You are on page 1of 16

JOURNAL READING

OTITIS MEDIA EFUSI SETELAH RADIOTERAPI PADA KEPALA DAN


LEHER: SYSTEMATIC REVIEW

DISUSUN OLEH:
Lisye Elsina Kareni G99171023
Fairuz Zahidah G991902019
Bias Ayu Rentang Sukma G99172053
Fathia Sri Mulyani G991902020
Mutia Azmi Suswandari G99172119

PEMBIMBING:
dr. Putu Wijaya Kandhi, Sp.THT-KL(K).,FICS

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK,
BEDAH KEPALA, DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019

0
Otitis media with effusion after radiotherapy of the head and neck: a
systematic review

J. G. Christensen, I. Wessel, A. B. Gothelf, P. Homøe

Acta Oncologica. 2018 April; 1(1):1-6

CRITICAL APPRAISAL

General Description
1. Design : A comprehensive search systematic review.
2. Subject : Eleven observational cohort studies, seven retrospective
and four prospective studies.
3. Title : Interesting, concise, explicit, and straightforward
4. Authors : Clearly written institution and there is a correspondence
address.
5. Abstract : Clear and appropriate rules.
6. Introduction : Consist of seven paragraphs and contains the background,
theory, and objectives of the systematic review.

Level of Evidence
Level 2a (Systematic review of cohort studies)

P-I-C-O Analysis
1. Population :
A systematic review on eleven observational cohort studies, seven
retrospective and four prospective studies. The number of patients per
study ranged from 17 to 175. The mean age varied between studies from
43 years to 56 years. Eught studies included patients with nasopharyngeal
cancer, one study included parotid cancer, and two studies included
patients with mixed cancer locations in the head and neck area.
2. Intervention : No intervention.

1
3. Comparison : No comparison.
4. Outcome :
OME is seemingly a common adverse event after RT to the upper head
and neck area and can be further complicated by CSOM.

V-I-A Analysis
1. Validity :
This study was using standardized guideline for systematic reviews.
2. Importance :
Systematically evaluate the incidence or RT-induced OME of patients with
head and neck cancer.
3. Applicability :
The research may be valuable to give some informations that OME is
seemingly a common adverse event after RT to the upper head and neck
area and can be further complicated by CSOM.

2
Otitis Media Efusi Setelah Radioterapi pada Kepala dan Leher: Systematic
Review

Diterjemahkan dari:
Otitis Media with Effusion after Radiotherapy of the Head and Neck:
a Systematic Review

J. G. Christensen, I. Wessel, A. B. Gothelf, P. Homøe

Acta Oncologica. 2018 April; 1(1):1-6

Abstrak
Latar belakang: Otitis media (OM) dan gangguan pendengaran yang
berhubungan dengannya, mungkin merupakan efek samping dari radioterapi
kepala leher dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kondisi ini berhubungan
dengan lokasi tumor.
Tujuan: Untuk menampilkan systematic review mengenai pengetahuan terbaru
tentang risiko OM setelah radioterapi kepala leher.
Metode: Pencarian komprehensif di PubMed dan Embase dilakukan antara 1
Oktober 2015 sampai 6 Februari 2017. Strategi pencarian mengikuti guideline
PRISMA untuk systematic review.
Hasil: Dari 597 artikel 11 memenuhi kriteria inklusi. Tujuh adalah retrospektif
dan 4 prospektif. Tidak ada randomized controll trials. Delapan studi mengenai
kanker nasofaring. Satu studi mengenai kanker kelenjar parotis dan dua studi
mengenai kanker di lokasi lain pada kepala leher. Metaanalisis tidak dapat
dilakukan karena studi yang heterogen. Insidensi OM bervariasi (8-29%).
Kesimpulan: Insidensi OM tinggi setelah radioterapi kanker di area kepala leher
dan dosis iradiasi tuba eustachius berhubungan dengan perkembangan OM, tetapi
literaturnya masih sedikit. Penelitian dibutuhkan untuk pasien yang berisiko
mengalami OM setelah radioterapi. Terutama melalui analisis hubungan dosis
antara tuba eustachius dan telinga tengah, dan perkembangan dari OM. Laporan
mengenai OM seharusnya per telinga dan mengikuti protokol standar dari

3
penilaian telinga tengah sebelum dan sesudah radioterapi. Selanjutnya, dibutuhkan
cara yang baru untuk mencegah dan mengobati OME akibat radiasi, terutama
melalui randomized controll trials.

