PHYSICAL QUALITY (pH, WHC, Cooking loss, Texture)
AND ORGANOLEPTIC TURKEY MEATBALLS
Gito Swamo!, Djalal Rosyidi? and Imam Thohari”
”. Student of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University, Malang
>) Lecturer Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya University, Malang
Email : ¢_manullang@yahoo.co.id
ABSTRACT
The objectives of this research were to determine the influence of increased meat turkey to
physical quality and organoleptic and the best concentration of meatball turkey on pH, WHC,
cooking loss, texture and test of organoleptic from the taste, firmness, and texture. Research
method was experimentation with the design of Completely Randomized Design (CRD) by 3
treatments and 3 times replicated. The treatment were PO (1000 g meat turkey), P1 (1050 g
meat turkey), P2 (1100 g meat turkey), P3 (1150 g meat turkey). The variables that observed
in this research were pH, WHC, cooking loss and texture, The grade of consumer palatability
to turkey meatball by hedonic test such as taste, firmness and texture. The result of this
research showed that the increased turkey meal up to 1150 g gave no significant effect
(P>0.05) to pH, WHC, cooking loss, texture and organoleptic (taste, firmness and texture).
The increased turkey at the meatball increased pH, WHC and texture and also decrease the
persentage of cooking loss.
Keywords : Turkey meatballs, physical, organoleptic,
KUALITAS FISIK (pH, WHC, SUSUT MASAK, TEKSTUR)
DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING KALKUN
Gito Swarno’, Djalal Rosyidi? dan Imam Thohari?
'Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang
*Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang
Email : ¢_manullang@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan daging kalkun
terhadap Kualitas fisik dan organoleptik serta perlakuan terbaik bakso daging kalkun yang
ditinjau penilaian sifat fisik bakso diantaranya pengukuran pH, WHC, susut masak, dan
tekstur bakso, serta uji organoleptik yang ditinjau dari rasa, kekenyalan dan tekstur. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode percobaan dengan desain Rancangan Ac
Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan pembuatan bakso. Perlakuan bakso
ayam kalkun berada pada penambahan jumlah berat daging kalkun. PO (1000 g daging
kalkun), P1 (1050 g daging kalkun), P2 (1100 g daging kalkun). P3 (1150 g daging kalkun),
Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah sifat fisik meliputi: pH, WHC, tekstur dan
susut masak. Tingkat palatabilitas konsumen terhadap bakso kalkun dengan uji hedonik yang
meliputi: rasa, kekenyalan dan tekstur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan
daging kalkun hingga 1150 g memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai pH,
WHC, susut masak, tekstur dan organoleptik (rasa, kekenyalan, dan tekstur). Penambahan
daging kalkun pada bakso kalkun menaikkan nilai pH, WHC dan tekstur serta menurunkan
persentase susut masak
Kata kunci : Bakso daging kalkun, kualitas fisik, organoleptik.PENDAHULUAN
Daging merupakan salah satu
komoditas petermakan yang dibutuhkan
untuk —memenuhi kebutuhan protein
hewani Karena mengandung protein
bermutu tinggi dan mampu memenuhi zat
gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Daging
dapat diolah dalam berbagai jenis produk
yang menarik dengan aneka bentuk dan
rasa untuk tujuan memperpanjang masa
simpan serta dapat meningkatkan nilai
ekonomis tanpa mengurangi nilai gizi dari
daging yang diolah. Salah satu daging
olahan yang sudah lama dikenal dan sangat
digemari masyarakat_ Indonesia adalah
bakso.
Menurut Suprapti (2003), bakso
merupakan produk olahan
daging/ikan/tahu/bahan lain yang telah
dihaluskan, dicampur dengan bumbu-
bumbu, tepung dan bahan _ perekat,
kemudian dibentuk bulat-bulat dengan
diameter 2-4 em atau sesuai dengan selera
dan kebutuhan,
Salah satu upaya pemanfaatan
daging kalkun adalah dengan mengolahnya
sebagai bahan utama pembuatan bakso.
Kalkun merupakan salah satu jenis unggas
dengan karakteristik dan rasa yang
menyerupai daging ayam, sehingga kalkun
berpotensi sebagai bahan baku_ bakso.
