi penting bagi pasien yang telah menderita PPOK.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang manfaat pemberian nutrisi
yang banyak mengandung asam amino rantai cabang.
5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang manfaat pemberian bahan
makanan yang banyak mengandung omega-3, suplementasi minyak ikan,
atau kapsul omega-3 pada pasien PPOK.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


90

DAFTAR REFERENSI

1. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Gobal strategy for
the diagnosis, management, and preventive of chronic obstruktive
pulmonary disease. Medical Communication Resources Inc. 2011

2. Rennard SI. Chronic obstruktive pulmonary disease, linking outcomes and


pathobiology of disease modification. Proc Am Thorac Soc 2006; 3:
276- 80

3. Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjanaparamita, Riyadi J, Yunus F, Suradi


dkk. Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Diagnosis dan penatalaksanan.
Edisi Juli, 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).

4. Brashier BB, Kodgule R. Risk Factors and Pathophysiology of Chronic


Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Supplement to JAPI, 2012.
Association of Physicians India.

5. Antariksa B, Sutoyo DK, Yunus F, Rai IBN, Riyadi J, Pradjanaparamita


dkk. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Pedoman Praktis Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2010.

6. Cochrane W, Afolabi O. Investigation into he nutritional status, dietary


intake and smoking habits of patients with chronic obstructive pulmonary
disease. J Hum Nutr Diet 2004;17(1):3-11

7. Nelms M, Sucher K, Lacey K, Roth SL. Nutrition Therapy for Chronic


Obstructive Pulmonary Disease. In : Nutrition Therapy and
Pathophysiology. 2nd edition. Hal.652-663, 2011. Wadsworth Cengage
Learning.

8. Ferreira IM, Brooks D, Lacasse Y, Goldstein RS. Nutritional support for


stable chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Cochrane
Database Syst Rev. 2012.

9. Creutzberg EC, Wouters EF, Mostert R, Weling-Scheepers CA, Schols


AM. Efficacy of nutritional supplementation therapy in depleted patients
with chronic obstructive pulmonary disease. Nutrition 2003;19(2): 120-7.

10. Roelinka B, Eva CC, Clarie A P M, et al. Optimizing oral nutritional drink
supplementation in patients with COPD. British Journal of Nutrition 2005;
93: 965-971.

11. Wilson LM. Anatomi dan fisiologi sistem pernapasan. Dalam : Price SA.,
Wilson LM. Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6,
2006. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


91

12. Scanlon VC, Sanders T. The respiratory system. Essentials of anatomy and
physiology. 5th edition, p.348, 2007. FA. Davis Company.

13. American Thoracic Society guidelines. Standard for the Diagnosis and
Management of Patients with COPD.

14. British Lung Foundation. Diagnosis and management of COPD in primary


care. 2010

15. Vijayan VK. Chronic obstructive pulmonary disease. Indian J Med Res
2013;137:251-269.

16. Nee WM. Patogenesis of chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am


Thorac Soc 2005;2: 259-263

17. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004. Perokok Pasif


Mempunyai Risiko Lebih Besar Dibandingkan Perokok Aktif. Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi Kesehatan.

18. Malerba M, Romanelli G, Early cardiovascular involvement in chronic


obstructive pulmonary disease. Monaldi Arch Chest Dis 2009;71(2):59-65.

19. Lusuardi M, Garuti G, Massobrio M, Spagnolatti L, Bendinelli S. Hearts


and Lungs in COPD: close friends in real life – separate in daily medical
practice? Monaldi Arch Chest Dis 2008; 69(1): 11–7.

20. Fitriani F., Yunus F., Wiyono WH., Antariksa B. Penyakit Paru Obstruktif
Kronis sebagai Penyakit Sistemik. J Resp Indo 2008; 28(3): 55-59.

21. Dahesia M. Pathogenesis of COPD. Clin Applied Immunol Rev 2005; 5:


339-51

22. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X, Systemic


effect of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003; 21:
347-60.

23. Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient
particulate matter. Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 61-7.

24. Agusti AGN. Systemic effects of chronic obstructive pulmonary disease.


Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 367-370.

25. Papi A, Luppi F, Franco F, Fabbri LM. Pathophysiology of Exacerbations


of chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc 2006;3:
245-251.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


92

26. Mahan LK, Stump SE. Pulmonary diseases. Krause’s. Food, Nutrition, &
Diet Therapy. 11th edition

27. Michael D. Nutritional support in advanced lung disease : the pulmonary


cachexia syndrome. Clinics in chest medicine 1997;18(3):547-561.

28. Argiles JM, Lopez S, Busquets S. Mechanisms and treatment of cancer


cachexia. Nutrition, Metabolism and Cardiovascular Diseases, 2012.

29. Donald PK. Cachexia. Ann Intern Med 2000;133(8):622-634.


30. Stump SE. Nutrition and Diagnosis-Related Care. 6th edition, 2008. h.
278-281. Lippincot Williams & Wilkins.

31. Mallampalli A. Nutritional Management of the Patient with Chronic


Obstructive Pulmonary Disease. Nutr Clin Prac 2004;19(6): 550-6.

32. Cochrane W, Afolabi O. Investigation into he nutritional status, dietary


intake and smoking habits of patients with chronic obstructive pulmonary
disease. J Hum Nutr Diet 2004;17(1): 3-11.

33. Guidelines for the diagnosis and treatment of COPD. 2nd ed, 2004. The
Japanese respiratory society.

34. Pia S, Gronberg AM, Hulthe´n L, et al. Energy and nutrient intake in
patients with COPD hospitalized owing to an acute exacerbation.
Scandinavian Journal of Nutrition 2005;49(3): 116-121

35. Nagaraj, Chandrakanth, Pyati A, Murthy S. Oxidative Stress and


Antioxidant Status in Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients. Int
J of Pharma Bio sci 2011;1:447-456.

36. Tsiligianni LG. A systemic review of the role of vitamin insufficiencies


and supplementation in COPD. Respiratory Research, rev. 2010. Biomed
Central.

37. Cross CE, Traber M. Eiserich J, Vliet A. Micronutrient antioxidants and


smoking. British Medical Bulletin 1999; 55(3):691-704

38. Rahman I. Antioxidant therapies in COPD. International Journal of


COPD 2006;1(1):15-29.

39. Monadi M, Heidari B, Asghpour M, Firouzjahi A, Monadi M, Ghazi MA,


Mirsaied. Relationship between serum vitamin D and forced expiratory
volume in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD).
Caspian J Intern Med 2012; 3(3):451-455.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


93

40. Schunemann HJ, Bryden JB, Grant B, Freudenheim, Muti P, Brown R, et


al. The relation of serum levels of antioxidants viamin C and E, retinol and
carotenoids with pulmonary function in the general population. An J
Respir Crit Care Med 2001;163:1246-55

41. Schunemann HJ, McCann S, Grant B, Trevisan M, Muti P, Freudenheim J.


Lung function in relation to intake of carotenoid and other antioxidant
vitamins in a population-based study. Am J Epidemiol 2002; 155: 463-71

42. Nadeem A, Raj HG, Chabra SK. Effect of vitamin E supplementation with
standard treatment on oxidant-antioxidant status in chronic obstructive
pulmonary disease. Indian J Med Res 2008;128: 705-11.

43. Kirkil G, Muz MH. B group vitamin levels in patients with chronic
obstructive pulmonary disease and the relation between pulmonary
functions. Tur Toraks Der 2008;9:88-92.

44. Engelen MPKJ, Schols AMWJ. Altered amino acid metabolism in chronic
obstructive pulmonary disease: new therapeutic perspective ? Current
Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care 2003; 6:73-78.

45. Morrison WL, Gibson JNA, Scrimgeour C, Rennie MJ. Muscle wasting in
emphysema. Clin Sci 1988;75:415-420.

46. Schols AMWJ, Deutz NEP, Mostert R, Wouters EFM. Plasma amino acid
levels in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Monaldi
Arch Chest Med 1993;48: 546-548.

