You are on page 1of 20

PEMBAHASAN

1. Perbedaan dan Persamaan Budaya Antar Bangsa


DEFINISI BUDAYA
Budaya merupakan cara hidup yang berkembang, serta dimiliki bersama oleh kelompok
orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ini terbentuk dari berbagai unsur
yang rumit, termasuk sitem agama dan politik, adat istiadat, perkakas, bahasa, bangunan,
pakaian, serta karya seni.
Bahasa sebagaimana juga sebuah budaya, adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan
dari manusia sehingga kebanyakan manusia lebih cenderung menganggap sebagai sebuah
warisan secara genetis. Saat orang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
budaya, serta lebih menyesuaikan perbedaannya, dan membbuktikan bahwa budaya itu dapat
dipelajari.
Budaya merupakan pola hidup yang menyeluruh. budaya memiliki sifat yang
kompleks, abstrak, serta luas. Bebagai budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur
sosial-budaya ini tersebar, serta meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

2. Perspektive Kluckholn dan Strodtbeck


Teori ini dirintis oleh sepasang suami istri antropolog Clyde Kluckhohn dan Florence
Kluckhohn yang diuraikan dalam serangkaian karangannya (Kluckhohn, 1951; 1953; 1956)
kemudian secara mendalam dituangkan dalam karya Florence Kluckhohn dan F.L. Stodtbeck
dalam judul Variations in Value Orientation (1961). Menurut teori tersebut, hal-hal yang paling
tinggi nilainya dalam tiap kebudayaan hidup manusia minimal ada lima hal, yaitu (a) human
nature atau makna hidup manusia; (b) man nature atau makna dari hubungan manusia dengan
alam sekitarnya; (c) time, yaitu persepsi manusia mengenai waktu; (d) activity, yaitu masalah
makna dari pekerjaan, karya, dan amal dari perbuatan manusia; (e) relational, yaitu hubungan
manusia dengan sesama manusia. Lima masalah inilah yang disebut value orientations atau
orientasi nilai budaya.

Berdasarkan isi teori orientasi nilai budaya tersebut maka dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Dalam kaitannya dengan makna hidup manusia, bagi beberapa kebudayaan yang
menganggap bahwa hidup itu adalah sumber keprihatinan dan penderitaan maka kemungkinan
variasi konsepsi nilai budayanya dirumuskan oleh Kluckhohn dengan kata evil. Sebaliknya,
dalam banyak kebudayaan yang menganggap hidup itu adalah sumber kesenangan dan
keindahan, dirumuskan dengan kata good.
b. Berkenaan dengan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, banyak kebudayaan
yang mengkonsepsikan alam sedemikian dasyat dan sempurna sehingga manusia sepatutnya
tunduk saja padanya (subjugation to nature). Namun, terdapat juga kebudayaan yang
mengajarkan kepada warganya sejak usia dini, walaupun alam bersifat ganas dan sempurna,
nalar manusia harus mampu menjajaki rahasia-rahasianya untuk menaklukkan dan
memanfaatkannya guna memenuhi kebutuhan (mastery over nature). Juga terdapat pula
alternatif lain yang menghendaki hidup selaras dengan alam (harmony with nature).

c. Dalam kaitannya dengan persepsi manusia dengan waktu, ada kebudayaan yang
mementingkan masa sekarang (present), sementara banyak pula yang berorientasi ke masa
depan (future). Kemungkinan besar untuk tipe yang pertama adalah pemboros, sedangkan
untuk tipe yang kedua adalah manusia yang hemat.

d. Dalam kaitannya dengan makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia,
banyak kebudayaan menganggap bahwa manusia bekerja untuk mencari makan, selain untuk
bereproduksi. Hal itu dirumuskan oleh Kluckhohn dengan kata being. Sebagian kebudayaan
menganggap bahwa hidup itu lebih luas daripada bekerja, seperti menolong orang lain,
dikelompokkannya dalam kata doing.

e. Dalam kaitannya dengan hubungan antarsesama manusia, banyak kebudayaan yang


mengajarkan sejak awal untuk hidup bergotong-royong (collaterality) serta menghargai
terhadap perilaku pemuka-pemukanya sebagai acuan kebudayaan sendiri (lineality).
Sebaliknya, banyak kebudayaan yang menekankan hak individu untuk mandiri maka
orientasinya adalah mementingkan mutu dari karyanya, bukan atas senioritas kedudukan,
pangkat, maupun status sosialnya.