Pendahuluan
Radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi adalah perawatan lini pertama
pada kanker kepala leher. Tetapi radioterapi dan cisplatin bisa merusak organ
pendengaran.
Disfungsi tuba eustachius dan otitis media adalah efek samping radioterapi
pada pasien kanker kepala leher, dengan gejala sakit telinga, sekret purulen
kronis, tinnitus, penurunan pendengaran, dan berkurangnya kualitas hidup secara
signifikan.
Lebih dari 40 % pasien kanker nasofaring menderita otitis media efusi saat
terdiagnosis, karena obstruksi mekanis dan pertumbuhan tumor pada kartilago
tuba eustachius. Sebenarnya, gejala penyakit telinga tengah merupakan gejala
pertama yang sering membuat pasien pergi ke dokter dan mungkin merupakan
alasan mengapa otitis media sering terdiagnosis pada pasien tersebut.
Radioterapi mengurangi insidensi dari OME pada pasien dengan OME
karena oklusi tumor di tuba eustachius. Meskipun begitu, banyak pasien tanpa
masalah telinga tengah sebelum radioterapi mederita OME setelah perawatan. Hal
tersebut disebabkan karena proses inflamasi dan fibrosis jaringan lunak pada
orofaring, tenggorokan, dan telinga tengah yang menyebabkan disfungsi tuba
eustachius dan pertukaran gas abnormal di telinga tengah. Insidensi OME dan
otitis media kronis dengan atau tanpa sekret meningkat seletah radioterapi.
Perawatan OME akibat radioterapi masih kontroversial. Insersi tabung
ventilasi ke membrane timpani merupakan terapi yang secara normal efektif untuk
pasien OME yang belum mendapatkan radioterapi. Tetapi, insersi tabung ventilasi
menimbulkan komplikasi seperti perforasi kronis membran timpani dan lebih dari
38% mengalami otitis media kronis dengan atau tanpa supurasi. Insersi tuba
menjadi tidak standar sebagai terapi OME akibat radioterapi.

4
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi secara sistematis insidensi
OME akibat radioterapi pada pasien dengan kanker kepala leher menggunakan
guideline PRISMA.

Metode
Tinjauan pustaka pada review ini diidentifikasi dengan pencarian
komprehensif dari PubMed dan Embase, 1974-2017, tanpa keterbatasan bahasa
dan dengan pertolongan ahli perpustakaan.
Strategi pencarian dengan guideline PRISMA untuk systematic review dan
kata kunci ‘radioterapi’ dikombinasikan dengan ‘neoplasma kepala dan leher’
dikombinasikan dengan ‘otitis media’ dan kombinasi sinonim dari kata-kata
tersebut. Pencarian dibatasi hanya pada artikel.
Strategi pencarian lengkap untuk MEDLINE di PubMed adalah: (((‘Head
and Neck Neoplasms’[Mesh])) AND (‘Radiotherapy’ [Mesh] OR ‘Heavy Ion
Radiotherapy’[Mesh] OR ‘Radiotherapy, Image-Guided’[Mesh] OR
‘Radiotherapy, Intensity-Modulated’ [Mesh] OR ‘Radiotherapy,
Conformal’[Mesh] OR ‘Radiotherapy, Adjuvant’[Mesh] OR ‘Radiotherapy, High-
Energy’[Mesh] OR ‘Radiotherapy, Computer-Assisted’[Mesh] OR ‘Radiotherapy
Planning, Computer-Assisted’[Mesh] OR ‘Radiotherapy Dosage’[Mesh])) AND
((((‘Otitis’[Mesh] OR ‘Otitis Media, Suppurative’[Mesh] OR ‘Otitis Media with
Effusion’[Mesh] OR ‘Otitis Media’[Mesh])) OR (‘Hearing Loss’[Mesh] OR
‘Hearing Loss, Mixed Conductive-Sensorineural’[Mesh] OR ‘Hearing Loss,
Unilateral’[Mesh] OR ‘Hearing Loss, Sensorineural’[Mesh] OR ‘Hearing Loss,
High-Frequency’[Mesh] OR ‘Hearing Loss, Functional’[Mesh] OR ‘Hearing
Loss, Conductive’[Mesh] OR ‘Hearing Loss, Bilateral’[Mesh])) OR ‘Eustachian
Tube’[Mesh]).
Strategi pencarian yang sama juga digunakan pada Embase. Pencarian
dilakukan antara 1 Oktober 2015 dan 6 Februari 2017.
Semua studi pustaka dilakukan skrining judul dan abstraknya. Dua peneliti
independen mengevaluasi artikel secara kritis untuk sintesis kualitatif. Studi