47. Pouw EM, Schols AMWJ, Deutz NEP, Wouters EFM. Plasma and muscle
amino acid levels in relation to resting energy expenditure and
inflammation in stable COPD. Am J Respir Crit Care Med 1998;158: 797-
801.

48. Schols AMWJ, Buurman WA, Staal, et al. Evidence for a relation between
metabolic derangements and increased levels of inflammatory mediators in
a subgroup of patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Thorax. 1996; 52: 819-824.

49. Yoneda T, Yoshikawa M, Fu A, et al. Plasma levels of amino acids and


hypermetabolism in patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Nutrition 2001; 17:95-99.

50. Hofford JM, Milakofsky L, Vogel WH, et al. The nutritional status in
advanced emphysema associated with chronic bronchitis: a study of amino
acid and catecholamine levels. Am Rev respire Dis 1990;141:902-908.

51. Engelen MPKJ, Rutten EPA, Carmen, Wouters EFM, Schols AMWJ,
Deutz NEP. Supplementation of soy protein with BCAA alters protein

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


94

metabolism in healthy elderly and even more in patients with COPD. Am J


Clin Nutr 2007;85: 431-9.

52. Wataru M, Hideo M, Masaki W, Ken-ichi O, Higashimoto I., Osame M.,


et al. Effects of Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids on Inflammatory
Markers in COPD. Chest 2005; 128:3817-3827.

53. Fulton AS, Hill AM, Williams MT, Howe PRC, Frith PA, Wood LG, et al.
Feasibility of omega-3 fatty acid supplementation as an adjunct therapy for
people with COPD : study protocol for a randomized controlled trial.
Fulton et al Trials 2013;14:107. BioMed Central Ltd.

54. Wall R, Ross RP, Fitzgerald GF, Stanton C. Fatty acids from fish: the anti-
inflammatory potential of long chain omega 3 fatty acids. Nutrition
reviews 2010; 68(5):280-289.

55. Fetterman JW, Zdanowicz MM. Therapeutic potential of omega-3 PUFA


in disease. Am J Health-Syst harm 2009;66(1): 1169-1177

56. Broekhuizen R, Wouters E, Creutzberg E, Weling SC, Schols A. PUFA


improve exercise capacity in COPD. Thorax 2005;60: 376-382

57. Shahar E, Boland LL, Folsom AR, Tockman M, McGovern PG, Eckfeldt
JH. DHA and smoking-related COPD. Am J Respir Crit Care Med.
1999;159: 1780-1785.

58. Hirayama F, Lee AH, Binns CW, Hiramatsu N, Mori M, Nishimura K.


Dietary intake of isoflavone and PUFA associated with lung function,
breathlessness and the prevalence of COPD: Possible protective effect of
traditional Japanese diet. Mol Nutr Food Res 2010;54: 909-917.

59. Kris-etherton, Griegera JA, Etherton TB. Dietary reference intakes for
DHA, EPA. Prostaglandins Leukot Essent Fatty Acids. 2009;81: 99-104.

60. Penny M, Kris-Etherton, William S. Harris, Appel LJ. Fish consumption,


fish oil, omega-3 fatty acids, and CVD. Circulation 2002;106: 2747-2757.

61. Astawan M. Kuliah Ilmu Pangan, 2010. Staf Pengajar Dept. Ilmu &
Teknologi Pangan, IPB.

62. Hanafiah A, Karyadi D, Lukito W, Muhilal, Supari F. Desirable intakes of


PUFA in Indonesian adults. Asia Pac J Clin Nutr 2007;16(4): 632-640.

63. Berntein M. Macronutrient requirement for older adults. In : Berntein M,


Luggen AS. Nutrition for the older. Massachusetts, Jones and Bartlett
Publishers ; 2010. h.50-51.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


95

64. Whitney E, Rolfes SR. Water and the major mineral. In : Understanding
Nutrition. 12th ed. Belmont, Wadsworth ; 2011.h.384-385.

65. Feng JH, Michel B, Graham AM. Nutrition in cardiovascular disease: salt
in hypertension and heart failure. European Heart Journal 2011;32: 3073-
3080.

66. Anker SD, John M, Pedersen PU, Raguso, Cicoira, Dardai E, et al. ESPEN
Guidelines on Enteral Nutrition: Cardiology and Pulmonology. Clinical
Nutrition 2006;25: 311-318. European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism.

67. Arends J, Bodoky G, Bozzetti F, Fearon K, Muscaritoli M, Selga G, et al.


ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition: Non-surgical oncology. Clinical
Nutrition 2006;25: 245-259. European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism.

68. Gan WQ, Man P. Systemic effects and mortality in COPD. Medical
journal 2008;50(3): 148-151

69. Cristobal E, Jose MQ, Javier M, et al. BODE-Index vs HADO-Score in


Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Which one to use in general
practice? BMC Medicine 2010; 8: 28.

70. Rabe KF, Hurd S, Anzueto A et al. "Global Strategy for the Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease:
GOLD Executive Summary". Am J Respir Crit Care Med 2007;176(6):
532-55.

71. Shujaat A, Minkin R, Eden E. Pulmonary hypertension and chronic cor


pulmonale in COPD. International Journal of COPD 2007; 2(3): 273-282.

72. Wissam M C, Byron M T, Omar A M, et al. Comorbidities in Chronic


Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc 2008;5:549-555.

73. Chizuru N. Appropriate body-mass index for Asian populations and its
implications for policy and intervention strategies. The lancet 2004;l: 363.

74. Gupta B, Kant S, Verma S. Nutritional Status of Chronic Obstructive


Pulmonary Disease Patients Admitted in Hospital With Acute
Exacerbation. Journal of Clinical Medicine Research 2010; 2(2): 68-74.

75. Fletcher CM, Peto R. The natural history of chronic airflow obstruction.
BMJ 1977; 1(6077): 1645-1648.

76. Carroll TP, O’Connor CA, Reeves EP, McElvaney NG. Alpha-1
antitrypsin deficiency-a genetic risk factor for COPD. Dalam : Chronic
Obstructive Pulmonary Disease-Current Consepts and Practice. 2012; 9.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


96

77. Yawn BP, Kaplan A. Co-morbidities in people with COPD: a result of


multiple diseases, or multiple manifestations of smoking and reactive
inflammation. Primary Care Respiratory Journal 2008; 17(4): 199-205.

78. Pengurus Besar Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia. Konsensus


pengelolaan nutrisi pada orang usia lanjut, 2012. Hal. 7. PERGEMI

79. Kabo P. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara benar,


2011. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

80. Schols AMWJ, Wouters EFM. The Lung. Dalam : Gibney MJ., Elia M.,
Ljungqvist O, Dowsett J. Clinical Nutrition 2005; 238-245. The Nutrition
Society

81. John M, Hoering S, Doehner W, Okonko DD, Witt C, Anker SD. Anemia
and inflammation in COPD. Chest 2005; 127: 825-829

82. Newton LE, Morgan SL. Pulmonary disease. Dalam : Heimburger DC.,
Ard JD. Handbook of Clinical Nutrition. 4th ed. Alabama, Mosby Elsevier.
2006; 503-509.

83. Total Nutritional Therapy (TNT) version 2,0. Nutrition in Chronic


Disease. Hal.172

84. Shavelle RM, Paculdo DR, Kush SJ, Mannino DM, Strauss DJ. Life
expectancy and years of life lost in COPD : Findings from the NHANES
III Follow-up study. International Journal of COPD 2009;4:137-148.

85. Rahmatullah P. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi ke-4 Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2006. hal.1035.

86. Buchman AL. Nutritional assessment. Dalam : Practical nutritional


support techniques. 2nd ed. Chicago, Slack Incorporated. 2004; h.8.

87. Liu, Wu. Effect of hypoalbuminemia on prognosis of COPD patients with


respiratory failure and mechanical ventilation. Journal of Tianjin Medical
University 2006; 3.

88. Yu, Zhang, Liao. Relationship of hypoalbuminemia to clinical prognoses


of elderly COPD. Chinese General Practice 2009;10.

