You are on page 1of 11

TUGAS MAKALAH

TEORI BERMAIN

OLEH KELOMPOK 4 :

NAMA : 1. DEFRI A. PERANG SIR (1901150078)


2. HESRON JULIO. ABANAT (1901150035)
3. YUSRI HARIANTO. KA (1901150038)
4. FELIX A. ABDULLAH (1901150021)
5. ROBERTO. CARLOS (1901150005)
6. DEDYANUS L. NGGADAS (1901150055)
7. JEKLINUS Q. D. ATE (1901150020)
8. MARIA. IMAKULATA ( )

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesainya makalah yang
berjudul “Teori Bermain”
Makalah ini berisi tentang Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain.
Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran di pendidikan
anak adalah bermain dan belajar
Makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dari semua pihak yang bersifat membangun agar makalah atau karya ilmiah yang
lebih baik. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Dan
semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati kita dalam menuntut ilmu. Terima kasih.

Kupang. Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas bermain
dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat
kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran di pendidikan anak usia dini adalah bermain
dan belajar.
Pada usia anak – anak fungsi bermain berpengaruh besar sekali bagi perkembangan anak. Jika
pada orang dewasa sebagian besar perbuatannya diarahkan pada pencapaian tujuan dan prestasi dalam
bentuk kegiatan kerja, maka kegiatan anaka sebagian besar dalam bentuk bermain.
Permainan adalah kesibukan ynag dipilih sendiri oleh tujuan umpamanya saja, jika anak bayi
berusaha menyentak-nyentakkan tangan dan kakinya dengan tidak henti-hentinya meremas-remas jari-
jari, dan teruis menerus menggoyang-goyangkan badannya.Gerakan-gerakan tersebut dilakukan demi
gerkan itu sendiri, dalam iklim psikis bermain-main yang mengasyikkan dan menyenangkan hati.
Kegiatan bermain bayi-bayi dan anak-anak kecil itu lebih tepat jika disebutkan sebagai usaha mencoba-
coba dan melatih diri.
Sekalipun kita menyangka anak itu Cuma bermain-main dengan rasa acuh tak acuh saja, namun,
pada hakikatnya kegiatan tadi disertai intensitas kesadaran, minat penuh, dan usaha yang keras. Gerak-
gerak bermain anak itu disebabkan oleh :
a. Kelebihan tenaga yang teradapat pada dirinya dan dikemudian hari digerakkan
b. Dorongan belajar guna melatih semua fungsi jasmani dan rohani.

Dengan jalan bermain anak melakukan eksperimen-eksperimen tertentu dan bereksplorasi, sambil
mengetes kesanggupannya. Melalui permainan anak mendapatkan macam-macam pengalaman yang
menyenangkan, sambil menggiatkan usaha belajar dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan. Semua
pengalamannya via kegiatan bermain-main akan memberi dasar yang kokoh kuat bagi pencapaian
macam-macam keterampilan. Yang sangat diperlukan bagi pemecahan kesulitan hidup dikemudian hari.
Dalam makalah ini akan dibahas teori bermain bagi akan menurut beberapa teori.
BAB II
PEMBAHASAN

Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa, karena
terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka pada
perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain
adalah Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat
pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mepelajari aritmatika
dengan cara membagikan apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniature
balok-balok kepada anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang
ahli bangunan.

