You are on page 1of 8

BAB1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat
pada umumnya. Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir dan batindan
seterusnya tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang diterapkan. Karena demikian
pentingnyamasalah politik ini, maka telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli
terhadapnya. Demikian pula ajaran islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia
secara menyeluruh juga diyakini mengandung kajian mengenai masalah politik dan
kenegaraan. Dalam hubungan ini Ibn Khaldum berpendapat bahwa agama memperkokoh
kekuatan yang telah dipupuk oleh Negara dari solidaritas dan jumlah penduduk. Sebabnya
adalah karena semangat agama bias meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh
satu anggota dari golongan lainnya, dan menuntut mereka kearah kebenaran.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat menyampaikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu politik?
2. Berbagai eksistensi politikdalam islam?
3. Apa itu model penelitian politik ?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat menjelaskan pengertian politik dengan singkat dan jelas.
2. Mengetahui pentingnya eksistensi politik dalam islam dan pengertiannya.
3. Mampu menggunakan penelitian politik dengan benar.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN POLITIK
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta, politik
diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara
pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya, dan dapat pula berarti segala urusan
dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintah sesuatu negara
atau terhadap negara lain.

Sebagai suatu system, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan
tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan iti diberikan; kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung
jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.

Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kataal-


siyasah dan daulah, walaupun kata tersebut dan kata-kata lainnya berkaitan dengan politik
seperti keadilan, musyawarah pada mulanya bukan ditunjukan untuk masalah politik.
Katasiyasah dijumpai pada bidang kajian hokum, yaitu ketika berbicara masalah imamah,
sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang fiqih siyasah. Demikien pula
kata daulah pada mulanya dalam al-Qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta di
kalangan orang-orang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus bergilir atau
berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang kaya (daulah baina agniya), maka
katadaulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu
tangan ke tangan yang lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan dalam
memutuskan perkara dalam kehidupan;dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada
kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk disusui oleh perempuan lain yang
dalam hal ini perlu di musyawarahkan.

B. EKSISTENSI POLITIK DALAM ISLAM

Dikalangan masyarakat islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah


politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang kurang utuh
terhadap cangkupan ajaran islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya mengatakan: “Banyak
orang, bahkan pemeluk islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah komunitas tersendiri
yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri. Banyak orang
beragama islam tetapi hanya menganggap islam adalah agama individual, dan lupa kalau
islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas islam mempunyai kesadaran, struktur
dan mampu melakukan aksi bersama.

Keterkaitan agama islam dengan aspek politik selanjutnya dijelaskan oleh Harun
Nasution bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam islam menurut sejarah bukanlah
persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik. Dan sejarah islam mengatakan
bahwa pemerintan bermula dari bentuk kekerajaan, karena pengangkatan kepala negara tidak
lagi berdasarkan musyawarah secara demokratis, melainkan berdasarkan penunjukan kepada
putra mahkota secara otokratis.
Pemerintahan yang diterapkan oleh Bani Abbasiyah ssama dengan yang yang di
terapkan pada Bani Umayyah, yaitu system kerajaan yang bercorak otokratis. Dan setelah
Bani Abbas hancur pemerintah islam mengambil bentuk Kesultanan, yaitu Kesultanan
Usmani, Kesultanan Safawi dan Kesultanan Moghul yang menerapkan system kekerajaan.
Dan setelah kesultanan itu hancur oleh kaum penjajah maka pemerintahan yang diterapkan
mengikuti kaum penjajah.
Berdasarkan penelusuran kesejarahan tersebut, islam sejak lahirnya telah mengenal
bentuk pemerintahan atau sudah mengenal system politik. Selain itu data sejarah tersebut
juga menunjukan bahwa islam tidak mengenal pemerintahan tertentu. Islam dapat menerima
bentuk dan system pemerintahan apapun sepanjang bentuk dan system pemerintahan tersebut
dapat menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan lahir batin, aman dan damai bagi
seluruh masyarakat.