3. Perspektive Hofstede

DIMENSI BUDAYA

Dimensi budaya menurut Hofstede (2001) adalah: “Dimension of culture is The comparison of
cultures presupposes that there is something to be compared – that each culture is not so unique
that any parallel with another culture is meaningless.”
Pengertian di atas dapat dipahami bahwa perbandingan budaya mengandaikan bahwa ada
sesuatu yang harus dibandingkan – bahwa setiap budaya sebenarnya tidaklah begitu unik,
bahwa setiap budaya yang paralel dengan kebudayaan lain tidak memiliki makna yang begitu
berarti. Berikut ini adalah enam dimensi budaya yang dibangun oleh Hofstede dan beberapa
peneliti lain:

1. Power Distance, terkait kepada solusi-solusi yang berbeda terhadap masalah dasar dari
ketidaksetaraan manusia;
2. Uncertainty Avoidance, terkait dengan tingkat dari stres dalam lingkungan sosial
menghadapi masa depan yang tidak diketahui;
3. Individualism versus Collectivism, terkait dengan integrasi dari individu ke dalam
kelompok-kelompok utama;
4. Masculinity versus Feminimity, terkait dengan pembagian dari peran emosi antara
wanita dan laki-laki
5. Long Term versus Short Term Orientation, terkait kepada pilihan dari fokus untuk
usaha manusia: masa depan, saat ini, atau masa lalu
6. Indulgence versus Restraint, terkait kepada gratifikasi dibandingkan kendali dari
kebutuhan dasar manusia untuk menikmati hidup

POWER DISTANCE
Hofstede mendefinisikan Power Distance sebagai berikut:
The power distance between a boss B and a subordinate S in a hierarchy is the
difference between the extent to which B can determine the behavior of S and the extent
to which S can determine the behavior of B (Hofstede, 2001).
Power Distance atau jarak kekuasaan adalah sejauh mana anggota dari suatu organisasi
atau lembaga yang berada dalam posisi yang kurang kuat menerima dan berharap kekuasaan
didistribusikan secara tidak merata. Dimensi budaya yang mendukung jarak kekuasaan rendah
(Small Power Distance) mengharapkan dan menerima hubungan kekuasaan secara lebih
konsultatif atau demokratis. Orang berhubungan satu sama lain terlepas dari posisi formalitas
mereka. Bawahan mersaa lebih nyaman serta menuntut hak untuk berkontribusi dalam
pengambilan keputusan.

Di negara-negara dengan jarak kekuasaan tinggi (large power distance) cenderung


menggunakan hubungan kekuasaan yang lebih otokratis dan paternalistik. Bawahan mengakui
kekuatan orang lain hanya berdasarkan dimana mereka berada dalam struktur formal atau
posisi hirarki tertentu. Dengan demikian, indeks jarak kekuasaan didefinisikan oleh Hofstede
(2001) bukan mencerminkan perbedaan obyektif dalam distribusi daya, melainkan cara orang
memandang perbedaan-perbedaan kekuasaan

UNCERTAINTY AVOIDANC E
Dimensi ‘uncertainty avoidance’ dijelaskan oleh Hofstede (2001) sebagai berikut:
Uncertainty about the future is a basic fact of human life with which we try to cope throuhj the
domains of technology, law, and religion. In organizationas these take the form of technology,
rules, and rituals. Uncertainty avoidance should not be confused with risk avoidance(Hofstede,
2001).
Uncertainty Avoidance adalah bentuk toleransi masyarakat untuk ketidakpastian dan
ambiguitas. Hal ini menggambarkan sejauh mana anggota organisasi atau lembaga berusaha
untuk mengatasi perasaan cemas dan mengurangi ketidakpastian yang mereka hadapi.
Pemahaman ini menjelaskan bahwa uncertainty avoidance bukan berarti penghindaran risiko.
Orang-orang yang memiliki dimensi budaya penghindaran ketidakpastian tinggi (high
uncertainty avoidance) cenderung lebih emosional. Mereka mencoba untuk meminimalkan
terjadinya keadaan yang tidak diketahui atau tidak biasa. Saat terjadi perubahan mereka
menjalaninya dengan hati-hati, langkah demi langkah dengan perencanaan dan menerapkan
hukum serta peraturan yang berlaku.
Sebaliknya, dimensi budaya penghindaran ketidakpastian rendah (low uncertainty
avoidance) menerima dan merasa nyaman dalam situasi yang tidak terstruktur atau lingkungan
yang kerap kali mengalami perubahan. Mereka mencoba untuk memiliki beberapa aturan
dalam aktifitas mereka. Orang-orang dalam dimensi budaya ini cenderung lebih pragmatis,
mereka jauh lebih toleran terhadap perubahan.

