You are on page 1of 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kondisi perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu mengalami
permasalahan yang semakin kompleks. Mulai dari terjangan krisis keuangan
(financial), pengaruh kenaikan tarif dasar listrik, hingga permasalahan serbuan
produk asing karena perdagangan regional yang diberlakukan dengan pembatasan
tarif atau lebih populer dikenal dengan Asean-China Trade Agreement (ACFTA).
Jika ini terus dibiarkan tanpa adanya kebijakan yang pro terhadap pengusaha,
khususnya UMKM. maka dapat diprediksi masa depan yang ada akan semakin
terpuruk dan tak sedikit yang gulung tikar.
Data dari BPS tahun 2006 menyebutkan, bahwasannya UMKM di Indonesia
mendominasi unit-unit usaha yang ada dengan rincian sebesar 99,75% dan hanya
0,19% merupakan usaha skala besar. Dominasi skala usaha mikro sebesar 83,27
persen atau sebanyak 18,933 juta usaha dan 15,81 persen usaha kecil (Rachmad,
2009). Ini jelas memberi gambaran bahwa UMKM di Indonesia sangat penting, dan
kebijakan yang menyentuh kepadanya harus sistematis dan jelas.
Sehubungan dengan itu, pasca diberlakukannya ACFTA pada bulan januari
2010, tak sedikit para ekonom yang menyampaikan pendapat yang berbeda-beda.
Ada yang pro dengan diberlakukannya ACFTA dan tak sedikit pula yang kontra
dengan hal ini. Menurut Sartono (2010), bahwasannya dengan adanya ACFTA
semakin membuka peluang pengusaha Indonesia untuk memperluas jangkauan
pasarnya. Tidak hanya itu, dugaan beberapa ekonomi yang pro dengan kesepakatan
ini adalah semakin terbukanya peluang investasi, peningkatan volume perdagangan
dan proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat karena akan dapat memanfaatkan
barang modal yang lebih murah dan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang
lebih rendah pula. Sebaliknya, Anggraeni (2010), berpendapat bahwasannya dengan
adanya ACFTA, hal ini akan menjadi monster yang menyeramkan yang siap

1
menerkan unit-unit usaha kecil di Indonesia. Terkaman ini tak lain adalah karena
serbuan produk asing, teutama dari China yang lebih murah dan kualitas yang
mumpuni. Ini diperkuat oleh Racmad (2009), bahwa masih sangat banyak pengusaha
UMKM yang belum tersentuh oleh perbankan dan jasa keuangan lainnya, yaitu hanya
sebesar 11,78 persen saja yang mendapatkan permodalan dari perbankan. Lebih
parahnya lagi birokrasi yang rumit semakin memperburuk perkembangan UMKM
yang ada. Sehingga baik secara finansial maupun harga output, UMKM Indonesia
masih belum siap sepenuhnya menghadapi ACFTA.
Biarpun menuai kotroversi, tapi segala kebijakan dari ACFTA telah
diberlakukan. Yang menjadi persoalan saat ini yaitu bagaimana memperkuat sektor-
sektor pendukung industri Indonesia guna menghadapi ACFTA. Sebenarnya ada
banyak cara untuk memperbaiki itu semua. Mulai dari revitalisasi kelembagaan
hingga revitalisasi industri. Untuk menggabungkan kedua hal tersebut, pemberlakuan
badan usaha yang berbasis keunggulan daerah (kearifan lokal) merupakan salah satu
hal solutif dan sangat baik untuk diimplementasikan agar menjadi pintu gerbang
menuju kebersiapan dalam konteks globalisasi kontemporer. Pasalnya, tiap-tiap
daerah sesungguhnya memiliki keunggulan yang berbeda-beda yang mana dari
perbedaan itulah sekiranya perlu untuk di eksplorasi lebih jauh.
Dengan digali lebih dalam lagi potensi-potensi sumber daya lokal (alam,
manusia, maupun sosial budaya) yang tak dapat dipungkiri lagi hal ini akan menjadi
sebuah energi mekanik yang mampu meningkatkan roda perekonomian negara
keranah yang lebih baik. Adapaun unit-unit usaha menarik yang perlu dikembangkan
untuk menunjukkan keunggulan komparatif (comparative advantege) daerah yaitu
melalui UMKM yang dirancang dalam sebuah lembaga bernama BUMDes (Badan
Usaha Milik Desa). Bukan hanya sekedar BUMDes biasa yang akan dibahas dalam
karya tulis ini, namun BUMDes yang berorientasi pada perdagangan internasional,
utamanya ACFTA. BUMDes akan dibentuk sedemikian rupa (dengan menggunakan
strategi yang lebih inovatif) sehingga mampu mengangkat perekonomian desa, lokal,
dan tentu saja negara pasca diberlakukannya ACFTA. Ini sangat penting mengingat
strategi dalam perdagangan menentukan maju atau mundurnya sebuah badan usaha.

2
1.1 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan
yang diterjemahkan dalam pertanyaan berikut :
1. Bagaimana gambaran umum badan usaha yang dicanangkan dalam bentuk
BUMDes?
2. Seperti apakah kekuatan dari badan usaha yang berbentuk BUMDes dalam
menghadapi ACFTA?
3. Bagaimana strategi pengembangan badan usaha berbentuk BUMDes tersebut?

1.2 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran umum badan usaha yang dicanangkan dalam
bantuk BUMDes?
2. Mengetahui seperti apakah kekuatan dari badan usaha berbentuk BUMDes
dalam menghadapi ACFTA?
3. Mengetahui bagaimana strategi pengembangan badan usaha berbentuk
BUMDes tersebut?

1.3 Manfaat Penulisan


1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
bagi masing-masing pemegang kebijakan yang berpengaruh terhadap
pengembangan BUMDes guna menghadapi ACFTA.
2 Mempermudah dalam mengidentifikasi tantangan dan hambatan serta peluang
dalam penerapan kebijakan yang dirasa perlu dilakukan untuk mencapai
tujuan inti tiap-tiap kebijakan.
3 Selain itu, penelitian ini nantinya bisa dijadikan bahan rujukan bagi
penelitian-penelitian yang mengambil topik sejenis.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Asean-China Trade Agreement (ACFTA)


Secara konsep, lahirnya ACFTA sebenarnya tak terlepas dari buaian atas
nama integrasi regional. Integrasi regional sendiri dapat dikatakan sebagai jelmaan
globalisasi yang lebih terpolarisasi, dimana negara-negara yang mengintrodusir
desain ekonomi yang menjunjung kebebasan perdagangan itu sendiri telah
mengelompokkan ke dalam sekte-sekte perdagangan yang lebih sempit atas skala
ekonomi dan kewilayahan. Atas skala ekonomi berarti adanya integrasi regional
karena pertimbangan kesamaan skala ekonomi khususnya daya saing industrinya.
Sedangkan kewilayahan mengacu pada kelompok perdagangan yang dibentuk atas
pengelompokkan aktivitas ekonomi dalam satu kawasan. Sungguhpun demikian,
sebenarnya agenda penting dari perdagangan bebas semacam ini adalah dalam rangka
membebaskan atau meminimalisir bea masuk perdagangan antarnegara peserta dan
liberalisasi di sektor keuangan (Yustika, 2009).
Gagasan terbentuknya ACFTA sendiri mulai dikonsepkan dalam Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-7 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam pada
November 2001. Ketika itu ASEAN menyetujui pembentukan ACFTA dalam waktu
10 tahun yang dirumuskan dalam ASEAN-Cina Framework Agreement on Economic
Cooperation yang disahkan pada KTT ASEAN berikutnya di Phnom Penh, Kamboja
pada November 2002.
Pada perkembangannya, pertemuan ASEAN-Cina juga telah diselenggarakan
di kota Nanning Cina di tahun 2006 dengan agenda untuk memantapkan visi bersama
dalam rangka Pasar Bebas Kawasan Cina-ASEAN. Sehubungan dengan itu,
Indonesia sendiri menyepakati dengan senang hati dengan harapan negeri gemah
ripah lohjinawi ini akan menikmati berkurangnya hambatan non-tarif atas berbagai
produk ekspor ke Cina. Tak sampai disitu, dalam sidang AEM (ASEAN Economic
Minister Meeting) ke-36 di Jakarta pada September 2004 juga merundingkan dengan

4
Cina yang telah menghasilkan kesepakatan perdagangan dalam barang dan jasa dan
pokok-pokok dispute settlements yang kemudian diformalkan ke pertemuan di Laos,
Kamboja.
Secara historis, ASEAN dan Cina menyetujui dibentuknya ACFTA dalam dua
tahapan waktu, yaitu: tahun 2010 dengan negara pendiri ASEAN, yang meliputi
Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina, dan pada tahun 2012 dengan kelima
negara anggota baru ASEAN yakni Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan
Myanmar.

2.2 Konsep Dasar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)


Dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa merupakan bagian
pemerintahan terendah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam
konteks otonomi daerah sendiri, premis gagasan desentralisasi desa menjadi poin
penting dalam mengarahkan pada pemberdayaan masyarakat sendiri.