Keberadaan politik dalam islam dapat dilihat dari munculnya berbagai teori politik,
khususnya khilafah dan imamiyah yang diajukan berbagai aliran. Berbagai aliran politik,
teologo, bahkan juga para filosof sudah berbicara tentang politik. Jika kaum syi’ah
misalnya,mengatakan bahwa kekuasaan pemerintah harus berasal Ali bin Abi Thalib, maka
kaum Sunni tidak menerima paham-paham tersebut. Sementara itu di kalangan Khawarij
terdapat doktrin yang mengatakan bahwa seorang khalifah dapat dijatuhkan oleh rakyat
manakala sudah menyimpang dari syari’at islam yang diyakini paling benar. Sedangkan al-
Ghazali6 dari kalangan Sanni berpendapat bahwa khalifah tiidak dapat dijatuhkan, walaupun
khalifah yang zalim. Menggulingkan khalifah yang zalim tapi kuat, akan membawa
kekacauan dan pembunuhan dalam masyarakat. Dalam kaitan ini al-Ghazali kelihatannya
lebih mementingkan ketertiban dalam masyarakat. Khalifah menyerahkan kekuasaan untuk
memerintah kepada sultan yang berkuasa.
Selain kaum teolog, kaum filosof islam juga mambahas soal politik dalam islam. Al-
Farabi meninggalkan buku bernama al-Madinah al-Fadilah (Negara Terbaik). Ia menguraikan
bahwa Negara terbaik ialah Negara yang dikepalai seorang Rasul. Sementara Ibn Sina juga
berpendapat bahwa Negara terbaik adalah Negara yang dipimpin Rasul dan sesudah itu
Negara yang dipimpin oleh filosof. Khalifah harus orang yang ahli dalam soal hukum
(syari’ah), mementingkan soal spiritualdan moral; dan harus bersikap adil. Ia harus membawa
umat kepada kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.7

Munawir Sjadzali, berdasrkan hasil penelitiannya, menginformasikan bahwa di


kalangan umat islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan islam dan
ketatanegaraan.
Aliran pertama berpendirian bahwa islam bukan semata-mata agama dan pengertian
barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya islam adalah
suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
kehidupan manusia,termasuk kehidupan bernegara.
Aliran kedua berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat, yang
tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama yang serba lengkap
dan bahwa dalam islam terdapat system kenegaraan.
Diantara tokoh-tokoh dari aliran di atas, yang terhitung menonjol adalah Mohammad
Husein Haikal, seorang pengarang islam yang cukup terkenal dan penulis buku Hayatu
Muhammaddan Fi Manzil al-Wahyi.8 Secara hakiki, sejarah pemikiran islam sejak awal
pertumbuhannya termasuk di bidang politik, adalah sejarah aliran mazhab dan firqah.9 Pada
zaman modern, ketika umat islam di hadapkan pada tantangan kolonialisme dan modernism
dalam segala aspek dan seginya, masalah aliran pemikiran islam menjadi semakin rumit.
Sikap yang dapat di ambil dalam keadaan demikian, dengan memandang semua aliran
tersebut adalah islam dan tidak keluar darinya.

C. MODEL-MODEL PENELITIAN POLITIK


Menurut Alfian, permasalahan politik dapat dikajii melalui berbagai macam
pendekatan. Ia dapat dipelajari dari sudut kekuasaan, struktur politik, partisipasi politik,
komunikasi politik, konstitusi, pendekatan dan sosialisasi politik, pemikiran politik, dan juga
kebudayaan politik.10
Memahami berbagai pendekatan dalam masalah politik ini diperlukan selain alat untuk
melakukan kajian, juga untuk melakukan analisa terhadap model penellitian yang kita
lakukan dan yang dilakukan oleh orang lain. Berikut ini model penelitian yang dilakukan oleh
M. Syafi’I Ma’arif dan Harry J.Benda.

