Professional Documents
Culture Documents
PROSES BERDIRINYA ASEAN Kardiyat PDF
PROSES BERDIRINYA ASEAN Kardiyat PDF
A Kardiyat Wiharyanto
Abstract
This article’s aim was to explain the world situation before the formation of ASEAN, the
Southeast Asian state before the formation of ASEAN, leading to the formation of
ASEAN, and also the role of Indonesia in the formation of ASEAN.
Towards the establishment of ASEAN, world situation characterized by competition
between the Western bloc led by the United States and the Eastern Bloc led by the Soviet
Union (now Russia). Both blocks were scrambling for power and influence in each region,
including in Southeast Asia.
Conditions of Southeast Asia prior to the formation of ASEAN was characterized by
conflict and struggle for influence of the West Block, East Block. As a result, countries in
Southeast Asia broke into two groups, ie groups that support America and those who
support the Soviet Union G30S/PKI incident that occurred in Indonesia change the
balance of power between pro-state group of the United States and the pro-Soviet Union.
This is caused due to the event changed from pro-Indonesia East Bloc to be pro-Western
bloc. These conditions encourage the pro-Western countries to come together to face the
influence of the Eastern Bloc.
Indonesia, which began to build a good relationship to the United Nations and
neighboring countries, offered the concept of assembly to countries in Southeast Asia. The
concept was greeted positively by the pro-Western countries. These countries that later
formed the ASEAN.
A. Pendahuluan
Sejak PBB dibentuk tahun 1945, gagasan menciptakan pengaturan kerja sama
regional sebagai sarana penunjang mencapai kerja sama global dilancarkan oleh
berbagai pihak. Kedua gagasan tadi, yakni kerja sama regional dan kerja sama global
dalam Piagam PBB dipandang sebagai hal-hal yang amat diperjuangkan guna mencapai
perdamaian dunia. Keduanya merupakan tekad yang diambil para pemrakarsa PBB
agar generasi berikutnya tidak lagi mengalami kesengsaraan peperangan seperti yang
terjadi dalam Perang Dunia I dan II.
Sejak tahun 1945 itu, berkembanglah berbagai ikrar kerja sama regional di
hampir seluruh kawasan dunia yang penting seperti di Eropa, Timur Tengah, Asia,
Afrika dan Amerika Latin. Salah satu asumsi pokok kerja sama regional adalah bahwa
kedekatan geografis akan memudahkan upaya-upaya saling memahami di antara
negara-negara yang bertetangga sehingga masalah-masalah yang mungkin dapat
menjurus kepada pertikaian berlanjut dapat diatasi dengan segera atas dasar hidup
berdampingan secara damai (C.P.F. Luhulima, 1986: 6).
Asumsi kerja sama regional kedua ialah pembagian kerja di antara negara-
Drs. A. Kardiyat Wiharyanto, adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP -
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
negara yang berdekatan secara geografis tadi agar masing-masing negara memusatkan
diri terutama pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang menurut hematnya paling kuat
dimilikinya sambil menyerahkan bidang kegiatan ekonomi lain kepada tetangga yang
lebih kuat minatnya terhadap bidang kegiatan tersebut.
Sedangkan asumsi ketiga, kerja sama regional ialah bahwa negara-negara yang
melaksanakan kerja sama tadi terlebih dahulu mencapai kata sepakat tentang manfaat
bersama yang diperoleh dari keterikatannya pada suatu usaha bersama daripada
menjalankan kegiatan pembangunan secara terpisah dan tersendiri. Asumsi ini dikenal
sebagai konvergensi kepentingan yang mau tidak mau bersumber pada suatu
keputusan politik.
Bertolak dari ketiga asumsi di atas, maka setelah berakhirnya Perang Dunia II
dan PBB didirikan, di berbagai kawasan dunia diciptakan organisasi kerja sama
regional. Bermula di Eropa yang pada awalnya ingin mendirikan Masyarakat Eropa
dan berlandaskan Dewan Pertahanan Eropa tatkala Rencana Marshall dilancarkan pada
tahun 1947 kawasan-kawasan lainnya pun turut mengusahakan terciptanya berbagai
bentuk kerja sama regional.
