You are on page 1of 14

STRATEGI BAWASLU MELIBATKAN GENERASI MILENIAL DALAM

PENGAWASAN PEMILU

Nama Penulis : Ayu Lestari

Faqih Fahlevi

Rachman Ardian

Sendi

Trisna Malinda

Lembaga : Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Alamat Email Penulis : ayulestari061@yahoo.com

Faqihfahlevi@gmail.com

Rachmanardian75@gmail.com

trisnamalinda99@gmail.com
Strategi Bawaslu Melibatkan Generasi Milenial dalam Pengawasan
Pemilu

Ibrahim1, Sujadmi1, Ardian R2, Fahlevi F2, Lestari A2, Malinda T2, Sendi2

ABSTRAK

Strategi Bawaslu Melibatkan Generasi Milenial dalam Pengawasan Pemilu


(Dibimbing oleh Dr. Ibrahim, M.Si dan Sujadmi, S.Sos., M.A).

Penelitian ini menjelaskan tentang Strategi Bawaslu Melibatkan


Generasi Milenial dalam Pengawasan Pemilu. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana Strategi Bawaslu Melibatkan Generasi Milenial dalam
Pengawasan Pemilu.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Modernisasi


dan Kesadaran Politik menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson yaitu
teori yang menghubungkan modernisasi dan kesadaran politik. Modernisasi
yang mengartikan bahwa adanya perubahan pada semua kerangka pemikiran
dan aktivitas manusia, kemudian kesadaran politik yang tidak terlepas dari
adanya partisipasi politik yang merupakan salah satu aspek dari demokrasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang dijalankan oleh


Bawaslu terkait melibatkan generasi milenial dalam pengawasan pemilu
merupakan suatu cara untuk mewujudkan sebuah pemilu yang adil, jujur serta
bersih. Untuk mengedepankan pentingnya pengawasan pemilu ini, Bawaslu
menggalakkan berbagai macam kegiatan yang mempunyai sasaran atau
melibatkan golongan dari generasi milenial yang juga merupakan masyarakat
pemangku kepentingan, hal ini sebagai wujud dari cara atau strategi Bawaslu
dalam menerapkan tugas dan fungsinya untuk mengawasi pemilu.

Kata kunci: Strategi, Bawaslu, Generasi milenial, Pengawasan pemilu


A. LATAR BELAKANG

B. KERANGKA TEORITIS

Untuk menjawab penelitian ini, peneliti memerlukan teori sebagai


alat menganalisis permasalahan yang tercantum dalam rumusan masalah.
Dalam teori ini menggunakan Teori Modernisasi dan Kesadaran Politik
menurut Samuel P. Huntington dan Nelson. Samuel Huntington
menghubungkan modernisasi dan kesadaran politik. Definisi dari
modernisasi menurut Huntington adalah sebagai proses bersegi jamak
yang melibatkan perubahan semua kerangka pemikiran dan aktivitas
manusia, kemudian semua unsur yang menopang modernisasi seperti
pendidikan, industrialisasi, demokratisasi serta media massa tidak
berlangsung secara serampangan dan berdiri sendiri karena semuanya
memiliki keterkaitan. Secara psikologis, modernisasi melibatkan
pergeseran mendasar di bidang mental, nilai-nilai dan harapan. Terkait
kesadaran politik yang mana tidak terlepas dari adanya partisipasi politik
yang merupakan salah satu aspek dari demokrasi.