1. Model Syafi’I Ma’arif


Salah satu hasil penelitian bidang politik yang dilakukan Syafi’I Ma’arif tertuang
dalam buku yang berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan. Pada bagian pendahuluan laporan
hasil penelitiannya itu, Syafi’I mengemukakan substansi ajaran al-Qur’an mengenai
ketatanegaraan. Dalam kaitan ini dia mengatakan jika perkembangan sosial keagamaan
berlanjut menurut arah ini, maka usaha intelektual yang sungguh-sungguh dalam menjelaskan
dan menyistematiskan berbagai aspek ajaran islam mutlak perlu di galakkan agar ummat
islam punya kemampuan menghadapi dan memecahkan masalah-masalah modern yang
sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia seperti kemiskinan, keterbelakangan ekonomi,
pertambahan penduduk, pendidikan, perkembangan politik dan yang sangat mendesak
mendesak adalah masalah keadilan sosio-ekonomi.

Dengan mengikuti pandangan ini, menurutnya studi al-Qur’an secara mendalam dan
sistematik menjadisangat mutlak diperlukan. Tanpa kerja strategis ini bangunan sosio politik
islamakan tetap goyang, dan tanpa formulasi yang jelas orang yang membicarakan
rekonstruksi sosial ummat islam. Perkataan ummat Islam dalam kaitan ini menurutnya
sebagai sebuah masyarakat Islam yang anggota-anggotanya terdiri dari mereka yang
berorientasi Islam, atau mereka yang memegang Islam secara hidup. Oleh sebab itu hanyalah
karena alasan teknis, muslim abangan menurutnya tidak di masukkan dalam katagori ini.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Fred R. Von der Mehden yang menyatakan bahwa
sekitar 90 persen rakyat Indonesia adalah muslim, tetapi sangat berbeda dengan cara hidup.
Yang paling menonjol dalam jumlah dan kekuasaan politik adalah orang-orang muslim
abangan, terutama yang berdiam di pulau Jawa dan sangat diperbaharui mistik Jawa dan
pengaruh-pengaruh Hindu-Budha yang tidak tampak. Menurutnya sebagian besar angkatan
bersenjata, yang memerintah Indonesia sejak akhir1960-an, berasal darigolongan masyarakat
ini, sebagai satu unsur penting dari birokrasi Negara.

Berkenaan dengan kondisi ke islaman yang demikian itu, maka pada bagian
pendahulan penelitiannya itu, Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa yang ingin ditegaskan ialah
bahwa antara islam cita-cita dan sejarah harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar
gerak maju dari yang real menjadi mungkin, atau agar yang ideal (cita-cita) selalu berada
pada posisi yang lebih tinggi. Islam cita-cita ini sebagaimana yang telah dijelaskan ke dalam
realitas sejarah pada masa Nabi dan beberapa tahun sesudah itu tetap merupakan sumber
inspirasi yang tak habis-habisnya bagi ummat islam sejak saat itu.13 Dalam kaitan ini benar
apa yang dikatakan Taufik Abdullah, bahwa sesungguhnya bukanlah sesuatu yang harus
dianggap sebagai paradoks jika islam sebagai agama wahyu yang universal dan bertolak dari
kesempurnaan dan keabadian doktrin, menampakkan dirinya dalam keragaman yang diwarnai
oleh perjalanan sejarah dan situasi sosial kultural dari masyarakat pemeluknya. Ketegangan
antara doktrin yang abadi dengan manivestasi dalam kehidupan pribadi dan sosial merupakan
faktor utama dari dinamika islam.14 Pada bukunya yang lain Taufik Abdullah mengatakan
tentu saja sikap dan perilaku politik yang memakai sifat islam bermula dari suatu
keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual islam. Tanpa adanya
keprihatinan terhadap keberlakuan dan kelanjutan nilai-nilai spiritual yang merupakan dasar
dari suatu komunitas ini, maka tak dapat dipikirkan adanya sikap politik islam.

