You are on page 1of 13

COLLABORATIVE GOVERNANCE

(Studi Tentang Kolaborasi Antar Stakeholders Dalam Pengembangan


Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo)

Dimas Luqito Chusuma Arrozaaq


Mahasiswa program studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga

Abstract
This study aims to describe the process of collaborative governance related to the development of minapolitan areas in
Sidoarjo regency, and also the obstacles in the implementation of collaboration process.

Sidoarjo is the center of Minapolitan area in East Java Province which is determined based on East Java Governor Decree
No.520 / 1395 / 201.1 / 2012 about Sidoarjo District Determination as the center of minapolitan area. In order to develop the
minapolitan area of the sidoarjo district, government through the marine and fishery agencies implement a collaboration with the
private sector and the community. This study explained the collaborative process that exists between government, private and
community in collaborative governance regime (CGR). This study used four main components by Kick Emerson.

This research employed qualitative research method. Data collection was conducted using observation, interview and
documentation. This study finds that the collaboration process in the development of the minapolitan in Sidoarjo area has been
running quite well. Because the collaboration has been strating through principled engagement, shared motivation and capacity for
joint action. Then, the process continued with collaborative action that can affect to the temporary impacts. This research also finds
that the obstacles in the implementation of collaboration include : the challenge in the formation of the business groups into legal
entities, the lack of the continuity of collaboration, the limited government’s role in facilitateting the marketing alternatives to the
enterprise group, and lastly, the lack of private parties’s involvement in all collaboration activities.

Keywords : Collaborative Governance, Minapolitan Area, Stakeholders

PENDAHULUAN dan pemasaran (off farm) seperti sarana perikanan dan


Kebijakan Minapolitan merupakan salah satu jasa penunjang lainnya. Pengembangan kawasan
intervensi yang dilakukan Pemerintah dalam Minapolitan mencakup kegiatan produksi, pengolahan,
meningkatkan produktivitas kelautan dan perikanan serta pemasaran produk perikanan dan kelautan
melalui program Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, 2013). Maka
(KKP). Regulasi program tersebut ditetapkan melalui dari itu, kawasan minapolitan dapat digambarkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12 sebagai kawasan dengan aktivitas ekonomi utama
Tahun 2010 tentang Minapolitan dan dilanjutkan dalam berupa usaha perikanan, dari hulu sampai hilir.
RPJMN 2015-2019. Kebijakan tersebut dijabarkan
melalui strategi “perwujudan keterkaitan antara Kebijakan Minapolitan dilatarbelakangi oleh potensi
kegiatan ekonomi hulu dan hilir desa-kota melalui perikanan dan kelautan Indonesia yang melimpah.
pengembangan klaster khususnya agropolitan,
minapolitan, pariwisata, dan transmigrasi” (RPJMN Tabel I.1 Produksi Perikanan Di Beberapa Negara Dunia
2015-2019: 6-45). Kebijakan ini ditetapkan sebagai No Negara
Tahun Persentase
strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat 2013 (ton) 2014 (ton) perubahan
1 China 12 759 922 13 967 764 6.0 %
(khususnya nelayan) dan produktivitas masyarakat di
2 Indonesia 4 745 727 5 624 594 7.0%
kawasan pesisir (Kementerian Kelautan dan Perikanan 3 Amerika 4 734 500 5 115 493 –3.1%
RI, 2013). Serikat
4 Rusia 3 376 162 4 086 332 –2.1
Program Minapolitan bertujuan untuk 5 Jepang 4 146 622 3 621 899 0.2
mendorong percepatan pengembangan wilayah dengan 6 India 3 085 311 3 418 821 0.0
7 Vietnam 1 994 927 2 607 000 4.0
kegiatan perikanan sebagai kegiatan utama. Selain itu,
8 Nyanmar 1 643 642 2 702 240 8.8
program Minapolitan juga bertujuan untuk 9 Norway 2 417 348 2 301 288 10.7
meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup 10 Filipina 2 224 720 2 130 747 0.3
masyarakat pedesaan (hinterland) yang dikembangkan (Sumber : FAO, 2016)
tidak saja budidaya (on farm) tetapi juga pengolahan

1
Berdasarkan data dari Fisheries and program tersebut adalah untuk mengatasi masalah
Aquaculture Divition, Food and Agriculture kemiskinan di wilayah pesisir. Salah satu model
Organization (2016), disebutkan bahwa produksi pemberdayaan masyarakat dalam program ini adalah
perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2013 sebesar menjadikan masyarakat sebagai pelaku minabisnis.
4.745.727 ton. Produksi tersebut meningkat sebesar 7% Output yang diharapkan yaitu masyarakat akan mampu
pada tahun 2014 dengan jumlah produksi perikanan meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas
sebesar 5.624.594 ton. Hal tersebut menempatkan perikanan melalui pengembangan sistem dan usaha
Indonesia pada peringkat ke-2 di dunia, sedangkan minabisnis yang efisien dan menguntungkan serta
produksi perikanan budaya Indonesia menduduki berwawasan lingkungan (Mujahid, dkk, 2015: 6).
peringkat ke-7 dunia. Namun, seluruh potensi tersebut
belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dibuktikan Perkembangan Kebijakan Minapolitan mulai
oleh data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dicanangkan pada tahun 2011, dimana pengembangan
pada tahun 2014, produktivitas budidaya perikanan kawasan Minapolitan sudah mulai masuk pada tahap
Indonesia mencapai 14,5 juta ton. Namun, persiapan administratif maupun infrastruktur dasar.
pemanfaatan potensi perikanan budidaya di Indonesia Tahun 2012 pengembangan kawasan Minapolitan
masih dibawah 50%. sudah masuk tahap implementasi. Mulai tahun 2013,
pengembangan tersebut telah diintegrasikan dengan
Tabel I.2 Potensi dan Pemanfaatan Perikanan kegiatan industrialisasi kelautan dan perikanan dengan
Budidaya di Indonesia Tahun 2014 konsep Blue Economy. Pada akhir tahun 2014,
kawasan Minapolitan diharapkan sudah mampu
No Jenis Potensi Pemanfaatan Persentase mengakselerasi pembangunan ekonomi di daerah.
Budidaya (ha) (ha) Pemanfaatan
1 Air Tawar 2.830.540 302.130 10,7% Keberadaan Minapolitan sebagai penggerak
2 Air Payau 2.964.331 650.509 21,9% utama (prime mover), untuk mendorong pertumbuhan
3 Laut 12.123.383 325.825 2,7%
(Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016) ekonomi wilayah pedesaan yang potensial memerlukan
dukungan dan komitmen dari pemerintah daerah dan
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan masyarakat. Selain itu dalam dokumen Pengembangan
dan Perikanan potensi luas areal budidaya air tawar Kawasan Minapolitan yang diterbitkan Kementerian
saat ini tercatat 2.830.540 ha, termasuk potensi di Kelautan dan Perikanan (2013: 11), perlu adanya
perairan umum daratan (sungai dan danau), dengan penentuan lokus yang jelas, seperti :
tingkat pemanfaatan 302.130 ha (10,7%). Potensi luas
areal budidaya air payau 2.964.331 ha dengan tingkat 1. Penciptaan iklim yang kondusif melalui
pemanfaatan 650.509 ha (21,9%). Potensi luas areal pengembangan kebijakan yang berpihak pada
budidaya laut saat ini tercatat 12.123.383 ha. dengan masyarakat pesisir dengan prosedur yang sederhana
tingkat pemanfaatan 325.825 ha (2,7%). Potensi luas dan institusi pengelola yang kompeten.
areal budidaya rumput laut saat ini tercatat 1,1 juta ha 2. Ketersediaan sumber daya (tenaga kerja) diperlukan
atau 9% dari seluruh luas kawasan potensial budidaya dengan kuantitas dan kualitas yang sesuai melalui
laut yang sebesar 12.123.383 ha. Adapun tingkat pelatihan, pendampingan serta pengawalan
pemanfaatannya diperkirakan baru mencapai 25% 3. Koordinasi dan kolaborasi antara
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016: 16). Kementerian/Lembaga dan stakeholders dalam
pengembangan Kawasan Minapolitan.
Pemanfaatan potensi perikanan dan kelautan
yang belum optimal menjadi perhatian tersendiri bagi Berdasarkan tiga lokus tersebut, dapat diketahui
pemerintah untuk mengintervensi kebijakan di bidang bahwa kolaborasi merupakan salah satu elemen penting
perikanan dan kelautan. Intervensi tersebut ditujukan dalam menentukan keberhasilan pengembangan
untuk meningkatkan nilai dan manfaat sumberdaya Kawasan Minapolitan.
perikanan dan kelautan bagi pengembangan wilayah “Sinergitas dan integrasi dalam Kebijakan Pengembangan
yang berkelanjutan. Pengembangan wilayah tersebut Kawasan Minapolitan terdiri dari multi aktor sehingga
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, kompleksitas masalah yang akan dihadapi dalam
khususnya pada masyarakat nelayan dan juga untuk pengembangan kawasan minapolitan tidak dapat dihadapi
oleh pemerintah sebagai single actor” (Sekjen Kementerian
memperkuat konservasi perikanan dan lingkungannya. Kelautan dan Perikanan, 2013: 6).
Dampak kebijakan tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kontribusi terhadap berbagai aspek dari Kebijakan Pengembangan Kawasan
sektor perikanan, termasuk peningkatan lapangan Minapolitan merupakan salah satu kebijakan yang
pekerjaan, ketahanan pangan, dan pendapatan negara membutuhkan kajian collaborative governance. Hal
bukan pajak (PNBP) (Rozikin dkk, 2016: 5). tersebut dikarenakan, dalam pengembangan Kawasan
Minapolitan, diperlukan adanya sinergi dari beberapa
Pengembangan Kawasan Minapolitan stakeholders lintas sektor. Menurut Kementerian
dilaksanakan melalui konsep pengembangan kawasan Kelautan dan Perikanan RI (2013: 7), stakeholder-
berbasis masyarakat. Hal ini dikarenakan tujuan stakeholder yang bersinergi antara lain :

