You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Media massa kontemporer sering memuat permasalahan sosial

dimana anak menjadi korban permasalahan sosial, misalnya bullying

(perundungan) yang terjadi di lingkungannya. Hal ini sangat menyedihkan,

mengingat anak seharusnya mendapatkan keamanan dan kenyamanan di

lingkungan bermainnya. Undang-undang perlindungan Anak No. 23 Tahun

2002 tentang perlindungan anak, bab III mengenai hak dan kewajiban anak

mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup dan tumbuh, berkembang

dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi (Suyanto, 2015).

Kekerasan merupakan suatu hal yang paling banyak ditakuti oleh

manusia. Baik kekerasan langsung maupun tidak langsung, baik kekerasan

verbal maupun non verbal. Kekerasan bisa terjadi dimana saja. Di rumah, di

lingkungan kerja, bahkan di sekolah sekalipun. Menurut Martono (2012)

kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan

merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Bentuk kekerasan

yang paling sering terjadi di sekolah adalah bullying. Menurut Astuti (2008)

Bullying merupakan suatu tindakan untuk menyakiti orang lain dan

menyebabkan seseorang menderita dan mengganggu ketenangan seseorang.

1
2

Tindakan pengucilan, penganiayaan bahkan intimidasi atau ancaman halus

bukanlah sekedar masalah kekerasan biasa, tindakan ini disebut bullying

karena tindakan ini sudah bertahun-tahun dilakukan secara berulang, bersifat

regeneratif menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban.

Menurut Ken Rigby (2008) bullying merupakan hasrat untuk menyakiti, yang

diaktualisasikan dalam aksi sehingga menyebabkan seorang individu atau

kelompok menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang

ataupun kelompok yang lebih kuat. Biasanya kejadiaannya berulang kali dan

pelaku tersebut melakukan bullying dengan perasaan senang.

Menurut Suyanto (2010) Tindakan kekerasan (bullying) yang

dialami anak-anak adalah perlakuan yang akan berdampak jangka panjang

dan akan menjadi mimpi buruk yang tidak pernah hilang dari ingatan anak

yang menjadi korban. Dampak yang dialami anak-anak yang menjadi korban

tindak kekerasan biasanya kurang motivasi atau harga diri, mengalami

problem kesehatan mental, mimpi buruk, memiliki rasa ketakutan dan tidak

jarang tindak kekerasan teradap anak juga berujung pada terjadinya kematian

pada korban. Korban bullying biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut,

berasal dari keluarga miskin, anak yang mengalami cacat fisik, berasal dari

keluarga yang broken home (perceraian orang tua) atau keluarga yang

menikah dini sehingga menyebabkan belum matang proses pemikiran secara

psikologis. Sedangkan anak yang menjadi pelaku bullying cenderung

memiliki permasalahan dengan keluarganya, misalnya orang tua sering

menghukum anaknya secara berlebihan dan anak tersebut akan mempelajari


3

dan meniru perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi

pada orang tua mereka, kemudian menirukannya kepada teman-temannya.

Menurut Ponny (2009) penelitian yang dilakukan untuk pemerintah

Inggris menyatakan bahwa hampir separuh anak-anak di Inggris (46 persen)

berkata mereka pernah di-bully dan bullying ini tidak memilih umur atau jenis

kelamin korban. Biasanya yang menjadi korban pada umumnya adalah anak

yang lemah, pemalu, pendiam, dan special (cacat, tertutup, pandai, cantik,

atau punya ciri tubuh tertentu), yang dapat menjadi bahan ejekan. Dikutip dari

situs Detik news edisi 8 Mei 2013, terjadi sebuah kasus di Sydney, Australia.

Seorang siswi berusia 13 tahun nekad bunuh diri akibat mengalami perlakuan

tidak menyenangkan. Awalnya ia mencoba membela temannya yang

mendapat tindak kekerasan dari siswa lain namun akibat tindakannya

tersebut, ia juga mendapat perlakuan yang sama.

Di Indonesia sendiri, kasus bullying di sekolah sudah merajalela.

Baik di tingkat sekolah dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Menurut

KPAI, saat ini kasus bullying menduduki peringkat teratas pengaduan

masyarakat. Dari 2011 hingga Agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan

terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di

bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI

sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar,

diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar (Handayani 2008).