5
pustaka hanya dimasukkan jika dilaporkan otitis media terjadi setelah radioterapi.
Pemeriksaan telinga tengah harus dilakukan sebelum dan sesudah radioterapi.
Kriteria eksklusi berikut diaplikasikan untuk literature review: bahasa
selain Bahasa Inggris, tumor intrakranial laporan kasus, review, surat atau abstrak
konferensi, operasi telinga tengah atau tuba eustachius sebagai bagian dari terapi,
usia kurang dari 18 tahun, tidak tersedia abstrak atau naskah yang lengkap, kurang
dari 10 pasien, tumor otoakustik dan eksperimen binatang.

Hasil
Seleksi dan Hasil Pencarian
Pencarian literatur menghasilkan 597 daftar setelah penghapusan duplikat.
Total dari 445 artikel dieksklusikan setelah skrining judul. Empat belas studi
pustaka dieksklusikan setelah critical appraisal melalui guideline PICO dari
evidence based medicine, mengarah ke 11 studi pustaka (Gambar 1).
Studi Pustaka
Tidak ada RCT yang tersedia untuk analisis. Ada 11 studi pustaka yang
merupakan studi kohort observasional, tujuh studi retrospektif, dan 4 studi
prospektif. Jumlah pasien setiap studi pada rentang 17 sampai 175. Rata-rata usia
pada studi adalah 43 tahun sampai 56 tahun. Delapan studi termasuk pasien
dengan kanker nasofaring, satu studi termasuk kanker parotis, dan dua studi
termasuk pasien dengan kanker campuran pada kepala dan leher. Waktu follow up
dibedakan dari 3 sampai 146 bulan (Tabel 1).
Insidensi OME akibat radioterapi yang dilaporkan antara 8 dan 29%. Studi
dirangkum di bawah ini.

6
Gambar 1. Diagram PRISMA 2019.

7
Tabel 1. Karakteristik studi yang termasuk dalam systematic review menggunakan PubMed dan Embase antara tahun 1974 dan 2017,
mengenai insidensi otitis media efusi, otitis media kronik dan tuli konduksi setelah RT.