Sehubungan dengan adanya pengakuan atas otonomi desa ini, menurut


Zakaria (2005), bahwa dalam wacana politik-hukum dikenal dengan adanya dua
macam hak berdasarkan asal-usulnya dan setiap hak berbeda satu dengan yang
lainnya. Pertama adalah hak yang bersifat berian (hak berian) dan kedua adalah hak
yang merupakan bawaan yang melekat pada sejarah asal-usul yang memiliki otonomi
itu (hak bawaan). Bila dikaitkan dengan keadaan dewasa ini, maka otonomi secara
sama dapat disamakan dengan hak berian dan disitu terkandung unsur wewenang
(authority). Karena kewenangan merupakan pemberian tetapi harus menggeser
paradigma otoritarian kepada egalitarian dengan dasar pijakan kepentingan
masyarakat. Dengan demikian, otonomi desa merupakan kewenangan pemerintah
desa untuk mengatur kepentingan masyarakatnya. Berbeda dengan hak yang bersifat
berian, hak bawaan adalah hak yang telah tumbuh berkembang dan terpelihara oleh
suatu kelembagaan (institution) yang mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Hal

5
ini sama saja dengan hak istimewa yang melekat pada suatu wilayah karena memilki
hak-hak asal-usul. Karena itu, berbeda dengan pemerintah daerah, desa dengan
otonomi desa yang muncul sebagai akibat diakuinya hak asal-usul dan karenanya
bersifat istimewa itu memilki hak bawaan. Hak bawaan desa disini mencakup hak
atas wilayah, sistem pengorganisasian sosial (termasuk sistem kepemimpinan), aturan
dan mekanisme pembuatan aturan di wilayah yang bersangkutan yang mengatur
seluruh warga yang tercakup di wilayah desa yang bersangkutan.

Dapat dikatakan, otonomi desa merupakan suatu gagasan besar dalam


memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk tumbuh dan
berkembang mengikuti perubahan-perubahan baik di bidang ekonomi, politik, dan
sosial budaya. Namun perubahan-perubahan itu diharapkan tetap sesuai dan tidak
meninggalkan tata nilai sosial budaya yang ada di desa, seperti kekerabatan, gotong
royong, dan kearifan. Hal tersebut membawa implikasi bahwa desa harus didukung
oleh sumber pembiayaan yang optimal., terutama berasal dari Pendapatan Asli Desa
(PADes) dan didukung oleh sumber-sumber pembiayaan lainnya, baik bantuan
pemerintah, pemerintah daerah maupun hibah dan sumbangan dari berbagai sumber
lain yang sah. Dengan demikian, berbagai lembaga ekonomi pedesaan menjadi
bagian penting sekaligus dalam rangka mendukung penguatan ekonomi perdesaan.
Oleh karenanya, diperlukan upaya sistematis untuk mendorong kelembagaan ini agar
mampu mengelola aset ekonomi strategis sekaligus mengembangkan jaringan
ekonomi dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi di pedesaan. Dalam
konteks demikian, BUMDes merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap
lembaga-lembaga ekonomi desa yang harus dikembangkan, sekaligus sebagai
instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagaimana amanat UU No. 32 Tahun


2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005
tentang Desa dimaksudkan sebagai usaha desa untuk mendorong dan menampung
seluruh kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat, baik yang berkembang
menurut adat istiadat dan budaya setempat, maupun kegiatan perekonomian yang

6
diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat. Sebagai lembaga usaha ekonomi desa,
pembentukan dan pengelolaan BUMDes dimaksudkan sebagai instrument seluruh
kegiatan ekonomi mandiri desa (peningkatan Pendapatan Asli Desa/PADes dan
kesejahteraan masyarakat desa), baik yang berkembang menurut adat istiadat/budaya
setempat (kearifan lokal), maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk
dikelola oleh masyarakat desa.

2.3 Peranan Ekonomi Lokal dalam Arus Perdagangan Bebas


Perdagangan bebas atau lebih dikenal dengan istilah globalisasi telah menjadi
realitas yang dapat dikatakan pahit, tetapi tak sedikit juga yang mengatakan manis.
Realitas ini banyak dialami oleh negara, perusahaan, komunitas maupun individu di
berbagai belahan dunia. Dalam dengungan globalisasi sekarang ini, yang namanya
perdagangan tak bisa dielakkan lagi. Hal ini searah dengan kesepakatan dari berbagai
negara terhadap apa yang dinamakan globalisasi, sebuah jargon yang familiar di
telinga kita dan terkesan mewah dalam kiasan eksklusivisme ekonomi, walaupun toh
globalisasi itu sendiri sebenarnya belum terdefinisi dengan sempurna.
Indonesia sendiri telah mengalami pengaruh positif dan negatif dari
globalisasi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama tahun 1980-an dan 1990-an
antara lain oleh integrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi global. Namun tragis,
semuanya berakhir antiklimaks dengan terjadinya krisis ekonomi akhir tahun 1990-
an. Ramuan yang diberikan oleh pihak asing-pun ternyata malah menjadi patologi
baru yang masih dirasakan hingga sekarang. Tidak hanya itu, tanda-tanda perbaikan
kondisi ekonomi pasca krisis 1997/1998 tampaknya belum muncul. Bahkan yang
terlihat adalah meningkatnya jumlah angka pengangguran, kemiskinan, serta jurang
pendapatan yang makin melebar.
Semua tragedi ironi diatas sebenarnya dapat dikatakan atas kesalahan
pengintroduksian kebijakan yang hanya mencomot perspektif teoritis barat kapitalis.
Padahal, semua itu belum tentu cocok dengan karakteristik baik dalam skup
permasalahan, lingkungan, kekhasan, dan karakteristik daerah yang kadang-kadang
sangat terspesifik. Maka, dari sini dapat ditarik sebuah postulat akan pentingnya

7
ekonomi lokal (sumber daya lokal) baik dari segi alam, manusia, maupun corak
budaya sosial maupun ekonomi. Hal tersebut sesungguhnya juga sesuai dengan
pembangunan yang lebih bernafas keindonesiaan.
Lebih jauh lagi, bahwa sampai saat ini masih banyak daerah yang tidak paham
tentang arah pembangunan daerahnya. Resources yang terbatas sering digunakan
tidak efisien dan efektif. Yang diharapkan sebenarnya adalah daerah seharusnya dapat
memetakan komoditi unggulan di masing-masing daerah sehingga pengembangan
kompetensi daerah bisa diarahkan menuju spesialisasi unggulan (Muhammad, 2006).
Diharapkan ini dapat menunjang perencanaan pembentukan UMKM yang gilirannya
akan mendoktrin masyarakat tentang pentingnya jiwa kewirausahaan
(entrepreneurship) sebagai penopang hidup.
Porter dalam Muhammad (2006) mengemukakan tentang “Competitive
Advantage” yang memaparkan bagaimana suatu daerah itu berkembang sebenarnya
terinspirasi oleh pemikiran school of commodities. Gagasan Porter tentang penentu
keunggulan suatu bangsa itu dipengaruhi oleh faktor yang saling kait mengkait yaitu:
Factor conditions; Firms strategy, Structure and Rivalry; Related and Supporting
Industries; dan Demand Conditions. Adanya cluster of domestics rivals antar pelaku
kegiatan ekonomi yang sama akan mendorong factor creation, dari sini secara terus
menerus akan meningkatkan keunggulan bersaing dalam gugus tersebut.
Tidak sebatas pada itu, sebenarnya potensi lokal dapat dipandang pada
perspektif budaya dan ataupun sekedar etnisitas. Hal inipula yang sampai sekarang
hanya masih menjadi bahan wacana tanpa pengimplementasian yang jelas. Bila kita
membicarakan budaya lokal, maka harus dipandang dalam arti luas. Karena selama
ini masyarakat melihat budaya sebagai suatu perwujudan dari ide yang menonjolkan
estetika dan seni yang dimanifestasikan dalam perwujudan benda/ornamen
kedaerahan yang kasat mata. Hal tersebut bukanlah pengertian dalam keseluruhan
definisi budaya, tetapi hanya bagian khasanah dari kajian budaya. Sebaliknya,
sebagaimana yang dikatakan oleh John Fiske, kebudayaan (culture) dalam kajian
budaya (cultural studies) tidak menekankan sekedar pada aspek estetik ataupun
humanis, melainkan juga aspek politik. Hal ini mirip dengan konsep etnis, dimana