Daging kalkun mempunyai keunggulan
disamping dagingnya yang sangat lezat
juga berprotein tinggi, kandungan lemak
dan kolesteroInya sangat rendah, Selain
itu, daging kalkun juga memiliki kadar
Zine (meningkatkan_vitalitas), selenium
(anti kanker) dan vitamin B yang tinggi
serta memiliki kandungan yang dapat
membantu proses perkembangan otot dan
otak lebih sempurna (Koswara, 2009).
Kalkun saat ini kurang populer di
Indonesia, sehingga pengolahannya masih
sangat sedikit, Permasalahan yang
dihadapi dalam pembuatan bakso kalkun
ini adalah belum diketahuinya_proporsi
penggunaan daging kalkun yang tepat
untuk — menghasilkan bakso yang
berkualitas baik dan disukai oleh
Konsumen, schingga perlu diketahui
penggunaan daging kalkun sebagai bahan
utama pembuatan bakso. Kualitas bakso
kalkun dapat dilihat dari karakteristik fisik
pengukuran pH, water holding capacity
(WHC), susut masak, dan kekenyalan
bakso untuk menguji tekstur bakso,
sedangkan tingkat kesukaan konsumen
dapat diukur — menggunakan ji
organoleptik melalui alat indra.
MATERI DAN METODE
Materi Penelitan
Materi penelitian yang digunakan
adalah bakso yang dibuat dari daging
kalkun segar pada bagian bagian paha,
dada dan sayap, dengan umur rata-rata 2
tahun sebanyak 3 ekor dengan kelamin
jantan. Kalkun didapat dari peternak
kalkun di desa Tangkilsari RTOS/RWO1
Kecamatan Tajinan Kabupaten Malang.
Alat dan Bahan
Bahan lainnya yaitu tepung tapioka,
bawang merah, bawang putih, gula, putih
telur, lada, dan es batu. Peralatan yang
digunakan dalam pembuatan bakso daging
kalkun adalah meat grinder, chopper,
timbangan digital, telenan, sendok pisau,
baskom, panci__pengukus,
kompor, dan alat peniris bakso.
Peralatan dan bahan untuk uji pH
adalah elektroda, timbangan digital,
aquades, cairan buffer 4 dan 7 untuk
kalibrasi. Peralatan untuk uji WHC adalah
timbangan digital, plat kaca, beban 45 kg,
kertas saring whatman 42, dan kertas mm.
nampan,Peralatan untuk ujisusut masak atau
cooking loss adalah waterbath, timbangan
digital, plastik, dan tissu, Peralatan untuk
uji. tekstur dengan menggunakan alat
tenstile strength.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode percobaan dengan desain
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
3 perlakuan dan 3 kali ulangan pembuatan
bakso. PO penggunaan 1000 g daging
kalkun, PI penggunaan daging kalkun
sebanyak 1050 g. P2 penggunaan daging
kalkun 1150 g. P3 penggunaan daging
kalkun 1150 g. Variabel yang diamati pada
penelitian ini adalah sifat fisik meliputi:
pH, WHC, tekstur dan susut masak.
Tingkat palatabilitas konsumen tethadap
bakso kalkun dengan uji hedonik yang
meliputi: rasa, kekenyalan dan tekstur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan penggunaan daging kalkun
memberikan perbedaan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai pH, WHC, susut
masak dan tekstur. Berdasarkan hasil penelitian rataan nilai pH, WHC, susut masak dan
tekstur dapat dilihat pada Tabel 1
‘Tabel 1, Rata-rata nilai pH, WHC, susut masak dan tekstur bakso kalkun_
Perlakuan Peubah
pa WHC (%) __Susut Masak (%) __Tekstur (N)
PO 5,8220,02 31,4040,69 6,1240,72 9,0741,24
PI 5,8320,01 33,8941,41 6,0840,74 9,670.25
P2 5,840.02 35,1242,57 6,0642,01 10,370.21
P3. 5,8620,07 36,0422,36 5,32#1,24 10,6320,23
Pengaruh Penambahan Daging Kalkun
‘Terhadap pH Bakso Kalkun
Analisis ragam menunjukkan bahwa
penambahan daging kalkun memberikan
perbedaan pengaruh yang tidak nyata
(P>0,05) tethadap pH bakso kalkun, Hal
ini diduga penambahan daging yang tidak
berbeda jauh, sehingga peningkatan pH
tidak terlalusignifikan, Dari hasil
penelitian ini terlihat kecenderungan nilai
pH meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh
bahan dasar yang digunakan yaitu daging
dan tepung. Nilai pH bahan dasar ini
mengakibatkan perubahan nilai pH! pada
bakso, Hal ini terjadi akibat adanya
perubahan Keseimbangan hidrogen pada
bakso sebagai pengaruh dari nilai pH
bahan dasar yang digunakan dalam
pembuatan bakso. Pencampuran bahan-
tik _keseimbangan
hidrogen yang baru pada bakso. Sesuai
pendapat Pearson dan Dutson (1994),
bahwa perubahan susunan struktur pada
daging restrukturisasi dalam fungsinya
sebagai protein daging telah terbukti
mempengaruhi pH produk ~—-yang.