8
Kanker Nasofaring
Hsin et al., melalui studi retrospektif 105 pasien (210 telinga) dengan
kanker nasofaring yang diterapi dengan IMRT (Intensity Modulated Radio
Therapy), termasuk semua stadium kanker. Pemeriksaan telinga dilakukan setiap
bulan pada 2 tahun pertama setelah terapi. Audiometri nada murni dilakukan
setiap tahun setelah terapi dan ketika dicurigai efusi. Jika OME terdiagnosis,
timpanosintesis atau miringotomi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Setelah radioterapi, insidensi OME pada telinga yang normal sebelum
radioterapi (132 telinga) adalah 24/132 telinga (18 %) dan 9/132 telinga (7%)
mengalami OMSK. Pada total 33/132 telinga (25%) mengalami OM setelah
radioterapi. Masih belum jelas apakah OMSK terjadi akibat timpanosintesis atau
miringotomi.
Wakisaka et al., secara retrospektif mengulas 24 pasien kanker nasofaring
(48 telinga) dan mempelajari ototoksisitas ipsilateral dan kontralateral jangka
panjang akibat radioterapi. Otoskopi dan audiometri nada murni dilakukan dalam
2-3 bulan untuk setidaknya 12 bulan. OME dan OMSK didiagnosis dengan
otoskopi dan penurunan pendengaran dengan audiometri.
Peneliti menemukan bahwa 7/24 pasien (29%) mengalami OME pada
telinga kontralateral dari tumor dan 2/24 pasien (8%) mengalami OMSK 1, 3, dan
4 tahun setelah radioterapi. Setelah terapi, insidensi penurunan pendengaran
konduktif menurun pada telinga ipsilateral dari tumor (dari 63% ke 13%) dan
meningkat pada telinga kontralateral (dari 0% ke 8%).
Wang et al., mengulas 150 (261 telinga) pasien kanker nasofaring yang
mendapatkan radioterapi. Audiometri nada murni dan timpanometri dilakukan 3
bulan setelah radioterapi dan setiap tahun setelahnya.
Sebelum radioterapi, ada 51/261 telinga (20%) dengan OME. Dua puluh
sembilan dari mereka sembuh setelah radioterapi tetapi 17/210 telinga normal
sebelum radioterapi mengalami OME setelah rata-rata 9,1 bulan setelah terapi.
Kew et al., mengulas secara retrospektif 32 (64 telinga) pasien kanker
nasofaring dan mempelajari pre dan post radioterapi efusi telinga tengah dengan
evaluasi MRI sebelum pada rata-rata 12,5 bulan setelah radioterapi. Tidak ada

9
penilaian otologis dan audiologis yang dilakukan. Dalam rata-rata 13,5 bulan
setelah radioterapi, 15/64 telinga (27%) mengalami OME setelah radioterapi.
Low dan Fong mengulas secara retrospektif 35 (79 telinga) pasien dengan
kanker nasofaring dan mempelajari OME pada radioterapi jangka panjang.
Telinga tengah dievaluasi dengan timpanometri. Follow up antara 2 sampai 8
tahun. Insidensi OME tidak terdapat pada tulisan, tapi bisa dikalkulasi dari data.
16 dari 70 telinga (23%) mengalami OME sebelum radioterapi dan 7/54 telinga
(13%) mengalami OME setelahnya.
Low dan Fong mengevaluasi secara prospektif 33 pasien (66 telinga)
dengan kanker nasofaring yang menerima iradiasi. Otoskopi dan audiometri nada
murni dilakukan rata-rata 6,5 tahun setelah radioterapi. Jika OME dicurigai
setelah otoskopi atau audiometri nada murni, diagnosis dikonfirmasi dengan
timpanometri.
Sebelas dari 66 telinga (17%) mengalami OME, dan 9/66 telinga (14%)
mengalami tuli konduksi setelah radioterapi. Seuruh pasien dengan pendengaran
abnormal mengalami penurunan pendengaran sekunder akibat OME. Tidak ada
pendengaran abnormal akibat tuli sensorineural sebelum atau sesudah radioterapi.
Morton et al., mengevaluasi secara retrospektif 61 (122 telinga) pasien
dengan kanker nasofaring. Efusi didiagnosis dengan otomikroskop dan atau
timpanometri.
Setelah radioterapi, 26% mengalami OME. Empat puluh persen
mengalami otorrhea (OMSK) setelah insersi tabung ventilasi, dan 19% pasien
dengan OME mengalami otorrhea tanpa insersi tabung ventilasi.
Pasien dengan OME dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1: insersi tuba
ventilasi sebelum radioterapi, kelompok 2: insersi tuba ventilasi setelah
radioterapi, kelompok 3: tanpa insersi tuba ventilasi. Ada insidensi yang lebih
besar secara signifikan pada pasien dengan otorrhea dan perforasi persisten pada
kelompok 1 dan 2 (53%) dibandingkan kelompok 3 (19%) (p=0.0497).
Tang et al., mengulas secara retrospektif 175 (350 telinga) pasien dengan
kanker nasofaring. Mereka semua memperoleh radioterapi megavolt. Otoskopi
dan timpanometri dilakukan antara lebih dari 24 bulan. OME dikonfirmasi dengan

