Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
Disusun Oleh :
Jermansyah DD Khairari
2018790063
2019
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. NA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 9 tahun 25 hari
Nomor Rekam Medis : 90.xx.xx
Alamat : Warung Jambe 01/02 Sayang
Tanggal Masuk : 27-08-2019
Tanggal Periksa : 27-08-2019
II. Anamnesis
Dilakukan Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan Ibu pasien pasien tanggal 27
Agustus 2019 jam 06.15 WIB.
Keluhan Utama
Bengkak
1
Penderita baru pertama kali seperti ini. Riwayat penyakit jantung, sesak nafas, sakit
kuning, infeksi saluran kencing, riwayat kontak dengan penderita batuk lama di
sangkal.
Riwayat Pengobatan
2 hari SMRS pasien datang ke praktek dokter dan diberi tablet warna hijau yang
diminum 3x2 tablet/hari tetapi baru diminum 1 kali karena tidak ada perbaikan,
langsung datang ke RSUD Sayang Cianjur.
Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi makanan, obat, debu dan lain lain.
Riwayat Kehamilan
Selama kehamilan ibu pasien selalu mengikuti pemeriksaan kesehatan rutin selama
kehamilan ke Klinik Bidan 1 bulan sekali. Ibu rutin konsumsi tablet fe selama
kehamilan. Riwayat penyakit dan trauma selama kehamilan tidak ada.
Riwayat Kelahiran
Pasien lahir cukup bulan 37 minggu secara normal dibantu oleh bidan dekat rumah.
Pasien lahir langsung menangis dengan BBL 3.000 gram. Riwayat persalinan lama,
ketuban pecah dini, dan darah tinggi disangkal oleh ibu pasien. Pasien merupakan anak
pertama.
Riwayat Perkembangan
Ibu pasien merasa perkembangan anaknya sesuai umur.
Riwayat Imunisasi
2
Usia 4 bulan Orang tua pasien lupa
Usia 6 bulan Orang tua pasien lupa
Usia 9 bulan Campak
Kesan imunisasi dasar belum lengkap
Riwayat psikososial
Pasien sering konsumsi minuman kemasan (ale-ale, fanta dll), sehari ± 3 atau 4.
3
Status Generalisata
4
Glukosa (reduksi) Normal Normal mg/dL
Keton 15/1+ Negative mg/dL
Urobilinogen Normal Normal UE
Bilirubin Negative Negative mg/dL
Eritrosit 250/4+ Negative /ul
Leukosit 100/2+ Negative /ul
Mikroskopis
Leukosit 6-8 1-4 /LPB
Eritrosit 13-14 0-1 /LPB
Epitel 3-5
Kristal Negative Negative
Silinder Negative Negative /LPK
Lain-lain Bakteri (+) Negative
5
Absolut
Limfosit # 3.21 10^3ML 1 – 1,51
Monosit # 1.40 10^3ML 0,16 – 1.0
Neutrophil # 18.60 10^3ML 2.1 – 8,4
Eosinophil # 0.06 10^3ML 0.02 – 0.50
Basofil # 0.12 10^3ML 0.00 – 0.10
KIMIA KLINIK
(28/08/2019)
KIMIA KLINIK
Lemak
Cholesterol total 166 <200 mg/dL
Fungsi Hati
AST (SGOT) 34 15-37
ALT (SGPT) 23 14-59
Protein total 5.83 6.7-7.8 g/dL
IMUNOSEROLOGI
(29-08-2019)
Kimia Urine
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
Berat jenis 1.015 1.013 – 1.030
Ph 5.0 4.6-8.0
Nitrit Negative Negative mg/dL
Protein urin 150/3+ Negative mg/dL
6
Glukosa (reduksi) Normal Normal mg/dL
Keton Negative Negative mg/dL
Urobilinogen Normal Normal UE
Bilirubin Negative Negative mg/dL
Eritrosit 250/5+ Negative /ul
Leukosit 500/3+ Negative /ul
Mikroskopis
Leukosit Banyak 1-4 /LPB
Eritrosit Banyak 0-1 /LPB
Epitel 6-8
Kristal Negative Negative
Silinder Negative Negative /LPK
Lain-lain Negative Negative
7
V. Resume
Bengkak sejak 4 hari SMRS, bengkak muncul pertama kali pada kelopak mata, di susul
di daerah perut, dan kedua tangan dan kaki, bengkak di rasakan semakin memberat dan
bertambah besar. Bengkak sedikit berkurang pada siang hari pada siang. Ibu pasien
