You are on page 1of 4

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global yang bersifat akut karena

penyakit pembuluh darah otak, dengan tanda dan gejala sesuai bagian otak yang terkena.

Serangan stroke terjadi tanpa peringatan dan dapat sembuh secara sempurna atau sembuh dengan

cacat atau bahkan berakibat kematian, akibat gangguan aliran darah ke otak karena sumbatan

pembuluh darah otak atau akibat perdarahan karena pecahnya pembuluh darah otak

Stroke semakin meningkat di Indonesia dan merupakan beban bagi negara akibat

disabilitas yang ditimbulkannya. Menurut (WHO 2014) stroke adalah terputusnya aliran darah ke

otak, umumnya akibat pecahnya pembuluh darah ke otak atau karena tersumbatnya pembuluh

darah ke otak sehingga pasokan nutrisi dan oksigen ke otak berkurang.

Angka kejadian stroke di Indonesia sangat tinggi, bahkan merupakan negara dengan

jumlah terbesar penderita stroke di Asia. Informasi terbaru dari Yayasan Stroke Indonesia tahun

2008 menunjukkan, setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 25%

atau 125.000 orang meninggal dan sisanya cacat ringan atau berat. Jumlah penderita stroke

cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga

dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya

peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat perkotaan dan adanya perubahan

pola makan. Perubahan pola makan ke arah tinggi lemak (misalnya fast food) berakibat pada

peningkatan kadar kolesterol dalam darah atau hiperkolesterolemia (Tamaroh, 2007).

Dinas Kesehatan Jawa Tengah menunjukkan bahwa prevalensi stroke hemoragik di Jawa

Tengah tahun 2012 adalah 0,07% lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Prevalensi tertinggi

tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%. Sedangkan prevalensi stroke non

hemorargik pada tahun 2012 sebesar 0,07% lebih rendah di banding tahun 2011 (0,09%).
Prevalensi tertinggi adalah Kota Salatiga sebesar 1,16% (DEPKES, 2012, hlm.34). Data angka

kejadian stroke di Rumah Sakit Pantiwilasa Citarum tahun 2012-2013 sebanyak 300 pasien.

(Rekam Medis Rumah Sakit Pantiwilasa Citarum, 2012-2013).

Stress adalah reaksi non-spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan (stimulus

stressor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif. Bersifat sangat individual, sehingga suatu stress

bagi seseorang belum tentu sama tanggapanya nagi orang lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh

tingkat kemantangan berpikir, tingkat pendidikan, dan kemampuan adaptasi seseorang terhadap

lingkungan. (dr. LA Hartono:2007)

Perubahan fisik yang terjadi akibat penyakit ini menimbulkan keluhan-keluhan rasa sakit

pada penderitanya seperti sakit kepala, sakit punggung leher, mati rasa ataupun kelumpuhan.

Keluhan rasa sakit ini disertai dengan perubahan emosi yang hebat yang diwujudkan sebagai

pelampiasan dari rasa sakit yang dideritanya. Oleh karena itu, penderita biasanya menjadi

sensitif, cepat marah, sulit mengendalikan emosi dan mudah putus asa. Seorang penderita pasca

stroke akan mengalami gangguan emosi yang disebabkan dari perubahan fisik yang dialaminya,

penderita akan membuat persepsi bahwa dirinya sudah tidak berharga, memalukan, tidak

berguna dan menjadi beban bagi keluarga. Perasaan seperti ini muncul karena penderita sadar

dengan kondisinya yang sudah mengalami keterbatasan dari fungsi fisiknya.

Stres merupakan salah satu faktor resiko yang berada pada urutan terbawah sebagai

faktor paling berpengaruh terhadap terjadinya stroke (Utami, 2009). Hasil studi dari berbagai

penelitian menunjukkan bahwa stres merupakan salah satu faktor utama pemicu hipertensi, yang

merupakan faktor terbesar penyebab terjadinya serangan stroke (Herke, 2006).


Fakta inilah yan menjadi salah satu alasan bahwa stres perlu mendapatkan perhatian

khusus dari setiap penderita stroke. Tingginya insidensi stres di Indonesia juga merupakan alasan

mengapa stres harus diprioritaskan penanganannya sebab pada tahun 2008 tercata sekitar 10 %

dari total penduduk Indonesia mengalami gangguan mental atau stres. Tingginya tingkat stres ini

umumnya diakibatkan oleh tekanan ekonomi atau kemiskinan, Departemen statistika

menyatakan bahwa 31 juta jiwa atau 13,33 % penduduk Indonesia berada pada garis kemiskinan

dengan pengeluaran perbulan dibawah Rp 211.726,00 (Depkes, 2009). Rendahnya pendapatan

masyarakat yang hanya cukup untuk menyambung hidup tentu menimbulkan tekanan tersendiri,

apalagi bila masyarakat mengalami stroke dengan biaya pengobatan yang relatif mahal.

keluarga mengandung dimensi biologis, psikologis dan sosial. Keluarga merupakan suatu

kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau berinteraksi dan saling mempengaruhi

antara satu dengan lainnya, walaupun diantara merekan tidak terdapat hubungan darah. Namun

dalam konteks keluarga inti, secara psikologis, keluarga adalah sekumpulan terjadi saling

mempengaruhi, saling memperthatikan, dan slaing menyerahkan diri.

Gore (dalam Goltib & Hammen 1992) menyatakan bahwa “Dukungan sosial lebih sering

didapat dari relasi yang terdekat, yaitu dari keluarga atau sahabat. Kekuatan dukungan sosial

yang berasal dari relasi yang terdekat merupakan salah satu proses psikologis yang dapat

menjaga perilaku sehat dalam diri seseorang”. Bentuk dukungan sosial yang diberikan oleh

lingkungan sosial dapat berupa kesempatan untuk bercerita, meminta pertimbangan,

bantuan nasehat, atau bahkan tempat untuk mengeluh. Selain itu, lingkungan dapat

memberikan dukungan sosial berupa perhatian, bantuan materiil dan spirituil serta penghargaan

dari lingkungannya. Dukungan sosial akan sangat diperlukan oleh penderita pasca stroke
karena akan mengurangi ketegangan psikologis dan menstabilkan kembali emosi para

penderita pasca stroke.

Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan karakteristik dari responden

dan menemukan gambaran HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA

PASIEN STROKE

You might also like