You are on page 1of 10

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)    ISSN : 1978 – 9777 

Yogyakarta, 24 November 2007 
 

PEMBAKARAN BRIKET BIOMASSA CANGKANG KAKAO :


PENGARUH TEMPERATUR UDARA PREHEAT
 
M. Syamsiro dan Harwin Saptoadi2
1

1)
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra
Jl. T.R. Mataram 57 Yogyakarta
E-mail : syamsiro@yahoo.co.id
2)
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika Yogyakarta
e-mail : harwins@lycos.com

Abstract
National energy demands will rise but availability of energy resources decrease, so that it need
to be done the action to prevent energy crisis including the development of energy based on
biomass. Abundant biomass resources are available in Indonesia based on agricultural product.
Several agricultural residue such as rice husk, rice straw, coconut shell, bagasse and cocoa
shell are potential renewable energy resources. The objective of this research is to study the
effect of preheat air temperature on combustion characteristic of biomass briquette from cocoa
shell. Biomass materials were crushed until particle size of less than 1 mm were obtained. Five
grams mixture of biomass and binder with composition of 70%:30% were briquetted in 16 mm
cylindrical mould and dried in an oven at 50°C for 5 hours. Combustion tests were conducted
in a combustion chamber at constant air velocity 0,3 m/s and constant wall temperature 350°C.
The results show that the increase of preheat air temperature will increase combustion rate dan
gas temperature. This is affected by reaction kinetic that dominate the combustion at low
temperature. The increase of preheat air temperature will decrease CO emission.
Keywords : biomass, briquette, cocoa shell, preheat air temperature, CO emission.

1. Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk yang terus meningkat di Indonesia


menyebabkan pertambahan konsumsi energi di segala sektor kehidupan seperti transportasi, listrik,
dan industri. Hal ini mengingat pemakaian energi per kapita masih rendah dibandingkan dengan
negara lainnya. Konsumsi per kapita
pada saat ini sekitar 3 SBM (setara barel minyak) yang setara dengan kurang lebih sepertiga
konsumsi per kapita rerata negara ASEAN. Diperkirakan kebutuhan energi nasional akan
meningkat dari 674 juta SBM tahun 2002 menjadi 1680 juta SBM pada tahun 2020, meningkat
sekitar 2,5 kali lipat atau naik dengan laju pertumbuhan rerata tahunan sebesar 5,2% (KNRT,
2006). Sedangkan cadangan energi nasional semakin menipis apabila tidak ditemukan cadangan
energi baru. Sehingga perlu dilakukan berbagai terobosan untuk mencegah terjadinya krisis energi.
Untuk mengantisipasi hal tersebut Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan blueprint
pengelolaan energi nasional tahun 2005-2025. Penyusunan Kebijakan Energi Nasional dimulai
dengan dituangkannya dokumen Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE). KUBE yang telah

B ‐ 1 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)    ISSN : 1978 – 9777 
Yogyakarta, 24 November 2007 
 

