You are on page 1of 12
Governance dan Organisasi’ Organisasi dan Lingkungan Ba penelitian telah dilakukan schubungan dengan interaksi antara organisasi dan lingkungannya®. Paling tidak terdapat dua tipe organisasi yang dapat dibedakan sesuai dengan perkembangan berbagai teori terkait organisasi-lingkungan (organization- environment theories. Bentuk pertama adalah ‘the weak form’ dengan penekanan kepada hipotesis; bagaimana berbagai organisasi memberikan respons terhadap tekanan ingkungannya (environmental forces). Teori ekologi organisasi (organizational ecology), ‘yang merupakan derivasi dari model seleksi alam yang dikenal dalam biologi, berpandangan bahwa setiap organisasi merupakan bagian dari suatu sistem besar secara keseluruhan yang harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi agar survive dalam lingkungan kompetitiinya. Menurut Caroll dan Hannan (1995) perspektif ini memberikan penekanan kepada pentingnya ‘structural isomorphism’, dengan fokus kepada pentingnya ‘kesesuaian’ antara organisasi ‘organizationa/-ft’ dengan lingkungan tempat organisasi tersebut berada. Namun demikian, pandangan ini mengakui bahwa kernampuan adaptabilitas organisasi adalah bersifat terbatas yang dirangkum dalam fenomena ‘organizational inertia’. Fenomena ini di antaranya ditandai dengan munculnya politik internal dalam organisasi dan bertambahnya umur, ukuran, serta kompleksitas suatu organisasi. Dengan demikian, jika suatu organisasi tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungannya, maka sesuai dengan hakikat hukum alam (natura! selection), organisasi tersebut akan gugur atau mati dengan sendirinya. Secara kontras, “the strong form” dari teori organisasi-lingkungan merekomendasikan hipotesis bahwa perusahaan dan bentuk organisasi lainnya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan publik (public policies) yang akan digunakan untuk mengatur dan mengendalikan organisasi tersebut. Misalnya, resource dependence theory memiliki pandangan bahwa lingkungannya akan membatasi setiap organisasi, dan satu organisasl akan bergantung kepada organisasi lainnya dalam hal kebutuhan sumber daya atau resources mereka‘. Lebih lanjut, perspektif ini juga beranggapan bahwa kunci untuk bertahan di dalam lingkungan organisasi adalah kemampuan untuk memperoleh dan mempertahankan sumber daya dari organisasi lainnya di dalam lingkungan industri tempat mereka berada. Untuk mengurangi ketergantungan organisasi yang berpotensi dapat mengurangi berbagai tindakan mereka secara otonom (tanpa terikat dan tergantung dengan organisasi lain) serta mampu untuk bertahan, maka setiap organisasi harus memiliki kemampuan untuk merumuskan strategi yang dapat atau mampu mengelola lingkungan dan perubahan lingkungan mereka masing-masing (lihat Darity, 2008). -35- CORPORATE GOVERNANCE Menujy PenguatanKensapual& implementa ét Indonesia Jika sudut pandang weak form dapat dianggap sebagai thesis, maka pandangan organisasi- .gkungan dalam bentuk strong form dapat dianggap sebagai antithesis. Sebagai dasar sudut pandang hubungan antara keberadaan organisasi dan lingkungannya, proses dialektia ini melahirkan berbagai derivasi teori yang dapat digunakan di dalam mengamati berbagai fenomena yang berhubungan dengan interaksi antara organisasi dan lingkungannya. Namun demikian, belum terdapat klaim yang menyatakan bahwa berbagai teori turunan tersebut merupakan synthesis antara mode! weak form (sebagai thesis) dengan model strong form (sebagai antithesis) sebagai bagian dari dialectical process dalam tradisi keilmuan. Berbagai akademisi yang melakukan kajian yang berhubungan dengan organisasi-lingkungannya, lebih banyak mengambil posisi pada salah satu dari dua model di atas. Teori Organisasi; Sudut Pandang Sosiologis Menurut Casey (2002) berbagai praktik sosial dan budaya dari sebuah organisasi (termasuk berbagai wacana tentang organisasi) secara tipikal ditemui dalam disiplin ilmu sosiologi Namun demikian, bidang kajian manajemen dan organisasi secara spesifik lebih didasarkan kepada bidang keilmuan behavioral psychologies dan economics of the firm (p. 8). Dengan demikian, maka studi tethadap berbagai fenomena organisasi serta perilaku dari berbagai individu serta entitas organisasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari disiplin sosiologi sebagai dasar analisis. Dalam kaitan ini Casey (2002) lebih lanjut memberikan penekanan bahwa dari sudut pandang sosiologi kajian terhadap organisasi dipahami melalui hubungan antara social institutions dengan social historical action (p. 9). Selanjutnya, hubungan