You are on page 1of 25

SMF Bagian Telinga Hidung Tenggorok Oktober 2019

RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang


Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

REFERAT
OBAT-OBAT OTOTOKSIK

Yosephina Paula Benga Tapowolo, S. Ked


(1408010064)

Pembimbing :
dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF / BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Referat ini dengan judul : Obat-obat Ototoksik Atas Nama : Yosephina Paula

Benga Tapowolo, S.Ked NIM 1408010064 pada Program Studi Pendidikan

Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana telah disajikan dalam

kegiatan kepaniteraan klinik bagian Telinga Hidung Tenggorok RSUD Prof. Dr.

W. Z. Johannes Kupang pada tanggal…Oktober 2019

Mengetahui Pembimbing :

1. dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp. THT-KL 1. ..................................

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, perlindungan, dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul obat-obat ototoksik di kepaniteraan klinik bagian ilmu Teling
Hidung Tenggorok RSUD Prof. W. Z. Johannes / Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana. Penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan,
dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis
menyampaikan terimakasih kepada :
1. dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp. THT-KL, selaku ketua bakordik bagian
Teling Hidung Tenggorok RSUD Prof. W. Z. Johannes dan selaku
pembimbing dalam penyusunan referat ini.
2. Seluruh staf Instalasi Kedokteran bagian Ilmu Teling Hidung Tenggorok
RSUD Prof. W. Z. Johannes – Fakultas Kedokteran Universitas Nusa
Cendana.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini jauh dari sempurna
maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga laporan
kasus ini memberi manfaat bagi banyak orang.

Kupang, Oktober 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ..................................................................................................... i


Halaman Pengesahan ......................................................................................... ii
Kata pengantar ..................................................................................................iii
Daftar isi ............................................................................................................ iv
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................. 1
Bab 2 Tinjauan Pustaka....................................................................................... 3
1. Anatomi telinga dalam ............................................................................... 3
2. Fisiologi pendengaran ............................................................................... 4
3. Mekanisme ototoksik ................................................................................ 5
4. Obat-obat ototoksik ................................................................................... 6
a. Aminoglikosida ..................................................................................... 6
b. Eritromisin .............................................................................................. 7
c. Loop diuretics ......................................................................................... 8
d. Anti inflamasi ...................................................................................... 10
e. Obat anti malaria .................................................................................. 11
f. Obat anti tumor .................................................................................... 11
g. Obat tetes telinga ................................................................................. 13
5. Faktor resiko ............................................................................................. 14
6. Pemeriksaan audiologi ............................................................................. 15
7. Penatalaksanaan........................................................................................ 18
8. Pencegahan ............................................................................................... 18
9. Prognosis .................................................................................................. 19
Bab 3 kesimpulan ............................................................................................. 20
Daftar Pustaka .................................................................................................. 21

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang

terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang terjadi

pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli sensoryneural. Yang dapat

bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau tidak dapat diubah dan permanen.

Menurut hasil penelitian oleh WHO pada tahun 2013 bahwa terdapat 360

juta orang di dunia mengalami gangguan pendengaran atau tuli. Dari data tersebut

dapat disimpulkan bahwa 5,3% populasi di seluruh dunia menderita tuli. Telah

diperkirakan bahwa pada tahun 2030-2050 populasi penderita tuli akan terus

meningkat akibat bertambah tua, pemeriksaan yang tidak dilakukan dengan baik,

hingga akses ke pelayanan yang belum optimal.

Indonesia termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian

yang cukup tinggi (4,6%), 3 negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar

(8,4%), dan India (6,3%). Berdasarkan data yang didapatkan dari Litbang Depkes

terdapat 9 provinsi di Indonesia dengan angka prevalensi tuli pada penduduk usia

lebih dari 5 tahun yang telah melebihi angka nasional (2,6%), yaitu di Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Maluku Utara,

Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Lampung dan Nusa Tenggara

Timur. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, menunjukkan bahwa penduduk

Indonesia yang berusia 5 tahun ke atas sebanyak 2,69% mengalami tuli. [7]
2

Tinnitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama

ototoksisitas. Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat

yang telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran

adalah golongan aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs

(NSAID), agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan

aminoglikosida.1,4 Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan

ototoksisitas kini sangat sering ditemukan oleh karena penggunaan obat-obatan

ototoksis yang semakin sering. Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat

obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan

pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan obat-obatan ototoksik.1

Dengan mengetahui jenis obat dan mekanisme ototoksiknya, diharapkan menjadi

salah satu cara untuk mengurangi prevalensi ototoksisitas di Indonesia.