Ada beberapa teori yang menjelaskan arti serta nilai permainan, yaitu sebagai berikut[1] :
1. Teori Rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz 2 orang sarjana Jerman
diantara tahun 1841 dan 1884. Mereka menyatakan permainan itu sebagai kesibukan
rekreatif, sebagai lawan dari kerja dan keseriusan hidup. Orang dewasa mencari kegiatan
bermain-main apabila ia merasa capai sesudah berkerja atau sesudah melakukan tugas-
tugas tertentu. Dengan begitu permainan tadi bisa “ me-rekriir ” kembali kesegaran tubuh
yang tengah lelah.
2. Teori kelebihan tenaga Teori ini diutarakan oleh Herbert Spencer, seorang bangsa
inggris, ia mengatakan bahwa kelebihan tenaga (kekuatan, atau vitalitas) pada anak atau
orang dewasa yang belum digunakan, disalurkan untuk bermain. Kelebihan tenaga
dimaksudkan sebagai kelebihan energy, kelebihan kekuatan hidup, dan vitalitas, yang
dianggap oleh manusia untuk memelihara lewat permainan.
3. Teori kontak sosial
Teori kontak sosial berasal dari bahasa “ cum/con” artinya bersamaan dan “ tangere “
definisinya menyentuh. Sehingga kelahiran kontak sosial ini sebagai sutau proses
bersama-sama dalam kehidupan manusia, melalui sosialisasi yang menyentuh antara
masyarakat lainnya.
4. Teori Insting
Insting ialah suatu berkas atau butir energy psikis atau seperti yang dikatakan Freud.
Suatu ukuran tuntutan pada jiwa untuk bekerja (1950,hlm.168). Seluruh insting bersama-
sama merupakan keseluruhan energy psikis yang tersedia bagi kepribadian.
5. Teori Rekapitulasi
Dalam bukunya Amsyah (2005:296) berpendapat bahwa rekapitulasi adalah informasi
ringkas dengan hasil akhir dari suatu perhitungan (kalkulasi) atau gabungan perhitungan
yang beresiko angka-angka yang disajikan dalam bentuk kolom-kolom.
Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang berkembang sehingga pembahasan teori
bermain banyak dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi untuk memulihkan tenaga
sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini dipertanyakan karena pada anak kecil yang tidak
bekerja tetap melakukan kegiatan bermain. Jadi penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain
pada makhluk hidup belum dapat dijawab secara memuaskan.
Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan dalam teori
klasik. Mereka berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta apa tujuan dari bermain.
Ellis (dalam Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair theories karena teori itu dibangun
berdasarkan refleksi filosofis dan bukan melalui riset eksperimental. Teori klasik mengenai bermain dapat
dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu (1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2) teori rekapitulasi
dan praktis. Friedrich Schiller seorang penyair berkebangsaan Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer
seorang filsuf Inggris (abad 19) mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan mengapa ada perilaku
bermain. Herbert Spencer di dalam bukunya Principles of Psychology, pertengahan abad 19 (dalam
Millar, 1972) mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti berlari, melompat, bergulingan yang
menjadi ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak binatang perlu dijelaskan secara berbeda.
Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku pada
manusia serta binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang mempunyai tingkat evolusi
lebih rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup.
Ketrampilan kelompok binatang dengan tingkat evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak
menguras tenaga untuk mempertahankan hidup. Energi lebih ini dapat diumpamakan sebagai sistem kerja
air atau gas yang akan menekan ke semua arah untuk mencari penyaluran. Tekanan akan lebih kuat dan
butuh penyaluran yang lebih banyak bila volume air atau gas sudah melebihi daya tampungnya.
Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap psikologi, namun
teorinya dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh, anak akan cepat-cepat akan
menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah tugasnya selesai. Bayi yang sudah
mengantuk seringkali tetap ingin bermain dengan mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas tergambar
bahwa bermain merupakan suatu insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan energi.
Abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa yang
dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif tetapi pendapat Charles Darwin di dalam
bukunya Origin of Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahwa manusia
merupakan hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah akhirnya merangsang dan mendorong minat para
ilmuwan untuk mempelajari perkembangan manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa. Kalau
sebelumnya pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari perilaku manusia bersifat spekulatif, maka
sejak saat itu dilakukan lebih ilmiah, melalui metode observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat
pencatatan atas perkembangan anak-anak mereka.
G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori evolusi dan
bidang pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. G. Stanley Hall meninjau bermain dari
teori rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: ”anak merupakan mata rantai evolusi dari
binatang sampai menjadi manusia”. Artinya anak menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari
protozoa (hewan bersel satu) sampai menjadi janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan
sperma sampai anak lahir, melampaui beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan
perkembangan dari species ikan sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan
sesorang akan mengulangi perkembangan ras tertentu sehingga pengalaman-pengalaman ’nenek
moyangnya’ akan tertampil didalam kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan johnson et al,
1999). Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain
yang mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup. Sebagai contoh, kesenangan anak untuk
bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan ’nenek moyangnya’, species ikan yang mendapat
kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan untuk memanjat pohon dan berayun dari satu dahan ke
dahan lain sebagai cerminan kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul sebelum anak
terlibat dalam kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 – 12 tahun, anak senang berkemah, berperahu,
memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin kebiasaan masyarakat
primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja mempunyai kelemahan, tetapi setidaknya dapat di
anggap mempunyai peran besar karena berhasil mendorong minat ilmuwan lain untuk mempelajari
perilaku anak dalam berbagai tahap usia.
Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa bermain
berfungsi untuk memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa mendatang.
Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Binatang dapat
mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai ketrampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi
yang baru lahir dan juga binatang mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting
guna mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat bagi yang masih muda dalam melatih dan
menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi
ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.
Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan hidup dapat
kita amati pada anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan menangkap
mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai latihan untuk mengkontrol
tubuh. Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan untuk bicara.
Teori yang dikemukakan Gross mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi sumbangan
karena kegiatan bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada kenyataannya mempunyai manfaat
secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan hidup. Selain itu pendapat bahwa bermain
merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu masih bisa diterima.
Tabel: Teori-teori Klasik
No Teori Penggagas Tujuan Bermain
1 Surplus Schiller/Spencer Mengeluarkan energi
Energi berlebihan
2 Rekreasi Lazarus Memulihkan tenaga
3 Rekapitulasi Hall Memunculkan instink
nenek moyang
4 Praktis Groos Menyempurnakan
instink