2
1. Pemerintah Pusat (bertanggungjawab terhadap Sidoarjo. Berdasarkan potensi yang dimiliki,
regulasi dan kebijakan, serta sarana dan Kabupaten Sidoarjo kemudian ditetapkan sebagai
prasarana lintas sektor) daerah pusat Kawasan Minapolitan di Jawa Timur. Hal
2. Pemerintah Daerah (bertanggungjawab atas diresmikan melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur
sarana dan prasarana lintas SKPD, regulasi Nomor : 520/1395/201.1/2012 tentang Penetapan
tingkat daerah dan penyediaan lahan) Kabupaten Sidoarjo sebagai Pusat Kawasan
3. Swasta (pemberi modal dan pendampingan Minapolitan dan Agropolitan di Jawa Timur. Oleh
usaha) karena itu, Sidoarjo akan menjadi kabupaten dengan
4. Industri/Asosiasi (pemberi investasi, akses potensi perikanan tambak terbesar di Jawa Timur
pasar, promosi dan kemitraan) apabila dapat diolah dan diberdayakan secara optimal.
5. Masyarakat (nelayan, masyarakat terdampak (Hedi & Tauran, 2015).
dan pasar)
Pusat kawasan minapolitan di Kabupaten
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Sidoarjo berada di Kecamatan Candi, dengan sub pusat
Nomor : Kep./39/MEN/2011 sebagai perubahan atas kawasan pada Kecamatan Sedati dan Sidoarjo, serta
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor kawasan penyanggah minapolitan berada di Kecamatan
KEP.32/MEN/2010 tentang Penetapan Kawasan Waru, Buduran dan Jabon (Keputusan Bupati Sidoarjo
Minapolitan menetapkan 223 kabupaten/kota No. 188/34/404.1.3.2/2016 Tentang Pusat Kawasan
Minapolitan yang sebelumnya berjumlah 197 Agropolitan Dan Minapolitan Di Kabupaten Sidoarjo)
kabupaten/kota. Dalam keputusan tersebut, salah satu
Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang dipilih sebagai Untuk mendukung percepatan pengembangan
salah satu kawasan Minapolitan adalah Kabupaten kawasan minapolitan di Kabupaten Sidoarjo, maka
Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo dipilih karena memiliki dilakukan Pembentukan Anggota Tim Pokja yang
lahan perikanan yang potensial untuk dikembangkan disahkan dalam Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor:
sebagai kawasan Minapolitan. Sidoarjo yang terletak di 188/297/404.1.3.2/2016 tentang Kelompok Kerja
pesisir utara pulau Jawa memiliki garis pantai Penyusunan Master Plan Pembangunan Ekonomi
sepanjang kurang lebih 30 kilometer yang terdapat di Daerah (Penataan Kawasan Minapolitan) Kabupaten
sebelah timur tepatnya di wilayah kecamatan Sedati, Sidoarjo. Hal tersebut merupakan salah satu upaya
Buduran, Sidoarjo, Candi dan Jabon. penguatan internal pemerintah daerah Kabupaten
Sidoarjo. Anggota Tim Pokja merupakan para Top
Potensi sektor perikanan di Sidoarjo cukup Leader masing-masing SKPD yang berkaitan dengan
tinggi dan berkontribusi dalam PDRB Kabupaten implementasi kebijakan pengembangan kawasan
Sidoarjo. Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo. Salah satu fungsi
tim pokja yang sangat penting dalam implementasi
Tabel I.3. Produk Domestik Regional Bruto Atas kebijakan adalah melakukan sosialisasi, koordinasi dan
Dasar Harga Berlaku Tahun 2011-2015 Kabupaten singkronisasi baik perencanaan, pelatihan maupun
Sidoarjo Sektor Pertanian (Juta Rupiah) pelaksanaan program penyusunan master plan
pembangunan kawasan Minapolitan Kabupaten
Sekto/ Sub Sektor 2013 2014 2015
Sidoarjo. Selain itu, Tim Pokja juga menjembatani
1. Pertanian/ 2.797.475,7 3.142.101,0 3.561.263,4
Agriculture stakeholders (masyarakat, swasta dan pemerintah)
1.1. Pertanian, 1.042.756,4 1.129.649,7 1.258.345,0 dalam berinteraksi terkait upaya pengembangan
Peternakan, Kawasan Minapolitan. Namun, dalam penelitian
Pemburuan terdahulu diketahui bahwa tim pokja masih menemui
dan Jasa
Pertanian banyak hambatan dalam melaksanakan pola kolaborasi.
1.2. Kehutanan/ 859,7 817,3 798,5 hal ini dikarenakan karena masih belum optimalnya
Forestry peran di tiap aktor dalam melaksanakan kolaborasi.
1.3. Perikanan/ 1.753.859,6 2.011.634,0 2.302.119,9
Fishery Tabel I.4 Peran stakeholder dalam pengembangan
(Sumber : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut
Lapangan Usaha Kabupaten Sidoarjo 2011-2015) kawasan minapolitan

Stakeholder Peran
Berdasarkan tabel I.3 mengena Produk Pemerintah Dinas Perikanan Pengerak pemberdaya
Domestik Regional Bruto dapat diketahui bahwa masyarakat, fasilitator, dan
kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB di pelaksana kebijakan
Kabupaten Sidoarjo meningkat dari tahun ke tahun. Bapeda Monitoring dan evaluasi
Jika dibandingkan dengan sektor lainnya seperti Privat Corporate Penyedia alat dan pelatihan
alih teknologi
Pertanian, Peternakan, Pemburuan dan Jasa Pertanian Civil Society Kelompok pemberi investasi, akses
serta Kehutanan, sektor Perikanan memiliki kontribusi Usaha pasar, promosi dan kemitraan
tertinggi dalam PDRB di Kabupaten Sidoarjo. Luas Masyarakat Masyarakat yang terdampak
pantai dan tambak yang ada di Sidoarjo sebesar dalam minapolitan
Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan 2013, diolah
29,99% dari luas wilayah keseluruhan Kabupaten