dirumuskan oleh Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) mulai tahun 1981 hingga yang
terakhir tahun 1998 terdiri dari lima prinsip pokok, yaitu : diversifikasi energi, intensifikasi energi,
konservasi energi, mekanisme pasar dan kebijakan lingkungan. Kemudian dilanjutkan dengan
Kebijakan Energi Nasional tahun 2003 dengan kebijakan utama meliputi intensifikasi, diversifikasi,
dan konservasi energi.
Kebijakan energi ini khususnya ditekankan pada usaha untuk menurunkan ketergantungan
penggunaan energi hanya pada minyak bumi. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional dirumuskan bahwa perlu adanya
peningkatan pemanfaatan sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Sasaran Kebijakan
Energi Nasional adalah tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 pada tahun 2025 dan
terwujudnya energy mix yang optimal meliputi penggunaan minyak bumi menjadi kurang dari
20%. Termasuk di dalamnya adalah energi baru dan terbarukan (termasuk biomassa) menjadi lebih
dari 5%.
Salah satu energi terbarukan yang mempunyai potensi besar di Indonesia adalah biomassa.
Dalam Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Koservasi Energi (Energi Hijau)
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang dimaksud energi biomasa meliputi kayu,
limbah pertanian/perkebunan/hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga. Sebagai
negara agraris, Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar. Pemanfaatan energi
biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk energi tertua yang peranannya sangat besar
khususnya di pedesaan. Diperkirakan kira-kira 35% dari total konsumsi energi nasional berasal dari
biomassa. Energi yang dihasilkan telah digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk
kebutuhan rumah tangga (memasak dan industri rumah tangga), pengering hasil pertanian dan
industri kayu, pembangkit listrik pada industri kayu dan gula.
Berdasarkan Statistik Energi Indonesia (DESDM, 2004) disebutkan bahwa potensi energi
biomassa di Indonesia cukup besar mencapai 434.008 GWh. Beberapa jenis limbah biomassa
memiliki potensi yang cukup besar seperti limbah kayu, sekam padi, jerami, ampas tebu, cangkang
sawit, dan sampah kota. Potensi lain yang belum tergarap adalah limbah cangkang kakao.
Berdasarkan data tahun 2003 luas areal lahan perkebunan kakao mencapai 801.332 Ha dengan
produksi mencapai 512.251 ton (Deptan, 2003). Dengan jumlah areal lahan dan produksi kakao
yang cukup besar di Indonesia menjadikan limbah ini mempunyai prospek cukup bagus di masa
yang akan datang, sehingga perlu dikaji pemanfaatannya. Pemerintah melalui Kementerian Negara
Riset dan Teknologi (KNRT) juga telah menyusun roadmap pengembangan energi sektor bahan
bakar padat dan gas dari biomassa baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Dalam jangka
pendek (2005-2010) pemerintah mendukung program karakterisasi biomassa di seluruh Indonesia
berikut teknologi pembriketannya dan difokuskan dua hal yaitu pengurangan dampak lingkungan
dan perbaikan efisiensi (KNRT, 2006).

2. Landasan Teori
2.1 Pembakaran Bahan Bakar Padat
Biomassa adalah salah satu jenis bahan bakar padat selain batubara. Biomassa
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu biomassa kayu dan bukan kayu (Borman, 1998).
Mekanisme pembakaran biomassa terdiri dari tiga tahap yaitu pengeringan (drying), devolatilisasi
(devolatilization), dan pembakaran arang (char combustion).

B ‐ 2 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)    ISSN : 1978 – 9777 
Yogyakarta, 24 November 2007 
 

2.1.1 Pengeringan
Tahap pertama yang terjadi adalah pengeringan, dimana ketika sebuah partikel dipanaskan
dengan dikenai temperatur tinggi atau radiasi api, air dalam bentuk moisture di permukaan bahan
bakar akan menguap, sedangkan yang berada di dalam akan mengalir keluar melalui pori-pori
partikel dan menguap. Moisture dalam bahan bakar padat terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai
air bebas (free water) yang mengisi rongga pori-pori di dalam bahan bakar dan sebagai air terikat
(bound water) yang terserap di permukaan ruang dalam struktur bahan bakar (Borman dan
Ragland, 1998).
Waktu pengeringan adalah waktu yang diperlukan untuk memanaskan partikel sampai ke titik
penguapan dan melepaskan air tersebut. Kesetimbangan energi pada partikel kecil menyatakan
bahwa laju perubahan energi dalam partikel sama dengan laju kalor untuk menguapkan air
ditambah laju perpindahan kalor ke partikel melalui konveksi dan radiasi (Borman dan Ragland,
1998) :
d
(mw u w + mdf u df ) = −m& w h fg + q (1)
dt

