Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
menerkan unit-unit usaha kecil di Indonesia. Terkaman ini tak lain adalah karena
serbuan produk asing, teutama dari China yang lebih murah dan kualitas yang
mumpuni. Ini diperkuat oleh Racmad (2009), bahwa masih sangat banyak pengusaha
UMKM yang belum tersentuh oleh perbankan dan jasa keuangan lainnya, yaitu hanya
sebesar 11,78 persen saja yang mendapatkan permodalan dari perbankan. Lebih
parahnya lagi birokrasi yang rumit semakin memperburuk perkembangan UMKM
yang ada. Sehingga baik secara finansial maupun harga output, UMKM Indonesia
masih belum siap sepenuhnya menghadapi ACFTA.
Biarpun menuai kotroversi, tapi segala kebijakan dari ACFTA telah
diberlakukan. Yang menjadi persoalan saat ini yaitu bagaimana memperkuat sektor-
sektor pendukung industri Indonesia guna menghadapi ACFTA. Sebenarnya ada
banyak cara untuk memperbaiki itu semua. Mulai dari revitalisasi kelembagaan
hingga revitalisasi industri. Untuk menggabungkan kedua hal tersebut, pemberlakuan
badan usaha yang berbasis keunggulan daerah (kearifan lokal) merupakan salah satu
hal solutif dan sangat baik untuk diimplementasikan agar menjadi pintu gerbang
menuju kebersiapan dalam konteks globalisasi kontemporer. Pasalnya, tiap-tiap
daerah sesungguhnya memiliki keunggulan yang berbeda-beda yang mana dari
perbedaan itulah sekiranya perlu untuk di eksplorasi lebih jauh.
Dengan digali lebih dalam lagi potensi-potensi sumber daya lokal (alam,
manusia, maupun sosial budaya) yang tak dapat dipungkiri lagi hal ini akan menjadi
sebuah energi mekanik yang mampu meningkatkan roda perekonomian negara
keranah yang lebih baik. Adapaun unit-unit usaha menarik yang perlu dikembangkan
untuk menunjukkan keunggulan komparatif (comparative advantege) daerah yaitu
melalui UMKM yang dirancang dalam sebuah lembaga bernama BUMDes (Badan
Usaha Milik Desa). Bukan hanya sekedar BUMDes biasa yang akan dibahas dalam
karya tulis ini, namun BUMDes yang berorientasi pada perdagangan internasional,
utamanya ACFTA. BUMDes akan dibentuk sedemikian rupa (dengan menggunakan
strategi yang lebih inovatif) sehingga mampu mengangkat perekonomian desa, lokal,
dan tentu saja negara pasca diberlakukannya ACFTA. Ini sangat penting mengingat
strategi dalam perdagangan menentukan maju atau mundurnya sebuah badan usaha.
2
1.1 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan
yang diterjemahkan dalam pertanyaan berikut :
1. Bagaimana gambaran umum badan usaha yang dicanangkan dalam bentuk
BUMDes?
2. Seperti apakah kekuatan dari badan usaha yang berbentuk BUMDes dalam
menghadapi ACFTA?
3. Bagaimana strategi pengembangan badan usaha berbentuk BUMDes tersebut?
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Cina yang telah menghasilkan kesepakatan perdagangan dalam barang dan jasa dan
pokok-pokok dispute settlements yang kemudian diformalkan ke pertemuan di Laos,
Kamboja.
Secara historis, ASEAN dan Cina menyetujui dibentuknya ACFTA dalam dua
tahapan waktu, yaitu: tahun 2010 dengan negara pendiri ASEAN, yang meliputi
Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina, dan pada tahun 2012 dengan kelima
negara anggota baru ASEAN yakni Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan
Myanmar.
5
ini sama saja dengan hak istimewa yang melekat pada suatu wilayah karena memilki
hak-hak asal-usul. Karena itu, berbeda dengan pemerintah daerah, desa dengan
otonomi desa yang muncul sebagai akibat diakuinya hak asal-usul dan karenanya
bersifat istimewa itu memilki hak bawaan. Hak bawaan desa disini mencakup hak
atas wilayah, sistem pengorganisasian sosial (termasuk sistem kepemimpinan), aturan
dan mekanisme pembuatan aturan di wilayah yang bersangkutan yang mengatur
seluruh warga yang tercakup di wilayah desa yang bersangkutan.
6
diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat. Sebagai lembaga usaha ekonomi desa,
pembentukan dan pengelolaan BUMDes dimaksudkan sebagai instrument seluruh
kegiatan ekonomi mandiri desa (peningkatan Pendapatan Asli Desa/PADes dan
kesejahteraan masyarakat desa), baik yang berkembang menurut adat istiadat/budaya
setempat (kearifan lokal), maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk
dikelola oleh masyarakat desa.
7
ekonomi lokal (sumber daya lokal) baik dari segi alam, manusia, maupun corak
budaya sosial maupun ekonomi. Hal tersebut sesungguhnya juga sesuai dengan
pembangunan yang lebih bernafas keindonesiaan.
Lebih jauh lagi, bahwa sampai saat ini masih banyak daerah yang tidak paham
tentang arah pembangunan daerahnya. Resources yang terbatas sering digunakan
tidak efisien dan efektif. Yang diharapkan sebenarnya adalah daerah seharusnya dapat
memetakan komoditi unggulan di masing-masing daerah sehingga pengembangan
kompetensi daerah bisa diarahkan menuju spesialisasi unggulan (Muhammad, 2006).
Diharapkan ini dapat menunjang perencanaan pembentukan UMKM yang gilirannya
akan mendoktrin masyarakat tentang pentingnya jiwa kewirausahaan
(entrepreneurship) sebagai penopang hidup.