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI TELINGA DALAM

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan

vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak

koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala

vestibuli.1Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak

skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media

(duktus koklearis).1Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan

skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda

dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibul.

Gambar.1 Anatomi Telinga Dalam.


4

II. FISIOLOGI PENDENGARAN

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga

tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran

melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas

membran timpani dan tingkap lonjong.1

Gambar.2 Proses Pendengaran.5


5

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang

menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak.

Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa,

sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran

tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya

defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi

pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses

depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis

yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke

nukleus auditorius.1 Serabut-serabut saraf ini berjalan menuju inti koklearis

dorsalis dan ventralis dan menuju kolikulus inferior kotralateral,tetapi sebagian

serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilanga berikutnya terjadi pada lemnikus

lateralis dan kolikulus inferior yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum

dan kemudian menuju ke korteks pedengaran di lobus temporalis.5

III. MEKANISME OTOTOKSIK

Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak

struktur dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur

auditori dan/atau vestibular telinga dalam.(Ballenger)

Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat

menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang

disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :1,4
6

1. Degenerasi stria vaskularis

2. Degenerasi sel epitel sensori

3. Degenerasi sel ganglion

IV. OBAT-OBAT OTOTOKSIK

Berikut uraian beberapa preparat ototoksik dan mekanisme ototoksiknya.

a) AMINOGLIKOSIDA

Obat-obat tersebut adalah : streptomisin,neomisin,kanamisin, gentamisin,

tobramisin, amikasin dan yang baru adalah netilmisin dan sisomisin. Gentamisin

dan streptomisin merupakan oabat ototoksitas yang paling sering.

Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas

terhadap koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat

terjadinya akumulasi obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe

telinga dalam. Akumulasi terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi.

Waktu paruh amioglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik daripada di

dalam plasma. Sebagian besar ototoksisitas bersifat ireversibel dan terjadi akibat

destruksi progresif sel-sel epitel sensorik.6

Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti melalui

mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk kompleks

aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe

mengaktifkan substansi Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion

radical, hydrogen peroxide, hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-

substansi tersebut mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan


7

membuat mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c

menginisiasi apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya sel-sel

rambut pada organ korti.7

Gambar.3 Mekanisme ototoksik aminoglikosida

Tuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan

kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea dan dapat juga terjadi tuli

unilateral disertai gangguan vestibular.

b) ERITROMISIN

Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya bersifat

bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap

mikroorganisme yang sangat rentan. Laporan ototoksisitas eritromisin pertama

kali dilaporka pada tahun 1972. Gangguan pendengaran sementara merupakan

komplikasi yang mungkin timbul dalam pengobatan menggunakan eritromisin.

Hal ini teramati setelah pemberian intravena eritromisin gluseptat atau laktobionat

dosis tinggi ( 4 gr/hari) atau konsumsi oral eritromisin estolat dosis tinggi.6
8

Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin belum sepenuhnya dimengerti dan

lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui. Beberapa peneliti menyatakan

kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada akhirnya mengganggu potesial

ionik. Peneliti lain menyatakan obat ini mempengaruhi jaras pendengaran sentral.

Faktor resiko untuk terjadinya ototoksisitas eritromisisin adalah pasien dengan

gangguan renal, hepar, dan lanjut usia.7

Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang

pendengaran, tinitus subjektif, dan terkadang vertigo. Pernah dilaporkan bahwa

terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian IV

dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah

pengobatan dihentikan. Antibiotika lain seperti Vankomisin, Viomisin,

Minoksiklin dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang

terganggu fungsi ginjalnya.1,2

c) LOOP DIURETICS

Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang memblok

pompa Na+-K+-2Cl—di bagian asenden tebal ansa Henle, sehingga diuretik ini

disebut juga sebagai diuretik loop.6 Ketiga obat yang tersebut di atas adalah obat

yang paling ototoksik dari golongan diuretik loop.

Target kerja dari obat ini adalah protein soldium-potassium-2 chloride (Na+-

K+-2 Cl-) cotransporters. Protein ini ternyata banyak ditemukan pada sel epitelial

dan non-epitelial dan juga terlokalisasi pada stria vaskularis koklea. Inhibisi dari
9

kerja protein ko-transporter tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari sel marginal

ke ruang intrastrial sehingga menimbulkan edema pada ruang intrastrial dan juga

pada sel penyusun stria vaskularis. Kondisi ini akan mempengaruhi potensial

endokoklea, yang penting untuk mempertahankan potensial sel rambut dalam

batasan yang normal.9 Akan terjadi penurunan potensial positif endolimfe.