3
Dari tabel III.5 bisa lihat tiap peran antar stakeholder masih belum terarah secara formal
stakeholders memiliki karakteristik yang sesuai dengan (Pujianto, 2014: 13). Padahal dalam kebijakan KKP
kapasitas, namun hambatan yang muncul bisa dari mengenai Pengembangan Kawasan Minapolitan sudah
faktor non teknis, seperti kematian ikan. Masalah ini tertulis jelas bahwa pengembangan kawasan
yang seharusnya menjadi masalah bersama pada minapolitan dilakukan melalui usaha kolaborasi,
kenyataanya masih ditanggung oleh petani seutuhnya koordinasi atau partnership antara aktor pemerintah,
dan aktor lain tidak bisa membantu banyak, hal swasta dan non pemerintah. Meski begitu KKP tidak
tersebut yang terkadang menimbulkan kesalahpahaman mengatur secara lebih lanjut bagaimana mekanisme
dalam pelaksanaan kolaborasi. kolaborasi antar stakeholder dalam pengembagan
Kawasan Minapolitan.
Masalah pokok dalam penelitian ini antara lain,
pertama pengembangan kawasan Minapolitan di Banyaknya elemen pemerintah yang terlibat
Kabupaten Sidoarjo masih belum memiliki PPM (Pusat dalam pengembangan kawasan minapolitan
Pengembangan Minapolitan). Padahal PPM diperlukan menyebabkan kendala tersendiri dari aspek
sebagai tempat berkumpulnya para stakeholders terkait institusional. Dengan adanya kolaborasi diharapkan
yang akan berkolaborasi dalam pengembangan pengembangan kawasan minapolitan lebih terarah
Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo karena ada pembagian tugas, wewenang,
(http://sibangsda. bappeda.sidoarjokab.go. tanggungjawab dan sebagainya. Namun dalam
id/minapolitan/index.php?id=4). Kedua, kolaborasi praktiknya disinyalir bahwa kolaborasi yang muncul
antara pemerintah dan masyarakat mengalami sedikit antar stakeholder masih diwarnai banyak masalah
kendala. Berdasarkan laporan dari Dinas Kelautan dan seperti sikap dan presepsi para stakeholder yang tidak
Perikanan tentang laporan perkembangan kawasan sama. Mindset egosektoral masih mewarnai persepsi
Minapolitan Kabupaten Sidoarjo, permasalahan yang para stakeholder sehingga masing-masing
dihadapi selama ini adalah kesulitan untuk membentuk SKPD/lembaga yang berkepepentingan masih
kelompok karena pemilik tambak tidak berdomisili di terfragmentasi oleh program kerjanya di masing-
lokasi setempat, kebanyakan di Surabaya dan Pasuruan masing instansi. Hal ini tentu menjadi kendala
(Ansoriyah, dkk, 2011: 5). tersendiri bagi pemahaman dan pelaksanaan peran dari
stakeholder untuk pengembangan kawasan minapolitan
Ketiga, kurangnya sosialisasi dan interaksi dari di Kabupaten Sidoarjo.
Pemerintah Daerah terhadap masyarakat sehingga
masyarakat menilai bahwa pengembangan kawasan Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti
Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo masih belum kolaborasi antar stakeholder (pemerintah, swasta, dan
nampak karena mereka belum dilibatkan sepenuhnya masyarakat) dalam pengembangan kawasan
(Ansoriyah, dkk, 2011: 6). Padahal sejatinya minapolitan di Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini akan
pengembangan kawasan minapolitan yang tertuang lebih menekankan secara terperinci kolaborasi antar
dalam kebijakan pemerintah pusat harus melalui stakeholders dengan mendeskripsikan proses
kolaborasi bersama antara pemerintah, swasta dan kolaborasi antar stakeholder, bentuk kolaborasi,
masyarakat (Rozikin, dkk, 2016: 5). Merujuk pada efektivitas kolaborasi dan faktor-faktor yang
tahap-tahap yang ada pada proses pemberdayaan, ada menghambat kolaborasi pengambangan kawasan
indikasi bahwa pada tahap persiapan sosial (social minapolitan di Kabupaten Sidoarjo. Hasil dari
preparation) masyarakat nelayan kurang dilibatkan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
(Mujahid, dkk, 2015: 3). Padahal proses kolaborasi rekomendasi bagi pemerintah terkait kolaborasi
memerlukan adanya sharing antara pelaksana dengan pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten
kelompok sasaran sehingga bisa tahu apa yang Sidoarjo agar lebih efektif.
dibutuhkan masyarakat.
Paradigma Governance
Keempat, tidak ada Standar Operational
Procedure (SOP) atau regulasi khusus mengenai Paradigma Governance merupakan paradigma
bagaimana bentuk, pola maupun model kolaborasi baru yang dianut dan menjadi populer di beberapa
antara pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga negara di dunia. Pemahaman dari paradigma yakni
pola kolaborasi antara pemerintah, masyarakat dan implementing agency tidak hanya menjadi monopoli
swasta terkait pengembangan kawasan minapolitan pemerintah. Pada tahun 1980-an paradigma ini mulai
belum jelas kemana arah tujuannya (Ansoriyah, dkk, dirancang oleh Negara-negara Barat dengan tujuan
2011: 6). Kebijakan pengembangan kawasan untuk meminimalisir peran-peran negara dalam
minapolitan di Kabupaten Sidoarjo adalah program pembangunan dan mendelegasikannya kepada aktor
pembangunan multi sektor dengan melibatkan multi lain. Hal ini dikarenakan tumbuhnya kesadaran bahwa
stakeholder serta merupakan perpaduan harmonis kemampuan pemerintah semakin terbatas dari segi :
antara pendekatan top-down planning, bottom-up anggaran, SDM, teknologi dan kapasitas manajemen
planning dan partisipatoris. Namun, dalam untuk dapat memecahkan urusan publik sendiri. Era
pelaksanaannya koloborasi dan koordinasi antar demokrasi juga menuntut pemerintah makin terbuka

4
dan makin inklusif dalam memberikan ruang bagi Civil Samatupang dan Sridharan (2008), kolaborasi
Society Organizations (CSOs) dan sektor swasta untuk merupakan upaya mengumpulkan berbagai pihak
dapat terlibat dalam implementasi suatu kebijakan dengan kepentingan berbeda untuk menghasilkan visi
(Purwanto dan Sulistyastuti, 2015). bersama, membangun kesepakatan mengenai suatu
masalah, menciptakan solusi untuk masalah tersebut,
Ada dua sudut pandang mengenai paradigma dan mengedepankan nilai-nilai bersama untuk
governance, yaitu sudut pandang deskriptif dan menghasilkan keputusan yang menguntungkan semua
perspektif (Chandoke dalam Shylendra, 2007: 217). pihak. Hal serupa diungkapkan oleh Leever (2010)
Dilihat dari sudut pandang deskriptif, paradigma yang menyatakan bahwa, kolaborasi adalah konsep
Governance merupakan fenomena yang muncul di yang digunakan untuk menjelaskan hubungan
negara maju dan negara berkembang untuk merenspon kerjasama yang dilakukan selama usaha penggabungan
keterbatasan peran yang dimiliki oleh pemerintah. Di pemikiran oleh pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak
negara maju, konsep welfare state telah memudar tersebut mencoba mencari solusi dari perbedaan cara
karena telah munculnya ideologi neo liberal. pandang terhadap suatu permasalahan.
Globalisasi menyebabkan perubahan tersebut menular
hingga ke negara berkembang. Ada tekanan bagi Dari dua definisi tersebut, dapat dilihat bahwa
pemerintah untuk melibatkan aktor lain dalam program kolaborasi merupakan solusi atas keterbatasan yang
pembangunan. Hasilnya, negara-negara di dunia dialami oleh individu atau organisasi.
menjadi lebih plural dengan hadirnya berbagai aktor
lain dalam program pembangunan dari tingkat lokal Ahli yang lain menyatakan bahwa kolaborasi
sampai global. Aktor-aktor tersebut berupaya merupakan instrumen yang dipakai untuk mengatasi
melengkapi peran yang sudah dilakukan pemerintah, keterbatasan. Menurut Schrage dalam Aggranoff dan
bahkan ada juga yang menggantikan peran pemerintah McGuire (2003:4), kolaborasi adalah hubungan yang
sebagai aktor tradisional dalam pembangunan. dirancang untuk menyelesaikan suatu masalah dengan
cara menciptakan solusi dalam kondisi keterbatasan
Dalam paradigma governance, ada tiga aktor misalnya keterbatasan informasi, waktu dan ruang. Hal
(Government, Private Sector, Civil Society) yang ini serupa dengan pendapat Grey dalam Fendt
berperan dalam pembangunan. Pemerintah mulai (2010:19), yang menyatakan bahwa kolaborasi adalah
mengikutsertakan aktor nonpemerintah sektor swasta sebuah proses ada kesadaran dari berbagai pihak yang
dan masyarakat madani) dalam program pembangunan. memiliki keterbatasan dalam melihat suatu
Kapasitas ketiganya dibutuhkan untuk saling permasalahan untuk kemudian mencoba
melengkapi kapasitas aktor lain. mengeksplorasi perbedaan tersebut untuk mencari
solusi. Raharja (2008:8) juga mengungkapkan hakikat
Kolaborasi kolaborasi adalah suatu kerjasama yang dilakukan
antar organisasi untuk mencapai tujuan bersama yang
Secara epistimologi, kata kolaborasi berasal dari sulit dicapai secara individual. Berdasarkan definisi
bahas Inggris yaitu „co-labour’ yang artinya bekerja tersebut dapat kita ketahu bahwa, awalnya organisasi
bersama. Pada abad ke-19 kata kolaborasi mulai adalah otonom, lalu ada keterbatasan dalam mencapai
digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang. tujuan. Kebutuhan untuk mencapai tujuan tersebut
Organisasi pada masa itu menjadi semakin kompleks. melatarbelakangi organisasi melakukan kerjasama
Divisi-divisi dalam pembuatan struktur organisasi dengan organisasi atau individu lain.
mulai dibuat untuk pembagian tugas bagi tenaga kerja
dalam organisasi tersebut. Kompleksitas organisasi Menurut Fendt (2010: 22) ada tiga alasan
menjadi titik awal sering digunakannya kolaborasi mengapa organisasi melakukan kolaborasi, yaitu:
dalam berbagai organisasi (Wanna, 2008: 3).
1) Organisasi perlu berkolaborasi karena tidak
Secara filosofis, kolaborasi merupakan upaya dapat menyelesaikan tugas tertentu seorang diri
yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tanpa bantuan pihak lain.
tujuan yang sama. Menurut Schrage dalam Harley dan 2) Dengan berkolaborasi, keuntungan yang akan
Bisman, (2010: 18), kolaborasi merupakan upaya diperoleh organisasi dapat lebih besar jika
penyatuan berbagai pihak untuk mencapai tujuan yang dibandingkan dengan bekerja sendiri.
sama. Kolaborasi membutuhkan berbagai macam aktor 3) Dengan berkolaborasi, organisasi dapat
-baik individu maupun organisasi- yang bahu- menekan biaya produksi sehingga produk
membahu mengerjakan tugas demi tercapainya tujuan mereka dapat menjadi murah dan memiliki daya
bersama. saing pasar.
Ilmuwan lain mendefinisikan kolaborasi sebagai Collaborative Governance
instrumen yang digunakan untuk menyatukan
perbedaan sudut pandang demi terciptanya solusi Collaborative Governance muncul di era
bersama. Menurut Samatupang dan Menurut paradigma governance, dimana pada saat itu

