You are on page 1of 37

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing : Dian Hudiyawati, M. Kep

Disusun oleh :

Tiyas Priyanti (J210170043)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
FRAKTUR

A. Definisi
Fraktur adalah gangguan komplet atau tak komplet pada kontiunitas
struktur tulangdan didefinisikan sesuai dengan jenis dan keluasannya (Burner
& Suddart, 2013: 250)
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang.
Jika teradi fraktur maka jaringan lemak disekitarnya juga sering kali
terganggu, radiografi (Sinar-X) dapat menunjukkan kebaradaan cedera tulang
tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligament yang robek, syaraf yang
putus atau pembuluh darah yang pecah yang dapat menjadi komplikasi dari
pemulihan kesehatan klien. (Black Joyce M, 2013: 643)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer,
2014).
B. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan
cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang).
b) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
b) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade
yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma
:
a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang..
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a) Tidak adanya dislokasi.
b) Adanya dislokasi
1) At axim : membentuk sudut.
2) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3) At longitudinal : berjauhan memanjang.
4) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
8. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a) 1/3 proksimal
b) 1/3 medial
c) 1/3 distal
9. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
10. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak
langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang
di sebabkan oleh kendaraan bermotor. Penyebab patah tulang paling sering di
sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau
tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
Menurut Carpenito (2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.

Menurut (Doenges, 2013:627) adapun penyebab fraktur antara lain:

1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik).
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur menurut Brunner & Suddarth (2013) adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus,
pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran
fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui
dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
E. Patofisiologi
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat
terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan
kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya
pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang
bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang telah dihubungkan, tetap
pada tempatnya sampai sembuh. (Sylvia, 2006 :1183).
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan.
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai
contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena
ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah
peningkatan detah jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung,
pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan
pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan
mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu
peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga
dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin,
bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin
lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan permeabilitas
pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme
kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan
cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik. Cara yng paling
efektif untuk memulihkan krdiak pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan
oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang sangat
diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada
keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme
anaerobik, mengakibatkan pembentukan asam laknat dan berkembangnya
asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat
untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphat) tidak memadai, maka
membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan gradientnya
elektrik normal hilang. Pembengkakan reticulum endoplasmic merupakan
tanda ultra struktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama
lagi akan cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang
mencernakan struktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah
pembengkakan sel . juga terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bila
proses ini berjalan terus, terjadilah cedera seluler yang progresif,
penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini memperberat
dampak kehilangan darah dan hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah
dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas
astoeblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dapat berakibat anoreksia jaringan yang mengakibatkan rusaknya
serabut saraf meupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
kompartemen (Brunner & Suddarth, 2005).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan
diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi terbuka
dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan
pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan
lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan
terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan
Wilson, 2006).
F. WOC/Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Tekanan sumsum tulang


Pergeseran fragmen tulang Spasme otot
lebih tinggi dari kapiler

Deformitas Peningkatan tekanan kapiler


Melepaskan katekolamin

Gangguan fungsi Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak


ekstremitas
Protein plasma hilang Bergabung dengan
Hambatan mobilitas Fisik trombosit
Edema
Emboli
Penekanan pembuluh darah
Menyumbat pembuluh
darah

Ketidakefektifan perfusi
Putus vena / arteri Kerusakan integritas kulit jaringan perifer

Perdarahan Resiko infeksi

Kehilangan volume cairan

Resiko syok (hipovolemik)