dengan : hfg = kalor laten penguapan per unit massa air, m = massa, u = energi dalam per unit
massa, w = water (air), dan df = dry fuel (bahan bakar kering).
Laju perpindahan panas ke partikel, q, tergantung dari temperatur latar dapur Tb, yang diasumsikan
sama dengan temperatur gas sekelilingnya.
2.1.2 Devolatilisasi
Proses pengeringan akan dilanjutkan dengan proses devolatilisasi/pirolisis. Setelah proses
pengeringan, bahan bakar mulai mengalami dekomposisi, yaitu pecahnya ikatan kimia secara
termal dan zat terbang (volatile matter) akan keluar dari partikel. Volatile matter adalah hasil dari
proses devolatilisasi. Volatile matter terdiri dari gas-gas combustible dan non combustible serta
hidrokarbon. Untuk partikel yang besar hasil devolatilisasi berpindah dari pusat partikel ke
permukaan untuk kemudian keluar. Selama perpindahan ini, hasil devolatilisasi bisa retak,
mengembun, membentuk polimer dan mungkin membentuk endapan karbon sepanjang lintasannya.
Ketika volatile matter keluar dari pori-pori bahan bakar padat, oksigen luar tidak dapat menembus
ke dalam partikel, sehingga proses devolatilisasi dapat diistilahkan sebagai tahap pirolisis.
Borman dan Ragland (1998) menyatakan laju devolatilisasi bahan bakar padat ditunjukkan
dengan pendekatan persamaan reaksi orde pertama dengan konstanta laju Arrhenius :

dmv
= − mv .k pyr (2)
dt

dimana :

⎛ E pyr ⎞
⎜− ) ⎟
⎜ RT ⎟
k pyr = −k o , pyr e ⎝ P ⎠

mv = m p − mc − m a

B ‐ 3 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)    ISSN : 1978 – 9777 
Yogyakarta, 24 November 2007 
 
)
dengan E = energi aktivasi, R = konstanta gas universal, Tp = temperatur partikel briket, pyr
adalah pirolisis, mv = massa volatile matter, mp = massa partikel bahan bakar, mc = massa char, dan
ma = massa abu.

2.1.3 Pembakaran Arang

Proses pengeringan dan devolatilisasi menyisakan arang. Laju pembakaran arang tergantung
pada konsentrasi oksigen, temperatur gas, bilangan Reynolds, ukuran, dan porositas arang. Arang
mempunyai porositas yang tinggi. Porositas arang kayu berkisar 0,9 (Borman dan Ragland, 1998).
Untuk kebutuhan keteknikan, adalah lebih tepat menggunakan laju reaksi global (global reaction
rate) untuk menunjukkan laju pembakaran partikel arang (char). Laju reaksi global dirumuskan
dalam istilah laju reaksi massa arang per satuan luas permukaan luar dan per satuan konsentrasi
oksigen di luar lapis batas partikel. Sehingga reaksi global bisa dituliskan sebagai berikut :
C + ½ O2 → CO (a)

dimana permukaan karbon juga bereaksi dengan karbondioksida dan uap air dengan reaksi reduksi
sebagai berikut :

C + CO2 → 2CO (b)

C + H2O → CO + H2 (c)

Reaksi reduksi (b) dan (c) secara umum lebih lambat daripada reaksi oksidasi (a), dan untuk
pembakaran biasanya hanya reaksi (a) yang diperhitungkan.
Untuk laju reaksi global dengan orde n pada oksigen, laju pembakaran arang adalah :

⎛M ⎞
dmc
dt
= −i⎜ c
⎜ Mo ⎟
( 2
)
⎟ A p k c ρ O (s ) n (3)
⎝ 2 ⎠

dimana i adalah rasio stoikiometri mol karbon (Mc) per mol oksigen ( M O2 ) (yaitu 2 untuk reaksi
(a), Ap adalah luas permukaan luar partikel, kc adalah konstanta laju kinetik, ρ O2 adalah densitas
parsial oksigen pada permukaan partikel, dan n adalah orde reaksi.

2.2 Densifikasi Biomassa


Biomassa pada umumnya mempunyai densitas yang cukup rendah, sehingga akan
mengalami kesulitan dalam penanganannya. Densifikasi biomassa menjadi briket bertujuan untuk
meningkatkan densitas dan menurunkan persoalan penanganan seperti penyimpanan dan
pengangkutan. Densifikasi menjadi sangat penting dikembangkan di negara-negara berkembang
sebagai salah satu cara untuk peningkatan kualitas biomassa sebagai sumber energi. Secara umum
densifikasi biomassa mempunyai beberapa keuntungan (Bhattacharya dkk, 1996) :
™ Menaikkan nilai kalori per unit volume.
™ Mudah disimpan dan diangkut.
™ Mempunyai ukuran dan kualitas yang seragam.