5
masyarakat semakin berkembang sehingga pemerintah Collaborative governance juga dapat
menghadapi masalah yang lebih kompleks. Di sisi lain, mengambarkan keadaan saling ketergantungan antar
pemerintah juga memiliki keterbatasan waktu untuk aktor. Keinginan melakukan collaborative governance
mengatasi masalah tersebut sehingga membutuhkan muncul karena para aktor menyadari adanya
kolaborasi dengan aktor-aktor eksternal (Charalabidis keterbatasan yang mereka miliki. Kemudian, aktor
et al., 2012: 264). tersebut perlu menyatakan keinginan dan kesedian
mereka untuk menjalin hubungan yang lebih erat
Ansell dan Gash (2007: 543) menyebutkan dengan aktor lain. Tiap aktor yang terlibat perlu
bahwa collaborative governance sebagai sebuah mengakui legitimasi yang dimiliki oleh aktor lain.
strategi baru dalam tatakelola pemerintahan yang Setelah para aktor berkomitmen untuk berkolaborasi,
membuat beragam pemangku kebijakan berkumpul di maka perlu dibangun rasa kepemilikan bersama kepada
forum yang sama untuk membuat sebuah konsensus terhadap setiap proses kolaborasi (Ansell, 2014: 178).
bersama. Selanjurnya Ansell dan Gash mendefinisikan
collaborative governance sebagai sebuah aransemen Berdasarkan pendapat berbagai ahli dapat
tata kelola pemerintahan yang mana satu atau lebih disimpulkan bahwa Collaborative Governance
institusi publik secara langsung melibatkan aktor merupakan proses dari struktur jejaring multi-
nonpemerintahan dalam sebuah proses pembuatan organisasi lintas sektoral (government, private sector,
kebijakan kolektif yang bersifat formal, berorientasi civil society) yang membuat kesepakatan bersama,
konsesus, dan konsultatif dengan tujuan untuk keputusan bersama, pencapaian konsensus -melalui
membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik, interaksi formal maupun informal- pembuatan dan
mengelola program atau asset publik. pengembangan norma-norma dalam interaksi yang
bersifat saling menguntungkan dalam mencapai tujuan
Definisi dari Ansell dan Gash (2007: 5) bersama. Oleh karena itu, di dalam kolaborasi interaksi
menekankan enam kriteria. Pertama, forum tersebut yang muncul bersifat egaliter yaitu seluruh aktor
diinisiasi oleh institusi publik. Kedua, partisipan dalam mempunyai kedudukan yang sama.
forum tersebut harus mencakup aktor nonpemerintah.
Ketiga, partisipan harus terlibat secara langsung dalam Peneliti melihat topik pengembangan kawasan
pembuatan kebijakan dan tidak sekedar “berkonsultasi” Minapolitan, yaitu pada pemberdayaan masyarakat
dengan pihak pemerintah. Keempat, forum harus dalam pengembangan Kawasan Minapolitan utamanya
teroganisasi secara formal da nada pertemuan secara adalah menciptakan nilai-nilai publik dan
rutin. Kelima, kebijakan yang diambil harus mengedukasi, menyadarkan, serta memberdayakan
berdasarkan konsesus. Dan keenam, kolaborasi masyarakat dengan memberikan stimulan-stimulan
berfokus pada kebijakan publik atau menejemen publik atau contoh, sehingga tercipta budaya produktif dalam
(Ansell dan Gash, 2007: 544). memnafaatkan potensi-potensi kelautan dan perikanan
menjadi sumber pendapatan baru.
Collaborative governance merupakan instrumen
yang digunakan untuk mengatasi suatu masalah. Proses Collaborative Governance
Collaborative governance merupakan instrumen yang
tepat untuk berkonfrontasi dengan masalah, sebab Peneliti memilih teori proses kolaborasi dari
collaborative governance menciptakan “kepemilikan Emerson, Nabatchi, & Balogh (2012), karena melihat
bersama” terhadap masalah tersebut. Berbagai aktor komponen yang komprehensif dan tepat digunakan
memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat suatu dalam menjawab permasalahan. Teori proses
permasalahan. Bukan hal yang mudah untuk kolaborasi atau Collaborative Governance Regime
menciptakan suatu kepahaman di antara peran aktor (CGR) menjelaskan secara rinci bagaimana proses
tersebut. Collaborative governance berperan sebagai kolaborasi yang bersifat dinamis dan bersiklus, dengan
penengah agar para aktor dapat merumuskan menghasilkan tindakan-tindakan dan dampak
kesepahaman yang sama terhadap suatu masalah sementara, sebelum mengarah pada dampak utama,
(Ansell, 2014: 172). serta adaptasi terhadap dampak sementara.

Collaborative governance merupakan suatu


forum yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Donahue dan Zeckhauser (2011: 4),
collaborative governance merupakan kondisi yang
mana pemerintah untuk memenuhi tujuan publik
melalui kolaborasi antar organisasi maupun individu.
Hal senada juga diungkapkan oleh Holzer et al., (2012:
349) yang menyatakan bahwa collaborative
governance adalah kondisi ketika pemerintah dan
swasta berupaya mencapai suatu tujuan bersama untuk Gambar 1.4 Teori Collaborative Governance menurut Emerson,
Nabatchi, & Balogh.
masyarakat. Sumber gambar: Emerson, Nabatchi, & Balogh, 2012.