Pada tahun 1960 di Amerika Latin terbentuk Organisasi Perdagangan Bebas
Amerika Latin (LAFTA) di kota Montevideo. Namun organisasi regional tersebut kini
mengalami berbagai kesultan internal yang menyebabkannya, menemui serangkaian
kegagalan dalam upaya kerjasamanya (M. Rajendran, 1985: 8).
Yang menarik dari awal bentuk-bentuk kerja sama tersebut, hampir semua
diprakarsai oleh negara-negara Blok Barat. Hal ini disebabkan perhitungan strategis
para perancang pembangunan kembali Eropa sehabis Perang Dunia II bahwa suatu
perang dingin berlangsung antara kubu Amerika Serikat dan kubu Uni Soviet yang
mulai bersaing dalam bidang ideologi sebelum Perang Dunia II berakhir.
Benih-benih perang dingin yang menggejala semasa Perang Dunia II terus
tumbuh dan berkembang, sehingga setelah perang besar tersebut selesai tampillah dua
kekuatan besar yang lambat laun menggantikan sistem empat-kutub (Amerika Serikat,
Inggris, Perancis dan Uni Soviet) dan mendominasi persidangan PBB. Selama tahun
1945-1955 sistem empat-kutub (tiga sekutu Barat dan Uni Soviet) menetapkan program-
program kerja sama dalam iklim perang dingin Timur-Barat yang berlaku waktu itu.
Adapun puncak persaingan pembentukan kerja sama regional dalam rangka
konflik Timur-Barat itu terjadi dengan terbentuknya Pakta Pertahanan Atlantik Utara
(NATO) pada bulan April 1949 yang disusul dengan terbentuknya Pakta Warsawa pada
tahun 1955. Bersamaan dengan itu, dibangunlah pula perangkat-perangkat kerja sama
ekonomi yang akhirnya menjelma melalui pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa
dan Dewan Kerjasama Ekonomi (COMECON).
Sementara itu, persaingan ideologi, politik, dan ekonomi Amerika Serikat-Uni
Soviet meluas ke kawasan-kawasan lain. Dengan beberapa negara Timur Tengah dan
Pakistan, Amerika Serikat mendirikan Cento (Central Treaty Organization), sementara di
Asia Pasifik diciptakanlah rangkaian perjanjian persekutuan dengan Filipina,
Muangthai, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Australia, Selandia Baru. Khusus untuk Asia
Tenggara, SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) yang didirikan pada bulan
September 1954 dan kemudian pada tahun 1961 berdiri pula ASA (Assotiation of
Southeast Asia).
Walaupun SEATO dan ASA itu tidak berumur panjang, namun negara-negara
Asia Tenggara memiliki pengalaman membentuk dan memelihara organisasi regional.
Pengalaman-pengalaman tersebut bisa menjadi bahan buat kerja sama yang lebih
konkret di kemudian hari (Estrella D Solidum, 1974: 8).
Berdasarkan serentetan peristiwa di atas maka dapatlah dilihat bahwa dari
mulanya, setiap bentuk kerja sama regional selalu dilandasi oleh suatu perhitungan
politik. Amerika Serikat memprakarsai rangkaian bentuk kerja sama regional karena
para pemimpinnya dari awal menyadari bahwa sekuat-kuatnya kemampuan ekonomi
dan militer Amerika Serikat, ia tak akan sanggup menyaingi kekuatan dan pengaruh
Uni Soviet di setiap kawasan dunia dalam kadar ketangguhan, ketekadan, dan
perhatian yang sama. Kawasan Eropa memang selamanya menjadi sasaran perhatian
terpenting karena ikatan-ikatan ekonomi, politik, kebudayaan, dan strategi yang erat
antara Amerika Serikat dengan Inggris, Perancis, Italia, dan negara-negara Eropa Barat
lainnya.
Di kawasan Asia Pasifik, ikhtiar Amerika Serikat adalah untuk menciptakan
Jepang yang kuat dan yang menjalankan perekonomian negaranya berdasarkan sistem
ekonomi bebas (kapitalis). Dengan kekuatan industri dan keuletan masyarakat Jepang
diharapkan dapat dibangun suatu konsentrasi industri yang mampu melayani
kepentingan strategi, politik, dan ekonomi Amerika Serikat dalam rangka
pembendungan dua raksasa komunis (Uni Soviet dan China) yang pada waktu itu
masih bersekutu dengan erat.