Porter dalam Muhammad (2006) mengemukakan tentang “Competitive
Advantage” yang memaparkan bagaimana suatu daerah itu berkembang sebenarnya
terinspirasi oleh pemikiran school of commodities. Gagasan Porter tentang penentu
keunggulan suatu bangsa itu dipengaruhi oleh faktor yang saling kait mengkait yaitu:
Factor conditions; Firms strategy, Structure and Rivalry; Related and Supporting
Industries; dan Demand Conditions. Adanya cluster of domestics rivals antar pelaku
kegiatan ekonomi yang sama akan mendorong factor creation, dari sini secara terus
menerus akan meningkatkan keunggulan bersaing dalam gugus tersebut.
Tidak sebatas pada itu, sebenarnya potensi lokal dapat dipandang pada
perspektif budaya dan ataupun sekedar etnisitas. Hal inipula yang sampai sekarang
hanya masih menjadi bahan wacana tanpa pengimplementasian yang jelas. Bila kita
membicarakan budaya lokal, maka harus dipandang dalam arti luas. Karena selama
ini masyarakat melihat budaya sebagai suatu perwujudan dari ide yang menonjolkan
estetika dan seni yang dimanifestasikan dalam perwujudan benda/ornamen
kedaerahan yang kasat mata. Hal tersebut bukanlah pengertian dalam keseluruhan
definisi budaya, tetapi hanya bagian khasanah dari kajian budaya. Sebaliknya,
sebagaimana yang dikatakan oleh John Fiske, kebudayaan (culture) dalam kajian
budaya (cultural studies) tidak menekankan sekedar pada aspek estetik ataupun
humanis, melainkan juga aspek politik. Hal ini mirip dengan konsep etnis, dimana
8
etnis adalah aktor/produk yang menghasilkan output berupa kebudayaan. Karena
secara definitif, etnis atau ethnos (dalam bahasa Yunani) dapat dimaknai sebagai
suatu pengertian (identik) pada dasar geografis dalam suatu batas-batas wilayah
dengan sistem politik tertentu (Rudolf, 1986; dalam Yustika, 2009). Hal yang cukup
penting untuk dikaji mengenai masalah kebudayaan bahwa kebudayaan didasarkan
pada model pemikiran yang berbeda, dan harus ungkapan dari bawah dari suatu
masyarakat itu sendiri.
Lebih jauh lagi, Sardar dan Van Loon, dalam Mudana (2007) menunjukkan
ciri-ciri kajian budaya yang cukup beraneka ragam sebagai berikut:
1. Kajian budaya bertujuan meneliti permasalahan pokoknya dari segi praktik-
praktik budaya dan hubungannya dengan kekuasaan. Sasaran tepatnya adalah
menunjukkan hubungan-hubungan kekuasaan dan meneliti bagaimana
hubungan-hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik-praktik
budaya.
2. Kajian budaya tidak semata-mata merupakan kajian kebudayaan yang seolah-
olah merupakan satu entitas manasuka dari konteks sosial dan politik.
Tujuannya adalah untuk memahami kebudayaan dalam seluruh bentuk
kompleksnya dan menganalisis konteks sosial dan politik di mana ia
memanifestasikan dirinya.
3. Kebudayaan dalam kajian budaya selalu melaksanakan dua fungsi: baik objek
kajian maupun lokasi kritisisme aksi politik.
4. Kajian budaya mencoba menunjukkan dan merekonsiliasikan pembagian
pengetahuan, untuk mengatasi keterpisahan antara bentuk-bentuk tacit
knowledge (yaitu, pengalaman intuitif yang didasarkan budaya-budaya lokal)
dan objective knowledge (yang disebut pengetahuan universal). Ia
mengasumsikan suatu identitas umum dan kepentingan umum antara peneliti
dan yang diteliti, antara pengamat dan yang diamati.
5. Kajian budaya setia pada evaluasi moral masyarakat modern dan pada garis
radikal aksi politik. Tradisi kajian tidak merupakan tradisi ilmu pengetahuan
yang bebas nilai tetapi tradisi yang setia pada kontruksi sosial dengan
9
keterlibatan politik kritis. Jadi, kajian budaya bertujuan untuk memahami dan
mengubah struktur dominasi di mana-mana, tetapi khususnya dalam
masyarakat-masyarakat kapitalis industrial.
Secara kajian budaya, di satu sisi kebudayaan dimaknai berupa warisan
ideologis yang secara kuat tertanam dalam setiap diri maupun perilaku individu dan
seolah-olah sudah terlegitimasi dalam konteks turun-temurun dan bersifat tetap.
Tetapi di sisi lain, makna kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis dan berubah terus-
menerus yang beriringan dengan perkembangan zaman. Tetapi yang perlu
digarisbawahi bahwa kebudayaan, khususnya yang bermuatan lokal harus dimaknai
antara budaya tradisi dan budaya yang bersifat adaptif, dimana kita mensintesiskan
antara dua kutub tersebut menjadi suatu energi mekanik yang luar biasa dalam nafas
pembangunan.
Sedangkan bila membicarakan masalah etnis, maka pemaknaannya harus
beriringan dengan masalah budaya itu sendiri. Lebih jauh lagi, sebagai unsur
pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk, kelompok-kelompok etnik ini
memiliki kebudayaan, batas-batas sosial budaya, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri
budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka (Kusnadi, 2005). Kebudayaan
yang dimiliki kelompok etnik ini dijadikan pedoman dalam mereka menjalani
kehidupan sehingga menandai identitas mereka secara keseluruhan. Yang perlu
mendapat perhatian bahwa, kebudayaan dan atribut sosial-budaya sebagai penanda
identitas kelompok etnik memilki sifat stabil, konsisten, dan bertahan lama.