Dalam buku No Easy Choice: Political participation in develoving,


Huntingtong dan Nelson membuat batasan partisipasi politik sebagai
“kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh perintah.
Partisipasi bisa bersifat individu atau kolektif, terorganisasi atau spontan,
mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau
ilegal, efektif atau tidak efektif”. Huntington dan Nelson mengusulkan dua
konsep partisipasi yaitu partisipasi mobilisasi dan partisipasi otonom.
Partisipasi otonom menunjukan partisipasi yang dilakukan dengan sadar,
tanpa tekanan dan suka rela. Sedangkan partisipasi mobilisasi
menunjukan sisi yang bersebrangan dari yang dijelaskan pertama yaitu
tidak sadar, ada tekanan, atau ada unsur paksaan, sekecil apapun ia.
Dalam kehidupan politik, semua ciri tersebut bisa saling silang atau
bercampur antara satu sama lain. Misalnya banyak orang yang diajak
untuk ikut demonstrasi penolakan terhadap rancangan undang-undang.
Orang yang diajak demonstrasi tersebut mungkin saja mau ikut secara
sukarela, namun bisa saja tidak paham untuk apa sebenarnya dia
melakukan demonstrasi. Ketika ditanyakan apakah dia membaca draft
rancangan undang-undang tersebut, bisa saja dia menjawab belum. Atau
ketika seseorang ditanya kenapa dia melakukan demonstrasi, jawaban
yang diberikan adalah karena diajak dan dapat makan gratis serta uang
saku. Dia merasa senang atas kegiatan tersebut, tidak ada tekanan yang
menghimpitnya kalau tidak melakukannya. Sehingga perbedaan antara
partisipasi otonom dan partisipasi mobilisasi bisa dilihat dari konteks
spektrum. Namun semua itu adalah partisipasi, kata Hungtington dan
Nelson (Damsar, 2015: ).

Samuel Huntington dan Joan Nelson mengemukakan bentuk-


bentuk partisipasi politik sebagai berikut.

a. Kegiatan Pemilihan; Kegiatan pemberian suara dalam pemilihan


umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan
bagi calon legislatif atau edukatif, dan tindakan lain yang berusaha
mempengaruhi hasil pemilu,
b. Lobbying; Upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi
pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka
tentang suatu isu,
c. Kegiatan Organisasi; Partisipasi individu ke dalam organisasi, baik
selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah,
d. Mencari Koneksi; Upaya individu atau kelompok dalam membangun
jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka, dan
e. Tindakan Kekerasan; Tindakan individu atau kelompok guna
mempengarui keputusan pemerintah dengan cara menciptakan
kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah hura-
hura, teror, kudeta, pembutuhan politik, revolusi dan pemberontakan
(Sore dan Sobirin, 2017: ).

Huntington juga merujuk pada pendapat yang menyebutkan


bahwa aspek modernisasi yang relevan dengan masalah-masalah politik
dapat diperinci secara tegas dan atas dua kategori besar. Pertama, terkait
dengan mobilisasi sosial. Kedua, mengenai korelasi antara aktivitas
ekonomi masyarakat dan aktivitas politik masyarakat tersebut.
Modernisasi politik secara alami dimaksudkan untuk mengubah
masyarakat terbelakang menjadi masyarakat yang maju, terkait dengan
masalah ini Huntington mengelompokkannya dalam tiga kelompok
modernisasi politik. Pertama, modernisasi politik melibatkan adanya
rasionalisasi kekuasaan. Dan kedua, pembangunan politik melibatkan
diferensiasi fungsi politik yang baru dan pengembangan struktur khusus
sebagai pelaksanaan seluruh fungsi tersebut. Serta ketiga, pembangunan
politik ditandai dengan meningkatnya partisipasi politik masyarakat
secara luas dan modernisasi. Tak hanya memiliki implikasi positif bagi
perkembangan politik, modernisasi dalam kenyataannya juga
berimplikasi negatif dan modernisasi yang mana mempengaruhi
mobilisasi sosial serta instabilitas politik, kemudian sebagai bentuk
perebutan sumber-sumber daya ekonomi dalam proses modernisasi.
Sehingga terjadinya ketimpangan yang secara politik akan menimbulkan
kerawanan sosial. Kemudian, sebagai efek tuntutan kebutuhan
masyarakat modern, modernisasi telah melampirkan banyak perilaku
menyimpang dalam politik. Perilaku menyimpang yang dilakukan
pimpinan politik itu seperti adanya korupsi dan penyalahgunaan
kewenangan lainnya.

