You are on page 1of 6

Meraih Sukses Dunia dan Akhirat

Khutbah Pertama:

ُ
‫ْذ‬‫ُو‬
‫نع‬ََ
‫ه و‬ُُ
‫ِر‬‫ْف‬
‫َغ‬‫نسْت‬ََ
‫ه و‬ُُ
‫ْن‬ ‫َع‬
‫ِي‬ ‫نسْت‬ََ
‫ه و‬ُ‫د‬َُ
‫ْم‬ َ ِ‫ّلِل‬
‫نح‬ ‫د ِه‬ َْ
‫َم‬ ْ ‫ن‬
‫الح‬ ِّ‫إ‬
ُ‫ِ هللا‬
‫ِه‬‫هد‬ َ ْ
ْ‫ي‬ ‫من‬َ ‫َا‬ ِ‫َا‬
‫لن‬ ‫ْم‬‫َع‬
‫َاتِ أ‬ ‫َسَي‬
‫ّئ‬ ‫َا و‬ ‫ُس‬
‫ِن‬ َْ
‫نف‬ ‫ِ أ‬‫ْر‬
‫ُو‬ ‫ْ شُر‬‫ِن‬
‫ِاهللِ م‬ ‫ب‬
َ‫ِل‬
‫ه‬ ‫ن الَ إ‬َْ
‫د أ‬ َْ‫َش‬
ُ‫ه‬ ‫ه أ‬ ُ‫ِيَ َل‬
‫هاد‬َ َ‫َال‬
‫ْ ف‬‫ِل‬‫ْل‬
‫يض‬ُ ْ ََ
‫من‬ ‫ه و‬ ُ‫ّ َل‬‫ِل‬
‫مض‬ُ َ‫َال‬ ‫ف‬
‫ُْله‬‫َسُو‬
‫َر‬‫ه و‬ ُْ
ُ‫د‬ ‫َب‬
‫دا ع‬ ًّ‫َم‬
‫مح‬ُ ‫ن‬ َ
ّ‫د أ‬ُ‫ه‬ َ
َْ‫َأش‬‫ِالّ هللاُ و‬
‫إ‬
ِ
‫له‬ِ‫َلى آ‬ ‫َع‬
‫ٍ و‬‫ّد‬‫َم‬
‫مح‬ ُ ‫ّدنا‬‫َلى سي‬ ‫ْ ع‬ َّ‫َس‬
‫لم‬ ‫ّ و‬‫َل‬‫ّ ص‬
‫هم‬ُ‫َلل‬‫ا‬
‫ين‬ْ‫د‬ّ‫ِ ال‬ ‫ْم‬
‫يو‬َ ‫َِلى‬‫ْسَانٍ إ‬‫إح‬ ‫ْ ب‬
ِِ ‫هم‬َُ
‫ِع‬ َ ْ
‫تب‬ ‫من‬ََ
‫ِ و‬‫ِه‬ ‫ْح‬
‫َاب‬ ‫َص‬
‫ِأ‬‫و‬.
َ‫َال‬
‫ِ و‬ ‫َات‬
‫ِه‬ ‫تق‬ُ ّ ‫ُوا هللاَ ح‬
‫َق‬ ‫تق‬ّ‫ْا ا‬ ‫ُو‬
‫من‬َ‫َ آ‬‫ين‬ َ‫ال‬
ْ‫ذ‬ ّ ‫ها‬ َ‫ي‬َّ
‫ياأ‬َ
َْ
‫ن‬ ‫ُو‬
‫ِم‬‫مسْل‬
ُ ْ‫ُم‬ َْ
‫نت‬ ‫ّ إ‬
‫ِالّ و‬
‫َأ‬ ‫تن‬ُْ
‫ُو‬ َ
‫تم‬