6
Proses kolaborasi di atas yang dimaksud berada pengungkapan pada level individu dan aktor, utamanya
dalam kotak CGR. Penelitian ini menggunakan guna membangun pembentukan “shared-meaning”
berbagai komponen dalam CGR untuk mengungkap atau pengertian bersama secara terus-menerus.
fenomena kolaborasi. Berbagai komponen yang Terbentuknya hal ini akan mempengaruhi proses
menjadi proses kolaborasi diantaranya adalah 1) diskusi bersama, yang di dalamnya terdapat deliberasi
dinamika kolaborasi, 2) tindakan-tindakan kolaborasi, sebagai “hall-mark of sucessful engagement” atau
dan 3) dampak sementara serta adaptasi sementara dari tanda utama dari suksenya penggerakan bersama.
proses kolaborasi.
2) Deliberasi (deliberation).
Dinamika Kolaborasi
Penekanan tidak hanya pada terbentuknya
Beberapa ilmuan menggambarkan proses deliberasi, namun lebih kepada bagaimana “kualitas
kolaborasi sebagai sebuah tahapan linier yang terjadi deliberasi” karena kolaborasi seringkali terjadi
dari waktu ke waktu dimulai dari pendefinisian perbedaan pemikiran, perspektif, dan kepentingan yang
masalah menuju setting agenda hingga implementasi. muncul setiap saat. Membangun deliberasi yang
Berlawanan dengan Ansell dan Gash (2008) serta berkualitas, memerlukan keahlian advokasi, tidak harus
Thomson dan Perry (2006), Emerson (2013) melihat pada semua individu, namun sebagian saja sudah
dinamika proses kolaborasi sebagai siklus interaksi cukup. Advokasi ini bersifat internal, artinya untuk
yang oriteratif. Emerson fokus pada tiga komponen mengarahkan kolaborasi, serta aktor agat tetap berjalan
interaksi dari dinamika kolaborasi. Komponen tersebut pada tujuan kolaborasi, menghasilkan resolusi konflik
antara lain : Penggerakan prinsip bersama (Principled secara strategis dan efektif.
engagement), motivasi bersama (shared motivation)
dan kapasitas untuk melakukan tindakan bersama Beberapa hal analisis deliberasi di atas, secara
(capacity for joint action). implisit berusaha untuk mendapat jawaban mengenai
keberanian para aktor untuk bertindak leluasa dalam
1.Penggerakan prinsip bersama (Principled kolaborasi, ada atau tidaknya tekanan dari pihak
engagement) pemerintah sehingga membatasi tindakan kolaborasi,
atau ada paksaan harus berbuat demikian. Adanya
Penggerakan prinsip bersama merupakan hal proses demokrasi delibratif, sehingga mampu membuat
yang terjadi terus-menerus dalam kolaborasi. Beberapa kolaborasi menjadi wadah untuk mengembangkan
hal seperti dialog tatap-muka, atau melalui perantara inovasi dan kreasi, baik dalam memunculkan ide,
teknologi adalah cara untuk mengerakkan prinsip maupun dalam menghadapi praktek kegiatan
bersama. Di dalam komponen ini terdapat penegasan kolaborasi di lapangan, yaitu apabila ditemukan
kembali tujuan bersama, pembentukan dan permasalahan tak terduga, maka setiap aktor tidak takut
pengembangan prinsip-prinsip bersama, yang sering akan bertindak kreatif, karena tidak ada tekanan untuk
diungkap dalam berbagai perspektif aktor yang terlibat. harus bertindak sesuai yang diperintahkan.
Oleh karena itu, penyatuan prinsip merupakan inti dari
hal ini (Emerson, Nabatchi, & Balogh, 2012:10). 3) Determinasi (determintaions).

Karakteristik masing-masing aktor, merupakan Merupakan serangkaian determinasi, yaitu


elemen kunci yang mempengaruhi seberapa baik tindakan penetapan akan maksud tujuan yang
prinsip bersama berjalan. Langkah awal kritis adalah diinginkan, yang dibedakan menjadi primer dan
bagaimana pemerintah memilih aktor yang akan substantif.
terlibat dalam kolaborasi. Selanjutnya, setelah
kolaborasi berkembang, penambahan aktor pun a. Determinasi primer: beberapa keputusan
dimungkinkan. Kemudian barulah kegiatan prosedural (misalnya: agenda setting kolaborasi,
penggerakan prinsip bersama terwujud, yang dapat menjadwalkan diskusi, membentuk kelompok
dijelaskan dalam tiga elemen berikut: kerja).
b. Determinasi substantif: hasil produk kolaborasi
1) Pengungkapan (discovery). (misalnya: pencapaian kesepakatan bersama,
rekomendasi final tindakan kolaborasi).
Mengungkap kepentingan masing-masing aktor,
nilai-nilai aktor, serta upaya konstruksi kepentingan Dalam kolaborasi yang sedang berlangsung,
bersama. Pengungkapan baik pada aktor kolaborasi, lebih banyak determinasi subsantif yang dibuat secara
dan individu di dalamnya, dapat dianalisis dari terus-menerus, karena sifatnya lebih dibutuhkan.
kepentingan aktor tersebut bergabung di dalam Sedangkan melihat dari praktisnya, determinisai dapat
kolaborasi. Analisis kemudian melihat dari seberapa diwujudkan melalui pembentukan konsensus sebagai
besar dampak dan implikasi yang ditimbulkan, yaitu metode fundamental dalam pembentukan determinasi
apakah terjadi perbedaan-perbedaan kepentingan bersama. Kesimpulannya, penggerakan prinsip
sehingga mempengaruhi proses berkolaborasi. Namun, bersama dibentuk dan dipertahankan keberadaannya
Emerson, Nabatchi, & Balogh (2012:12) menekankan oleh proses interaktif dari pengungkapan, deliberasi,

7
dan determinasi. Efektivitas penggerakan prinsip semua stakeholders menyetujui tujuan-tujuan dan nilai-
bersama ditentukan oleh kualitas masing-masing dan nilai yang telah disepakati bersama. Sedangkan, mutual
proses interaktif dari tiga hal tersebut. understanding lebih ke arah pemahaman bersama yang
dimaksud untuk membuat sesama stakeholder saling
2. Motivasi bersama (shared motivation) mengerti dan menghargai posisi dan kepentingan
stakeholder lain bahkan ketika stakeholder tersebut
Motivasi bersama hampir sama dengan tidak sependapat. Pemahaman bersama menuju pada
dimensi proses kolaborasi yang diungkapkan oleh kualitas interaksi interpersonal individu dan organisasi.
Ansell dan Gash kecuali legitimasi. Motivasi bersama Pembentukan pemahaman bersama sering dipengaruhi
menekankan pada elemen interpersonal dan relasional oleh kepercayaan yang telah terbentuk di dalam
dari dinamika kolaborasi yang kadang disebut sebagai kolaborasi.
modal sosial. Komponen ini diinisiasi oleh
penggerakan prinsip bersama yang merupakan hasil 3) Legitimasi internal (internal legitimitation).
jangka menengah. Namun menurut Huxham dan
Vangen dalam Emerson, Nabatchi & Balogh (2012) Legitimasi internal merupakan pengakuan yang
motivasi bersama juga memperkuat dan meningkatkan berasal dari internal kolaborasi. Dalam hal ini aktor-
proses penggerakan prinsip bersama. Emerson, aktor dalam berkolaborasi dituntut untuk dapat
Nabatchi, & Balogh (2012:13) mengartikan motivasi dipercaya, dan kredibel terhadap kepentingan bersama.
bersama sebagai siklus penguatan diri yang terdiri dari Aktor-aktor kolaborasi harus menyadari bahwa ada
empat elemen saling menguntungkan diantaranya : rasa ketergantungan antar aktor yang akan menciptakan
kepercayaa bersama, pemahaman bersama, legitimasi kolaborasi yang berkelanjutan. Legitimasi internal,
internal, dan komitmen. Penjelasannya sebagai berikut: pemahaman bersama, dan kepercayaan bersama
merupakan tiga elemen yang saling terkait erat satu
1) Kepercayaan bersama (mutual trust). sama lain dalam komponen motivasi bersama,
sehingga untuk elemen selanjutnya, yaitu komitmen
Unsur pertama dari motivasi bersama adalah juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kualitas tiga
pengembangan kepercayaan bersama. Menurut Fisher elemen ini.
dan Brown dalam Emerson, Nabatchi & Balogh (2012)
kepercayaan bersama akan berkembang seiring dengan 4) Komitmen (commitment).
keterlibatan pihak-pihak pada saat melakukan
kolaborasi, mengenal satu sama lain dan saling Adanya komitmen pada proses kolaborasi
membuktikan bahwa diri mereka dapat dipercaya, mampu menghilangkan penghambat yang seringkali
bertanggung jawab dan dapat diandalkan. Kepercayaan muncul karena perbedaan karakteristik dan
merupakan bagian penting dan mutlak dalam kemajuan kepentingan antar aktor. Komitmen membuat para
kolaborasi. Sebagai contoh, dalam sebuah kerjasama, aktor berinteraksi lintas organisasi sehingga terbentuk
kepercayaan sangat berperan penting dalam komitmen bersama. Analisis kualitas pembentukan
mengurangi biaya transaksi, meningkatkan nilai komtimen pada setiap aktor kolaborasi, dapat melihat
investasi dan menjaga stabilitas dalam hubungan serta dari tujuan bergabung di dalam kolaborasi, yaitu
merangsang pembelajaran bersama, pertukaran apakah ada kepentingan bersama yang telah bertemu,
pengetahuan dan inovasi (Koppenjan dan Klijn dalam sehingga mempengaruhi keaktifkan daripada aktor
Emerson, Nabatchi & Balogh, 2012). Dalam hal ini tersebut untuk berpartisipasi di dalam kolaborasi.
kepercayaan dikonseptualisasikan sebagai mekanisme Selain itu, adanya sikap optimis akan tercapainya
yang akan menghasilkan rasa saling mengerti antar tujuan kolaborasi, dan semangat untuk melakukan
stakeholder yang pada akhirnya akan melahirkan kegiatan kolaborasi dengan aktor lain juga membentuk
legitimasi bersama dan bermuara pada adanya komitmen. Adanya hasil baik sementara dari
komitmen bersama. Kepercayaan memungkinkan kolaborasi atau “small-wins” dan insentif yang baik
individu atau kelompok untuk mengesampingkan juga seringkali mempengaruhi perubahan komitmen
urusan individu atau kelompok mereka demi aktor kolaborasi.
memahami kepentingan, kebutuhan, nilai dan tujuan
bersama. Kesimpulannya, adanya interaksi yang
berkualitas membentuk kepercayaan bersama dan
2) Pemahaman bersama (mutual pengertian bersama, sehingga tercipta pengakuan
understanding). legitimasi internal, yang mempengaruhi komitmen
bersama. Keempat hal tersebut berkembang dan saling
Pemahaman bersama melahirkan kepercayaan mempengaruhi, sehingga menciptakan motivasi
yang dapat membuat stakeholder mengapresiasi bersama tetap berlangsung.
perbedaan yang ada dari stakeholder lain. “Mutual
understanding” tidak sama dengan kata “shared 3.Kapasitas untuk melakukan tindakan bersama
understanding” yang dikemukakan oleh Ansell dan (capacity for joint action)
Gash. Shared understanding adalah kondisi dimana