antara ide dan aplikasi (praktik) dari suatu entitas ekonomi dan manajemen termasuk sebagai bidang {ajian sosiologi, khususnya fenomena individu yang membentuk asosiasi atau kelompok secara formal dengan tujuan menghasilkan sesuatu yang memiliki makna secara ekonomis. Berdasarkan sudut pandang sosiologis, teori organisasi merupakan “theoretical perspective which conceives of organizations as complex social actors and investigates how the structures they adopt affect their behavior" (Darity, 2008, p. 70). Berdasarkan pengertian tersebut paling tidak terdapat beberapa kata kunci: (a) organisasi sebagai aktor sosial yang bersifat kompleks, dan (b) memberikan penekanan kepada struktur® dari sebuah organisasi serta bagaimana struktur tersebut mempengaruhi perilaku organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, kata “struktur” dalam konteks ini merupakan penekanan utama, karena teori organisasi mengadopsi spektrum yang luas terhadap terminologi tersebut. Bukan hanya berupa “struktur formal” namun secara lebih luas mencakup hubungan dan jaringan informal serta aspek budaya dan kognitif dari setiap organisasi. Dengan cakupan yang demikian luas, maka subjek kajian teori organisasi akan berhubungan dengan jawaban atas serangkaian pertanyaan berikut: (a) bagaimana dan kenapa organisasi dibentuk? (aspek how dan why), (b) bagaimana bentuk dan struktur dari organisasi tersebut? (aspek what forms?), (c) bagaimana perilaku organisasi? (behave as they do), dan (@) bagaimana dan alasan apa yang menyebabkan organisasi bertahan? (aspek why survive or fail?). Berbagai pertanyaan tersebut mempertegas posisi bahwa teori organisasi lebih memberikan fokus perhatian kepada ‘organisasi sebagai entitas kolektif’, sehingga 36 Bagian 3 Governance dan Oiganisast keberadaan teori organisasi akan menjadi komplementer dari kajian tentang perilaku organisasi (organizational behavior) yang lebih memfokuskan diri kepada individu dan kelompok kecil dalam organisasi yang secara lebih Iuas akan tercakup dalam kategori ‘organization studies’. Teori organisasi merupakan derivasi dari berbagai latar belakang bidang ilmu, termasuk; sosiologi, ilmu-ilmu ekonomi, antropologi, dan ilmu politik. Menurut Darity (2008) para ahli yang memiliki pemikiran berpengaruh terhadap teori organisasi di antaranya adalah Emile Durkheim, Karl Marx, Adam Smith, dan Max Weber. Dalam kaitan ini, Max Weber dianggap sebagai ahli yang mempunyai pengaruh sangat kuat di dalam meletakkan dasar teori organisasi melalui karya fenomenal tentang ‘authority and bureaucracy’. Berdasarkan teori yang dikemukakan Weber serta perkembangan bidang kajian teori organisasi, teori organisasi paca masa sekarang memberikan penekanan kepada dua perspektifmenyangkut keberadaan dan fungsi organisasi yang selanjutnya berkembang menjadi kajian teori organisasi baru yang berpengaruh. Pertama, adalah perspektif yang menganggap organisasi sebagai solusi yang rasional dan efisien di dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kerja sama (cooperation), kompleksitas (complexity), dan ketidakpastian (uncertainty). Kedua, merupakan perspektif yang mempunyai sudut pandang, bahwa organisasi tidak didasarkan kepada struktur rasional dan fungsinya, namun akan menjadi dasar arti (meaning), dan nilai (value) sosial dari keberadaan organisasi tersebut. Organisasi sebagai Solusi Rasional terhadap Masalah Sosial Berbagai teori organisasi yang berkembang lebih awal muncul sejalan dengan dimulainya revolusi industri. Karakteristik perkembangan teori organisasi pada masa tersebut terfokus terhadap pada kajian utama dalam upaya untuk menemukan prinsip-prinsip umum onganisasi yang bersifat universal. Para pemikir awal yang berpengaruh dan tergolong ke dalam kelompok ini adalah Frederick Taylor dan Henri Fayol, dengan hasil kerja yang mempunyai karakteristik sebagai aplikasi dari prinsip-prinsip “mechanical and industrial engineering’ di dalam pengelolaan dan pengendalian sumber daya manusia. Namun demikian, pada tahun 1960-an para ahli teori organisasi mulai mengalihkan perhatian mereka dari upaya menemukan prinsip organisasi universal, Pada masa ini, fokus kajian teori organisasi berubah menjadi upaya untuk menemukan berbagai teori dengan dasar argumentasi bahwa “struktur organisasi yang ideal bukanlah bersifat one-size fits-all, namun cangat bergantung kepada berbagai faktor yang berada dalam organisasi dan lingkungan setiap organisasi” (lihat Darity, 2008, p. 79). Pada tahun 1967, Paul Lawrence dan Jay Lorsch memperkenalkan contingency theory sebagai pendekatan teori