dihasilkan.
Tabel 1 menunjukkan bahwa pH
bakso daging kalkun mendapatkan rata-
rata antara 5,83-5,86. Nilai pH terendah
terdapat pada PO, sedangkan pH tertinggi
terdapat pada P3. Nilai pH pada penelitian
tergolong rendah yaitu hanya berkisar 5,
sedangkan menurut Standar Nasional
Indonesia (1995), pH bakso berkisar antara
6-7.
bahan —membuatTerjadinya perbedaan nillai_ pH
diduga Karena perubahan pH sesudah
ternak mati, pada dasamya ditentukan oleh
kandungan glikogen pada daging dan
penanganan sebelum _penyembelihan.
Menurut Linawati (2006), lama post
mortem berpengaruh nyata terhadap pH
bakso, sehingga semakin lama waktu post-
mortemnya, maka pH bakso cenderung
turun, hal ini dikarenakan pH daging
mengalami penurunan setelah ewan
dipotong.
Pengaruh Penambahan Daging Kalkun
‘erhadap WHC Bakso Kalkun
Analisis ragam menunjukkan bahwa
penambahan daging kalkun memberikan
perbedaan pengaruh yang tidak nyata
(P>0,05) tethadap WHC bakso kalkun.
Tabel 1 menunjukkan terjadi peningkatan
persentase WHC antara PO hingga P3.
Hasil ini diduga berhubungan dengan
nilai protein pada bakso. Penelitian
Kusnadi, Dkk (2012) menyatakan bahwa
semakin tinggi presentase daging pada
bakso maka semakin tinggi pula nilai daya
ikat air yang dihasilkan. Selanjutnya
pendapat Kramlich (1973) bahwa faktor
yang menyebabkan tinggi nilai WHC
adalah kandungan air, protein dan
penggunaan garam. Meningkatnya
penggunaan daging diduga menyebabkan
peningkatan kandungan protein yang
selanjutnya semakin banyak air yang
terikat dan nilai WHC meningkat.
Komponen protein utama dalam
pembuatan bakso adalah protein daging
yang di dalamnya adalah aktin dan miosin,
dalam kondisi daging segar protein mampu
berikatan Karena masih__terjadinya
kontraksi dalam otot dan mampu mengikat
air, bila daging telah disimpan proses
kontraksi sudah berhenti akibatnya daging
yang dihasilkan mempunyai tekstur yang
kurang kenyal dan mudah pecah,
Pengaruh Penambahan Daging Kalkun
‘Terhadap Susut Masak
Analisis ragam menunjukkan bahwa
penggunaan daging kalkun hingga 1150 g
belum mampu mempengaruhi persentase
susut masak bakso kalkun —secara
signifikan (P>0,05). Hal ini diduga
penggunaan daging kalkun dan tepung
tapioka yang berbeda pada _setiap
perlakuan diduga mempengaruhi susut
‘masak bakso kalkun, Tabel | menunjukkan
terjadi penurunan persentase susut masak
bakso kalkun antara PO hingga P3.
Persentase susut masak bakso daging
kalkun terendah didapat pada P3 (5,32)
dan tertinggi didapat pada PO (6,12).