8
etnis adalah aktor/produk yang menghasilkan output berupa kebudayaan. Karena
secara definitif, etnis atau ethnos (dalam bahasa Yunani) dapat dimaknai sebagai
suatu pengertian (identik) pada dasar geografis dalam suatu batas-batas wilayah
dengan sistem politik tertentu (Rudolf, 1986; dalam Yustika, 2009). Hal yang cukup
penting untuk dikaji mengenai masalah kebudayaan bahwa kebudayaan didasarkan
pada model pemikiran yang berbeda, dan harus ungkapan dari bawah dari suatu
masyarakat itu sendiri.
Lebih jauh lagi, Sardar dan Van Loon, dalam Mudana (2007) menunjukkan
ciri-ciri kajian budaya yang cukup beraneka ragam sebagai berikut:
1. Kajian budaya bertujuan meneliti permasalahan pokoknya dari segi praktik-
praktik budaya dan hubungannya dengan kekuasaan. Sasaran tepatnya adalah
menunjukkan hubungan-hubungan kekuasaan dan meneliti bagaimana
hubungan-hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik-praktik
budaya.
2. Kajian budaya tidak semata-mata merupakan kajian kebudayaan yang seolah-
olah merupakan satu entitas manasuka dari konteks sosial dan politik.
Tujuannya adalah untuk memahami kebudayaan dalam seluruh bentuk
kompleksnya dan menganalisis konteks sosial dan politik di mana ia
memanifestasikan dirinya.
3. Kebudayaan dalam kajian budaya selalu melaksanakan dua fungsi: baik objek
kajian maupun lokasi kritisisme aksi politik.
4. Kajian budaya mencoba menunjukkan dan merekonsiliasikan pembagian
pengetahuan, untuk mengatasi keterpisahan antara bentuk-bentuk tacit
knowledge (yaitu, pengalaman intuitif yang didasarkan budaya-budaya lokal)
dan objective knowledge (yang disebut pengetahuan universal). Ia
mengasumsikan suatu identitas umum dan kepentingan umum antara peneliti
dan yang diteliti, antara pengamat dan yang diamati.
5. Kajian budaya setia pada evaluasi moral masyarakat modern dan pada garis
radikal aksi politik. Tradisi kajian tidak merupakan tradisi ilmu pengetahuan
yang bebas nilai tetapi tradisi yang setia pada kontruksi sosial dengan

9
keterlibatan politik kritis. Jadi, kajian budaya bertujuan untuk memahami dan
mengubah struktur dominasi di mana-mana, tetapi khususnya dalam
masyarakat-masyarakat kapitalis industrial.
Secara kajian budaya, di satu sisi kebudayaan dimaknai berupa warisan
ideologis yang secara kuat tertanam dalam setiap diri maupun perilaku individu dan
seolah-olah sudah terlegitimasi dalam konteks turun-temurun dan bersifat tetap.
Tetapi di sisi lain, makna kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis dan berubah terus-
menerus yang beriringan dengan perkembangan zaman. Tetapi yang perlu
digarisbawahi bahwa kebudayaan, khususnya yang bermuatan lokal harus dimaknai
antara budaya tradisi dan budaya yang bersifat adaptif, dimana kita mensintesiskan
antara dua kutub tersebut menjadi suatu energi mekanik yang luar biasa dalam nafas
pembangunan.
Sedangkan bila membicarakan masalah etnis, maka pemaknaannya harus
beriringan dengan masalah budaya itu sendiri. Lebih jauh lagi, sebagai unsur
pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk, kelompok-kelompok etnik ini
memiliki kebudayaan, batas-batas sosial budaya, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri
budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka (Kusnadi, 2005). Kebudayaan
yang dimiliki kelompok etnik ini dijadikan pedoman dalam mereka menjalani
kehidupan sehingga menandai identitas mereka secara keseluruhan. Yang perlu
mendapat perhatian bahwa, kebudayaan dan atribut sosial-budaya sebagai penanda
identitas kelompok etnik memilki sifat stabil, konsisten, dan bertahan lama.
Bila dibenturkan dengan pemaksaan kebijakan oleh pemerintah, maka akan
menimbulkan suatu kerentanan akan kata-kata ”gagal”. Proposisi yang dapat
menjelaskan hal tersebut bahwa dalam kenyataannya, identitas kelompok (struktur
masyarakat dalam pengertian sosiologis) tidaklah homogen dan taken for granted,
tetapi heterogen dan sarat rekayasa (Yustika, 2009).

10
BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Sifat Penulisan


Karya tulis ini berfokus analisis dan pemecahan masalah yang muncul
seiring dengan adanya perdagangan bebas dan diberlakukannya Asean-China Free
Trade Agreement (ACFTA). Untuk mendukung penulisan ini, maka penulis
melakukan kegiatan studi literatur yang mendalam, yakni dengan menggunakan
penulisan deskriptif dan data yang digunakan merupakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data-data
deskriptif, yang meliputi kata-kata tertulis atas lisan dari orang-orang yang
memahami objek penelitian yang sedang dilakukan dan didukung oleh studi literatur
berdasaran pengalaman kajian pustaka, baik berupa data penelitian maupun angka
yang dapat dipahami dengan baik. Di samping itu, pendekatan kualitatif lebih peka
dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama serta pola-
pola nilai yang dihadapi di lapangan (Moelong, 2002)
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penulisan deskriptif ini adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir,
2003)

3.2 Jenis Data dan Metode pengumpulan Data

3.2.1 Jenis Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan secara tidak langsung dari
sumber-sumber lain misalnya buku, artikel, dan surat kabar

11
(Dharmaseta, 1993). Dalam hal ini, data yang diperoleh berupa data
kualitatif. Data kualitatif merupakan data yang terbentuk kata-kata atau
kalimat yang menjelaskan tentang suatu permasalahan atau fenomena
yang terjadi.
3.2.2 Metode Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan membaca buku-buku literaturdan
makalah
b. Pencarian data melalui internet
Pencarian dilakukan dengan membuka situs-situs resmi instansi
ataupun institusi lembaga swadaya masyarakat.
c. Pengumpulan buku-buku dan literature-literatur yang menunjang
pembahasan makalah ini
Adapun di dalam proses pengumpulan data dilakukan prosedur dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah
2. Penentuan ruang lingkup permasalahan
3. Penentuan kata kunci untuk mempersempit objek data
4. Pengumpulan data
5. Pengetikan data yang relevan serta pengkomunikasian data

3.3 Metode Analisis


Sehubungan dengan permasalahan yang tertuls pada rumusan masalah dan
pendekatan penulisan yang digunaan, penulis menganalisis data-data yang diperoleh
dengan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian
disusun, sehingga mempermudah pembahasan masalah-masalah yang ada. Karena
titik fokus penelitian ini adalah penelitian berbasis literatur (pustaka), maka data yang
diumpulkan merupakan data kualitatif.
Proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini terjadi secara bolak
balik dan berinteraktif, yang terdiri dari:

12
a. Pengumpulan data (data collection)
b. Reduksi data (data reduction)
c. Penyajian data (data display)
d. Pemaparan dan penegasan kesimpulan (conclution drawing and
verification)

13
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Badan Usaha dalam Bentuk BUMDes


Secara umum, sebuah badan usaha yang mampu menggerakkan roda
perekonomian di tiap-tiap daerah sangatlah mutlak diperlukan. Apalagi di era
ACFTA seperti saat ini. Integrasi ekonomi berbagai negara mulai memasuki sendi-
sendi vital ekonomi diberbagai daerah. Tak dapat dielakkan lagi, kebijakan-kebijakan
yang dulunya kontra terhadap perekonomian wajib untuk direvitalisasi. Pasalnya,
peran serta kelembagaan dalam memajukan perekonomian sangatlah besar. Nampak
jelas ketika kinerja kelembagaan mengalami kelesuan, maka laju pertumbuhan
perekonomian tidaklah maksimal. Ibaratkan dua sisi mata uang, peran kelembagaan
dan unit usaha tidaklah bisa dipisahkan. Dipandang dari level makro, pertumbuhan
ekonomi biasanya ditentukan oleh tiga variabel, yakni tabungan (saving), investasi
(investment) dan penduduk (population). Secara gamblang, Yustika (2008),
menyebutkan bahwasannya tingkat tabungan yang tinggi akan memicu terjadinya
investasi, kemudian investasi tersebut akan menyerap tenaga kerja, selanjutnya tenaga
kerja (plus alat-alat/mesin/stok modal) akan menghasilkan output. Pertambahan
output inilah yang menjadi sumber terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Namun, cerita mengenai pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadangkan
tersebut, kerap kali hanyalah menjadi sebuah kisah sukses (success story)
pembangunan ekonomi di negara kapitalis semata. Permasalahan ekonomi dinegara-
negara berkembang menunjukkan sebuah fakta yang cenderung memprihatinkan.
Tingginya angka kemiskinan dinegara berkembang menjadikan tingkat investasi
menjadi terhambat. Ini dikarenakan investor selalu mempertimbangkan beberapa hal
(utamanya kondisi negara/wilayah) sebelum menginvestasiakan modalnya.
Sebenarnya, dari prinsip pertumbuhan ekonomi itu sendiri tak bisa dilepaskan
dari kisah sukses negara-negara Eropa dan Amerika dalam pembangunan
ekonominya pasca perang dunia. Karenanya, kebanyakan negara berkembang

