You are on page 1of 10

A.

KALIMAT YANG MENGANDUNG FILSAFAT DALAM BUKU NOVEL “DUNIA SOPHIE”

1.”Dia hidup pada zaman pencerahan”

2.”malaikat adalah sebuah gagasan yang rumit”

3.”maka buanglah buku itu ke nyala api”

4.”sebelumnya kita membahas buaya berkepala gajah”

5.”adalah benar dikatakan jika nbahwa dunia di patikan ada awalnya dalam waktu”

6.”seseorang yang belum pernah melihat emas tidak akan dapat membayangkan jalan dari emas”

7.”ayah surgawi”

8.”sebab dia belum mengetahui bagaimana perilaku alam”

9.”aku mulai merasa bahwa kita akan keluar jalur lagi”

10.”dunia material”

11.
1. BIOGRAFI AL FARABI

Al-Farabi mempunyai nama lain diantaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-
Uzalagh Al-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu
Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan
di desa Wasij di Distrik Farab (Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M),
kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang Iran menikah dengan
wanita Turki.[1]

Sangat sedikit yang kita bias ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut tiga abad
setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang latar belakang keluarga Al-farabi adalah
bahwa ayahnya seorang Opsir tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana
wilayah otonom Bani Abbasyyah.[2] Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya jelas
menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.[3] Al
Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan
dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.[4]

2. PENDIDIKAN AL FARABI

Sejak kecil Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan
yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat dia pahami, justru bahasa
Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan
dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[5]

Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun 922
M yang mana pada waktu itu disebut sebagai kota Ilmu pengetahuan. Beliau belajar disana kurang lebih
10 tahun. Dengan berbekal ketajaman integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai
hamper semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan ilmuwan.[6]
Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat, logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia,
ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik.[7] Di Baghdad, Beliau berguru kepada
Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat
dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang
banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi
pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari
Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat.
3. KARIER AL FARABI

Al-Farabi dikenal sebagai filsuf besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang
filsafat secara utuh menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang
seseudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil filsafatnya. Pandangan al-Farabi tentang
filsafat terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles
melalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’, pengetahuan yang
mendalam tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai ‘Al-Mu’alim At-
Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alim al-awal (Guru pertama) adalah Aristoteles.[8]

Pada tahun 330 H (945 M) Beliau pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-
Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu dengan para sastrawan,
penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari
sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi terkenal sangat saleh dan
zuhud.[9] Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau sebagai ulama istana dengan imbalan yang
besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada
kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi
kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di
Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota tersebut secara berpindah-
pindah.

4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI

Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:

a. Filsafat Al Farabi

Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti
suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat
dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan
ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-
kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[10] Al Farabi berhasil
meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada
pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi
hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.

Al Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran
merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al Farabi mempunyai dasar berfilsafat
adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai
penciptanya. Dengan arah ke situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di
depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya (kaum).[11]
Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa
dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur
alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.[12]

b. Filsafat Politik Al Farabi

Al Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara,
hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan tersebut dapat diteliti mengenai tujuannya,
dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara
tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah bentuk operasional dari
pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau penguasa ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam
bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[13] Adapun pemerintahan dapat menjadi benar-
benar baik jika ada teoritis dan praktis bagi pengelolannya.[14]

c. Definisi dan Esensi Jiwa

Al Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik
yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.[15] Makna ‘jiwa merupakan
kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi
makhluk yang bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya
melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna ‘memiliki
kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk
menerima jiwa.

d. Filsafat Metafisika Al Farabi

Pembicaraan metafisika ini berkisar pada masalah Tuhan, wujud-Nya, atau kehendak-Nya.
1. Ilmu Ketuhanan

Al-Farabi membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga[16], yaitu:

§ Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.

§ Membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (particulars), yaitu ilmu yang berdiri
sendiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu. Seperti ilmu mantiq (logika), matematika, atau ilmu
juzz’iyyat lainnya.

§ Membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.

2. Wujud

Al Farabi membagi wujud kepada dua bagian[17], yaitu:

§ Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada,
kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak
wujud. Dengan kata lain cahaya adalah wujud yang mungkin. Karena matahari telah wujud maka cahaya
itu menjadi wujud yang nyata karena matahari.

§ Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki
wujud-Nya, yaitu wujud yang diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemusyrikan. Kalau itu tidak ada,
maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan
wujud yang wajib ada inilah Tuhan.

3. Sifat-Sifat Tuhan
Tuhan adalah tunggal. Ia tidak berbeda dari zat-Nya. Tuhan merupakan akal (pikiran) murni, karena yang
menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran adalah benda, maka sesuatu itu berada.
Apabila wujud sesuatu tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Demikian juga zat-
Nya juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi untuk
menjadi obyek pemikiran adalah benda pula. Jadi, ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal
pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan zat-Nya sendiri, tetapi cukup dengan
zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pemikiran. Dengan demikian zat Tuhan yang satu itu juga
akal (pikiran), zat yang berfikir, dan zat yang dipikirkan, atau ia menjadi aqal, ‘aqil, dan ma’qul.[18]

e. Filsafat Kenabian Al Farabi

Persoalan kenabian ada pada agama, tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana
secara esensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi). Berdasarkan wahyu dan ilhamlah
segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Dalam ajaran Islam, wahyu merupakan sumber inspirasi
yang pasti, yang harus dijadikan pedoman baginya dalam operasionalisasi ajaran. Ciri khas seorang nabi
bagi al Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat di mana obyek inderawi dari luar tidak dapat
mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan ‘Aql Fa’al (akal 10) ia dapat menerima fisi dan
kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql Fa’al yang
dalam penjelasan al Farabi adalah Jibril.[19] Wahyu mudah dan jelas diterima oleh manusia, pertolongan
Malaikat Jibril yang dapat mengubah bermacam-macam bentuk, seperti malaikat-malaikat lain juga,
bertugas sebagai penghubung antara Tuhan dengan nabi-nabi-Nya.[20]

f. Pola Pikir Tasawuf Al Farabi

Al Farabi adalah seorang filosuf yang telah menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya
menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam hal ini kita bias melihat teori sufi yang merupakan
bagian dari pandangan filosofis Al Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah ini adalah adanya
korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al farabi yang lain, baik psikologis,
moral, maupun politik. Sebagai cirri khas dari teori tasawuf yang dikatakan Al Farabi adalah pada asas
rasional. Tasawuf Al Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata yang hanya berlandaskan kepada sikap
menerangi jism dan menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan jiwa dan meningkat menuju derajat-
derajat kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang berlandaskan pada studi. Sedangkan
kesucian jiwa menurutnya tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal
badaniyah semata, tetapi secara esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-tindakan pemikiran.
Dengan demikian, meski sudak memiliki keutamaan alamiah jasmaniyah, tetap harus ada keutamaan-
keutamaan rasional teoritis.[21]
g. Teori Kebahagiaan

Menurut Al Farabi, kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan itulah tingkat
akal mustafad, dimana ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan demikian,
perilaku berfikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia.[22] Manusia
mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Sebagian di antaranya berupa perilaku
kognitif dan sebagian lain berupa perilaku fisik, serta bukan dengan semua perilaku yang sesuai, tetapi
dengan perilaku terbatas dan terukur yang berasal dari berbagai situasi dan bakat yang terbatas dan
terukur. Perilaku berkeinginan yang bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan adalah perilaku yang baik.
Situasi dan bakat yang menjadi sumber perilaku yang baik adalah adalah keutamaan-keutamaan.
Kebaikan tersebut bukan semata-mata untuk kebaikan itu sendiri, tetapi kebaikan demi mencapai
kebahagiaan. Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku yang buruk.
Situasi dan bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.

h. Logika

Sebagian besar karya Al Farabi dipusatkan pada studi tentang logika. Tetapi hal ini hanya terbatas pada
penulisan kerangka Organom, dalam versi yang dikenal oleh para sejarah Arab pada saat itu. Al Farabi
menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan
pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari
kesalahan-kesalahan’. Menurrutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana
hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantra dengan syair. Ia menekankan praktek dan
penggunaan aspek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya,
sebagaimana dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.[23]

i. Teori Pengetahuan

Al Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri
manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau
pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui
dengan daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan
kemanusiaan.[24] Tetapi penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi
segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan
universal dan esensi segala sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.[25]
j. Teori Akal