4

Sekolah merupakan salah satu institusi pendidikan formal yang

seharusnya mampu memberikan tempat yang aman untuk anak-anak belajar

seperti yang tercantum dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang perlindungan anak bahwa: “Anak di dalam dan di lingkungan

sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru,

pengelola sekolah atau teman- temannya di dalam sekolah yang

bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” Menurut Ardy (2012:98-

105) sekolah yang damai memiliki 9 kriteria, yaitu bebas dari pertikaian dan

kekerasan, memiliki ketentraman, nyaman dan aman, memberikan perhatian

dan kasih sayang, mampu bekerja sama, akomodatif, memiliki ketaatan

terhadap peraturan, mampu menginternalisasikan nilai-nilai agama dan

berhubungan baik dengan masyarakat. Kondisi damai atau peaceful menjadi

kebutuhan setiap sekolah. Namun pada kenyataannya terjadi beberapa kasus

yang menyebabkan sebuah sekolah tidak lagi damai bagi para siswanya.

Menurut Martono (2016) dalam sebuah riset yang dilakukan oleh

LSM Plan International dan International Center for Research on Women

(ICRW) yang dirilis awal bulan Maret 2015 lalu menunjukkan terdapat 84%

anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih

tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Data lain lagi menyebutkan

bahwa jumlah anak sebagai pelaku bullying di sekolah mengalami kenaikan

dari 67 kasus pada 2014 menjadi 79 kasus di 2015.

Menurut Mouhamad Ali (2016) Indonesia adalah negara dengan

tingkat bullying terbesar kedua setelah Jepang. Sementara negara Amerika


5

Serikat berada Belum lama ini terjadi sebuah aksi bullying yang terjadi di

SMAN 3 Jakarta. Aksi ini menimpa seorang siswi kelas X berinisial A (15

tahun) yang mendapatkan perlakuan bullying dari empat seniornya kelas XII.

Kejadiannya bermula saat korban pergi ke sebuah acara ulang tahun

temannya di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Namun, pada saat itulah

korban sedang diantar oleh orang tuanya. Peristiwa ini dilihat oleh para senior

mereka yang ikut diundang dalam acara ulang tahun tersebut. Kejadian ini

berlanjut pada hari Kamis, 28 April 2016 sore seusai pulang sekolah, korban

mendapatkan aksi bullying dari empat seniornya. Korban dibawa ke luar

sekolah dan mendapatkan berbagai intimidasi seperti dimarahi, dimaki-maki,

sampai disiram dengan air teh dalam botol (Handayani, 2017).

Putra (1999) membuat sebuah penelitian pada 6 kota besar di

Indonesia mengenai tindak kekerasan di sekolah. Hasil penelitian

menunjukkan, di Kota Medan dan Surabaya terjadi tindak kekerasan fisik

yang dilakukan oleh siswa. Sedangkan di kota Palembang, Samarinda,

Makasar serta Kupang, terjadi tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh

guru. Dikutip dari detik news edisi 21 Mei 2011, survei yang dilakukan oleh

Amrullah Sofyan dari Plan Indonesia menunjukkan, 300 sampel yang terdiri

dari siswa SD, SMP hingga SMA di dua kecamatan di Bogor, ditemukan 15,3

% siswa SD, 18% siswa SMP dan 16% siswa SMA mengaku pernah

mengalami tindak kekerasan di sekolah. Dari keseluruhan sampel, 14,7%

tindak kekerasan dilakukan oleh guru dan 35,3% dilakukan oleh teman

sebaya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga tersebut


6

terlihat cukup banyak siswa mengalami kasus kekerasan, baik yang dilakukan

oleh guru maupun oleh teman sebaya mereka. Terdapat perbedaan intensitas

tindak kekerasan pada seorang siswa. Ada siswa yang mengalami tindak

kekerasan secara berulang-ulang ada pula yang tidak. Apabila tindak

kekerasan terjadi secara berulang pada satu siswa, maka tindak kekerasan

semacam ini dapat dikategorikan sebagai school bullying.

