You are on page 1of 15

1

MAKALAH DAKWAH PERSPEKTIF ALQURAN DAN HADIS


“ QS. AL FATH/48:8-9”

Diseminarkan Dalam Mata Kuliah Dakwah Perspektif Alquran dan Hadis


Prodi Dirasyah Islamiyah Konsentrasi Dakwah Dan Komunikasi
Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh:
IMRAN RIFAI
NIM: 80100218008

PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2019
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dakwah merupakan upaya menyeru manusia menuju jalan Allah (Islam)

dengan melakukan perubahan-perubahan ke arah positif yang diridhai Allah; dari

budaya jahiliyah menuju budaya islamiyah, dari kesesatan menutu jalan yang

lurus (sirathal mustaqim) dengan tujuan utamanya yaitu untuk mencapai

keselamatan dunia dan akhirat.

Islam adalah agama wahyu, agama risalah yang merupakan pesan ke-

Tuhanan yang mesti disampaikan kepada segenap lapisan ummat manusia. Islam

adalah agama dakwah yang mewajibkan umatnya untuk mengajak manusia

dengan segala macam cara dan media, agar menerima kebenaran agama Allah,

meyakini dan mengamalkannya dalam segala aspek kehidupannya.1 Tujuan utama

dari Risalah Muhammad adalah untuk membawa rahmat kepada alam semesta,

tidak hanya kepada umat manusia2

Sebagai pembawa risalah yang rahmatan lil ‘alamin Muhammad saw

merupakan Rasul akhir zaman dan Risalahnya juga merupakan Risalah yang

terakhir, namun berlaku bagi semua manusia di alam ini. Karenanya Dakwah

Islamiyah yang bertugas mendakwahkan dan mengembangkan Risalah

Muhammad menjadi tetap berkelanjutan sampai akhir zaman. Berhasilnya

Rasulullah saw menyampaikan Risalah dan mengembangkan dakwah Islamiyah,

sehingga dalam waktu yang relatif singkat, beliau mampu membangun tiga

perkara besar. Yaitu agama yang besar, ummat yang satu dan negara yang stabil.

Hal ini dikarenakan oleh kebenaran ajaran Islam yang didakwahkannya, ketepatan

metode yang digunakan, terutama metode dakwah amaliyah, kefasihan lidah yang

1
T.A. Lathief Rousydiy. Rasul Terbesar Muhammad SAW. Medan Rimbow,1986, h.10.
2
A. Hasjmy. Dusur Dakwah Menurut Al Qur-an, Jakarta, Bulan Bintang,1984, h.38.
3

dimilikinya, serta kepribadian yang kuat penuh daya tarik dan daya pikat,

penguasaan terhadap audience, juga karena sikap mental yang membaja3

Tujuan sebagaimana di atas sejatinya merupakan suatu usaha membina

masyarakat agar terjadi perubahan dala diri mereka, berkelakua baik, dapat

bersifat adil, baik dalam masalah pribadi maupun keluarga serta masyarakat,

sehingga terjadi perubahan dari paradigma way of thinking yang diajarkan oleh

Islam menuju perubahan way of life atau cara mereka dalam menjalankan

hidupnya. Perubahan tersebutlah yang merupakan esensi yang diharapkan dari

tujuan dakwah islamiyah.

Berkenaan dengan tujuan dakwah, tentunya tidak bisa terlepas

dari Rasulullah yang merupakan Rasul pembawa misi dakwah dari Tuhan

semesta alam. Beliau membawa amanah suci yang bertugas untuk merubaha

akhlak manusia. Adapun perubahan akhlak yang dimaksudkan adalah Alquran itu

sendiri, karena Alquranlah yang merupakan pedoman hidup manusia. Jika

manusia mau berpegang teguh pada intisari ajaran alquran, maka mereka tidak

akan tersesat untuk selama-lamanya.