organisasi baru di dalam memahami fenomena organisasi Teori kontinjensi ini dipercaya sebagai cara terbaik untuk mengelola organisasi yang didasarkan pada berbagai karakteristik yang terdapat dalam lingkungan setiap organisa Lawrence dan Lorsch (1967) memberikan argumentasi bahwa setiap lingkungan organisasi adalah berbeda dan karenanya setiap organisasi secara rasional memberikan respons yang berbeda di dalam mengadopsi struktur yang tepat (best suited) dengan kondisi 972) CORPORATE GOVERNANCE Mengju PerquatanKonseptual & Inlemeatasi indonesia lingkungan masing-masing. Ahli organisasi ini mempercayai bahwa tingkatan volatilitas, dan ketidakpastian di lingkungan setiap organisasi akan mempengarul: (a) formalisast dari struktur organisasi yang akan diadopsi, (b) tingkat sentralisasi dari pengambilan keputusan, (c) jangka waktu organisasi akan memberikan perhatian secara fokus terhadap isu lingkungan tersebut, dan (d) bagaimana setiap organisasi akan mendesain pembagian subunit dalam organisasi tersebut beserta tugas dari setiap subunit. Berdasarkan perkembangan teori organisasi pada periode berikutnya Lawrence dan Lorsch (1967) dapat membuktikan bahwa faktor kontinjensi dari lingkungan organisasi sangat menentukan kesuksesan pencapaian tujuan organisasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Darity (2008) hal ini terbukti dengan munculnya berbagai teori organisasi baru pada dekade 1970-an yang mendasarkan argumentasinya kepada contingency theory. Di antara berbagai teori baru yang dikembangkan berdasarkan asumsi dasar teori kontinjensi adalah the agency theory, transaction cost economics dan resource dependence theory. Sebagaimana dipahami (lihat Tricker, 2009) berbagai teori yang berkembang tersebut menjadi dasar teori dari konsepsi governance yang berkembang pada periode setelah 1970-an hingga saat ini. Secara umum konsep dasar dari the agency theory, transaction cost economics dan resource dependence theory, dapat dijelaskan sebagai berikut. The Agency Theory (AT) memberikan fokus terhadap fakta yang berkembang bahwa dalam setiap organisasi individu (disebut dengan the agent) akan bertindak sebagai pihak yang dipercaya oleh individu atau sekelompok individu lainnya (disebut the principal). Hubungan antara keduanya (disebut juga dengan the principalagent relationships) akan terjadi dalam organisasi perusahaan antara pemegang saham (stockholders). sebagai principal dengan pengelola (managers) sebagai agent dalam hubungan tersebut. Para al agency theory menggunakan asumsi bahwa kedua pihak tersebut (baik agent maupun principal) memiliki kepentingan masing-masing (self interests) dan kepentingan tersebut lebih banyak mengalami perbedaan dari sudut pandang keduanya (divergence of interests) Keinginan yang berbeda tersebut membutuhkan adanya mekanisme yang dapat digunakan principal (pemegang saham) untuk senantiasa memonitor agents (para manajer). Namun demikian, mekanisme kontrol tersebut adalah sulit untuk dilakukan dan menimbulkan biaya (mahal) karena secara natural pihak manajer (agents) umumnya memiliki keahlian yang lebih baik dibanding pemilik (principals), serta mekanisme kontrol tersebut tidak dapat dilaksanakan secara terus-menerus dan diobservasi secara langsung. Dalam kaitan ini para ahli AT berkeyakinan bahwa keberadaan struktur organisasi merupakan upaya yang rasional untuk digunakan, walaupun bersifat kompleks tetapi mampu menciptakan sistem yang efisien di dalam mengatur kerja sama antara kedua pihak yang berhubungan. Lebih lanjut, penganut AT juga meyakini bahwa struktur organisasi maupun mekanisme kontrol yang dapat digunakan dalam hubungan keagenan tersebut (the agency relationships) berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, serta antara satu penugasan dengan penugasan (task) lainnya, Skala atau tingkatan perbedaan karakteristik struktur dan mekanisme yang diadopsi oleh setiap organisasi tersebut sangat ditentukan oleh bentuk information asymmetry) antara principals dan agents. ketidaksimetrisan informasi Bagian 3 (Goremance dan Organses Teori Transaction Cost Economics (TCE) berhubungan sangat dekat dan mirip dengan the agency theory (AT). Namun berbeda dengan AT yang memberikan penekanan kepada bagaimana struktur organisasi dapat berperan di dalam meng-govern principal-agents relationships, TCE memberikan penekanan bahwa organisasi adalah bersifat rasional dan merupakan solusi yang efisien di dalam mengelola hubungan antara organisasi tersebut dengan lingkungan di sekitarya, Pendekatan i rkenalkan oleh Oliver Williamson pada pertengahan tahun 