‫دا‬ً‫ي‬ ‫ْالً سَد‬


ِْ ‫َو‬
‫ْا ق‬ ‫ُو‬
‫ُْلو‬ ‫ُوا هللاَ و‬
‫َق‬ ّ‫ْا ا‬
‫تق‬ ‫ُو‬ َ‫َ آ‬
‫من‬ ‫ين‬ِْ ّ ‫ها‬
‫الذ‬ َّ
َ‫ي‬ ‫ياأ‬ َ
َ‫ِ هللا‬
‫ِع‬ ُ ْ
‫يط‬ ََ
‫من‬ ‫ْ و‬‫ُم‬
‫بك‬َْ ُُ
‫نو‬ ‫ْ ذ‬ ‫َْلك‬
‫ُم‬ ‫ْف‬
‫ِر‬ ‫يغ‬ََ‫ْ و‬‫ُم‬ َ َ
‫الك‬ ‫ْم‬ َ
‫ْ أع‬‫ُم‬‫ْ َلك‬ ‫ِح‬‫ْل‬‫يص‬ُ
‫ًا‬
‫ْم‬‫ِي‬ ‫ًا ع‬
‫َظ‬ ‫َو‬
‫ْز‬ ‫َ ف‬‫َاز‬ ‫د ف‬َْ‫َق‬
‫ه ف‬ُ‫َْل‬ ‫َسُو‬‫َر‬‫و‬
‫إه‬
‫ن‬ َِ ‫َى هللاِ ؛ ف‬‫ْو‬
‫َق‬‫ِت‬
‫ِي ب‬ ‫ْس‬ ََ
‫نف‬ ‫ْ و‬‫ُم‬ ‫ْك‬
‫ِي‬‫ْص‬‫ُو‬ َ‫َا‬
‫ أ‬: ِ‫د هللا‬ ‫ِب‬‫د ع‬ُْ
‫بع‬ َ ‫ما‬ ‫َه‬
‫أ‬
‫ِي‬ ‫ُ ف‬ ‫َو‬
‫ْز‬ ْ َ
‫الف‬ ‫ِ و‬‫ََالح‬‫ُ الف‬ ‫ْل‬‫ِي‬ ‫ََال ه‬
‫ِيَ سَب‬ ‫َع‬‫ه و‬ ‫َى هللاِ ج‬
‫َل‬ ‫ْو‬‫تق‬َ
‫َا‬ ََ
‫لن‬ ‫ْع‬ َ ‫ن‬
‫يج‬ َْ ََ
‫ال أ‬ ‫ه و‬
‫َع‬ ‫َل‬ َُ
‫ل هللاَ ج‬ ‫َسْأ‬‫َأ‬
‫ و‬، ِ ‫َة‬
‫َاآلخِر‬
‫َا و‬ ْ‫الد‬
‫ني‬ ُّ
َ
‫ْن‬ ‫هق‬
‫ِي‬ ‫َ الم‬
‫ُت‬ ‫ْ م‬
‫ِن‬ ‫ُم‬‫ياك‬ ‫َإ‬
‫ِه‬ ‫ و‬.
Ibdallah,

Kesuksesan adalah impian bagi setiap orang. Namun setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-
beda tentang kesuksesan. Ada yang mengartikan kesuksesan dengan banyaknya harta, karir yang
cemerlang, pendidikan yang tinggi, dll. Perbedaan persepsi itu mengantarkan para pencari
kesuksesan pada titian jalan yang berbeda pula untuk menjemputnya. Menariknya, Allah Ta’ala
yang telah menciptakan manusia dan pola pikirnya, membuat sebuah pakem tentang arti
kesuksesan hakiki, kesuksesan dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan kesuksesan yang jauh dari
kata rugi dan kegagalan. Jalan kesuksesan itu telah Allah firmankan dalam satu surat di dalam
Alquran, yaitu surat al-Ashr.

‫صب ِْر‬
َّ ‫ص ْوا ِبال‬ ِ ‫ص ْوا ِب ْال َح‬
َ ‫ق َوت ََوا‬ َ ‫ت َوت ََوا‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫ ِإ ََّّل الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬.‫سانَ لَ ِفي ُخس ٍْر‬
َّ ‫ع ِملُوا ال‬ َ ‫اْل ْن‬ ْ ‫َو ْال َع‬
ِ ْ ‫ ِإ َّن‬.‫ص ِر‬
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3).