C. GAMBARAN DAN LOKUS KAJIAN

Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, istilah


pengawasan pemilu sebenarnya baru muncul pada era 1980-an. Pada
pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada
1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut
terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang
penyelenggaraan Pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga
parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante. Walaupun
pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, tetapi dapat dikatakan
sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapan, kalaupun
ada gesekan terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu. Gesekan yang
muncul merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat itu.
Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan
Pemilu di Indonesia yang paling ideal.

Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan


Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu
(Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap
pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim
penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari
oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi
penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada
Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi
pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas direspon
pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya
muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan
meningkatkan ‘kualitas’ Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan PPP dan
PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke
dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi
adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk
mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).

Pada era reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggara Pemilu


yang bersifat mandiri dan bebas dari kooptasi penguasa semakin
menguat. Untuk itulah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara Pemilu
yang bersifat independen yang diberi nama Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi campur tangan
penguasa dalam pelaksanaan Pemilu mengingat penyelenggara Pemilu
sebelumnya, yakni LPU, merupakan bagian dari Kementerian Dalam
Negeri (sebelumnya Departemen Dalam Negeri). Di sisi lain lembaga
pengawas pemilu juga berubah nomenklatur dari Panwaslak Pemilu
menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).

Perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas


Pemilu baru dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
Menurut UU ini dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk sebuah
lembaga adhoc terlepas dari struktur KPU yang terdiri dari Panitia
Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas
Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Selanjutnya kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan
dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu). Adapun aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan
pengawasan berada sampai dengan tingkat kelurahan/desa dengan
urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan Pengawas
Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat kelurahan/desa. Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagian kewenangan
dalam pembentukan Pengawas Pemilu merupakan kewenangan dari
KPU. Namun selanjutnya berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi
terhadap judicial review yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007, rekrutmen pengawas Pemilu
sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu. Kewenangan utama dari
Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima
pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi,
pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik.

Dinamika kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih berjalan


dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu. Secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan
kembali dengan dibentuknya lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat
provinsi dengan nama Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu
Provinsi). Selain itu pada bagian kesekretariatan Bawaslu juga didukung
oleh unit kesekretariatan eselon I dengan nomenklatur Sekretariat
Jenderal Bawaslu. Selain itu pada konteks kewenangan, selain
kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007, Bawaslu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 juga memiliki kewenangan untuk menangani sengketa Pemilu.
Bawaslu sendiri memiliki pimpinan misalnya pimpinan Bawaslu provinsi
Kepulauan Bangka Belitung yang memiliki struktur organisasinya yang
telah di tentukan dengan cara jalur seleksi guna untuk memilih anggota
yang berkecimpung di dalamnyas. Berikut adalah profil pimpinan
bawaslu di bagian masing-masing.
Profil pimpinan:

 Nama : Edi Irawan


Unit Kerja : Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jabatan : Ketua Bawaslu Babel (Koordiv. SDM dan Organisasi)

 Nama : Firman Taripar Bangso Pardede


Unit Kerja : Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jabatan : Anggota Bawaslu Babel (Koordiv. Penyelesaian
Sengketa)

 Nama : Andi Budi Yulianto


Unit Kerja : Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jabatan : Anggota Bawaslu Babel (Koordiv. Pengawasan,
Hubungan Masyarakat & Hubungan Antar Lembaga)

 Nama : Jafri
Unit Kerja : Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jabatan : Anggota Bawaslu Babel (Koordiv. Penindakan
Pelanggaran)

 Nama : Dewi Rusmala


Unit Kerja : Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jabatan : Anggota Bawaslu Babel (Koordiv. Hukum dan Data
Informasi)

KEPALA SEKRETARIAT

 Nama : Ari Susanto


Unit Kerja : Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jabatan : Kepala Sekretariat Bawaslu Babel