Bila dibenturkan dengan pemaksaan kebijakan oleh pemerintah, maka akan
menimbulkan suatu kerentanan akan kata-kata ”gagal”. Proposisi yang dapat
menjelaskan hal tersebut bahwa dalam kenyataannya, identitas kelompok (struktur
masyarakat dalam pengertian sosiologis) tidaklah homogen dan taken for granted,
tetapi heterogen dan sarat rekayasa (Yustika, 2009).
10
BAB III
METODE PENULISAN
11
(Dharmaseta, 1993). Dalam hal ini, data yang diperoleh berupa data
kualitatif. Data kualitatif merupakan data yang terbentuk kata-kata atau
kalimat yang menjelaskan tentang suatu permasalahan atau fenomena
yang terjadi.
3.2.2 Metode Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan membaca buku-buku literaturdan
makalah
b. Pencarian data melalui internet
Pencarian dilakukan dengan membuka situs-situs resmi instansi
ataupun institusi lembaga swadaya masyarakat.
c. Pengumpulan buku-buku dan literature-literatur yang menunjang
pembahasan makalah ini
Adapun di dalam proses pengumpulan data dilakukan prosedur dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah
2. Penentuan ruang lingkup permasalahan
3. Penentuan kata kunci untuk mempersempit objek data
4. Pengumpulan data
5. Pengetikan data yang relevan serta pengkomunikasian data
12
a. Pengumpulan data (data collection)
b. Reduksi data (data reduction)
c. Penyajian data (data display)
d. Pemaparan dan penegasan kesimpulan (conclution drawing and
verification)
13
BAB IV
PEMBAHASAN
14
mengandalkan pendekatan growth center dan industri sebagai leading sector dalam
strategi pembangunannya. Karena secara teoritik, daerah pinggiran (periphery) akan
berkembang melalui efek penyebaran (spread effects) dan efek tetesan ke bawah
(trickle down effect). Tetapi pada kenyataannya stategi ini tidak berhasil dalam
menyebarkan dan merembeskan efek dari pusat pertumbuhan dan percepatan
transformasi daerah (Fitanto, 2003). Yang terjadi malah adanya kerimpangan secara
brutal. Bahkan Sachs (2006), memaparkan bahwasannya dari keseluruhan negara
berkembang, lebih dari delapan juta orang meninggal setiap tahunnya karena jeratan
kemiskinan. Fakta tersebut jelaslah bahwa peran serta kelembagaan tidaklah
maksimal. Sehingga, perlu adanya revitalisasi kelembagaan yang mampu
memberdayakan masyarakat dari objek menjadi subjek.
Revitalisasi kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat yang dimaksud
secara sistematis haruslah menginternalkan nilai-nilai kelokalan dengan tujuan
mempermudah implementasi kebijakan dan mewujudkan adanya spesialisasi produk
yang menjadi keunggulan daerah (comparative advantage). Pengimplementasian
kebijakan dengan tujuan peningkatan perekonomian diberbagai daerah haruslah
dimulai dari tataran kelembagaan yang paling sederhana yaitu desa. Adapun maksud
dan tujuan kenapa desa dipilih, lantaran agar pengembangan perekonomian negara
mampu merasuk keberbagai elemen masyarakat dan mewujudkan salah satu cita-cita
makro negara yaitu pemerataan. Dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa
merupakan bagian pemerintahan terendah yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri.
Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, pemberlakuan badan usaha yang
dimulai dari tataran desa, diharapkan mampu meningkatkan daya saing produk
melalui spesialisasi yang dalam jangka panjang akan meningkatkan perekonomian
negara. Sebab, pemberdayaan desa merupakan suatu upaya strategis dalam rangka
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah.
Perwujudan badan usaha yang ada di desa ini sering kali dikenal dengan BUMDes.
15
BUMDes sebagaimana amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dimaksudkan sebagai
usaha desa untuk mendorong dan menampung seluruh kegiatan peningkatan
pendapatan masyarakat, baik yang berkembang menurut adat istiadat dan budaya
setempat, maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh
masyarakat melalui program dan proyek pemerintah serta pemerintah daerah.
Sebagai lembaga usaha ekonomi desa, pembentukan dan pengelolaan
BUMDes dimaksudkan sebagai instrument seluruh kegiatan ekonomi mandiri desa
(peningkatan Pendapatan Asli Desa/PADes dan kesejahteraan masyarakat desa), baik
yang berkembang menurut adat istiadat/budaya setempat (kearifan lokal), maupun
kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat (desa)
melalui program/proyek pemerintah dan pemerintah daerah (Muflich:2009).
Pendirian dari BUMDes tidaklah terlalu rumit dan tidak membutuhkan waktu
yang lama. BUMDes dapat didirikan dengan adanya inisiatif dari pemerintah desa
maupun masyarakat. Selain itu, permodalannya dapat diperoleh dari berbagai sumber
baik dari masyarakat, pemerintah desa (aparatur desa), pemerintah pusat dan daerah,
perbankan, maupun hibah.
Realisasi adanya BUMDes keberbagai daerah telah dimulai sejak tahun 2004
silam. Hingga saat ini, beberapa daerah masih belum siap menerapkan BUMDes
lantaran kapasitas kelembagaan yang belum mumpuni. Sekedar sebagai contoh,
Nandang (2010) mengungkapkan, dari total 128 desa yang ada di kabupaten Malang,
hanya 14 desa saja yang mendirikan BUMDes. Hal senada disampaikan oleh Harian
pikiran rakyat (09 november 2009), dari 267 Bumdes yang mendapat bantuan modal
dari pemkab Bandung, hanya 86 Bumdes yang masuk kategori maju/berkembang.