1970-an dengan memberikan argumentasi bahwa berbagai transaksi yang berskala kecil (seperti transaksi pertukaran barang dan jasa yang sederhana) tidak memerlukan organisasi. Namun demikan, ketika transaksi tersebut menjadi semakin kompleks (complexity) dan semakin tidak pasti (uncertainty), maka keberadaan organisasi diperlukan untuk memonitor dan membatasi kewajiban serta berbagai risiko yang ditimbulkannya. Lebih lanjut, TCE juga memiliki karakteristik bahwa batasan organisasi (organizational boundaries) dilakukan berdasarkan biaya transaksi_(transaction-cost basis). Melalui batasan ini, TCE beranggapan bahwa berbagai fungsi menyebabkan biaya transaksi yang terlalu besar jika dibawa ke luar maupun ke dalam organisasi, sementara jika transaksi yang dibutuhkan tersedia secara lebih murah di luar organisasi akan dilakukan secara eksternal. Suatu organisasi dari perspektif teori Resource Dependence (RD), sebagaimana halnya pada TCE, memberikan penekanan kepada hubungan antara organisasi dengan organisasi lainnya. Namun demikian, pendekatan RD memiliki fokus kepada; bagaimana struktur organisasi tergantung (contingent) terhadap sifatalami (thenature) dan keterbatasan (scarcity) dari setiap sumber daya yang dibutuhkan organisasi tersebut untuk melaksanakan aktivitas operasionalnya, dibandingkan dengan fokus kepada kompleksitas dan ketidakpastian dari setiap transaksi (yang menjadi fokus dalam pendekatan TCE). Kelebihan dari pendekatan RD. dibandingkan dengan pendekatan contingency-based theories lainnya adalah bahwa RD memberikan penekanan kepada peranan (the role) dari manajemen dalam menegosiasikan ketergantungan (the dependencies) yang diakibatkan oleh kebutuhan sumber daya onganisasi. Lebih lanjut, pendekatan RD juga memberikan spesifikasi terhadap berbagai alternatif strategi yang dapat dimanfaatkan organisasi untuk melaksanakan aktivitasnya sesuai dengan bentuk kondisi ketergantungan yang berbeda-beda (different dependency conditions), Di samping berbagai teori organisasi_ yang berkembang berdasarkan_pendekatan contingency-based dengan menggunakan asumsi rasional dan efisiensi sebagai dasar argumentasi, pendekatan tersebut juga menjadi dasar dari dua teori organisasi lainnya; the population ecology dan co-evolution. Kedua pendekatan teori organisasi_ ini fasarkan kepada argumentasi bahwa pengaruh lingkungan organisasi dialami oleh berbagai organisasi yang berada pada tataran atau bidang operasional yang sama sebagai suatu bentuk ekosistem. Para ahli yang memperkenalkan teori dimaksud menggunakan pendekatan sebagaimana ditemukan dalam mekanisme ekologikal (ecological) dan evolusioner (evolutionary), seperti variasi, seleksi, dan spesialisasi, di dalam menjelaskan bagaimana organisasi muncul dan bertahan atau gagal/mati. -39- ‘CORPORATE GOVERNANCE ‘Menuju PenguatanKorsepual& inplementas di Indonesia Organisasi dan Paradigma Positivistik Paradigma positivistik memahami teori organisasi dengan asumsi bahwa berbagai fenomena yang berhubungan dengan organisasi dapat dijelaskan melalui hukum atau pendekatan yang bersifat scientific. Berdasarkan pendekatan scientific ini dipercaya bahwa bentuk (the shape) dari setiap organisasi akan ditentukan oleh berbagai faktor yang bersifat material (dapat diamati dan diobservasi), seperti halnya ukuran perusahaan. Melalui paradigma ini maka dipercaya bahwa suatu organisasi akan mengadopsi struktur yang dibutuhkan sesuai dengan situasi yang berkembang, sehingga struktur tersebut akan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat fungsional. Melalui cara ini maka paradigma positivistik di dalam teori organisasi akan berhubungan dengan functionalist, sehingga teori organisasi bersifat deterministik, generalis, fungsionalis, dan menjelaskan fenomena organisasi berdasarkan seperangkat faktor yang bersifat material. Asal mula dari teori organisasi dengan paradigma positivistik didasarkan kepada penelitian menggunakan pendekatan contingency theory di dalam melakukan observasi tethadap struktur organisasi (Donaldson, 1996). Lebih lanjut, menurut Donaldson (1996) pendekatan dengan paradigma ini berkembang di tahun 1960-an melalui serangkaian upaya yang dilakukan oleh para ahli berikut ini; Burns dan Stalker (1961), Chandler (1962), Woodward (1965). Pola pendekatan tersebut dilanjutkan oleh Lawrence dan Lorsch (1967), Thompson (1967), Pugh et al. (1969), Blau (1970), dan berbagai ahli lainnya. Hasil penelitian para ahli tersebut menemukan bahwa terdapat yang kuat antara berbagai aspek struktur organisasi dengan beberapa aspek yang berhubungan dengan