8
Tujuan kolaborasi adalah untuk menghasilkan dalam inisiatif berkolaborasi), serta inter-organisasi
outcome yang diinginkan bersama yang tidak dapat (bagaimana grup kolaborasi memanajemen proses,
dicapai secar individu atau oleh satu aktor saja. Hal ini serta bagaimana kolaborasi berintegrasi dengan
dikarenakan, kolaborasi melibatkan aktivitas kooperatif pembuat keputusan dari pihak luar).
untuk meningkatkan kapasitas diri dan orang lain
dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, Stuktur kolaborasi yang baik adalah fleksibel
CGR harus menghasilkan kapasitas baru bagi masing- dan tidak hirarki. Stuktur bersifat jejaring, dengan
masing aktor untuk bertindak bersama yang dilakukan variasi yang berbeda, biasanya pilihan umum yang
dalam kurun waktu tertentu. Seringkali beberapa aktor digunakan adalah “self-managing system” dengan
kolaborasi tidak punya kapasitas untuk bertindak kepemimpinan dari aktor pemerintah, atau membuat
bersama, karena adanya perbedaan dan ketimpangan struktur yang benar-benar baru.Walaupun kolaborasi
kekuatan. Oleh karena itu, definisi dari kapasitas berbentuk fleksibel dan tidak hirarki, namun peraturan
adalah “a collection of cross-functional elements that masih merupakan hal penting yang dibutuhkan.
come together to create the potential for taking efective
action” atau berbagai hasil dari elemen-elemen lintas 2) Kepemimpinan (leadership)
fungsional untuk menghasilkan tindakan yang efektif,
karena adanya kapasitas yang memadai dari aktor Kepemimpinan memegang peranan penting
(Emerson, Nabatchi dan Balogh, 2012). Dalam hal ini, yang mutlak dalam kolaborasi. Berbagai peran
kapasitas untuk melakukan tindakan bersama pemimpin selama proses kolaborasi adalah (1) sebagai
dikonseptualisasikan dalam kerangka yang merupakan pihak yang menggali dukungan untuk kolaborasi, (2)
kombinasi dari empat elemen penting diantaranya : penginisiasi pertemuan, (3) fasilitator dan mediator, (4)
prosedur dan kesepakatan institusi, kepeimpinan, representasi dari aktor, dan kolaborasi secara
pengetahuan dan sumber daya. Elemen-elemen tersebut keseluruhan, (5) pendistributor pengetahuan, (6)
harus memadai dalam mencapai tujuan yang telah mendorong penggunaan teknologi dalam kolaborasi,
disepakati. Kapasitas untuk melakukan tindakan serta (7) melakukan advokasi pada publik. Peran
bersama seringkali dipandang sebagai hasil dari pemimpin lain yang utama adalah bagaimana
interaksi penggerakan prinsip bersama dan motivasi tindakannya saat mendorong deliberasi atau mengatasi
bersama. Namun perkembangan kapasitas untuk konflik, dan bagaimana meningkatkan determinasi para
melakukan tindakan bersama juga dapat memperkuat aktor terhadap tujuan kolaborasi (dilakukan selama
motivasi bersama dan penggerakan prinsip bersama proses kolaborasi berlangsung).
yang memastikan tindakan dan dampak kolaborasi
Seringkali pemimpin kolaborasi tidak mampu
yang lebih efektif. Selanjutnya, elemen-elemen
menjalankan perannya dengan baik, karena
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
ketidaktahuan akan skills yang harus mereka kuasai,
1) Prosedur dan kesepakatan insitusi atau bahkan mereka tidak mengetahui bahwa
(procedural and insitutional arrangements) kepemimpinan yang dibutuhkan dalam kolaborasi
berbeda dengan kepemimpinan pada organisasi secara
Berbagai prosedur dan protokol, serta struktur umum.
kolaborasi dibutuhkan dalam manajemen interaksi
antar aktor. Sedangkan dimensi-dimensi dari 3) Pengetahuan (knowledge)
kesepakatan bersama adalah aturan-aturan umum
Merupakan mata uang atau dari kolaborasi.
(ground rules), protokol-protokol dalam kegiatan
Pengetahuan adalah apa saja yang dibutuhkan dan
(operating protocol), peraturan untuk membuat
berusaha untuk disediakan. Menurut Groff & Jones
keputusan (decision rules), dan sebagainya yang
(dalam Emerson, Nabatchi, & Balogh, 2012:16)
mungkin dapat terbentuk. Seringkali kesepakatan yang
menjelasakan pengetahuan sebagai:
ada dalam kolaborasi awalnya adalah informal, namun
seiring berjalannya waktu, maka dibutuhkan Knowledge is information combined with
formalitas, seperti adanya pembentukan perundangan understanding and capability: it lives in the minds of
atau legalformal yang menjadi payung hukum people…Knowledge guides action, shereas information
berkolaborasi. and data can merely inform or confuse (Groff & Jones
dalam Emerson, Nabatchi, & Balogh,2012:16)
Untuk kolaborasi yang lebih besar, lebih
kompleks, dan berdurasi panjang, maka stuktur insitusi Pengetahuan adalah kombinasi dari informasi
kolaborasi harus jelas, dan protokol-protokol untuk dengan memahami informasi itu dan menambah
administrasi serta manajemen kegiatan kolaborasi kapabilitas. Pengetahuan membawa pada tindakan,
diperlukan (Milward dan Provan dalam Emerson, namun pengetahuan juga dapat menginformasi atau
Nabatchi dan Balogh 2012). Sedangkan kesepakatan membingungkan. Yang lebih penting adalah
institusi (institutional arrangements), terdapat pada bagaimana mendistribusikan pengetahuan dan para
intra-organisasi (bagaimana aktor melakukan aktor memanfaatkannya, sehingga berguna bagi proses
governing dan memanajemen organisasinya sendiri kolaborasi.