G. Komplikasi

1. Komplikasi Awal
a) Kerusakan arteri. Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai
dengan tidak adanya nadi, CRT (Capillary refill Time) menurun,
sianosis pada bagian distal, hematoma melebar, dan dingin pada
ekstremitas disebabkan darurat splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.
b) Sindrome kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah pada
jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah atau karena tekanan dari luar
seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c) Fat embolism syndrome (FES) adalah komplikasi serus pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan kadar oksigen dalam darah menjadi rendah. Hal
tersebut ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardia, hipertensi,
takipnea dan demam.
d) Infeksi. Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma ortopedi, infeksi dimulai pada kulit (superficial)
dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus frakur
terbuka, tetapi dapat juga karena menggunakan bahan lain dalam
pembedahan, seperti pin (ORIF & OREF) dan plat.
e) Nekrosis avaskular terjadi karena aliran darah rusak atau terganggu
sehingga menyebabkan nekrosis tulang.
f) Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan oksigen menurun.
g) Osteomyelitis merupakan infeksi dari jaringan tulang yang
mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa exogenous
(infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang
berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur
terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur
tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka
amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom
kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang
lebih besar
2. Komplikasi Lama
a) Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsulidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini
terjadi karena suplai darah ke tulang menurun. Delayed union adalah
fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu tiga bulan untuk
anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak bawah.
b) Non-union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-5 bulan dan
tidak dapat konsolidasi sehingga terdapat pseudoartosis (sendi palsu).
Pseudoartosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga terjadi
bersama-sama infeksi yang disebut infected pseudoartosis.
Beberapa jenis non-union terjadi menurut keadaan ujung-ujung
fragmen tulang sebagai berikut.
hipert
c) Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya,
tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus,
pemendekan, atau union secara menyilang misal nya pada fraktur
tibia-fibula. Etiologi Mal-union adalah fraktur tanpa pengobatan,
pengobatan yang tidak adekuat, reduksi dan imobilisasi yang tidak
baik, pengambilan keputusan serta teknik yang salah pada awal
pengobatan, osifikasi prematur pada lempeng epifisis karena adanya
trauma.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik fraktur yaitu:
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi dan luasnya fraktur
2. Scan tulang, tonogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
4. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
taruma multiple).
5. Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk kliren ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple atau cedera hari.
I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis

a. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi)


Proteksi fraktur terutama untik mencegah trauma lebih lanjut dengan
cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat
pada anggota gerak bawah. Tindakan ini terutama diindikasikan pada
fraktur-fraktur tidak bergeser, fraktur iga yang stabil, falang dan
metakarpal, atau fraktur klavikula pada anak. Indikasi lain yaitu
fraktur kompresi tulang belakang, fraktur impaksi pada humerus
proksimal, serta fraktur yang sudah mengalami union secara klinis,
tetapi belum mencapai konsolidasi radiologis.
b. Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis.
1) Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang ke posisi nya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual. Alat yang digunakan biasanya traksi, bidai dan alat
yang lainnya.

a) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah


sekeliling tulang
b) Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang
yang patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh
sesuai dengan bentuk tubuh.
Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
1. Immobilisasi dan penyangga fraktur
2. Istirahatkan dan stabilisasi
3. Koreksi deformitas
4. Mengurangi aktifitas
5. Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pemasangan gips adalah :

1. Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan


2. Gips patah tidak bisa digunakan
3. Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat
membahayakan klien
4. Jangan merusak / menekan gips
5. Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam
gips / menggaruk
6. Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh
terlalu lama

c) Penarikan (traksi)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban
dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan
disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris
dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode
pemasangan traksi antara lain :
1. Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi
fraktur, dan pada keadaan emergency
2. Traksi mekanik, ada 2 macam :
- Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk
sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
- Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa
yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan
kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan
metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :

1. Mengurangi nyeri akibat spasme otot


2. Memperbaiki & mencegah deformitas
3. Immobilisasi
4. Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri
tulang sendi)
5. Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :

1. Tali utama dipasang di pin rangka sehingga


menimbulkan gaya tarik
2. Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus
seimbang dengan pemberat agar reduksi dapat
dipertahankan
3. Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi
lapisan khusus
4. Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
5. Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai

2) Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi


internal/ORIF (Open Reducion Internal Fixation) atau fiksasi
eksternal/OREF (Open Reducion eksternal Fixation).
a) ORIF (Open Reducion Internal Fixation)
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah sebuah
prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada
operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang
diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal
mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk
mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan.
(Brunner&Suddart, 2003)
Ada beberapa tujuan dilakukannya ORIF (Open Reduction
Internal Fixation), antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan
dan stabilitas.
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang
minimal dan dalam lingkup keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada
ekstremitas yang terkena
5. Tidak ada kerusakan kulit
(T.M.Marrelli, 2007)
Indikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
meliputi :
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang
apabila ditangani dengan metode terapi lain, terbukti
tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal,
dan fraktur intra-artikular disertai pergeseran.
3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan
signifikan pada struktur otot tendon.
Kontraindikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
meliputi :
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang
menghambat rekonstruksi.
(Barbara J. Gruendemann dan Billie Fernsebner,
2005)
Terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara
lain:
1. Pemasangan kawat antartuang
Biasanya digunakan untuk fraktur yang relatif stabil,
terlokalisasi dan tidak bergeser pada kranium. Kawat
kurang bermanfaat pada fraktur parah tak stabil
karena kemampuan tulang berputar mengelilingi
kawat, sehingga fiksasi yang dihasilkan kurang kuat.
2. Lag screw
Menghasilkan fiksasi dengan mengikatkan dua tulang
bertumpuk satu sama lain. Dibuat lubang-lubang
ditulang bagian dalam dan luar untuk menyamai garis
tengah luar dan dalam sekrup. Teknik yang
menggunakan lag screw kadang-kadag disebut
sebagai kompresi antarfragmen tulang. Karena
metode ini juga dapat menyebabkan rotasi tulang,
biasanya digunakan lebih dari satu sekrup untuk
menghasilkan fiksasi tulang yang adekuat. Lag screw
biasanya digunakan pada fraktur bagian tengan wajah
dan mandibula serta dapat digunakan bersama dengan
lempeng mini dan lempeng rekonstruktif
3. Lempeng mini dan sekrup
Digunakan terutama untuk cedera wajah bagian
tengah dan atas. Metode ini menghasilkan stabilitas
tiga dimensi yaitu tidak terjadi rotasi tulang. Lempeng
mini (miniplate) difiksasi diujung-ujungnya untuk
menstabilkan secara relatif segmen-segmen tulang
dengan sekrup mini dan segmen-segmen tulang
dijangkarkan kebagian tengah lempeng juga dengan
sekrup mini
4. Lempeng kompresi
Karena lebih kuat dari lempeng mini, maka lempeng
ini serring digunakan untuk fratur mandibula.
Lempeng ini menghasilkan kompresi di tempat
fraktur.
5. Lempeng konstruksi
Lempeng yang dirancang khusus dan dapat dilekuk
serta menyerupai bentuk mandibula. Lempeng ini
sering digunakan bersama dengan lempeng mini. Lag
screw dan lempeng kompresi.
(Barbara J. Gruendemann dan Billi Fernsebner,2005)