B ‐ 4 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)    ISSN : 1978 – 9777 
Yogyakarta, 24 November 2007 
 

Biomassa mempunyai energi kira-kira 1/3 energi batubara per unit massa dan 1/4 energi
batubara per unit volume. Densifikasi dapat mengubahnya menjadi masing-masing 2/3 dan 3/4
(Bungay, 1981). Secara umum teknologi pembriketan dapat dibagi menjadi tiga (Grover dan
Mishra, 1996) :
™ Pembriketan tekanan tinggi.
™ Pembriketan tekanan medium dengan pemanas.
™ Pembriketan tekanan rendah dengan bahan pengikat (binder).
Beberapa jenis bahan dapat digunakan sebagai pengikat diantaranya amilum/tepung kanji, tetes,
dan aspal.
Karakteristik pembriketan dievaluasi diantaranya dengan melihat durabilitas, kekuatan
mekanis, dan perilaku relaksasi. Wamukonya dan Jenkins (1995) meneliti durabilitas dan relaksasi
pada serbuk kayu dan jerami. Chin dan Siddiqui (2000) telah meneliti perilaku relaksasi briket dari
berbagai macam biomassa. Relaksasi sangat dipengaruhi oleh tekanan pembriketan. Semakin tinggi
tekanan maka relaksasi akan semakin bertambah.

2.3 Emisi Pembakaran


Emisi yang dihasilkan dari pembakaran biomassa adalah CO2, CO, NOx, SOx, dan
partikulat. Kwong dkk (2004) meneliti campuran serbuk batubara dan sekam padi untuk berbagai
komposisi dan udara lebih (excess air). Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi penurunan emisi CO
lebih dari 40% untuk campuran sekam padi 50%. Hal ini berarti sekam padi dapat
menyempurnakan proses pembakaran. Konsentrasi CO juga menurun dengan penambahan excess
air. Hasil optimal terjadi pada 30% excess air dan 10-20% campuran sekam padi.
Emisi CO campuran biomassa ampas tebu-sekam padi telah diteliti Jamradloedluk dkk
(2004) dengan hasil emisi CO rata-rata terendah untuk rasio 40:60 yaitu sebesar 3,3 ppm dan
tertinggi untuk rasio 20:80 sebesar 14,4 ppm. Moerman dan Prasad (1995) meneliti rasio CO/CO2
dari pembakaran kayu dalam tungku tipe downdraft. Rasio CO/CO2 untuk range pembakaran
bersih (clean combustion) dapat diprediksi dengan simulasi dengan kesalahan 10% dibandingkan
dengan data eksperimen. Pada pembakaran dengan excess air factor rendah diperoleh rasio yang
tinggi. Kenaikan excess air factor akan menurunkan rasio, tetapi pada kenaikan sampai di atas 2
akan menaikkan kembali rasio CO/CO2.
Bhattacharya dkk (2002) meneliti emisi yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan arang
kayu pada berbagai macam tungku. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO berkisar antara
19-136 g/kg. Emisi terendah dihasilkan oleh tungku jenis RTFD Thailand dan tertinggi tungku
jenis Nepal. Pratoto (2004) telah meneliti emisi dari pembakaran empty fruit bunch (EFB).
Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO berkisar antara 12-67 g/kg.

3. Metode Penelitian

Bahan yang digunakan adalah limbah cangkang kakao. Penelitian dilakukan dengan
mengeringkan cangkang kakao terlebih dahulu selama kurang lebih 3 hari. Analisis proksimasi dan
nilai kalor bahan dasar ditampilkan pada Tabel 1. Setelah itu dihaluskan dengan penumbuk dan
disaring dengan ukuran mesh 18 (diameter: 1 mm). Kemudian dilakukan pembriketan 5 gram
sampel berbentuk silinder dalam cetakan diameter 16 mm dan diperoleh diameter dan panjang rata-
rata 16,4 dan 26 mm. Komposisi cangkang kakao dan bahan pengikat (gel dari tepung kanji) adalah

B ‐ 5 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)    ISSN : 1978 – 9777 
Yogyakarta, 24 November 2007 
 

70%:30%. Pengeringan briket menggunakan oven pada suhu 50°C selama kurang lebih 5 jam dan
dihasilkan berat rata-rata briket 3,687 gram. Briket yang dihasilkan seperti ditunjukkan Gambar 2.