eksistensi organisasi Studi yang dilakukan oleh Burns dan Stalker (1961), Lawrence dan Lorsch (1967), serta Thompson (1967) membuktikan bahwa lingkungan organisasi_ menentukan struktur organisasi yang sesuai untuk setiap organisasi. Dalam kaitan ini Burns dan Stalker (1961) berpendapat lebih jauh bahwa kondisi lingkungan organisasi dengan karakteristik relatif stabil memiliki kecenderungan untuk mengadopsi model struktur organisasi yang bersifat mekanistik (mechanistic). Sementara jika sebuah organisasi berada dalam kondisi Jingkungan yang senantiasa mengalami perubahan (dan pada akhimya menuntut organisasi untuk bersifat inovatif) cenderung membutuhkan struktur organisasi yang bersifat organik (organic). Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Woodward (1965) dan Thompson (1967) menyatakan bahwa kondisi teknologi internal yang digunakan sebuah organisasi merupakan suatu faktor yang bersifat situasional (situational factor) dan akan menentukan struktur organisasi yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut. Sementara studi oleh Blau (1970) dan Pugh et al. (1969) memperlihatkan bahwa ukuran sebuah organisasi akan menentukan struktur organisasi yang sesuai. Selanjutnya, Chandler (1962) menyatakan bahwa strategi sebuah organisasi akan menentukan struktur organisasi yang dibutuhkannya, atau lebih dikenal dengan istilah ‘structure follows the strategy’ Berbagai faktor situasional tersebut (seperti; ketidakstabilan lingkungan organisasi, teknologi yang diadopsi, ukuran dan strategi organisasi) dikenal juga sebagai ‘seperangkat faktor kontinjensi bagi organisasi’. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa berbagai penelitian yang berhubungan dengan faktor yang bersifat ‘situasional” -40- Bagien 3 Soverance dan Organise) tersebut dalam teori organisasi dikenal dengan contingency theory. Sebuah organisasi yang beroperasi dalam lingkungannya akan mempengaruhi strategi, teknologi, ukuran, serta tingkat inovasi yang dibutuhkan untuk dapat beradaptasi secara batk dengan lingkungan tersebut. Berbagai faktor kontinjensi ini pada akhimya akan menentukan ‘struktur’ yang, dibutuhkan agar dapat beroperasi secara efektif. Dengan demikian, efektivitas dari sebuah organisasi akan dipengaruhi oleh kesesuaian atau kecocokan (the fit) antara struktur organisasi dengan berbagai faktor kontinjensi dari lingkungan organisasi tersebut. Kondisi demikian mengarahkan organisasi agar struktur yang dimiliki mampu untuk beradaptasi, sehingga mengarah kepada kondisi di mana hal yang demikian sesuai dengan berbagai faktor kontinjensi. Secara umum kondisi tersebut dikenal dengan teori adaptasi struktural (the theory of structural adaptation) untuk memperoleh kondisi yang sesuai dengan berbagai faktor kontinjensi organisasi tersebut (Donaldson, 1987). Serangkaian penelitian empirikselanjutnya menunjukkan bahwa fenomena yang berhubungan dengan hal tersebut memunculkan model ‘the effects of fit on performance’ serta model ‘the dynamics of organizational change’. Konsepsi teori kontinjensi yang bersifat umum can mengalami perkembangan yang berarti dicirikan dari karakteristik teori berupa ‘functionalist’ dan ‘positivist’. Struktur organisasi menghasilkan berbagai keluaran yang bersifat fungsional, seperti efektivitas, inovasi, dan sejenisnya. Pergerakan organisasi sesuai dengan berjalannya waktu terbukti tetap mengadopsi bentuk struktur organisasi yang dibutuhkan agar ‘sesui dengan berbagai faktor kontinjensi, sehingga dapat berjalan secara efektif. Dalam kaitan ini keberadaan struktur organisasi dapat dijelaskan berdasarkan konsekuensi_ yang dihasilkannya agar dapat berfungsi secara efektif. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa struktur organisasi dan perubahan yang bersifat struktural dalam sebuah organisasi dipandang sebagai akibat atau hasil dari ‘adaptasi fungsional’ (functional adaptation) yang, dilakukan oleh sebuah organisasi, Sebagaimana penelitian empirik yang dilakukan oleh Chandler (1962), Woodward (1965), dan Blau (1970) memperlihatkan bahwa para manajer dari sebuah organisasi membuat berbagai keputusan organisasi yang bersifat struktural demi kepentingan organisasi sebagai upaya untuk mencapai efektifvitas organisas. Teori organisasi yang dikembangkan berdasarkan berbagai faktor kontinjensi sebagaimana dijelaskan dianggap sebagai penganut mazhab “positivist” di dalam terminologi sosiologi, melalui beberapa ciri berikut ini (Burrell dan Morgan, 1979). 