Pentingnya Bermain Untuk Anak Usia Dini


Bermain merupakan kegiatan yang tidak pernah lepas dari anak. Keadaan ini menarik minat
peneliti sejak abad ke 17 untuk melakukan penelitian tentang anak dan bermain. Peneliti ingin
menunjukkan sejauhmana bermain berpengaruh terhadap anak, apakah hanya sekedar untuk mendapatkan
pengakuan dan penerimaan sosial atau sekedar untuk mengisi waktu luang.
Pendapat pertama tentang bermain oleh Plato mencatat bahwa anak akan lebih mudah memahami
aritmatika ketika diajarkan melalui bermain. Pada waktu itu Plato mengajarkan pengurangan dan
penambahan dengan membagikan buah apel pada masing-masing anak. Kegiatan menghitung lebih dapat
dipahami oleh anak ketika dilakukan sambil bermain dengan buah apel. Eksperimen dan penelitian ini
menunjukkan bahwa anak lebih mampu menerapkan aritmatika dengan bermain dibandingkan dengan
tanpa bermain.
Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat
antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang akan dilakukan anak dimasa yang akan datang.
Menurut Aristoteles, anak perlu dimotivasi untuk bermain dengan permainan yang akan ditekuni di masa
yang akan datang. Sebagai contoh anak yang bermain balok-balokan, dimasa dewasanya akan menjadi
arsitek. Anak yang suka menggambar maka akan menjadi pelukis, dan lain sebagainya.
Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak memiliki
energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang mengatakan bahwa
anak bermain (melompat, memanjat, berlari dan lain sebagainya) merupakan manifestasi dari energi yang
ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang
anak yang telah melemah.
Sigmund Freud berdasarkan Teori Psychoanalytic mengatakan bahwa bermain berfungsi untuk
mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara untuk mengurangi kecemasan yang berlebihan pada
anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukan berupa bermain fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama
atau pada saat bermain sendiri. Menurut Freud, melalui bermain dan berfantasi anak dapat
mengemukakan harapan-harapan dan konflik serta pengalaman yang tidak dapat diwujudkan dalam
kehidupan nyata, contoh, anak main perang-perangan untuk mengekspresikan dirinya, anak yang meninju
boneka dan pura-pura bertarung untuk menunjukkan kekesalannya.
Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan bahwa bermain mampu
mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan kiri secara seimbang dan
membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman yang berguna untuk
masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang sangat baik untuk menerima
pelajaran.
Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting bagi anak usia dini karena melalui
bermain mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah aspek fisik, sosial
emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik yaitu melalui permainan motorik
kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar keseimbangan, kelincahan, koordinasi
mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun dampak jika anak tumbuh dan berkembang dengan
fisik/motorik yang baik maka anak akan lebih percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki konsep
diri yang positif . Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial
emosional anak.
Bermain mengembangkan aspek sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak mempunyai
rasa memiliki, merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk hidup dan bekerja sama
dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan bermain dalam kelompok anak juga akan
belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan anak yang lain, belajar untuk menguasai diri dan
egonya, belajar menahan diri, mampu mengatur emosi, dan belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari
sisi emosi, keinginan yang tak terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain imajinasi dan
sosiodrama.
Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan perhatian
dan konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen, melatih ingatan,
mengembangkan prespektif, dan mengembangkan kemampuan berbahasa. Konsep abstrak yang
membutuhkan kemampuan kognitif juga terbentuk melalui bermain, dan menyerap dalam hidup anak
sehingga anak mampu memahami dunia disekitarnya dengan baik. Bermain memberi kontribusi alamiah
untuk belajar dan berkembang, dan tidak ada satu program pun yang dapat menggantikan pengamatan,
aktivitas, dan pengetahuan langsung anak pada saat bermain.
Salah satu cara anak mendapatkan informasi adalah melalui bermain. Bermain memberikan