Berangkat dari pemikiran latar belakang di atas, Syafi’I Ma’arif berusaha merumuskan
permasalahan penelitiannya, yaitu: sampai seberapa jauh dan beberapa dalam intelektual
muslim dan ulama islam Indonesia memahami jiwa segar dari islam cita-cita sebagai yang
terpancar dalam lingkungan sosiologisnya, yakni lingkungan dimana nabi bergerak dan
bekerja, bukan dalam ukuran-ukuran dan lembaga-lembaga yang diciptakan belakangan.

Namun sungguhpun umat islam Indonesia belum lagi kukuh dalam menciptakan suatu
dasar yang lebih kukuh bagi fondasi intelektual keagamaan mereka, sebagai anggota
pinggiran dari pusat dunia islam, umat islam Indonesia barangkali lebih beruntung setidak-
tidaknya dalam satu segi. Segi itu ialah kenyataan bahwa mereka belum pernah terlibat secara
sungguh-sungguh dalam kontroversi filosofis teologis sebagaimana yang ditemukan
dikalangan para yuris, sarjana, filosof dan teolog muslim abad pertengahan di Timur Tengah,
dan sampai batas tertentu di India dan Pakistan. Karena itu, demikian Syafi’i Ma’arif
mengatakan, lantaran mereka belum terjerat dalam suatu tradisi yang sangat mengikat, maka
cukup beralasan bagi islam Indonesia untuk memulai suatu langkah yang segar bagi
rekonstruksi sosios politik dan moral islam. Rekonstruksi ini haruslah ditegakkan terutama
atas ajaran-ajaran etik al-Qur’an dan sunah Nabi yang sejati. Menurutnya disinilah terletak
tantangan yang sebenarnya bagi islam Indonesia pada waktu yang dekat ini. Dari urain yang
terdapat pada bagian pendahuluan tersebut terlihat bahwa masalah pokok yang ingin diteliti
oleh Syafi’I Ma’arif adalah ingin melihat seberapa jauh tingkat hubungan antara ajaran etil
al-Qur’an dan sunah Nabi yang sejati itu dengan kenyataan empiric dalam sejarah kehidupan
perpolitikan ummat Islam di Indonesia.

Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang handal dan dengan


pendekatan normative historis tersebut, Syafi’I Ma’arif berhasil mengeksplorasi perpolitikan
umat islam Indonesia pada abad ke-20.

Hasil penelitiannya itu, ia tuangkan dalam lima bab yang saling berhubungan secara
organic dan ligis. Bab I adalah pendahuluan. Pada bagian ini ia mengemukakan pengertian
singkat dan tepat tentang al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang bertalian dengan topic kajiannya.
Selanjutnya diikuti dengan Bab II yang mengemukakakn secara hati-hati teori-teori
politikyang dirumuskan para yuris muslim abad pertengahan dan sarjana-sarjana serta
pemikir muslim modern. Selanjutnya pada Bab II dengan bertitik berat pada mendekati islam
Indonesia di abad ke-20, yang tidak saja bersifat diskriptif historis, tetapi juga analisis
evaluatif. Bab ini menurutnya dimaksudkan untuk memberikan suatu latar belakang sejarah
yang komprehensif terhadap topic yang dibicarakan. Penyajian islam menurutnya lebih
diberikan pada penyajian islam sebagai suatu kekuatan pembebas (a liberating force).

Selanjutnya pada bab IV, ia menguraikan secara kritis masalah yang sangat krusial,
yaitu pengajuan islam sebagai dasar falsafah Negara oleh partai-partai islam dan tantangan
kelompok nasionalis dalam sidang-sidang Majelis Konstituante Republik Indonesia.
Pembenturan idiologi antar kedua kekuatan politik itu sangat mewarnai iklim demokrasi
Indonesia pada bagian akhir tahun 1950-an, sedangkan dampaknya masih terasa sampai saat
ini. Prospek dan kemungkinan-kemungkinan hari depan islam di Indonesia juga di masukkan
dalam bab IV. Sedangkan Bab V sebagai kesimpulan dari penelitian itu.