10
miringotomi, dengan atau tanpa insersi tuba ventilasi. Setelah radioterapi, 15/175
pasien (9%) mengalami OME.
Kanker Kelenjar Parotis
Jereczek-Fossa et al., mempelajari secara retrospektif 17 (34 telinga)
pasien post-parotidektomi yang memperoleh 3D-conformal radioterapi sebagai
perawatan post-operasi. Audiometri nada murni dan timpanometri dilakukan pada
3, 6, dan 24 bulan setelah radioterapi. Tiga bulan setelah radioterapi, 3/17 pasien
(18%) menunjukan gejala tekanan negatif telinga tengah atau efusi yang
mengalami resolusi secara lengkap pada evaluasi 6 dan 12 bulan. Dosis rata-rata
iradiasi pada tuba eustachius dan telinga tengah adalah 33.0 dan 30.9 Gy.
Kanker Kepala Leher Campuran
Kaul et al., mempelajari secara prospektif 120 pasien dengan keganasan
kepala leher yang dirawat dengan radioterapi. Lokasi kanker yang berbeda
termasuk: 17% karsinoma hipofaring, 20% kanker laring, kavum oris dan
orofaring, 13% dengan kanker kelenjar saliva dan 10% memiliki kanker
nasofaring serta sinus paranasal. Karsinoma esofagus, tiroid, dan okulta primer
ada pada 10% pasien. Semua pasien memperoleh radioterapi radikal. Audiometri
nada murni dilakukan selama pertengahan terapi, di akhir terapi, dan sebulan
sekali selama 3 bulan. Timpanometri dilakukan jika dibutuhkan follow up.
OME muncul pada 23% pasien yang memperoleh radioterapi dengan 4
pasien (3.3%) mengalami OME selama fase awal terapi, sedangkan 24 pasien
tambahan (20%) mengalami OME selama pertengahan terapi. Tidak ada pasien
yang mengalami OME saat follow up setelah 1 bulan.
Upadhya et al., mempelajari secara prospektif 58 pasien dengan kanker
kepala leher yang lokasinya berbeda: laringofaring, orofaring, kavum oris, leher
(nodul dengan kanker primer yang tidak diketahui), sinus maksilaris, parotis, dan
tiroid.
Pasien dengan kanker nasofaring, penurunan pendengaran atau impedansi
audiometri yang abnormal sebelum radioterapi dieksklusikan. Maka dari itu, studi
membandingkan total 70 telinga. Semua pasien dirawat dengan radioterapi

11
eksternal. Pasien diekspos dengan auiometri nada murni dan timpanometri segera
setelah 3 bulan dan 6 bulan pasca radioterapi.
Segera setelah radioterapi, 18/70 telinga (26%) mengalami OME, turun
menjadi 11/70 telinga (16%) dan 4/70 telinga (6%) 3 dan 6 bulan setelah
radioterapi. Tetapi, 6 bulan setelah radioterapi, insidensi disfungsi tuba eustachius
masih tinggi, 22/70 telinga (31%) dan tuli konduksi ditemukan pada 14/70 telinga
(20%).
Hasil pasien seperti gejala telinga, tuli yang signifikan secara sosial atau
kualitas hidup sebelum atau sesudah radioterapi tidak dilaporkan pada semua
studi.

Diskusi
Meskipun OM setelah radioterapi pada kanker kepala leher diketahui di
antara para klinisi, hal ini tidak terdokumentasi dengan baik. Alasannya mungkin
karena folluw up yang hanya fokus secara primer pada deteksi relaps dan bukan
pada efek samping dari terapi. Namun, dengan survival kanker yang lebih baik,
ada peningkatan pada morbiditas dan efek samping. Mulut kering dan masalah
menelan sangat sering setelah radioterapi kepala leher. Tetapi, efek samping yang
lebih ringan seperti masalah telinga tengah mungkin tidak terdeteksi saat follow
up. Hal ini mungkin bisa menjadi kasus untuk 6 studi retrospektif yang termasuk
dalam systematic review.
Pengaruh Dosis
Dosis iradiasi pada struktur otologis dapat sangat bervariasi sesuai dengan
kanker primer dan lokasi metastasis kelenjar getah beningnya. Oleh karena itu,
akan lebih baik jika membandingkan antara insidensi OME untuk kanker primer
yang sama atau bahkan lebih optimal membandingkan dosis iradiasi ke tuba
eustachius dan telinga tengah dengan insidensi OME. Ketergantungan dosis
ditunjukkan oleh Wang et al. dan Yao et al., yang menemukan bahwa insidensi
OME berkurang ketika dosis untuk tuba eustachius dan telinga tengah masing-
masing di bawah 52 Gy dan 46 Gy. Jereczek-Fossa et al. menemukan hubungan
yang serupa. Ketika dosis rata-rata untuk tuba eustachius dan telinga tengah

