You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Khulafa’ al-Rosyidun berasal dari kata Khulafa’ dan ar-rasyidin. Kata
Khulafa merupakan jamak dari kata khalifah yang berarti pengganti. Adapun kata ar-
rasyidin berati mendapat petunjuk. Dengan demikian, khulafaurrasyidin memiliki arti para
pengganti yang mendapat petunjuk. Khulafaurrasyidin adalah empat orang khalifah
(pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai pemimpin
negara dan pemimpin masyarakat yang merupakan penerus kepemimpinan Nabi
Muhammad setelah ia wafat. Keempat orang tersebut merupakan sahabat paling dekat
dengan Nabi yang ikut membela dan memperjuangkan agama Islam yang dibawa
Muhammad pada masa kerasulannya. Dan mereka merupakan orang-orang mulia dan
memiliki peran yang cukup menonjol di Makkah dan Madinah. Model pemerintahan yang
mereka pakai sama formatifnya dengan yang dilakukan oleh Rasulullah. Adapun empat
khalifah yang termasuk dalam Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Keempat khalifah ini terpilih menjadi pemimpin bukan berdasarkan keturunan
melainkan konsensus bersama umat Islam pada waktu itu Pemilihan keempat pemimpin ini
melalui cara yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena Nabi Muhammad SAW tidak
meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin
politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut
kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah
beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar
berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang
akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing
pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat
Islam. Nabi Muhammad tidak menetapkan bagaimana suksesi kepemimpinan umat Islam
setelah beliau wafat. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya,
Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang
tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasulullah, Abu Bakar disebut Khalifah
Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja.
Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Muhammad wafat untuk
menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala
pemerintahan. Abu Bakar Ash Siddiq menjadi khalifah hanya dua tahun karena pada tahun
634 M ia meninggal dunia. Dan kepemimpinan umat Islam waktu itu digantikan oleh Umar
bin Khattab yang ternyata sudah disiapkan oleh Abu BAkar sebelum ia meninggal.
Umar bin Khattab memimpin umat Islam selama 10 tahun yaitu sejak 634 M-
644 M. Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari
1
Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Berbeda dengan Abu BAkar, sebelumnya beliau sudah
menunjuk 6 orang sahabat untuk dimusyawarahkan siapa yang nantinya akan menggantikan
dirinya. Dari musyawarah tersebut dihasilkan bahwa Ustman bin Affan sebagai pengganti
Umar. Kepemimpinan Ustman dalam sejaran Khulafaurrasyidin merupakan yang terlama
yaitu 12 tahun sejak 644-655 M. Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai
membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun.
Keempat khalifah yang menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat Islan
dalam prosesnya merupakan pemimpin yang bisa dibilang dipilih langsung oleh para
sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain
berhak untuk memberikan bai'at (sumpah setia) pada calon yang terpilih itu. Hal itu berbeda
dengan mekanisme pergantian pemimpin pada Pemerintahan Indonesia saat ini.
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, setidaknya sudah berganti pemimpin
negara sebanyak 7 kali. Dan dalam proses pergantian kepemimpinan tersebut mengalami
perbedaan dalam setiap pergantiannya. Mulai dari Soekarno yang merupakan presiden
pertama Indonesia terpilih secara aklamasi pada sidang PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Dan kepemimpinan Soekarno tersebut digantikan oleh Jenderal
Soeharto melalui penerbitan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966.
Namun terpilihnya Soeharto sebagai presiden yang merupakan mandat langsung dari
Soekarno masih menjadi polemik sampai saat ini. Hal ini dikarenakan naskah asli
Supersemar masih belum pernah dipublikasikan. Terlepas dari itu, kepemimpinan Soeharto
merupakan yang terlama yaitu 32 tahun dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ. Habibie
karena adanya tuntutan dari mahasiswa untuk SOeharto turun jabatan presiden pada tahun
1998.
Kepemimpinan Habibie pun hanya berlangsung selama 1 tahun sampai 1999.
Untuk pemilihan presiden selanjutnya diadakan melalui mekanisme MPR. Dari tiga calon
yang diusulkan oleh para fraksi parpol di MPR, KH Abdurrahman Wachid terpilih untuk
menjadi presiden. KH. Abdurrahman Wahid. Namun karena adanya impeachment atau
pemakzulan dari MPR pada Presiden Gus Dur pada 2001 membuat Megawati Soekarno
Putri yang saat itu menjabat wakil presiden naik jabatan menjadi presiden.
Presiden Megawati menjabat Presiden Indonesia sampai pada tahun 2004 dan
digantikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih melalui pemilihan langsung oleh
rakyat Indonesia. Dan pada tahun 2004 tersebut merupakan sejarah awal demokrasi di
Indonesia karena masyarakat diberikan kewenangan utuk menentukan siapa yang akan
memimpin negaranya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih kembali untuk
menjabat sebagai presiden pada tahun 2009 untuk masa kepemimpinan sampai pada tahun
2014. Dan pada Pemilu 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih untuk jadi Presiden dan
Wakil Presiden masa pemerintahan 2014-2019.
Berdasarkan uraian pejelasan tersebut, akan sangat menarik apabila menganalisa
perbandingan mekanisme pergantian dan pemilihan pemimpin pada masa khulafaurrasyidin