motivasi instrinsik pada anak yang dimunculkan melalui emosi positif. Emosi positif yang terlihat dari
rasa ingin tahu anak meningkatkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Hal ini ditunjukkan dengan
perhatian anak terhadap tugas. Emosi negative seperti rasa takut, intimidasi dan stress, secara umum
merusak motivasi anak untuk belajar. Rasa ingin tahu yang besar, mampu berpikir fleksibel dan kreatif
merupakan indikasi umum anak sudah memiliki keinginan untuk belajar. Secara tidak langsung bermain
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan anak untuk belajar dan mencapai sukses. Hal ini sesuai dengan
teori bermain yang dikemukakan oleh James Sully, bahwa bermain berkait erat dengan rasa senang pada
saat melakukan kegiatan (Mayke S Tedjasaputra; 2001)
Aktifitas bermain yang belajar memberikan jalan majemuk pada anak untuk melatih dan belajar
berbagai macam keahlian dan konsep yang berbeda. Anak merasa mampu dan sukses jika anak aktif dan
mampu melakukan suatu kegiatan yang menantang dan kompleks yang belum pernah ia dapatkan
sebelumnya. Oleh karena itu pendidik seharusnya memberikan materi yang sesaui, lingkungan belajar
yang kondusif, tantangan, dan memberikan masukan pada anak untuk menuntun anak dalam menerapkan
teori dan melakukan teori tersebut dalam kegiatan praktek.
Ciri Utama Bermain
Pentingnya arti bermain bagi anak mendorong seorang tokoh psikologi dan filsafat terkenal Johan
Huizinga untuk ikut merumuskan teori bermain. Ia mengemukakan bahwa bermain adalah hal dasar yang
membedakan manusia dengan hewan. Melalui kegiatan bermain tersebut terpancar kebudayaan suatu
bangsa. Namun beberapa orang tidak dapat membedakan kegiatan bermain dengan kegiatan tidak
bermain. Pendidikan prasekolah yang menerapkan prinsip pendidikan anak dengan belajar yang bermain,
mengalami kerancuan dalam makna. Untuk itu perlu diklasifikasikan antara kegiatan bermain dengan
kegiatan yang bukan bermain.
Menurut Rubin, Fein, & Vandenverg dalam Hughes ada 5 ciri utama bermain yang dapat
mengidentifikasikan kegiatan bermain dan yang bukan bermain :
1. Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri anak. Anak akan melakukannya apabila hal itu
memang betul-betul memuaskan dirinya. Bukan untuk mendapatkan hadiah atau karena
diperintahkan oleh orang lain.
2. Bermain dipilih secara bebas oleh anak. Jika seorang anak dipaksa untuk bermain, sekalipun
mungkin dilakukan dengan cara yang halus, maka aktivitas itu bukan lagi merupakan kegiatan
bermain. Kegiatan bermain yang ditugaskan oleh guru TK kepada murid-muridnya, cenderung
akan dilakukan oleh anak sebagai suatu pekerjaan, bukan sebagai bermain. Kegiatan tersebut
dapat disebut bermain jika anak diberi kebebasan sendiri untuk memilih aktivitasnya.
3. Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Anak merasa gembira dan bahagia dalam
melakukan aktivitas bermain tersebut, tidak menjadi tegang atau stress. Biasanya ditandai dengan
tertawa dan komunikasi yang hidup.
4. Bermain tidak selalu harus menggambarkan hal yang sebenarnya. Khususnya pada anak usia
prasekolah sering dikaitkan dengan fantasi atau imajinasi mereka. Anak mampu membangun
suatu dunia yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada, sesuai dengan mimpi-mimpi
indah serta kreativitas mereka yang kaya.
5. Bermain senantiasa melibatkan peran aktif anak, baik secara fisik, psikologis, maupun keduanya
sekaligus.
BAB III
KESIMPULAN

Anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Dorongan alamiah anak adalah bermain. Beberapa
manfaat diperoleh dari kegiatan bermain yaitu dapat mengembangkan aspek perkembangan anak.
Tahapan perkembangan anak juga dapat menjadi ciri dalam kegiatan bermain anak, sehingga kegiatan
bermain dapat diprediksi dan dijadikan acuan dalam perkembangan anak. Ketika pentingnya bermain
dapat dipahami oleh pendidik maka pendidik dapat mengupayakan kegiatan bermain menjadi lebih utama
dalam kegiatan belajar untuk anak. Upaya lain yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan merancang
lingkungan yang kondusif untuk anak bermain, dan menjadi fasilitator serta motivator untuk anak ketika
anak sedang bermain.
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth H, Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga, 1978


http://marthachristianti.wordpress.com/2008/03/11/anak-bermain/
http://sugiparyanto-sugiparyanto.blogspot.com/2009/01/sejarah-perkembangan-teori-bermain.html
Kartono, Kartini,Psikologi Anak, Bandung : Bandar Maju : 1995

Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.

Mayke Sugianto, Bermain, Mainan dan Permainan, Jakarta : Dirjen Pendidikan Tinggi, 1995.

You might also like