Inilah arti sebuah kesuksesan yang hakiki yang diajarkan oleh Allah Ta’ala, yaitu beriman dan
mengerjakan amal shaleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Adapun
kesuksesan yang dipahami dengan harta, karir, pendidikan, status sosial, atau hal-hal yang sifatnya
duniawi lainnya adalah kesuksesan yang fana (temporary). Kesuksesan yang sifatnya bosan dan
menjenuhkan. Hari ini orang menganggap itu kesuksesan, besok bisa jadi ia menjadi orang yang
membantah keras kalau kesuksesan dimaknai demikian.

Allah Ta’ala mengawali ayat ini dengan sumpah-Nya, “Demi masa.”. Masa atau waktu adalah
siang dan malam, tempat bergulirnya kehidupan manusia, dan tempat berturutnya aktifitas dan
amalan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan bahwa manusia memiliki
potensi merugi.

Syaikh Nashir as-Sa’di mengatakan, “Kerugian itu memiliki tingkatan: (1) Ada orang yang merugi
secara total, yaitu mereka yang merugi di dunia dan akhirat. Tempat yang layak bagi mereka adalah
neraka. (2) Ada orang yang merugi secara parsial. Rugi dalam beberapa hal saja dan sukses dalam
hal lainnya. Karena itulah Allah generalisirkan bahwa setiap orang itu (berpotensi) mengalami
kerugian, kecuali mereka yang beriman dan memahami apa yang mereka imani itu, beramal
shaleh, menasihati dalam kebenaran (berdakwah), dan menasihati dalam kesabaran; sabar dalam
mengerjakan ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi takdir
Allah. Dengan menyempurnakan empat hal ini seseorang akan mendapatkan kesuksesan (Tafsir
as-Sa’di, Hal: 893).

Memahami Arti Iman

Ibdallah,

Secara bahasa iman artinya membenarkan. Secara istilah syariat iman adalah perkataan di lisan,
keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan
berkurang dengan maksiat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ق‬ َّ ‫ع ِن‬
ِ ‫الط ِري‬ َ ‫َّللاُ َوأ َ ْدنَاهَا ِإ َما‬
َ ‫طةُ األَذَى‬ َ ‫ش ْعبَةً فَأ َ ْف‬
َّ َّ‫ضلُ َها قَ ْو ُل َّلَ ِإلَهَ ِإَّل‬ ْ ِ‫س ْبعُونَ أ َ ْو ب‬
ُ َ‫ض ٌع َو ِستُّون‬ َ ‫ض ٌع َو‬ ُ ‫اْلي َم‬
ْ ‫ان ِب‬ ِ
‫ان‬
ِ َ ِ‫م‬ ‫ي‬ ‫اْل‬ َ‫ن‬ ‫م‬
ِ ٌ ‫ة‬ ‫ع‬ْ ُ
َ ُ َ َ ‫َو‬
‫ب‬ ‫ش‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ْ
‫ال‬

“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang. Yang paling tinggi tingkatannya adalah
perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.”
(HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).

Selain menjelaskan tentang tingkatan keimanan, hadits ini juga menyiratkan bahwa keimanan itu
terdiri dari tiga unsur. Iman itu dengan perkataan, sabda Nabi “perkataan laa ilaaha illallah”. Iman
itu diwujudkan dengan perbuatan, sabda Nabi “menyingkirkan gangguan dari jalanan”. Dan iman
itu adalah amalan hati, sebagaimana sabda Nabi “malu merupakan bagian dari iman”.
Tidak sempurna atau bahkan tidak sah keimanan seseorang kecuali dengan tiga unsur ini. Ketika
keimanan hanya di hati dan anggota badan saja, maka seseorang tidak disebut sebagai orang yang
beriman. Sebagaimana paman Nabi, Abu Thalib. Ia beramal menolong dakwah Nabi dan yakin
dengan hatinya, tapi lisannya tidak pernah mengucapkan laa ilaaha illallah. Ia tetap mati dalam
kekafiran.