INDIVIDUALISM VS COLLECTIVISM
Hofstede (2001) menjelaskan dimensi individualismsebagai sisi yang berlawanan dari
collectivism sebagai berikut:
It describes the relationship between the individual and the collectivity that prevails in a given
society. It is reflected in the way people live together-for example, in nuclear famiies, or tribes
– and it has many implications for values and behavior (Hofstede, 2001).
Ciri organisasi atau lembaga Individualism dengan Collectivism, adalah sejauh mana
individu diintegrasikan ke dalam organisasi atau lembaga tersebut.
Dalam masyarakat yang individualistik (individualism), tekanan atau stres diletakkan dalam
permasalahan pribadi, serta menuntut hak-hak individu. Orang-orang diharapkan untuk
membela diri sendiri dan keluarga mereka. Selain itu juga mereka diharapkan untuk memilih
afiliasi sendiri. Sebaliknya dalam masyarakat kolektifis (collectivism), individu bertindak
terutama sebagai anggota kelompok seumur hidup. Daya kohesifitas yang tinggi tercipta di
dalam kelompok mereka (kelompok di sini tidak mengacu kepada politik atau negara). Orang-
orang memiliki keluarga besar, yang dijadikan sebagai perlindungan bagi dirinya sehingga
loyalitasnya tidak diragukan.

MASCULINITIY VS FEMINIMITY
Hofstede menjelaskan masculinity dan feminimitysebagai berikut:
The dominant gender role patterns in the vast majority of both traditional and modern
societies. (I will use ‘sex’ when referring to biological functions and ‘gender’ when referring
to social functions) (Hofstede, 2001).
Masculinity berkaitan dengan nilai perbedaan genderdalam masyarakat, atau distribusi
peran emosional antara gender yang berbeda. Nilai-nilai dimensi maskulin (masculinity)
terkandung nilai daya saing, ketegasan, materialistik, ambisi dan kekuasaan. Dimensi feminin
(feminimity) menempatkan nilai yang lebih terhadap hubungan dan kualitas hidup. Dalam
dimensi maskulin, perbedaan antara peran gender nampak lebih dramatis dan kurang fleksibel
dibandingkan dengan dimensi feminin yang melihat pria dan wanita memiliki nilai yang sama,
menekankan kesederhanaan serta kepedulian.
Penggunaan terminologi feminin dan maskulin yang mengacu terhadap
perbedaan gender yang jelas tersirat melahirkan kontroversial. Sehingga beberapa peneliti
yang menggunakan perspektif Hofstede (2011) mengganti terminologi tersebut, misalnya
“Kuantitas Hidup” dengan “Kualitas Hidup”.

LONG TERM VS SHORT T ERM ORIENTATION


Dimensi ini dikembangkan oleh Hostede bersama Michael Harris Bond di Hongkong
(Hofstede, 2001). Dimensi ini sangat dipengaruhi oleh ajaran Confucian. Dimensi ini akan
membingungkan orang yang hidup di wilayah Barat, karena merasa hal ini tidak diperlukan.
Empat elemen ajaran yang mempengaruhi terbentuknya dimeni ini adalah:
1. Stabilitas sosial berdasarkan atas ketidaksetaraan hubungan antara orang. Sebagai
contoh junior memberikan penghormatan dan kepatuhan kepada senior, dan senior
memberikan perlindungan kepada junior.
2. Keluarga adalah bentuk dasar dari seluruh organisasi sosial. Budaya Cina memiliki
keyakinan bahwa kehilangan martabat keluarga sama saja kehilangan satu mata,
hidung, dan mulut. Menunjukkan penghormatan kepada orang disebut “memberi
wajah” dalam budaya mereka.
3. Perilaku berbudi luhur kepada orang lain mengandung makna tidak memperlakukan
orang lain seperti dirimu tidak ingin diperlakukan seperti itu oleh orang lain.
4. Berbuat baik adalah salah satu tugas hidup dengan cara menambah pengetahuan,
keterampilan, bekerja keras, tidak boros, sabar, dan memelihara.

Dimensi ini diistilahkan kemudian sebagai “Konghucu Dinamisme” (Hofstede, 2011).