Tabel 1. Analisis proksimasi limbah cangkang kakao

Proximate Analysis (% berat, wet basis)
Nilai kalor 
Material 
Volatile  (kJ/kg) 
Moisture  Fixed carbon  Ash 
matter 

Cangkang kakao  16,1  49,9  20,5  13,5  16.998 

      Pengujian pembakaran dengan pengaruh temperatur udara preheat dilakukan dengan 3


variasi yaitu tanpa preheat, 60°C, dan 80°C. Laju aliran udara dijaga konstan 0,3 m/s. Dinding
ruang bakar juga dipertahankan pada temperatur 350°C dengan pemanasan LPG. Skema pengujian
ditunjukkan pada Gambar 1di bawah ini. Masukkan briket ke dalam tungku dan diletakkan pada
cawan yang digantungkan dengan kawat dan dihubungkan ke timbangan digital. Pengukuran
dilakukan sampai tidak terjadi lagi pengurangan massa yang berarti pembakaran telah selesai.

1. Blower udara 
2. Katup pengatur 
3. Saluran masuk pemanasan LPG 
4. Ruang preheater 
5. Ruang pembakaran 
6. Gas Analyser 
7. Kawat termokopel 
8. Digital termocouple reader 
9. Kawat penggantung briket 
10. Timbangan elektrik 
11. Komputer 

B ‐ 6 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777
Yogyakarta, 24 November 2007

Gambar 1. Skema Alat Uji Pembakaran. 

Gambar 2. Briket cangkang kakao.


4. Hasil dan Pembahasan
Pengaruh temperatur udara preheat terhadap pengurangan massa dan laju pembakaran
sesaat dapat dilihat pada Gambar 2. Sesuai dengan teori yang ada bahwa pembakaran biomassa
dibagi menjadi 3 tahap. Pertama tahap pengeringan/pemanasan yang ditunjukkan dengan
pengurangan massa yang lambat. Tahap kedua devolatilisasi yang ditunjukkan dengan
pengurangan massa yang sangat cepat dan tahap ketiga pembakaran arang dengan pengurangan
massa yang kembali menjadi lambat. Dari Gambar 2(a) terlihat bahwa semakin tinggi temperatur
udara preheat maka pengurangan massa berlangsung semakin cepat. Hal ini disebabkan adanya
suplai kalor tambahan secara konveksi dari udara masuk sehingga terjadi peningkatan perpindahan
kalor ke briket dan menyebabkan proses devolatilisasi lebih cepat terjadi.  

1,0
12
Pengurangan massa (m/m 0)

Tanpa preheat Tanpa preheat


Tu = 60 °C
Laju pembakaran (mg/s)

0,8 10 Tu = 60 °C
Tu = 80 °C
Tu = 80 °C
8
0,6
6
0,4
4

0,2 2

0,0 0
0 5 10 15 20 25 30 35 0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit) Waktu (menit)
 

        (a)                 (b) 

Gambar 2. Hubungan temperatur udara preheat terhadap (a) pengurangan massa

dan (b) laju pembakaran sesaat.

Gambar  2(b)  menunjukkan  bahwa  semakin  tinggi  temperatur  udara  preheat  maka  laju 
pembakaran maksimumnya semakin tinggi dan cepat tercapai. Laju pembakaran rata‐rata ditunjukkan oleh 
Gambar  3(b).  Semakin  tinggi  temperatur  udara  preheat  maka  laju  pembakarannya  rata‐ratanya  semakin 
tinggi.  Temperatur  gas  pembakaran  mengalami  sedikit  kenaikan  walaupun  tidak  begitu  signifikan  seperti 
ditunjukkan Gambar 3(a) di bawah ini.  