Penelitian tersebut dilakukan dengan alasan karena belum ada studi yang agak lengkap
tentang masalh dasar Negara Indonesia ini, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam
bahasa asing. Karena itu, menurutnya apa yang disajikan disini diharapkan akan sedikit
member kejelasan tentang watak dari arti islam dalam sejarah modern Indonesia, terutama
dalam hubungannya dengan perkembangan dan perubahan politik di negeri ini.

Selanjutnya, Syafi’I Ma’arif mengatakan alas an lain bagi studi ini ialah bahwa suatu
analisa yang mendalam tentang tema pokok dan topik-topik lain dalm esay ini akan
melahirkan tiga hipotesis yang berkaitan secara organik yang perlu dilacak lebih jauh. Tiga
hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Islam di Indonesia, sebagaimana telah disinggungnya pada bagian awal merupakan suatu
agama yang dinamis; ia bergerak perlahan-lahn tapi nampaknya pasti dari posisi kuantitas ke
posisi kualitas.

2. Usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu Negara islam, sekalipun sah menurut
Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan usaha prematur dan tidak realistic
karena sebuah fondasi intelektual keagamaanyang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi
diciptakkan. Erat hubungannya dengan masalah ini, ialah kenyataan bahwa mayoritas rakyat
Indonesia brlum memahami betul arti islam bgi manusia, baik untuk kehidupan individual
maupun kehidupan kolektif.

3. Prospek islam di Indonesia nampaknya banyak tergantung pada kemampuan intelektual


muslim para ulama dan pemimpin-pemimpin islam yang lain untuk memahami realitas
masyarakat mereka, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun kultural serta
menghubungkan nya dengan ajaran- ajaran islam sebagaimana yang tersurat dan tersirat
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang sejati.
Dengan mengikuti urain tersebut, terlihat dengan jelas bahwa model penelitian politik
yang dilakukan Syafi’i Ma’arif sangat baik untuk dijadikan model oleh para peneliti
selanjutnya. Bentuk penelitiannya bercorak diskriptif analitis. Pendektan dan analisis yang
digunakan bersifat normatif historis. Sedangkan data-data yang digunakan bersumber pada
kajian kepustakaan. Berbagai aspek lainnya yang lazim ada dalam penelitian yaitu latar
belakang pemikiran, tujuan, kerangka teori serta manfaat dari penelitian ini juga amat jelas.
2. Model Harry J. Benda

Penelitian di bidang politik dengan menggunakan pendekatan historis dilakukan pula


oleh Harry J. Benda, sebagaimana terlihat dalam bukunya berjudul Bulan Sabit dan Matahari
Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang.

Penelitian tersebut berusaha mencari informasi dari sumber-sumber sesudah perang,


dalam usaha untuk menguji dan memperbaiki gambaran yang telah muncul dari studi catatan-
catatan masa pendudukan. Menurutnya, berbeda berbeda dengan kolonialisme Belanda,
pendudukan Jepang di Indonesia pada umumnya dan perkembangan islam pada tahun-tahun
tersebut khususnya, sejauh ini sangat tidak mendapatkan perhatian dari kalangan penulis-
penulis Indonesia lainnya.

Sejalan dengan upaya tersebut, maka penelitian yang ia lakukan dibuat untuk
memberikan analisa sosio-historis tentang elite islam, dan dalam jangkauan yang lebih kecil,
tentang elite-elite non-religius yang bersaing di panggung politik Indonesia di bawah
kekuasaan asing. Karenanya penelitian tersebut diarahkan pada tempat-tempat yang diberikan
pada pemimpin masyarakat islam oleh tuan penjajah berturut-turut, dan konsistensi
kekuasaan yang terpancar darinya yang melibatkan para pemimpin islam, aristrokrat
Indonesia, dan tokoh-tokoh pergerakan nasionalis Indonesia sekuler di abad ini.