Masyarakat yang berorientasi jangka panjang (long term orientation) lebih mementingkan
masa depan. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis berorientasi pada penghargaan, termasuk
ketekunan, tabungan dan kapasitas adaptasi.
Masyarakat yang memiliki dimensi orientasi hubungan jangka pendek (short term
orientation), nilai dipromosikan terkait dengan masa lalu dan sekarang, termasuk kestabilan,
menghormati tradisi, menjaga selalu penampilan di muka umum, dan memenuhi kewajiban-
kewajiban sosial.

INDULGENCE VS RE STRAINT
Michael Minkov seorang ahli bahasa dan sosiolog dari Bulgaria pada tahun 2007,
bersama dengan Geert Hofstede dan Geert Jan Hofstede (2010) mengajukan tiga dimensi
budaya yang baru yaitu Exclusionism versus Universalism, Indulgence versus
Restraint, Monumentalism versus Flexumility. Kemudian Hofstede melihat korelasi yang kuat
antara Exclusionism versus Universalism dengan dimensi Collectivism/Individualism;
dan Monumentalism versus Flexumility juga berkorelasi kuat dengan Short Term/Long Term
Orientation. Sehingga dimensi baru yang ditetapkan oleh Hofstede sebagai dimensi budaya
terbaru adalah dimensi Indulgence versus Restraint.
Kesenangan (indulgence) mengarah kepada lingkungan sosial yang mengijinkan
gratifikasi sebagai nafsu manusiawi yang alamiah terkait dengan menikmati hidup.
Pengekangan (restraint) mengarah kepada lingkungan sosial yang mengontrol gratifikasi dari
kebutuhan dan peraturan-peraturan dengan cara norma sosial yang tegas.
4. SURVEY VALUE OLEH SWARTZ

Penelitian yang paling komprehensif tentang nilai-nilai yang universal (dalam arti terdapat di mana saja di

Isu lain yang penting sebelum membahas nilai adalah tentang isi (content) dari berbagai nilai yang dianu
dianut oleh individu (Schwartz, 1994). Schwartz kemudian berupaya untuk mengklasifikasikan nilai-nilai b
digunakan adalah teori nilai dari Schwartz. Walaupun begitu, pembahasannya tidak terlepas dari tokoh-tok
mengkaitkan nilai dan tingkah laku menggunakan teori lain, yaitu belief system theory (Rokeach, 1973; Hom

Schwartz telah melakukan pengkategorisasian ke dalam sejumlah tipe nilai, dimana kategori tersebut telah

Pengertian Nilai (human values)

“Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the li

Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan den
kepentingannya.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu (1) suatu keya
digunakan sebagai

Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk. Schwartz ber

1. kebutuhan individu sebagai organisme biologis


2. persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal
3. tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Sch

Jadi, dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tunt
sebagai sesuatu yang diinginkan. Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul d
individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok domin
Schwartz,

Tipe Nilai (Value Type).


Penelitian Schwartz mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah apakah nilai-nilai y
tersendiri yang berperan memotivasi seseorang dalam bertingkah laku. Karena itu, Schwartz juga menyebut

1. Power

Tipe nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan yang universal, yaitu transformasi kebutu
lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah : social power, authority, w

2. Achievement

Tujuan dari tipe nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan menunjukkan kompetensi sesuai standar sosia
succesful, capable, ambitious, influential.

3. Hedonism

Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang diasosiasikan dengan pemuasan ke

4. Stimulation

Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan rangsangan untuk menjaga agar aktivi
Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah kegairahan, tantangan dalam hidup. Nilai khusus yang termasu

5. Self-direction

Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pikiran dan tindakan yang tidak terikat (independent), seperti memili
adalah : creativity, curious, freedom, choosing own goals, independent.

6. Universalism

Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial. Tipe nilai ini mengutamakan pengharg

7. Benevolence

Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep prososial. Bila prososial lebih pada keseja
mengembangkan kelompok, dan kebutuhan organismik akan afiliasi. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini a

8. Tradition
Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku yang merepresentasikan pengala
kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : humble, devou

9. Conformity

Tujuan dari tipe nilai ini adalah pembatasan terhadap tingkah laku, dorongan-dorongan individu yang dipan
tipe nilai ini adalah : politeness, obedient, honoring parents and elders, self discipline.