1. Nomothetic; yang berarti bahwa setiap fenomena dianalisis dengan menggunakan kerangka umum (general framework) dengan berbagai faktor yang dapat diaplikasi- kan kepada seluruh organisasi, baik untuk contingency factors (seperti ukuran dan strategi perusahaan) maupun untuk organizational structure (seperti pola spesialisasi dan sentralisasi). Dalam kaitan agai aturan dan dianggap sebagai hal yang terjadi secara reguler antara berbagal faktor kontinjensi dengan faktor struktural organisasi ubungan sebab akibat secara umum berlaku se- 2. Berbagai penelitian yang berhubungan dengan teori ini secara metodologi adalah positifistik (methodology positivist) yang dibuktikan dengan penggunaan secare -At- ‘CORPORATE GOVERNANCE Menuju Panguatan Konseptual & inplementai i ioreso umum terhadap penelitian empirik yang bersifat komparatif, dan biasanya diikuti oleh pengukuran terhadap variabel penelitian serta pengolahan data penelitian se- cara statistik. 3. Teori ini menjelaskan struktur organisasi menggunakan berbagai faktor yang bersi- fat material (material factors) seperti; ukuran organisasi, teknologi, dan sebagainya dibandingkan dengan ideationalist factors seperti; ide, ideologi, persepsi, norma, dan sejenisnya, 4. Teori ini bersifat deterministik (determinist) melalui sudut pandang bahwa para ‘manajer harus mengadopsi struktur organisasi yang sesuai dan disyaratkan oleh ber- bagai faktor kontinjensi, di dalam upaya untuk mencapai efektivitas organisasi. 5. — Teori ini secara ketat diaplikasikan melalui penelitian empirik (empirical research) dibandingkan dengan spekulasi yang bersifat arm-chair atau pengembangan teori baru berdasarkan data empirik yang berhasil dikumpulkan. Dengan demikian hasil riset berkaitan dengan teori ini dijelaskan berdasarkan pola data yang ditemui di lapangan serta menggunakan berbagai argumen berdasarkan penelitian terdahulu yang relevan. 6. Secara sadar, teori ini memiliki sifat dan karakter yang bersifat saintifik (scientific style), dengan tujuan untuk menghasilkan pengetahuan saintifik (scientific know- Jedge) sebagaimana jenis penelitian empirik yang dilakukan oleh bidang ilmu pasti (the natural sciences). Governance dan Perspektif Organisasi Oakeshott (1975) secara umum membedakan dua jenis asosiasi (association) yaitu; civic association dan enterprise association. Jenis asosiasi pertama (civic association) ditujukan untuk sesuatu yang lebih besar daripada sckadar suatu akhir (enc), kepentingan (interest) atau kebaikan (good) yang dilindungi berdasarkan aturan umum sehingga pencapaian tujuan menjadi memungkinkan secara damai dan membawa kemaslahatan bersama. Sementara asosiasi berupa perusahaan (enterprise association) bersifat lebih fokus (focused), dengan tujuan jelas (ourposive), instrumental dan eksekutif, serta melalui karakteristik tersebut asosiasi ini dapat menyesuaikan tujuannya dan mengeksekusi hal tersebut sesuai dengan kebutuhan, Terlepas dari perbedaan kedua bentuk asosiasi tersebut, menurut Oakeshott (1975), standar moral dan standar lainnya yang berlaku di asosiasi kemasyarakatan juga berlaku untuk asosiasi usaha. Organisasi_ merupakan “a consciously coordinated social entity, with a relatively ‘identifiable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals” (Robbins, 1990, p. 4). Definisi tersebut mengandung tiga kata kunci bahwa suatu organisasi merupakan: (a) entitas sosial yang terkoordinasi secara sadar, (b) mengenal batasan yang secara relatif dapat diidentifikasikan secara jelas, (c) melaksanakan fungsinya dengan basis yang secara relatif sehingga berkesinambungan, di dalam _mencapai serangkaian tujuan bersama, Sejalan dengan pengertian tersebut, maka perusahaan sebagai suatu organisasi melaksanakan aktivitasnya (governing its activities) Bagian 3 Governance dan Grgeisasi di dalam suatu batasan sistem dari suatu negara tempat perusahaan tersebut berada dan/ atau beroperasi. Dalam kaitan ini agar perusahaan sukses dalam mencapai tujuannya, make perusahaan tersebut harus mampu untuk beradaptasi secara baik dengan lingkungan tempat perusahaan berada, Menurut Morgan (1997, p.39) pandangan demikian didasarkan kepada pendekatan sistem (the systems approach), yang didasarkan kepada ‘the principle that organisations, like organisms, are “open” to their environment and must achieve an appropriate relation with that environment if they are to survive’. Melalui pemahaman tersebut maka sistem CG dapat dideskkripsikan sebagai perangkat (berupa struktur dan mekanisme) yang menyediakan aturan main serta regulasi yang akan digunakan organisasi di dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan organisasi. Sistem dimaksud didesain sedemikian