Keuntungan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


yaitu :

1. Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.


2. Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur.
3. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan
saraf di sekitarnya.
4. Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai
5. Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa
komplikasi.
6. Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang
mendekati normal serta kekuatan otot selama
perawatan fraktur.

Kerugian ORIF (Open Reduction Internal Fixation) yaitu :

1. Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko


komplikasi bahkan kematian akibat dari tindakan
tersebut.
2. Penanganan operatif memperbesar kemungkinan
infeksi dibandingkan pemasangan gips atau traksi.
3. Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan
kegagalan alat itu sendiri.
4. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak, dan struktur yang sebelumnya tak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi.

b) OREF (Open Reducion eksternal Fixation)


OREF adalah reduksi terbuka dengan Fiksasi eksterna .
Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit
untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari
tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama
atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia,
tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan
pelvis (Mansjoer, 2000).
Tujuan dilakukan tindakan OREF (Open Reducion
eksternal Fixation) antara lain :
1) Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena
frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan
disekitar tulang yang patah tersebut.
2) Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi
yang ideal dari fraktur.
3) Agar terjadi penyatuan tulang kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu
dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan
sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang
terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga
dibutuhkan graft tulang.
4) Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan
mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka dari itu
diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin
Indikasi OREF (Open Reducion eksternal Fixation)
meliputi :
1) Fraktur terbuka grade II (Seperti grade I dengan
memar kulit dan otot ) dan III (Luka sebesar 6-8 cm
dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf otot dan
kulit )
2) Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau
tulang yang parah.
3) Fraktur yang sangat kominutif ( remuk ) dan tidak
stabil.
4) Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh
darah dan saraf.
5) Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
6) Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal
mungkin tidak cocok. Misal : infeksi pseudoartrosis (
sendi palsu ).
7) Non union yang memerlukan kompresi dan
perpanjangan.
8) Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes
melitus
Kontraindikasi OREF (Open Reducion eksternal Fixation) :
1) Open fraktur dengan soft tissue yang perlu
penanganan lanjut yang lebih baik bila dipasang
single planar fiksator
2) Fraktur intra artikuler yang perlu ORIF
3) Simple fraktur (bisa dengan pemasangan plate and
screw nail wire)
4) Fraktur pada anak
Keuntungan OREF (Open Reducion eksternal Fixation)
adalah :
Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien ,
mobilisasi awal dan latihan awal untuk sendi di
sekitarnya sehingga komplikasi karena imobilisasi dapat
diminimalkan.
Komplikasi OREF (Open Reducion eksternal Fixation)
adalah :.
1) Infeksi di tempat pen ( osteomyelitis ).
2) Kekakuan pembuluh darah dan saraf.
3) Kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi
delayed union atau non union .
4) Emboli lemak.
5) Overdistraksi fragmen.
c. Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler
selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, grakan,
perkiraan waktu imobilisasi yang di butuhkan untuk penyatuan tulang
yang mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan.
2. Penatakansanaan perawat menurut Masjoer (2003), adalah sebagai
berikut:
a. Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan
kesadaran, baru periksa patah tulang.
b. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah
kompikasi
c. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara
dini, dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedera
adalah:
- Merabah lokasi apakah masih hangat
- Observasi warna
- Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali
kapiler
- Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang
sensasi pada lokasi cedera
- Meraba lokasi cedera apakah pasien bisa membedakan rasa
sensasi nyeri.
- Observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan.
d. Pertahankan kekuatan dan pergerakan
e. Mempertahankan kekuatan kulit
f. Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat anjurkan
intake protein 150-300 gr/hari.
g. Memperhatikan immobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan
tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan
tetap pada tempatnya sampai sembuh.
J. Stadium Penyembuhan Fraktur
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk
oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang
rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.
Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow
yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini
terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast
beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari
terbentuklah tulang baru yg menggabungkan kedua fragmen tulang
yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai
selesai, tergantung frakturnya.