Sungguh ironis melihat fenomena ini mengingat perannya dalam jangka
panjang sangatlah besar, namun pengelolaannya tidaklah dijalankan secara maksimal.
Pale; dalam Darmawangsa (2008), menyatakan bahwasannya sesuatu yang luar biasa
itu tidak akan menjadi luar biasa lagi ketika disikapi dan diperlakukan secara biasa-
biasa saja. Tak dapat dielakkan lagi, sesuatu yang luar biasa yang tertuang dalam
BUMDes haruslah disikapi pula dengan cara yang luar biasa. Lantaran permodalan,
16
pengelolaan, dan pemasaran produk akan lebih efektif dan efisien ketika peran
pemerintah (institusi) mampu dimaksimalkan.
Badan usaha yang berbentuk BUMDes agar lebih baik haruslah
memberdayakan sistem-sistem yang lebih inovatif. Inovatif disini bukan hanya
menekankan pada modernisasi semata tetapi harus ditunjang dengan penginternalan
nilai-nilai kelokalan. Diharapkan, ada pembentukan usaha ekonomi baru yang berakar
dari sumberdaya lokal melalui optimalisasi kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat
desa yang telah ada. Hal ini sekaligus merupakan upaya percepatan pencapaian
pertumbuhan ekonomi perdesaan yang mendasarkan pada peningkatan kesempatan
berusaha bersama dalam rangka mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
17
pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang (NSB)
tetapi juga di negara-negara maju (NM). Di NM, UMKM sangat penting tidak saja
karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja tetapi juga di
banyak negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk
domestik bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari usaha besar (UB).
Menurut Aharoni (1994), jumlah UMKM di Amerika Serikat (AS) sedikit di atas
99% dari jumlah unit usaha. Di Belanda, misalnya, jumlah UMKM sekitar 95% dari
jumlah perusahaan di negara kincir angin tersebut (Bijmolt dan Zwart, 1994). Seperti
di AS, juga di negara-negara industri maju lainnya yang tergabung dalam OECD
seperti Jepang, Jerman, Perancis dan Kanada, UMKM merupakan motor penting dari
pertumbuhan ekonomi dan progres teknologi (Thornburg, 1993).
Berikut ini adalah tabel mengenai peranan UMKM dalam Perekonomian
Indonesia selama tahun 2008. Tabel di bawah ini akan menunjukkan begitu besarnya
kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia.
Pada tabel diatas, kontribusi UMKM terhadap PDB (atas harga berlaku) tahun
2008, UMKM menyumbang sekitar 55,56% dari total PDB. Secara sektoral, pada
18
tahun 2008 peran UMKM di sektor pertanian, perdagangan, dan jasa-jasa cukup besar
yaitu masing masing sebesar 95,26%, 96,34%, dan 95,66%. Kemudian diikuti oleh
sektor keuangan dan jasa perusahaan; jasa-jasa; konstruksi; dan pengangkutan/
komunikasi. Sementara kontribusi UMKM terhadap sektor pertambangan, industri,
dan listrik relatif kecil. Di samping itu, kontribusi UMKM juga terlihat dominan dari
sisi banyaknya unit usaha yang terserap. Jumlah unit usaha dalam yang terserap
dalam UMKM mencapai 99,99% dari total unit usaha, dengan Sumbangan 3 sektor
terbesar mencapai 85%. Tiga sektor terbesar tersebut adalah pertanian, perdagangan,
dan jasa dimana masing-masing menyumbang sebesar 26,40 juta, 14,79 juta, dan 2,18
juta unit usaha.
Selain itu, UMKM turut berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja secara
nasional. Jumlah tenaga kerja yang diserap UMKM mencapai 90,9 juta orang atau
97,10% dari total jumlah tenaga kerja nasional. Sebagian besar tenaga kerja tersebut
terkonsentrasi pada UMKM kategori mikro yaitu sebesar 81,74% dari total tenaga
kerja UMKM. Jika dilihat secara sektoral, tenaga kerja UMKM menyebar pada
seluruh sektor dan sebagian besar memberikan kontribusi signifikan pada penyerapan
tenaga kerja di sektor tersebut. Dari sisi jumlah tenaga kerja, UMKM menyumbang
tenaga kerja terbanyak pada sector pertanian dan perdagangan yaitu masing-masing
42,46 juta dan 24,31 juta tenaga kerja atau sekitar 73% dari total tenaga kerja di
sektor UMKM.
Data diatas cukup gamblang menjelsakan betapa dahsyatnya kekuatan
UMKM bila totalitas dalam penggarapannya pada level pemangku kebijakan
dijalankan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian dalam menghadapi ACFTA,
badan usaha yang berbentuk BUMDes merupakan solusi tepat untuk pembangunan
perekonomian di Indonesia. Optimalisasi potensi BUMDes sebagai implementasi
dari keinginan mengembangkan ekonomi rakyat merupakan opsi yang sangat
mungkin. Hal ini dikarenakan ada beberapa potensi unggulan yang dimiliki oleh
BUMDes antara lain:
a. BUMDes menggunakan bahan baku lokal dan bersifat padat karya (walaupun
dalam perkembangannya akan menuju pada teknologi pengolahan).
