You are on page 1of 4

5 Hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam

Memilih Klub Bela Diri


Sebagian orang (termasuk saya) awalnya tertarik belajar bela diri setelah menonton film laga
yang menyuguhkan atraksi memukau. Ada yang iseng ikut-ikutan karena diajak teman. Kaum
hawa khususnya banyak juga yang menekuni bela diri setelah dibombardir berita penculikan dan
perkosaan di angkutan umum. Di sisi lain ada juga jatuh cinta setelah latihan beberapa tahun dan
menjadikan bela diri sebagai jalan hidup.

Bagi mereka, disiplin diri, kebiasaan menjaga sopan santun, sikap pantang menyerah,
penguasaan diri dalam menghadapi lawan yang lebih kuat (baca: tantangan hidup), memberi
manfaat yang tidak ternilai dibanding kemampuan menetralisir ancaman dan kesehatan prima.

Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum sebelum memulai pelajaran bela diri. Bila
tujuannya hanya untuk gagah-gagahan pamer sabuk hitam dalam waktu secepat mungkin tentu
pertimbangannya jauh lebih gampang, cari saja klub komersil abal-abal! Tapi kalau niat Anda
memang ingin belajar serius untuk jangka panjang, saya harap tulisan sederhana ini dapat
menjadi masukan sebelum terjun menekuni bela diri.

Kesehatan

Kalau badan Anda kurang flexibel dan jauh dari kekar, tidak usah khawatir. Kaki flexibel bisa
split depan belakang dan menyamping, perut rata seperti Bruce Lee adalah hasil dari belajar bela
diri bukan syarat untuk memulai. Tubuh krempeng dan gemuk juga seharusnya tidak menjadi
penghalang (bila ragu sebaiknya berkonsultasi dengan dokter).

Instruktur yang berpengalaman juga dapat memberi masukan apakah kesehatan Anda mumpuni
untuk memulai latihan. Contoh, kalau punggung Anda pernah dioperasi karena jatuh patah dan
hingga hari ini terkadang masih kambuh, kemungkinan besar instruktur Judo tidak akan
mengizinkan Anda ikut latihan. Wong latihan dasarnya saja dibanting belajar jatuh!

Tapi tidak usah patah semangat kalau Anda ada sejarah kesehatan buruk. Itu bukan harga mati.
Beberapa instruktur mengakomodir kesehatan mereka dengan bersikap lebih ‘lunak’ dan
melonggarkan standar kurikulum latihan dan ujian kenaikan sabuk.

Jangan sampai baru beberapa kelas ternyata baru ketahuan tempurung lutut mudah bergeser
(karena pernah operasi akibat kecelakaan main bola), sesak nafas selama latihan (ternyata ada
ashma) atau malah pingsan (punya tekanan darah rendah)!

Yang penting Anda harus jujur terbuka membeberkan sejarah kesehatan Anda kepada instruktur
dan dokter (kalau diperlukan) sebelum memulai.

Aliran Bela Diri


“Aliran bela diri apa yang hebat?” adalah salah satu pertanyaan paling umum dari mereka yang
berniat belajar bela diri. Jawabannya: tidak ada, semua kembali ke praktisi bela diri masing-
masing. Peralatan masak canggih, bahan masakan organik sesegar apapun tidak akan menjadikan
seseorang Master Chef . Instruktur, reputasi klub, teknik sehebat apapun tidak akan berarti kalau
belajarnya tidak serius.

Situs Youtube penuh dengan video yang membanding-bandingkan dan mempercundangi satu
aliran dengan lainnya. Kalau ada video ‘Karate Vs Taekwondo’ maka Anda boleh bertaruh di
video itu pasti Karateka yang keluar sebagai juara, begitu pula sebaliknya. Pertandingan kurang
seru? Baca komentar-komentar di video yang bersangkutan. Dijamin lebih seru dari debat
agama.