Seto Mulyadi dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI),

mencatat pada tahun 2007 terjadi 221 tindak kekerasan fisik yang dilakukan

guru kepada muridnya (Abu Huraerah, 2012:105). Salah satu contoh

kasusnya adalah, seorang siswi SD kelas II di Samarinda tidak mau

bersekolah karena takut pada gurunya. Sang guru bertindak kejam karena

siswi tersebut tidak dapat membaca. Beberapa alasan dijadikan guru sebagai

pembenaran atas apa yang dilakukan kepada siswanya. Alasan tersebut

adalah, kurangnya penghayatan guru akan apa yang dikerjakan atau tidak

memiliki ikatan emosional yang konstruktif dengan siswanya, keinginan guru

mengejar target kurikulum dan keinginan guru menerapkan kedisiplinan

kepada murid.

Sedangkan kekerasan yang dilakukan dari satu siswa ke siswa lain

atau dari sekelompok siswa ke siswa lain, dapat disebabkan oleh faktor

senioritas, tradisi senioritas, faktor keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah

yang tidak harmonis, karakter individu itu sendiri serta persepsi nilai yang

salah atas perilaku korban bullying (Retno A, 2008). Bullying sering tidak

ditanggapi secara serius oleh orang tua, orang tua cenderung melimpahkan
7

kasus tersebut kepada guru. Menurut Steven (2008) bullying akan menjadi

lebih sering dilakukan karena minimnya respon orang tua dan guru.

Orang tua merupakan model yang seharusnya memberikan contoh

yang terbaik bagi anak dalam keluarga selain itu sikap dan perilaku orang tua

harus mencerminkan akhlak yang mulia sehingga apa yang dilakukan orang

tua kepada anaknya biasanya akan diresapi anak sehingga dari situlah

kepribadian seseorang terbentuk (Effendi, 2010).

Koentjaraningrat (dalam Djamarah 2014) menyatakan bahwa orang

tua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing

anak. Cara dan pola tersebut akan berbeda antara satu keluarga dengan

keluarga lainnya. Pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan

perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama

mengadakan kegiatan pengasuhan.

Pola asuh orang tua sering dikenal sebagai gaya dalam memelihara

anak atau membesarkan anak mereka selama mereka tetap memperoleh

keperluan dasar yaitu makan, minum, perlindungan, dan kasih sayang.

Santrock (2002) menyatakan bahwa pola asuh adalah cara atau metode

pengasuhan yang digunakan oleh orang tua agar anak-anaknya dapat tumbuh

menjadi individu-individu yang dewasa secara sosial. Selanjutnya, Toha

(1999) menyatakan bahwa salah satu faktor utama keberhasilan pendidikan

adalah pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap

perkembangan anak. Secara epistemologi kata pola diartikan sebagai cara

kerja, dan kata asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil,
8

membimbimbing (membantu, melatih) supaya dapat berdiri sendiri, atau

dalam bahasa populernya adalah cara mendidik. Secara terminologi pola asuh

orang tua adalah cara terbaik yang ditempuh oleh orang tua dalam mendidik

anak sebagai perwujudan dari tanggung jawab kepada anak.

Menurut Djamarah (2014) pola asuh orang tua dalam keluarga

berarti kebiasaan orang tua, ayah, dan ibu dalam memimpin, mengasuh dan

membimbing anak dalam keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga dengan

cara merawat dan mendidiknya. Membimbing dengan cara membantu,

melatih dan sebagainya yang dilakukan baik ibu maupun ayah. Pola

pengasuhan yang dilakukan orang tua oleh anaknya mempunyai cara

mengasuh yang berbeda-beda antara orang tua yang satu dengan orang tua

yang lainnya. Dalam mengasuh anaknya, orang tua memberikan perhatian,

aturan, displin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan

anaknya. secara langsung anak akan meresapi dan kemudian menjadi

kebiasaan bagi anak-anaknya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Yusuf

(2010) terdapat berbagai jenis gaya pola asuh orang tua untuk mendidik

anaknya didalam keluarga yaitu: otoriter (authoritarian), demokratis

(authoritative), permisif (permissive).