89. Pan L, Jia ZS, Chen L, Fu EQ, Li GY. Effect of anti-tuberculosis therapy
on liver function of pulmonary tuberculosis patients infected with hepatitis
B virus. World J Gastroenterol 2005;11(16):2518-2521.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


97

90. Yee D, Valiquette C, Pelletier M, Parisien I, Rocher I, Menzies D.


Incidence of serious side effects from first-line antituberculosis drugs
among patients treated for active tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med
2003;167:1472-1477.

91. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of


diabetes estimates for the year 2000 and proyections for 2030. Diabetes
care 2004;27(5):1047-1053

92. Lavi S, Prasad A, Yang EH, Mathew V, Simari RD, Rihal CS. Smoking is
associated with epicardial coronary endothelial dysfunction and elevated
white blood cell count in patients with chest pain and early coronary artery
disease. Circulation 2007;115(20):2621-2627

93. Mohan BVM, Sen T, Ranganatha R. Systemic manifestations of COPD.


Supplement to JAPI. 2012;60:44-47.

94. Dourado VZ, Tanni SE, Vale SA, Faganello MM, Sanchez FF, Godoy I.
Systemic manifestations in COPD, rev. J Bras Pneumol 2006;32(2):161-
171

95. Breault D, Bappanad, Shah S, Craig D, Haynes C, Kraus W, et al. Altered


BCAA metabolism in COPD. Am J Respir Crit Care Med 2012;185.

96. Schols A, Wouters EFM. The Lung. In : Gibney MJ, Ljungqvist O, Elia
M, Dowsett J. Clinical Nutrition 2005:238-245.

97. Gropper SS, Smith JL. Body composition, energy expenditure, and energy
balance. In : Advanced nutrition and human metabolism, 6th ed. 2013;h.
290.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


98

Lampiran 1. Lembar pemantauan kasus 1


29/1/2013 (H4) 30/1/2013 (H5) 31/1/2013 (H6)

S Sesak (+) , mual (+/-), nyeri ulu hati , BAB (+) Sesak (+) , mual (-), nyeri ulu hati (-), BAB (+) Sesak (+) , mual (-), nyeri ulu hati (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 130/83 mmHg RR = 26 x/menit TD = 115/80 mmHg RR = 25 x/menit TD = 140/90 mmHg RR = 23 x menit
N = 82 x/menit S = 36,5 N = 80 S = 37ºC N = 84 x/menit S = 37ºC

Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+) 
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+)  Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki  Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki 
Ekstremitas: edema (+)  ; abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (+)  ; abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (+)  ; abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Laboratorium : elektrolit: hiponatremi (+) Laboratorium : AGD : perbaikan (+) Laboratorium : sama ;
Antropometri : BB 43,5 kg ; Terapi sejawat : stqa Terapi sejawat :antasida, omeprazol, ranitidin stop Terapi sejawat : sama

Imbang cairan : Imbang cairan : Imbang cairan :


Intake 1200 mL Intake 1100 mL Intake 1200 mL
IWL 440 mL IWL 440 mL IWL 440 mL
Output 1250 mL Output 1200 mL Output 1250 mL
BC (-) 50 BC (-) 50 mL
BC (-) 100 mL
Analisis asupan : Analisis asupan :
Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Analisis asupan : Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
MC 300 580 24,6 16,7 82 Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g) MC 450 950 45 27 130
+bbr MC 450 780 35 23 108 +bbr
+bbr

A PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung


PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung kongestif,
kongestif, dispepsia, malnutrisi berat, hipermetabolisme PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung kongestif,
malnutrisi berat, hipermetabolisme berat (hipoalbuminemia),
berat (hipoalbuminemia), hiponatremi. malnutrisi berat, hipermetabolisme berat (hipoalbuminemia)
hiponatremi.
P

Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol E P L KH
(g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 300 300 12 9 43
Bbr 500 25 16,5 75 Bbr 500 25 16,5 75 Tim lauk 900 37 30 109
Total 950 43 30 139 Total 950 43 30 139 cincang

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


99

Total 1200 60 39 152

Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x
Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C
Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang
cairan, elektrolit cairan, elektrolit cairan, elektrolit

1/2/2013 (H7) 2/2/2013 (H8) 3/1/2013 (H9)

S Sesak (+/-), mual (-), BAB (+), asupan baik Sesak (-), mual (-), BAB (+), asupan meningkat Sesak (-), mual (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 135/85 RR = 22 x/menit TD = 115/85 RR = 22 x/menit TD = 120/85 mmHg RR = 21 x menit
mmHg N = 82x/menit S = 36,4 N = 82 x/menit S = 36,8
N = 84 x/menit S = 37,2ºC
Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing  Kepala : pursed-lips breathing 
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-)
Ekstremitas: edema  ; abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema  ; abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema  ; abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Laboratorium : elektrolit: perbaikan hiponatremi Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan
Laboratorium : elektrolit: perbaikan hiponatremi Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan Laboratorium : Hb : 12 g/dL, albumin: 2,9 g/dL, ureum/kreatinin
Terapi sejawat : stqa Terapi sejawat : stqa normal
Antropometri : BB = 42 kg. Terapi sejawat : stqa
Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1250 mL Intake 1225 mL Imbang cairan :
IWL 440 mL IWL 440 mL Intake 1175 mL
Output 1300 mL Output 1300 mL IWL 440 mL
BC (-) 50 BC (-) 75 mL Output 1225 mL
BC (-) 50 mL

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g)
MC+NT lauk 450 1000 50 30 132 MC+NT lauk 600 1200 60 35 161 MC+NT lauk 600 1300 70 40 165
cincang cincang cincang

A PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung kongestif, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, gagal jantung kongestif,
kongestif, malnutrisi berat, hipermetabolisme berat malnutrisi berat, hipermetabolisme berat (hipoalbuminemia) malnutrisi berat, hipermetabolisme berat (hipoalbuminemia)

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


100

(hipoalbuminemia), .
P
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P L KH
(mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g)
MC 300 300 12 9 43 MC 300 300 12 9 43 MC 300 300 12 9 43
Tim lauk 600 37 30 109 Tim lauk 850 37 22 64 Tim lauk 850 37 22 64
cincang cincang cincang
Total 1200 60 39 152 Total 1450 73 48 180 Total 1450 73 48 180

Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x Cara pemberian : oral ; frekuensi : 6x
Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin. C Mikronutrien : B kompleks, dan vitamin C
Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1500 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan, Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan,
cairan, albumin albumin albumin

4/2/2013
Pasien pulang dengan kondisi yang lebih baik. Hemodinamik stabil, walaupun sesekali masih terlihat pursed- lips breathing. Keluhan dispepsia (-), BAB (+). Pada pemeriksaan fisik, edema minimal. Asupan
kalori telah mencapai 90% kebutuhan target.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


101

Lampiran 2. Lembar pemantauan kasus 2


23/2/2013 (H1) 24/2/2013 (H2) 25/2/2013 (H3)

S Sesak (+), mual (+), BAB (-), BAK (+) Sesak (+), mual (+), BAB (-), BAK (+) Sesak (+) , mual (+/-), BAB (+), BAK (+), selera makan (+/-)
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 135/80 mmHg RR = 28 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 28 x/menit TD = 125/80 mmHg RR = 27 x menit
N = 98 x/menit S = 37,5ºC N = 94x/menit S = 37ºC N = 88 x/menit S = 36,8ºC

Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+)
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+)
Ekstremitas: edema (-/-). Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (-/-). Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (-/-). Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Laboratorium : Laboratorium : elektrolit normal. Antropometri : sama Laboratorium : sama. Antropometri : sama
AGD : asidosis respiratorik; GDS: 110 mg/dL.
Antropometri : BBA 31 kg, TB 165 cm, IMT :11,4 kg Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1000 mL Intake 1000 mL
Imbang cairan : IWL 500 mL IWL 500 mL
Intake 1100 mL Output 600 mL Output 550 mL
IWL 500 mL BC - 100 mL BC - 50 mL
Output 700 mL
BC - 100 Analisis asupan : Analisis asupan :
Vol E P (g) L (g) KH Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
Analisis Asupan : (mL) (kkal) (g) MC 350 1000 25 31 155
Vol E P L KH MC 200 550 20 17 79 +bbr
(mL) (kkal) (g) (g) (g) +bbr
MC+bbr 300 600 20 18 89,5 Terapi sejawat : stqa
Terapi sejawat :
Terapi sejawat : RL (1 kolf), nebulizer 3x/hari, rifampicin 450 mg, INH 1x300
RL (1 kolf), nebulizer 3x/hari, rifampicin 450 mg, INH mg, ethambutol 2x500 mg, OBH 3x15 mL, Lasix 1x1, KSR 1x1,
1x300 mg, ethambutol 2x500 mg, OBH 3x15 mL, Lasix ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 3x1 ampul/hari, dexametason 3x1
1x1, KSR 1x1, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 3x1
ampul/hari, dexametason 3x1

A PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru,


PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru,
pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat
pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat
(hipoalbumin, gangguan fungsi hati), asidosis respiratorik
(hipoalbumin, gangguan fungsi hati), asidosis respiratorik (hipoalbumin, gangguan fungsi hati), asidosis respiratorik.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


102

Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g)
(g) (g) Vol E P L KH
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 (mL) (kkal) (g) (g) (g)
Bbr 500 19 14,5 77 Bbr 500 19 14,5 77 MC 450 450 18 13,5 64
Total 964 37 28 141 Total 964 37 28 141 Bbr lauk 750 19 14,5 77
cincang
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Total 1200 37 40 173
Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C
Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Monitoring : Monitoring : Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam
cairan cairan Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang
cairan.

26/2/2013 (H4) 27/2/2013 (H5) 28/2/2013 (H6)

S Sesak (+) , mual (+/-), BAB (+), BAK (+) Sesak (+) , mual (-),BAB (+), BAK (+), selera makan (+/-) Sesak (+) , mual (-),BAB (+), BAK (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 100/80 mmHg RR = 27 x/menit TD = 110/80 mmHg RR = 26 x/menit TD = 125/80 mmHg RR = 25 x menit
N = 85 x/menit S = 36,5ºC N = 80x/menit S = 37ºC N = 84 x/menit S = 37ºC

Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing (+) 
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+)  Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki  Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki 
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (+) . Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema (+) . Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Laboratorium : AGD : perbaikan (+) Laboratorium : sama
Imbang cairan :
Intake 1100 mL Imbang cairan : Imbang cairan :
IWL 440 mL Intake 1100 mL Intake 1100 mL
Output 500 mL IWL 500 mL IWL 500 mL
BC 0 Output 575 mL Output 550 mL
BC 25 mL BC 50 mL

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


103

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
MC 400 1200 23 35 198 MC 450 1150 30 33 183 MC 450 1250 35 40 189
+bbr +bbr +bbr

Terapi sejawat : stqa Terapi sejawat : stqa Terapi sejawat : sama

A PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru,
pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat
(hipoalbumin, gangguan fungsi hati), asidosis respiratorik (hipoalbumin, gangguan fungsi hati). (hipoalbumin, gangguan fungsi hati)

Vol E (kkal) P L (g) KH (g) Vol E P L (g) KH (g) Vol E P (g) L (g) KH (g)
(mL) (g) (mL) (kkal) (g) (mL) (kkal)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64
Bbr lauk 750 19 14,5 77 Bbr lauk 750 19 14,5 77 Bbr lauk 996 22 34,5 152
cincang cincang cincang
Total 1200 37 40 173 Total 1200 37 40 173 Total 1446 40 48 216

Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C
Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan

1/3/2013 (H7) 2/3/2013 (H8) 3/3/2013 (H9)

S Sesak (+/-), mual (-), BAB (+), asupan baik Sesak (-), mual (-), BAB (+), asupan meningkat Sesak (-), mual (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 125/90 mmHg RR = 24 x/menit TD = 110/90 RR = 23 x/menit TD = 110/80 mmHg RR = 23 x menit
N = 84 x/menit S = 37,2ºC N = 82x/menit S = 36,5ºC N = 84 x/menit S = 36,8ºC

Kepala : pursed-lips breathing (+) Kepala : pursed-lips breathing  Kepala : pursed-lips breathing 
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (-)
Ekstremitas: edema . Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas: edema . Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal ; Ekstremitas: edema 
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Laboratorium : elektrolit: perbaikan hiponatremi Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan
Laboratorium :stqa Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan Laboratorium : Hb : 12 g/dL, albumin: 2,9 g/dL, ureum/kreatinin

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


104

Terapi sejawat : stqa Terapi sejawat : stqa normal. Antropometri : BB = 42 kg.


Terapi sejawat : stqa
Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1000 mL Intake 1000 mL Imbang cairan :
IWL 500 mL IWL 500 mL Intake 1100 mL
Output 600 mL Output 500 mL IWL 500 mL
BC -100 BC 0 mL Output 550 mL
BC 50 mL
Analisis asupan : Analisis asupan :
Vol E P L KH Vol E P L KH Analisis asupan :
(mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g) Vol E P L KH
MC+NT lauk 450 1185 30 39 187 MC+NT lauk 450 1200 60 35 161 (mL) (kkal) (g) (g) (g)
cincang cincang MC+NT lauk 450 1250 38 44 175
cincang
A PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru, PPOK eksaserbasi akut, kor pulmonal, tuberkulosis paru,
pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat pneumonia, malnutrisi berat, dan hipermetabolisme berat
(hipoalbumin, gangguan fungsi hati).. (hipoalbumin, gangguan fungsi hati). (hipoalbumin, gangguan fungsi hati).
P
Vol E P (g) L (g) KH (g) Vol E P (g) L (g) KH (g) Vol E P (g) L (g) KH (g)
(mL) (kkal) (mL) (kkal) (mL) (kkal)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64
Bbr lauk 996 22 34,5 152 Bbr lauk 996 22 34,5 152 Bbr lauk 996 22 34,5 152
cincang cincang cincang
Total 1446 40 48 216 Total 1446 40 48 216 Total 1446 40 48 216

Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C Mikronutrien : B kompleks, dan vit. C
Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1100 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis & toleransi asupan per hari, imbang cairan. Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan

4/3/2013 (H10)
Pasien pulang dengan kondisi yang lebih baik, hemodinamik stabil. Keluhan dispepsia (-), BAK/BAB (+). Pada pemeriksaan fisik, sesekali masih terlihat pursed- lips breathing. Kapasitas fungsional :
ketergantungan ringan, dan kekuatan genggam sedikit lebih kuat dibanding pemeriksa. Asupan kalori telah mencapai 90% kebutuhan target.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


105

Lampiran 3. Lembar pemantauan kasus 3


4/2/2013 (H1) 5/2/2013 (H2) 6/2/2013 (H3)

S Sesak (+), mual (+), BAB (-) Sesak (+), mual (+), BAB (-) Sesak (+), mual (+/-), BAB (+) sedikit
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 180/90 mmHg RR = 29 x/menit TD = 160/90 mmHg RR = 27 x/menit TD = 150/80 mmHg RR = 27 x menit
N = 98x/menit S = 38ºC N = 95x/menit S = 36,8ºC N = 98 x/menit S = 37ºC

Kepala : pursed-lips breathing (-) Kepala : pursed-lips breathing (-) Kepala : pursed-lips breathing (-)
Torak : ronki (+/+), wheezing (+/+) Torak : , ronki (+/+) , wheezing (+/+) Torak : , ronki (+/+) , wheezing (+/+)
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Laboratorium : GDS 135 mg/dL Laboratorium : GDS 155 mg/dL Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang
Antropometri : BBP 69 kg (LLA : 28 cm), TB 165 cm, BB Antropometri : sama Laboratorium : GDS 170 mg/dL, AGD (+) perbaikan
IMT : 25,5 kg,m2 Antropometri : sama
Imbang cairan: Imbang cairan :
Intake 1400 mL Intake 1500 mL Imbang cairan :
IWL 900 mL IWL 900 mL Intake 1600 mL
Output 750 mL Output 600 mL IWL 900 mL
BC - 250 BC (-) 75 mL Output 800 mL
BC -100 mL
Analisis Asupan : Analisis asupan :
Vol E P L KH Vol E P (g) L (g) KH Analisis asupan :
(mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
MC+bbr 250 423 16 13 60,5 MC 150 380 15 10 57,5 MC 200 400 16 12 57
+bbr +bbr
Terapi sejawat :
oksigen 3 l/menit, NaCl 0,9%(1), NaCl 3% (1), nebulizer Terapi sejawat : Terapi sejawat : stqa
3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Seretide 500 2x1, OBH oksigen 3 l/menit, NaCl 0,9%(1), NaCl 3% (1), nebulizer
3x15 mL, amlodipin 1x10 mg, alprazolam 0,5 mg, euphylin 3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Seretide 500 2x1, OBH 3x15
R 2x1, lasix 1x1. mL, amlodipin 1x10 mg, alprazolam 0,5 mg, euphylin R 2x1,
. lasix 1x1..

A PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, DM PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, DM
DM tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat (leukositosis, tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat (leukositosis,
(leukositosis, hiperglikemi), dan asidosis respiratorik hiperglikemi), dan asidosis respiratorik hiperglikemi), dan asidosis respiratorik

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


106

Vol E P (g) L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g)
(mL) (kkal) (g) (g)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64
Bbr 500 30 16,5 61 Bbr 500 30 16,5 61 Bbr 500 30 16,5 61
Total 970 48 30 125 Total 970 48 30 125 Total 970 48 30 125

Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan
cairan cairan

7/2/2013 (H4) 8/2/2013 (H5) 9/2/2013 (H6)

S Sesak (+) , mual (+/-), BAB (+) Sesak (+) , mual (-), BAB (+), lebih banyak, lembek Sesak (+) , mual (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 140/90 mmHg RR = 25 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 23 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 21 x menit
N = 90 x/menit S = 37,5ºC N = 86x/menit S = 37ºC N = 90 x/menit S = 37,5ºC

Kepala : pursed-lips breathing (-) Kepala : pursed-lips breathing (-) Kepala : pursed-lips breathing (-)
Torak : , ronki (+/+) , wheezing  Torak : ronki  , wheezing  Torak : , ronki (+/+) , wheezing 
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan sedang Kapasitas fungsional : ketergantungan ringan
Laboratorium : GDS 170 mg/dL kekuatan genggam membaik Laboratorium : 145 mg/dL
Antropometri : sama Laboratorium : GDS : 135 mg/dL Antropometri : sama
Antropometri : sama
Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1600 mL Imbang cairan : Intake 1450 mL
IWL 900 mL Intake 1500 mL IWL 900 mL
Output 850 mL IWL 900 mL Output 550 mL
BC -150 Output 600 mL BC 0
BC 0
Analisis asupan :
Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Analisis asupan : Analisis asupan :
MC 300 600 21 18 88,5 Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
+bbr MC 350 550 19 16,5 81 MC 400 964 40 31 131
+bbr +bbr

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


107

A PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, DM PPOK eksaserbasi akut, hipertensi derajat 2, dislipidemia, DM
DM tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat (leukositosis, tipe 2 (tanpa obat), obes 1, hipermetabolisme berat (leukositosis,
(leukositosis, hiperglikemi), dan asidosis respiratorik hiperglikemi), dan asidosis respiratorik. hiperglikemi), dan asidosis respiratorik

Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol E P L KH
(g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g)
MC 450 450 18 13,5 64 MC 450 450 18 13,5 64 MC 600 600 23 17 88
Bbr 500 25 16,5 75 Bbr 500 25 16,5 75 Tim lauk 600 37 22 64
Total 950 43 30 139 Total 950 43 30 139 cincang
Total 1200 60 39 152
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Monitoring : Monitoring : Kebutuhan cairan = 1950 mL/24 jam
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan, Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, imbang cairan

10/2/2013
Pasien pulang dengan kondisi yang lebih baik. Hemodinamik stabil, Sesak berkurang, mual (-), BAK/ BAB lancar. Pada pemeriksaan fisik, ronki (-) dan wheezing (-). Analisa asupan: energi 1300 kkal, protein
55 gram, lemak 36 gram, KH 151 gram. Pasien pulang atas permintaan sendiri.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


108

Lampiran 4. Lembar pemantauan kasus 4


3/4/2013 (H1) 4/4/2013 (H2) 5/4/2013 (H3)

S Sesak (+), mual (+), BAB (-), nyeri punggung (+) Sesak (+), mual (+), BAB (-), nyeri punggung (+) Sesak (+), mual (+/-), BAB (+), konsistensi keras, nyeri
punggung (+/-), makanan habis
O Kesadaran : CM, lemah Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 180/90 mmHg RR = 30 x/menit TD = 160/90 mmHg RR = 27 x/menit TD = 150/80 mmHg RR = 27 x menit
N = 100 x/menit S = 38ºC N = 98x/menit S = 36,8ºC N = 98 x/menit S = 37ºC

Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+) Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+) Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+)
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+) Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki (+/+)
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan berat Kapasitas fungsional : ketergantungan berat Kapasitas fungsional : ketergantungan berat
Laboratorium : stqa Laboratorium : stqa. Antropometri : sama Laboratorium : stqa. Antropometri : sama
Antropometri : BBP 38 kg, LLA 17 cm, PB 160 cm, IMT
14,8 kg/m2 Imbang cairan : Imbang cairan :
Intake 1250 mL Intake 1300 mL
Imbang cairan : IWL 825 mL IWL 825 mL
Intake 1300 mL Output 550 mL Output 650 mL
IWL 825 mL BC -125 mL BC -75 mL
Output 600 mL
BC -125 Analisis asupan : Analisis asupan :
Vol E P (g) L (g) KH (g) Vol E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
Analisis Asupan : (mL) (kkal) (mL)
Vol E P L KH MC+bbr 500 950 35 28,5 138,5 Tim - 1150 46 35,7 161
(mL) (kkal) (g) (g) (g) lauk
MC+bbr 500 800 32 24 114 cincang
Terapi sejawat :
Terapi sejawat : Oksigen 3 l/menit, infus RL (1 kolf), nebulizer 3x/hari, Terapi sejawat : stqa
Oksigen 3 l/menit, infus RL (1 kolf), nebulizer 3x/hari, Azitromycin 1x500 mg, Cefotaxime 3x1 g, amlodipin 1x10 mg,
Azitromycin 1x500 mg, Cefotaxime 3x1 g, amlodipin 1x10 alprazolam 1x0,5 mg, Esilgan 1x1 (malam), Zolmia 1x1, OBH
mg, alprazolam 1x0,5 mg, Esilgan 1x1 (malam), Zolmia 1x1, 3x15 mL, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 1 ampul/hari,
OBH 3x15 mL, ceftriaxon 1x2 gram, ranitidin 1 ampul/hari, dexametason 1 ampul/hari, Remopain 2 ampul/hari, parasetamol
dexametason 1 ampul/hari, Remopain 2 ampul/hari, (kalau perlu)
parasetamol (kalau perlu)

A PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1, PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1, PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1,
spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis (cemas, spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis (cemas,
(cemas, depresi, insomnia), malnutrisi berat, depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme berat depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme berat
hipermetabolisme berat, dan asidosis respiratorik. .