10. Security

Tujuan motivasional tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni, dan stabilitas masyarakat, hub
adalah : national security, social order, clean, healthy, reciprocation of favors, family security, sense of belo

Struktur Hubungan Nilai

Selain adanya 10 tipe nilai ini, Schwartz juga berpendapat bahwa terdapat suatu struktur yang menggambar
yang dapat berkonflik atau sebaliknya berjalan seiring (compatible) dengan pencapaian tipe nilai lain. Mis
Sebaliknya, pencapaian nilai benevolence dapat berjalan selaras dengan pencapaian nilai conformity karena k

Pencapaian nilai yang seiring satu dengan yang lain menghasilkan sistem hubungan antar nilai sebagai berik

1. Tipe nilai power dan achievement, keduanya menekankan pada superioritas sosial dan harga diri
2. Tipe nilai achievement dan hedonism, keduanya menekankan pada pemuasan yang terpusat pada diri send
3. Tipe nilai hedonism dan stimulation, keduanya menekankan keinginan untuk memenuhi kegairahan dalam
4. Tipe nilai stimulation dan self-direction, keduanya menekankan minat intrinsik dalam bidang baru atau m
5. Tipe nilai self-direction dan universalism, keduanya mengekspresikan keyakinan terhadap keputusan atau
6. Tipe nilai universalism dan benevolence, keduanya menekankan orientasi kesejahteraan orang lain dan ti
7. Tipe nilai benevolence dan conformity, keduanya menekankan tingkah laku normatif yang menunjang int
8. Tipe nilai benevolence dan tradition, keduanya mengutamakan pentingnya arti suatu kelompok tempat in
9. Tipe nilai conformity dan tradition, keduanya menekankan pentingnya memenuhi harapan sosial di atas k
10. Tipe nilai tradition dan security, keduanya menekankan pentingnya aturan-aturan sosial untuk memberi k
11. Tipe nilai conformity dan security, keduanya menekankan perlindungan terhadap aturan dan harmoni dal
12. Tipe nilai security dan power, keduanya menekankan perlunya mengatasi ancaman ketidakpastian dengan

Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz menyimpulkan bahwa tipe nilai dapat d
1. Dimensi opennes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen yang berlawanan deng
dan self direction, sedangkan dimensi conservation berisi tipe nilai conformity, tradition, dan security.
2. Dimensi yang kedua adalah dimensi self-transcendence yang menekankan penerimaan bahwa manusia p
yang termasuk dalam dimensi self-transcendence adalah universalism dan benevolence. Sedangkan tipe n

5. PERSPECTIVES TROMPENAARS

Fons Trompenaars juga meneliti dimensi nilai; karyanya tersebar selama sepuluh tahun,
dengan 15.000 manajer dari 28 negara mewakili 47 budaya nasional. Beberapa dari dimensi
itu, seperti individualisme, sikap orang terhadap waktu, dan keteraturan dalam diri versus luar.
Temuan terpilih lainnya dari penelitian Trompenaars yang memengaruhi aktivitas bisnis
sehari-hari dijelaskan selanjutnya, bersama dengan penempatan beberapa negara di sepanjang
dimensi tersebut, dalam urutan relatif perkiraan 45. Jika kita melihat penempatan negara-
negara ini dalam rentang dari pribadi ke masyarakat, berdasarkan pada setiap dimensi,
beberapa pola menarik muncul. Seseorang dapat melihat bahwa negara-negara yang sama
cenderung berada pada posisi yang sama di semua dimensi dengan pengecualian orientasi
emosional. Dalam dimensi Trompenaars tentang universalisme versus partikularisme, peneliti
menemukan bahwa pendekatan universalistik menerapkan aturan dan sistem secara objektif
tanpa mempertimbangkan keadaan individu, misalnya, pendekatan partikularistik - lebih
umum di Asia dan Spanyol, misalnya - menempatkan kewajiban pertama pada hubungan dan

lebih subjektif . Trompenaars menemukan, misalnya, bahwa orang-orang dalam masyarakat


partikularistik lebih cenderung memberikan informasi orang dalam kepada seorang teman
daripada mereka yang berada di masyarakat universalistik.

Dalam dimensi netral versus afektif, fokusnya adalah pada orientasi emosional hubungan.
Orang Italia, orang Meksiko, dan Cina, misalnya, akan secara terbuka mengekspresikan emosi,
bahkan dalam situasi bisnis, sedangkan Inggris dan Jepang akan menganggap pertunjukan
semacam itu tidak profesional.