Demikian juga ketika iman hanya pada amalan dan lisan saja, tidak juga menjadikan seseorang
disebut beriman. Keadaan demikian adalah sifatnya orang-orang munafik. Mereka menunjukkan
keimanan dalam perkataan dan perbuatan, tapi hati mereka terdapat kekufuran kepada Allah dan
Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫َّللاُ يَ ْش َهدُ إِ َّن ْال ُمنَافِقِينَ لَ َكا ِذبُون‬


َّ ‫سولُهُ َو‬
ُ ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم إِنَّكَ لَ َر‬
َّ ‫َّللاِ ۗ َو‬ ُ ‫إِذَا َجا َءكَ ْال ُمنَافِقُونَ قَالُوا نَ ْش َهدُ إِنَّكَ لَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu
benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1).

Ibdallah,

Yang harus kita ketahui kemudian waspadai adalah keimanan juga bias batal lantaran seseorang
yang beriman tadi melakukan hal-hal yang sangat bertentangan dengan keimanannya. Pembatal-
pembatal keimanan itu telah Allah dan Rasul-Nya terangkan, baik dalam Alquran maupun hadits.
Di antara pembatal keimanan adalah: Perbuatan syirik, menyekutukan Allah; Membenci sunnah
Rasul, walaupun mengamalkannya; mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, dan ayat-ayat-Nya; sihir,
menolong orang kafir untuk memerangi umat Islam; meyakini bolehnya keluar dari syariat
Allah, dll.

Hal-hal ini harus kita jauhi, kita pelajari seperti apa rinciannya. Jangan sampai kita berstatus Islam
di hadapan manusia, namun di hadapan Allah kita telah keluar dari batas-batas keislaman,
na’udzubillah.

Dengan demikian, keimanan yang bermanfaat adalah keimanan yang didasari dengan ilmu tentang
keimanan itu sendiri.

Amal Shaleh

Poin kedua, agar seseorang mendapatkan kesuksesan setelah ia beriman adalah dengan beramal
shaleh. Amalan ketaatan atau amal shaleh adalah bukti dari keimanan. Syarat suatu perbuatan
dikatakan amal shaleh ialah jika ia dikerjakan ikhlas berharap apa yang ada di sisi Allah dan sesuai
dengan teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa dua hal ini menjadi syarat suatu
perbuatan dikatakan amal shaleh?

Salah satu fungsi utama diutusnya nabi dan rasul adalah agar manusia beribadah kepada Allah
sesuai dengan yang diajarkan oleh para nabi dan rasul tersebut. Para nabi dan rasul menjadi
penyambung Allah bagi manusia. Allah wahyukan kepada mereka sesuatu yang Dia kehendaki
agar para nabi dan rasul memberitahukan bahwa Allah memerintahkan yang demikian dan
melarang yang demikian. Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ث فِى أ َ ْم ِرنَا َهذَا َما لَي‬
ٌّ‫ْس ِم ْنهُ فَ ُه َو َرد‬ َ َ‫َم ْن أَحْ د‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

ٌّ‫علَ ْي ِه أ َ ْم ُرنَا فَ ُه َو َرد‬ َ ‫ع َمالً لَي‬


َ ‫ْس‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫ع ِم َل‬
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718)

Kemudian setelah amalan itu benar sesuai dengan contoh Nabi dan Rasul. Allah hanya menerima
amalan yang hanya dikerjakan ikhlas karena-Nya. Bukan berharap pujian dan sanjungan. Bukan
berharap kemuliaan dan kedudukan. Allah Ta’ala berfirman,

‫صينَ لَهُ الدِينَ ُحنَفَا َء‬ َّ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا ِإ ََّّل ِل َي ْعبُدُوا‬
ِ ‫َّللاَ ُم ْخ ِل‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan)
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5).