B. Rumusan Masalah

1. Tujuan dakwah secara umum

2. Tujuan dakwah perspektif QS al Fath/28:8-9

3. Makna tabsyir dan tandzir

3
Rousydiy. Rasul Terbesar Muhammad SAW , h. 13
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tujuan Dakwah

Tujuan merupakan pernyataan bermakna, keinginan yang dijadikan

pedoman manajemen organisasi untuk meraih hasil tertentu atas kegiatan yang

dilakukan dalam dimensi waktu tertentu. Tujuan (objective) diasumsikan berbeda

dengan sasaran (goals). Dalam tujuan memiliki target target tertentu untuk dicapai

dalam waktu waktu tertentu. Sedangkan sasaran adalah pernyataan yang telah

ditetapkan oleh manajemen puncak untuk menentukan arah organisasi dalam

jangka panjang4

Tujuan dakwah tidak lepas dari pembicaraan tentang Islam sebagai agama

dakwah. Islam berintikan pengambilan fitrah manusia pada esensi semula sebagai

hamba Allah dan sekaligus khalifatullah. Manusia adalah puncak ciptaan Allah

yang tertinggi di muka bumi ini. Dan fitrah manusia paling hakiki yang diajarkan

Islam adalah tauhid5

Secara umum, Dr M. Quraish Shihab mengemukakan tujuan dakwah

dalam melihat peran intelektual muslim sebagai unsur kontrol sosial adalah

sebagai berikut:

1. Mempertebal dan memperkokoh iman kaum muslimin, sehingga tidak

tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh negatif dari kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, atau paham-paham yang membahayakan

negara, bangsa dan agama.

4
Ali Aziz Muhammad, Ilmu Dakwah, Prenada Media,jakarta,2004
5
Hadi sofyan, ilmu dakwah (konsep paradigma hingga metodologi), CSS ,Jember,2012.h.
18
5

2. Meningkatkan tata kehidupan umat dalam arti yang luas dengan mengubah

dan medorong mereka untuk menyadari bahwa agama meajibkan meraka

untuk berusaha menjadikan hari esok lebih cerah dari hari ini.

3. Meningkatkan pembinaan akhlak umat Islam, sehingga memeliki sikap

dan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan

bernegara.6

Dalam pandangan M. Syafaat Habib, tujuan utama dakwah adalah akhlak

yang mulia (akhlâq al-karîmah). Tujuan ini, menurutnya, paralel dengan misi

diutusnya Nabi Muhammad SAW. yaitu untuk menyempurnakan akhlak.

Berdasarkan hadis “innamâ bu‘itstu li utammima makârim al-akhlâq” (aku

diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). Dengan akhlak yang mulia ini,

manusia akan menyadari fungsinya sebagai manusia, yakni abdi atau hamba Tuhan

Yang Maha Esa, akhirnya akan berbakti kepada-Nya, mengikuti segala perintah-Nya

dan menjauhi segala larangan-Nya, kemudian menegakkan prinsip “amar ma’rûf

nahy al-munkar”.7

Jamaluddin Kafie mengklasifikasi tujuan dakwah ke dalam beberapa

tujuan. Pertama. Tujuan hakiki yaitu mengajak manusia untuk mengenal

Tuhannya dan mempercayai-Nya sekaligus mengikuti jalan petunjuk-Nya. Kedua.

Tujuan umum, yaitu menyeru manusia untuk mengindahkan dan memenuhi seruan

Allah dan Rasul-Nya. Ketiga. Tujuan khusus, yaitu bagaimana membentuk suatu

tatanan masyarakat Islam yang utuh (kâffah).8

Dalam konteks yang berbeda, Amrullah Ahmad, sebagaimana dikutip Enjang

AS. dan Aliyuddin, juga membagi tujuan dakwah ke dalam tujuan jangka pendek dan

tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek menukik pada upaya peningkatan