KASUBBAG ADMINISTRASI

 Nama : Siti Jamilah, S.E

Siti jamilah atau kerap disapa Emil dilahirkan di Pangkalpinang


pada tanggal 26 Januari 1979. Pada tahun 2000 menyelesaikan
pendidikan D3 di Universitas Guna Dharma Jakarta jurusan
Manajement Informatika dan menyelesaikan pendidikan Strata Satu di
STIE Pertiba Pangkalpinang jurusan managemen pada tahun 2010.
Awal karir diangkat sebagai CPNS tanggal 1 Desember 2002 dan
ditempatkan di Biro Pemerintahan sebagai Staf Asisten I Sekretariat
Daerah Pemprov Kepulauan Bangka Belitung. Kemudian tahun 2003-
2010 berkarir di KPU Provinsi Kep. Bangka Belitung. Selanjutnya
wanita yang mengaku hobi bermain catur ini ditugaskan di Badan
Penanggulangan Bencana Daerah selama 2 tahun, yaitu dari tahun
2010 sampai dengan 2012 sebagai staf keuangan.

Tak butuh lama bagi Emil sampai akhirnya dipercaya oleh


Bawaslu Provinsi Kep. Bangka Belitung untuk menjadi Plt. Kasubbag
Administrasi pada awal tahun 2013 dan pada tanggal 6 Januari 2015
dilantik secara langsung oleh Ketua Bawaslu Provinsi Kep. Bangka
Belitung untuk mengemban tugas sebagai Kasubbag Administrasi.
Selama masa tugasnya, Emil selalu berusaha memberikan yang
terbaik. Ini tentunya tak lepas dari dukungan suami tercinta.
Keseharian dengan keuangan sudah menjadi rutinitas bagi ibu tiga
anak ini.

KASUBBAG TPPP

 Nama : Givson Sianturi

Givson Sianturi, lahir di Sosor Binanga, Kabupaten Tapanuli


Utara, 14 April 1965. Menamatkan pendidikan jenjang SMA pada
tahun 1984 di tempat kelahirannya. Sebelum bergabung dengan
Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Beliau bertugas di
Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung pada tahun 2001. Pada tahun 2007 Beliau bergabung dengan
Panwaslu Provinsi, pada saat pertama kali Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung melakukan Pemilihan Gubernur secara langsung. Pada tahun
2008, Beliau di perbantukan kembali di Sekretariat Panwaslu Provinsi
untuk mensukseskan Pemilu Nasional tahun 2009. Pada tahun 2011,
beliau berpindah tugas dari Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) ke
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung dan pada tahun itu juga beliau masih dipercaya
masuk Sekretariat Panwaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Setelah nomenklatur Panwaslu berubah menjadi Bawaslu, beliau
ditugaskan sebagai staf pengawasan dan saat ini beliau menjabat
sebagai Kepala Subbagian Teknis Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilu (TP3).

KASUSBBAG HUKUM, HUMAS DAN HUBAL

 Nama : Yaumil Ikrom

Yaumil Ikrom lahir di Palembang, tanggal 28 Oktober 1985.


Jenjang pendidikan Strata 1 ia selesaikan pada tahun 2008 di
Universitas Padjajaran, jurusan Ilmu Pemerintahan. Sebelum
bergabung di Bawaslu Provinsi Bangka Belitung, Ia ditempatkan di
Biro Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada Tahun
2011 ia diperbantukan di Sekretariat Panwaslu Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Setelah Panwaslu berubah menjadi Bawaslu pada
Tahun 2012, ia kembali dipekerjakan di sekretariat Bawaslu Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung sebagai staf Divisi Penindakan dan
Penanganan Pelanggaran dan sekarang ia menduduki jabatan sebagai
Kepala Sub Bagian Hukum, Hubungan Masyarakat dan Hubungan
Antar Lembaga.

Ada pun bawaslu memiliki tugas wewenang dan kewajiban


yang telah di tentukan oleh undang-undang sesuai dengan aturan
pemilu pada saat ini. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Pengawas
Pemilu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu adalah sebagai berikut:

A. Mengawasi Penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan


dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang
demokratis.
Tugas tersebut secara singkat dalam diuraikan sebagai berikut :

 Mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu;


 Mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu;
 Mengawasi pelaksanaan Putusan Pengadilan;
 Mengelola, memelihara, dan marawat arsip/dokumen;
 Memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan
pelanggaran pidana Pemilu;
 Mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu;
 Evaluasi pengawasan Pemilu;
 Menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu;
 Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.