Dalam suasana membangun pola kerjasama regional yang dilandaskan
keterikatan melalui persekutuan itulah beberapa negara Asia-Afrika memprakarsai
Konferensi Asia-Afrika di Bandung bulan April 1955. Kecuali prinsip-prinsip yang
dikemukakan dalam Dasasila Bandung, Konferensi Asia-Afrika sesungguhnya
menuntut kepada negara-negara besar di PBB bahwa kepentingan pembangunan
ekonomi dan sosial negara-negara sedang berkembang amat kurang diperhatikan oleh
negara-negara yang sudah maju. Dalam suasana inilah lahir benih-benih bentuk kerja
sama regional di kawasan Asia Tenggara yang mengandalkan kemandirian negara
setempat, bukan penentuan oleh negara-negara luar kawasan.
Munculnya gejala-gejala lahirnya kerja sama kawasan Asia Tenggara memang
tidak bisa dilepaskan sama sekali dengan adanya perang dingin, sebab tiada kawasan
dunia yang penting yang lepas dari salah satu atau berbagai bentuk persaingan
ideologis Amerika Serikat-Uni Soviet. Asia Tenggara, merupakan kawasan strategis
pula. Sudah sejak lama diketahui bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan
persimpangan jalan, baik dari sudut kultural, maupun politik, dan dagang.
Karena letak yang strategis dan hasil yang berlimpah-limpah itu, maka kecuali
Muangthai, semua daerah pernah jatuh ke bawah kekuasaan kolonial Inggris, Perancis,
Belanda dan Spanyol (yang kemudian digantikan oleh Amerika Serikat). Tanpa
mengurangi nilai dan kemampuan survival yang dimiliki Muangthai, yang antara lain
disebabkan oleh reformasi kerajaan yang tak terlambat, persaingan dan gerak maju
Inggris (dari Malaya dan Myanmar) dan Perancis (dari Indo-China) merupakan faktor
yang menguntungkan bagi kedaulatan Muangthai dan kelanjutan dinasti Chakri di
Bangkok. Namun perbedaan kolonial ini, yang antara lain juga ditandai oleh
penguasaan kelas menengah oleh golongan migran China, diakhiri oleh pendudukan
Jepang.
Dalam perjuangan kemerdekaan, bangsa-bangsa di Asia Tenggara mempunyai
perbedaan-perbedaan. Namun periode sejak 1945 sampai 1965 boleh dianggap sebagai
periode pemantapan integrasi nasional dan pembentukan negara serta konsolidasi
politik. Berbagai peristiwa internal dari masing-masing daerah yang kemudian menjadi
negara, selama periode selama dua dasawarsa itu dapat dikembalikan kepada
ketegangan dan konflik yang dihasilkan oleh proses pembentukan bangsa dan negara
serta konsolidasi politik itu.
Kolonialisme, dengan segala implikasi sosial ekonominya, memang merupakan
faktor utama dari berbagai peristiwa sosial-politik yang terjadi di abad ke-20 Asia
Tenggara. Kolonialisme adalah awal dari pecahnya Vietnam dan kemudian berlanjut
dengan perang-perang yang akhirnya mempersatukan kembali di bawah regim
komunis. Kolonialisme pula yang jadi awal terjadinya dua belahan Filipina yang
masing-masing merasa asing dan antagonistik. Dan, barangkali tak berlebihan pula
kalau dikatakan bahwa tanpa kolonialisme Singapura tidaklah akan menjadi a nation of
immigrants dan Malaysia merupakan negara yang paling bersifat majemuk dari sudut
ras.
Namun, berbagai proses integrasi nasional dari negara Malaysia, sangat
ditentukan oleh sosial-kultural dari masing-masing kesatuan politik. Dalam hal ini
dapat dilihat kesamaan yang agak menyolok dari daerah kepulauan dan daratan Asia.
Keduanya memperlihatkan ekologi alam dan sosial yang terdiri atas daerah pantai (jika
di kepulauan) atau lembah dan dataran rendah (di daratan), serta pedalaman dan
pegunungan atau dataran tinggi. Hal ini juga dialami Muangthai yang masih bergumul
dengan kemantapan integrasi nasionalnya (Sekretariat Nasional ASEAN, 1986: 1).