2
dengan pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu, disini penulis mengambil judul “Analisa
Perbandingan Pergantian Kepemimpinan Masa Khulafaurrasyidin dengan Pemerintahan
Indonesia dalam Sistem Demokrasi”.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme pergantian pemimpin pada masa khulafaurrasyidin?
2. Bagaimana mekanisme pergantian pemimpin pemerintahan di Indonesia?
3. Bagaimana perbandingan pergantian pemimpin pada masa khulafaurrasyidin
dengan pemerintahan di Indonesia dalam sistem demokrasi?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui mekanisme pergantian pemimpin pada masa
khulafaurrasyidin.
2. Untuk mengetahui mekanisme pergantian pemimpin pemerintahan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui perbandingan mekanisme pergantian kepemimpinan pada
masa khulafaurrasyidin dengan pemerintahan di Indonesia dalam sistem
demokrasi.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kepemimpinan
1. Pemimpin
Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor,
pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja,
tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil
penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang
lain dengan berbagai cara. Menurut Mifthah Thoha (1983:255), yang dimaksud dengan
pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan
bentuk alasannya. Sedangkan Kartini Kartono (1994:33) mendefinisikan pemimpin
sebagai seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan
dan kelebihan disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain
untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau
beberapa tujuan.
Berdasarkan pengertian pemimpin dari dua ahli tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pemimpin yaitu seorang yang mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Kriteria Pemimpin
Menurut John C. Maxwell ada beberapa kriteria seseorang dapat disebut sebagai
pemimpin. Adapun beberapa kriteria tersebut yaitu:
b. Pengaruh (influence)
Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya
yang turut membesarkan nama sang pimpinan. Pengaruh ini menjadikan sang
pemimpin diikuti dan membuat orang lain tunduk pada apa yang dikatakan sang
pemimpin.
b. Kekuasaan (power)
Seorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena dia memiliki
kekuasaan/power yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa
kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki sang pemimpin, tentunya tidak ada orang
yang mau menjadi pendukungnya. Kekuasaan/kekuatan yang dimiliki sang
pemimpin ini menjadikan orang lain akan tergantung pada apa yang dimiliki sang
pemimpin, tanpa itu mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
c. Wewenang (authority)
Wewenang di sini dapat diartikan sebagai hak yang diberikan kepada
pemimpin untuk menetapkan sebuah keputusan dalam melaksanakan suatu
hal/kebijakan.

4
d. Pengikut
Seorang pemimpin yang memiliki pengaruh, kekuasaaan dan wewenang tidak dapat
dikatakan sebagai pemimpin apabila dia tidak memiliki pengikut yang berada di
belakangnya yang memberi dukungan dan mengikuti apa yang dikatakan sang
pemimpin. Tanpa adanya pengikut maka pemimpin tidak akan ada.