Hal diatas sesuai dengan pendapat Baumrind (Papalia, 2009:410)

yang berpendapat bahwa orang tua yang otoriter adalah orang tua yang

menghargai kontrol dan kepatuhan tanpa banyak tanya. Mereka berusaha

membuat anak mematuhi standar perilaku dan menghukum mereka secara

tegas jika melanggarnya. Mereka lebih mengambil jarak dan kurang hangat
9

dibanding dengan orang tua yang lain. Akibatnya, anak mereka cenderung

menjadi lebih tidak puas, menarik diri, dan tidak percaya terhadap orang lain.

Orang tua yang permisif adalah orang tua yang menghargai ekspresi diri dan

pengaturan diri. Mereka hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan

anak memonitor aktivitas mereka sendiri sedapat mungkin. Ketika membuat

aturan, mereka menjelaskan alasannya kepada anak. Mereka berkonsultasi

dengan anak mengenai keputusan kebijakan dan jarang menghukum. Mereka

hangat, tidak mengontrol, dan tidak menuntut. Orang tua demokratis adalah

orang tua yang menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan

batasan-batasan sosial. Mereka percaya akan kemampuan mereka dalam

memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan mandiri, minat, pendapat,

dan kepribadian anak. Mereka menyayangi dan menerima, tetapi juga

meminta perilaku yang baik, tegas dalam menetapkan standar, dan berkenan

untuk menerapkan hukuman yang terbatas dan adil jika dibutuhkan dalam

konteks hubungan yang hangat dan mendukung. Mereka menjelaskan alasan

dibalik pendapat mereka dan mendorong komunikasi verbal timbal balik.

Dikehidupan sehari-hari orang tua tidak hanya secara sadar, tetapi

juga terkadang secara tidak sadar memberikan contoh yang kurang baik

kepada anak. Misalnya, meminta tolong kepada anak dengan nada yang keras

dan membentak, orang tua tidak bisa menjadi tempat bercerita untuk anaknya,

berbicara kasar pada anak, tidak memberikan kebebasan anak untuk

menyampaikan apa yang ia inginkan, kurang memberikan kepercayaan

kepada anak untuk melakukan sesuatu dan sebagainya. Dari pendapat diatas
10

dapat dikatakan bahwa dampak negatif dari sikap, perilaku, dan kebiasaan-

kebiasaan orang tua dalam mengasuh anaknya akan menyebabkan anak

tersebut mempunyai sikap yang seharusnya tidak ada didalam dirinya

misalkan anak akan memiliki sifat keras hati, keras kepala, manja, pendusta,

pemalas, dan rendahnya percaya diri anak (Nurofiah, 2008).

Kartono (2002) mengungkapkan pola kriminal ayah, ibu atau salah

seorang anggota keluarga dapat mencetak pola kriminal hampir semua

anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu tradisi, sikap hidup, kebiasaan dan

filsafat hidup keluarga itu besar sekali pengaruhnya dalam membentuk

tingkah laku dan sikap setiap anggota keluarga. Dengan kata lain tingkah laku

kriminal orang tua mudah sekali menular kepada anak-anaknya. Dan perilaku

ini sangat mudah di tiru oleh anak-anak puber dan adolescence yang belum

stabil jiwanya dan tengah mengalami banyak gejolak batin. Lebih lanjut,

Kartono (2002) menyatakan bahwa situasi dan kondisi lingkungan awal

kehidupan anak, yakni keluarga (orang tua dan kerabat dekat), sangat

mempengaruhi pembentukan pola delinkuen anak-anak dan para remaja.

Dari beberapa literatur dan hasil penelitian yang terkait dengan

kenakalan remaja Santrock (2002) menyatakan bahwa salah satu faktor

penyebab timbulnya kenakalan remaja ini adalah tidak berfungsinya orang tua

sebagai figur teladan yang baik bagi anak. Kenakalan-kenakalan yang

dilakukan oleh remaja dibawah usia 17 tahun yang disebabkan oleh kondisi

tersebut juga sangat beragam mulai dari perbuatan yang bersifat amoral

maupun anti sosial. Seperti berkata jorok, mencuri, merusak, kabur dari
11

rumah, indispliner di sekolah, membolos, membawa senjata tajam, merokok,

berkelahi dan kebut-kebutan di jalan sampai pada perbuatan yang sudah

menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum,

seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-

obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan

dimedia-media masa.