Di Indonesia dan Filipina yang tidak bertolak dari konsep adanya kelompok
etnis yang dominan, masalah integrasi nasional lebih bercorak pencarian komunikasi
kultural yang sesuai dan perimbangan kekuasaan politik yang sekurang-kurangnya
dapat ditolerir. Dan untuk mencapai itu berbagai krisis pernah dijalani dan berbagai
tantangan masih harus dihadapi.
Dari tinjauan umum di atas dapat dilihat bahwa bentuk dan corak politik
negara-negara di Asia Tenggara berbeda-beda. Hubungan mereka antara tahun 1945-
1965 di bawah bayang-bayang persaingan ideologis Amerika Serikat-Uni Soviet. Tulisan
ini hendak membahas proses lahirnya ASEAN. Tujuannya untuk melihat situasi dunia
menjelang lahinya ASEAN, kondisi negara-negara Asia Tenggara sebelum lahirnya
ASEAN, menuju ke arah lahirnya ASEAN, serta peran Indonesia dalam pembentuklan
ASEAN.
Penutup
Kondisi internasional menjelang terbentuknya ASEAN diwarnai oleh persaingan
antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni
Soviet. Perebutan pengaruh antara kedua negara adidaya itu juga dikenal sebagai
perang dingin. Kedua blok itu berebut pengaruh di setiap kawasan, termasuk di
kawasan Asia Tenggara. Sementara itu kondisi Asia Tenggara sebelum terbentuknya
ASEAN diwarnai oleh perpanjangan konflik akibat perebutan pengaruh Blok Barat dan
Blok Timur. Akibatnya negara-negara di Asia Tenggara pecah menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok yang mendukung Amerika dan kelompok yang mendukung Uni Soviet
.
Pemberontakan dan penumpasan komunis yang terjadi di Indonesia mengubah
perimbangan kekuatan antara kelompok negara yang pro Amerika Serikat dan yang pro
Uni Soviet. Hal ini disebabkan karena akibat peristiwa tersebut Indonesia berubah dari
pro Blok Timur menjadi pro Blok Barat. Kondisi ini mendorong negara-negara pro
Barat untuk berhimpun menghadapi pengaruh Blok Timur. Indonesia yang mulai
berbaik dengan PBB dan negara-negara tetangganya, menawarkan konsep
perhimpunan kepada negara-negara di Asia Tenggara. Konsep tersebut disambut
dingin oleh negara-negara yang condong ke komunis, namun disambut positif oleh
negara-negara pro Barat. Negara-negara inilah yang kemudian membentuk ASEAN.
Daftar Pustaka
Alfian dkk. 1986. Latar Belakang Terbentuknya ASEAN. Jakarta: Seknas ASEAN Deplu RI.
Bertram, Christoph. 1988. Konflik Dunia Ketiga dan Keamanan Dunia. Jakarta: Bina Aksara.
Broinowski, Alison. 1982. Understanding ASEAN, London: The Macmillan Press.
Butwell, Richard. 1969. Southeast Asian Today and Tomorrow: Problems and Political
Development. New York: Praeger Publish.
Gordon, Bernard. 1966. Dimensions of Conflict in Southeast Asia. New Jersey : Prentice-
Hall.
Leifer, Michael. 1986. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Luhulima, C.P.F., dkk. 1986. Dimensi Kerangka Kegiatan dalam Kerja Sama ASEAN, Jakarta:
Seknas ASEAN Deplu RI.
Martadisastra, Ukasah. 1985. Perbandingan Administrasi Negara ASEAN. Bandung:
Remaja Karya.
Rajendran, M. 1985. ASEAN’s Foreign Relations: The Shift to Collective Action,
Kualalumpur: Arena Buku.
Robison, Richard. 1978. “Towards a Class Analysis of The Indonesian Militery
Bureaueratic State” Dalam Indonesia No. 25.
Seknas ASEAN. 1986. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Departemen Luar Negeri RI.
Solidum, Estrella D. 1974. Toward A Southeast Asian Community. Quezon City: University
of the Philippines Press.
Somsaxdi Xuto. 1973. Regional Cooperation in Southeast Asia. Bangkok: Institute of Asian
Studies, Chulalongkorn University.