Meskipun praktisi memegang peranan sentral, harus diakui setiap aliran memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Keungulan/kelemahan aliran yang bersangkutan baru kelihatan
dalam kondisi yang tepat. Contohnya, di lingkungan penuh litigasi seperti Australia dimana saya
tinggal, melakukan serangan pencegahan (pre-emptive strike) seperti meninju ke tenggorokan
ketika ‘merasa terancam’ mungkin menyelamatkan saya sementara. Tapi bila dalam rekaman
CCTV hakim menilai pose tubuh penyerang tidak terlihat agresif pada saat itu, bisa-bisa saya
yang masuk penjara!

Dalam lingkungan seperti ini, seni bela diri lembut (soft/grappling martial arts) seperti Aikido
atau Judo mungkin lebih unggul karena sebagian besar teknik mereka memerlukan energi lawan
(baca: harus mendapat serangan terlebih dahulu) untuk kemudian dibalikkan kembali kepada
penyerang. Hasil akhirnya, penyerang menjadi terkunci atau terbanting tanpa cedera serius
(mudah-mudahan).

Sekarang banyangkan situasi lain yang melibatkan 2-3 lebih penyerang sekaligus, seperti ketika
terjebak dalam tawuran atau kerusuhan. Dalam situasi ini boleh jadi seni bela diri seperti Karate,
Taekwondo, Krav Maga, Thai Boxing (hard/standing martial arts) lebih pas.

Pada akhirnya aliran manapun tidak masalah terserah panggilan hati masing-masing. Ada yang
memilih Taekwondo karena menilai teknik-teknik tendangannya terlihat indah dan menantang di
kuasai. Ada juga yang menjatuhkan hati ke pencak silat setelah nonton ‘The Raid’ yang
dibintangi Iko Uwais. Salah satu teman saya belajar Kungfu karena terinpirasi flim ‘Ip Man’
yang dibintangi Donnie Yen.

Kalau masih sulit memutuskan, tidak ada salahnya nongkrong atau mencoba beberapa kelas di
klub-klub bela diri di sekitar Anda.

Lokasi

Dari pengalaman pribadi, hampir mustahil mempertahankan komitmen belajar bela diri dalam
jangka panjang kalau mau pergi belajar saja harus ganti angkot 2 kali, habis 1 jam sekali jalan.
Apalagi kalau sudah sudah berkeluarga dan kerja full time. Itu namanya minta dipecat istri.
Menurut saya profil lokasi ideal adalah klub bela diri yang terletak di kampus/sekolah dan Anda
masih berstatus murid/mahasiswa yang bersangkutan dan memang cocok disitu. Sudah hemat
waktu, dapat banyak teman sepantaran dan biasa lebih murah pula.

Kalau aliran bela diri/klub favorit Anda jauh dari tempat kerja atau sekolah, saran saya:
berkompromilah sedikit. Dulu waktu SMA saya inginnya belajar Karate karena mengidolakan
Van Damme gara-gara nonton film Blood Sport. Tapi apa lacur klub Karate dekat rumah saya
yang ikut kebanyakan anak-anak SD (faktor ini dibahas lebih detail pada poin berikut). Klub
Karate terdekat lainnya harus naik transport yang lumayan jauh, alhasil saya beralih ke
Taekwondo dan sedikitpun tidak menyesal sampai hari ini.

Seperti standing martial arts umumnya, unsur-unsur yang menarik saya belajar Karate dapat saya
temukan di Taekwondo (malah jurus tendangan jauh lebih banyak variasi).

Dalam berkompromi, tanya diri Anda:

“Apa yang membuat saya tertarik belajar bela diri X dan juga dapat saya temukan di bela diri
Y?”

Komposisi Profil Murid

Klub yang sudah besar biasa membagi kelasnya berdasarkan usia (anak-anak, remaja dan
dewasa). Sayangnya ini hampir mustahil dilakukan di klub kecil karena terbatasnya sumber daya.
Usia komposisi profil murid yang terlalu jauh berbeda dengan Anda juga bikin malas latihan,
khususnya buat orang dewasa yang latihan di klub yang penuh anak-anak. Kalau dipaksa dengan
alasan daripada tidak latihan sama sekali yang rugi diri sendiri.

