You are on page 1of 14

Juneman. (2010). Aplikasi Psikologi Positif dalam Dunia Bisnis (Suatu Kajian Pustaka).

Jurnal Humanitas, Vol. 6 No. 2, Agustus 2009, halaman 130-143

Aplikasi Psikologi Positif dalam Dunia Bisnis


(Suatu Kajian Pustaka)

Juneman
Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Abstrak

Tulisan ini mengeksplorasi penerapan pengetahuan tentang psikologi positif


dalam dunia bisnis, baik pada tingkat individual maupun kelompok. Oleh
karena psikologi ini relatif baru dalam dunia psikologi dan bisnis, maka
penulis menguraikan pengertian psikologi positif, kritik terhadap psikologi
ini, dan hasil-hasil penelitian ringkas mengenai pengaruh psikologi positif.
Perhatian diberikan secara khusus pada pendekatan ’sumber terbuka’
sebagai pendekatan mutakhir yang dapat diaplikasikan. Sejumlah tantangan
yang perlu diselidiki lebih lanjut, terkait dengan pemaknaan kebahagiaan,
ukuran psikometrik, dan jangkauan pengaruh, dikemukakan pada akhir
tulisan.

Kata kunci: psikologi positif, ilmu kebahagiaan, psikologi negatif,


pendekatan sumber terbuka, bisnis

Abstract

This article explores the application of positive psychology in business both


on individual and group levels. Due to its recent emergence in Psychology
and Business, the author will outline the definition of positive psychology,
critics in this field as well as summary of the impacts of positive psychology.
The highlight is given to the ’open source’ as a latest robust approach to be
implemented in business. Further research that addresses some challenges
related to the definition of happiness, psychometric measurement and the
spectrum of impacts is outlined in the final section of the article.

Keywords: positive psychology, science of happiness, negative psychology,


open source approach, business

Pendahuluan

Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) dan Direktur Eksekutif
Lembaga Survei Nasional (LSN), Bakry (2008), mencatat dalam artikelnya,
“Capres dan Pesimisme Ekonomi”, bahwa hampir semua tokoh yang berminat
untuk tampil pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2009 menjadikan isu
ekonomi sebagai komoditas utama mereka. Menurut Bakry, alasannya
sangat jelas: di tengah jutaan pengangguran dan hamparan kemiskinan di
mana-mana, isu ekonomi paling mudah dijual dan menjadi magnet untuk
merayu publik. Menurutnya, jika dalam beberapa bulan ke depan belum
juga muncul tokoh baru yang menjanjikan, maka para calon presiden harus
punya jurus-jurus baru untuk menepiskan pesimisme ekonomi masyarakat.
Jika tidak, pesimisme publik terhadap perbaikan ekonomi dapat meluas
sehingga menjadi frustrasi sosial yang berbahaya.

Dalam konteks pesimisme masyarakat Indonesia tersebut, maka kehadiran


suatu psikologi yang percaya dan juga mampu membuktikan kebaikan dasar
dari manusia, yang memberikan perspektif mengenai hal-hal apa yang layak
diupayakan untuk membuat kehidupan pantas dihidupi, yang berfokus
pada aspek-aspek kondisi manusia yang dapat membawa pada kebahagiaan
dan pemenuhan, akan sangat berharga dan menyegarkan sekali. Psikologi
semacam itu pernah diupayakan oleh seorang ahli psikologi humanistik,
Abraham Maslow. Maslow pantas dipuji, karena ia mengajar bahwa manusia
mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi dan lebih mendesak
dipenuhi daripada kebutuhan-kebutuhan biologis; bahwa manusia harus
diberi kesempatan untuk kagum, berkontemplasi dan meresapkan diri ke
dalam pemujaan; bahwa manusia itu tidak bisa menyempurnakan diri
kecuali dengan melampaui, melupakan, dan mengorbankan dirinya sendiri
(Leahy, 2002).

Masalahnya adalah: Apakah psikologi humanistik Abraham


Maslow9meskipun sekilas nampak feasible untuk diaplikasikan dalam
dunia bisnis9merupakan upaya psikologis yang layak dipresentasikan dalam
sebuah jurnal ilmiah? Oleh karena psikologi merupakan sebuah sains, maka
jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi nampak problematis. Hal ini dapat
diperlihatkan ketika Martin Seligman dalam pembicaraannya mengenai
psikologi humanistik dalam komparasinya dengan psikologi positif
menunjukkan bahwa psikologi humanistik yang sudah sangat masyur itu
bukanlah sains (Seligman, 1999):