19
b. Modal kecil dengan rentang waktu produksi yang cepat
c. Mampu memaksimalkan sumberdaya lokal karena dapat dilaksanakan
diberbagai tempat sesuai dengan potensi daerah.
d. Banyak memanfaatkan sumberdaya lokal sehingga tidak banyak terpengaruh
oleh gejolak perekonomian internasional, sebaliknya dapat merangsang
pertumbuhan usaha lokal yang berdampak luas pada optimalisasi pemanfaatan
seperti lahan, hasil-hasil pertanian tambang dan bahan galian, produk
sampingan hasil hutan dll, sehingga ketergantungan pada barang-barang
import relative rendah.
e. Produk barang bervariasi dari bahan mentah sampai dengan produk akhir.
Potensi BUMDes memang perlu dikedepankan karena faktor inilah yang akan
dijadikan andalan untuk membangun ekonomi yang berbasis pada kearifan lokal yang
ada, hal ini diharapkan mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan.
Selain itu juga dapat untuk menggerakkan ekonomi serta tumbuhnya wirausaha-
wirausaha baru di daerah. sehingga tidak hanya di kota saja tetapi perekonomian di
daerah pedesaan juga mampu tumbuh dan bersaing di pasar global terutama untuk
menghadapi ACFTA.
Penekanan badan usaha berbentuk BUMDes yang berbasis pada kearifan lokal
merupakan sebuah strategi yang sangat tepat. Hal ini dikarenakan dengan berfokus
pada potensi lokal dapat menggerakkan sektor riil yang ada di daerah. misalnya saja
sektor pertanian. Seringkali penduduk di pedesaan hanya mampu untuk menanam
saja namun untuk proses pengolahan belum mampu. Sehingga mereka akan
memasarkan hasil murni panen mereka ke sebuah perusahaan produksi dengan harga
murah. Selain itu sebagian besar petani justru menjual hasil pertanian mereka kepada
tengkulak. Sehingga bila ada kenaikan ataupun penurunan harga di pasaran, petani
tidak akan tahu karena akses mereka untuk terjun langsung kepasar sangatlah
terbatas.
Oleh karena itu, BUMDes merupakan salah satu alternatif yang sangat tepat.
Hal ini juga akan meningkatkan pendapatan penduduk desa karena BUMDes
merupakan badan usaha milik bersama yang dilakukan oleh masyarakat dan diawasi
20
juga oleh masyarakat. BUMDes juga dapat meningkatkan semangat-semangat baru
bagi UMKM setempat, karena mereka dapat menyalurkan dan mencari informasi
melalui BUMDes. Sehingga permasalahan utama bagi UMKM sekarang yang berupa
masalah pemasaran dapat teratasi. Sehingga UMKM tidak perlu bersusah payah
mencari daerah pemasaran karena mereka cukup menyalurkannya melalui BUMDes.
Sehubungan dengan itu, seiring diberlakukannya ACFTA yang ternyata
berdampak buruk terhadap sebagian besar UMKM di Indonesia, maka BUMDes
hadir sebagai penolong bagi eksistensi UMKM di Indonesia. Berikut ini adalah
masalah-masalah yang sering muncul pada UMKM di Indonesia:
Dari data di atas dapat diketahui bahwa masalah utama yang dihadapi oleh
UMKM Indonesia yaitu pemasaran dan berikutnya adalah modal. Sehingga
munculnya BUMDes ini selain untuk membantu proses pemasaran juga digunakan
untuk bantuan modal. Karena BUMDes milik masyarakat yang sebagian profitnya
juga untuk penyaluran modal ke masyarakat itu sendiri.
Sinergitas antara UMKM dalam BUMDes ini akan menjadi langkah strategis
dalam menghadapi ACFTA karena sudah diketahui bahwa penyebaran UMKM di
21
Indonesia sangat banyak bila dibandingkan penyebaran usaha-usaha besar. Berikut
adalah data penyebaran usaha menengah dan usaha besar:
Tabel 4.1 Jumlah Unit Usaha Menurut Skala Usaha Di Semua Sektor Tahun
1997-2006 (000 unit)
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa jumlah penyebaran usaha menengah
jauh lebih bayak bila dibandingkan dengan usaha besar. Hal ini akan menjadi
kekuatan tersendiri bagi BUMDes yang bergerak dalam perkembangan perekonomian
berbasis potensi-potensi lokal yang ada. Sehingga sangat bagus sekali jika BUMDes
ini nantinya dapat menaungi UMKM yang ada di daerah masing-masing desa.
Hal ini sebenarnya ditunjang dengan daya saing Indonesia pada level global.
Dari data World Economic Forum,2009 daya saing Indonesia pada pasar global
menduduki peringkat ke-54 (lihat tabel 4.5). Sehingga dengan adanya BUMDes juga
akan dapat digunakan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan ekspor dan daya
saing bangsa.
22
Tabel 4.5 Peringkat Daya saing Indonesia
Dengan adanya badan usaha yang berbentuk BUMDes juga sangat berpotensi
untuk meningkatkan ekspor. Keanekaragaman sumber daya alam dan budaya inilah
yang sesungguhnya menjadi kekuatan bagi Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara
lain. Apabila dahulu UMKM sulit untuk melakukan ekspor, maka di sinilah peran
BUMDes agar laju ekspor nasional terus digenjot terutama pada tataran usaha kecil
menengah yang selama ini masih berkutat pada pasaran local dan nasional. BUMDes
dengan segala inovasi, pengurus yang lebih berkompeten serta kelembagaan yang
baik akan dapat menanungi UMKM dan pada akhirnya dapat menjadi sebuah badan
usaha yang tangguh untuk menghadapi Asean-China Free Trade Agreement
(ACFTA).