Furosemid dilaporkan memiliki efek langsung pada motilitas sel rambut luar (

outer hair cell) yang akan menimbulkan disfungsi sensori.10

Diuretik loop dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus, gangguan

pendengaran, ketulian, vertigo, dan rasa ―penuh‖ pada telinga. Gangguan

pendengaran dan ketulian biasanya bersifat reversibel, tetapi tidak selalu.

Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian intravena secara cepat dan

sangat jarang terjadi pada penggunaan oral, terlebih lagi bila diberikan pada

pasien dengan insufisiensi ginjal. Faktor resiko lainnya adalah pemberian IV

secara cepat (≥ 25 mg/menit). Asam etakrinat menginduksi ototoksisitas lebih

sering dibandingkan diuretik lainnya. Bila bersamaan digunakan bersama

aminoglikosida, dapat memperberat ototoksisitas yang muncul.1,6,10

Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada

pasien dengan gagal ginjal, waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3 jam.

Kadar plasma > 50 mg/L berkaitan dengan munculnya gangguan pendengaran.


10

d) ANTI INFLAMASI

Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat

anti inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik,

anti-inflamasi, dan pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat

metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID

juga menghambat derivat non-prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion

lipofilik, dan bila pH semakin rendah (daerah inflamasi biasanya pH asam) maka

semakin besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara umum

menghambat translokasi anion melewati membran sel, yang berkontribusi pada

munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat meenghambat protein

membran (prestin) dari sel rambut luar koklea memfasilitasi elektromotilitas

melalui translokasi transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga

mempengaruhi daya choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien

yang sebelumnya telah diterapi dengan salisilat menunjukkan struktur koklea

yang normal. Hal ini menyatakan bahwa efek ototoksisitas obat ini adalah

reversibel.9

Konsentrasi serum asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan dengan

kehilangan pendengaran > 30 dB. Gangguan pendengaran yang ditemukan adalah

tuli sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus. Namun apabila pengobatan

dihentikan pendengaran akan pulih kembali dan tinitus menghilang.1,9


11

e) OBAT ANTI MALARIA

Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.1

Pemberian klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (>

250 mg) untuk mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan

ototoksisitas.6 Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral,

misalnya pada malaria serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran

dan tinitus. Namun bila pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih

kembali dan tinitus hilang. Klorokuin dan kina dapat melalui plasenta sehingga

dapat terjadi tuli kongenital dan hipoplasia koklea.1

Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila digunakan

dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang

fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus,

berkurangnya ketajaman pendengaran, dan vertigo.6

f) OBAT ANTI TUMOR

Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi

tumor ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala-leher. Seperti banyak

agen neoplastik lain, cisplatin dapat menyebabkan efek-efek yang tidak

diinginkan antara lain ototoksisitas. Efek ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi

dan pada akhirnya menimbulkan ketulian permanen/reversibel. Banyak studi

penelitian menyatakan cisplatin menyebabkan kematian sel rambut yang

merupakan organ sensori penting. Setelah diinjeksi secara sistemik, cisplatin


12

terakumulasi di cairan telinga dalam dan diabsorbsi oleh sel epitel telinga.

Platinated DNA ditemukan pada sel rambut dan sel-sel penunjang. Pajanan

cisplatin juga meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut

dan menyebabkan pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. Namun, studi lain

menyatakan target primer cisplatin masih belum jelas, sel rambut ataukah tipe sel

epitel sensori telinga lain.

Penelitian sebelumnya menyebutkan terapi cisplatin menginduksi perubahan

struktural pada sel-sel penunjang koklea.11Dari hasil penelitian pada sel rambut

koklea hewan, didapatkan bahwa terapi dengan cisplatin menyebabkan kehilangan

progresif stereosilia, dimulai dari distal/basal ke proksimal/apikal (distal-to-

proximal pattern).11 Pola kerusakan ini berkaitan erat dengan dimulainya

penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi terlebih dahulu.

Selain itu cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria vaskularis.9

Sejak pertama kali dikenalkan, dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m 2 .