“Izinkan saya mengemukakan pikiran saya mengenai perbedaan


antara psikologi humanistik dan psikologi positif. Terdapat dua
perbedaan mendasar. Perbedaan pertama mungkin diintensikan,
sedangkan perbedaan kedua tidak diintensikan. Perbedaan pertama,
para ahli psikologi humanistik bukanlah ilmuwan-ilmuwan empiris.
Faktanya, beberapa dari mereka sungguh-sungguh merupakan
ilmuwan yang berkarakter anti-empiris. Di tangan mereka, psikologi
humanistik tidak merangsang sains. Psikologi humanistik menjadi
modus perawatan (treatment) dan intervensi dalam kondisi absennya
sains, dan psikologi humanistik memiliki sangat sedikit bukti empiris.
Perbedaan yang kedua dapat Anda temukan apabila Anda seorang
sarjana yang mempelajari Maslow, dan saya pikir hal ini tidaklah
diintensikan. Para ahli psikologi humanistik telah menjadi bagian dari
gerakan-gerakan yang membimbing orang kepada pengudusan
(sanctification) individu, narsisisme, gratifikasi individual, dan hal-hal
tersebut merupakan epidemi yang melanda negara kita….”
Maslow sendiri mengakui bahwa karya-karyanya masih menyangkut banyak
perkiraan dan paradigma yang belum seratus persen dibuktikan (Leahy,
2002). Padahal ciri psikologi sebagai sebuah ilmu adalah harus berbasiskan
bukti (evidence-based). Persis ketika istilah “kebahagiaan” menjadi
problematis dan perlu dipertanyakan lebih lanjut baru-baru ini oleh
Sastrapratedja (2009), karena, menurutnya, kebahagiaan (dari kata Yunani:
eudaimonia) lebih banyak diperbincangkan oleh filsafat daripada merupakan
suatu “variabel psikologis” yang hendak dijangkau oleh penelitian psikologis
empirik. Selanjutnya, menurut Sastrapratedja, psikologi biasanya berbicara
mengenai kenikmatan (pleasure), gratifikasi, pemenuhan-diri (self-
fulfillment), realisasi diri (self-realization). Untuk alasan-alasan tersebut
itulah, psikologi positif9dan bukan psikologi humanistik9yang dibicarakan
dalam tulisan ini.

Masalah yang tak kalah penting dari pihak yang lain adalah bagaimana
melakukan penerjemahan pengetahuan-pengetahuan dari psikologi positif ke
dalam kehidupan praktis seperti dalam dunia bisnis. Tulisan ini mencoba
memberikan sumbangsih dalam hal ini.

Psikologi Positif dan Kritik Terhadapnya

Menurut Seligman, Steen, Park, dan Peterson (2005), psikologi positif


merupakan istilah yang memayungi studi-studi terhadap emosi-emosi
positif, sifat-sifat dasar positif, dan pemberdayaan institusi/komunitas.
Dalam pembahasaan yang lain, psikologi positif mempelajari kondisi-kondisi
dan proses-proses yang berkontribusi terhadap penyuburan atau
pemfungsian individu, kelompok, dan lembaga secara optimal (Gable &
Haidt, 2005).

Psikologi positif tidak menyangkal nilai-nilai dari penelitian-penelitian yang


sudah ada tentang psikopatologi, namun melampaui itu, berfokus pada
kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan keberfungsian manusia
dengan berupaya membangun kekuatan individual daripada berfokus pada
kelemahannya (Garr, 2007). Kekuatan-kekuatan ini dideskripsikan dalam
peristilahan pendidikan karakter (character education) atau keutamaan-
keutamaan (virtues) (Peterson & Seligman, 2004).

Bila psikologi positif dianggap sebagai “science of happiness” seperti


diungkap Tal Ben-Shahar (dalam Mabe, 2008), maka kritik yang pernah
muncul ialah bahwa dengan adanya gelombang psikologi positif, terdapat
“tekanan kultural” terhadap setiap orang untuk menjadi bahagia sepanjang
masa yang akhirnya membuat orang senantiasa mengkaji tingkat
kebahagiaannya dan selanjutnya menginginkan hal yang lebih. Kebahagiaan
menjadi “obsesi” yang hanya membuat orang lebih tidak berbahagia (Wilson
dalam Megan, 2008). Kendati demikian, menurut Shahar (Megan, 2008),
ahli-ahli psikologi positif tidak hanya berbicara mengenai kebahagiaan dan
juga tidak menafikan aspek negatif dari kehidupan (sebagaimana terdapat
dalam Pollyannaisme), melainkan:

"Mereka berbicara mengenai keterlibatan (engagement), mengenai


perasaan yang dalam akan makna, sebuah hidup yang bertujuan. Hal-
hal ini bersama dengan kenikmatan (pleasure) merupakan bagian
bersama dari sebuah kehidupan bahagia… Tidak ada jalan pintas …
Tidak ada lima langkah mudah untuk menuju kebahagiaan.”

Berdasarkan kalimat Shahar, guru besar psikologi di Universitas Harvard, di


atas jelas bahwa terdapat perbedaan kandungan isi dan metodologi antara
“psikologi positif” yang ditawarkan oleh kebanyakan psikologi populer (psiko-
pop) di pasar dengan boosterism (pemercepatan dengan upaya ekstra)
peraihan kebahagiaannya, yang boleh jadi bersifat ilmiah semu
(pseudoscientific) bagi ilmu psikologi9serta9psikologi positif yang
dikembangkan oleh para ilmuwan (scientific psychology). Menurut dasar
ontologis scientific psychology, jelas adanya bahwa titik berangkat psikologi
justru ketidakbahagiaan (Takwin, 2009). Senada dengan Takwin, DeRubeis
(2000) jauh hari sebelumnya telah mengungkap bahwa “Psikologi negatif
(negative psychology) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari psikologi
positif.” Lebih jelas, Takwin (2009) menjelaskan:

“Psikologi tidak bisa memulai dari pendefinisian kebahagiaan karena


kebahagiaan sulit dikenali. Titik berangkat psikologi adalah
ketidakbahagiaan jelas adanya…. Tetapi, kebahagiaan tidak dapat
diartikan sebagai tidak adanya ketidakbahagiaan. Kebahagiaan bukan
juga sekadar terselesaikannya masalah seseorang…. Kebahagiaan
selalu merupakan situasi jiwa yang baru, situasi yang mengandung
kebaruan yang dapat menghubungkan jiwa dan kebahagiaan.…
Secara umum, situasi psikologis selalu merupakan sesuatu yang
dikenali sebagai hubungan antara disposisi chaotic dari jiwa
(mencakup perasaan, tingkahlaku, dan pikiran) dan apa yang dikenali
sebagai kebahagiaan…. Dalam konteks ini, termasuk juga
menghubungkan apa yang tadinya dianggap kebahagiaan namun
dalam kenyataannya tidak menghasilkan kebahagiaan, dengan apa
yang mungkin menghasilkan kebahagiaan…. Psikologi mencoba…
mengajukan proposisi baru yang menata keadaan chaotic dari jiwa
sehingga menghasilkan kebahagiaan.”

Bila membaca hal di atas, kita dapat memadankannya dengan basis


pernyataan Seligman (1999) ketika membicarakan pemberdayaan komunitas
sebagai salah satu tonggak psikologi positif, bahwa peradaban bukan hanya
berarti tiadanya ketidakberadaban (civility is not just the absence of incivility),
bahwa peradaban yang terbangun akan terus terbangun dan meluas. Hal ini
pada hakikatnya sesuai dengan perjalanan penelitian Martin Seligman
(2002) dari ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness), upaya
terapi terhadapnya, yang menuju kepada optimisme atau kebahagiaan yang
dipelajari (learned optimism atau learned happiness) dan upaya promosinya.
Terdapat hubungan paradoksal dan dialektis dalam pengalaman manusia
antara learned helplessness dan learned optimism. Patut dicatat dalam
kaitan ini bahwa Seligman mengakui, “Saya terlahir sebagai seorang pesimis
dan saya pikir hanya para pesimis yang dapat mengerjakan karya serius
mengenai optimisme” (Scherer, 2008). Tulisan lain dalam bahasa Indonesia
yang meskipun berbasis pengalaman empiris sehari-hari dan bukan
penelitian sistematis, namun mampu menggambarkan secara memadai
bahwa “psikologi negatif” tidak selalu negatif hasilnya adalah buku “Be
Negative” karya Naomi Susan. Dalam wawancaranya dengan The Jakarta
Post (“Naomi Susan: Getting”, 2007), Naomi Susan dengan tepat
menggambarkan sebagian premis mengenai pentingnya psikologi negatif
dalam psikologi positif dengan bahasa awam:

"Apabila Anda menjual sesuatu, seperti “Menjadi Seorang Pemimpin”,


“Jadilah Positif”, atau “Menjadi Seorang Pemenang”, orang-orang
mungkin tidak dapat mengikuti Anda … dan mereka hampir pasti
mengalami kegagalan. Namun, gagal itu OK. Kita mungkin menjadi
marah atau merasa diserang, namun persoalan sejatinya adalah
bagaimana kita mengelola kegagalan kita.”

Kritik lain terhadap psikologi positif adalah pertanyaan apakah terdapat


kongruensi antara aplikasi psikologi positif dalam tataran individual dan
dalam tataran kelompok (kelompok bisnis, sekolah, komunitas, dan
sebagainya). Untuk jelasnya, mari kita cermati riset yang dilakukan oleh
departemen psikologi Northwestern University (2008). Riset ini meneliti
bagaimana pengaruh penaikan harga diri (self-esteem)—melalui
pengkontemplasian pencapaian seseorang atau penerimaan umpan balik
positif dari orang lain—terhadap dorongan menyelamatkan mukanya sendiri
(face-saving) untuk membenarkan dan tetap menjalankan keputusan-
keputusan yang hasilnya sesungguhnya diragukan efektivitasnya. Hasil
penelitian itu antara lain sebagai berikut:

“Dalam sebuah penelitian, para partisipan yang merupakan para


manajer senior dari sebuah bank investasi yang besar menerima
umpan balik positif yang menekankan betapa rasionalnya mereka.
Alih-alih berakibat positif, umpan balik ini juga secara erat berkaitan
dengan keputusan yang mereka buat ketika menerima seorang
karyawan yang kemudian diketahui memiliki riwayat kinerja yang
tidak baik. Para manajer senior tersebut secara membabi buta
mengomitmenkan diri mereka berulang-ulang dengan keputusan awal
mereka untuk mempekerjakan orang tersebut, serta
merekomendasikan untuk menyediakan waktu dan menghabiskan
uang tambahan untuk melatih orang ini, ketimbang mengakui
keputusan buruk mereka serta memotong rantai efek keputusan
mereka yang keliru.”