rupa agar mampu menyediakan check and balance mechanisms sebagai upaya menjaga keseimbangan dalam organisasi, dengan tetap memperhatikan kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam organisasi. Melalui Kepatuhan berbagai pihak yang terlibat untuk berperilaku sesuai dengan aturan main yang ditetapkan, maka tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif, menjaga interests pemangku kepentingan, sehingga pencapaian tujuan organisasi dapat terjamin. Dalam kaitan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Selznick (dalam Burrel dan Morgan, 1979, p.154) “the organisation is presumed to operate in goal-directed manner, geared to maintaining itself internally and in relation to its environment”. Hal ini berarti bahwa CG mengikuti pendekatan the structural functionalist approach to organization, yang berada di bawah konsepsi the functionalist paradigm secara umum. Menurut Tricker (2009) pendekatan sistem menurut teori organisasi untuk tujuan memahami fenomena governance dinyatakan dalam bentuk persepsi dan diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk sistem hierarki (hierarchy of systems). Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa terjadi interdependensi antara subsistem pada suatu sistem dalam organisasi, maka setiap subsistem menjelaskan ways of thinking dari perspektif (dan sesuai dengan karakteristik) masing-masing subsistem tersebut. Kondisi seperangkat subsistem dengan ciri demikian pada akhirnya mempengaruhi berjalannya sistem secara keseluruhan dalam mendukung tercapainya tujuan organisasi. Selanjutnya, jika dihubungkan dengan konsep organizational boundaries sebagaimana dimaksudkan oleh Robbins (1990), maka pendekatan sistem di dalam memahami fenomena organisasi paling tidak memberikan tiga dalam mengidentifikasi suatu sistem (Tricker, 2009, p. 232): a. The system’s boundaries, akan menentukan apa yang perlu diperhatikan di dalam sistem itu sendiri (within the system) dan apa yang ada dalam sistem (what in the system) di lingkungan organisasi tersebut. Dalam kaitan ini sistem didesain untuk meningkatkan pemahaman terhadap situasi dan setiap sistem dapat dibagi menjadi berbagai elemen subsistem sesuai dengan kebutuhan pemakainya. b. The system's level of abstraction, merupakan tingkatan pada kondisi bagaimana suatu sistem dipersepsikan dan berkaitan dengan berbagai hal yang bersifat detail menjadi perhatian (amount of detail treated within it). -43- CORPORATE GOVERNANCE ‘MenujuPenguatanKonsepval & Inlementai Indonesia The system’s function, merupakan fungsi untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi atau muncul antara input dan output dalam suatu sistem (the system’s inputs and outputs). Berdasarkan kriteria tersebut, muncul pertanyaan berikut; jika demikian apa yang menjadi batasan (boundaries) dari konsepsi CG? Jawaban atas hal tersebut dapat dipahami ‘melalui penyataan Cochran dan Wartick (1988) sebagai berikut; corporate governance is an umbrella term that includes specific issues arising from interactions among senior management, shareholders, board of directors, and other corporate stakeholders. Dati sudut pandang system theory definisi tersebut dapat mewakili jawaban atas pertanyaan tentang ruang lingkup atau domain yang akan menjadi wilayah kajian CG. Walaupun pernyataan tersebut telah mengidentifikasi ‘pemain’ (players) di dalam CG, namun belum dapat menggambarkan batasan yang jelas terhadap tindakan atau wilayah “permainan’ (domain) masing-masing pemain untuk melaksanakan fungsi mereka di dalam kerangka governance activities. Lebih lanjut, berbagai organisasi telah mengeluarkan berbagai prinsip governance sehubungan dengan fungsi dari elemen governance (the players) sebagaimana dimaksud. Namun demikian, di dalam implementasinya berbagai prinsip tersebut (yang sangat umum dan berlaku secara universal) harus diderivasi lebih jauh untuk mengakomodasi karakteristik organisasi dan sistem serta lingkungan organisasi tempat suatu organisasi berada. Dengan demikian pemahaman atas context dan culture tempat governance sebuah organisasi dengan sistem serta lingkungannya akan menjadi dasar di dalam mendefinisikan the appropriate boundaries of governance participants for their action (lihat Tricker, 2009). Governance, Organisasi dan Paradigma Fungsionalis Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa organisasi merupakan ‘a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals" (Robbins, 1990, p. 4). Dalam kaitan ini, maka organisasi perusahaan melaksanakan aktivitasnya dengan berbagai batasan (boundaries) sistem