23
dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, serta tidak termasuk
dalam sistem perkoperasian sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dengan demikian BUMDes adalah sistem
kegiatan perekonomian masyarakat yang ada di desa dan dikelola oleh masyarakat
bersama pemerintahan desa setempat. Sedangkan prinsip dasar dalam pembentukan
BUMDes adalah sebagai berikut:
24
Dengan demikian, prinsip tersebut mempunyai peranan penting bila ditilik
setidaknya dari tiga faktor penentu keberhasilan. Pertama adalah swadaya, hal ini
mengandung maksud bahwa sesuatu hal bisa berdiri karena ada suatu inisiatif dari
masyarakat internal sendiri karena suatu pemikiran atas kesadaran sendiri. Hal ini
penting dalam rangka memperkuat suatu inisasi agar progresnya dapat terlaksana
dengan baik. Kedua kolaboratif, kadangkala dalam suatu pengorganisasian dalam
rangka mencapai tujuan dibutuhkan suatu elemen yang berbeda. Elemen yang
berbeda tersebut pada hakikatnya menjadi proses aktualisasi komitmen dalam
memecahkan suatu permasalahan sosial. Ketiga adalah partisipaoris, dimana hal ini
lebih menitikberatkan pada pemberian ruang bagi partisipasi warga dalam proses
pembangunan.
Lebih lanjut, strategi pengembangan BUMDes sebagai penguatan ekonomi
lokal dalam konteks menghadapi ACFTA harus bertumpu pada lima hal, yaitu:
Kepengurusan, Permodalan, Pengembangan Kerjasama, Pembinaan, Pengawasan,
dan Evaluasi. Gambaran mengenai strategi pengembangan BUMDes adalah sebagai
berikut:
25
Gambar 01. Strategi Pengembangan BUMDes dalam Menghadapi ACFTA
Group Lending
Eksternal: Asymetric
Information
Techn. Assistance
Kepengurusan
Training
Internal: Manajerial
(Kompetensi)
Kompensasi
Keuangan Saving
Pembiayaan
Loan
Aid
Lembaga Formal
Pengembangan
Naskah kerjasama dan
Kerjasama
keberlanjutan
Lembaga Informal
Teknis Operasional
Pembinaan
Pelaksanaan
Pengembangan
Fungsi Audit
Monitoring dan
Evaluasi Fungsi Konsultasi
Fungsi tanggungjawab
26
Dalam penentuan strategi yang tepat bagi BUMDes diperlukan pemahaman
yang komprehensif baik faktor internal maupun eksternal. Sebagai langkah awal
strategi, BUMDes harus memfokuskan pada penterjemahan visi/misi yang mengarah
pada pembentukan image positif dengan lingkungan market. Selain itu, harus
didukung dengan penguatan struktur fungsi manajemen dalam berhubungan dengan
beberapa kepentingan dan pasar.
Tahap selanjutnya pengembangan BUMDes lebih diintensifkan dalam
beberapa hal, seperti: prospek bisnis (besarnya penguasaan pasar, kompetisi dan
permintaan pelayanan); kapasitas manajemen; operasional (sistem dan prosedur,
sistem informasi dan manajemen, serta akuntabilitas); resiko (manajemen asset dan
efisiensi biaya); produk dan pelayanan. Untuk memfokuskan kajian mengenai strategi
pengembangan, pelaksanaan fungsi-fungsi BUMDes harus diorientasikan pada 6 hal
utama yaitu: Kepengurusan, Permodalan, Pengembangan Kerjasama, Pembinaan,
Pengawasan, dan Evaluasi. Sehingga keberlangsungan BUMDes dapat optimal dan
mencapai taraf ekspor sebagai daya dongkrak dalam menghadapi ACFTA.
Setidaknya, lingkup usaha BUMDes dikelompokkan menjadi 4 (empat)
bidang pokok sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa, adalah sebagai berikut :
a. Usaha jasa yang meliputi jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air,
listrik desa dan usaha lainnya yang sejenis.
b. Penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa.
c. Perdagangan hasil pertanian (usaha pangan) meliputi tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan, agribisnis.
d. Industri kecil dan kerajinan rakyat
Jika jenis usaha yang akan dibuat sangat prospektif, maka dapat ditetapkan
sebagai jenis usaha desa yang akan dikembangkan melalui prosedur penetapan
sebagai berikut:
a. Penggalian inisiatif usaha dari segenap stakeholders yang ada di desa untuk
menyepakati alternatif pengembangan usaha.
27
b. Terhadap alternatif pengembangan usaha yang disepakati, selanjutnya
dilaksanakan pengkajian dan analisis secara mendalam apakah usaha
tersebut layak dikembangkan atau tidak. Proses pengkajian bisa dilakukan
melalui inventarisasi sumber pengembangan seperti sumberdaya alam yang
tersedia, kemampuan sumberdaya manusia, sumberdaya finansial,
kemampuan manajemen maupun jaringan pemasaran.
c. Menyusun studi kelayakan usaha setidaknya meliputi: analisis usaha, pilihan
bentuk lembaga usaha, bentuk dan peran serta Pemerintah Desa dan BPD,
bentuk peran serta masyarakat, pola pembagian saham, pengembangan
SDM, permodalan, teknologi, dan sebagainya.
d. Prosedur penetapan harus difasilitasi oleh fasilitator yang ditunjuk yang
sesuai dengan bidang tugasnya.
4.3.1. Kepengurusan
Tak dapat disangkal, bahwa atmosfer internal yang kondusif merupakan
penggerak utama dalam mengembangkan motivasi bisnis yang lebih maju. Hal ini
disebabkan dengan pengembangan internal institusi yang lebih terarah, pelaksanaan
fungsu-fungsi strategi manajemen dapat teralisasi secara efektif (Satria, 2007). Maka,
dengan tujuan seperti itu maka orientasi institusi harus dilaksanakan dalam beberapa
hal: pengembangan struktur organisasi, pengembangan prosedur operasional
manajemen, pengembangan budaya organisasi serta peningkatan kontrol manajemen.