Al Farabi mengelompokkan akal menjadi dua, yaitu:

§ Akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti di kerjakan; dan teoritis, yaitu yang membantu
menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu:

1) Akal fisik (material), Akal fisik, atau sebagaimana sering di sebut Al Farabi sebagai akal potensial,
adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi
pada setiap hal yang ada tanpa disertai materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual), merupakan rasionalisasi
dari akal fisik, ketika akal fisik telah mengabtraksi maka dengan begitu seseorang kemudian akan mencari
objek untuk membuktikan fisik tersebut karena akal bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika
disandarkan pada objek rasional yang dipikirkan oleh seseoarang sedangkan objek rasional yang belum
dipikirkan adalah potensi.

2) Akal diperoleh (acquired). Ketika akal aktual menghasilkan semua objek akal maka seseorang akan
menjadi manusia sejati dengan mengunkan realisasi akal yang telah dikembangkan.

k. Teori Sepuluh Kecerdasan

Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia, langit dan bumi, ia
menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama
garapannya ialah memecahkan masalah yang Esa dan yang banyak dan pembandingan antara yang
berubah dan yang tetap. Al Farabi berpendapat bahwa yang Esa, yaitu Tuhan, yang ada dengan
sendirinya. Karena itu, ia tidak memerlukan yang lain bagi adanya atau keperluannya. Ia mampu
mengetahui dirinya sendiri. Menurut Al Farabi, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda.
Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.
Jadi, dapat dikatakan bahwa akal Tuhan adalah aqil (berpikir), dan ma’qul (dipikirkan), melalui ta’aqul,
Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau akal
baru yang disebut yang disebut Al Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal yang pertama).
Berkelanjutan dari akal pertama yang ta’aqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan
ta’aqul Tuhan melimpah ke Al Aqlits Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al Falaqul Aqsha
(langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al Aqlits Tsani, memimbulkan
Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul Kawakibits Tsabitah, langit bintang-bintang
tetap. Kemudian Al Aqluts Tsalis melimpah ke Al Aqlur Rabi’ (akal keempat) yang menimbulkan langit
bintang Zuhal (Saturnus). Kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya
langit bintang Musytari (Yupiter). Lalu ke Al Aqlul Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris (Mars).
Selanjutnya ke Al Aqluts Tsabi’ (akal ketujuh) dengan munculnya langit Matahari. Al Aqluts Tsamin
(akal kedelapan) bersama langit bintang Zuhrah (Venus). Al Aqlut Tasi’ (akal kesembilan) dengan langit
bintang ‘Utharid (Merkurius). Akhirnya, Al Aqlul ‘Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul Fa’al
(akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect.

Jumlah inteligensi adalah sepuluh, terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi planet dan
lingkungan. Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al Farabi memecahkan masalah gerak dan perubahan.
Ia menggunakan teori ini ketika memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam
memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan.

2.5 KARYA-KARYA AL FARABI

Al Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan dalam bebrapa
tema, seperti logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, music, dan beberapa tulisan yang berisi tentang
sanggahan pandangan filosof tertentu.[26] Karya-karya Al Farabi diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Risalah Shudira Biha al Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)

b. Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang Jawaban atas Pertanyaan yang Diajukan
tentang-Nya.

c. Syarh Kitab al Sama’ al Tabi’I li Aristutalis (Komentar atas Fisika Aristoteles)

d. Syarh Kitab al Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan
Alam Raya)

e. Al-Jami’u Baina Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (Pertemuan/Penggabungan


Pendapat antara Plato dan Aristoteles)

f. Tahsilu as Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)

g. Fushus al Hikam (Permata Kebijaksanaan)

h. Fususu al Taram (Hakikat Kebenaran)

i. Kitab fi al Wahid wa al Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang maha Esa)

j. As Syiyasyah (Ilmu Politik)

k. Kitab al Millat al Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama)


l. Ihsho’u Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)

m. Arroo’u Ahl al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran Utama Pemerintahan)

n. Al-Siyasah al-Madaniyah (politik pemerintahan)

You might also like