Professional Documents
Culture Documents
PEMIJAHAN IKAN BETOK (Anabas Testudineus Bloch) YANG DIINDUKSI DENGAN EKSTRAK HIPOFISA AYAM BROILER
PEMIJAHAN IKAN BETOK (Anabas Testudineus Bloch) YANG DIINDUKSI DENGAN EKSTRAK HIPOFISA AYAM BROILER
ABSTRACT
The climbing perch (Anabas testudineus) is very difficult to spawn naturally in the
cultivation environment. The aim of this research was to know the best dose of broiler
pituitary extract for latency period, fecundity, fertilized egg percentage, hatching egg
percentage, survival rate of climbing perch (D1-D3) larvae. This research had been
conducted from April-May 2015 at Laboratory of Budidaya Perairan, Aquaculture
Department, Faculty of Agriculture, Sriwijaya Unversity, Indralaya. This research method
used completely randomized design (CRD) with four treatments and three replications.
Females broodstock were induced by broiler pituitary extract with different doses that were,
400 mg/kg, 500 mg/kg, 600 mg/kg body weight and Induced by that synthetic
gonadotrophin hormone (positif control) 0,5 ml/kg body weight. The parameters observed
during the research were latency period, fecundity, fertilized egg percentage, hatching egg
percentage, survival rate of climbing perch (D1-D3) larvae and water qualities. The result of
this research showed that if considered from latency period and fecundity that synthetic
gonadotrophin hormone more effective compared with broiler pituitary extract, but if in
terms of the fertilized egg percentage, hatching egg percentage, and survival rate of climbing
perch (D1-D3) larvae, that synthetic gonadotrophin hormone as effective as broiler pitutary
extract. The range of water qualities were temperature 28-30 0C, pH 5.34-6.98, DO 3.13-
5.97 ppm, and ammonia 0.009- 0.0018 ppm.
188
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Diba, et al. (2016)
189
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Diba, et al. (2016)
190
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Diba, et al. (2016)
Kelenjar hipofisa ayam broiler Jika telah terjadi pemijahan, induk yang
diperoleh dari pasar daging di Perumnas, memijah dipisahkan dari wadah
Kota Palembang. Kelenjar hipofisa pemijahan, hal ini dimaksudkan agar
dikumpulkan sebanyak yang dibutuhkan induk tidak memangsa telur-telur tersebut
yaitu 2 buah hipofisa, Kelenjar hipofisa (Suriansyah et al., 2012).
yang sudah diawetkan diambil dan
dikeringkan pada kertas saring. Parameter yang Diamati
Selanjutnya hipofisa tersebut digerus Data yang dikumpulkan antara
didalam mortar. Untuk melepaskan lain adalah waktu laten, fekunditas,
hipofisa yang lengket pada mortar, persentase pembuahan telur, persentase
ditambahkan aquabidest sebanyak 2,5 penetasan telur, kelangsungan hidup pro
ml/kg induk ikan (Suriansyah, et al., larva (D1-D3), dan fisika-kimia air.
2012). Setelah itu, hipofisa tersebut
dimasukkan ke dalam tabung appendorf, Analisis Data
kemudian tabung appendorf tersebut di Data yang diperoleh dari
sentrifuge selama 2 menit dengan penelitian ini berupa waktu laten,
kecepatan maksimum 6000 rpm untuk fekunditas, persentase pembuahan telur,
memisahkan supernatan dan ampas. persentase penetasan telur dan
Larutan supernatan ini terletak dibagian kelangsungan hidup pro larva yang
atas. Supernatan inilah yang disuntikkan dianalisis secara statistika menggunakan
untuk merangsang pemijahan ikan betok. analisis ragam dengan taraf kepercayaan
Kelenjar hipofisa disuntikkan 95% dan dilanjutkan uji BNT untuk
dibagian punggung ikan. Penyuntikan mengetahui perbedaan antar
dilakukan hanya 1 kali pada induk betina. perlakuan.Kualitas air dianalisa secara
Setelah induk disuntikkan, maka induk deskriptif.
dimasukkan ke dalam wadah pemijahan.
induk ikan betina mengeluarkan telur
HASIL DAN PEMBAHASAN (ovulasi) (Manantung et al., 2013). Hasil
rata-rata waktu laten pemijahan ikan
Waktu Laten betok selama penelitian disajikan pada
Waktu laten pemijahan dihitung Tabel 1.