Sekolah merupakan tempat bagi seorang anak memperoleh

pendidikan secara formal, sekolah juga berfungsi untuk mencanangkan

program pendidikan yang mampu mewadahi seluruh bakat serta kecerdasan

tersebut untuk membentuk sumber daya manusia yang lebih baik lagi.

Pendidikan merupakan proses, cara atau perbuatan mendidik. Pendidikan

bertujuan mengubah tata laku atau sikap seseorang dengan jalan membentuk

sikap atau perilaku orang tersebut. Perilaku akan membentuk kepribadian

seseorang. Kepribadian berkaitan dengan pola penerimaan sosial. Djaali

(2011:1) mengungkapkan seseorang dengan kepribadian sesuai pola yang

dianut masyarakat akan mendapat penerimaan yang baik. Sebaliknya, apabila

seseorang memiliki kepribadian yang bertentangan dengan pola yang dianut

masyarakat maka ia akan mendapat penolakan dari masyarakat tempatnya

hidup. Pendidikan berfungsi membentuk kepribadian setiap siswa agar dapat

diterima oleh masyarakat tempat ia tinggal. Selama ini, pendidikan di sekolah

menekankan pada keberhasilan akademik saja. Padahal, keberhasilan lain

yang tidak kalah penting adalah keberhasilan dalam membentuk pribadi

siswa.
12

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di MTs,S swasta Pulo

Tige Kecamatan Permata kabupaten bener meriah tahun 2019 di ketahui

bahwa siswa sering mengalami perilaku bullying yang berupa pengucilan

pada seorang siswi yang memiliki banyak kutu rambut, sebut saja LM.

Teman-teman di sekitar LM merasa tidak nyaman dan memilih menjauhi LM.

Pengucilan ini membawa dampak negatif bagi LM, seperti rasa minder, malu

dan tertekan karena merasa tidak memiliki teman. Perilaku bullying yang

kedua adalah meledek. Selain dijauhi atau dikucilkan, guru juga menjelaskan

ada seorang siswa putra sebut saja JS yang berkali-kali meledek LM hingga

menyebabkan LM menangis. Menurut guru, JS seharusnya sudah menjadi

siswa SMA. Perbedaan umur ini menjadi salah satu penyebab dari kenakalan

yang dilakukan oleh JS. Guru berpendapat JS tidak takut pada teman

sekelasnya karena ia lebih tua dan bertubuh lebih besar dari teman

sekelasnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar bekang masalah diatas yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah yang menjadi faktor yang berhubungan antara pola asuh orang tua

dengan perilaku bullying di MTs,S Pulo Tige Kecamatan Permata

kabupaten bener meriah tahun 2019?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perilaku bullying

di MTs,S Pulo Tige Kecamatan Permata kabupaten bener meriah tahun

2019?
13

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas yang menjadi tujuan dalam

penelitian ini adalah :

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor yang berhubungan antara pola asuh orang

tua dengan perilaku bullying.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui faktor yang berhubungan antara pola asuh orang tua

dengan perilaku bullying di MTs,S Pulo Tige Kecamatan Permata

kabupaten bener meriah .

b. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku

bullying di MTs,S Pulo Tige Kecamatan Permata kabupaten bener meriah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan teori yang

berkaitan dengan faktor faktor yang berhubungan dengan pola asuh orang tua

terhdap perilaku bullying.


14

2. Secara Praktis

a. Bagi Responden

Menambah wawasan dan pengetahuan tetang pentingnya memberikan pola

asuh yang tepat pada anak untuk menghindari perilaku bullying anak di

sekolah.

b. Bagi Institusi

Dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau

sebagai masukan dalam membuat suatu kebijakan khususnya dalam upaya

mencegah dan mengatasi perilaku bullying anak di sekolah.

c. Institusi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu keperawatan

mengenai pola asuh orang tua terhadap anak.

d. Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat digunakan masyarakat sebagai pedoman pengetahuan

dan informasi tentang perilaku bullying anak di sekolah, serta untuk

menambah masukkan bagi setiap orang tua bahwasannya pola asuh orang

tua sangat mempengaruhi perilaku anak.

e. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan referensi dan sebagai bahan tinjauan keilmuan dalam

bidang kesehatan terutama tentang adakah hubungan faktor-faktor yang

mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap perilaku bullying anak di

sekolah.

You might also like