14
mengandalkan pendekatan growth center dan industri sebagai leading sector dalam
strategi pembangunannya. Karena secara teoritik, daerah pinggiran (periphery) akan
berkembang melalui efek penyebaran (spread effects) dan efek tetesan ke bawah
(trickle down effect). Tetapi pada kenyataannya stategi ini tidak berhasil dalam
menyebarkan dan merembeskan efek dari pusat pertumbuhan dan percepatan
transformasi daerah (Fitanto, 2003). Yang terjadi malah adanya kerimpangan secara
brutal. Bahkan Sachs (2006), memaparkan bahwasannya dari keseluruhan negara
berkembang, lebih dari delapan juta orang meninggal setiap tahunnya karena jeratan
kemiskinan. Fakta tersebut jelaslah bahwa peran serta kelembagaan tidaklah
maksimal. Sehingga, perlu adanya revitalisasi kelembagaan yang mampu
memberdayakan masyarakat dari objek menjadi subjek.
Revitalisasi kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat yang dimaksud
secara sistematis haruslah menginternalkan nilai-nilai kelokalan dengan tujuan
mempermudah implementasi kebijakan dan mewujudkan adanya spesialisasi produk
yang menjadi keunggulan daerah (comparative advantage). Pengimplementasian
kebijakan dengan tujuan peningkatan perekonomian diberbagai daerah haruslah
dimulai dari tataran kelembagaan yang paling sederhana yaitu desa. Adapun maksud
dan tujuan kenapa desa dipilih, lantaran agar pengembangan perekonomian negara
mampu merasuk keberbagai elemen masyarakat dan mewujudkan salah satu cita-cita
makro negara yaitu pemerataan. Dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa
merupakan bagian pemerintahan terendah yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri.
Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, pemberlakuan badan usaha yang
dimulai dari tataran desa, diharapkan mampu meningkatkan daya saing produk
melalui spesialisasi yang dalam jangka panjang akan meningkatkan perekonomian
negara. Sebab, pemberdayaan desa merupakan suatu upaya strategis dalam rangka
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah.
Perwujudan badan usaha yang ada di desa ini sering kali dikenal dengan BUMDes.

15
BUMDes sebagaimana amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dimaksudkan sebagai
usaha desa untuk mendorong dan menampung seluruh kegiatan peningkatan
pendapatan masyarakat, baik yang berkembang menurut adat istiadat dan budaya
setempat, maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh
masyarakat melalui program dan proyek pemerintah serta pemerintah daerah.
Sebagai lembaga usaha ekonomi desa, pembentukan dan pengelolaan
BUMDes dimaksudkan sebagai instrument seluruh kegiatan ekonomi mandiri desa
(peningkatan Pendapatan Asli Desa/PADes dan kesejahteraan masyarakat desa), baik
yang berkembang menurut adat istiadat/budaya setempat (kearifan lokal), maupun
kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat (desa)
melalui program/proyek pemerintah dan pemerintah daerah (Muflich:2009).
Pendirian dari BUMDes tidaklah terlalu rumit dan tidak membutuhkan waktu
yang lama. BUMDes dapat didirikan dengan adanya inisiatif dari pemerintah desa
maupun masyarakat. Selain itu, permodalannya dapat diperoleh dari berbagai sumber
baik dari masyarakat, pemerintah desa (aparatur desa), pemerintah pusat dan daerah,
perbankan, maupun hibah.
Realisasi adanya BUMDes keberbagai daerah telah dimulai sejak tahun 2004
silam. Hingga saat ini, beberapa daerah masih belum siap menerapkan BUMDes
lantaran kapasitas kelembagaan yang belum mumpuni. Sekedar sebagai contoh,
Nandang (2010) mengungkapkan, dari total 128 desa yang ada di kabupaten Malang,
hanya 14 desa saja yang mendirikan BUMDes. Hal senada disampaikan oleh Harian
pikiran rakyat (09 november 2009), dari 267 Bumdes yang mendapat bantuan modal
dari pemkab Bandung, hanya 86 Bumdes yang masuk kategori maju/berkembang.
Sungguh ironis melihat fenomena ini mengingat perannya dalam jangka
panjang sangatlah besar, namun pengelolaannya tidaklah dijalankan secara maksimal.
Pale; dalam Darmawangsa (2008), menyatakan bahwasannya sesuatu yang luar biasa
itu tidak akan menjadi luar biasa lagi ketika disikapi dan diperlakukan secara biasa-
biasa saja. Tak dapat dielakkan lagi, sesuatu yang luar biasa yang tertuang dalam
BUMDes haruslah disikapi pula dengan cara yang luar biasa. Lantaran permodalan,

16
pengelolaan, dan pemasaran produk akan lebih efektif dan efisien ketika peran
pemerintah (institusi) mampu dimaksimalkan.
Badan usaha yang berbentuk BUMDes agar lebih baik haruslah
memberdayakan sistem-sistem yang lebih inovatif. Inovatif disini bukan hanya
menekankan pada modernisasi semata tetapi harus ditunjang dengan penginternalan
nilai-nilai kelokalan. Diharapkan, ada pembentukan usaha ekonomi baru yang berakar
dari sumberdaya lokal melalui optimalisasi kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat
desa yang telah ada. Hal ini sekaligus merupakan upaya percepatan pencapaian
pertumbuhan ekonomi perdesaan yang mendasarkan pada peningkatan kesempatan
berusaha bersama dalam rangka mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

4.2 Kekuatan BUMDes dalam Menghadapi ACFTA

Globlalisasi yang ditandai dengan adanya perdagangan bebas telah menuntut


seluruh Negara di dunia untuk lebih kreatif dan inovatif. Terutama bagi Indonesia,
dimana pertumbuhan UMKM Indonesia masih rendah. Padahal potensi yang berbasis
kearifan lokal yang dimiliki sangat besar. Dengan adanya perdagangan bebas, produk
dari berbagai negara dapat keluar masuk dan diperjualbelikan dengan bebas di negara
lain membuat tantangan tersendiri bagi Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh pemerintah untuk menumbuhkan perekonomian.
Persaingan dunia usaha khususnya industri baik skala menengah dan skala
kecil semakin hari menunjukan trend persaingan yang semakin ketat. Globalisasi
dalam dunia usaha di satu sisi membawa dampak positif bagi yang sudah siap untuk
bersaing tetapi membawa dampak negatif bagi yang belum siap, terutama dalam
memanfaatkan sistem perdagangan yang strategis khususnya dalam rangka menjaring
segala bentuk pemasaran. Sistem pemasaran yang lemah serta kurangnya perhatian
dari pemerintah daerah membuat perkembangan UMKM di Indonesia menjadi
tertahan.
Dari perspektif dunia, sudah diakui bahwa usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) memainkan suatu peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan

17
pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang (NSB)
tetapi juga di negara-negara maju (NM). Di NM, UMKM sangat penting tidak saja
karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja tetapi juga di
banyak negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk
domestik bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari usaha besar (UB).
Menurut Aharoni (1994), jumlah UMKM di Amerika Serikat (AS) sedikit di atas
99% dari jumlah unit usaha. Di Belanda, misalnya, jumlah UMKM sekitar 95% dari
jumlah perusahaan di negara kincir angin tersebut (Bijmolt dan Zwart, 1994). Seperti
di AS, juga di negara-negara industri maju lainnya yang tergabung dalam OECD
seperti Jepang, Jerman, Perancis dan Kanada, UMKM merupakan motor penting dari
pertumbuhan ekonomi dan progres teknologi (Thornburg, 1993).
Berikut ini adalah tabel mengenai peranan UMKM dalam Perekonomian
Indonesia selama tahun 2008. Tabel di bawah ini akan menunjukkan begitu besarnya
kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia.

Tabel 4.1 Peranan UMKM dalam Perekonomian Domestik tahun 2008

Pada tabel diatas, kontribusi UMKM terhadap PDB (atas harga berlaku) tahun
2008, UMKM menyumbang sekitar 55,56% dari total PDB. Secara sektoral, pada

18
tahun 2008 peran UMKM di sektor pertanian, perdagangan, dan jasa-jasa cukup besar
yaitu masing masing sebesar 95,26%, 96,34%, dan 95,66%. Kemudian diikuti oleh
sektor keuangan dan jasa perusahaan; jasa-jasa; konstruksi; dan pengangkutan/
komunikasi. Sementara kontribusi UMKM terhadap sektor pertambangan, industri,
dan listrik relatif kecil. Di samping itu, kontribusi UMKM juga terlihat dominan dari
sisi banyaknya unit usaha yang terserap. Jumlah unit usaha dalam yang terserap
dalam UMKM mencapai 99,99% dari total unit usaha, dengan Sumbangan 3 sektor
terbesar mencapai 85%. Tiga sektor terbesar tersebut adalah pertanian, perdagangan,
dan jasa dimana masing-masing menyumbang sebesar 26,40 juta, 14,79 juta, dan 2,18
juta unit usaha.
Selain itu, UMKM turut berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja secara
nasional. Jumlah tenaga kerja yang diserap UMKM mencapai 90,9 juta orang atau
97,10% dari total jumlah tenaga kerja nasional. Sebagian besar tenaga kerja tersebut
terkonsentrasi pada UMKM kategori mikro yaitu sebesar 81,74% dari total tenaga
kerja UMKM. Jika dilihat secara sektoral, tenaga kerja UMKM menyebar pada
seluruh sektor dan sebagian besar memberikan kontribusi signifikan pada penyerapan
tenaga kerja di sektor tersebut. Dari sisi jumlah tenaga kerja, UMKM menyumbang
tenaga kerja terbanyak pada sector pertanian dan perdagangan yaitu masing-masing
42,46 juta dan 24,31 juta tenaga kerja atau sekitar 73% dari total tenaga kerja di
sektor UMKM.
Data diatas cukup gamblang menjelsakan betapa dahsyatnya kekuatan
UMKM bila totalitas dalam penggarapannya pada level pemangku kebijakan
dijalankan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian dalam menghadapi ACFTA,
badan usaha yang berbentuk BUMDes merupakan solusi tepat untuk pembangunan
perekonomian di Indonesia. Optimalisasi potensi BUMDes sebagai implementasi
dari keinginan mengembangkan ekonomi rakyat merupakan opsi yang sangat
mungkin. Hal ini dikarenakan ada beberapa potensi unggulan yang dimiliki oleh
BUMDes antara lain:
a. BUMDes menggunakan bahan baku lokal dan bersifat padat karya (walaupun
dalam perkembangannya akan menuju pada teknologi pengolahan).