Jangan banyangkan jagoan bela diri seperti pertapa yang latihan sendiri di tengah hutan atau
gunung. Itu hanya mitos. Anda butuh sparring partner yang layak untuk mengukur kemajuan.
Beda cerita kalau tujuan ikut lebih untuk temenin anak.

Lalu bagaimana dengan sebaliknya, anak kecil latihan di klub yang lebih banyak orang dewasa?

Dari pengamatan pribadi ada dua kemungkinan: 1. Anak menjadi cepat bosan karena tidak bisa
main ‘berantem-beranteman’ dengan teman sebaya. 2. Anak menjadi lebih cepat matang karena
‘terpaksa’ mengadopsi sikap orang dewasa.

Namanya anak kecil jelas maunya main bebas tanpa agenda. Kemungkinan kedua lebih besar
kalau si anak besar di keluarga yang juga suka belajar bela diri.

Kualifikasi Instruktur

Terakhir dan tidak kalah pentingnya, jangan takut menanyakan kualifikasi intruktur! Jangan
percaya begitu saja kalau instruktur ngaku dapat kualifikasi langsung dari grandmaster di Korea,
Jepang, Tiongkok dll. Saya pernah baca artikel tertangkapnya instruktur Karate gadungan yang
mengaku murid langsung dari Mas Oyama (pendiri Kyokushin Karate). Agar lebih
menyakinkan, dia memajang foto-foto dirinya bareng Mas Oyama di Dojo. Setelah diusut
ternyata foto-foto tersebut diambil ketika si ‘instruktur’ sedang berlibur ke Jepang!

Di jaman modern instruktur yang berkualitas biasa datang dari latar belakang sebagai berikut:

1.Mantan atlet pemenang medali emas baik di tingkat international maupun lokal (cocok buat
yang orientasi belajarnya lebih ke olah raga).

2.Belajar langsung dari muridnya/penerus pendiri aliran bela diri yang bersangkutan.

3.Praktisi yang bukan dari dua latar belakang diatas tapi serius mendedikasikan dirinya selama
bertahun-tahun untuk mendalami dan menyebarkan aliran bela diri yang dicintainya.

Pilihan no. 1 dan 2 lebih sulit diakses untuk orang awam seperti kita. Kalau pun bisa biasa
biayanya lebih tinggi dari rata-rata. Belajar dari instruktur no.3 juga tidak kalah kualitasnya
selama mendapat akreditas dari organisasi resmi yang menaungi. Biasa mereka sudah berlatih
selama puluhan tahun, memegang sabuk hitam setidaknya level 5th Dan atau lebih tinggi, dan
Anda bisa merasakan antusiasme mereka ketika mengajar.

Agar lebih menyakinkan lagi, lihat kualitas murid-murid senior dan asistennya. Instruktur yang
bagus akan memasang standar tinggi untuk penguasaan teknik, tata krama selama latihan dan
disiplin. Tidak seperti instruktur berorientasi uang yang senang bagi-bagi sabuk hitam selama
murid membayar, instruktur yang bagus tidak akan mengijinkan muridnya ikut ujian kenaikan
sabuk kalau selama latihan si murid belum menunjukkan kualitas tinggi (padahal murid
membayar untuk setiap ujian).

Grandmaster saya umurnya sudah 70 tahun lebih tapi langkahnya masih tegap berwibawa. Saya
percaya ini berkat latihan selama berpuluh-puluh tahun hingga hari ini.

Siapapun Anda, apapun alirannya, selamat berlatih!

"There is a difference between a fighter and a martial artist. A fighter is training for a purpose:
He has a fight. I am a martial artist. I don't train for a fight. I train for myself. I'm training all
the time. My goal is perfection. But I will never reach perfection"

- George St Pierre, UFC Champion, 3rd Dan Kyokushin Karate black belt

Hendra Makgawinata

You might also like