Terjadinya penurunan _persentase
susut masak bakso diduga Karena
penambahan daging kalkun yang akan
‘mengakibatkan susut masak yang semakin
kecil, hal itu disebabkan Karena daging
kalkun akan meningkatkan kandungan
protein pada bakso, sehingga jumlah air
yang terikat oleh protein semakin tinggi
dan mengakibatkan susut masak semakin
menurun, Penelitian Sunarlim (1992),
menjelaskan jika susut masak rendah maka
mempunyai kualitas yang relatif lebih baik
daripada susut masak yang lebih besar,
karena kehilangan nutrisi__selama
pemasakan,
Persentase susut masak bakso yang
rendah ini memiliki kualitas nutrisi_ yang
lebih baik daripada persentase susut masak
bakso yang tinggi. Sesuai pendapat
Komariah (2009), menyatakan bahwa
susut_masak yang rendah_mempunyai
kualitas yang relatif lebih baik daripada
dengan persentase susut masak yang
tinggi, hal ini karena kehilangan nutrisiselama proses pemasakan akan lebih
sedikit.
Pengaruh Penambahan Daging Kalkun
Terhadap Tekstur
Analisis ragam menunjukkan bahwa
pengunaan daging kalkun hingga 1150 g
belum = mampu memberikan pengaruh
nyata (P>0,05) terhadap tekstur bakso. Hal
ini dikarenakan —_penggunaan_bahan
pembuat bakso yang tidak terlalu berbeda.
Tabel I menunjukkan terjadi kenaikan
nilai tekstur bakso kalkun antara PO hingga
P3. Nilai tekstur bakso daging kalkun
Uji Organoleptik
terendah didapat pada PO (9,07) dan
tertinggi didapat pada P3 (10,63). Hasil ini
menunjukkan semakin banyak
penambahan daging kalkun nilai tekstur
semakin naik, Hal ini disebabkan daging
kalkun mampu mengikat air yang
menyebabkan kenaikan WHC dimana
dengan meningkatnya daya ikat protein
terhadap air akan meningkatkan tekstur
dari bakso. Tekstur merupakan aspek yang
paling penting untuk menentukan kualitas
fisik bakso, oleh karena itu dapat diambil
kesimpulan bahwa lebih besar nilai tekstur
akan semakin baik kualitas bakso.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambaban penggunaan daging kalkun
dengan level yang berbeda memberikan perbedaan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05)
terhadap rasa, kekenyalan dan tekstur.
Tabel 2. Rata-rata nilai organoleptik terhadap rasa, kekenyalan dan tekstur bakso kalkun
Perlakuan Peubah
Rasa Kekenyalan Tekstur
PO 3ATHO83 3,6040,99 34720,74
PI 3,670.49 3,270.88 3,330.98
P2 3,6740,62 3,1340,99
P3. 3,730.46 3,4040,74 2,9340,88
Rasa pada PO dengan penggunaan 1000 g
Analisis ragam mendapatkan hasil
bahwa —penggunaan daging_kalkun
memberikan perbedaan pengaruh yang
tidak nyata terhadap rasa bakso kalkun.
Hal ini disebabkan Karena penggunaan
daging kalkun hingga 1150 g belum dapat
mengubah rasa bakso secara signifikan
(P>0,05). Penambahan daging kalkun
mengakibatkan bakso mempunyai_ rasa
Khas daging dan lebih disukai, Penelitian
Rahmatina (2010), pencampuran daging
sapi dan ayam meningkatkan rasa pada
bakso schingga disukai panelis, Nilai
tertinggi pada organoleptik tethadap rasa
terdapat pada P3 dengan penggunaan 1150
g daging kalkun, sedangkan nilai terkecil
daging kalkun. Menurut Sunarlim (1992),
Konsumen lebih menyukai rasa daging
pada bakso dan tidak menyukai rasa pati.
Tiga faktor rasa yang sangat menentukan
daya terima terhadap bakso, yaitu tingkat
keasinan, rasa daging, tingkat kegurihan
yang ditentukan oleh kadar garam dan
kadar daging.
Kekenyalan
Analisis ragam mendapatkan hasil
bahwa —_penggunaan daging_kalkun
memberikan perbedaan pengaruh yang
tidak nyata terhadap Kekenyalan bakso
daging kalkun. Hal ini disebabkan karena
penggunaan daging kalkun hingga 1150 g
belum dapat mengubah kekenyalan baksosecara signifikan (P>0,05). Kekenyalan
mempengaruhi palatabilitas _seseorang
terhadap suatu produk. Kekenyalan
didasarkan pada kemudahan waktu
mengunyah tanpa kchilangan sifat-sifat
jaringan yang layak.