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


109

Vol (mL) E (kkal) P L (g) KH (g) Vol E P L (g) KH (g)


(g) (mL) (kkal) (g) Vol E (kkal) P L (g) KH (g)
MC 600 600 24 13,5 64 MC 600 600 24 13,5 64 (mL) (g)
Bbr 400 19 16,5 56 Tim lauk 550 19 16,5 75 MC 600 600 24 13,5 64
Total 1000 43 30 120 cincang Tim lauk 550 19 16,5 75
Total 1150 43 30 139 cincang
Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA) Total 1150 43 30 139
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA)
Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA)
Monitoring : Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Monitoring : Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam
cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Monitoring :
cairan Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang
cairan

6/4/2013 (H4) 7/4/2013 (H5) 8/4/2013 (H6)

S Sesak , mual (+/-), BAB (+) Sesak (+) , mual (-), BAB (+) Sesak (+) , mual (-), BAB (+), asupan baik
O Kesadaran : CM Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD = 140/90 mmHg RR = 25 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 23 x/menit TD = 130/80 mmHg RR = 21 x menit
N = 90 x/menit S = 37,5ºC N = 86x/menit S = 37ºC N = 90 x/menit S = 37,5ºC

Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+) Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+) Kepala : anemia (+), pursed-lips breathing (+)
Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki  Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki  Torak : barrel chest, iga gambang (+), ronki 
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Kapasitas fungsional : ketergantungan berat Kapasitas fungsional : ketergantungan berat Kapasitas fungsional : ketergantungan berat
Laboratorium : stqa. Antropometri : sama Laboratorium : stqa. Antropometri : sama Laboratorium : AGD : perbaikan (+). Antropometri : sama.

Imbang cairan : Imbang cairan : Imbang cairan :


Intake 1650 mL Intake 1300 mL Intake 1600 mL
IWL 825 mL IWL 825 mL IWL 825 mL
Output 900 mL Output 700 mL Output 1100 mL
BC -75 BC -225 mL BC -275 mL

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


110

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


Vol E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Vol E (kkal) P (g) L (g) KH (g) Vol E (kkal) P (g) L (g) KH (g)
(mL) (mL) (mL)
Tim lauk - 1100 43 33 157 Tim - 1150 45 37 159 Tim - 1185 47 40 162
cincang lauk lauk
cincang cincang

A PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1, PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1, PPOK eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi derajat 1,
spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis (cemas, spondiloartritis dengan osteopenia, gangguan neurosis (cemas,
(cemas, depresi, insomnia), malnutrisi berat, depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme sedang, depresi, insomnia), malnutrisi berat, hipermetabolisme sedang,
hipermetabolisme sberatqmqh, dan asidosis respiratorik. dan asidosis respiratorik. dan asidosis respiratorik

P
Vol E P L KH Vol E P L KH Vol E P (g) L (g) KH (g)
(mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal) (g) (g) (g) (mL) (kkal)
Tim lauk - 1400 65 46,7 181 Tim lauk - 1400 65 46,7 181 Tim lauk - 1400 65 46,7 181
cincang cincang cincang
Total 1400 65 46,7 181 Total 1400 65 46,7 181 Total 1400 65 46,7 181

Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA) Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA) Mikronutrien : multivitamin mineral (RDA)
Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x Cara pemberian : oral. Frekuensi : 6x
Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam Kebutuhan cairan = 1150 mL/24 jam
Monitoring : Monitoring : Monitoring :
Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, analisis dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang Klinis, dan toleransi asupan per hari, AGD, imbang cairan
cairan cairan
9/4/2013
Pasien pulang dengan kondisi yang lebih baik. Hemodinamik stabil, walaupun sesekali masih terlihat pursed- lips breathing. Keluhan dispepsia (-), BAB (+). Pada pemeriksaan fisik, edema minimal. Analisa
asupan : energi 1200 kkal, protein 46 gram, lemak 40 gram, KH 162 gram.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


111

Lampiran 5

RACIKAN DIET CAIR (1 ml/1 kkal)

Bahan Berat (g) Penukar


Skim (Produgen) 30 1,5 P
FF (Bendera) 25 1,0 P
Putih telur 100 3,0 P
Wortel 300 3,0 P
Maizena 40 1,0 P
Tepung beras 25 0,5 P
Tempe 50 1,0 P
Minyak kanola 15 3,0 P
Gula 60 6,0 P
Buah 200 2,0 P

Keterangan :
Energi : 1500 kkal ; Protein : 55 g (15%) ; Lemak : 43 g (26%)
KH : 195 g (52%) ; BCAA : 4,2 gram ; Omega 3 : 11% (minyak kanola)

RACIKAN DIET CAIR DM (1 mL/1kkal)

Bahan Berat (g) Penukar

Skim (Produgen) 80 3 P
FF (Bendera) 25 1P
Putih telur 66 4 P
Wortel 300 5 P
Maizena 40 1P
Tepung beras 25 0,5 P
Tempe 50 1P
Minyak kanola 15 3P

Keterangan :
Energi : 1500 kkal ; Protein : 63 g (17%) ; Lemak : 37 g (22%)
KH : 177 g ; BCAA : 3,4 gram ; Omega 3 : 11% (minyak kanola)

DIET CAIR (SUSU SAPI/100 mL)

Kandungan Jumlah Satuan


Energi 65 kkal
Protein 3,4 gram
Lemak 3,9 gram
Karbohidrat 4,8 gram

Keterangan :
BCAA : 1 gram

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


112

Lampiran 6
DAFTAR MENU MAKANAN LUNAK

MENU 1

Sarapan Siang Sore


Daging bumbu bistik Kakap bumbu tomat Telur semur
Sup wortel Tempe tumis Bakwan jagung kukus
Soun goreng wortel Ca jagung manis, labu
Sayur campur siam dadu

MENU 2
Sarapan Siang Sore
Ayam bumbu kuning Ayam bombay + doperten Kakap bumbu kuning+wortel
Tumis kacang Tahu kulit semur Tempe tumis
panjang+wortel Tumis labu siam Martabak kentang
Sup wortel jagung muda

MENU 3

Sarapan Siang Sore


Kakap goreng tepung saos Telur pindang Sambal goreng hati
tomat Perkedel kentang Tumis tahu bandung
Abon sapi Soto ayam Bihun goreng wortel
Sup wortel, kentang, buncis Acar mentah (potong dadu) Cap cay

MENU 4

Sarapan Siang Sore


Telur semur Ayam fillet jamur Kakap bumbu pesmol
Ca labu siam + wortel Tempe tumis Bakwan sayur kukus
Soun goreng Sayur kimlo
Sayur asem

MENU 5

Sarapan Siang Sore


Telur semur Hati ayam masak bombay Gadon daging
Sup oyong wortel Tumis tempe Tahu kulit semur
Lumpia isi sayuran kukus Kroket bihun
Ca kalian Ca sawi putih+jagung
manis

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


113

MENU 6

Sarapan Siang Sore


Telur dadar Semur daging ungkep + Fillet ayam bumbu bistik
Sup labu air kentang Mie goreng
Tumis tempe Ca tauge kucai
Acar kuning

MENU 7

Sarapan Siang Sore


Nugget bumbu kuning Daging bumbu opor Pepes kakap
Asem-asem labu siam Perkedel kentang Tempe tumis
Sup oyong wortel Bakwan jagung muda
Cap cay

MENU 8

Sarapan Siang Sore


Daging bumbu bistik Daging bumbu kuning Telur semur
Sup wortel makaroni Tempe tumis Tahu bandung isi daging cincang
Soun goreng wortel Ca jagung manis, labu siam dadu
Ca sawi putih

MENU 9

Sarapan Siang Sore


Ayam fillet bumbu kuning Kakap Saos tomat Daging stronganof
Tumis tauge+wortel Tumis labu siam Tempe bacem
Tahu kulit semur Ca oyong soun

MENU 10

Sarapan Siang Sore


Kakap goreng tepung saos tomat Telur pindang Ayam bumbu semur
Abon sapi Perkedel kentang Tumis tahu bandung
Sup wortel, kentang, buncis Soto ayam Bihun goreng wortel
Cap cay Ca labu siam

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


114

Lampiran 7

PRESKRIPSI DIET KASUS 1

Energi 1447 kkal, protein 71 gram, lemak 48 gram , karbohidrat 188 gram ,
dan serat 14 gram/1000 kkal/ perhari.