B. Demokrasi
1. Pengertian
Secara etimologi demokrasi berasal dari kata demos yang berarti “rakyat” dan
certain berarti “memerintah”. Jadi demokrasi berarti suatu Negara yang
pemerintahannya dipegang oleh rakyat. Mengutip pendapat beberapa ahli mengenai
pengertian demokrasi dalam Budiarjdjo (1984:158), diantaranya:
a. Soemantri, berpendapat bahwa demokrasi berarti pemerintahan berasal dari rakyat,
dilaksanakan oleh rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Demokrasi memiliki tiga asas, yaitu asas kemerdekaan, asas kebersamaan dan asas
persaudaraan.
b. Koentjoro Poerbopranoto, berpendapat bahwa demokrasi adalah Negara yang
pemerintahannya dipegang oleh rakyat, maksudnya duatu system di mana rakyat
diikutsertakan dalam pemerintahan Negara.
c. Abrahan Lincoln, berpendapat bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat (democrasy is government of the people and for the people)

2. Ciri-ciri Pemerintahan Demokrasi


Menurut Soemantri dalam Gaffar (2002) adalah ada beberapa ciri-ciri suatu
pemerintahan dikatakan demokrasi, yaitu:
1. Kebebasan (kemerdekaan) untuk membentuk organisasi , memasuki organisasi, dan
berkumpul;
2. Kebebasan (kemerdekaan) untuk menyatakan fikiran, baik dengan lisan maupun
tulisan;
3. Hak untuk memilih dan dipilih;
4. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (menduduki
jabatan-jabatan);
5. Hak yang sama bagi para pemimpin politik untuk bersaing mendapatkan dukungan
serta untuk dipilih;
6. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh berbagai informasi;
7. Diselenggarakannya pemilihan umum yang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil;
8. Adanya lebih dari satu partai politik; dan
9. Lembaga-lembaga yang berwenang menetapkan kebijakan (policy) bergantung pada
suara dan pendapat-pendapat lain dalam masyarakat.

5
3. Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu demokrasi langsung dan
demokrasi dalam bentuk keterwakilan.
a. Demokrasi Langsung
Demokrasi langsung, merupakan suatu bentuk demokrasi di mana setiap rakyat
memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan. Dalam sistem ini,
setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka
memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi.
Demokrasi langsung dikenal juga sebagai demokrasi bersih. Di sinilah rakyat
memiliki kebebasan mutlak memberikan pendapatnya, dan semua aspirasi mereka dimuat
dengan segera di dalam suatu pertemuan. Jenis demokrasi ini dipraktekkan hanya dalam
kota kecil dan komunitas yang secara relative belum berkembang di mana secara fisik
memungkinkan untuk seluruh elektrokat untuk bermusyawarah dalam satu tempat,
walaupun permasalahan pemerintahan tersebut bersifat kecil.
Demokrasi langsung berkembang di Negara kecil seperti Yunani Kuno dan
Roma. Demokrasi ini tidak dapat dilaksanakan dalam masyarakat yang komplek dan
Negara yang besar. Demokrasi murni yang masih bisa diambil, contoh terdapat di
wilayah Switzerland. Bentuk demokrasi murni ini masih berlaku di Switzerland dan
beberapa Negara yang di dalamya terdapat bentuk referendum dan inisiatif. Di beberapa
Negara sangat memungkinkan bagi rakyat untuk memulai dan mengadopsi hukum,
bahkan untuk mengamandemenkan konstitusional dan menetapkan permasalah publik
politik secara langsung tanpa campur tangan representatif.
b. Demokrasi Keterwakilan/Keterwakilan Politik
Demokrasi perwakilan adalah sistem demokrasi yang dianut di Indonesia.
Negara sangat bertumpu pada institusi perwakilan formal ini. Wakil rakyat dipilih
malalui mekanisme Pemilu untuk menjadi pejabat politik dan publik yang diberi basis
legitimasi untuk bertindak atas nama rakyat dan negara. Mereka dievaluasi setiap periode
tertentu lewat mekanisme pemilu (Indonesia 5 tahun sekali). Prosedur-prosedur
diciptakan sedemikian rupa agar rakyat dapat berpartisipasi mengevaluasi secara baik
jalanya pemerintahan. Oleh karena itu, maka dalam proses perwakilan ini setiap orang
perlu menentukan posisi yang tepat. Pentingnya penentuan posisi tersebut karena sikap
dan pilihannya terhadap alternatif pemecahan atau terhadap prioritas pemecahan masalah
pada dasarnya adalah mengatasnamakan opini aspirasi dan kepentingan.
Menurut Sanit (1985:54), perwakilan politik adalah individu atau kelompok
orang yang dipercayai memiliki kemampuan dan berkewajiban untuk bertindak dan
berbicara atas nama satu kelompok orang yang lebih besar. Dengan demikian indikator
yang bisa digunakan untuk melihat apakah seorang wakil dinilai representatif oleh orang
yang mewakilinya adalah:
a. Memiliki cirri yang sama dengan konstituten (pemilih)