B. Wewenang Pengawas Pemilu sebagai berikut :

 Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan


ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu
 Menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi
Pemilu dan mengkaji laporan dan temuan, serta
merekomendasikannya kepada yang berwenang
 Menyelesaikan sengketa Pemilu
 Membentuk, mengangkat dan memberhentikan Pengawas
Pemilu di tingkat bawah
 Melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan
C. Kewajiban Pengawas Pemilu sebagai berikut :

 Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan


wewenangnya;
 Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas Pengawas Pemilu pada semua tingkatan;
 Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan
dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu;
 Menyampaikan laporan hasil pengawasan sesuai dengan
tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan
kebutuhan; dan
 Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan

Adapun bawaslu sendiri memiliki visi misinya sendiri dalam


melaksanakan tugasnya serta untuk mencapai suatu tujuan yang di
inginkan

Visi

Tegaknya integritas penyelenggara, penyelenggaraan, dan hasil pemilu


melalui pengawasan pemilu yang berintegritas dan berkredibilitas untuk
mewujudkan pemilu yang demokratis.

Misi

 Memastikan penyelenggaraan pemilu untuk taat asas dan taat


peraturan.
 Memastikan Bawaslu memiliki integritas dan kredibilitas.
 Memastikan Bawaslu mampu mengawal integritas dan kredibilitas
dalan penegakan hukum pemilu.
 Memastikan Bawaslu mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan
dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu guna pencegahan dan
penindakan pelanggaran.
 Memastikan terciptanya pengawasan partisipatif berbasis masyarakat
sipil.
Berikut Struktur Kepegawaian Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung.

D. PEMBAHASAN

Demokrasi merupakan sistem politik yang memberikan ruang bagi


keadilan dan persamaan bagi semua warga negara. Ciri yang paling
mendasar dalam negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum
(Pemilu), meskipun bukan satu-satunya aspek yang ada dalam demokrasi,
namun Pemilu menjadi hal yang penting dan berperan sebagai
mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan politik
dan/atau mengenai sirkulasi elit secara periodik dan tertib (Surbakti dkk,
2008: 12). Begitupun dengan Indonesia yang menjalankan Pemilu sebagai
wujud dari demokrasi yang merupakan sarana dalam mengagregasi
aspirasi yang ada di masyarakat yang sebelumnya diartikulasi oleh partai
politik sesuai dengan fungsinya. Dengan berjalannya waktu, Pemilu di
Indonesia yang dimulai dari Tahun 1955 sudah mengalami
perkembangan yang cukup signifikan apabila dilihat dari aspek
pengawasan dalam Pemilu. Pada Pemilu pertama Tahun 1955, belum
dikenal istilah pengawasan Pemilu, karena pada saat itu telah ada
kepercayaan antara seluruh peserta Pemilu dengan warga negara
terhadap penyelenggaraan pemilu yang pada saat itu dimaksudkan untuk
membentuk lembaga parlemen yang disebut dengan Dewan Konstituante.