B ‐ 7 
 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777
Yogyakarta, 24 November 2007

250

Temperatur Gas Pembakaran ( C)


Tanpa preheat

o
Tu = 60 °C
Tu = 80 °C
200

150

100

50
0 5 10 15 20 25 30 35

Waktu (menit)

3,0
Laju pembakaran rata-rata (mg/s)

2,5

2,0

1,5

1,0
Tanpa preheat Tu = 60 °C Tu = 80 °C
Temperatur preheat (°C)
 

      (a)               (b) 

Gambar 3. Hubungan temperatur udara preheat terhadap (a) temperatur


gas pembakaran dan (b) laju pembakaran rata-rata.
Emisi CO sebagai akibat perubahan temperatur udara preheat terlihat seperti Gambar 4(a).
Kenaikan emisi CO secara cepat terjadi ketika terjadi pengurangan massa yang cepat. Hal ini
berarti kenaikan emisi CO mulai terjadi pada tahap devolatilisasi untuk melepaskan zat terbang /
volatile matter. Kenaikan temperatur udara preheat akan mempercepat terjadinya kenaikan emisi
CO. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan suplai kalor yang dibawa udara masuk, sehingga
meningkatkan perpindahan kalor dari udara ke briket.
 

B ‐ 8 
 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777
Yogyakarta, 24 November 2007

1800
Tanpa preheat
1500 Tu = 60 °C
Tu = 80 °C

Emisi CO (ppm)
1200

900

600

300

0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)
 

50
Faktor emisi CO (g/kg)

40

30

20

10

0
Tanpa preheat 60 80
Temperatur preheat (°C)
 

        (a)                  (b) 

Gambar 4. (a) Emisi CO terhadap waktu dan (b) Faktor emisi CO pembakaran briket cangkang
kakao pada
temperatur udara preheat yang berbeda.
Faktor emisi CO untuk pembakaran briket cangkang kakao karena pengaruh temperatur
udara preheat ditunjukkan Gambar 4(b). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa faktor emisi CO
tidak mengalami banyak perubahan, hanya terjadi sedikit penurunan. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena adanya sedikit kenaikan temperatur gas sebagai akibat udara perheat.

5. Kesimpulan
Karakteristik pembakaran briket dari limbah cangkang kakao karena pengaruh temperatur
udara preheat telah dikaji melalui eksperimen. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah :
1. Temperatur gas pembakaran akan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur udara
preheat.
2. Kenaikan temperatur udara preheat mengakibatkan kenaikan laju pembakaran.
3. Emisi CO mengalami sedikit penurunan seiring dengan kenaikan temperatur udara preheat.

B ‐ 9 
 
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777
Yogyakarta, 24 November 2007

6. Daftar Pustaka
Bhattacharya, S.C., Albina, D.O. dan Salam, P.A. (2002). Emission Factors of Wood and
Charcoal-Fired Cookstoves, Biomass and Bioenergy 23, pp. 453-469.
Bhattacharya, S.C., Leon, M.A., dan Rahman, M.M. (1996). A Study on Improved Biomass
Briquetting, Energy Program, SERD-AIT, Thailand.
Borman, G.L., dan Ragland, K.W. (1998). Combustion Engineering, McGraw-Hill Book Co.,
Singapore.
Bungay, H.R. (1981). Energy : The Biomass Options, John Wiley & Sons, New York.
Chin, O.C., dan Siddiqui, K.M. (2000). Characteristics of Some Biomass Briquettes Prepared
Under Modest Die Pressures, Biomass and Bioenergy 18, pp. 223-228.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM). (2004). Statistik Energi Indonesia.
Departemen Pertanian (Deptan). (2003), Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat di
Indonesia.
Grover, P.D. dan Mishra, S.K. (1996). Biomass Briquetting : Technology and Practices, Field
Document No. 46, FAO-Regional Wood Energy Development Program (RWEDP) In Asia,
Bangkok.
Kementerian Negara Ristek (KNRT). (2006), Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan
untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2025, Jakarta.
Moerman, E. dan Prasad, K.K.(1995). Clean Combustion and Excess Air Factors, Selected Paper
in Combustion Technologies for a Clean Environment, Gordon and Breach Publishers,
Basel, pp. 467-477.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.
Wamukonya, L., dan Jenkins, B. (1995), Durability and Relaxation of Sawdust and Wheat-Straw
Briquettes as Possible Fuels for Kenya, Biomass and Bioenergy Vol. 8, No. 3, pp. 175-
179.
 

B ‐ 10 
 

You might also like