6
b. Memiliki ekspresi emosi yang sama dengan emosi konstituen
c. Intensitas komunikasi yang tinggi dengan konstituen
Dalam hal yang sama, Sartori (1968) mengemukakan 7 kondisi yang
mengindikasikan telah terwujudnya perwakilan politik dalam mekanisme pemerintahan:
a. Rakyat secara bebas dan periodik memilih wakil rakyat (The people freely and
periodecally ellect a body of representative).
b. Pemerintah bertanggungjawab kepada pemilih (The govermors are accountable or
responsible to the governed).
c. Rakyat merasa sebagai negaranya (The people feel the same as the state)
d. Rakyat patuh pada kepada keputusan pemerintahnya (The people consent to the
decisions of their governors)
e. Pemerintah adalah wakil yang melaksanakan intruksi dari para pemilihnya (The
governors are agent or delegates who carry out the instruction received from their
electors).
f. Rakyat yang menentukan membuat keputusan-keputusan politik yang relevan (The
people there, in some significant way, in the making of relevant political)
g. Pemerintah adalah contoh wakil dari rakyat (The governors are a representative
sample of the governed)

7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Pergantian Kepemimpinan Masa Khulafaurrasyidin
Khulafaurrasyidin tersebut merupakan sahabat paling dekat dengan Nabi yang
ikut membela dan memperjuangkan agama Islam yang dibawa Muhammad pada masa
kerasulannya. Dan mereka merupakan orang-orang mulia dan memiliki peran yang cukup
menonjol di Makkah dan Madinah. Model pemerintahan yang mereka pakai sama
formatifnya dengan yang dilakukan oleh Rasulullah. Adapun empat khalifah yang termasuk
dalam Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Keempat khalifah ini terpilih menjadi pemimpin bukan berdasarkan keturunan
melainkan konsensus bersama umat Islam pada waktu itu. Pemilihan keempat pemimpin ini
melalui cara yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena Nabi Muhammad SAW tidak
meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin
politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut
kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Berdasarkan penjelasan Ahmad
(1991) dalam bukunya yang berjudul Islam dari Masa ke Masa, Mekanisme pemilihan
keempat khalifah yang berbeda tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Abu Bakar Ash-Siddiq (( 11-13 H / 632-634 M)
Tidak lama setelah Rasulullah wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah
tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan
cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama
merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah
Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu
Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing
pihak menerima dan membaiatnya.
2. Umar Ibn Khatab ra. (13-23 H / 634-644 M)
Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Ia diganti oleh “tangan kanan”nya yaitu Umar ibn
Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah
dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan
maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat
yang segera secara beramai-ramai membai’at Umar.
3. Utsman Ibn ‘Afan ra. ( 23-35 H / 644-655 M)
Umar bin Khattab memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa
jabatannya yang berakhir dengan kematian. Untuk menentukan penggantinya, Umar
8
tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan
meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah.
Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqash,
Abdurrahman ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil
menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn
Abi Thalib.
4. Ali Ibn Abi Thalib ( 35-40 H / 655-660 M)
Setelah kematian khalifah Usman bin Affan, kaum muslimin berada dalam kesedihan
yang mendalam. Kaum pemberontak yang dipimpin oleh al Ghafiqi dari Mesir
bermaksud mengadakan pendekatan kepada Ali bin Abu Thalib, namun Ali menolak
tawaan itu. Ditambah lagi beberapa kalangan terutama dari Bani Umayyah menolak
untuk membaiat Ali. Keadaan serba sulit ini memaksa Ali untuk bersedia dibaiat. Umat
Islam saat itu tidak boleh dibiarkan terlalu lama tanpa adanya pemimpin. Bila hal ini
tetap dibiarkan, akan terjadi keadaan yang tidak diinginkan. Akhirnya Ali bin Abu Thalib
bersedia dibaiat pada hari Senin 21 Zulhijjah 35/20 Juni 656 di sebuah masjid. Orang
pertama yang membaiat Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah. Setelah Ali bin Abu Thalib
dibaiat sebagai khalifah bukan berarti masalah selesai. Bani Umayyah seolah semakin
mendapat alasan untuk menuntut kematian Usman bin Affan.