Bahan makanan Berat URT Energi Protein Lemak KH Contoh menu


(g) (kkal) (g) (g) (g)
Sarapan :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Telur 55 ½ butir 50 7 2 - Dadar dengan
sedikit daun
bawang
Wortel, 75 1 gelas 20 1 - 5 Tumis wortel,
tauge tauge
Minyak 7,5 1½ sdt 75 - 7,5 -
Selingan pagi :
Biskuit 20 2 buah 87 2 - 20
Putih telur 1 butir 20 5 - -
Makan siang :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Ayam tanpa kulit 40 1 potong 50 7 2 - Pepes
Kacang merah 20 2 sdm 75 5 3 7 Sup kacang
merah
Sawi putih+hijau 75 1gelas 20 1 5 Tumis sawi
Minyak 10 2 sdt 100 - 10 -
Selingan sore :
Kacang hijau 40 4 sdm 150 10 6 14 Bubur kacang
Alpukat 60 50 - 5 - hijau
Makan malam :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Ikan 40 1 potong 50 7 2 - Sambal ikan,
tahu
Tahu 100 1 biji 75 5 3 7
sedang
Bayam,wortel 75 1 gelas 20 1 - 5 Rebus bayam,
wortel
Minyak 7,5 g 1½ sdt 75 - 7,5 -
Selingan malam :
Pepaya, jeruk 50 1 buah 50 - - 12 Jus pepaya, jeruk
1442 63 48 195

Keterangan :
- URT: ukuran rumah tangga; E:energi; P: protein; L: lemak; KH:
karbohidrat; sdt: sendok teh; sdm: sendok makan
- Mengurangi garam dalam proses pemasakan
- Mengurangi penyedap dalam proses pemasakan
- Tidak memakai bahan makanan yang diawetkan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


115

Lampiran 8

PRESKRIPSI DIET KASUS 2

Energi 1369 kkal, protein 32 gram, lemak 41 gram, karbohidrat 204 gram dan
serat 14 gram/1000 kkal/ perhari.

Bahan makanan Berat URT Energi Protein Lemak KH Contoh menu


(g) (kkal) (g) (g) (g)
Sarapan :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Telur 25 ½ butir 25 3,5 1 - Dadar dengan
sedikit daun
bawang
Wortel, 75 1 gelas 20 - - 5 Tumis wortel,
Tauge tauge
Minyak 10 2 sdt 90 - 10 -
Gula 5 ½ sdm 20 - - 5
Selingan pagi :
Biskuit 40 4 buah 174 4 - 40
Alpukat 60 1 buah 50 - 5 -

Makan siang :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Telur 25 ½ butir 25 3,5 1 - Dadar dengan
sedikit daun
bawang
Wortel, 75 1 gelas 20 - - 5 Tumis wortel,
tauge tauge
Minyak 10 2 sdt 90 - 10 -

Selingan sore :
Pisang rebus 45 1 buah 50 - - 12
Makan malam :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Ikan 40 1 potong 50 7 2 - Sambal ikan,
tahu
Tahu 75 1 biji 50 3 2 4,7
kecil
Bayam,wortel 75 1 gelas 20 - - 5 Rebus bayam,
wortel
Minyak 10 g 1½ sdt 90 - 10 -
Selingan malam :
Pisang rebus 45 1 buah 50 - - 12
1349 33 41 208,7

Keterangan :
URT: ukuran rumah tangga; E:energi; P: protein; L: lemak; KH: karbohidrat; sdt:
sendok teh; sdm: sendok makan.
Menu sarapan sama dengan makan siang, untuk memudahkan dalam menyediakan
Protein yang dianjurkan : putih telur, tempe, tahu, dan ikan

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


116

Lampiran 9

PRESKRIPSI DIET KASUS 3

Energi 1825 kkal, protein 91 gram, lemak 60 gram, karbohidrat 230 gram dan
serat 14 gram/1000 kkal/ perhari.

Bahan makanan Berat URT Energi Protein Lemak KH Contoh menu


(g) (kkal) (g) (g) (g)
Sarapan :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Daging 35 1 potong 50 7 2 - Daging tahu
semur
Wortel, tauge 75 1 gelas 20 - - 5 Tumis wortel,
tauge
Minyak 5 1 sdt 50 - 5 -
Tahu 110 1 bj bsr 75 5 3 7
Selingan pagi :
Buah campur
Pepaya 50 25 - - 6 Buah campur
Alpukat 50 50 - 5 - potong dadu

Makan siang :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Ikan 40 1 ptg sdg 50 7 2 - Ikan tempe
Tempe 50 2 ptg sdg 75 5 3 7 bumbu kuning
Wortel, tauge 75 1 gelas 20 - - 5 Tumis wortel,
tauge
Minyak 10 2 sdt 90 - 10 -

Selingan sore :
Buah 50 1 buah 50 - - 12 Jus jeruk
Kacang hijau 40 4 150 10 6 14 hangat
Kacang hijau
rebus tanpa
santan
Makan malam :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Ayam tanpa kulit 40 1 potong 50 7 2 - Sup ayam, tahu
Tahu 110 1 biji bsr 75 5 3 7
Bayam,wortel 75 1 gelas 20 - - 5 Rebus bayam,
wortel
Minyak 10 g 1½ sdt 90 - 10 -
Selingan malam :
MC DM 60 4 sendok 250 10 8 39
takar
1800 70 60 227

Keterangan :
URT: ukuran rumah tangga; E:energi; P: protein; L: lemak; KH: karbohidrat; sdt:
sendok teh; sdm: sendok makan.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


117

Lampiran 10

PRESKRIPSI DIET KASUS 4

Energi 1400 kkal, protein 65 gram, lemak 46 gram, karbohidrat 181 gram dan
serat 14 gram/1000 kkal/ perhari.

Bahan makanan Berat URT Energi Protein Lemak KH Contoh menu


(g) (kkal) (g) (g) (g)
Sarapan :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Daging ayam 35 1 ptg sdg 50 7 2 - Brokoli cah
ayam
Brokoli 50 20 - - 2,5
Minyak 5 1 sdt 50 - 5 -

Selingan pagi :
Kacang hijau 20 2 sdm 75 3 3 7 Rebus tanpa
Gula pasir 5 ½ sdm 20 - - 5 santan
Makan siang :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40 Ikan pepes
ikan 80 2 ptg sdg 100 14 4 - Sup-supan
Sup sayur 75 1 gelas 20 - - 5
Minyak 10 2 sdt 100 - 10 -

Selingan sore :
Alpukat 120 1 bh 100 - 10 -

Makan malam :
Nasi 100 ¾ gelas 175 4 - 40
Putih telur 65 - 50 7 2 - Putih telur
direbus, potong
dadu
Tofu 100 - 77 8 5 - Sapo putih
telur, tofu,
wortel
wortel 75 1 gelas 20 - - 5

Minyak kanola - ½ sdm 62 - 7 -


Selingan malam :
Produgen 35 4 sdm 130 6 3 13
1400 60 45 160

Keterangan :
URT: ukuran rumah tangga; E:energi; P: protein; L: lemak; KH: karbohidrat; sdt:
sendok teh; sdm: sendok makan.