12
adalah 33.0 dan 30.9 Gy, hanya 18% dari pasien memiliki disfungsi tuba
eustachius sementara dan OME yang sepenuhnya pulih setelah 2 tahun dalam 3
bulan penelitian. Selanjutnya, Upadhya et al. mengevaluasi pasien dengan kanker
primer yang berbeda, yang menghasilkan insidensi 6% lebih rendah pada 6 bulan
penelitian. Ini mungkin mencerminkan berbagai dosis iradiasi pada nasofaring
tergantung pada posisi tumor. Telinga tengah pasien yang pada umumnya akan
terganggu setelah RT karena dosis yang relatif tinggi untuk struktur otologisnya.
Teknik RT baru seperti IMRT telah menunjukkan keuntungan dalam
menyelamatkan organ non-target. Namun, dosis untuk tuba eustachius dan telinga
tengah tetap masih tinggi untuk sebagian besar kanker kepala dan leher bagian
atas, terutama kanker nasofaring, di mana tuba eustachius merupakan bagian dari
targetnya. Sebuah studi tunggal membandingkan IMRT dengan RT dua dimensi
yang menunjukkan bahwa IMRT mampu mengurangi insidensi OMSK secara
signifikan tetapi tidak memiliki pengaruh pada insidensi OME. Manfaat dari
IMRT diharapkan lebih besar ketika tumor terletak lebih jauh dari nasofaring.
Perbedaan Insidensi yang Dilaporkan Berbagai Studi
Insidensi yang dilaporkan dari OME yang diinduksi RT di antara pasien
kanker nasofaring bervariasi antara 8 dan 29%. Terdapat penjelasan berbeda untuk
hal ini. Misalnya, insidensi dihitung dengan cara yang berbeda. Beberapa
penelitian melaporkan kejadian per telinga dan yang lainnya per pasien. Jika
jumlah telinga digunakan, insidensi yang dilaporkan akan lebih rendah karena
telinga dua kali lebih banyak daripada pasien. Ini adalah kasus untuk Hsin et al.
dan Low dan Fong, yang menemukan insidensi OME per telinga masing-masing
18% (25/136) dan 17% (11/66). Wakisaka et al., Kew et al. dan Morton et al.
melaporkan kejadian OME per pasien yang menghasilkan insiden yang lebih
tinggi masing-masing 29%, 27% dan 26%.
Waktu dan interval penelitian juga mempengaruhi insidensi yang
dilaporkan. Waktu yang panjang dan interval yang pendek mendeteksi lebih
banyak kasus OME daripada waktu yang pendek dan interval yang lama. Ini
termasuk kasus untuk studi terbesar seperti yang memiliki interval hingga 24
bulan dan insidensi OME yang rendah yaitu 9% untuk pasien nasofaring.