Sejauh keterlibatan dalam hubungan berjalan, orang cenderung spesifik atau menyebar
(atau di suatu tempat di sepanjang dimensi itu). Manajer dalam budaya berorientasi spesifik,
Amerika Serikat, Inggris, Prancis, memisahkan pekerjaan dan masalah hubungan pribadi,

mereka mengelompokkan pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka, dan mereka lebih terbuka
dan langsung. Dalam budaya yang berorientasi difus, Swedia, Cina — pekerjaan mengalir ke
dalam hubungan pribadi dan sebaliknya.

Dalam dimensi prestasi versus anggapan, pertanyaan yang muncul adalah, "Apa sumber
kekuatan dan status dalam masyarakat?" Dalam masyarakat prestasi, sumber status dan
pengaruh didasarkan pada prestasi individu, seberapa baik seseorang melakukan pekerjaan dan
tingkat pendidikan serta pengalaman apa yang ditawarkan seseorang. Oleh karena itu,
perempuan, minoritas, dan kaum muda biasanya memiliki kesempatan yang sama untuk
mendapatkan posisi berdasarkan prestasi mereka. Dalam masyarakat yang berorientasi pada
anggapan, orang menganggap status berdasarkan kelas, usia, jenis kelamin, dan sebagainya,
seseorang lebih mungkin terlahir dalam posisi pengaruh. Misalnya di Indonesia lebih
cenderung didasarkan pada siapa diri Anda daripada di Jerman atau Australia.
Oleh karena itu jelaslah bahwa banyak hal yang terjadi di tempat kerja dapat dijelaskan
oleh perbedaan dalam sistem nilai bawaan orang seperti yang dijelaskan oleh Hofstede,
Trompenaars, dan para peneliti GLOBE. Kesadaran akan perbedaan seperti itu dan bagaimana
mereka mempengaruhi perilaku kerja bisa sangat berguna bagi seorang manajer internasional
di masa depan.

7. Dampak Budaya Dalam Manajemen

a. Bias Motivasi Dalam Pengambilan Keputusan

Berikut bias-bias paling umum dalam pengambilan keputusan


1. Bias Terlalu Percaya Diri

Riset terkini terus menyimpukan bahwa kita cenderung teralu percaya diri dengan
kemampuan kita dan kemampuan orang lain. Individu yang mempunyai kecerdasan intelektual
dan interpersonal paling lemah, paling mungkin berlabih dalam mengestimasi kinerja dan
kemampuannya. Adapaun hubungan negative antara optimalisasi wirausaha dana kinerja bisnis
barungya, semakin optimis semakin tidak sukses. Kecenderunga untuk teralu percaya diri akan
ide-ide mereka mingkin menyebabkan tidak direncanakannya berbagai menghindari masalah
yang muncul.

2. Bias Jangkar (anchoris bias)

Merupaka kecenderunga untuk bertahan pada idnormasi awal dan gagal menyesuaikan
dengan informasi selanjutnya secara adekuat. Pikiran kita tampaknya memberikan jumlah
penekanan yang tidak seimbang pada informasi pertama yang dirterima. Jangkar secara luas
digunakan oleh orang-orang dalam profesi di mana kealihan persuasive penting. Beberapa riset
menyatakan orang berpikir membuat penyesuaian sesudah jangkar ditetapkan sebagai
penggenapan angka. Jika Anda menyatakan gaji 55.000, atasan Anda akan mempertimbangkan
50.000 samapi 60.000 kisaran yang wajar untuk negosiasi, tetapi jika Anda menyebutkan
55.5660, atasan Anda ebih mengkin untuk memprtimbangkan 55.000-56.000 sebagai kisaran
yang mungkin.

3. Bias Konfirmasi (confirmation bias)

Kecenderungan untuk mencari informasi yang membenarkan pilihan-pilihan masal


lampau dan untuk mengurangi informasi yang menentang penilaian masa lampau. Kita paling
renta pada bias konfirmasi ketika kit apercaua bahwa kit memiliki informasi yang baik dan
dengan kuat berpegang pada opini kita. Untungnya, mereka yang merasa ada kebutuha yang
kuat untuk akurat dalam pengambilan keputusan kuerna rentan pada nias kondirmasi.

4. Bias Ketersediaan (availability bias)

Merupakan kecenderungan orang untuk mendasrakan penilaiana pada informasi yang


siap tersedia bagi mereka. Riset terbaru mengidikasikan bahwa sebuah kombinasi atas
informasi yang siap sedia dan pengalama langsung kita dengan informasi yang sama khususnya
sangat berdapaka pada pengambilan keputsan kita.