9
4) Sumber daya (resources) (Thomas dan Koontz dalam Emerson, 2012). Menurut
Innes dan Booher dalam Emerson (2012) tindakan-
Adanya pertukaran maupun penggabungan tindakan kolaborasi merupakan hasil utama dari proses
sumber daya merupakan salah satu keuntungan kolaborasi linier yang terkadang dikaitkan dengan
kolaborasi. Sumber daya adalah pendanaan finansial, dampak. Hal ini dikarenakan pada dasarnya proses dan
pembagian waktu dan peran, dukungan teknis dan hasil tidak dapat dipisahkan dari dampak itu sendiri.
administratif pelaksaan kegiatan, saling melakukan
pendampingan, kebutuhan keahlian analisis kolaborasi, Tindakan kolaborasi yang efektif harus
dan implementor di lapangan, serta kebutuhan ahli. diungkapkan secara tersirat dengan perumusan tujuan
Dalam kolaborasi selalu terjadi perbedaan besar yang jelas (Donahue, 2004). Hal ini dikarenakan akan
sumber daya antar aktor (resource disparities). sulit melakukan tindakan kolaborasi jika tujuan yang
Pengukuran efektivitas sumber daya dilihat dari ingin dicapai dari kolaborasi itu sendiri tidak dibuat
bagaimana kemampuan unsur-unsur kolaborasi secara eksplisit. Tindakan-tindakan kolaborasi pada
(pemimpin, aktor, dan individu) melakukan prakteknya sangat beragam seperti pemberdayaan
manajemen sumber daya berdasarkan perbedaan masyarakat, penetapan proses perijinan, pengumpulan
tersebut. Dalam prakteknya sangat rumit dan tidak sumber daya, monitoring sistem/ praktik manajemen
mudah, karena dipengaruhi oleh elemen lain, yaitu baru, dan lain sebagainya. Kemudian, hasil daripada
adanya prosedur dan kesepakatan institusi yang dibuat tindakan ini secara lansung membawa dampak
apakah mewadahi hal tersebut, bagaimana peran sementara yang mengarah kembali pada dinamika
pemimpin dan distribusi pengetahuan yang ada kolaborasi, dan dampak jangka panjang. Menurut
mendorong pertukaran sumber daya dan apakah Huxam dalam Emerson (2012), beberapa tindakan
kolaborasi membentuk mekanisme manajemen sumber kolaborasi memiliki tujuan sangat luas seperti
daya tersebut. penentuan langkah strategis dalam isu/bidang
kebijakan kesehatan. Namun banyak pula tindakan
Pada dasarnya, kapasitas untuk melakukan kolaborasi yang memiliki tujuan sempit seperti proyek
tindakan bersama merupakan hal krusial dan pengumpulan dan analisis informasi spesifik. Tindakan
merupakan tantangan utama kolaborasi, karena selalu kolaboratif ada yang dapat dilakukan secara sekaligus
terdapat perbedaan karakteristik dan kekuatan antar oleh seluruh stakeholders ada pula yang hanya bisa
aktor. Kejelasan prosedur dan kesepakatan bersama dilakukan oleh stakeholder tertentu sesuai dengan
yang dituangkan dalam bentuk legal-formal, pengaruh kapasitas masing-masing stakeholder.
kepemimpinan, manajemen pengetahuan, serta
manajemen sumber daya merupakan elemen-elemen Dampak dan Adaptasi Hasil Tindakan pada Dinamika
yang mempengaruhi baik tidaknya kapasitas dari para Kolaborasi (Impacts and Adaptation for Collaboration
aktor, sehingga menjadi mampu melakukan tindakan Dynamics)
bersama. Namun, melihat penjelasan pada masing-
masing elemen, terdapat pengaruh yang muncul dari Dampak dalam CGR yang dimaksud adalah
komponen sebelumnya, yaitu penggerakan prinsip dampak sementara yang ditimbulkan selama proses
bersama, dan motivasi bersama. kolaborasi. Karakteristik dampak ada yang diharapkan,
yang tidak diharapkan, serta tidak terduga. Dampak
Kesimpulan akhir dari dinamika kolaborasi ini yang diharapkan adalah “small-wins” yaitu hasil-hasil
adalah baik tidaknya dinamika ditentukan oleh tiga positif yang terus memberlangsungkan semangat para
komponen, yaitu penggerakan prinsip bersama, aktor. Sedangkan dampak yang tidak diharapkan
motivasi bersama, dan kapasitas untuk melakukan seperti kendala-kendala dalam pelaksanaan kolaborasi.
tindakan bersama, yang di dalamnya terdapat berbagai Dampak tidak terduga juga dapat muncul secara
elemen. Dinamika yang ada berbentuk siklus, dimana langsung maupun tidak pada proses kolaborasi.
masing-masing komponen saling mempengaruhi
(begitu juga elemen-elemennya, dan tidak dipungkiri Berbagai dampak tersebut menghasilkan
bahwa elemen tersebut dapat mempengaruhi elemen umpan balik atau feedbacks, yang kemudian di
lintas-komponen). adaptasi oleh kolaborasi. Adaptasi yang dimaksud
adalah bagaimana kolaborasi menyikapi feedback dari
Tindakan-tindakan dalam Kolaborasi (Actions) masing-masing aktor yang ada. Adaptasi yang baik
adalah yang sekiranya dapat dilakukan oleh seluruh
Tindakan kolaborasi dilatarbelakangi oleh aktor kolaborasi, artinya tidak ada pengaruh
pemikiran mengenai sulit tercapainya tujuan jika hanya kepentingan organisasi di atas kolaborasi, sehingga
satu kelompok atau organisasi yang bertindak sendiri menyebabkan terjadinya usaha mengambil mafaat
(Agranoff & Mc Guire, 2003). Tindakan-tindakan kolaborasi secara lebih untuk kepentingan organisasi
dalam kolaborasi merupakan inti dari kerangka sendiri. Adaptasi harus berdasarkan apa yang menjadi
Collaborative Governance. Namun banyak peneliti kebutuhan utama untuk dirubah di dalam kolaborasi,
yang kurang mengkaji dan memperhatikan lebih sehingga dari hal tersebut dapat menjaga kemajuan
mendalam mengenai tindakan-tindakan kolaborasi

10
kolaborasi, dan hal ini dipengaruhi oleh keterbukaan perhatian, serta dapat mempengaruhi dan dipengaruhi
dari kolaborasi itu sendiri. oleh kegiatan, kebijakan, dan tujuan organisasi.