Sementara Martin Seligman, sang pendiri psikologi positif, berpendapat


bahwa psikologi positif dapat dengan cukup mudah ditransfer kedalam
kehidupan korporat (Scherer, 2008); apakah hasil penelitian di atas
berimplikasi bahwa dengan memaksimalkan harga diri (dan hal-hal positif
lain, seperti optimisme, kepercayaan, engagement, dan sebagainya) tiap-tiap
orang dalam kelompok atau organisasi, psikologi positif justru membawa
organisasi kedalam bahaya? Ataukah, kita harus merujuk kembali pada
hukum psikologi Gestalt bahwa keseluruhan atau totalitas (dalam hal ini:
kelompok, organisasi) bukanlah penjumlahan dari bagian-bagian (individu-
individu) totalitas itu? Sebagaimana diungkap oleh Irwanto (2002), dalam
totalitas terdapat unsur baru, struktur dan arti yang ditentukan oleh
hubungan antarbagian dalam totalitas tersebut. Transfer psikologi positif
dari level individual ke level sosietal dan institusional nampak memerlukan
penyelidikan lebih lanjut.

Aplikasi Psikologi Positif dalam Dunia Bisnis

Sejak kelahirannya pada tahun 1998, psikologi positif telah banyak


diaplikasikan dalam banyak bidang, termasuk konseling dan psikoterapi,
arsitektur, ekonomi, desain, politik, linguistik, agama, dan pendidikan.
Dalam artikelnya yang terkemuka, Diener (2000), seorang ahli psikologi
positif, telah menunjukkan bahwa ukuran-ukuran kesejahteraan subjektif
(SWB, subjective well-being) berkorelasi dengan kesehatan umum, serta
menjadi basis bagi kebijakan pemerintah, indikator ekonomi, dan dasar
asesmen politis terhadap keberhasilan suatu negara. Aplikasi psikologi
positif dalam bidang hukum dapat dilihat dalam artikel penulis,
“Yurisprudensi Terapeutik: Peran Integratif Psikologi Dalam Proses Hukum
Untuk Melayani Kesejahteraan Pribadi Klien Hukum” (Juneman, 2008).
Dalam tulisan ini, akan diperlihatkan aplikasi psikologi positif dalam bidang
bisnis.

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengaplikasikan pengetahuan


psikologi positif dalam kehidupan bisnis, terlebih karena banyak jalan untuk
mencapai kebahagiaan yang tidak sama antara orang atau institusi yang
satu dengan yang lain. Yang jelas adalah bahwa kebahagiaan dalam
kerja9yang dapat didefinisikan sebagai kenikmatan (pleasure), keterlibatan
(engagement), dan rasa akan makna (sense of meaning)9dapat meningkatkan
pendapatan, keuntungan, kebertahanan staf, loyalitas konsumen, dan
keamanan tempat kerja, meskipun penelitian-penelitian ini masih preliminer
dan belum lintas budaya (cross-cultural) atau berjangka panjang (long-term)
(Coplan, 2009; Harter, Schnidt, Keyes, 2002). Namun, lanjut Coplan,
penelitian-penelitian tersebut secara nyata menunjukkan bahwa emosi
positif meningkatkan kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah serta
membantu dalam melawan stres.

Lima langkah yang disarankan Coplan (2009) dan Scherer (2008) secara
ringkas-operasional untuk menerapkan pengetahuan psikologi positif dalam
dunia bisnis adalah sebagai berikut: (1) mencari kekuatan pribadi (sejumlah
kuesioner pada
http://www.authentichappiness.sas.upenn.edu/questionnaires.aspx dapat
membantu dalam rangka ini), dengan premis bahwa mengerjakan apa yang
dapat terbaik kita kerjakan secara alami memberikan kita kegembiraan; (2)
menggunakan kekuatan itu dengan cara-cara yang baru; (3) Bangun relasi
positif, antara lain dengan melakukan kunjungan untuk mengucapkan rasa
terimakasih kepada orang lain yang bermakna (gratitude visit); (4) mengukur
hasilnya; dan (5) melakukan pengaturan-diri (self-regulation), termasuk
disiplin-diri, untuk terus menemukan efek positifnya9sebagaimana seorang
atlet melatih ototnya. Langkah keempat cukup menantang bagi psikologi
positif karena ukuran-ukuran variabel dependen (seperti produktivitas
penjualan, kepuasan, kohesivitas organisasi, keuntungan, loyalitas,
ketangguhan terhadap kemalangan, kebahagiaan, dan sebagainya), belum
atau tidak selalu mungkin diukur secara memuaskan, terlebih secara
kuantitatif-reduksionistik; meskipun ukuran-ukuran tersebut akan terus
dicari. Langkah kelima dapat dilakukan dengan metode latihan “three
blessings” (Scherer, 2008), yakni menuliskan tiga hal yang telah berjalan
baik sepanjang hari dan alasannya.

Selanjutnya, menurut Davis (2008) serta Harter, Schmidt, dan Keyes (2002),
kuesioner pengukur keterlibatan pekerja (employee engagement) yang
diciptakan oleh Gallup Organization Research (1992-1999, dalam Harter,
Schimdt, & Keyes, 2002) dengan duabelas butir pertanyaan berikut ini dapat
dianggap sebagai alat ukur perilaku yang berorientasi pada psikologi positif:

1. Apakah Anda mengetahui hal-hal yang diharapkan dari Anda di


tempat kerja Anda?
2. Apakah Anda memiliki materi dan perlengkapan yang Anda
butuhkan untuk mengerjakan pekerjaan Anda secara benar?
3. Di tempat kerja Anda, apakah Anda memiliki kesempatan untuk
mengerjakan hal-hal terbaik yang sehari-hari Anda kerjakan?
4. Dalam tujuh hari terakhir, apakah Anda telah menerima pengakuan
atau pujian karena Anda telah melakukan pekerjaan yang baik?
5. Apakah penyelia Anda, atau seseorang di tempat kerja Anda, nampak
peduli mengenai Anda sebagai seorang pribadi?
6. Apakah terdapat seseorang di tempat kerja Anda yang mendorong
perkembangan Anda?
7. Di tempat kerja Anda, apakah pendapat-pendapat Anda nampak
diperhitungkan?
8. Apakah misi/tujuan perusahaan Anda membuat Anda merasa
bahwa pekerjaan Anda adalah penting?
9. Apakah rekan-rekan kerja Anda berkomitmen untuk mengerjakan
pekerjaan secara bermutu?
10. Apakah Anda memiliki seorang teman terbaik di tempat kerja?
11. Dalam enam bulan terakhir, apakah seseorang di tempat kerja Anda
telah berbincang dengan Anda mengenai kemajuan Anda?
12. Dalam tahun terakhir, apakah Anda telah memiliki kesempatan di
tempat kerja untuk belajar dan berkembang?

Tingkat favorabilitas yang tinggi dari jawaban terhadap kuesioner di atas


diketahui berkorelasi dengan peningkatan indikator kinerja utama (KPI, key
performance indicators) yang positif (yakni, tingkat penjualan, produktivitas,
kepuasan hidup, kesetiaan pelanggan, profitabilitas) dan penurunan KPI
yang negatif (yakni, tingkat pencurian, keluar-masuk/turnover,
ketidakhadiran kerja, kecelakaan kerja, stres, mortalitas, dan morbiditas)
(Davis, 2008).

Sejumlah hasil riset lainnya yang mengungkap arti penting penerapan


psikologi positif dalam dunia bisnis, sebagai berikut:

Pertama, rasa keterlibatan (engagement) karyawan dalam pekerjaannya


sangat dipengaruhi oleh perasaan karyawan bahwa pekerjaannya penting
dan sangat relevan baginya (rasa akan makna atau meaningfulness) (May
dalam Crabtree, 2004). Easterbrook (dalam Crabtree, 2004), seorang ahli
psikologi positif, mengemukakan bahwa hal ini dapat dijelaskan dengan
psikologi evolusi. Dalam sebagian besar sejarahnya, manusia harus
bertarung (fisik) untuk bertahan hidup; oleh karenanya, otak manusia
secara evolusioner mengalami kalibrasi untuk menemukan pemenuhan
(fulfillment) dalam upaya mengatasi ancaman-ancaman terhadap
kebertahanan hidupnya itu. Ketika ancaman-ancaman itu tiada lagi, banyak
dari kita merasa terapung-apung tanpa arah dan tidak bertujuan. Bila pada
masa lampau manusia mempertahankan diri dan menginginkan materi,
maka sekarang kita menginginkan makna. Arti penting pengetahuan ini bagi
para majikan dan manajer adalah bahwa mereka perlu menyediakan para
karyawan mereka wakil (proxy) bagi “hasrat bertarung untuk
mempertahankan diri” mereka agar mereka tetap terlibat (engaged) dengan
pekerjaannya. Proxy ini adalah sebuah perasaan bahwa pekerjaan mereka
menantang mereka untuk menggunakan sifat-sifat dan kualitas-kualitas
pribadi mereka guna mencapai tujuan yang penting bagi mereka.

Kedua, empat konstruk psikologi positif berperan dalam sensitivitas


konsumen terhadap kinerja sosial perusahaan (Giacolne, Paul, & Jurkiewicz,
2005). Keempat konstruk psikologis tersebut adalah apresiasi terhadap
kebaikan (gratitude), harapan (hope), spiritualitas, dan generativitas. Dengan
sebuah alat ukur, yakni CSCSP (Consumer Sensitivity to Corporate Social
Performance Scale), diketahui bahwa konsumen yang diatribusikan memiliki
konstruk-konstruk tersebut menolak maksimalisasi keuangan sebagai
pertimbangan tunggal pendorong pengambilan keputusan manajerial
perusahaan. Para konsumen tersebut justru menyetujui dan mendukung
apabila peran-peran manajerial perusahaan menyeimbangkan antara
tanggungjawab finansial dengan tanggungjawab moral serta tanggungjawab
sosial (misalnya, perusahaan hendaknya menolong untuk menciptakan
lingkungan fisik yang lebih sehat, relasi yang lebih baik dengan karyawan,
dan responsivitas yang lebih besar terhadap para penanam modal).
Konsumen yang peka terhadap kinerja sosial perusahaan memiliki nilai-nilai
yang sejalan dengan berbagai gerakan (misalnya, gerakan green consumerism
dan penanaman modal yang bertanggungjawab secara sosial), yang
membawa perusahaan kepada model manajemen multi-pemangku
kepentingan (multi-fiduciary management atau stakeholder management),
atau suatu orientasi perusahaan terhadap konsumen (consumer-oriented
values). Individu-individu yang memiliki konstruk-konstruk tersebut
mungkin berbeda dalam hal metode mereka untuk memperjuangkan agar
perusahaan mengadopsi cara-cara yang mendukung kehidupan (life-
affirming ways) dalam kinerja sosialnya, namun pandangan kolektif mereka
pada umumnya mencakup visi masa depan yang lebih baik, sifat etis dalam
keputusan membeli, dan efikasi konsumen sebagai instrumen perubahan
sosial. Penemuan ini merupakan aplikasi psikologi positif dalam wilayah
etika bisnis. Contoh butir instrumen CSCP adalah sebagai berikut: (1) “Saya
akan mau membayar sedikit lebih mahal untuk membeli sebuah produk dari
sebuah perusahaan yang memiliki rekam jejak yang bagus dalam
mempekerjakan dan mempromosikan perempuan”; (2) “Saya akan mau
membayar sedikit lebih mahal untuk membeli sebuah produk dari sebuah
perusahaan yang memiliki praktik-praktik yang baik terhadap lingkungan.”