6
Amin Samsul Munir, ilmu dakwah,Amzah,jakarta,2009. h 65
7
M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah (Jakarta: Widjaya, 1982), h. 129.
8
Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan Acuan (Surabaya: Offset
Indah, 1993), h. 66
6

sumber daya manusia yang berkualitas, pembinaan insan-insan saleh, dan

perubahan stratifikasi sosial ke arah yang lebih terhormat. Sedangkan tujuan

jangka panjang adalah membangun kehidupan masyarakat yang berkualitas,

masyarakat madani yang meliputi nuansa iman dan takwa, atau dalam terma “baldat

thayyibat wa rabb ghafûr.”9

B. Tujuan dakwah perspektif QS Al Fath/48:8-9


 
 
 
 



 
 
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan,supaya kamu sekalian beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan
bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.10
Muhammad sebagai seorang utusan Allah (Rasul) yang menjadi penutup

dari para Nabi. Tidak seorangpun Nabi yang diutus oleh Allah sesudah Nabi

Muhammad saw. Dalam konteks pendidikan beliau merupakan gurunya para guru,

karena Allah telah mendidik dan mengajarnya dengan sebaik-baik pendidik dan

pengajaran. Beliau sendiri dalam hal ini menegaskan bahwa, “adabanī rabī fa

ahsana ta’dībī”11 (Tuhanku telah mendidik dan mengajarku, maka dialah yang

membaikkan pendidikanku). Hadits ini memberikan informasi tentang pengajaran

9
Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategik: Pengantar Proses Berpikir Strategik
(Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), h. 74-75.
10
Kementerian Agama RI, Alquran dan terjemahnya (Semarang; Toha Putra, 2014)
h.511
11
Jalal Al Din Al-Suyuti, Al-Jami Al-Sagir Fi Ahadis Al-Basyir Al-Nazir, (Qahirah: Daral-
Qalam, 1996), h. 13
7

dan pendidikan yang dilakukan oleh sang guru agung, Muhammad yang

kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pendidikan Muslim. Tidak berlebihan

jika dikatakan kehidupan Muhammad sendiri merupakan refleksi pendidikan bagi

umatnya.

Sebagai seorang rasul, Muhammad memiliki hak istimewa mengajar

mereka yang mempercayai misinya, yakni kitab dan hikmah. Dalam menjalankan

tugas ini, sebagaimana rasul-rasul sebelumnya, Muhammad tidak meminta upah

atas pekerjaannya dari manusia, karena yang diharapkannya hanya pahala dari

Tuhan.12

Nabi diutus tidak untuk menumpuk harta, melainkan diutus sebagai

penunjuk jalan (hidayah), pemberi kabar gembira dan peringatan, penyeru kepada

Allah dan sebagai pelita. pengajaran dan pendidikan. Dalam menyampaikan

peringatan kepada manusia Nabi dibekali mukjizat berupa al-Quran, yang

dijadikan sebagai bukti kerasulannya.

Ayat di atas menunjukkan bahwa tugas dan kewajiban Nabi Muhammad

saw. diutus oleh Allah sebagai berikut:

1. Menjadi syahid, yang menyampaikan semua amanat yang diserahkan oleh

Allah kepadanya untuk disampaikan pada manusia.

2. Menjadi mubasyir, yang selalu menyampaikan berita gembira kepada

manusia dengan menerangkan pahala yang akan dibawakan kepada orang

yang mau beriman.

3. Menjadi nadzir, yang selalu memberi peringatan atau mengancam kepada

manusia dengan menerangkan siksa yang akan ditimpakan kepada orang-

orang yang tidak mau beriman.

12
Farid Ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, Surabaya, Bina Ilmu,1981, h.72.
8

4. Menjadi dai, yang tidak ada berhentinya menyampaikan seruan kepada

manusia supaya mengikuti agama Allah dengan cara yang diizinkan oleh-

Nya.