Pengawasan pemilu baru muncul pada dalam pelaksanaan pemilu


Tahun 1982, namanya adalah Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan
Umum (Panwaslak Pemilu), yang terbentuk dengan dilatarbelakangi oleh
ketidakpercayaan terhadap pemilu yang dianggap telah disetting oleh
kekuatan rezim penguasa (Bawaslu RI, 2017). Kemudian pada pemilu
Tahun 1987, protes terhadap pelanggaran dan kecurangan pemilih lebih
banyak lagi, sehingga pemerintah dan DPR yang ketika itu didominasi
oleh Golkar dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia merespon hal
ini degan gagasan untuk memperbaiki Undang-Undang yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas pemilu berikutnya. Pada saat sekarang,
yaitu era reformasi, tuntutan untuk pemilu yang jujur dan adil semakin
tinggi, dibuktikan dengan semakin kuatnya legal formal pembentukan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat Pusat, di tingkat Provinsi
sampai pada pembentukan Panitia Pengawas Pemilu di tingkat
Kabupaten/Kota yang awalnya adhoc saja maka diusulkan agar menjadi
permanen (Suswantoro, 2016: 62). Namun demikian, Bawaslu sebagai
badan formal yang bertugas untuk mengawasi seluruh tahapan
penyelenggaraan pemilu, masih mengalami berbagai kendala
pengawasan. Salah satu contoh masalah yang terkait dengan kendala
pengawasan adalah adanya pelanggaran pilkada serentak 2015
sebagaimana dikemukakan oleh Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem), Khairunisa Nur Agustiyati, bahwa dari
keseluruhan tahapan pilkada serentak 2015 ditemukan 140 pelanggaran
yang terbagi ke dalam lima kategori di antaranya kekerasan pelaksanaan
pilkada, logistik pilkada, pelanggaran pidana dalam pelaksanaan pilkada,
pelanggaran administrasi dan sengketa pencalonan.

Adanya kecenderungan pelanggaran di setiap pemilu salah


satunya karena keterbatasan jumlah pengawasa jika dilihat dari
banyaknya Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ada. Dalam pemilu
serentak yang akan dilaksanakan Tahun 2019 terjadi penambahan TPS
yang cukup signifikan. Apalagi dengan disusutkannya jumlah pemilih
dari pemilu sebelumnya 500 orang pemilih menjadi 300 orang pemilih
per TPS, sehingga total seluruh TPS di Indonesia pada pemilu serentak
2019 adalah sebanyak 800.000-an atau lebih
(nasional.republika.co.id/29 Agustus 2017). Bertambahnya jumlah TPS
tersebut harus diiringi oleh bertambahnya jumlah pengawas dalam
pemilu serentak, yang tidak saja menjadi tugas Bawaslu dan Panwaslu di
daerah, tetapi juga perlu adanya pengawasan dari pihak di luar lembaga
pengawas pemilu tersebut. Oleh karenanya penting sekali untuk
melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat dalam
proses pengawasan ini (Jurnal Wacana Politik, 1 Maret 2018: 14-28).

Dalam hal ini pemangku kepentingan dan masyarakat yang


dilibatkan merupakan para generasi milenial atau dikenal sebagai
generasi Y. Karakteristik milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah
dan kondisi sosial ekonomi. Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh
adanya peningkatan penggunaan terhadap komunikasi, media, teknologi
digital dan bahkan politik. Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu adalah
lembaga penyelenggaraan pemilu yang bertugas mengawasi
penyelenggaraan pemilu. Pengawasan bukanlah suatu usaha untuk
mencari kesalahan dan usaha yang negatif, tetapipengawasan harus
mempunyai unsur0unsur positif atau membina (kontruktif), yaitu usaha
untuk mencegah terjadinya pelanggaran atau terjadinya penyimpangan
dan ketidak sesuaian (Sandi, 2018). Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan
pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran
administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik. Pengawasan
pemilu yang dilakukan Bawaslu dijalankan oleh kalangan profesional
yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak
menjadi anggota partai politik. Namun, pengawasan Pemilu tidak hanya
dijalankan oleh keanggotaan yang tergabung dalam struktur
kepengurusan saja seperti Panitia Pengawas Pemilu atau Panwaslu
tingkat Kecamatan, Panitia Pengawas Lapangan tingkat Kelurahan atau
Desa dan lain sebagainya, melainkan juga dapat melibatkan berbagai
pihak terkait pengawasan pemilu termasuk di dalamnya Generasi
Milenial.