13
Secara umum, waktu dan interval penelitian bervariasi antara studi, dengan
waktu terpendek adalah 3 bulan dan yang terlama 146 bulan (> 12 tahun). Oleh
karena itu, sulit untuk membandingkan insidensi pada seluruh studi.
Kesimpulannya adalah bahwa penelitian yang panjang dengan interval pendek
memiliki peluang terbaik untuk menemukan pasien dengan OME setelah RT.
Alasan lain bisa jadi adalah jumlah pasien yang relatif kecil yang
dimasukkan dalam penelitian, sehingga jumlah kasus OME yang relatif rendah
pada insidensi yang tinggi.
Deteksi Gangguan Telinga Tengah
Teknik yang diterapkan untuk menegakkan diagnosis OME memiliki
pengaruh pada hasil. Metode klinis yang akurat untuk mendeteksi efusi telinga
tengah adalah timpanometri. Hasilnya disajikan dalam kurva tipe A, menunjukkan
fungsi telinga tengah normal, tipe B, menunjukkan efusi telinga tengah dan tipe C,
menunjukkan disfungsi tuba eustachius.
Otoskopi juga berguna untuk mendiagnosis OME dan OMSK ketika ada
retraksi MT, gelembung udara di belakang MT, perforasi MT atau pengeluaran
discharge kronis dari telinga tengah. Namun, temuan ini tidak selalu jelas dan
pasien dengan OME tanpa gejala nyata karena itu mungkin tidak ditemukan.
Audiometri nada murni juga dapat berkontribusi pada diagnosis OME dan
disfungsi tuba eustachius. Ketika gangguan pendengaran konduktif yang
signifikan ditemukan, maka kemungkinan dapat menjadi OME. Menurut definisi
American Speech Hearing Association, seseorang memiliki gangguan
pendengaran jika audiometri nada murni (baik dalam frekuensi tinggi, frekuensi
rendah atau keduanya) di satu atau kedua telinga lebih buruk dari 15 dB. Namun,
gangguan pendengaran konduktif mungkin ringan dan tidak diperhatikan oleh
pasien dan dokter, bahkan ketika efusi telinga tengah ditemukan.
Semua penelitian yang diteliti menunjukkan lebih dari satu assessment
untuk mendeteksi OME, kecuali untuk Kew et al., yang menggunakan MRI.
Berbagai metode untuk mendeteksi gangguan telinga tengah memiliki kelebihan
dan kekurangan. Untuk mendapatkan evaluasi paling akurat dari telinga tengah
dan konsekuensinya, lebih dari satu penilaian harus digunakan dan harus

14
mencakup otoskopi atau otomikroskopi yang lebih baik, audiometri nada murni
dan impedansi sebelum dan pada tindak lanjut setelah RT dan insidensi OM harus
dilaporkan per telinga. Masalah telinga tengah dan pendengaran yang dilaporkan
pasien juga penting dalam evaluasi efek samping otologis setelah RT. Ada risiko
over-atau under-diagnose OME ketika hanya satu penilaian yang digunakan.
Namun, MRI yang merupakan cara efektif untuk mendeteksi semua efusi telinga
tengah, tidak menjelaskan bagaimana hal itu mempengaruhi alat audiologis atau
pasien. Sangat menarik untuk membandingkan hasil MRI dengan penilaian
audiologis.

Kesimpulan
OME tampaknya merupakan peristiwa buruk yang umum terjadi setelah
RT pada daerah kepala dan leher atas dan dapat lebih rumit daripada OMSK.
OME pasca-RT paling baik dideskripsikan pada kanker nasofaring tetapi juga
diamati pada pasien dengan kanker lain di daerah kepala atas dan leher.
Tampaknya terdapat hubungan antara dosis iradiasi dengan tuba eustachius dan
OME. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengungkapkan apa saja
yang berisiko berkembangnya OME setelah RT melalui analisis hubungan dosis
antara dosis iradiasi dengan tuba eustachius dan telinga tengah dan
berkembangnya OM. OM pasca terapi harus dilaporkan per telinga dan mengikuti
protokol standar penilaian telinga tengah termasuk pemeriksaan otologis,
impedansi dan audiometri nada murni sebelum dan pada tindak lanjut setelah
radioterapi. Selain itu, ada kebutuhan untuk menemukan cara-cara baru untuk
mencegah dan mengobati OME akibat radiasi. Ini dapat diperoleh dengan uji coba
terkontrol acak yang menguji efek latihan ventilasi tuba eustachius selama dan
setelah perawatan terapi iradiasi, misalnya manuver Valsava yang sering atau
penggunaan harian misalnya, balon Otovent®.

Pernyataan Pengungkapan
Tidak ada potensi konflik kepentingan yang dilaporkan oleh penulis.

15

You might also like