Dilihat dari segi cangkupannya, secara garis besar penelitian ini membahas tentang
perkembangan islam di pulau Jawa saja. Batasan ruang lingkup yang patut disesalkan ini
sebagian besar ditentukan oleh sumber-sumber bahan yang bias di peroleh. Terutama bagi
masa Jepang catatan tertulis dari pulau-pulau lain, dengan beberapa pengecualian kecil, tidak
dapat diperoleh peneliti. Sedangkan efek-efek dari masa pendudukan Jepang terhadap islam
indonesia di Aceh, salah satu daerah islam di Sumatra yang kokoh keislamannya, telah
menjadi pembahasan yang sangat bagus dari monograf Belanda, nasib masyarakat islam di
daerah-daerah yang lain di Nusantara, terutama di Daerah Pantai Barat Sumatra yang penting
itu, masih harus di pelajari secara terperinci.

Bagian pertama, peneliti memasukkan referensi singkat tentang wilayah tersebut,


dimana hal ini kelihatannya sesuai untuk memperbandinkan dan mempertentangkannya
dengan situasi di Jawa, tetapi sayangnya peneliti tidak sanggup melakukan penelitian bagian
ini kedalam zaman Jepang.

Selanjutnya dikatakan dalam buku tersebut, karena aspek politik islam Indonesia
merupakan pokok utama dalam buku tersebut, generalisasai tidak dapat dihindarkan.
Pembahasan seperti ini terpaksa tidak memperdulikan batas dipulau Jawa, dimana cabang-
cabang politiknya, teristimewa di karisedinenan Banten di Jawa Barat, dinilai harus
mendapatkan perhatian tersendiri.

Diantara kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tersebut adalah meskipun islam di
daerah lain tak dapat di sangkal telah memainkan peranan utama di dalam perkembamgan
politik Indonesia, di Jawa menurut Benda telah mendapatkan perwujudan organisatoris paling
penting. Disanalah juga.kelompok-kelompok islam, paling langsung terlibat dalam
membentuk politik Indonesia pada umumnya.

Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa model penelitian yang dilakukan Harry J.
Benda mengambil untuk penelitian kepustakaan dengan corak penelitian diskriptif, dengan
menggunakan pendekatan analisis sosio-historis, sebagaimana penelitian yang dilakukan
Syafi’I Ma’arif tersebut di atas.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari materi yang telah di bahas dapat disimpulkan bahwa politik diartikan sebagai
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-
dasar pemerintahan dan sebagainya, dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintah sesuatu negara atau terhadap
negara lain.
Permasalahan politik dapat dikajii melalui berbagai macam pendekatan. Hal tersebut
dapat dipelajari dari sudut kekuasaan, struktur politik, partisipasi politik, komunikasi politik,
konstitusi, pendekatan dan sosialisasi politik, pemikiran politik, dan juga kebudayaan politik.
Ada dua jenis model penelitian politik yakni model penelitian politik yang dilakukan
oleh Syafi’i Ma’arif dan Harry J. Benda yang mana terlihat bahwa model penelitian yang
dilakukan Harry J. Benda mengambil untuk penelitian kepustakaan dengan corak penelitian
diskriptif, dengan menggunakan pendekatan analisis sosio-historis, sebagaimana penelitian
yang dilakukan Syafi’I Ma’arif.

DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.H. Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam, PT Raja Grasindo Persada, 2004

Ibn Khaldun, Filsafat Islam tentang Sejarah , (terj.) Charies Issawi, dari judul asli An Arab
Philosophy of History, (Jakarta; Tintamas, 1976) cet. II, halm. 180
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam , (Bandung: Mizan, 1997), cet I. Hal 27.
Lihat Harun Nasution, Op, cit. halm 93; Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (terj) Abu Laila
dan Mohammad Tohir dari judul asli Yaum al-Islam (Bandung; Rosa, 1987) cet I, halm 87.
Ahamd Syafi’I, Studi Tentang Percaturan Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:
LP3ES, 1985), cet I, hlm 4.

You might also like