Stakeholders KESIMPULAN

Konsep stakeholder pertama kali dikenalkan 1. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, dapat
oleh Stanford Research Institute pada tahun 1963 yang disimpulkan bahwa proses kolaborasi antar
mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok- stakeholders dalam pengembangan kawasan
kelompok yang tidak akan ada tanpa dukungan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo sudah
organisasi (Friedman & Miles, 2006). Awal munculnya memenuhi komponen koaborasi Kirk Emerson.
konsep ini adalah untuk mengklasifikasikan dan Proses kolaborasi dimulai dari pengerakan prinsip
mengevaluasi konsep kinerja perusahaan (Caroll, bersama, motivasi bersama dan pembentukan
1991). Lebih lanjut, Freeman berpendapat bahawa kapasitas bersama. Setelah tiga hal itu terbentuk
pemahaman hubungan antara kelompok dan individu dilanjutkan dengan melaksanakan tindakan
yang mempengaruhi atau terpengaruhi oleh organisasi kolaborasi yang memberikan dampak sementara.
adalah sarana analisis efektivitas organisasi dalam a. Penggerakan prinsip bersama
mencapai tujuan. Konsep ini telah diperdebatkan dalam Dari komponen penggerakan bersama yang
literatur fungsi-fungsi manajemen strategis, seperti terdiri dari tujuan bersama dan pengambilan
perencanaan perusahaan, kinerja, teori sistem dan keputusan, terdapat kepentingan yang
tanggung jawab sosial perusahaan. berbeda-beda namun semua stakeholders
memiliki tujuan yang sama, yakni
Stakeholder adalah individu, kelompok peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan
organisasi baik laki-laki atau perempuan yang memiliki masyarakat. Selain itu, pengambilan
kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (positive atau keputusan dilakukan melalui proses diskusi
negative) oleh suatu kegiatan program pembangunan” yang dihadiri oleh semua stakeholders sebagai
Hertifah (2003, h.29). Hal serupa juga dikemukakan pertimbangan pengambil keputusan sesuai
oleh Scheemer (2000) yang menyebutkan dengan asas demokrasi.
“Stakeholders in a process are actors persons, groups b. Motivasi bersama
or organizations with a vested interest in the policy Dari komponen motivasi bersama yang terdiri
being promoted”. Sedangkan Gonsalves et al. yang kepercayaan, komitmen, legitimasi dan
dikutip oleh Iqbal (2007, h.90) mendeskripsikan pemahaman bersama sudah terbentuk dengan
stakeholder sebagai siapa yang memberikan dampak baik. Kepercayaan antar aktor sudah
dan/atau yang terkena oleh dampak dari suatu program, terbentuk, pengakuan antar aktor juga telah
kebijakan, dan/atau pembangunan. Mereka bisa terbentuk. Hal tersebut melahirkan
sebagai individu, komunitas, kelompok sosial, atau pemahaman bersama yang membuat
suatu lembaga yang terdapat dalam setiap tingkat komitmen antar stakeholder menjadi semakin
golongan masyarakat. kuat.
c. Kapasitas dalam melakukan Tindakan
Konsep stakeholder mengakui bahwa dalam Kolaborasi
organisasi apapun, ada berbagai individu dan Dari komponen kapasitas dalam melakukan
kelompok yang mendukung dan mempengaruhi tindakan kolaborasi yang terdiri dari prosedur
organisasi. Stakeholder merupakan kelompok atau dan kesepakatan bersama, kepemimpinan,
individu yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi pengetahuan dan sumber daya sudah
oleh pencapaian tujuan organisasi (Freeman, 1984: 25). terpenuhi.
Definisi ini lebih seimbang dan lebih luas daripada d. Tindakan-tindakan Kolaborasi
Stanford Reseach Institute. Fase simetris, “dapat Tindakan-tindakan dalam kolaborasi tersebut
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh” berarti bahwa sudah sesuai dengan kapasitas masing-masing
terdapat individu atau kelompok yang menganggap stakeholder. Tindakan yang dilakukan oleh
dirinya sebagai stakeholder dari sebuah organisasi, pemerintah adalah memfasilitasi dan
tanpa mempertimbangkan mereka untuk menjadi mengedukasi serta mendampingi. Sedangkan
pemangku kepentingan. Selain itu, banyak kelompok dari stakeholder swasta melakukan pelatihan
yang dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi, dan koordinasi terkait fasilitas pengembangan
tetapi dukungan mereka tidak dianggap atau diperlukan Kawasan Minapolitan. Sementara dari pihak
untuk terus ada. masyarakat dan kelompok usaha bersama
melaksanakan pengembangan Kawasan
Berdasarkan pemaparan para ahli tentang Minapolitan melalui usaha peningkatan
definisi stakeholder di atas, peneliti menyimpulkan produktivitas perikanan dan kelautan sesuai
bahwa stakeholder merupakan individu dan/atau dengan arahan pemerintah.
kelompok yang memiliki keterkaitan dengan isu dan e. Dampak sementara dan adaptasi tindakan
permasalahan yang menajdi fokus kajian atau kolaborasi

11
Terdapat dampak sementara yang mampu sebaiknya diperlukan perencanaan untuk
diadaptasi dari tindakan kolaborasi terkait menetapkan standar atau indikator keberhasilan
pengembangan Kawasan Minapolitan. program dan indikator kinerja utama pada masing-
Dampak sementara lebih kearah kelompok masing instansi yang terlibat (SKPD dan Kelompok
sasaran yakni peningkatan pengetahuan dan Usaha) dalam pelaksanaan program di dalam
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan bagi struktur kelompok kerja tersebut. Hal tersebut
pihak swasta yang ikut bergabung dapat untuk memudahakn melakukan evaluasi pada
menambah relasi dalam pengembangan usaha. masing-masing instansi sehingga hasil kinerja
2. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, dapat seluruh instansi yang terlibat dapat diukur
disimpulkan bahwa hambatan-hambatan dalam keberhasilannya.
kolaborasi terkait pengembangan Kawasan
Minapolitan antara lain :
a. Kelompok usaha kesusahan dalam membuat Daftar Pustaka
kelompoknya menjadi berbadan hukum / legal
sehingga dapat bergabung dalam kolaborasi Ansell, Christopher, 2014, Pragmatist Democracy:
dan mendapatkan bantuan Evolutionary Learning as Public Philosophy,
b. Pemerintah kurang memfasilitasi dalam hal New York: Oxford University Press, Inc.
pemasaran
c. Kontinuitas kolaborasi masih sangat kurang Ansell, Chris, & Alison Gash, 2007, Collaborative
d. Pihak swasta kurang diikutsertakan dalam Governance in Theory and Practice, Journal of
seluruh kegiatan pengembangan Kawasan Public Administration Research and Theory,
Minapolitan hingga terjadi sedikit Vol.18 No.4, Hlm. 543-571
permasalahan karena kurangnya komunikasi
Agranoff, Robert & Michael McGuire, 2003,
Saran Collaborative Public Management : New
Strategies for Local Governments, Washington,
Berdasarkan hasil penelitian mengenai D.C.: Georgetown University Press
kolaborasi antar-stakeholder dalam pengembangan
Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo dapat Donahue, John D. & Richard J. Zeckhauser, 2011,
diajukan beberapa saran sebagai berikut : Collaborative Governance: provate roles for
public goals in turbulent times, New Jersey:
1. Pemerintah Kabupaten Sidaoarjo melaui Dinas Princenton University Press.
Kelautan dan Perikanan hendaknya tidak hanya
mendorong dalam peningkatan produktivitas hasil Fendt, Thomas Christian, 2010, Introducting
perikanan dan kelautan saja, melainkan juga Electronic Suplly Chain Collaboration in
memberikan alternative pemasaran atau melatih China: Evidence from Manufacturing
masyarakat bagaimana cara memasarkan produk Industries. Berlin : Universitatsverlag der
yang dihasilkan. Technischen Universitat Berlin.
2. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui Dinas
Kelautan dan Perikanan seharusnya menambah [FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. FAO
stakeholder yang terlibat dalam kolaborasi Data-bases and Data-sets.
khususnya stakeholder yang dapat mendistribusikan http://www.fao.org/3/a-i5555e.pdf. Diakses
hasil produk masyarakat. Hal ini dikarenakan pada 17 Maret 2017.
masyarakat mengalami kesulitan dalam
memasarkan produknya hingga terjadi kerugian Harley, James & Blismas, Nick, 2010, An Anatomy of
karena aktivitas ekonomi utama berupa usaha Collaboratuon Within the Online Environment,
perikanan, dari hulu sampai hilir. Dalam Anandarajan, Murugan (ed), e-Research
3. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo perlu melakukan Collaboration : Theory, Techniques and
singkronisasi antar stakeholders mengenai Challengers, Hlm.15-32, Heidelberg: Springer
pengembangan kawasan minapolitan, agar sesuai International Publishing.
Master Plan Pembangunan Ekonomi Kabupaten
Sidoarjo. Hetifah, S.J Sumarto, 2003, Inovasi, Partisipasi dan
4. Kepada seluruh stakeholders yang terlibat Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan
hendaknya memperkuat komitmen dengan Partisipatif Di Indonesia. Jakarta, Yayasan
menciptakan desain program secara bersama Obor Indonesia.
(pembentukan kelompok kerja berdasarkan adanya
program bersama yang terbentuk) dan upaya Holzer, Marc, et al. (2012). An Analysis of
memobilisasi kepentingan setiap stakeholders. Collaborative Governance Models the Context
5. Setelah struktur kelompok kerja (berdasarkan of Shared Services. Dalam Lauer Schachter,
adanya program bersama) telah terbentuk, Hindy Kaifeng, Yang (Ed). The State of Citizen

12
Participation in America. (PP. 349-386).
Charlotte: Information Age Publishing.

Emerson, Kirk., Tina Nabatchi & Stephen Balogh


(2012) „Integrative Framework for
Collabborative Governance’, Journal of
Administration Reasearch and Theory, Vol. 22
no. 1, hal. 1-29.

Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor:


188/297/404.1.3.2/2016 tentang Kelompok
Kerja Penyusunan Master Plan Pembangunan
Ekonomi Daerah (Penataan Kawasan
Minapolitan) Kabupaten Sidoarjo.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016, Laporan


Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan
Tahun 2015, Jakarta: KKP RI

Raharja, Sam‟un Jaja, 2008, Model kolaborasi dalam


pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum,
Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi
Publik, Depok: Universitas Indonesia

Wanna, John, 2008, Collaborative Government:


meanings, dimensions, drivers and outcomes,
dalam O‟Flynn, Jannie & Wanna, John.
Collaborative governance: a new era of public
policy in Australia?, Canberra: Australian
National University E Press

13

You might also like