5. Eskalasi Komitmen

Eskalasi Komitmen merujuk pada bertahannya kita dengan keputusan sekalipun ada
bukti yang jelas bahwa itu salah. Komitmen yang meningkat untuk sebuah keputusan meskipun
terdapat informasi negatif. Contoh :Seorang pria telah berpacaran dengan seorang wanitanya
kurang lebih 4 tahun.Meskipun pria ini mengatakan bahwa banyak masalah dalam hubungan
mereka, namun pria ini mengatakan bahwa tetap akan menikahi wanita tersebut.

6. Kesalahan Acak (Randomness Error )

Kecenderungan individu untuk percaya bahwa mereka dapat memprediksi hasil dari
peristiwa-peristiwa yang tidak disengaja. Contoh : Ketika sekelompok individu diberi
informasi harga saham,individu-individu ini kurang lebih 65 persen yakin bahwa mereka bisa
memprediksi arah perubahan saham. Pada keadaan yang sebenarnya, individu-individu ini
hanya benar 49 persen pada saat itu.
7. Aversi Resiko (Risk Aversion)

Kecenderungan individu untuk lebih menyukai keuntungan rata-rata jika ada faktor
resiko, meskipun jika resiko diambil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Contoh
: Para investor menghindari pembelian instrumen beresiko tinggi dan beralih ke instrumen yang
beresiko rendah, (Emas guna menyelamatkan asset mereka ditengah ketidakpastian pasar).

8. Bias Retrospeksi

Kecenderungan kita untuk pura-pura yakin bahwa kita telah memprediksi hasil dari
sebuah peristiwa secara akurat, setelah hasil tersebut benar-benar diketahui. Contoh : semakin
banyak individu yang sepertinya telah yakin akan siapa yang memenagkan Super Bowl pada
hari setelah pertandingan bila dibandingkan dengan individu yang yakin pada hal itu sebelum
pertandingan.

b. Seleksi dan Pengambilan Keputusan Alokasi Imbalan

Pemberian imbalan berdasarkan hasil kerja, prestasi, bonus, pembagian laba, pembagian
keuntungan, dan rencana kepemilikan saham kepada pekerja merupakan bentuk-bentuk
program pemberian imbalan yang bervariabel.

1. Imbalan berdasarkan hasil kerja adalah suatu rencan pemberian imbalan yang mana
para pekerja dibayar dalam jumlah yang tetap atas setiap unit produksi yang
diselesaikan.
2. Imbalan berdasarkan prestasi adalah suatu rencana pemberian imbalan yang didasarkan
pada peringkat penilaian kinerja.
3. Bonus adalah suatu rencana pemberian imbalan kepada para pekerja atas kinerja terkini
dan bukannya riwayat kinerja.
4. Imbalan berdasarkan keahlian adalah suatu rencana pemberian imbalan yang
menetapkan level imbalan atas dasar berapa banyak keahlian yang para pekerja miliki
atau berapa banyak pekerjaan yang dapat mereka kerjakan.
5. Rencana pembagian laba yaitu suatu program yang dilakukan oleh organisasi yang
mendistribusikan pada beberapa penetapan formula yang dirancang diseputar
profitabilitas perusahaan.
6. Pembagian keuntungan adalah suatu rencana sekumpulan insentif yang didasarkan
pada formula yang menggunakan peningkatan dalam produktivitas kelompok dari satu
periode ke periode lainnya untuk menentukan total jumlah dana yang di alokasikan.
7. Rencana kepemilikan saham pekerja adalah suatu rencana manfaat yang ditetapkan
oleh perusahaan yang mana para pekerja memporleh saham, sering kali di bawah harga
pasar sebagai bagian dari manfaat mereka.

c. Dilema Etika dalam Pengambilan Keputusan

Seorang pemimpin dalam mengambil keputusan dihadapkan pada dilema etika dan moral.
Keputusan yang diambil pemimpin tentunya akan menghasilkan dampak bagi orang lain.
Idealnya, seorang pemimpin mempunyai integritas yang menjunjung tinggi nilai moral dan
etika. Sehingga, keputusan yang diambilnya adalah mengacu tidak hanya pada kepentingannya
sendiri, melainkan juga kepentingan orang banyak termasuk lingkungannya.
Misalnya seperti kasus Enron, tentunya pengambilan keputusan dilakukan tanpa mengacu pada
nilai-nilai etika dan moral. Oleh karena itu, hasilnya adalah kehancuran. Maka, ada baiknya
sebelum Anda mengambil keputusa mengacu pada prinsip-prinsip berikut ini:

•Autonomy

Isu ini berkaitan dengan apakah keputusan Anda melakukan eksploitasi terhadap orang lain
dan mempengaruhi kebebasan mereka? Setiap keputusan yang Anda ambil tentunya akan
mempengaruhi banyak orang. Oleh karena itu, Anda perlu mempertimbangkan faktor ini ke
dalam setiap proses pengambilan keputusan Anda.