mulai dari saat penyuntikan sampai
191
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Diba, et al. (2016)
Tabel 1. Rata-rata waktu laten pemijahan Sinjal, et al., 2014). Berbeda dengan
ikan betok selama
perlakuan menggunakan ekstrak hipofisa
penelitian
Perla Rata – rata waktu laten (menit) ayam broiler lebih lama dibandingkan
kuan BNT (67,79) dengan menggunakan hormon sintetik
P1 481,00b
P2 480,33b dikarenakan kandungan hormon hipofisa
P3 515,00b
P4 408,66a ayam broiler sangat bervariasi tidak
hanya mengandung hormon
Hasil analisa uji lanjut BNT gonadotrophin saja, tetapi juga
menunjukkan bahwa dosis ekstrak mengandung hormon lainnya seperti
hipofisa ayam broiler yang berbeda hormon LH dan FSH, hipofisa juga
berpengaruh nyata terhadap lama waktu mengandung hormon lain seperti
laten pemijahan ikan betok. Uji lanjut Prolactin, TSH, ACTH, dan
BNT menunjukkan perlakuan P4 Somatolaktin (Zairin, 2013).
(disuntik dengan hormon sintetik Waktu laten pada perlakuan 1 dan
gonadotrophin) berbeda nyata lebih perlakuan 2 memiliki selisih waktu yang
cepat waktu latennya diantara perlakuan tidak jauh berbeda atau hampir sama
lainnya. Selanjutnya, diikuti oleh P2, P1, lebih cepat dibandingkan dengan
dan P3 yang tidak berbeda nyata antar perlakuan 3. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan. Lebih cepatnya waktu laten dosis perlakuan P1 (400 mg/kg) sudah
pemijahan ikan betok yang dihasilkan mencukupi untuk merangsang ovulasi
pada perlakuan P4 (disuntik dengan ikan betok. Sementara pada perlakuan
hormon sintetik gonadotrophin) P3 (600 mg/kg) dosis yang lebih tinggi
disebabkan karena hormon sintetik menghasilkan waktu ovulasi yang lebih
gonadotrophin (GTH) termasuk hormon lama, diduga ada kecendrungan
semi murni yang diekstraksikan dan terjadinya kelebihan dosis yang
dimurnikan dari hipofisa salmon atau menyebabkan terganggunya sistem kerja
ikan mas (Zairin, 2003) dalam hormon dalam proses ovulasi tersebut.
(Suriansyah, 2010). Hormon sintetik ini Menurut Bardach et al. (1972) dalam
juga dapat bekerja pada organ target Masrizal dan Azhar (2002), bahwa
yang lebih tinggi pada ikan sehingga kelebihan dosis kelenjar hipofisa dalam
dapat menghasilkan waktu laten yang teknik hipofisasi dapat membuat ikan
relatif singkat (Harker, 1992 dalam tidak memijah atau kembali sama seperti
192
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Diba, et al. (2016)
diperoleh selama penelitian yaitu antara Kelangsungan Hidup Pro Larva (D1-
92,10-95,85 %. D3)
Penetasan telur ikan dipengaruhi Effendie (1979) menyatakan
oleh beberapa faktor yaitu internal bahwa kelangsungan hidup ikan adalah
berupa kerja hormon dan volume kuning peluang hidup ikan dalam masa tertentu.
telur serta faktor eksternal berupa suhu, Kelangsungan hidup dijadikan sebagai
oksigen terlarut dan intensitas cahaya suatu parameter keberhasilan budidaya
(Affandi dan Tang, 2002 dalam Zairin Jr ikan. Adapun persentase kelangsungan
et al., 2005). hidup pro larva selama penelitian ini,
Oyen et al. (1991) dalam disajikan pada Tabel 5.
Masrizal dan Azhar (2002) menyatakan
bahwa persentase daya tetas telur selalu Tabel 5. Rata-rata persentase
ditentukan oleh persentase pembuahan kelangsungan hidup pro larva ikan betok
telur, dimana semakin tinggi persentase Perlakuan Rata-rata
pembuahan telur maka akan semakin kelangsungan hidup
tinggi pula persentase penetasan telur, pro larva (%)
kecuali bila ada faktor lingkungan yang P1 94,17
mempengaruhi seperti perubahan suhu P2 95,06
yang mendadak, oksigen terlarut, dan P3 96,47
pH. Dalam penelitian Masrizal dan P4 96,69
Azhar (2002), dosis penyuntikan ekstrak
hipofisa ayam broiler yang lebih tinggi
Penyuntikan ekstrak hipofisa
terhadap ikan lele dumbo dapat
ayam broiler yang berbeda tidak
menyebabkan persentase penetasan telur
memberikan pengaruh yang nyata
ikan lele dumbo menurun. Ini
terhadap persentase kelangsungan hidup
dikarenakan oleh menurunnya
pro larva ikan betok. Hal ini
pembuahan dan tingkat kematangan
menunjukkan bahwa ekstrak hipofisa
telur, sebagai akibat dari terganggunya
ayam broiler memberikan peranan yang
keseimbangan dan kerja hormon-hormon
sama terhadap kelangsungan hidup pro
reproduksi didalam tubuh ikan lele
larva ikan betok.
dumbo.