Ketiga, dalam bidang perilaku organisasi positif (POB, positive organizational


behavior), diketahui bahwa para pemimpin yang berpengharapan (hopeful
leaders) dapat memiliki efek menular terhadap resiliensi para karyawan dan
keseluruhan level organisasi yang tengah mengalami perubahan yang
bersifat traumatis (Norman, Luthans, & Luthans, 2005), dengan model kerja
sebagaimana Gambar 1. Salah satu implikasi dari temuan ini adalah bahwa
perlu dikembangkan program-program yang dapat meningkatkan harapan
(hope programs) pada semua tingkat organisasional. “Harapan” dalam hal ini
didefinisikan sebagai “suatu kondisi motivasional positif yang didasarkan
pada dua hal yang secara interaktif berasal dari perasaan akan
keberhasilan, yakni (1) agency (energi yang terarah pada tujuan, atau
kemauan, “will”), dan (2) pathways (perencanaan untuk mencapai tujuan,
atau cara, “way”) (Snyder, Irving, & Anderson, 1991, dalam Norman,
Luthans, & Luthans, 2005). Sedangkan, “ketabahan” (resiliensi) dalam hal
ini didefinisikan sebagai adaptasi positif dalam menghadapi kemalangan
(adversity) dan risiko (Masten & Reed, 2002, dalam Norman, Luthans, &
Luthans, 2005).

Gambar 1. Model penularan (contagion model) tentang pengaruh pemimpin


yang berpengharapan terhadap diri, pengikut, dan resiliensi Organisasi.
Keempat, emosi positif memungkinkan pekerja untuk mengembangkan
negosiasi yang berhasil (Michale, 2005).

Kelima, dalam sebuah studi psikologi positif lintas budaya yang dilaporkan
dalam Journal of Happiness Studies baru-baru ini, Rego dan Cunha (2009)
dengan mengambil sampel 161 karyawan dari 109 organisasi yang
beroperasi di Portugal (kultur kolektivistis, sebagaimana Indonesia),
menemukan bahwa orientasi-orientasi individualistis/kolektivistis dari
karyawan merupakan prediktor bagi kesejahteraan afektif (affective well-
being) karyawan dalam pekerjaannya. Lebih jelasnya, sebagai berikut: (1)
individu-individu yang kolektivistis memperlihatkan kesejahteraan afektif
yang lebih tinggi daripada pada individualis; (2) hubungan ini dimoderasikan
oleh persepsi karyawan terhadap jiwa kesetiakawanan (spirit of camaraderie)
dalam organisasi; (3) Tingkat kesejahteraan afektif yang lebih tinggi
cenderung dialami oleh para kolektivis yang menemukan jiwa
kesetiakawanan yang kaya, yang dapat diperoleh dalam konteks organisasi;
sedangkan tingkat kesejahteraan afektif yang lebih rendah diekspresikan
oleh para individualis yang mempersepsikan jiwa kesetiakawanan yang
buruk dalam lingkungan kerja mereka. Temuan ini menekankan bahwa
kebahagiaan karyawan (employee happiness) dapat memiliki pendasaran
yang berbeda-beda dalam kultur yang berbeda, juga bahwa orientasi-
orientasi individualisme/kolektivisme tidak beroperasi dengan cara yang
sama dalam konteks kultur dan organisasi yang berbeda.

Pendekatan Sumber Terbuka

Salah satu pendekatan mutakhir yang juga dapat dijadikan rujukan bagi
pengaplikasian psikologi positif adalah pendekatan “sumber terbuka” atau
open source approach (Lopez & Kerr, 2006). Sebelum menelaah lebih jauh,
kita lihat definisi “sumber terbuka” (“Sumber terbuka”, 2008).

Sumber terbuka (open source) adalah sistem pengembangan yang tidak


dikoordinasikan oleh suatu orang/lembaga pusat, tetapi oleh para
pelaku yang bekerja sama dengan memanfaatkan kode sumber (source-
code) yang tersebar dan tersedia bebas (biasanya menggunakan fasilitas
komunikasi internet). Pola pengembangan ini mengambil model ala
bazaar, sehingga pola open source ini memiliki ciri bagi komunitasnya
yaitu adanya dorongan yang bersumber dari budaya memberi, yang
artinya ketika suatu komunitas menggunakan sebuah program open
source dan telah menerima sebuah manfaat kemudian akan termotivasi
untuk menimbulkan sebuah pertanyaan apa yang bisa pengguna
berikan balik kepada orang banyak. Pola open source lahir karena
kebebasan berkarya, tanpa intervensi berpikir dan mengungkapkan apa
yang diinginkan dengan menggunakan pengetahuan dan produk yang
cocok. Kebebasan menjadi pertimbangan utama ketika dilepas ke
publik. Komunitas yang lain mendapat kebebasan untuk belajar,
mengutak-atik, merevisi ulang, membenarkan ataupun bahkan
menyalahkan, tetapi kebebasan ini juga datang bersama dengan
tanggung jawab, bukan bebas tanpa tanggung jawab.