5. Menjadi sirajan muniiraa, yang terus-menerus menerangi dengan pelita

yang terang benderang kepada manusia.13

C. Makna Dasar Kosa Kata Basyīr Dan Nadzīr

1. Basyīr

Kata basyīr ( ‫ ) بشير‬berasal dari akar kata bā syīn rā ( ‫ ) ب ش ر‬yang

derivasinya membentuk beberapa kata seperti basyar (manusia), basyarah(bagian

luar kulit manusia), mubāsyarah (hubungan suami istri), bisyr (keceriaan

wajah), busyrā (kabar gembira), basysyara (menampakkan hasil) dan lain-

lain. Ibn Fāris (329-395H) menyatakan bahwa akar kata bā syīn rāmemiliki arti

dasar “muncul atau terlihatnya sesuatu bersama keindahan” ( ‫س ٍن‬


ْ ‫ظهور الشّيء مع ُح‬
‫) وجمال‬. 14 Dan dari makna dasar inilah makna-makna derivasi kata bā syīn

rā disandarkan. Sedangkan makna dari basysyara seperti dalam kalimat ( ُ‫بَش َّْرت‬

ّ َ‫ ) فُالَنا ً أُب‬adalah memberi kabar baik, namun terkadang juga digunakan


ً‫ش ُِّرهُ تَبشيرا‬

untuk mengartikulasikan pemberian kabar buruk sebagai bentuk celaan (tabkīt).

Contoh yang terakhir ini dapat dijumpai misalnya dalam Alquransurah Aāl

‘Imrān: 21.

Berbeda dengan Ibn Fāris, Al-Rāghib Al-Asfahāni (w.502H) lebih melihat

kata basyarah yang berarti “kulit luar yang terlihat” sebagai pusat arti/makna akar

kata bā syīn rā. Menurutnya, manusia disebut basyar (‫ )بشر‬karena kulitnya yang

terlihat jelas tanpa terhalang oleh rambut, berbeda dengan hewan yang tertutup

oleh rambut ataupun bulu. Maka tidak mengherankan pula ketika menjelaskan

13
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw., (Jakarta: Gema Insani
Press),Cet.-1, 2001, h. 554
14
Abū al-Husayn Ahmad ibn Fāris ibn Zakariyā, Maqāyīs al-Lughah, Tahqiq: Abd al-
Salām Muhamad Hārūn, (Beirut, Dār Al-Fikr, 1979M/1399H) Jilid I, h. 251
9

ّ ‫)ب‬, yang menjadi muasal


makna kata kerja absyara ( ‫ ) أبشر‬dan basy-syara ( ‫شر‬

kata basyīr, beliau memaknainya dengan “memberikan kabar gembira yang

membuat kulit muka menjadi berseri-seri, hal ini dikarenakan jiwa manusia ketika

dalam kondisi bergembira darahnya menyebar di permukaan kulit mukanya

sebagai mana tersebarnya air getah pada batang pohon”.15 Al-Asfahāny

menambahkan bahwa apa-apa yang dibawa oleh seorang oleh seorang pembawa

berita gembira (mubasysyir) disebut dengan busyrā (‫ ) بشرى‬atau bisyārah (‫) بشارة‬.

Pendapat sedikit berbeda dikemukakan oleh Ibn Jarīr al-Thabariy (224-310H)

ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah/2: 97. Secara lebih tajam dan spesifik beliau

menyatakan bahwa menurut tradisi bahasa Arab kata al-bisyārah ( ‫)البشارة‬

diartikan sebagai “pemberitahuan kepada seseorang seseorang tentang beritayang

belum pernah diketahuinya dan dapat membuatnya gembira, sebelum dia

mendengarnya dari orang lain atau mengetahuinya dari orang lain.”16

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kata basyīr dan beberapa

derivasinya memiliki dua unsur makna kunci yaitu; (1) adanya proses

menampakkan, memberitahukan, atau memberikan informasi, serta (2) sesuatu

yang diinformasikan bersifat menggembirakan. Atau kalau kita mengambil

pendapat Al-Thabary terdapat unsur ketiga yaitu (3) informasi yang

menggembirakan tersebut sebelumnya tidak diketahui oleh penerima.