195
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Diba, et al. (2016)
Tabel 6. Fisika-kimia air pemijahan dan pemeliharaan pro larva ikan betok
Parameter fisika – kimia air
0
Perlakuan Suhu ( C) DO (ppm) pH (unit) Amonia (ppm)
P1 28-30 3,13-5,87 5,34-6,56 0,009-0,013
P2 28-30 4,09-5,87 5,98-6,98 0,009-0,014
P3 28-30 3,59-5,32 5,73-6,43 0,009-0,018
P4 28-30 4,29-5,97 5,35-6,87 0,009-0,014
Secara keseluruhan kualitas air ini didukung oleh hasil penelitian Putri
selama proses pemijahan masih dalam et al. (2012) yang menyatakan suhu yang
kisaran yang baik untuk menunjang optimal untuk pemijahan dan
pemijahan dan pemeliharaan pro larva pemeliharaan larva ikan betok sampai
(D1-D3) ikan betok. Berdasarkan hasil hari ke-6 adalah 28-30 0C.
pengukuran nilai suhu rata-rata yang Kandungan Oksigen terlarut
didapat berkisar antara 28-30 0C, dan selama proses pemijahan ikan betok
merupakan kisaran suhu yang cukup berkisar antara 3,13-5,97 ppm, nilai
baik untuk pemijahan ikan betok dan tersebut masih dalam kisaran toleransi
pemeliharaan pro larva ikan betok. Hal untuk pemijahan dan pemeliharaan pro
196
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Diba, et al. (2016)
larva ikan betok. Menurut Sutisna dan yang optimal untuk pembenihan ikan air
Sutarmanto (1995), bahwa kisaran tawar yaitu kurang dari 1,5 ppm.
oksigen terlarut yang minimum untuk
pemijahan ikan air tawar adalah 2 ppm
dan kisaran oksigen terlarut yang KESIMPULAN DAN SARAN
maksimum untuk pemijahan ikan air
tawar adalah 5-6 ppm. Sedangkan Kesimpulan
menurut Putri et al. (2013), kandungan Ditinjau dari waktu laten dan
oksigen terlarut berkisar antara 3,31– fekunditas yang dihasilkan, penggunaan
3,84 ppm masih dalam kisaran toleransi hormon sintetik gonadotrophin lebih
untuk penetasan dan pemeliharaan larva efektif dibandingkan dengan ekstrak
ikan betok. hipofisa ayam broiler, tetapi bila ditinjau
Dari hasil pengukuran pH selama dari presentase pembuahan telur,
penelitian ini diperoleh nilai kisaran presentase penetasan telur, dan
antara 5,34-6,98 masih dalam batas kelangsungan hidup pro larva (D1-D3)
toleransi untuk pemijahan dan ikan betok, maka ekstrak hipofisa ayam
pemeliharaan pro larva. Menurut broiler sama efektifnya dengan hormon
Djarijah (2001) dalam Putri et al. sintetik gonadotrophin.
(2013), kisaran pH untuk penetasan
telur dan pemeliharaan pro larva ikan Saran
betok adalah 6,5–7,5. Nilai pH dengan Disarankan untuk penelitian
kisaran 4,2-6,8 masih dalam kisaran selanjutnya sebaiknya melakukan
yang baik untuk menunjang pemijahan pengukuran kandungan GnRH dalam
ikan betok (Busroh, 2015). kelenjar hipofisa ayam broiler agar dapat
Kandungan amonia selama mengetahui dosis terbaik dari ekstrak
proses penelitian berkisar antara 0,009- hipofisa ayam broiler.
0,018 ppm. Nilai tersebut masih berada
di bawah kadar amonia yang baik bagi DAFTAR PUSTAKA
kehidupan ikan air tawar menurut
Tatangindatu et al. (2013). Hal ini juga Akbar, H. 2008. Studi karakter
didukung oleh Sutisna dan Sutarmanto morfometrik-meristik ikan betok
(Anabas testudineus bloch) di das
(1995), bahwa nilai kandungan amonia
197
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Diba, et al. (2016)
199