B. Mekanisme Pergantian Kepemimpinan Pemerintahaan Indonesia


Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, setidaknya sudah berganti pemimpin
negara sebanyak 7 kali. Dan dalam proses pergantian kepemimpinan selama 70 tahun
merdeka tersebut mengalami perbedaan dalam setiap pergantiannya. Mulai dari Soekarno
yang merupakan presiden pertama Indonesia terpilih secara aklamasi pada sidang PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dan kepemimpinan Soekarno tersebut
digantikan oleh Jenderal Soeharto melalui penerbitan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) pada tahun 1966. Namun terpilihnya Soeharto sebagai presiden yang
merupakan mandat langsung dari Soekarno masih menjadi polemik sampai saat ini. Hal ini
dikarenakan naskah asli Supersemar masih belum pernah dipublikasikan.
Pada 3 Juli 1971, MPR menghasilkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973
tentang Tatacara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI diaman dalamm ketetapan
tersebut presiden nantinya akan dipilih melalui MPR secara musyawarah dan mufakat. Dari
pemilu ke pemilu, MPR yang dihasilkan terus menerus memilih dan mengangkat Soeharto
sebagai Presiden RI hingga lima kali. Hanya Wakil Presiden RI saja yang berganti-ganti,
hingga akhirnya Soeharto mengundurkan diri karena desakan Warga Negara Indonesia dan
menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden RI BJ Habibie pada 21 Mei 1998
Kepemimpinan Habibie pun hanya berlangsung selama 1 tahun sampai 1999.
Untuk pemilihan presiden selanjutnya diadakan melalui mekanisme MPR. Dari tiga calon
yang diusulkan oleh para fraksi parpol di MPR, KH Abdurrahman Wachid terpilih untuk

9
menjadi presiden. KH. Abdurrahman Wahid. Namun karena adanya impeachment atau
pemakzulan melalui Sidang Istimewa yang digelar MPR pada 23 Juli 2001 terhadap
Presiden Gus Dur, membuat Megawati Soekarno Putri yang saat itu menjabat wakil
presiden naik jabatan menjadi presiden.
Presiden Megawati menjabat Presiden Indonesia sampai pada tahun 2004 dan
digantikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih melalui pemilihan langsung oleh
rakyat Indonesia. Dan pada tahun 2004 tersebut merupakan sejarah awal demokrasi di
Indonesia karena masyarakat diberikan hak suaranya untuk menentukan siapa yang akan
memimpin negaranya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih kembali untuk
menjabat sebagai presiden pada tahun 2009 untuk masa kepemimpinan sampai pada tahun
2014. Dan pada Pemilu 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih untuk jadi Presiden dan
Wakil Presiden masa pemerintahan 2014-2019.