Berwasiat Akan Kebenaran

Ibdallah,

Manusia terbaik di muka bumi ini adalah para nabi dan rasul serta orang-orang yang mengikuti
mereka. Karena mereka adalah manusia yang terbaik, jalan hidup mereka pun adalah jalan hidup
yang terbaik. Apa jalan hidup mereka? Jalan hidup mereka adalah mengajak orang pada
kebenaran atau kita kenal dengan istilah dakwah. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫صا ِل ًحا َوقَا َل ِإنَّنِي ِمنَ ْال ُم ْس ِل ِمين‬


َ ‫ع ِم َل‬ َّ ‫عا ِإلَى‬
َ ‫َّللاِ َو‬ َ ْ‫َو َم ْن أَح‬
َ َ‫س ُن قَ ْو ًَّل ِم َّم ْن د‬
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri?” (QS. Fushshilat: 33).

Dakwah tidak melulu diartikan dengan seseorang harus ceramah di atas mimbar, mengisi majelis
pengajian, beratribut surban, dan duduk di masjid, tidak demikian. Setiap orang bisa menjadi
agen-agen Islam dengan profesi mereka masing-masing. Berakhlak dengan akhlak islami yang
akan membuat orang simpati terhadap Islam bias dilakukan semua orang. Berkeyakinan dengan
akidah Islam, pun bisa dilakukan setiap kalangan. Karena hal ini bisa dilakukan setiap orang
dengan berbagai profesi dan kalangan, maka Allah katakana orang yang tidak mengerjakan hal
ini, mereka adalah orang yang rugi dan tidak sukses.

Mudah-mudahan Allah menjadikan seseorang benar keimanannya, mengamalkan apa yang Dia
kerjakan dan menjauhi apa yang Dia larang, serta menjadi penyeru-penyeru dalam kebaikan.
‫ب فَا ْست َ ْغ ِف ُر ْوهُ يَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم إِنَّهُ ُه َو الغَفُ ْو ُر‬ َ ‫أَقُ ْو ُل القَ ْو ِل َهذَا َوأ َ ْست َ ْغ ِف ُر للاَ العَ ِظي ِْم ِلي َولَ ُك ْم َو ِل‬
ٍ ‫سائِ ِر ال ُم ْس ِل ِميْنَ ِم ْن ُك ِل ذَ ْن‬
‫الر ِح ْي ُم‬
َ .

Khutbah Kedua:

ُ‫ َوأ َ ْش َهد‬, ُ‫ َوأ َ ْش َهدُ أ َ ْن ََّل إِلَهَ إِ ََّّل للاُ َوحْ دَهُ ََّل ش َِريْكَ لَه‬, ‫َان‬
ِ ‫اَّل ْمتِن‬ ْ َ‫ان َوا ِسعِ الف‬
ِ ‫ض ِل َوال ُج ْو ِد َو‬ ِ ‫س‬ َ ْ‫اْلح‬
ِ ‫ع ِظي ِْم‬ َ ِ‫ا َ ْل َح ْمدُ ِ َّّلِل‬
‫ص َحابِ ِه َوأَع َْوانِ ِه‬
ْ َ ‫علَى آ ِل ِه َوأ‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى للا‬ َ ‫ض ِوانِ ِه ؛‬ ْ ‫ي إِلَى ِر‬َ ‫س ْولُهُ اَلدَّا ِع‬ َ ً ‫ أ َ َّن محمدا‬.
ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬

‫أ َ َّما َب ْعدُ ِع َبادَ للاِ اِتَّقُ ْوا للاَ ت َ َعالَى‬

Berwasiat Akan Kesabaran

Ibdallah,

Setelah seseorang beriman, beramal shaleh, dan berdakwah, maka cobaan pasti akan didapat
disela-sela mempraktikkan ketiga hal tersebut. Allah Ta’ala beriman,

َ‫اس أ َ ْن يُتْ َر ُكوا أ َ ْن يَقُولُوا آ َمنَّا َو ُه ْم ََّل يُ ْفتَنُون‬ َ ‫أ َ َحس‬


ُ َّ‫ِب الن‬
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’,
sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 1).

