You are on page 1of 6

BAB 2

ETIKA DAN STANDAR PROFESI AUDIT INTERNAL

2.1 Pendahuluan

Sebagai sebuah profesi, auditor internal telah memiliki asosiasi profesi yang diakui
secara luas keberadaannya yaitu The Institute of Internal Auditors (IIA). IIA perlu menyusun
kode etik dan standar profesi dalam rangka memberikan keyakinan dan jaminan integritas yang
tinggi bagi perusahaan atau lembaga. Kode etik termasuk salah satu mandatory guidance dalam
International Professional Practices Framework IIA. Mandatory guidance lainnya adalah
prinsip dasar, definisi, dan standar audit internal.

Menurut IIA, kode etik merupakan prinsip-prinsip dan harapan yang memandu perilaku
individu dan organisasi dalam melaksanakan kegiatan audit internal. Kode etik tersebut
merupakan syarat dan harapan minimal. Tujuan IIA mengatur kode etik adalah untuk
mendorong terwujudnya budaya etis dalam profesi audit internal. Dalam bab ini akan dibahas
mengenai kode etik dan standar profesi yang sudah dikeluarkan oleh IIA dan berlaku mulai
tahun 2013.

2.2 Etika

Etika dalam audit dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang dilakukan oleh seseorang yang
kompeten dan independen untuk melakukan suatu proses yang sistematis dalam proses
pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti secara objektif tentang informasi yang dapat
diukur mengenai asersi-asersi suatu entitas ekonomi, dengan tujuan untuk menentukan dan
menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut, serta melaporkan kesesuaian
informasi tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Auditor harus bertanggung jawab
untuk merencanakan dan melaksanakan audit dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan
memadai mengenai apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang
disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan.

Auditor internal perlu memelihara standar perilaku yang tinggi dan mengembangkan
budaya etik di dalam profesi audit internal. IIA memiliki kode etik yang diterapkan oleh Satuan
Kerja Audit Internal maupun oleh auditor yang telah memiliki sertifikasi di bidang auditor
internal. Kode etik tersebut merupakan definisi audit internal yang mencakup dua komponen
penting:
1. Prinsip-prinsip yang relevan terhadap profesi dan praktik audit internal.
2. Peraturan pelaksanaan yang menjelaskan norma tingkah laku auditor internal yang
diharapkan. Peraturan ini membantu menginterpretasikan prinsip-prinsip aplikasi
praktik dan diharapkan dapat menjadi panduan pelaksanaan etika auditor internal.
2.2.1 Tujuan

Tujuan kode etik adalah untuk mengembangkan budaya etika di dalam profesi audit
internal. Alasan adanya harapan yang begitu tinggi pada penerapan etika bagi profesional
adalah kebutuhan akan kepercayaan publik dalam kualitas pelayanan yang diberikan.
Kepercayaan publik terhadap kualitas jasa profesional yang diberikan akan meningkat bila
profesi mendorong diterapkannya standar kinerja dan standar perilaku yang tinggi bagi para
praktisinya.

2.2.2 Daya Guna

Kode etik diterapkan oleh individu maupun entitas yang menyediakan jasa audit
internal. Pada IIA, “auditor internal” adalah anggota IIA yang menerima sertifikasi profesional
IIA (CIA, CGAP, CCSA, dan CFSA) dan kandidat penerima sertifikat-sertifikat tersebut.
Penyimpangan auditor internal terhadap kode etik akan dievaluasi dan diproses melalui
peraturan yang telah dibuat oleh IIA dan panduan administrasi.

2.2.3 Prinsip-prinsip Kode Etik IIA


1. Integritas. Integritas auditor internal membangun kepercayaan dan memberikan dasar
kepercayaan terhadap penilaian yang dilakukan.
2. Objektivitas. Auditor internal menunjukkan tingkatan objektivitas profesional
tertinggi dalam mengumpulkan, mengevaluasi, dan mengomunikasikan informasi
tentang aktivitas atau proses yang sedang diperiksa. Auditor internal membuat
penilaian yang seimbang terhadap semua kejadian yang relevan dan tidak dipengaruhi
oleh kepentingan pribadi maupun kepentingan orang lain dalam membuat penilaian.
3. Kerahasiaan. Auditor internal menghormati nilai dan kepemilikan informasi yang
diterima dan tidak mengungkap informasi tanpa otoritas yang sesuai, tanpa jaminan sah
atau tuntutan profesional, dan lain ebagainya. Auditor harus bijaksana dalam
menggunakan informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan audit. Auditor tidak
diperkenankan mendiskusikan hal apapun yang berkaitan dengan audit yang dialkukan
terhadap pihak luar yang tidak termasuk dalam staf audit.
4. Kompetensi. Auditor internal menerapkan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman
yang diperlukan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab pada jasa layanan audit
internal.