19
b. Modal kecil dengan rentang waktu produksi yang cepat
c. Mampu memaksimalkan sumberdaya lokal karena dapat dilaksanakan
diberbagai tempat sesuai dengan potensi daerah.
d. Banyak memanfaatkan sumberdaya lokal sehingga tidak banyak terpengaruh
oleh gejolak perekonomian internasional, sebaliknya dapat merangsang
pertumbuhan usaha lokal yang berdampak luas pada optimalisasi pemanfaatan
seperti lahan, hasil-hasil pertanian tambang dan bahan galian, produk
sampingan hasil hutan dll, sehingga ketergantungan pada barang-barang
import relative rendah.
e. Produk barang bervariasi dari bahan mentah sampai dengan produk akhir.
Potensi BUMDes memang perlu dikedepankan karena faktor inilah yang akan
dijadikan andalan untuk membangun ekonomi yang berbasis pada kearifan lokal yang
ada, hal ini diharapkan mampu mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan.
Selain itu juga dapat untuk menggerakkan ekonomi serta tumbuhnya wirausaha-
wirausaha baru di daerah. sehingga tidak hanya di kota saja tetapi perekonomian di
daerah pedesaan juga mampu tumbuh dan bersaing di pasar global terutama untuk
menghadapi ACFTA.
Penekanan badan usaha berbentuk BUMDes yang berbasis pada kearifan lokal
merupakan sebuah strategi yang sangat tepat. Hal ini dikarenakan dengan berfokus
pada potensi lokal dapat menggerakkan sektor riil yang ada di daerah. misalnya saja
sektor pertanian. Seringkali penduduk di pedesaan hanya mampu untuk menanam
saja namun untuk proses pengolahan belum mampu. Sehingga mereka akan
memasarkan hasil murni panen mereka ke sebuah perusahaan produksi dengan harga
murah. Selain itu sebagian besar petani justru menjual hasil pertanian mereka kepada
tengkulak. Sehingga bila ada kenaikan ataupun penurunan harga di pasaran, petani
tidak akan tahu karena akses mereka untuk terjun langsung kepasar sangatlah
terbatas.
Oleh karena itu, BUMDes merupakan salah satu alternatif yang sangat tepat.
Hal ini juga akan meningkatkan pendapatan penduduk desa karena BUMDes
merupakan badan usaha milik bersama yang dilakukan oleh masyarakat dan diawasi

20
juga oleh masyarakat. BUMDes juga dapat meningkatkan semangat-semangat baru
bagi UMKM setempat, karena mereka dapat menyalurkan dan mencari informasi
melalui BUMDes. Sehingga permasalahan utama bagi UMKM sekarang yang berupa
masalah pemasaran dapat teratasi. Sehingga UMKM tidak perlu bersusah payah
mencari daerah pemasaran karena mereka cukup menyalurkannya melalui BUMDes.
Sehubungan dengan itu, seiring diberlakukannya ACFTA yang ternyata
berdampak buruk terhadap sebagian besar UMKM di Indonesia, maka BUMDes
hadir sebagai penolong bagi eksistensi UMKM di Indonesia. Berikut ini adalah
masalah-masalah yang sering muncul pada UMKM di Indonesia:

Tabel 4.3 Problem-problem Utama yang Dihadapi oleh UMKM di Indonesia


Tahun 2003

Dari data di atas dapat diketahui bahwa masalah utama yang dihadapi oleh
UMKM Indonesia yaitu pemasaran dan berikutnya adalah modal. Sehingga
munculnya BUMDes ini selain untuk membantu proses pemasaran juga digunakan
untuk bantuan modal. Karena BUMDes milik masyarakat yang sebagian profitnya
juga untuk penyaluran modal ke masyarakat itu sendiri.
Sinergitas antara UMKM dalam BUMDes ini akan menjadi langkah strategis
dalam menghadapi ACFTA karena sudah diketahui bahwa penyebaran UMKM di

21
Indonesia sangat banyak bila dibandingkan penyebaran usaha-usaha besar. Berikut
adalah data penyebaran usaha menengah dan usaha besar:

Tabel 4.1 Jumlah Unit Usaha Menurut Skala Usaha Di Semua Sektor Tahun
1997-2006 (000 unit)

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa jumlah penyebaran usaha menengah
jauh lebih bayak bila dibandingkan dengan usaha besar. Hal ini akan menjadi
kekuatan tersendiri bagi BUMDes yang bergerak dalam perkembangan perekonomian
berbasis potensi-potensi lokal yang ada. Sehingga sangat bagus sekali jika BUMDes
ini nantinya dapat menaungi UMKM yang ada di daerah masing-masing desa.
Hal ini sebenarnya ditunjang dengan daya saing Indonesia pada level global.
Dari data World Economic Forum,2009 daya saing Indonesia pada pasar global
menduduki peringkat ke-54 (lihat tabel 4.5). Sehingga dengan adanya BUMDes juga
akan dapat digunakan sebagai langkah strategis untuk meningkatkan ekspor dan daya
saing bangsa.

22
Tabel 4.5 Peringkat Daya saing Indonesia

Dengan adanya badan usaha yang berbentuk BUMDes juga sangat berpotensi
untuk meningkatkan ekspor. Keanekaragaman sumber daya alam dan budaya inilah
yang sesungguhnya menjadi kekuatan bagi Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara
lain. Apabila dahulu UMKM sulit untuk melakukan ekspor, maka di sinilah peran
BUMDes agar laju ekspor nasional terus digenjot terutama pada tataran usaha kecil
menengah yang selama ini masih berkutat pada pasaran local dan nasional. BUMDes
dengan segala inovasi, pengurus yang lebih berkompeten serta kelembagaan yang
baik akan dapat menanungi UMKM dan pada akhirnya dapat menjadi sebuah badan
usaha yang tangguh untuk menghadapi Asean-China Free Trade Agreement
(ACFTA).

4.3 Strategi Pengembangan BUMDes dalam Menghadapi ACFTA


Strategi pengembangan disini mempunyai pengertian bahwa haruslah
dilakukan pengembangan secara sistematis, berwawasan, dan terstrategisasi dalam
hal ini disesuaikan dengan konteks perkembangan menghadapi ACFTA. BUMDes
sendiri merupakan satu kesatuan lembaga perekonomian yang mendasarkan pada
prinsip dasar “member base” dan “self help” di desa yang terus dipelihara oleh
masyarakat setempat menurut kearifan lokal, dan bukan merupakan lembaga
perbankan formal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992

23
dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, serta tidak termasuk
dalam sistem perkoperasian sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dengan demikian BUMDes adalah sistem
kegiatan perekonomian masyarakat yang ada di desa dan dikelola oleh masyarakat
bersama pemerintahan desa setempat. Sedangkan prinsip dasar dalam pembentukan
BUMDes adalah sebagai berikut:

1) Pemberdayaan, memiliki makna untuk meningkatkan kemampuan


masyarakat, keterlibatan masyarakat dan tanggung jawab
masyarakat;
2) Keberagaman, bahwa usaha kegiatan masyarakat memiliki
keberagaman usaha, dan keberagaman usaha dimaksud sebagai
bagian dari unit usaha BUMDes tanpa mengurangi status
keberadaan dan kepemilikan usaha ekonomi masyarakat yang
sudah ada.
3) Partisipasi, pengelolaan harus mampu mewujudkan peran aktif
masyarakat agar sentiasa memiliki dan turut serta bertanggung
jawab terhadap perkembangan kelangsungan BUMDes.
4) Demokrasi, mempunyai makna bahwa dalam mengelola didasarkan
pada kebutuhan masyarakat dan harus diselenggarakan dalam
perspektif penyelenggaraan administrasi keuangan yang benar.
Prinsip-prinsip dasar pembentukan diatas harus dipegang dan dijunjung tinggi
sebelum benar-benar membentuk BUMDes. Pemikiran demikian sebenarnya tak bisa
dilepaskan dari perspektif pembangunan alternatif. Dimana pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat menekankan pentingnya pembangunan berbasis
masyarakat (community based development), bersifat bottom up dan lokalitas.
Pendekatan yang dilakukan adalah pembangunan tingkat lokal, menyatu dengan
budaya lokal, bukan memaksakan suatu model pembangunan dari luar serta sangat
menyertakan partisipasi orang-orang lokal (Zubaedi, 2007).