mengatakan anaknya mengalami bengkak pada seluruh tubuhnya saat pagi hari ketika
baru bangun tidur. Selama bengkak tersebut pasien mengeluh buang air kecil nya
menjadi jarang, sehari 3 kali/hari ± sebanyak 1/4 gelas belimbing, sebelumnya pasien
buang air kecil 5-6 kali/hari masing-masing ± sebanyak ½ gelas. Ibu pasien juga
mengeluh air kencing pasien keruh seperti air cucian daging, tidak terasa sakit saat
BAK. Pasien mengaku tidak pernah menunda-nunda BAK. Riwayat nyeri BAK, dan
kencing berdarah sebelumnya disangkal.
Keluhan bengkak juga disertai dengan nyeri dada saat tidur, nyeri berkurang apabila
pasien tidur dengan tiga bantal. Ibu pasien mengatakan sebelumnya pasien mengeluh
jantung berdebar-debar, sebelumnya tidak ada riwayat mudah cepat lelah ketika
beraktivitas atau penyakit jantung pada keluarga. Ibu pasien mengatakan bahwa
keluhan di dahului dengan batuk pilek 2 minggu yang lalu. Pasien tidak mengeluh
adanya luka di kulit sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan : edema pada
wajah, palpebra, perut dan kedua tungkai. Dari perkusi abdomen di temukan ascites
yang di pertegas dengan shifting dullness Dari hasil TTV didapatkan kenaikan TD
menjadi 130/90.
8
Non-medicamentosa
Nihil garam
IX. Prognosis
FOLLOW-UP HARI 1
FOLLOW-UP HARI KE 2
9
Cefotaxime 2x1gr
Ambroxol syr 3xCth 1
FOLLOW-UP HARI KE 3
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom nefritik akut adalah hasil dari peradangan yang mempengaruhi kelompok
pembuluh darah kecil, yang dikenal sebagai glomeruli, di ginjal. Karena glomeruli
adalah unit filter utama ginjal, peradangan ini mengganggu kemampuan ginjal untuk
menyaring darah secara memadai. Peradangan dapat berasal dari ginjal itu sendiri atau
akibat infeksi atau cedera di bagian tubuh lainnya. Ini dapat terjadi pada segala usia,
termasuk anak-anak.
Menurut konsensus IDAI mengenai nefrologi menyebutkan, Sindrom Nefritik Akut
(SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria,
azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut.
Selain itu, SNA juga dapat diartikan sebagai kumpulan gambaran klinis berupa
oliguria, edema, hipertensi yang disertai adanya kelainan urinalisis (proteinuri kurang
dari 2 gram/hari dan hematuri serta silinder eritrosit).
Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut (GNA).
GNA ini adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih menggambarkan
proses histopatologi berupa proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses
imunologik. Jadi, SNA merupakan istilah yang bersifat klinik dan GNA merupakan
istilah yang lebih bersifat histologik.
Epidemiologi
Salah satu bentuk Sindrom nefritis akut (SNA) yang banyak dijumpai pada anak adalah
SNA setelah infeksi streptokokus yang dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling
sering terjadi pada usia 6 – 7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan
sebaran usia 2,5 – 15 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1,
34 : 1.
Nefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering
mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-
laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun.
Etiologi
Penyebab tersering sindrom nefritik akut di Indonesia adalah infeksi streptokokus b
hemolitikus grup A. Tidak semua penderita sindrom nefritik akut menunjukkan
hematuria makroskopik.
