Professional Documents
Culture Documents
c
Perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang gemilang sebagai
refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum
kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang
bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi. Apabila
terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum juga bisa berubah.
Akibat gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal
dimana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilai-nilai moral telah terlepas dari poros agama
(gereja), ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme. Siapapun (termasuk pemerintah)
tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal
demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan
modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat
dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia
memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan,
ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari
individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Berkaitan dengan aspek hukum yang selalu dibicarakan dari waktu ke waktu. Dalam lafal
sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates, masalah ini telah ditulis dan diingatkan. Namun
sampai kini, tetap saja persoalan yang timbul tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik
atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Pada beberapa kasus,
tindakan ini memang diperlukan, sementara di pihak lain, tindakan ini tidak dapat diterima
karena bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
ëasalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak
dapat diembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam keadaan
demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan dan tidak ingin
diperpanjang hidupnya lagi atau di lain kasus keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar,
keluarga pesakit tidak tega melihat pasien penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta
kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang
mempercepat kematian.
ëasalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin
banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukannya
tindakan di dalam dunia pengobatan dengan mempergunakan teknologi canggih dalam mengatasi
keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat
pelayanan kesehatan terutama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang
pada masa lalu sudah merupakan kasus yang tidak dapat dibantu lagi.
Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul persoalan dasar kembali
lagi, yaitu dilemma meneruskan atau tidak meneruskan atau tindakan medik yang
memperpanjang kehidupan.
Apa yang harus dilakukan dokter menghadapi korban yang telah mati otak atau mati
batang otak karena belum ada kasus yang dapat keluar dari keadaan ini, sebab kerusakan
jaringan otak yang irreversible.
ëasalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para
praktisi hukum di negara-negara barat. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu masih berlangsung
ketika dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari sudut mana ia
harus melihat.
Berdasarkan latar belakang yang ada , maka tim penulis mencoba merumuskan beberapa
masalah , seperti berikut ini :
1.Apa itu mati batang otak ?
.Bagaimana pandangan berbagai aspek terhadap euthanasia ?
3.Bagaimana aspek etika pasien mati batang otak ?
4. Apa saja hal-hal yang mendasari pengambilan keputusan euthanasia ?
ëakalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui definisi dan penjabaran dari euthanasia
.Untuk mengetahui berbagai aspek dalam kasus euthanasia
3.Untuk mengetahui aspek etika pada pasien dengan kematian batang otak.
4.Untuk mengetahui hal-hal yang mendasari pengambilan keputusan euthanasia.
Penyusuan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat menjadi bahan pembelajaran bagi
tim penulis secara khusus dan pembaca secara umum mengingat betapa pentingnya masalah
euthanasia dan aspek etika pada pasien mati batang otak.
c c
c
c
Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk
fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah
koma dalam,hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea. Seorang pasien yang telah
ditetapkan mengalami kematian batang otak berarti secara klinis dan legal-formal telah
meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam pernyataan IDI tentang mati, yaitu dalam
Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 ëaret 1988 yang disusulkan dengan
Surat Keputusan PB IDI No.31/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang
dikatakan mati, bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible,
atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan tes
apnea) dapat dilaksanakansecara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan kriteria
kematian batang otak ataupemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang
otak tidak dapat diperoleh,diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan(3)
Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetap
perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati. Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada
otak, penderita tidak mati, jika batang otak betul-betul mati, maka harapan hidup seseorang
sudah terputus.
Terdapat macam kematian otak yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat
kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat
pusat saraf penggerak motor semua saraf tubuh, seseorang mati bila batang otak menggerakkan
jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
ëenentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat fenomena. Pertama, adanya
gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun bunyi, yang terdapat pada
mulut, jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir terutama bagi orang
dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.
ëempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan
membunuh. Jika dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga. Sedangkan terhadap
euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para
ulama sepakat membolehkan. Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan
bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi
kepastian hidup. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ utama yang
tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan batang otak), maka
berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang berada di RS yang lengkap
peralatannya. Tetapi bila pasien berada di RS yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi
kerusakan salah satu dari yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS
yang lebih lengkap. Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup
memikulnya. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian
pasien.
Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan terhenti pula
fungsinya. ëemang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi jantung masih berdenyut.
Apalagi jika batang otak sudah mengalami pembusukan. ëaka dalam kondisi yang demikian,
tindakan euthanasia pasif boleh dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan,
masker oksigen, pemacu jantung, saluran infus dsb. ëaksudnya hanya sebagai langkah
menyempurnakan kematian.
Ada yang melihat pelaksanaan euthanasia dari sudut lain dan membaginya atas 4
kategori, yaitu:
1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup
pasien.
. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien
3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup
pasien.
4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai
pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan
berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek
hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat
latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam
keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain
pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat
menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam
KUHP Pidana.
Kitab undang-undang hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana auat dihukum
jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.
Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan eutahansia aktif terdapat pada
pasal 344 KUHP.
Pasal 304 KUHP
c
Pasal 344 KUHP
c
Ketentuan ini harus diingat kalangan dokter sebab walaupun terdapat beberapa lasan kuat
untuk membantu pasien/keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien,
ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal di bwah ini
harus diketahui oleh dokter.
Pasal ini mengingatkan dokter, jangankan melakukan euthanasia, menolong atau member
harapan kearah perbuatan itu saja pun sudah mendapat ancaman pidana.
c
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. ëati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila
secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan
ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk
tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya
dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan,
keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di
dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun
alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan
yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan
putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan
apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari
pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa
menimbulkan masalah lain. ëengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi
penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan
mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai
upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat
dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering
menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum
hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi
pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka
dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
!"
c c
Dari penjabaran yang telah penulis coba uraikan pada bab sebelumnya , ada beberapa
simpulan yang dapat diambil seperti sebagai berikut :
Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik. Tanpa penderitaan; sedang
tanathos = mati.Secara umum , Euthanasia Study Group dari KNëG (Ikatan Dokter Belanda)
mendefinisikan euthanasia , å
Euthanasia dapat dipandang dari berbagai aspek seperti
{
Kitab undang-undang hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana auat dihukum
jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.
Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan eutahansia aktif terdapat pada
pasal 344 KUHP.Berikut beberapa pasal yang berkaitan dengan euthanasia :
- Pasal 304 KUHP
- Pasal 306 KUHP
- Pasal 344 KUHP
- Pasal 338 KUHP
- Pasal 340 KUHP
- Pasal 359 KUHP
- Pasal 345 KUHP
{
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. ëati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia.
{
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
{
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di
dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun
alasannya. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan.
Kita juga harus mengetahui aspek etika pada pasien dengan keadaan mati batang
otak.Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi
batang otak, secara ireversibel.Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian
batang otak berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini seperti
dituangkan dalam pernyataan IDI tentang mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI
No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 ëaret 1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI
No.31/PB.A.4/07/90.
ëempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan
membunuh. Jika dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga. Sedangkan terhadap
euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para
ulama sepakat membolehkan. Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ
lainnya akan terhenti pula fungsinya. ëemang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi
jantung masih berdenyut. Apalagi jika batang otak sudah mengalami pembusukan. ëaka dalam
kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh dilaksanakan, umpamanya dengan
mencabut selang pernafasan, masker oksigen, pemacu jantung, saluran infus dsb. ëaksudnya
hanya sebagai langkah menyempurnakan kematian.
ëelalui penyusunan makalah ini , tim penyusun menyarankan kepada pemerintah untuk
lebih memperjelas garis batas euthanasia yang boleh diperlakukan demi kebaikan medis seorang
pasien.
"
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang ëaha Esa karena berkat rahmat ,karunia dan ridho-
Nya , kami tim penyusun dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya.
ëakalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas bioetik.Adapun Dalam makalah ini
, kami mencoba menguraikan aspek euthanasia dan aspek etika pada pasien dengan mati batang
otak berdasarkan tema yang telah diberikan.
Kami sebagai penulis mengaku bahwa ³tak ada gading yang tak retak´, oleh karena itu,
saran dan kritik yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan demi perbaikan dan
penyempurnaan.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bermanfaat bagi
tim penulis khususnya.