C. Analisis Perbandingan Mekanisme Pergantian Kepemimpinan Masa


Khulafaurrasyidin dan Pemerintahaan Indonesia dalam Sistem Demokrasi
Sejak Nabi Muhammad meninggal dunia kepemimpinan umat Islam digantikan
oleh para sahabat-sahabatnya yang disebut dengan Khulafaurrasyidin. Adapun empat
khalifah yang termasuk dalam Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Keempat khalifah ini terpilih menjadi
pemimpin bukan berdasarkan keturunan melainkan konsensus bersama umat Islam pada
waktu itu. Pemilihan keempat pemimpin ini melalui cara yang berbeda-beda. Hal ini
disebabkan karena Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang
akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau
nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya.
Pergantian kepemimpinan mulai dari Rasulullah kepada Abu Bakar hingga Ali
Bin Abi Thalib sebagian besar merupakan hasil kesepakatan dari para pemuka sahabat da
nada juga yang merupakan amanat langsung dari pemimpin sebelumnya. Abu Bakar,
Ustman Bin Affan dan Ali bin Abu Tholib terpilih menjadi pemimpin melalui hasil
kesepakatan antara beberapa pihak seperti Bani Umayyah, Kaum Muhajirin dan Kaum
Anshar. Sedangkan Umar bin Khattab adalah satu-satunya pemimpin yang mendapatkan
amanat dari Abu Bakar secara langsung sebelum meninggal. Sehingga Umar Bin Khattab
waktu itu langsung di bai’at tanpa melalui musyawarah.
Jika dilihat dari bentuk sistem demokrasi yang diungkapkan oleh Sanit,
pergantian pemimpin pada masa khulafaurrasyidin in termasuk ke dalam demokrasi
langsung. Hal itu bisa dilihat dari adanya musyafarah mufakat dalam menentukan siapa
pemimpin selanjutnya menggantikan Rasullullah. Semua pihak dilibatkan langsung. Seperti
pada saat pemilihan Abu Bakar, musyawarah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Kaum
Anshar. Meskipun musyawarah yang dilakukan cukup alot namun dapat mencapai mufakat.

10
Pada saat pemilihan Abu Bakar menjadi pengganti Rasulullah, demokrasi
langsung yang terjadi dapat dilihat ketika peralihan kepemimpinan Umar bin Khatab kepada
Ustman bin Affan. Sebelum meninggal, Umar telah menunjuk enam orang sahabat dan
meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah
meggantikannya. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi
Waqqash, Abdurrahman ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil
menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi
Thalib.
Pada pemilihan Ali bin Abu Tholib pun juga dilalui melalui jalan musyawarah
mufakat oleh Bani Umayyah. Setelah kematian khalifah Usman bin Affan, kaum muslimin
berada dalam kesedihan yang mendalam. Kaum pemberontak yang dipimpin oleh al Ghafiqi
dari Mesir bermaksud mengadakan pendekatan kepada Ali bin Abu Thalib, namun Ali
menolak tawaan itu. Ditambah lagi beberapa kalangan terutama dari Bani Umayyah
menolak untuk membaiat Ali. Keadaan serba sulit ini memaksa Ali untuk bersedia dibaiat.
Umat Islam saat itu tidak boleh dibiarkan terlalu lama tanpa adanya pemimpin. Bila hal ini
tetap dibiarkan, akan terjadi keadaan yang tidak diinginkan.
Berbeda dengan pemilihan ketiga khalifah lainnya, pemilihan Umar bin Khattab
lebih kepada demokrasi keterwakilan yang dimandatkan. Karena Abu BAkar sebelum
meninggal telah mengamanatkan kepemimpinan selanjutnya kepada Umar dengan tujuan
agar tidak terjadi konflik antara pihak yang ingin berkuasa.
Sedangkan di Indonesia jika kita melihat pemilihan presiden dan wakil presiden
saat ini yang melalui pemilihan umum langsung oleh rakyat lebih cenderung kepada
demokrasi keterwakilan atau keterwakilan politik. Hal itu bisa dilihat dari beberapa
kecocokan fakta pada pemilihan presiden dengan beberapa indikator yang telah diutarakan
oleh Sartori (1968), yaitu:
a. Rakyat secara bebas dan periodik memilih wakil rakyat. Pemilu di Indonesia untuk
pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan lima tahun sekali.
b. Pemerintah bertanggungjawab kepada pemilih. Karena presiden dipilih langsung oleh
rakyat, maka presiden bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia sebagai pemilihnya
melalui Dewan Perwakilan Rakyat.
c. Rakyat merasa sebagai negaranya. Digunakannya hak suara masyarakat pada pemilu
membuat masyarakat merasa diakui dan pemimpin mendapat legitimasi yang sah dari
masyarakat.
d. Rakyat patuh pada kepada keputusan pemerintahnya. Negara Indonesia merupakan
negara hukum dan mempunyai kewenangan untuk melakukan sifat memaksa pada
masyarakat. Ditambah lagi pemimpin dipilih oleh masyarakat langsung sehingga
pemimpin yang terpilih akan dipatuhi masyarakatnya.
Dengan demikian mekanisme pergantian pemimpin masa khulafaurrasyidin
dengan pemerintahan di Indonesia jika lihat dari bentuk sistem demokrasi keduanya
berbeda. Pergantian kepemimpinan pada masa khulafaurrasyidin lebih cenderung pada
demokrasi langsung karena pemilihan pemimpin tersebut yang dipilih melalui kesepakatan
11
dan musyawarah mufakat. Sedangkan di Indonesia pergantian pemimpinnya lebi cenderung
kepada demokrasi keterwakilan.