3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus


Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,
dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan
akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
K. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur
merujuk pada teori menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2008) ada
berbagai macam meliputi:
a. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang
kruris, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke
dukun patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan
yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia
proksimal. Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe
konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan
menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah
kecelakaan lalu lintas darat.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta
penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris
adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara
sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)
2) Sirkulasi
a) Hipertensi ( kadang – kadang terlihat sebagai respon
nyeri atau ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
c) Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera,pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang
terkena.
d) Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi
cedera.
3) Neurosensori
a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
b) Kebas/ kesemutan (parestesia)
c) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan,
rotasi, krepitasi (bunyi berderit) Spasme otot, terlihat
kelemahan/ hilang fungsi.
d) Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma
lain)
4) Nyeri / kenyamanan
a) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin
terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang pada
imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf .
b) Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5) Keamanan
a) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan
warna
b) Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap
atau tiba- tiba).
6) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul
ketakutan dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa
cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya
secara normal dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
8) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga timbul nyeri akibat
fraktur.
9) Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama
frekuensi dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan
oel nyeri dan keterbatasan gerak yang di alami klien.
L. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi,
stress, ansietas.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi ditandai dengan
oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor
kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai
darah jaringan
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ ketidaknyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit,
insisi pembedahan.
M. Intervensi

No Diangosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil (NOC) (NIC)
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Pain Management
berhubungan tindakan keperawatan - Lakukan pengkajian nyeri
dengan terputusnya selama ...x... jam secara komprehensif termasuk
jaringan tulang, diharapkan nyeri klien lokasi, karakteristik, durasi,
gerakan fragmen dapat teratasi dengan frekuensi, kualitas, dan faktor
tulang, edema dan kriteria hasil: presipitasi.
cedera pada Pain control - Observasi reaksi nonverbal
jaringan, alat - Mampu mengontrol dari ketidaknyamanan
traksi/immobilisasi, nyeri (tahu penyebab - Ajarkan teknik non
stress, ansietas nyeri, mampu farmakologis (relaksasi,
menggunakan teknik distraksi dll) untuk mengetasi
nonfarmakologi untuk nyeri.
mengurangi nyeri, - Evaluasi tindakan pengurang
mencari bantuan) nyeri/kontrol nyeri.
- Melaporkan bahwa - Kolaborasi dengan dokter bila
nyeri berkurang ada komplain tentang
dengan menggunakan pemberian analgetik tidak
manajemen nyeri. berhasil.
- Mampu mengenali
nyeri (skala,
intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang.
2. Kerusakan Setelah dilakukan Pressure Management
integritas kulit tindakan keperawatan - Monitor kulit akan adanya
berhubungan selama ...x... jam kemerahan
dengan tekanan, diharapkan kerusakan - Hindari kerutan pada tempat
perubahan status integritas kulit klien tidur
metabolik, dapat teratasi dengan - Jaga kebersihan kulit agar
kerusakan sirkulasi kriteria hasil: tetap bersih dan kering.
dan penurunan Tissue Integrity : Skin - Mobilisasi pasien (ubah posisi
sensasi ditandai and Mucous pasien) setiap dua jam sekali
dengan oleh - Integritas kulit yang - Oleskan lition atau
terdapat luka / baik bisa minyak/baby oil pada daerah
ulserasi, dipertahankan yang tertekan
kelemahan, (sensasi, elastisitas, - Mandikan pasien dengan
penurunan berat temperatur, hidrasi, sabun dan air hangat.
badan, turgor kulit pigmentasi).
buruk, terdapat - Tidak ada luka/lesi
jaringan nekrotik pada kulit
- Perfusi jaringan baik
- Menunjukkan
pemahaman dalam
proses perbaikan kulit
dan mencegah
terjadinya cedera
berulang.
- Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami.
3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan - Monitor adanya daerah tertentu
perfusi jaringan tindakan keperawatan yang hanya peka terhadap
selama ...x... jam
perifer b.d suplai panas/dingin/tajam/tumpul
diharapkan resiko infeksi
darah jaringan tidak terjadi dengan
kriteria hasil: - Batasi gerakan pada kepala,
Circulation status
leher dan punggung
Tissue perfucion:
cerebral
Mendemonstrasikan
status sirkulasi yang di
tandai dengan :
 Tekanan systole dan
diastole dalam rentang
yang di harapkan
 Tidak ada ortostatik
hipertensi
Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang di tandai dengan :
 Berkomunikasi dengan
jelas dan sesuai dengan
kemampuan
 Menunjukan perhatian,
konsentrasi, dan
orientasi.
- Menunjukan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh: tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan
gerakan involunter
4. Hambatan Setelah dilakukan Exercise therapy :
mobilitas fisik tindakan keperawatan ambulantion
berhubungan selama ...x... jam - Monitor vital sign sebelum /
dengan nyeri/ diharapkan klien dapat sesudah latihan dan lihat
ketidaknyamanan, beraktivitas secara respon pasien saat latihan
kerusakan mandiri dengan kriteria - Konsultasikan dengan terapi
muskuloskletal, hasil: fisik tentang rencana
terapi pembatasan Mobility Level ambulasi sesuai dengan
aktivitas, dan - Klien meningkat kebutuhan
penurunan dalam aktivitas fisik - Bantu klien untuk
kekuatan/tahanan - Mengerti tujuan dari menggunakan tongkat saat
peningkatan mobilitas berjalan dan cegah terhadap
- Memverbalisasikan cedera
perasaan dalam - Ajarkan pasien atau tenaga
meningkatan kesehatan lain tentang teknik
kekuatan dan ambulasi
kemampuan - Kaji kemampuan klien dalam
berpindah. mobilisasi
- Memperagakan - Latih pasien dalam
penggunaan alat pemenuhan kebutuhan ADLs
bantu untuk secara mandiri sesuai
mobilisasi (walker). kemampuan
- Dampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
pasien.
- Berikan alat bantu jika klien
memerlukan
- Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.
5. Risiko infeksi Setelah dilakukan Infection Control
berhubungan tindakan keperawatan - Bersihkan lingkungan setelah
dengan stasis selama ...x... jam dipakai pasien lain
cairan tubuh, diharapkan resiko infeksi - Pertahankan teknik isolasi
respons inflamasi tidak terjadi dengan - Batasi pengunjung bila perlu
tertekan, prosedur kriteria hasil: - Instruksikan pada
invasif dan jalur Risk Control pengunjung untuk mencuci
penusukkan, - Klien bebas dari tanda tangan saat berkunjung dan
luka/kerusakan dan gejala infeksi setelah berkunjung
kulit, insisi - Mendeskripsikan meninggalkan pasien.
pembedahan proses penularan - Gunakan sabun antimikroba
penyakit, faktor yang untuk mencuci tangan
mempengaruhi - Cuci tangan setiap dan
penularan serta sesudah melakukan tindakan
penatalaksanaannnya. keperawatan
- Menunjukkan - Pertahankan lingkungan
kemampuan untuk aseptik selama pemasangan
mencegah timbulnya alat.
infeksi - Monitor tanda dan gejala
- Jumlah leukosit infeksi sistemik dan lokal
dalam batas normal - Monitor kerentanan terhadap
- Menunjukkan infeksi
perilaku hidup sehat - Berikan terapi antibiotik bila
perlu
DAFTAR PUSTAKA

A. Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2005. Keerawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Bulechek, M.G dkk. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC), 6th


Indonesia edition. Indonesia: Mocomedia.

Carpenito, L. J. 2007. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Edisi.


IX. Alih bahasa : Kusrini Semarwati Kadar. Editor : Eka Anisa Mardella,
Meining Issuryanti. Jakarta: EGC

Carpenito, L. J. 2013. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Edisi.


6. Jakarta: EGC

Doengoes, M.E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC

Doengoes, M.E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Gruendemann, Barbara J. dan Billie Fernsebner. 2005. Keperawatan Perioperatif.


Jakarta : EGC

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi


10 editor T Heather Herdman. Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Areif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: FKUI.

Mansjoer, Arif. 2003. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Marrelli, T.M. 2007. Buku saku Dokemtasi Keperawatan. Jakarta : EGC

M. Black, Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Singapura : CV Pentasada


Media Edukasi.

Morhed Sue, dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th Indnesian
edition. Indonesia: Mocomedia.

Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Price, S. A dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

You might also like