Sehubungan dengan itu, sesungguhnya kepengurusan tak lepas dari peran
penting seorang pimpinan/manajer dalam mengkondisikan dan mengoptimalkan
kemampuan staf-stafnya. Selain itu pengembangan institusi harus dioptimalkan
dengan kompetensi manajemen yang digambarkan dalam budaya kerja seperti
kompetensi staf dan pimpinan terhadap stakeholder yang terkait.
Dalam banyak kasus, diduga kuat mengapa BUMDes tidak berjalan optimal
bahkan mengalami kemacetan pada berbagai daerah karena pengelolaan yang tak
profesional, terlebih kompetensi manajemen dan pimpinan yang masih over capacity.
Solusi dari permasalahan ini tak lain adalah pembangunan kapasitas pada sektor
28
pengelolaan/manajerial. Hal ini berarti harus ada pembekalan dan keahlian yang
memadai dengan tuntutan agar terjadi percepatan.
Secara sederhana, kerangka kerja dalam mendesain program pembangunan
kapasitas pada kepengelolaan BUMDes adalah sebagai berikut:
Kapasitas
BUMDes dan
pegawai
Kapasitas yang
dimiliki
Pembangunan Kapasitas yang
kapasitas pada diharapkan
kepengurusan
BUMDes
Metode:
Keterampilan dan
kemahiran pelatihan
ahli, bantuan
finansial, dan lain-
lain
29
Salah satu tujuan BUMDes adalah untuk mencapai kekuatan keuangan
(financial viability) dan keberlangsungan profit sehingga diharapkan lebih mandiri
dan independen. Maka, harus diperlukan pemahaman yang utuh mencakup
pengelolaan asset dan pembiayaan . Secara teknis, modal Perusahaan Desa
sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa
dapat berasal dari :
a. Pemerintah desa.
b. Tabungan masyarakat.
c. Bantuan yang berasal dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten.
d. Pinjaman, dan/atau
e. Penyertaan modal pihak lain atau kerjasama bagi hasil.
Dengan demikian, bila permodalan mencakup berbagai sumber yang berbeda,
maka diperlukan suatu transparansi dan akuntabilitas. Untuk mewujudkan
akuntabilitas maka prasyarata yang harus dipenuhi adalah adanya teritori yang jelas
(local teritorial of power) yang dimilki oleh BUMDes. Disini berarti bahwa tugas
pembagian wewenang harus jelas dan dapat disekat secara tegas.
30
dalam mengembangkan BUMDes yang berorientasi global. Setidaknya terdapat
empat jenis ikatan jaringan berdasarkan hubungan yang dipertahankan, diantaranya:
ikatan personal dan etnis, kedekatan geografis, integrasi organisasi, dan hubungan
pembeli dan penjual (Perry, 2000). Sistem ini cocok diaplikasikan dalam masyarakat
pedesaan karena penekanannya pada pentingnya model sosial interpersonal yang
bercorak tradisional dan gemeinschaft.
Jaringan bisnis kecil yang dikonstruki di seputar jaringan sosial berkembang
melalui asosiasi yang dibentuk oleh keluarga, sahabat dan kenalan. Model rencana
jaringan pada BUMDes dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 01. Rencana jaringan UMKM pada BUMDes
Jenis Jaringan Ciri-ciri Hubungan Contoh Persoalan
Keluarga Ikatan yang Bisnis berbasis Tergantung sumber
didasarkan pada keluarga etnis ekonomi tertutup
keluarga dan kontak
personal, dilekatkan
dalam komunikasi
yang terjalin erat
31
Model jaringan tersebut diharapkan dapat memberikan suatu model
perencanaan pembentukan UMKM berdasarkan potensi keunggulan wilayah sebagai
sarana mengembangkan BUMDes pada skup tertentu sehingga orientasi keluar dapat
benar-benar diwujudkan. Orientasi keluar tidak hanya pada tataran kewilayahan,
regional maupun nasional, tetapi juga internasional.
4.3.4. Pembinaan
Pembinaan disini mempunyai peranan sangat penting sebagai pendamping
agar berjalannya BUMDes benar-benar terkawal sehingga orientasi yang diharapkan
benar-benar terwujud dalam level kapabilitas yang baik. Pembinaan dilakukan secara
teratur dan berkesinambungan. Program pembinaan juga tak bisa dilepaskan karena
motivasi untuk peningkatan produktivitas dan tingkat keberhasilan. Sehingga,
langkah nyata disini adalah pemberian nasehat teknis yang lebih efektif. Nasehat
yang efektif disini dapat tercapai hanya apabila benar-benar ada koordinasi yang lebih
baik antara program-program dan pelayanan pemberian nasehat yang lebih baik.
Pengembangan kerjasama dengan pihak swasta seperti perusahaan pemberian
kursus-kursus khusus secara teratur untuk tenaga pelatih dan tenaga pengajar teknik
mengenai masalah manajemen, keuangan, organisasi, lingkungan dan sebaginya juga
sangat diperlukan. Program ini dilaksanakan karena tenaga pengajar di lembaga-
lembaga swasta memilki latar belakang pendidikan formal yang lebih baik dan
pengalaman praktis yang lebih banyak. Selain itu, lembaga-lembaga ini memilki
fleksibilitas yang lebih tinggi untuk menyesuaikan diri jika ada tuga-tugas baru.
Hal diatas sebenarnya adalah pengembangan dari pembinaan yang terdahulu
dilakukan sehingga sifatnya lebih kepada pengembangan. Karena secara teknis,
pembinaan BUMDes adalah sebagai berikut:
1. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan menetapkan kebijakan norma
dan standar, kriteria, serta pedoman umum pembentukan dan pengelolaan
BUMDes.