Nilai tertinggi pada organoleptik
terhadap kekenyalan terdapat pada PI
dengan penggunaan 1000 g daging kalkun,
sedangkan nilai terkecil pada P2 dengan
penggunaan 1100 g daging kalkun.
Terjadinya perbedaan nilai_kekenyalan
pada bakso dapat disebabkan oleh serat
daging, hal ini sesuai dengan penelitian
Rahmatina (2010), yang menyatakan
bahwa perbedaan nilai kekenyalan bakso
pada waktu pengolahan yang berbeda
dapat disebabkan adanya perbedaan serat
pada masing-masing daging yang
digunakan. Selanjutnya menurut Lawrie
(2003), tingkat kekenyalan disebabkan
oleh tiga ketegori protein dalam urat
daging, yaitu tenunan pengikat, miofibril
dan sarkoplasma. Kekuatan cairan urat
daging —(berasal_—dari_—_koagulasi
sarkoplasma) berfungsi sebagai bahan
pengikat dalam bahan makanan yang
dipanasi. Selain itu tergantung pada
beberapa kondisi seperti __kontraksi
miofibril, tipe urat daging dan suhu
pemasakan,
Tekstur
Analisis ragam mendapatkan _hasil
bahwa penggunaan daging kalkun dengan
level yang berbeda memberikan perbedaan
pengaruh yang tidak nyata terhadap tekstur
bakso daging kalkun, Hal ini diduga
karena penggunaan daging kalkun hingga
1150 g belum dapat meningkatkan nilai
tekstur bakso secara signifikan (P>0,05).
Nilai tertinggi pada _organoleptik
terhadap tekstur terdapat pada P1 dengan
penggunaan 1000 g daging kalkun,
sedangkan nilai terkecil pada P3 dengan
penggunaan 1150 g daging kalkun. Nilai
tekstur mengalami penurunan hal ini
disebabkan oleh penambahan — daging
kalkun dan persentase penggunaan tepung
yang semakin sedikit,
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa penambahan daging
kalkun pada kualitas fisik bakso daging
kalkun dapat menaikkan nilai pH, WHC
dan tekstur serta menurunkan persentase
susut masak. Penggunaan daging kalkun
1150 g (49,36% dari total adonan)
merupakan perlakuan terbaik pada kualitas
fisik dan organoleptik.
DAFTAR PUSTAKA.
Komariah, 2009. Aneka Olahan Daging
Sapi. Depok : Agromedia Pustaka.
Koswara, S. 2009. Pengolahan Unggas.
hup:/tekpan.unimus.ac.id/wpcontent
/uploads/ 2013/07.
Kramlich, W. E., A.M. Pearson dan F. W.
Tauber. 1973. Processed Meat. The
AVI Publishing, Connecticut.
Kusnadi, D.C., Bintoro,V.P, dan A. N.
Ab-Baari, 2012. Daya Ikat air,
Tingkat Kekenyalan dan Kadar
Protein pada Bakso Kombinasi
Daging Sapi dan Daging Kelinci.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan.
1:2
Lawrie, RA. 2003. Jlmu —Daging.
Terjemahan, Aminuddin Parakkasi
Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Linawati, 2006. Kadar protein kolagen
dan hubungannya dengan kualitas
daging sapi PO. Laporan Penelitian.
Universitas Gadjah_—— Mada,
Yogyakarta,
Rahmatina. 2010. Sifat Fisk Dan
Organoleptik Bakso Pada BerbagaiRasio Antara Daging Sapi Dan
Daging Ayam. Skripsi, Departemen
Imu Produksi_ Dan Teknologi
Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
1995, Standart Nasional Indonesia
01-3818-1995 Tentang —Bakso
Daging Sapi. Jakarta.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu
Bakso Daging Sapi dan Pengaruh
Penambahan Natrium Klorida dan
Natrium —Tripolifosfat Terhadap
Perbaikan Mutu. Disertasi. Prog
Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Suprapti, L. 2003. Membuat Bakso Daging
dan Bakso Ikan. Kanisius.
Yogyakarta,