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas seorang auditor sebaiknya:


1.Etis yaitu, adil, menyatakan yang sebenarnya, tulus, jujur serta bijaksana.
2. Terbuka yaitu, mau mempertimbangkan pandangan atau ide-ide alternatif.
3. Diplomatis yaitu, bijaksana dalam menghadapi orang lain.
4. Suka memperhatikan yaitu, secara aktif menyadari kegiatan dan lingkungan fisik yang
ada disekitarnya.
5. Cepat mengerti yaitu, secara naluriah menyadari dan mampu memahami situasi.
6. Luwes (versatile) yaitu, selalu siap menyesuaikan diri untuk situasi yang berbeda.
7. Tangguh yaitu, teguh, fokus pada pncapaian tujuan.
8. Tegas yaitu, menghasilkan kesimpulan dengan tepat waktu berdasarkan alasan dan
analisis yang logis.
9. Percaya diri yaitu, bertindak dan berfungsi secara independen ketika berinteraksi dengan
orang lain secara efektif.
2.2.4 Peraturan Perilaku
1. Integritas. Auditor internal harus:
a. Menjalankan pekerjaan dengan jujur, tekun, dan bertanggung jawab;
b. Menaati hukum dan membuat pengungkapan yang disyaratkan oleh hukum maupun
profesi;
c. Tidak dengan sengaja menjadi bagian dari aktivitas ilegal apapun atau terlibat
dalam tindakan yang tidak terpuji, baik bagi profesi audit internal maupun
organisasi; dan
d. Menghormati dan memberikan kontribusi bagi tujuan yang sah dan etis bagi
organisasi.
2. Objektivitas. Auditor internal harus:
a. Tidak berpartisipasi dalam beberapa aktivitas atau hubungan yang dapat
mengganggu atau dianggap mengganggu penilaian mereka; partisipasi ini
mencakup aktivitas-aktivitas atau hubungan-hubungan yang bertolak belakang
dengan kepentingan organisasi;
b. Tidak akan menerima apapun yang dapat mengganggu atau dianggap mengganggu
keputusan profesional mereka; dan
c. Mengungkap semua fakta materiil yang diketahui. Jika tidak diungkapkan dapat
mengubah laporan aktivitas yang sedang diperiksa jika fakta tersebut tidak
diungkap.
3. Kerahasiaan. Auditor internal harus:
a. Berhati-hati dalam menggunakan daan menjaga informasi yang diperoleh bagi
tugas mereka; dan
b. Tidak akan menggunakan informasi untuk keuntungan pribadi atau hal-hal yang
bertentangan dengan hukum atau merugikan tujuan yang sah dan etis bagi
organisasi.
4. Kompetensi. Auditor internal harus:
a. Menjalankan jasa jika auditor memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman
yang dibutuhkan;
b. Menjalankan jasa audit internal sesuai dengan standar praktik profesional audit
internal; dan
c. Meningkatkan keahlian maupun efektivitas serta kualitas jasa audit secara terus-
menerus.
2.2.5 Peranan Etika Dalam Profesi Auditor

Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada masyarakat dan komitmen moral
yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para auditor publik dengan standar
kualitas yang tinggi, dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.

Itulah sebabnya profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika yang harus
dijadikan panduan oleh para auditor dalam melaksanakan audit. Standar etika diperlukan bagi
profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi
kemungkinan benturan-benturan kepentingan.

Kode etik atau aturan etika profesi audit menyediakan panduan bagi para auditor
profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan dalam mengambil keputusan-
keputusan sulit. Jika auditor tunduk pada tekanan atau permintaan tersebut, maka telah terjadi
pelanggaran terhadap komitmen pada prinsip-prinsip etika yang dianut oleh profesi.

Oleh karena itu, seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya
agar tidak mudah takluk pada godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam pelanggaran
prinsip-prinsip etika secara umum dan etika profesi, etis yang tinggi, mampu mengenali situasi-
situasi yang mengandung isu-isu etis sehingga memungkinkannya untuk mengambil keputusan
atas tindakan yang tepat.

2.2.6 Pentingnya Nilai-nilai Etika Dalam Audit

Beragam masalah etis berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan auditing.
Banyak auditor menghadapi masalah serius karena mereka melakukan hal-hal kecil yang tak
satu pun tampak mengandung kesalahan serius, namun ternyata hanya menumpuknya hingga
menjadi suatu kesalahan yang besar dan merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan
yang diberikan.

Untuk itu pengetahuan akan tanda-tanda peringatan adanya masalah etika akan
memberikan peluang untuk melindungi diri sendiri, dan pada saat yang sama akan membangun
suasana etis di lingkungan kerja. Masalah-masalah etika yang dapat dijumpai oleh auditor yang
meliputi permintaan atau tekanan untuk:

1. Melaksanakan tugas yang bukan merupakan kompetensinya


2. Mengungkapkan informasi rahasia
3. Mengkompromikan integritasnya dengan melakukan pemalsuan, penggelapan,
penyuapan dan sebagainya
4. Mendistorsi objektivitas dengan menerbitkan laporan-laporan yang menyesatkan
2.2.7 Dilema Etika

Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai
perilaku yang pantas harus dibuat. Auditor banyak menghadapi dilema etika dalam
melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan auditan jelas merupakan dilema etika. Ada
beberapa alternatif pemecahan dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara
yang merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika.

Berikut ini adalah metode rasionalisasi yang biasanya digunakan bagi perilaku tidak
beretika:

1. Semua orang melakukannya. Argumentasi yang mendukung penyalahgunaan


pelaporan pajak, pelaporan pengadaan barang/jasa biasanya didasarkan pada
rasionalisasi bahwa semua orang melakukan hal yang sama, oleh karena itu dapat
diterima.
2. Jika itu legal, maka itu beretika. Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku
legal adalah beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum. Dengan
pemikiran ini, tidak ada kewajiban menuntut kerugian yang telah dilakukan
seseorang.
3. Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Pemikiran ini bergantung pada
evaluasi hasil temuan seseorang. Umumnya, seseorang akan memberikan hukuman
(konsekuensi) pada temuan tersebut.

You might also like