Lopez dan Kerr (2006) berpendapat bahwa kita perlu menggunakan model
teknologi informasi yang sudah sangat sukses ini untuk mengembangkan
dan mendiseminasikan terapi-terapi yang berbasiskan kekuatan (strength-
based therapies). Hal ini sepadan aplikabilitasnya dengan pengembangan
intervensi-intervensi yang tepat terhadap sebuah organisasi. Kebanyakan
pelaku bisnis menghindar dari risiko; mereka ingin mengetahui apa yang
telah terbukti efektif untuk bisnis/pelaku bisnis yang lain sebelum mereka
berkemauan untuk “mencelupkan jari-jari mereka ke dalam air yang sama.”
Gejala ini sebenarnya dalam kasus yang lain agak mirip dengan yang pernah
dilaporkan oleh Antonides (1991) yang dalam psikologi sosial dikenal sebagai
the tragedy of the commons (Hardin dalam Sarwono, 2002), sebagai berikut:

“Sulit sekali memperkirakan apakah pihak lain mau bekerjasama atau


tidak. Kalau diperkirakan semua orang mau bekerjasama,
kemungkinan besar justru akan terjadi pemalasan sosial (social
loafing), yaitu beberapa orang tidak mau bekerjasama (karena mau
untung sendiri). Akan tetapi, kalau semua orang tidak mau
bekerjasama, tidak ada seorang pun yang mau bekerjasama karena
rugi kalau mau bekerjasama.”

Dengan menggunakan bersama-sama pendekatan sumber terbuka, kita


akan mau untuk saling berbagi pengalaman mengenai hal-hal apa saja yang
bekerja/berhasil dan yang tidak dalam organisasi kita. Selanjutnya, kita
akan mau saling berkolaborasi untuk pengembangan dan peningkatan
intervensi-intervensi kelompok-kelompok bisnis. Hal ini jauh akseleratif bila
dibandingkan dengan pendekatan individual “menamai dan mengklaim”
(“naming and claming”) yang secara umum meningkat dalam dunia bisnis,
seperti paten, HAKI, dan sejenisnya. Dalam tingkat organisasi yang lebih
besar seperti negara, situasi dewasa ini yang diwarnai dengan ”lomba klaim”
kebudayaan antara Malaysia dan Indonesia telah menunjukkan bahwa
tragedi bersama telah terjadi dan forum-forum bersama yang mampu
mendekati masalah dengan psikologi positif ”sumber terbuka” menjadi
nampak urgensinya.

Salah satu dari manfaat terbesar dari sumber terbuka, menurut Lopez dan
Kerr (2006), ialah bahwa intervensi-intervensi dapat diuji secara jauh lebih
cepat. Di samping itu, dalam pendekatan ini, oleh karena para pelaku bisnis
memiliki rasa keanggotaan yang sama dengan banyak pihak, intervensi-
intervensi akan secara berkelanjutan diperhalus dan ditingkatkan ketika
tilikan-tilikan diri (insight) baru diperoleh satu dan/atau lebih anggota. Lebih
jauh lagi, dengan menggunakan pendekatan sumber terbuka, psikologi
positif itu sendiri akan berkolaborasi dengan banyak pihak, seperti dengan
ahli ekonomi, arsitek, pengacara, disainer, dan profesi lain guna penciptaan
dan pengembangan strategi-strategi intervensi bisnis yang baru.
Kesimpulan

Psikologi positif merupakan sebuah gerakan sekaligus studi ilmiah mengenai


kekuatan-kekuatan dan keutamaan-keutamaan yang memungkinkan
individu dan komunitas untuk tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Psikologi positif telah membuktikan melalui riset-riset empiriknya bahwa
psikologi ini memenuhi kaidah keilmuan dan bukan hanya merupakan
sejenis pemikiran filosofis tertentu. Tiga tantangan urgen yang perlu dijawab
lebih lanjut adalah: (1) melakukan pemeriksaan dan refleksi lebih dalam lagi
mengenai arti kata “kebahagiaan”, terlebih setelah diketahui adanya
perbedaan tema dan variasi kebahagiaan dan ketidakbahagiaan antara
orang Timur dan orang Barat (misalnya, Uchida & Kitayama, 2009), serta
dalam komparasinya dengan konsep-konsep psikologis serupa yang dapat
mempengaruhi kinerja dalam bisnis; (2) memberikan ukuran-ukuran
psikometrik yang lebih memuaskan lagi akan pengaruh dari aplikasi
psikologi positif; (3) menemukan metode terbaik untuk mencapai
pemerluasan spektrum ruang dan waktu bagi berlakunya efek psikologi
positif, misalnya dari kehidupan sehari-hari ke kehidupan bisnis
perusahaan, atau sebaliknya. Pendekatan sumber terbuka (open source)
yang berasal dari dunia teknologi informasi diketahui dapat memberikan
kontribusi dalam pengembangan strategi intervensi peningkatan capaian
dalam dunia bisnis.