24
Dengan demikian, prinsip tersebut mempunyai peranan penting bila ditilik
setidaknya dari tiga faktor penentu keberhasilan. Pertama adalah swadaya, hal ini
mengandung maksud bahwa sesuatu hal bisa berdiri karena ada suatu inisiatif dari
masyarakat internal sendiri karena suatu pemikiran atas kesadaran sendiri. Hal ini
penting dalam rangka memperkuat suatu inisasi agar progresnya dapat terlaksana
dengan baik. Kedua kolaboratif, kadangkala dalam suatu pengorganisasian dalam
rangka mencapai tujuan dibutuhkan suatu elemen yang berbeda. Elemen yang
berbeda tersebut pada hakikatnya menjadi proses aktualisasi komitmen dalam
memecahkan suatu permasalahan sosial. Ketiga adalah partisipaoris, dimana hal ini
lebih menitikberatkan pada pemberian ruang bagi partisipasi warga dalam proses
pembangunan.
Lebih lanjut, strategi pengembangan BUMDes sebagai penguatan ekonomi
lokal dalam konteks menghadapi ACFTA harus bertumpu pada lima hal, yaitu:
Kepengurusan, Permodalan, Pengembangan Kerjasama, Pembinaan, Pengawasan,
dan Evaluasi. Gambaran mengenai strategi pengembangan BUMDes adalah sebagai
berikut:

25
Gambar 01. Strategi Pengembangan BUMDes dalam Menghadapi ACFTA

Group Lending
Eksternal: Asymetric
Information
Techn. Assistance
Kepengurusan

Training
Internal: Manajerial
(Kompetensi)
Kompensasi

Pengelolaan Asset Capital Formation

Keuangan Saving
Pembiayaan
Loan

Aid
Lembaga Formal
Pengembangan
Naskah kerjasama dan
Kerjasama
keberlanjutan
Lembaga Informal

Teknis Operasional

Pembinaan
Pelaksanaan
Pengembangan

Fungsi Audit

Monitoring dan
Evaluasi Fungsi Konsultasi

Fungsi tanggungjawab

26
Dalam penentuan strategi yang tepat bagi BUMDes diperlukan pemahaman
yang komprehensif baik faktor internal maupun eksternal. Sebagai langkah awal
strategi, BUMDes harus memfokuskan pada penterjemahan visi/misi yang mengarah
pada pembentukan image positif dengan lingkungan market. Selain itu, harus
didukung dengan penguatan struktur fungsi manajemen dalam berhubungan dengan
beberapa kepentingan dan pasar.
Tahap selanjutnya pengembangan BUMDes lebih diintensifkan dalam
beberapa hal, seperti: prospek bisnis (besarnya penguasaan pasar, kompetisi dan
permintaan pelayanan); kapasitas manajemen; operasional (sistem dan prosedur,
sistem informasi dan manajemen, serta akuntabilitas); resiko (manajemen asset dan
efisiensi biaya); produk dan pelayanan. Untuk memfokuskan kajian mengenai strategi
pengembangan, pelaksanaan fungsi-fungsi BUMDes harus diorientasikan pada 6 hal
utama yaitu: Kepengurusan, Permodalan, Pengembangan Kerjasama, Pembinaan,
Pengawasan, dan Evaluasi. Sehingga keberlangsungan BUMDes dapat optimal dan
mencapai taraf ekspor sebagai daya dongkrak dalam menghadapi ACFTA.
Setidaknya, lingkup usaha BUMDes dikelompokkan menjadi 4 (empat)
bidang pokok sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa, adalah sebagai berikut :
a. Usaha jasa yang meliputi jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air,
listrik desa dan usaha lainnya yang sejenis.
b. Penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa.
c. Perdagangan hasil pertanian (usaha pangan) meliputi tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan, agribisnis.
d. Industri kecil dan kerajinan rakyat
Jika jenis usaha yang akan dibuat sangat prospektif, maka dapat ditetapkan
sebagai jenis usaha desa yang akan dikembangkan melalui prosedur penetapan
sebagai berikut:
a. Penggalian inisiatif usaha dari segenap stakeholders yang ada di desa untuk
menyepakati alternatif pengembangan usaha.

27
b. Terhadap alternatif pengembangan usaha yang disepakati, selanjutnya
dilaksanakan pengkajian dan analisis secara mendalam apakah usaha
tersebut layak dikembangkan atau tidak. Proses pengkajian bisa dilakukan
melalui inventarisasi sumber pengembangan seperti sumberdaya alam yang
tersedia, kemampuan sumberdaya manusia, sumberdaya finansial,
kemampuan manajemen maupun jaringan pemasaran.
c. Menyusun studi kelayakan usaha setidaknya meliputi: analisis usaha, pilihan
bentuk lembaga usaha, bentuk dan peran serta Pemerintah Desa dan BPD,
bentuk peran serta masyarakat, pola pembagian saham, pengembangan
SDM, permodalan, teknologi, dan sebagainya.
d. Prosedur penetapan harus difasilitasi oleh fasilitator yang ditunjuk yang
sesuai dengan bidang tugasnya.

4.3.1. Kepengurusan
Tak dapat disangkal, bahwa atmosfer internal yang kondusif merupakan
penggerak utama dalam mengembangkan motivasi bisnis yang lebih maju. Hal ini
disebabkan dengan pengembangan internal institusi yang lebih terarah, pelaksanaan
fungsu-fungsi strategi manajemen dapat teralisasi secara efektif (Satria, 2007). Maka,
dengan tujuan seperti itu maka orientasi institusi harus dilaksanakan dalam beberapa
hal: pengembangan struktur organisasi, pengembangan prosedur operasional
manajemen, pengembangan budaya organisasi serta peningkatan kontrol manajemen.
Sehubungan dengan itu, sesungguhnya kepengurusan tak lepas dari peran
penting seorang pimpinan/manajer dalam mengkondisikan dan mengoptimalkan
kemampuan staf-stafnya. Selain itu pengembangan institusi harus dioptimalkan
dengan kompetensi manajemen yang digambarkan dalam budaya kerja seperti
kompetensi staf dan pimpinan terhadap stakeholder yang terkait.
Dalam banyak kasus, diduga kuat mengapa BUMDes tidak berjalan optimal
bahkan mengalami kemacetan pada berbagai daerah karena pengelolaan yang tak
profesional, terlebih kompetensi manajemen dan pimpinan yang masih over capacity.
Solusi dari permasalahan ini tak lain adalah pembangunan kapasitas pada sektor

28
pengelolaan/manajerial. Hal ini berarti harus ada pembekalan dan keahlian yang
memadai dengan tuntutan agar terjadi percepatan.
Secara sederhana, kerangka kerja dalam mendesain program pembangunan
kapasitas pada kepengelolaan BUMDes adalah sebagai berikut:

Gambar 02. Kerangka Kerja Desain Program Pembangunan Kapasitas pada


BUMDes

Kapasitas
BUMDes dan
pegawai

Kapasitas yang
dimiliki
Pembangunan Kapasitas yang
kapasitas pada diharapkan
kepengurusan
BUMDes

Metode:
Keterampilan dan
kemahiran pelatihan
ahli, bantuan
finansial, dan lain-
lain

Kerangka desain diatas secara intrinsik mengandung istilah harus adanya


perencanaan strategis yang harus dikedepankan agar kepengurusan BUMDes benar-
benar dapat sesuai dengan target yang diharapkan. Untuk mencapai kesuksesan,
kapasitas yang sekarang dimilki baik individual maupun organisasional harus
diidentifikasikan secara baik dan ditindaklanjuti untuk mendesain proses dan metode
yang mungkin dilakukan (Yuwono, 2005).
4.3.2. Keuangan

29
Salah satu tujuan BUMDes adalah untuk mencapai kekuatan keuangan
(financial viability) dan keberlangsungan profit sehingga diharapkan lebih mandiri
dan independen. Maka, harus diperlukan pemahaman yang utuh mencakup
pengelolaan asset dan pembiayaan . Secara teknis, modal Perusahaan Desa
sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa
dapat berasal dari :
a. Pemerintah desa.
b. Tabungan masyarakat.
c. Bantuan yang berasal dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten.
d. Pinjaman, dan/atau
e. Penyertaan modal pihak lain atau kerjasama bagi hasil.
Dengan demikian, bila permodalan mencakup berbagai sumber yang berbeda,
maka diperlukan suatu transparansi dan akuntabilitas. Untuk mewujudkan
akuntabilitas maka prasyarata yang harus dipenuhi adalah adanya teritori yang jelas
(local teritorial of power) yang dimilki oleh BUMDes. Disini berarti bahwa tugas
pembagian wewenang harus jelas dan dapat disekat secara tegas.