11
pemantauan selanjutnya ditemukan gejala dan tanda yang menyokong diagnosis SNA
paska infeksi straptokokus (C3↓, ASO↑, dll), maka diagnosis menjadi SNA paska
infeksi straptokokus. Hal ini penting diperhatikan, oleh karena ada pasien yang
didiagnosis sebagai SNA paska infeksi streptokokus hanya berdasarkan gejala nefritik,
ternyata merupakan penyakit sistemik yang juga memperlihatkan gejala nefritik. Bila
dijumpai full blown cases yaitu kasus dengan gejala nefritik yang lengkap yaitu
proteinuria, hematuria, edema, oliguria, dan hipertensi, maka diagnosis SNA paska
infeksi straptokokus dapat ditegakkan, karena gejala tersebut merupakan gejala khas
(tipikal) untuk suatu SNA paska infeksi straptokokus.1
Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara lain:
Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria:
o Glomerulonefritis fokal
o Nefritis heriditer (sindrom Alport)
o Nefropati Ig-A Ig-G (Maladie de Berger)
o Benign recurrent hematuria
Glomerulonefritis progresif cepat
Penyakit-penyakit sistemik:
o Purpura Henoch-Schoenlein (HSP)
o Lupus erythematosus sistemik (SLE)
o Endokarditis bakterial subakut (SBE)
Gejala klinis
Sindrom Nefritis Akut lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang
pada usia di bawah 2 tahun. SNA paska infeksi straptokokus didahului oleh infeksi
GABHS (group A β-hemolytic streptococci) melalui infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau
3 minggu pada pioderma.
Gejala klinik SNA paska infeksi straptokokus sangat bervariasi dari bentuk
asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada
bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila
terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat
kontak dengan penderita SNA paska infeksi straptokokus simtomatik.1
SNA simtomatik
1. Periode laten :
Pada SNA paska infeksi streptokokus yang khas harus ada periode laten yaitu periode
antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3
minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada SNA paska infeksi streptokokus
yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi
12
kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini
berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain,
seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria.1
2. Edema :
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang
pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema
palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul
di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai
sindrom nefrotik.1
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan
lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena
adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada
siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya
gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar
dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan.1
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus SNA paska infeksi streptokokus,
sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.1
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama
dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu.
Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam
waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria
walaupun secara klinik SNA paska infeksi streptokokussudah sembuh. Bahkan
hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah
menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal,
mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.
4. Hipertensi :
13
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus SNA paska infeksi
streptokokus. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan
dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai
hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati
sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal
kembali. Ada kalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu
hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran
menurun dan kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati
hipertensi berkisar 4-50%.1
5. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus SNA paska infeksi
streptokokusdengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi
bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala
sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang
bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula
menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan
prognosis yang jelek.1
6. Gejala Kardiovaskular :
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi
pada 20-70% kasus SNA paska infeksi streptokokus. Bendungan sirkulasi dahulu
diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik
bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini
berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga
akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.1
a. Edema paru
14
Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit
utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian
perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi
kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus SNA
paska infeksi streptokokus. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama
dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain.
Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi
pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik
dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan
(LDK).1
7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia.
Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat
hematuria makroskopik yang berlangsung lama.
Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis SNA paska streptokokus, tetapi
pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:1
a. SNA Simtomatik
Secara klinik diagnosis SNA paska infeksi streptokokus dapat ditegakkan bila dijumpai
full blown case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang
merupakan gejala-gejala khas SNA paska infeksi streptokokus.
Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa ASTO
(meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit,
hematuria & proteinuria.
Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus grup
A.
b. Pada SNA asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin (hematuria
mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita SNA paska
streptokokus
Analisis urin memperlihatkan adanya sel-sel darah merah, seringkali bersama dengan
silinder sel darah merah dan proteinuria, leukosit polimorfonuklear tidak jarang
ditemukan. Anemia normokromik ringan dapat terjadi akibat hemodelusi dan hemolisis
ringan. Kadar C3 serum biasanya menurun.