Daftar Pustaka

Antonides, G. (1991). Psychology in economics and business. Dordrecht, Netherlands: Kluwer


Academis Publ.
Bakry, U. S. (2008). Capres dan pesimisme ekonomi. Diambil pada 17 Maret 2009, dari
http://www.indonesia-
monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=360&Itemid=40
Carr, E. G. (2007). The expanding vision of positive behavior support: Research perspectives
on happiness, helpfulness, hopefulness. Journal of Positive Behavior
Interventions, 9(1), 3-14.
Coplan, J. H. (2009). How positive psychology can boost your business. Diambil pada 17
Maret 2009, dari
http://www.businessweek.com/magazine/content/09_62/s0902044518985.htm?campa
ign_id=rss_smlbz
Crabtree, S. (2004). The power of positive management (Part 1). Gallup Management Journal,
1-5.
Davis, J. S. (2008). Positive psychology in project management communications. Diambil
pada 17 Maret 2009, dari
http://www.pmi.org/eNews/GAC/Positive%20Psychology_Denver_2008.pdf
DeRubies, R. J. (2000). How negative psychology is integral to positive psychology. Dalam
Seligman, M.E.P., & Gillham, J. (Eds.). The science of optimism and hope: Research
essays in honor of Martin E.P. Seligman. West Conshohocken: Templeton Foundation
Press.
Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a
national index. American Psychologist, 55(1), 34-43.
Gable, S. L., & Haidt, J. (2005). What (and why) is positive psychology? Review of General
Psychology, 9(2), 103–110.
Giacolne, R. A., Paul, K., & Jurkiewicz, C. L. (2005). A preliminary investigation into the role
of positive psychology in consumer sensitivity to corporate social performance. Journal of
Business Ethics 58, 295-305.
Harter, J. K., Schmidt, F. L., & Keyes, C. L. (2002). Well-being in the workplace and its
relationship to business outcomes: A review of the Gallup studies. Dalam Keyes, C. L., &
Haidt, J. (Eds.). Flourishing: The positive person and the good life (pp. 205-224).
Washington D.C.: American Psychological Association.
Irwanto. (2002). Psikologi umum. Jakarta: Prenhallindo.
Juneman. (2008). Yurisprudensi terapeutik: Peran integratif psikologi dalam proses hukum
untuk melayani kesejahteraan pribadi klien hukum. Jurnal Kajian Ilmiah Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya, 9(3), 908-922.
Leahy, L. (2002). Horizon manusia: Dari pengetahuan ke kebijaksanaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Lopez, S. J. & Kerr, B. A. (2006). An open source approach to creating positive psychological
practice: A comment on Wong’s strengths-centered therapy. Psychotherapy: Theory,
Research, Practice, Training, 43(2), 147-150.
Mabe, M. (2008). They teach happiness at Harvard. Business Week. Diambil pada 17 Maret
2009, dari
http://www.businessweek.com/globalbiz/content/aug2008/gb20080820_939323.htm
Megan, K. (2008). The pursuit of unhappiness: Let's give melancholy its due, experts advise.
McClatchy - Tribune Business News. Diambil pada 17 Maret 2009, dari ABI/INFORM
Dateline database.
Michael, W. (2005). Hope springs. People Management 11(20), 38-39.
Naomi Susan: Getting the most out of scholarships. (2007). The Jakarta Post. Diambil pada
17 Maret 2009, dari
http://old.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071226.F02
Norman, S., Luthans, B., & Luthans, K. (2005). The proposed contagion effect of hopeful
leaders on the resiliency of employees and organizations. Journal of Leadership and
Organizational Studies, 12(2), 55-64.
Northwestern University. (2008). Boosting self-esteem can backfire in decision-making.
Psychology & Psychiatry Journal,112.
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues. Washington, DC:
American Psychological Association.
Rego, A., & Cunha, M. P. (2009). How individualism–collectivism orientations predict
happiness in a collectivistic context. Journal of Happiness Studies, 10(1), Mar 2009, 19-
35.
Sarwono, S. W. (2001). Psikologi sosial: Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta:
Balai Pustaka.
Sastrapratedja, M. (2009). Perubahan konsepsi manusia dalam psikologi. Dalam Godwin, R.
(Ed.). Psikologi pemberdayaan komunitas. Depok: Insos Books.
Scherer, K. (2008). Importance of happiness in the workplace. Diambil pada 17 Maret 2009,
dari http://www.nzherald.co.nz/human-
science/news/article.cfm?c_id=314&objectid=10504853
Seligman, M. E. P. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize
your potential for lasting fulfillment. New York: Free Press.
Seligman, M. E. P., Steen, T. A., Park, N., & Peterson, C. (2005). Positive psychology
progress: Empirical validation of interventions. The American Psychologist, 60, 410-421.
Seligman, M.E.P. (1999). Seligman Speech at Lincoln Summit. Diambil pada 17 Maret 2009,
dari http://www.ppc.sas.upenn.edu/lincspeech.htm
Sumber terbuka. (2008). Wikipedia. Diambil pada 17 Maret 2009, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_terbuka
Takwin, B. (2009). Psikologi menghubungkan jiwa dan kebahagiaan dengan aktivitas sosial.
Dalam Godwin, R. (Ed.). Psikologi pemberdayaan komunitas. Depok: Insos Books.
Uchida, Y., & Kitayama, S. (2009). Happiness and unhappiness in east and west: Themes
and variations. Emotion, 9, 441-456.

You might also like