kenegaraan tempat suatu perusahaan tersebut berada. Dengan Kuatnya pengaruh lingkungan organisasi tempat sebuah perusahaan berada maka untuk dapat menjamin tercapainya tujuan perusahaan serta menjaga sustainabilitasnya, maka organisasi dimaksud harus mampu beradaptasi secara baik dengan lingkungan tempat ia berada. Hal ini sejalan dengan pendapat Morgan (1997, p. 39) bahwa “in order for a ‘company to successfully achieve its objectives, it should better adapt to its environment.” Kondisi demikian sesuai dengan pandekatan sistem (system approach) dalam memandang otganisasi sebagai ‘organisme’, sebagaimana dipercaya oleh mazhab Darwinisme dan lopsi teori organisasi dan dikenal dengan slogan survival of the fittest, Pandangan organisasi moder sebagai suatu bentuk sistem terbuka (open system) berakar dari paradigma fungsionalis (the functionalist paradigm) sebagaimana dinyatakan oleh Burrel dan Morgan (1979, p. 26) sebagai berikut: -44- Bagian 3 Governance dan Grgerisesi ‘[The functionalist Paradigm is}... usually firmly committed to a philoso- phy of social engineering as a basis for social change and emphasises the importance of understanding order, equilibrium and stability in society and the way in which these can be maintained. Itis so concerned with the effective ‘regulation’ and control of social affairs’. Implikasi dari kutipan tersebut adalah inividu maupun kelompok yang berhubungan atau memiliki kepentingan dengan perusahaan, terkoneksi melalui rangkaian aktivitas dan menjaga hubungan mereka melalui seperangkat aturan di dalam suatu sistem atau lingkungan tempat organisasi tersebut berada, Dengan kata lain, berbagai pihak yang berkepentingan dengan organisasi perlu untuk menjaga keseimbangan (balancing) dengan mematuhi aturan main sesuai mekanisme yang ditetapkan. Salah satu interpretasi dari hal tersebut adalah bahwa sistem governance dapat dijelaskan sebagai suatu fungsi yang menyediakan aturan main dan regulasi tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan mengelola aktivitasnya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Sistem dimaksud didesain sedemikian rupa untuk menciptakan mekanisme checks and balances untuk menjaga keseimbangan dalam perusahaan dengan tetap memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terlibat. Melalui upaya memastikan bahwa setiap elemen pemangku kepentingan bertindak (behaves) sesuai dengan aturan main dan regulasi dimaksud, pencapaian tujuan perusahaan tanpa merusak kepentingan pihak yang berkepentingan dapat dicapai secara optimal. Dalam kaitan ini, uraian tersebut mempertegas bahwa konsepsi governance menggunakan pendekatan structural functionalist dalam teori organisasi, yang dipayungi oleh paradigma functionalist sebagaimana ditegaskan oleh Burrel dan Morgan (1979). -45- CORPORATE GOVERNANCE ‘Menuju PonguatanKersopual& inplementasd Indonesia atatan Akhir 1 Porsi terbesar dari tulisan ini bersumber dari tulisan “Governance and Organizational Foun- dation; a Literature Review", working paper (03-10) Governance Research Program, Lem- baga Manajemen-Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (2010). Lihat Donaldson (1996) untuk penjelasan secara lebih komprehensif, Darity (2008) menyajikan berbagai alasan dan argumentasi terkait organization- environment theories, termasuk argumentasi untuk membagi organisasi menjadi dua tipe dari sudut pan- dang ini. Lihat Aldrich dan Pfeffer (1976) dan Pfefier dan Salancik (1978). Dalam hubungannya dengan struktur korporasi, Monks dan Minow (2004, p.6) berpendapat bahwa “the corporate structure was developed to meet particular needs that were not being ‘met by eralier forms available to business. It evolved through a Darwinian process ini which each development made it stronger, more resilient, and more impervious to control by out- siders.” Konsepsi “open system” di dasarkan pada the functionalist paradigm (Burrel dan Morgan 1979) dengan pandangan bahwa suatu organisasi mempunyai fungsi yang sama dengan “or- ganisme” yang berhadapan dengan lingkungannya. Untuk dapat bertahan hidup organisme (otganisasi) dimaksud harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya. (Lukviarman 2001). Secara ekonomi, untuk merepresentasikan hal ini digunakan analogi biologi sebagaimana dikemukakan oleh Marshall (1925) di dalam melakukan analisis teshadap organisasi ekono- ‘mi melalui istilah “evolution” dan “struggle for survival”. Ide ini lebih lanjut dikembangkan oleh Alchian (1950) melalui “evolutions” dan ‘natural selections" di dalam ilmu ekonomi. -46-

You might also like