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


118

Lampiran 11

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


119

Lampiran 12

Formulir Indeks Barthel


NRM : 29-20-89 Nama : Tn. Mikrad M Jenis Kel./Umur: Laki-laki/70 thn

PENILAIAN STATUS FUNGSIONAL SKOR INDEKS ADL BARTHEL

No Fungsi Skor Uraian Sblm Saat Mgg I RS Mgg II Saat


sakit MRS RS Pulang
1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/ perlu
rangsang pencahar
defekasi (BAB) 1 Kadang-kadang tak 2 2 2 2 2
terkendali
2 Mandiri
2 Mengendalikan 0 Tak terkendali/ pakai
rangsang kateter
berkemih 1 Kadang tidak terkendali 2 2 2 2 2
(BAK) (1x24jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan 0 Butuh pertolongan
diri (cuci muka, orang lain
1 0 1 1 1
sisir rambut, 1 Mandiri
sikat gigi)
4 Penggunaan 0 Tergantung
jamban, masuk pertolongan orang lain
dan keluar 1 Perlu pertolongan pada
(melepaskan, beberapa kegiatan
2 0 0 1 2
memakai tetapi dapat
celana, mengerjakan sendiri
membersihkan, kegiatan yang lain
menyiram) 2 Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong
2 1 1 2 2
memotong makanan
2 Mandiri
6 Berubah sikap 0 Tidak mampu
dari berbaring 1 Perlu banyak bantuan
ke duduk untuk bisa duduk (2
orang) 3 2 2 3 3
2 Bantuan (2 orang)
3 Mandiri
7 Berpindah/ 0 Tidak mampu
berjalan 1 Bisa (pindah) dengan
kursi roda
3 1 1 2 3
2 Berjalan dengan
bantuan 1 orang
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain
1 Sebagian dibantu
(misalnya mengancing 2 2 2 2 2
baju)
2 Mandiri
9 Naik turun 0 Tidak mampu
tangga 1 Butuh pertolongan 2 0 0 0 0
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang lain
1 0 1 1 1
1 Mandiri
TOTAL SKOR 20 10 12 15 18
KETERANGAN
20 : Mandiri 5–8 : Ketergantungan berat 9 – 11:Ketergantungan sedang
12 -19 : Ketergantungan ringan 0 –4 : Ketergantungan total

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


120

Lampiran 13

Formulir Indeks Barthel


NRM : 54-76-65 Nama : Tn. Munadi Jenis Kel./Umur: Laki-laki/52 thn

PENILAIAN STATUS FUNGSIONAL SKOR INDEKS ADL BARTHEL

No Fungsi Skor Uraian Sblm Saat Mgg I RS Mgg II RS Saat


sakit MRS Pulang
1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/
rangsang perlu pencahar
defekasi (BAB) 1 Kadang-kadang tak 2 2 2 2 2
terkendali
2 Mandiri
2 Mengendalikan 0 Tak terkendali/
rangsang pakai kateter
berkemih 1 Kadang tidak 2 2 2 2 2
(BAK) terkendali (1x24jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan 0 Butuh pertolongan
diri (cuci muka, orang lain
1 1 1 1 1
sisir rambut, 1 Mandiri
sikat gigi)
4 Penggunaan 0 Tergantung
jamban, masuk pertolongan orang
dan keluar lain
(melepaskan, 1 Perlu pertolongan
memakai pada beberapa
2 0 0 1 2
celana, kegiatan tetapi
membersihkan, dapat mengerjakan
menyiram) sendiri kegiatan
yang lain
2 Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong
2 1 1 2 2
memotong makanan
2 Mandiri
6 Berubah sikap 0 Tidak mampu
dari berbaring 1 Perlu banyak
ke duduk bantuan untuk bisa
duduk (2 orang) 3 2 2 3 3
2 Bantuan (2 orang)
3 Mandiri
7 Berpindah/ 0 Tidak mampu
berjalan 1 Bisa (pindah) dengan
kursi roda
3 1 1 2 2
2 Berjalan dengan
bantuan 1 orang
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang
lain
1 Sebagian dibantu
2 1 2 2 2
(misalnya
mengancing baju)
2 Mandiri
9 Naik turun 0 Tidak mampu
tangga 1 Butuh pertolongan 2 0 0 0 0
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang
lain 1 1 1 1 1
1 Mandiri
TOTAL SKOR 20 11 12 14 17
KETERANGAN
20 : Mandiri 5–8 : Ketergantungan berat 9 – 11:Ketergantungan sedang
12 -19 : Ketergantungan ringan 0 –4 : Ketergantungan total

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


121

Lampiran 14

Formulir Indeks Barthel


NRM : 54-65-26 Nama : Tn. Suwandi A Jenis Kel./Umur: Laki-laki/84 thn

PENILAIAN STATUS FUNGSIONAL SKOR INDEKS ADL BARTHEL

No Fungsi Skor Uraian Sblm sakit Saat MRS Mgg I RS Saat


Pulang
1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/ perlu
rangsang pencahar
defekasi (BAB) 1 Kadang-kadang tak 2 2 2 2
terkendali
2 Mandiri
2 Mengendalikan 0 Tak terkendali/ pakai
rangsang kateter
berkemih 1 Kadang tidak terkendali 2 2 2 2
(BAK) (1x24jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan 0 Butuh pertolongan
diri (cuci muka, orang lain
1 0 1 1
sisir rambut, 1 Mandiri
sikat gigi)
4 Penggunaan 0 Tergantung pertolongan
jamban, masuk orang lain
dan keluar 1 Perlu pertolongan pada
(melepaskan, beberapa kegiatan tetapi
2 1 1 1
memakai dapat mengerjakan
celana, sendiri kegiatan yang
membersihkan, lain
menyiram) 2 Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong
2 1 2 2
memotong makanan
2 Mandiri
6 Berubah sikap 0 Tidak mampu
dari berbaring 1 Perlu banyak bantuan
ke duduk untuk bisa duduk (2
orang) 3 2 2 2
2 Bantuan (2 orang)
3 Mandiri
7 Berpindah/ 0 Tidak mampu
berjalan 1 Bisa (pindah) dengan
kursi roda
3 1 2 2
2 Berjalan dengan bantuan
1 orang
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain
1 Sebagian dibantu
(misalnya mengancing 2 1 2 2
baju)
2 Mandiri
9 Naik turun 0 Tidak mampu
tangga 1 Butuh pertolongan 2 0 0 0
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang lain
1 0 1 1
1 Mandiri
TOTAL SKOR 19 10 15 15
KETERANGAN
20 : Mandiri 5–8 : Ketergantungan berat 9 – 11:Ketergantungan sedang
12 -19 : Ketergantungan ringan 0 –4 : Ketergantungan total

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013


122

Lampiran 15

Formulir Indeks Barthel


NRM : 54-65-36 Nama : Tn. Lio A Pin Jenis Kel./Umur: Laki-laki/67 thn

PENILAIAN STATUS FUNGSIONAL SKOR INDEKS ADL BARTHEL

No Fungsi Skor Uraian Sblm sakit Saat MRS Mgg I RS Saat Pulang
1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/
rangsang perlu pencahar
defekasi (BAB) 1 Kadang-kadang tak 2 2 2 2
terkendali
2 Mandiri
2 Mengendalikan 0 Tak terkendali/
rangsang pakai kateter
berkemih 1 Kadang tidak 2 2 2 2
(BAK) terkendali (1x24jam)
2 Mandiri
3 Membersihkan 0 Butuh pertolongan
diri (cuci muka, orang lain
1 0 1 1
sisir rambut, 1 Mandiri
sikat gigi)
4 Penggunaan 0 Tergantung
jamban, masuk pertolongan orang
dan keluar lain
(melepaskan, 1 Perlu pertolongan
memakai pada beberapa
1 1 1 1
celana, kegiatan tetapi
membersihkan, dapat mengerjakan
menyiram) sendiri kegiatan
yang lain
2 Mandiri
5 Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong
2 1 1 1
memotong makanan
2 Mandiri
6 Berubah sikap 0 Tidak mampu
dari berbaring 1 Perlu banyak
ke duduk bantuan untuk bisa
duduk (2 orang) 2 1 1 1
2 Bantuan (2 orang)
3 Mandiri
7 Berpindah/ 0 Tidak mampu
berjalan 1 Bisa (pindah) dengan
kursi roda
2 0 0 0
2 Berjalan dengan
bantuan 1 orang
3 Mandiri
8 Memakai baju 0 Tergantung orang
lain
1 Sebagian dibantu
2 0 0 0
(misalnya
mengancing baju)
2 Mandiri
9 Naik turun 0 Tidak mampu
tangga 1 Butuh pertolongan 1 0 0 0
2 Mandiri
10 Mandi 0 Tergantung orang
lain 1 0 0 0
1 Mandiri
TOTAL SKOR 17 8 10 10
KETERANGAN
20 : Mandiri 5–8 : Ketergantungan berat 9 – 11:Ketergantungan sedang
12 -19 : Ketergantungan ringan 0 –4 : Ketergantungan total

Universitas Indonesia

Tata laksana ..., Ade Erni, FFar UI, 2013

You might also like