Melibatkan Generasi Milenial dalam pengawasan Pemilu menjadi


sebuah tantangan yang cukup menarik karena mengingat bahwa kaum
Milenial lahir di mana dunia modern dan teknologi canggih
diperkenalkan publik, sehingga pemikiran serta pemahaman terkait
politik seharusnya dapat lebih berkembang luas dan meningkat.
Terdapat berbagai cara yang perlu dilakukan oleh Bawaslu terhadap
Generasi Milenial untuk dapat berpartisipasi aktif terhadap kegiatan
pengawasan. Pengawasan pemilu sebagai kegiatan memeriksa, dapat
diartikan pula sebagai kegiatan “melihat, mencermati, dan memperoleh”
laporan dan bukti-bukti yang menjadi indikasi awaldugaan pelanggaran
pemilu (Dede, 2017). Dalam mengawasi Pemilu tidak dapat dilakukan
secara sembarangan, melainkan harus sesuai dengan prosedur atau
ketentuan yang ada dan telah disepakati. Jumlah pengawasan pemilu
yang terus mengalami penurunan, hal ini dikarenakan aktivitas
pengawasan pemilu sangat dipengaruhi oleh dana, agak mustahil jika
aktivitas pengawasan pemilu tanpa adanya dukungan keuangan
(Novembri, 2017). Dalam hal ini, Bawaslu mempunyai rancangan atau
strategi yang dilakukan terkait penyesuaian Generasi Milenial untuk
dapat berpartisipasi dalam pengawasan Pemilu. Selain dari
meningkatnya kesadaran yang ditimbulkan terhadap Generasi Milenial,
rancangan ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat turut
andil dan bergerak menuju perubahan dari strategi yang dijalankan. Hal
ini dicanangkan tidak lain agar Pemilu dapat berjalan dengan baik yang
berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan demokratis.
Serta berkualitas, tepat prosedur dan mewujudkan integritas
penyelenggara Pemilu.
Pelibatan Generasi milenial yang juga merupakan masyarakat
pemangku kepentingan menunjukkan suatu kewajiban Bawaslu sebagai
fungsi yang terlembaga dalam pengawasan pemilu, sedangkan
partisipasi masyarakat lebih kepada penggunaan hak warga negara
untuk mengawal hak pilihnya. Namun pelembagaan pengawasan itu
tidak serta merta mengambil hak warga negara untuk melakukan fungsi
kontrolnya dalam menjaga suara atau kedaulatan rakyat. Oleh karena itu,
pentingnya pengawasan partisipatif yang dilakukan tidak saja dari
masyarakat pemilih namun dari berbagai pihak yang terkait
(stakeholders) dan masyarakat sendiri.

E. PENUTUP

F. DAFTAR PUSTAKA
G. (Damsar, 2015. Pengantar Sosiologi Politik, Prenadamedia Group,
Kencana.)
H. Sore dan Sobirin, 2017. Kebijakan publik, Cv Sah Media, Makasar.
I. Jurnal of governanc, Vol. 2, No. 2, Desember 2017: 159, DEMOKRASI DAN
PENGAWASAN PEMILU. Dede Sri Kartini, Departemen Ilmu
Pemerintahan, FISIP Universitas Padjajaran, E-mai:
dedekartini@yahoo.com.
J. Jurnal Bawaslu, Vol. 3, No. 3, 2017: 318, PEMANTAUAN DALAM PROSES
PENYELENGGARA PEMILU. Novembri Yusuf Simanjuntak, Magister Ilmu
Politik Universitas Airlangga, E-mail: zoentaksvembri@yahoo.co.id.
K. Jurnal Wacana Politik - ISSN 2502 - 9185 : E-ISSN: 2549-2969 Vol. 3, No.
1, Maret 2018: 14 - 28 PENTINGNYA PENGAWASAN PARTISIPATIF
DALAM MENGAWAL PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS Ratnia
Solihah1 , Arry Bainus2 dan Iding Rosyidin3 1 Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadajran 2
Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Padjadajran 3 Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia E-mail: ratnia@unpad.ac.id
L. Irawan, Sandi. 2018. Eksistensi Badan Pengawasan Pemilu dalam
Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung.

M. https://jatim.bawaslu.go.id/bawaslu-kota-blitar-ajak-generasi-milenial-
awasi-pemilu-2019/ Posted By: Badan Pengawas Pemilihan Umum
Provinsi Jawa Timuron: Desember 02, 2018
N. https://babel.bawaslu.gi.id

You might also like