2. Nadzīr

Kata nadzīr berasal dari akar kata nūn dzāl rā ( ‫ ) ن ذ ر‬yang menunjukkan

pada makna dasar menakut-nakuti ( ‫ ) تخويف‬maupun ketakutan ( ‫)تخوف‬.


ُّ Maka dari

itu, bersumpah atas nama Allāh untuk melakukan sesuatu dimasa datang disebut

dengan al-nadzr (‫ )النذر‬karena yang bersangkutan takut/khawatir jika sumpahnya

15
Al-Husayn ibn Muhamad ibn Al-Mufadlal, Abū al-Qāsim Al-Rāghib Al-
Asfahāni, Mufradāt Alfādh al-Qur’ān, (Software Al-Maktabah Al-Shāmela Edisi 3.13)
16
Muhamad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Katsīr bin Ghālib al-Amily, Abū Ja’far al-
Thabary, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl Al-Qur’ān, (Beirut, Muassasah al-Risālah, 2000), Juz. II, h. 393
10

tersebut tidak ditepati.17 Adapun indzārmemiliki arti yang kurang lebih sama

dengan kata iblāgh yakni penyampaian informasi. Bedanya, yang pertama hampir

selalu digunakan untuk menyampaikan berita yang menakutkan.

Ibn Mandhūr (630-711H), meriwatkan pendapat dari Kura’dan Al-

Lihyāniy bahwa makna andzara berarti memberitahu secara mutlak (a’lama)

disamping juga bermakna menakut-nakuti (khawwafa) dan memperingatkan

(khadzara) Sementara Al-Rāghib al-Asfahāniy menjelaskan bahwa kata al-

nadzīr maupun al-mundzir adalah segala sesuatu yang dapat memberikan

peringatan (indzār) baik berupa manusia ataupun bukan.18

Menurut Ibn ‘Āsyūr, meskipun pada dasarnya indzār dalam

Alquranseringkali mengandung makna pemberitahuan hal-hal yang tidak

menyenangkan berupa kebinasaan di hari ahirat, akan tetapi bisa juga

mengandung makna ajakan kepada kebaikan –yang menjadi unsur kata tabsyīr-,

bahkan juga bisa mencakup makna pengajaran ilmu-ilmu agama sebagai pembeda

antara yang benar dan yang salah, sebagaimana dipahami penafsiran

kata indzār dalam QS. Al-Tawbah/9:122 Dalam ayat ini kata indzār yang

digunakan bukan tabsyīr atau ta’līm, karena menurut Ibn ‘Āsyūr, meninggalkan

larangan (takhliyah) lebih didahulukan dari pada melaksanakan kebaikan

(tahliyah)19

Dari kajian diatas dapat disimpulkan bahwa kata indzār lebih sering

digunakan untuk mengartikulasikan pemberian peringatan atau informasi yang

menakutkan, meskipun juga bisa berarti pemberian informasi secara mutlak. Atau

17
Abū al-Husayn Ahmad ibn Fāris ibn Zakariyā, Maqāyīs al-Lughah, Jilid 5, h. 414
18
Muhammad ibn Mukrim ibn Mandzūr al-Ifrīqiy al-Mishriy, Lisān al-‘Arab, (Software
Al-Maktabah Al-Shāmela Edisi 3.13), bab. Harf al-Rā’
19
Muhamad ibn Thāhir ibn ‘Āsyūr, Al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis, Dār Sahnūn, 1997),
Juz 11, h.62
11

dalam konteks beberapa ayat alquranbisa memiliki arti memberikan peringatan

berupa pengajaran pesan-pesan agama Islam.