12
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khalifah yang termasuk kedalam Khulafaurrasyidin terpilih menjadi pemimpin
bukan berdasarkan keturunan melainkan konsensus bersama umat Islam pada waktu itu
Pemilihan keempat pemimpin ini melalui cara yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan
karena Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau
nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Keempat khalifah yang menggantikan Rasullan dalam memimpin umat
Islan dalam prosesnya merupakan pemimpin yang bisa dibilang dipilih langsung oleh para
sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain
berhak untuk memberikan bai'at (sumpah setia) pada calon yang terpilih itu. Hal itu berbeda
dengan mekanisme pergantian pemimpin pada Pemerintahan Indonesia saat ini.
Mekanisme pergantian pemimpin masa khulafaurrasyidin dengan pemerintahan
di Indonesia jika lihat dari bentuk sistem demokrasi keduanya berbeda. Pergantian
kepemimpinan pada masa khulafaurrasyidin lebih cenderung pada demokrasi langsung
karena pemilihan pemimpin tersebut yang dipilih melalui kesepakatan dan musyawarah
mufakat. Sedangkan di Indonesia pergantian pemimpinnya lebi cenderung kepada
demokrasi keterwakilan.

B. Saran
Terlepas dari sistem demokrasi apa yang dipakai kedalam pemilihan seorang
pemimpin suatu negara baik itu demokrasi langsung atau keterwakilan (keterwakilan
politik), seorang pemimpin harus amanah kepada masyarakatnya. Pemimpin merupakan
harapan masyarakatnya untuk membawa negara kearah yang lebih baik dan untuk
kesejahteraan warganya yang lebih baik pula.
Penggunaan sistem demokrasi apa yang digunakan belum tentu menjadi jaminan
pemimpin yang terpilih adalah yang baik. Karena pemimpin yang baik itu dapat dinilai
sense of belonging pada negara dan warganya. Jika seorang pemimpin memiliki itu, secara
tidak langsung ia akan berbuat sesuatu untuk menjadikan negara yang lebih baik dan
masyarakatnya lebih sejahtera. Namun jika sebaliknya pemimpin tidak memiliki sense of
belonging terhadap masayaraka dan negaranya maka harapan untuk lebih baik tidak akan
tercapai. Karena biasanya pemimpin yang demikian hanya focus pada kekuasaan.

13

You might also like