Pada anak dengan SNA, jika terdapat bukti adanya infeksi streptococcus dan kadar C3
rendah, diagnosis klinis SNA paska infeksi streptokokus sudah dapat dibenarkan dan
15
tidak perlu diindikasikan pemeriksaan biopsi ginjal. Namun, penting untuk
mengesampingkan lupus eritematosus sistemik dan eksaserbasi akut glomerulonefritis
kronis. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah.
Pada SLE tidak terdapat edema, hipertensi ataupun oliguria. Biopsi ginjal dapat
mempertegas perbedaan dengan SNA paska infeksi streptokokus.
Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen dan artralgia, sedangkan pada SNA
paska infeksi streptokokus tidak ada gejala demikian. Sindroma nefritik akut yang
terjadi setelah infeksi selain streptococcus biasanya lebih mudah terdiagnosis karena
gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya masih berlangsung. SNA bisa pula terjadi
sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh Group A β-hemolytic
streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala SNA yang timbul sesudah
infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO.1
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
16
Albumin serum sedikit menurun.
Titer anti-streptolisin O meningkat pada 60-80% penderita.
Uji fungsi ginjal normal pada 50% penderita.
Penatalaksanaan
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam
minggu pertama perjalanan penyakit SNA paska infeksi streptokokus. Sesudah fase
akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan
seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu
dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan
hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan
sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai
kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat
jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain
dan jauh dari teman-temannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik.1
2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan
tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1
g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.
Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau
anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti
asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah
keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).1
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada SNA paska infeksi streptokokus sampai sekarang masih
sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya
secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi
streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik
sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu).
17
Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu
Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi
terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.1
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan, dengan kata
lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda
edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka
dilakukan dialisis peritoneal.
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan
istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali normal
dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral
dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya.
Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi
nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi
setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala
serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang
dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara intravena (I.V).
Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb).1
18
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian kalori yang
cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat
dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat
kalium.1
Pemantauan
Pada umumnya perjalanan penyakit SNA ditandai dengan fase akut yang berlangsung
1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala-gejala seperti edema,
hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala
laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Penelitian multisenter di Indonesia
memperlihatkan bahwa hematuria mikroskopik terdapat pada rata-rata 99,3%,
proteinuria 98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%. Kadar C3 yang menurun
(hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan
hematuria dapat menetap selama 6 bln–1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melacak adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat
menetap hingga 6 bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1
tahun.
Komplikasi
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat
melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan memberikan
nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada anak dengan
19
kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga
3 kali.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah
turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan
dipantau hingga normal.1
Pengobatan konservatif :
b. Mengatur elektrolit :
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering disangka
sebagai bronkopneumoni.1
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada
komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun
sangat jarang, SNA paska infeksi streptokokus dapat kambuh kembali.
20
Pada umumnya perjalanan penyakit SNA ditandai dengan fase akut yang berlangsung
1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala laboratorik terutama
hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95%
kasus SNA sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% SNA paska
infeksi streptokokus dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara
histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam
proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik.
Walaupun prognosis SNA paska infeksi streptokokus baik, kematian bisa terjadi
terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema
paru akut atau ensefalopati hipertensi.1
21
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Jakarta; 2012.
2. Lufian. Reddy, Suarta. Ketut, Putu Niwalti. Karakteristik glomerulonephritis akut
paska streptokokus pada anak di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012-2015. 2017 FK
Udayana. Bali
3. Abbas A.K.., Lichtman A.H., Pillai S., 2015, Cellular and Molecular Immunogy, 8th
ed, Elsevier-Saunders, Philadelphia
4. Buku Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Oleh Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FK UNHAS tahun 2015
22