Misalnya keputusan untuk merekrut pekerja dengan biaya murah. Seringkali perusahaan
mengeksploitasi buruh dengan biaya semurah mungkin padahal sesungguhnya upah tersebut
tidak layak untuk hidup.

• Non-malfeasance

Apakah keputusan Anda akan mencederai pihak lain? Di kepemerintahan, nyaris setiap
peraturan tentunya akan menguntungkan bagi satu pihak sementara itu mencederai bagi pihak
lain. Begitu pula halnya dengan keputusan bisnis pada umumnya, dimana tentunya
menguntungkan bagi beberapa pihak namun tidak bagi pihak lain.
Misalnya kasus yang belakangan menghangat yaitu pemerintah dengan UU ITE (Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang baru disahkan dan ditentang oleh banyak
pihak. Salah satunya implikasi dari UU tersebut adalah pemblokiran situs porno. Meskipun
usaha pemerintah baik, namun banyak pihak yang menentangnya.

•Beneficence

Apakah keputusan yang Anda ambil benar-benar membawa manfaat? Manfaat yang Anda
ambil melalui keputusan harus dapat menjadi solusi bagi masalah dan merupakan solusi terbaik
yang bisa diambil.

•Justice

Proses pengambilan keputusan mempertimbangkan faktor keadilan, dan termasuk


implementasinya. Di dunia ini memang sulit untuk menciptakan keadilan yang sempurnam
namun tentunya kita selalu berusaha untuk menciptakan keadilan yang ideal dimana
memperlakukan tiap orang dengan sejajar.

Misalnya dalam keputusan reward, Astra Internasional mempunyai 2 filosofi dasar. Pertama
adalah fair secara internal, dimana setiap orang dengan dengan golongan yang sama dan
prestasi yang sama maka pendapatannya juga sama. Keputusan ini mencerminkan keadilan di
dalam perusahaan itu sendiri. Sementara itu, filosofi lainnya adalah kompetitif secara eksternal,
atau gaji yang bersaing dalam industri.

• Fidelity

Fidelity berkaitan dengan kesesuaian keputusan dengan definisi peran yang kita mainkan.
Seringkali ini melibatkan ‘looking at the bigger picture’ atau melihat secara keseluruhan dan
memahami peran Anda dengan baik.

Misalnya keputusan Chairman Federal Reserve, Ben S. Bernanke untuk menyelamatkan Bear
Stearns dengan cara menyokong dana bagi akuisisi JPMorgan terhadap Bear Stearns senilai
$30 miliar dan dipertanyakan oleh banyak pihak. Namun, Bernanke berpendapat bahwa ia
melakukannya demi mencegah kekacauan finansial yang akan dialami pasar jika Bear Stearns
benar-benar bangkrut.
DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, A.1985. Pola Sistem Nilai Para Manajer di Indonesia. Jakarta : Disertasi
Psikologi F. Psikologi UI

Feather, N. T. 1994. Values and Culture. Dalam Lonner, Walter J.; Malpass, Roy S. (Ed.),
Psychology and Culture (hal : 183 - 189). Massachusetts : Allyn & Bacon

Greenstein, T. 1976. Behavior Cahge Through Value Self-Confrontation : A Field


Experiment.

Hofstede, G. (2001). Culture’s Consequences – Comparing Values, Behaviors, Institution,


and Organizations Across Nations. California: Sage Publications, Inc.

Hofstede, G. (2011). Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in Context.


Netherlands: Universities of Mastricht and Tilburg.

Robbins, S.P dan Timothy A. Judge. 2015. Perilaku Organisasi, Edisi 16, Salemba Empat,
Jakarta.
MANAJEMEN LINTAS BUDAYA

Ringkasan Materi Kuliah 3 & 4

“Aspek – Aspek Budaya yang Berdampak pada Proses Manajemen”

Dosen Pengampu : Dr. Dra. Putu Saroyini Piartrini, M.M,. Ak.

Oleh:

Kelompok 3

Ni Kadek Weni Antari 1707521020

Dicky Hardianto 1707521050

Epsilon Ellyonara Nur Qodrin 1707521117

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

You might also like