Menurut Ibnu katsir, lafazhh basyīr mempunyai arti pemberi kabar

gembira yang mana kabar gembira tersebut yaitu berupa surga, kemudian beliau

mengartikan lafazh nadzīr adalah pemberi peringatan yaitu berupa Neraka. Hal ini

sesuai yang beliau kutip riwayat dari Ibnu Abi Hatim, beliau meriwayatkan dari

Ibnu ‘Abbas dari Nabi SAW, beliau bersabda: “ Telah diturunkan kepadaku,

“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran;

sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan”, Beliau bersabda: “

(Yaitu) kabar gembira berupa Surga dan peringatan dari api Neraka”.20

Kemudian menurut al-Maraghi dalam ayat tersebut menafsirkan bahwa

Allah mengutus Rasulullah SAW dengan perkara yang tetap, tegas dan takkan
15
menyesatkan umat manusia. Sebagai pemberi berita gembira (basyīr) kepada

orang yang taat, dan memberi peringatan (nadzīr) kepada pelaku maksiat, bukan

untuk memaksa hingga orang beriman. Kewajiban Rasulullah hanyalah

menyampaikan kabar gembira dan pemberi peringatan tersebut tanpa

menyembunyikan atau diperuntukkan pada kepentingan pribadi.21

D. Tabsyīr dan Indzār Merupakan Inti dan Tujuan Utama Risalah

Menurut ayat QS.fath/28:8-9 bahwa tujuan Allah mengutus para Rasul

adalah untuk menyampaikan ayat-ayat Allah dengan jalan memberikan kabar

gembira kepada orang-orang beriman dan peringatan kepada mereka yang kufur

kepada ayat-ayatNya22. Al-Sa’dy secara lebih tegas menyatakan

20
Al Imam Fida’ Ismail Ibnu Katsir al-Dimasqy, Tafsir Al-Qur’ān al-Azhīm, terjemahan,
Pustaka Imam Asy-Syafi’i , Bogor,2006, juz 1 h. 240.
21
Ahmad Mustafa Al-Maraghi , Tafsir al-Maraghi, terjemahan, Toha Putra, Semarang,
cet. kedua 1993 , juz 1, h. 372.
22
Abd Al-Rahmān ibn Nāshir ibn al-Sa’dy, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām
al-Mannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq, (Beirut, Muassasah Al-Risālah,
Cet.I, 2000M/1420H), h.257
12

bahwa tabsyīr dan indzār merupakan inti (zubdat) pengiriman para

Rasul. Demikian pula dengan tujuan diutusnya Rasulullah r sebagaimana dalam

QS. Al-Furqān/25:56 dan QS. Saba’/34:28. Kesimpulan ini senada dengan ayat-

ayat lain yang menyatakan bahwa tugas para Rasul adalah menyampaikan risalah

yang mereka terima dari Allah (tablīgh)

Jika tugas ini sudah terlaksana dengan baik, maka tidak ada lagi tanggung

jawab Rasul terhadap orang-orang yang membangkang (QS. Al-Baqarah/2 :119)

dan tidak ada lagi hak bagi orang-orang yang menolak kebenaran untuk berhujjah

dihadapan Allah (QS. Al-Nisā/4 :165 dan QS. Al-Māidah/5 :19).

Pelajaran yang dapat diambil dari keterangan di atas, bahwa kewajiban

para ulama sebagai penerus tugas Rasulullah adalah berupaya menyampaikan

semua ayat-ayat Allah baik berupa kabar gembira maupun peringatan selengkap-

lengkapnya dengan tujuan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah

Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. Memahami konsep ini juga

mengharuskan para dai dan siapa saja yang bergerak di medan dakwah untuk

mencari berbagai jalan dan upaya agar risalah Islam bisa tersebar seluas-luasnya

dan informasi lengkap tentang berbagai aspek ajaran Islam dapat diakses oleh

sebanyak mungkin manusia.


13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dakwah diklasifikasi ke dalam beberapa tujuan. Pertama. Tujuan hakiki

yaitu mengajak manusia untuk mengenal Tuhannya dan mempercayai-Nya

sekaligus mengikuti jalan petunjuk-Nya. Kedua. Tujuan umum, yaitu menyeru

manusia untuk mengindahkan dan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Ketiga.