Mustahil seseorang yang pernah hidup, tapi ia luput dari ujian. Demikian pula halnya seseorang
yang beriman, ujian keimanan pasti akan mereka dapatkan. Ketika kita benar-benar menyadari
bahwa ujian itu adalah sesuatu yang pasti, baik kita meresponnya dengan kesabaran atau keluhan
ujian tetap ada. Karena itu seseorang akan sangat merugi ketika ia mendapatkan ujian, ia tambah
dengan keluh kesah dan amarah.

Begitu lengkapnya surat ini mengjarkan kepada kita, tidak heran Imam Syafi’i pernah
mengatakan tentang surat ini:

ُّ ‫علَى خ َْل ِق ِه ِإ ََّّل َه ِذ ِه ال‬


‫س ْو َر ِة لَ َكفَتْ ُه ْم‬ َ ً‫لَ ْو َما أ َ ْنزَ َل للاُ ُح َّجة‬
“Seandainya Allah hanya menurunkan surat ini saja sebagai hujjah buat makhlukNya, tanpa
hujjah lain, sungguh telah cukup surat ini sebagai hujjah bagi mereka.”
‫‪Allah Ta’ala telah mengabarkan kepada kita tentang kesuksesan hakiki. Setelah mengetahuinya,‬‬
‫‪setiap orang bisa memilih dan ambil bagian di dalamnya. Allah bukakan kesempatan bagi‬‬
‫‪manusia tanpa terkecuali. Mudah-mudahan Dia membimbing kita untuk meniti jalan kesuksesan‬‬
‫‪hakiki ini, sukses dunia dan akhirat.‬‬

‫س ِل ُموا ت َ ْس ِليما ً‬ ‫صلُّوا َ‬


‫علَ ْي ِه َو َ‬ ‫علَى النَّبِي ِ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا َ‬
‫صلُّونَ َ‬
‫َّللاَ َو َم َالئِ َكتَهُ يُ َ‬
‫إِ َّن َّ‬

‫علَى‬ ‫علَى آ ِل ِإب َْرا ِهي َْم ِإنَّكَ َح ِم ْيدٌ َم ِج ْيدٌ ‪َ ،‬و َب ِ‬
‫ار ْك َ‬ ‫علَى ِإب َْرا ِهي َْم َو َ‬‫ص َليْتَ َ‬ ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد َك َما َ‬‫علَى ُم َح َّم ٍد َو َ‬ ‫ص ِل َ‬‫اَللَّ ُه َّم َ‬
‫علَى آ ِل ِإب َْرا ِهي َْم ِإنَّكَ َح ِم ْيدٌ َم ِج ْيد ٌ‬
‫علَى ِإب َْرا ِهي َْم َو َ‬
‫ار ْكتَ َ‬ ‫علَى آ ِل ُم َح َّم ٍد َك َما َب َ‬‫ُم َح َّم ٍد َو َ‬

‫اْلس َْال َم َو ْال ُم ْس ِل ِميْنَ ‪َ ،‬وأ َ ِذ َّل الش ِْركَ َوال ُم ْش ِر ِكيْنَ ‪َ ،‬ودَ ِم ْر أ َ ْعدَا َء ِ‬
‫الديْنَ‬ ‫اَللَّ ُه َّم أ َ ِع َّز ِ‬
‫َّللاِ أ َ ْكبَ ُر َو َّ‬
‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َما ت َ ْ‬
‫صنَعُونَ‬ ‫ِعبَادَ للاِ ‪ :‬ا ُ ْذ ُك ُر ْوا للاَ يَ ْذ ُك ْر ُك ْم ‪َ ،‬وا ْش ُك ُر ْوهُ َ‬
‫علَى نِعَ ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم ‪َ ،‬ولَ ِذ ْك ُر َّ‬

You might also like