Peningkatan pemberian dosis menimbulkan peningkatan kejadian dan derajat

gangguan pendengaran. Dilaporkan bahwa pada pasien yang mendapatkan terapi

cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan pendengaran. Gangguan

pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama kali pada

frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke frekuensi yang lebih

rendah ( 2000 Hz dan 4000 Hz) dapat terjadi bila terapi dilanjutkan. Gejala

ototoksisitas dapat menjadi lebih berat setelah pemberian obat melalui bolus
13

injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi dengan cara pemberian secara lambat

(slow infusion) dan pembagian dosis. (Balleger).

g) OBAT TETES TELINGA

Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida

seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian oleh karena obat tersebut

dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun

membran tersebut pada manusia lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon

(semacam monyet besar) (± > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat

ditembus obat-obatan tersebut.1

Obat tetes telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita infeksi telinga

luar. Beberapa laporan pada literatur menguraikan gejala ototoksisitas muncul

setelah pemberian agen ototopikal pada pasien dengan perforasi membran

timpani. Jalur untuk obat ototopikal melewati telinga tengah ke telinga dalam

adalah melewati tingkap bundar dan menuju perilimfe skala timpani. Membran

tingkap bundar terdiri atas 3 lapisan yang mengandung micropinocytotic vesicles.

Vesikel ini memberikan jalan pada banyak substansi, misalnya elektrolit,

peroksidase, dan albumin. Masuknya substansi tersebut melalui 3 mekanisme

yaitu difusi, transpor inter-epitelial, dan transpor-intraepitelial. Permeabilitas

membran tingkap bundar ditemukan secara eksperimental meningkat 48jam

setelah munculnya infeksi telinga tengah. Selama infeksi kronis (OMSK),

membran tingkap bundar menjadi lebih tebal akibat deposisi dari jaringan ikat dan
14

juga terbentuknya mucosal web. Hal ini menyebabka membran mejadi kurang

permeabel selama inflamasi kronik berlangsung.12

Ototoksisitas dari penggunaan topikal tetes telinga menampakkan derajat yang

bervariasi dalam derajat toksisitas vestibular dan koklea. Contohnya, pada pasien

dengan kadar plasma aminoglikosida yang tinggi (dalam jangka waktu yang

lama), akan terjadi kerusakan vestibulo-koklea. Namun, pada kadar teraupetikya

(kadar plasma normal), pada beberapa pasien aminoglikosida dapat menimbulkan

ototoksisitas Hal ini disebabkan aminoglikosida dapat berada di telinga dalam,

terbebas dari ekresi renal atau metabolisme hepar. Preparat topikal telinga yang

memiliki efek protektif terhadap koklea dan vestibular adalah iron chelator,

salisilat, kortikosteroid, leupeptin, dan asam lipoik alfa.12

V. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko yang paling umum untuk menimbulkan gangguan

pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik antara lain : ( ototoxic drug

WHO)

1. Usia lanjut

2. Neonatus

3. Dosis harian dan rute pemberian obat

Rute pemberian obat ototoksik penting dalam menentukan onset kerusakan

pendengaran. Rute yang paling berbahaya hingga paling aman berturut-

turut adalah intraspinal, kemudian intravena, intramuskular, perkutaneus,

dan oral.
15

4. Pajanan dalam jangka waktu yang lama oleh obat ototoksik

5. Kehamilan

6. Gagal ginjal

7. Insufisiensi hepar

8. Bekerja di lingkungan bising

9. Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya pada

diuretik)

VI. PEMERIKSAAN AUDIOLOGI

Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan

audiologi. Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE)

mendeteksi secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik

dibandingkan dengan kovensional Pure-tone threshold testing.13

1. Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)

Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian

basal dari koklea. HFA merupakan tes hantaran udara ( air-conduction

threshold testing ) untuk frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20

kHz. HFA dapat mendeteksi gangguan pendengaran akibat aminoglikosida

atau cisplatin. Oleh karena itu HFA saat ini umum digunakan untuk

memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.10

High Frequency Audiometry tidak dipengaruhi oleh otitis media. Berbeda

dengan OAE yang hasil pemeriksaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi

patologis pada telinga tengah, misalnya otitis media.10


16

2. Otoacoustic emission (OAE)

Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang

dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi

oleh serabut saraf eferen dan mempunyai elektromotilitas, sehingga

pergerakan sel-sel rambut akan menginduksi depolarisasi. Pemeriksaan

OAE dilakukan dengan cara memasukkan probe ke dalam liang telinga

luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara yang

berfungsi untuk memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi untuk

menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus.