4.3.3. Pengembangan Kerjasama


BUMDes yang cocok diperlukan agar kepentingannya terwakili dalam
berhadapan dengan lembaga formal adalah bank dan kelompok-kelompok ekonomi
lainnya. Disamping itu, hendaknya menggunakan kesempatan yang ada untuk turut
serta dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang sosial dan ekonomi
pemerintah melalui organisasi yang efektif. Selain itu, pengembangan kerjasama juga
tidak hanya menyangkut masalah usaha, tetapi juga dapat seperti ketenagakerjaan,
keuangan dan permodalan, atau yang lainnya dimana dapat mengembangkan progres
BUMDes secara lebih signifikan.
Disamping itu, pengembangan jaringan disini juga tercakup dalam
pengembangan kerjasama yang harus dilakukan oleh BUMDes. Khusus untuk
pengembangan jaringan, harus dipandang sebagai sebuah faktor yang signifikan

30
dalam mengembangkan BUMDes yang berorientasi global. Setidaknya terdapat
empat jenis ikatan jaringan berdasarkan hubungan yang dipertahankan, diantaranya:
ikatan personal dan etnis, kedekatan geografis, integrasi organisasi, dan hubungan
pembeli dan penjual (Perry, 2000). Sistem ini cocok diaplikasikan dalam masyarakat
pedesaan karena penekanannya pada pentingnya model sosial interpersonal yang
bercorak tradisional dan gemeinschaft.
Jaringan bisnis kecil yang dikonstruki di seputar jaringan sosial berkembang
melalui asosiasi yang dibentuk oleh keluarga, sahabat dan kenalan. Model rencana
jaringan pada BUMDes dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 01. Rencana jaringan UMKM pada BUMDes
Jenis Jaringan Ciri-ciri Hubungan Contoh Persoalan
Keluarga Ikatan yang Bisnis berbasis Tergantung sumber
didasarkan pada keluarga etnis ekonomi tertutup
keluarga dan kontak
personal, dilekatkan
dalam komunikasi
yang terjalin erat

Tempat Kedekatan geografis Pengelompokkan Kebertahanan variasi


dan berbagi dalam satu wilayah berasal antara distrik
komitmen dari nilai potensi, seperti industri, berawal
dan tujuan kesamaan komoditi sebagai hambatan
unggulan dalam replikasi
lingkup RT/RW
Organisasi Investasi atau Kelompok bisnis, Status prusahaan kecil
kepemilikan atau kerjasama antar dalam kelompok
keanggotaan asosiasi keluarga/tempat horisontal dan vertikal
industri dengan model pengaruh pada
perdagangan yang kerjasama industri
hampir sejenis
Pembeli- Interaksi untuk Hubungan Perluasan pertukaran
pemasok meningkatkan subkontrak dalam subkontrak
pemasok menggunakan tarif
pedagang, dampak
manufaktur global

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

31
Model jaringan tersebut diharapkan dapat memberikan suatu model
perencanaan pembentukan UMKM berdasarkan potensi keunggulan wilayah sebagai
sarana mengembangkan BUMDes pada skup tertentu sehingga orientasi keluar dapat
benar-benar diwujudkan. Orientasi keluar tidak hanya pada tataran kewilayahan,
regional maupun nasional, tetapi juga internasional.

4.3.4. Pembinaan
Pembinaan disini mempunyai peranan sangat penting sebagai pendamping
agar berjalannya BUMDes benar-benar terkawal sehingga orientasi yang diharapkan
benar-benar terwujud dalam level kapabilitas yang baik. Pembinaan dilakukan secara
teratur dan berkesinambungan. Program pembinaan juga tak bisa dilepaskan karena
motivasi untuk peningkatan produktivitas dan tingkat keberhasilan. Sehingga,
langkah nyata disini adalah pemberian nasehat teknis yang lebih efektif. Nasehat
yang efektif disini dapat tercapai hanya apabila benar-benar ada koordinasi yang lebih
baik antara program-program dan pelayanan pemberian nasehat yang lebih baik.
Pengembangan kerjasama dengan pihak swasta seperti perusahaan pemberian
kursus-kursus khusus secara teratur untuk tenaga pelatih dan tenaga pengajar teknik
mengenai masalah manajemen, keuangan, organisasi, lingkungan dan sebaginya juga
sangat diperlukan. Program ini dilaksanakan karena tenaga pengajar di lembaga-
lembaga swasta memilki latar belakang pendidikan formal yang lebih baik dan
pengalaman praktis yang lebih banyak. Selain itu, lembaga-lembaga ini memilki
fleksibilitas yang lebih tinggi untuk menyesuaikan diri jika ada tuga-tugas baru.
Hal diatas sebenarnya adalah pengembangan dari pembinaan yang terdahulu
dilakukan sehingga sifatnya lebih kepada pengembangan. Karena secara teknis,
pembinaan BUMDes adalah sebagai berikut:
1. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan menetapkan kebijakan norma
dan standar, kriteria, serta pedoman umum pembentukan dan pengelolaan
BUMDes.
2. Gubernur melalui Instansi yang menangani urusan pemerdayaan masyarakat
dan desa mengkoordinasikan rencana program pengembangan BUMDes lintas

32
kabupaten dan menjabarkan pedoman umum dalam bentuk Petunjuk Teknis
Operasional di wilayahnya, serta melaporkan secara periodik perkembangan
pelaksanaan pengembangan BUMDes kepada Menteri Dalam Negeri. Direktur
Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.
3. Bupati melalui Instansi yang menangani urusan pemberdayaan masyarakat dan
desa melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi, pelatihan teknis
manajemen BUMDes, pendampingan, mengkoordinasikan perencanaan dan
pelaksanaan pengembangan BUMDes.
4. Camat mengkoordinasikan pembinaan teknis pengelolaan BUMDes di wilayah
kerjanya, dan melaporkan perkembangan pelaksanaan pengembangan BUMDes
kepada Bupati dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur

4.3.5. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi dilakukan sebagai penilaian dan hasil capaian dari
kerja yang dilakukan. Kegiatan ini harus didiskusikan antara tim teknis/pembina,
pihak pengurus, anggota, dan pemerintah (baik desa, kecamatan maupun daerah).
Sedangkan review dapat dilakukan bulanan atau tahunan.

33
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pembentukan BUMDes sangat efektif untuk memaksimalkan semua potensi
lokal yang ada dalam suatu daerah/desa, terutama pengembangan UMKM agar dapat
mendongkrak pendapatan desa, lembaga, dan perorangan serta penyerapan tenaga
kerja. Pembentukan badan usaha ini agar dapat merubah keadaan perekonomian desa
hingga dapat berbicara pada level nasional dan internasional dalam konteks
perdagangan bebas ACFTA. Strategi pengembangan BUMDes harus berorientasi
pada konteks global melalui berbagai elemen penting diantaranya kepengurusan,
keuangan, pengembangan kerjasama, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
Peningkatan pengembangan kapasitas masyarakat anggota dan jajaran
manajemen harus mendapatkan perhatian serius dan penekanan utama selama proses
persiapan, perencanaan, bahkan harus dilanjutkan sampai tahap strategi
pengembangan. Tanpa kapasitas yang cukup bagi pengelolaan maka kemungkinan
keberhasilan secara berkelanjutan akan sulit dijamin. Strategi pengembangan
BUMDes sebagai upaya penguatan ekonomi lokal dan berorientasi global harus
dipandang sebagai pendekatan pengelolaan bersama (co-management) atau secara
kolaboratif dimana masyarakat, badan usaha, dan pemerintah secara aktif
bekerjasama selama proses baik perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan.
Demikian juga di tingkat desa, dukungan yang kuat dari pemimpin setempat
pada saat memulai perencanaan akan sangat membantu pada tahap-tahap berikutnya.

5.2 Saran
1. Untuk mencapai keberhasilan program pengembangan BUMDes ini hal
yang penting adalah perlunya pelatihan naik pada sektor manajemen,
keuangan, dan peningkatan kerjasama sehingga benar-benar dapat
mendongkrak perekonomian lokal yang berorientasi global.

34
2. Pembangunan kapasitas sumberdaya manusia disini merupakan kunci
dalam mengubah situasi sosial dan ekonomi setempat serta pengembangan
usaha khususnya UMKM pada BUMDes. Hal ini perlu dilakukan dari
awal hingga tahap pengembangan dengan dibarengi pada tataran
pengawasan dan monitoring evaluasi.
3. Dibutuhkan dukungan secara penuh dari pemerintah baik pusat, daerah,
hingga level desa dalam mendorong program ini untuk menjamin
keberhasilan dalam pengembangan dan penguatan ekonomi lokal melalui
UMKM dalam BUMDes sehingga benar-benar dapat menjadi solusi tepat
dalam menghadapi ACFTA.

35
DAFTAR PUSTAKA

Aharoni, Y. (1994), “How Small Firms Can Achieve Competitive Advantages


in an Interdependent World”, in T. Agmon and R. Drobbnick
(eds.), Small Firms in Global Competition, N.Y.: Oxford
University Press.
Arifin, Syamsul. (Eds.). 2008. Masyarakat ekonomi ASEAN (MEA)2015,
Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.
Bahagio, Sugeng. (Ed.). 2006. Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta.
Pustaka LP3ES Indonesia Bijmolt, T. and P.S. Zwart (1994), “The
Impact of Internal Factors on Export Success of Dutch Small and
Medium-Sized Firms”, Journal of Small Business Management,
32(2).
BPS. 2010. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut
Lapangan Usaha, (Online), (http://www.bps.go.id. diakses tanggal
15 Juli 2010).