Tujuan khusus, yaitu bagaimana membentuk suatu tatanan masyarakat Islam yang

utuh (kâffah)

Nabi diutus tidak untuk menumpuk harta, melainkan diutus sebagai

penunjuk jalan (hidayah), pemberi kabar gembira dan peringatan, penyeru kepada

Allah dan sebagai pelita. pengajaran dan pendidikan. Dalam menyampaikan

peringatan kepada manusia Nabi dibekali mukjizat berupa al-Quran, yang

dijadikan sebagai bukti kerasulannya.

berdasarkan ayat QS.fath/28:8-9 dapat dipahami tujuan Allah mengutus

para Rasul adalah untuk menyampaikan ayat-ayat Allah dengan jalan memberikan

kabar gembira kepada orang-orang beriman dan peringatan kepada mereka yang

kufur kepada ayat-ayatNya. Al-Sa’dy secara lebih tegas menyatakan

bahwa tabsyīr dan indzār merupakan inti (zubdat) pengiriman para Rasul
14

DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmy. Dusur Dakwah Menurut Al Qur-an, Jakarta, Bulan Bintang,1984,

Abū al-Husayn Ahmad ibn Fāris ibn Zakariyā, Maqāyīs al-Lughah, Tahqiq: Abd
al-Salām Muhamad Hārūn, (Beirut, Dār Al-Fikr, 1979M/1399H) Jilid I,

Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategik: Pengantar Proses Berpikir


Strategik (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996)

Al-Husayn ibn Muhamad ibn Al-Mufadlal, Abū al-Qāsim Al-Rāghib Al-


Asfahāni, Mufradāt Alfādh al-Qur’ān, (Software Al-Maktabah Al-
Shāmela Edisi 3.13)

Ali Aziz Muhammad, Ilmu Dakwah, Prenada Media,jakarta,2004

Amin Samsul Munir, ilmu dakwah,Amzah,jakarta,2009.

Farid Ma’ruf Noor, Dinamika dan Akhlak Dakwah, Surabaya, Bina Ilmu,1981,

Hadi sofyan, ilmu dakwah (konsep paradigma hingga metodologi), CSS


,Jember,2012

Jalal Al Din Al-Suyuti, Al-Jami Al-Sagir Fi Ahadis Al-Basyir Al-Nazir, (Qahirah:


Daral-Qalam, 1996),

Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah: Bidang Studi dan Bahan Acuan (Surabaya:
Offset Indah, 1993)

Kementerian Agama RI, Alquran dan terjemahnya (Semarang; Toha Putra, 2014)

M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah (Jakarta: Widjaya, 1982),

Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw., (Jakarta: Gema


Insani Press),Cet.-1, 2001,

Muhamad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Katsīr bin Ghālib al-Amily, Abū Ja’far al-
Thabary, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl Al-Qur’ān, (Beirut, Muassasah al-
Risālah, 2000), Juz. II,

Muhamad ibn Thāhir ibn ‘Āsyūr, Al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis, Dār Sahnūn,
1997), Juz 11,
15

Muhammad ibn Mukrim ibn Mandzūr al-Ifrīqiy al-Mishriy, Lisān al-‘Arab,


(Software Al-Maktabah Al-Shāmela Edisi 3.13), bab. Harf al-Rā’

T.A. Lathief Rousydiy. Rasul Terbesar Muhammad SAW. Medan Rimbow,1986,

Al Imam Fida’ Ismail Ibnu Katsir al-Dimasqy, Tafsir Al-Qur’ān al-Azhīm,


terjemahan, Pustaka Imam Asy-Syafi’i , Bogor,2006, juz 1

Ahmad Mustafa Al-Maraghi , Tafsir al-Maraghi, terjemahan, Toha Putra,


Semarang, cet. kedua 1993 , juz 1,

Abd Al-Rahmān ibn Nāshir ibn al-Sa’dy, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr
Kalām al-Mannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq,
(Beirut, Muassasah Al-Risālah, Cet.I, 2000M/1420H),

You might also like