Otoacoustic emission dibagi mejadi 2 kelompok, yaitu :1

a) Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)

b) Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)

Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang

timbul dengan adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1).

Stimulus-frequency Otoacoustic Emission; 2). Transiently-evoked

Otoacoustic Emission (TEOAE); 3). Distortion-product

Otoacoustic Emission (DPOAE).1


17

Gambar 4. Distortion-product Otoacoustic Emission (DPOAE).13

Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE efektif

untuk deteksi dini. DPOAE menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2)

dengan frekuensi tertentu.1,13

3. Pure Tone Audiometry (Audiometri nada murni )

Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran

akibat obat ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi tinggi pada

audiogram.13
18

VII. PENATALAKSANAAN

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati.

Bila pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga

dalan setelah dilakukan pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan

obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang

terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan.

Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal, renal, serta sifat

obat itu sendiri juga mempengaruhi kemunculan gejala ototoksik.1

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi

antara lain denga alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, belajar

berkomunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total

bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea.1,13

VIII. PENCEGAHAN

Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka

pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk

mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan

pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan

gejala-gejala keracunan telinga dalam seperti tinitus, kurang pendengaran, dan

vertigo.Pada pasien yang telah menunjukkan gejala-gejala tersebut harus

dilakukan evaluasi audiologi dan menghentikan pengobatan.1


19

IX. PROGNOSIS

Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya

pengobatan, serta kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu baik

malah mungkin buruk.1


20

BAB III

KESIMPULAN

Ototoksisitas merupakan efek berbahaya dari obat dan substansi kimia

pada organ pendengaran dan keseimbangan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh

preparat ototoksik tersebut antara lain degenerasi stria vaskularis, degenerasi

sel epitel sensori dan degenerasi sel ganglion.

Dari hasil ―WHO Multi Center Study” pada tahun 2013, Indonesia

termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup

tinggi (4,6%). Berdasarkan data yang didapatkan dari Litbang Depkes terdapat

9 provinsi di Indonesia dengan angka prevalensi tuli pada penduduk usia lebih

dari 5 tahun yang telah melebihi angka nasional (2,6%), salah satunya Nusa

Tenggara Timur.

Banyak obat dilaporkan memiliki efek ototoksik. Beberapa obat yang

paling sering digunakan dan bersifat ototoksik antara lain aminoglikosida,

eritromisin, diuretik loop, obat anti inflamasi, obat anti malaria, anti tumor, dan

obat tetes telinga. Masing-masing obat ini memiliki mekanisme tersendiri

dalam merusak struktur pendengaran dan keseimbangan. Efek yang timbul

dapat bersifat reversibel atau ireversibel.

Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan

audiologi. Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati.

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi. Pada tuli

total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea.


21

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan pendengaran akibat


obat ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 53 -
56.
2. Rybak, Leonard P., Touliatos, John. Ototoxicity. Dalam: Snow, James B.,
Ballenger, John J, Ed. Ballenger’s Otorhinolaryngology head and neck surgery.
Edisi ke-16, Spain: Williams & Wilkins, 1996, h. 374 – 378.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Rencana strategi nasional
penanggulangan gangguan pedengaran dan ketulian untuk mencapai sound
hearing 2030. 2006, h.4-5.
4. Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller D.
Drug-induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010, h.1049-1054.
5. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall buku ajar
fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007, h.688-689.
6. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba aminoglikosida. Dalam : Hardman
Joel, Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta : EGC,2007, h.
1195-1204.
7. Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity and
tinnitus: alleviation with melatonin. Journal of Physiology and Pharmacology.
2011, h. 1-7.
8. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba makrolida. Dalam : Hardman Joel,
Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta : EGC,2007, h.
1230-1231.
9. Durrant JD, Campbell K, Fausti S, Guthrie O, Jacobson G, Poling G. Ototoxicity
monitoring. American Academy of Audiology Position Statement and Clinical
Practice Guidelines. 2009, hal. 5-25.
10. Van der Heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA. Optimal
furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16.
11. Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks sensory
regeneration avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010, hal. 1-5.
12. Haynes DS, Rutka J, Hawke M, Roland PS. Ototoxicity of ototopical drops-an
update. Otolaryngologic Clinics of North America. 2007, hal. 670-675.
13. Martin DK, Gordon JS, Reavis KM, Wilmington DJ, Fausti SA. Audiological
monitoring of patient receiving ototoxicity drugs. American Speechlanguage
Hearing Association.2005, hal. 2-4.

You might also like