Clapham, Ronald. Tanpa Tahun. Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia


Tenggara. Terjemahan Masri Maris. 1991. Jakarta:LP3ES.
Culia, Suryadi Adi. 2006. Rekonstruksi Civil Society: wacana dan aksi ornop
di Indonesia. Jakarta. Pustaka LP3ES Indonesia.
Darmawangsa, Darmadi. 2008. Champion ; 101 Tips Motivasi dan Inspirasi
Sukses Menjadi Juara Sejati. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.

Fitanto, Bahtiar. 2003. Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Masyarakat


Lokal. (et al.). (Eds), Emansipasi Nilai Lokal dan Ekonomi Bisnis
Pascasentralisasi Pembangunan. Dalam Triyuwono (halaman 51-65).
Malang: Bayumedia Publishing.

Kusnadi. 2005. Dinamika Kelompok Etnik, Etnisitas, &Pembangunan Daerah


(Konflik Sosial Dalam Perebutan Sumber Daya), (Online),
(http::/www.share.ciputra.ac.id.pdf. diakses tanggal 16 April
2010).
Maryunani. (Ed.). 2002. Alokasi Dana Desa: Formulasi dan Implementasi.
Malang: LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rineka
Cipta.

36
Mudana, I Gede. Tanpa Tahun. Pengetahuan Lokal Dalam Epistemologi
Relasional : Kajian Filsafat Kebudayaan, (Online),
(http::/www.share.ciputra.ac.id.pdf. diakses tanggal 16 April
2010).

Muhammad, Fadel. Tanpa Tahun. Reinventing Local Government Untuk


Memberdayakan Birokrasi Pemerintah Daerah, (Online),
(www.fadelmuhammad.org), diakses tanggal 27 Desember 2009).

Muhammad, Fadel. Tanpa Tahun. Pembangunan Daerah Fokus Pada


Keunggulan Daerah, (Online), (www.fadelmuhammad.org),
diakses tanggal 7 Maret 2010).

Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Perry, Martin. 2000. Mengembangkan Usaha Kecil dengan Memanfaatkan


Berbaghai Bentuk Jaringan Kerja Ekonomi. Jakarta: PT Grafindo
Persada.
Shofwan (et al). 2007. Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan sebagai
Upaya Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi Kasus Community-
Based Management Wilayah Pesisir di Kabupaten Tuban. Journal of
Indonesian Applied Economics (halaman 102-113). Malang: Badan
Penerbitan dan Dokumentasi Ilmiah Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya.
Soesilo (et al). 2007. Penyebab Kemiskinan Masyarakat Tani (Studi di Dusun
Ngebrong, Desa Tawangsari Kecamatan Pujon Kabupaten Malang).
Journal of Indonesian Applied Economics (halaman 57-67). Malang:
Badan Penerbitan dan Dokumentasi Ilmiah Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya.
Sudikin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Prespektif Mikro.
Surabaya: Percetakan Insan Cendikia.
Syafa’at, Rachmad (dkk). 2008. Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan
Lokal. Malang:In-TRANS Publishing.
Syarif, Teuku. 2008. Pendekatan dan Strategi Pembangunan Ekonomi yang
Berorientasi pada Perbaikan Iklim Usaha UMKM. Jurnal: Infokop
Volume 16 - September 2008 : 37-50.

Tambunan, Tulus T.H.2002. Usaha Kecil dan menengah di Indonesia.


Jakarta:Salemba empat.
Tim PSPK UGM. 1996. Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) Sebagai
Program Penanggulangan Kemiskinan (studi evaluasi).

37
Tri Wahyudi, Setyo. 2007.Penguatan Sektor-Subsektor Ekonomi dalam Upaya
Peningkatan Pembangunan Ekonomi Daerah. Journal of
Indonesian Applied Economics (halaman 22-42). Malang: Badan
Penerbitan dan Dokumentasi Ilmiah Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya.
Yustika, Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan
KajianEmpiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

----------------------------------. Ekonomi Kelembagaan ; Definisi, Teori dan


Strategi. Bayumedia Publishing: Malang.
Yuwono, Teguh. 2005. Pembangunan Kapasitas Dalam Pemerintahan Daerah
di Indonesia. Dalam Gunawan (et al.). (Eds), Desentralisasi
Globalisasi dan Demokrasi Lokal (halaman xxi). Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Zubaedi. 2007. Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Perpektif
Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta:Ar-Ruzz
Media.

38
BIODATA

 Nama :Arif Dwi Hartanto


Tempat tgl lahir :Banyuwangi, 05 Nopember 1987
Alamat di Malang :Jl. Kertoraharjo 91, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru,
Malang, Jawa Timur
Alamat Asal :Jl. Makam 01/02, Ds. Sere, Kec. Bangorejo, Kab.
Banyuwangi, Jawa Timur
Nomor Telepon :085655682507
Email :arief.pelukis@yahoo.com
Pendidikan : 1. SDN IV Bangorejo, Banyuwangi
2. SLTPN 1 Cluring, Banyuwangi
3. SMAN 2 Genteng, Banyuwangi
4. Semester 8 Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya
Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat:
1. “Sea-Machine” Alat Pembuat Santan Kelapa/Jamu
Berbasis Mikrokontroller.
2. Capres/ Cawapres, Dan Mencari Perspektif
Pembangunan Ekonomi Lewat Demokratisasi
3. Arsitektur Keuangan Islam Dalam Pembangunan
Ekonomi : Upaya Reformasi Sistem Moneter, Antara
Realisme dan Harapan..
4. Strategic Asset Management & Capacity Building:
Kaukus Upaya Maksimalisasi Peran Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) Dalam Kontribusi Terhadap
APBN Yang Efektif Dan Optimal.
5. Peningkatan Kapasitas Birokrasi Dati II Sebagai Upaya
Pemberdayaan Potensi Lokal Dalam Masyarakat Multi

39
Etnis (Studi Kasus Kurang Berkembangnya Kerjasama
Antar Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan).
6. Arti Penting Sebuah Dialog Dalam Islam.
7. Peranan Dialog yang Beretika untuk Menumbuhkan
Jiwa Persatuan Bangsa dalam Perspektif Islam.
8. Model Interlinkage LPPM Universitas Dengan Dinas
Sosial Dalam Menanggulangi Mental Mengemis.
9. Strategi Pengembangan Interlinkage Lppm Universitas
Dengan Bapemmas Dalam Upaya Pengentasan
Kemiskinan Di Indonesia.
10. Permasalahan Dan Strategi Pembangunan Komoditas
Padi Di Kabupaten Lamongan

Penghargaan :

1. Juara 1 LKTI Islam Al-Huda, Malang

2. Finalis KKTA PIMNAS 2009

3. Lolos Pendanaan PKMK 2010.

4. Finalis LKTI Ekonomi, Syah Kuala Aceh

40
 Nama Lengkap : Tri Cahyono

NIM : 0610210124

Fakultas/Program Studi : Ekonomi/Ekonomi Pembangunan/S-1

Perguruan Tinggi : Universitas Brawijaya

Alamat : Jl. Kerto Sariro 24, Malang 65145

No HP : 085646530316

E-mail : tri_cahyoo@yahoo.co.id

Pendidikan :

1. TK BHAYANGKARI-Kalibaru-Banyuwangi (1993 – 1994)


2. SDN Kalibaru Manis 6-Banyuwangi (1994 – 2000)
3. SLTPN 1 Kalibaru-Banyuwangi (2000 – 2003)
4. SMAN 1 Glenmore-Banyuwangi (2003 – 2006)
5. UNIVERSITAS BRAWIJAYA-Malang (2006 – Sekarang)
Pengalaman Organisasi :

1. IMEPI –Deputi Keanggotaan 2009


2. Panitia IDE X Divisi Pendamping 2009
3. Panitia PK2MABA Tahun 2008 Divisi Pendamping
4. Forum Studi Islam Dan Lingkungan, Periode 2006 –
2008
5. Fasilitator Temu Anak Malang Raya Berbantuan
UNICEF 2008
6. Panitia Olimpiade Ekonomi Se Jawa-Bali EDF Div.
Acara 2007

41
 Nama Lengkap : Ermita Yusida
NIM : 0810210050

Tempat dan Tanggal Lahir : Ngawi, 17 Juli 1989

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Fakultas/Program Studi : Ekonomi/Ekonomi Pembangunan

Perguruan Tinggi : Universitas Brawijaya Malang

Alamat : Jln. Kertopamuji No.52 Malang

No Telp/HP : 085648899492

E-mail : Indah_kussumaningtyas@yahoo.co.id

Pendidikan : TK Idhata

SDN Karangjati 1

SMPN 1 Karangjati

SMAN 3 Madiun

Ekonomi Pembangunan FE-UB

42

You might also like