2. Gubernur melalui Instansi yang menangani urusan pemerdayaan masyarakat
dan desa mengkoordinasikan rencana program pengembangan BUMDes lintas
32
kabupaten dan menjabarkan pedoman umum dalam bentuk Petunjuk Teknis
Operasional di wilayahnya, serta melaporkan secara periodik perkembangan
pelaksanaan pengembangan BUMDes kepada Menteri Dalam Negeri. Direktur
Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.
3. Bupati melalui Instansi yang menangani urusan pemberdayaan masyarakat dan
desa melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi, pelatihan teknis
manajemen BUMDes, pendampingan, mengkoordinasikan perencanaan dan
pelaksanaan pengembangan BUMDes.
4. Camat mengkoordinasikan pembinaan teknis pengelolaan BUMDes di wilayah
kerjanya, dan melaporkan perkembangan pelaksanaan pengembangan BUMDes
kepada Bupati dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur
33
BAB V
5.1 Kesimpulan
Pembentukan BUMDes sangat efektif untuk memaksimalkan semua potensi
lokal yang ada dalam suatu daerah/desa, terutama pengembangan UMKM agar dapat
mendongkrak pendapatan desa, lembaga, dan perorangan serta penyerapan tenaga
kerja. Pembentukan badan usaha ini agar dapat merubah keadaan perekonomian desa
hingga dapat berbicara pada level nasional dan internasional dalam konteks
perdagangan bebas ACFTA. Strategi pengembangan BUMDes harus berorientasi
pada konteks global melalui berbagai elemen penting diantaranya kepengurusan,
keuangan, pengembangan kerjasama, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
Peningkatan pengembangan kapasitas masyarakat anggota dan jajaran
manajemen harus mendapatkan perhatian serius dan penekanan utama selama proses
persiapan, perencanaan, bahkan harus dilanjutkan sampai tahap strategi
pengembangan. Tanpa kapasitas yang cukup bagi pengelolaan maka kemungkinan
keberhasilan secara berkelanjutan akan sulit dijamin. Strategi pengembangan
BUMDes sebagai upaya penguatan ekonomi lokal dan berorientasi global harus
dipandang sebagai pendekatan pengelolaan bersama (co-management) atau secara
kolaboratif dimana masyarakat, badan usaha, dan pemerintah secara aktif
bekerjasama selama proses baik perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan.
Demikian juga di tingkat desa, dukungan yang kuat dari pemimpin setempat
pada saat memulai perencanaan akan sangat membantu pada tahap-tahap berikutnya.
5.2 Saran
1. Untuk mencapai keberhasilan program pengembangan BUMDes ini hal
yang penting adalah perlunya pelatihan naik pada sektor manajemen,
keuangan, dan peningkatan kerjasama sehingga benar-benar dapat
mendongkrak perekonomian lokal yang berorientasi global.
34
2. Pembangunan kapasitas sumberdaya manusia disini merupakan kunci
dalam mengubah situasi sosial dan ekonomi setempat serta pengembangan
usaha khususnya UMKM pada BUMDes. Hal ini perlu dilakukan dari
awal hingga tahap pengembangan dengan dibarengi pada tataran
pengawasan dan monitoring evaluasi.
3. Dibutuhkan dukungan secara penuh dari pemerintah baik pusat, daerah,
hingga level desa dalam mendorong program ini untuk menjamin
keberhasilan dalam pengembangan dan penguatan ekonomi lokal melalui
UMKM dalam BUMDes sehingga benar-benar dapat menjadi solusi tepat
dalam menghadapi ACFTA.
35
DAFTAR PUSTAKA
36
Mudana, I Gede. Tanpa Tahun. Pengetahuan Lokal Dalam Epistemologi
Relasional : Kajian Filsafat Kebudayaan, (Online),
(http::/www.share.ciputra.ac.id.pdf. diakses tanggal 16 April
2010).
37
Tri Wahyudi, Setyo. 2007.Penguatan Sektor-Subsektor Ekonomi dalam Upaya
Peningkatan Pembangunan Ekonomi Daerah. Journal of
Indonesian Applied Economics (halaman 22-42). Malang: Badan
Penerbitan dan Dokumentasi Ilmiah Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya.
Yustika, Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan
KajianEmpiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
38
BIODATA
39
Etnis (Studi Kasus Kurang Berkembangnya Kerjasama
Antar Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan).
6. Arti Penting Sebuah Dialog Dalam Islam.
7. Peranan Dialog yang Beretika untuk Menumbuhkan
Jiwa Persatuan Bangsa dalam Perspektif Islam.
8. Model Interlinkage LPPM Universitas Dengan Dinas
Sosial Dalam Menanggulangi Mental Mengemis.
9. Strategi Pengembangan Interlinkage Lppm Universitas
Dengan Bapemmas Dalam Upaya Pengentasan
Kemiskinan Di Indonesia.
10. Permasalahan Dan Strategi Pembangunan Komoditas
Padi Di Kabupaten Lamongan
Penghargaan :
40
Nama Lengkap : Tri Cahyono
NIM : 0610210124
No HP : 085646530316
E-mail : tri_cahyoo@yahoo.co.id
Pendidikan :
41
Nama Lengkap : Ermita Yusida
NIM : 0810210050
Agama : Islam
No Telp/HP : 085648899492
E-mail : Indah_kussumaningtyas@yahoo.co.id
Pendidikan : TK Idhata
SDN Karangjati 1
SMPN 1 Karangjati
SMAN 3 Madiun
42