You are on page 1of 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330958021

Efektivitas Cognitive Behavior Therapy untuk Dewasa Muda dengan


Acrophobia

Article · August 2017

CITATIONS READS

0 103

3 authors, including:

Garvin Garvin Denrich Suryadi


Universitas Bunda Mulia Tarumanagara University
11 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    27 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Logosynthesis View project

Family therapy View project

All content following this page was uploaded by Garvin Garvin on 08 February 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia

2017, Vol. XII, No. 1, 31-40, ISSN. 0853-3098


EFEKTIVITAS CBT
31
EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOR
THERAPY UNTUK DEWASA MUDA DENGAN
ACROPHOBIA
(THE EFFECTIVITY OF COGNITIVE
BEHAVIOR THERAPY FOR YOUNG ADULTS
WITH ACROPHOBIA)
Garvin1, Monty Satiadarma2, dan Denrich Suryadi2
1
Universitas Bunda Mulia
2
Universitas Tarumanagara

Acrophobia is one of anxiety disorders characterized by irrational fear and anxiety, resulting in the
impedance of one's daily activity. The fear and anxiety are based on irrational thoughts and appear in
behavior, so Cognitive Behavior Therapy is believed to be effective in treating acrophobia. The study
involves three participants in the young adult stage. Each of the participants underwent seven sessions,
consist of functional analysis, understanding irrational belief, cognitive restructuring, systematic
desensitization, and in vivo exposure. Pretest-posttest design was used in this research, using
measurement of heart rate for quantitative data and observation for qualitative data. The heart rate
measurement was used and observation was conducted before and after intervention, when the subject
was dealing with height phobia. The result of paired sample t-test showed that there was a significant
decrease in heart rate when subject was exposed back to the height after therapy. Through observation,
researchers found changes in behavior when dealing with fear of height after participating the therapy
sessions.

Keywords: acrophobia, cognitive behavior therapy, young adult

Acrophobia merupakan gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut dan kecemasan yang tidak
beralasan terhadap ketinggian sehingga mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Ketakutan dan kecemasan
tersebut didasari oleh pemikiran yang tidak rasional dan muncul dalam bentuk perilaku, sehingga diprediksi
Cognitive Behavior Therapy efektif untuk menangani acrophobia. Penelitian melibatkan tiga partisipan yang
berada pada tahap usia dewasa muda. Masing-masing dari partisipan menjalani tujuh sesi terapi, terdiri
dari functional analysis, memahami irrational belief, restrukturisasi kognitif, systematic desensitization, dan
in vivo exposure. Desain yang digunakan adalah pretest-posttest design, menggunakan data kuantatif
melalui pengukuran denyut jantung dan data kualitatif melalui observasi. Pengukuran denyut jantung dan
observasi dilakukan sebelum dan sesudah menjalani intervensi, saat subjek berhadapan dengan objek
ketinggian. Hasil paired sample t-test menunjukkan bahwa adanya penurunan denyut jantung yang
signifikan ketika subjek dihadapkan kembali pada ketinggian setelah mendapatkan terapi. Melalui
observasi, ditemukan juga adanya perubahan perilaku pada ketiga subjek terhadap objek ketinggian
setelah melalui terapi.

Kata kunci: acrophobia, cognitive behavior therapy, dewasa muda


31
32 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

Specific phobia merupakan salah satu dimiliki oleh individu adalah fobia
gangguan psikologis yang memiliki ketinggian atau acrophobia (Taylor &
prevalensi paling lebar dalam kehidupan Vaidya, 2009). Depla et al (2008)
manusia (Depla, Have, Balkom, & Graaf; menemukan bahwa acrophobia merupakan
2008). Data menggambarkan bahwa specific phobia dengan prevalensi paling
sekitar 12% dari populasi dunia memiliki lebar. Penderita acrophobia merasakan
specific phobia (Taylor & Vaidya, 2009). kecemasan dan ketakutan terhadap
Penderita specific phobia merasakan lingkungan yang berkaitan dengan
kecemasan yang intens ketika harus ketinggian, termasuk tangga, teras balkon,
menghadapi objek fobia tersebut, namun apartemen, dan kantor yang berlokasi di
dalam kehidupan sehari-hari mereka gedung-gedung tinggi, dan terkadang juga
terkadang harus berhadapan dengan objek termasuk jembatan dan lift (Coelho &
tersebut sehingga membuat penderita Wallis, 2010).
specific phobia harus menjauhkan diri atau Pada individu dewasa awal, beberapa
bahkan melarikan diri dari objek fobia tugas perkembangan yang penting adalah
tersebut (Halgin & Whitbourne, 2009). bekerja dan menjalin relasi dengan orang
Bahkan, penderita fobia juga merasakan lain (Kail & Cavanaugh, 2010; Papalia &
kecemasan yang intens dan cepat ketika Feldman, 2012). Tugas-tugas
mereka juga mempercayai bahwa ada perkembangan tersebut, dapat terganggu
kemungkinan mereka akan menghadapi jika seseorang mengalami phobia. Bourne
objek fobia tersebut (Nolen-Hoeksema, dan Garano (2003) menyatakan bahwa
2004). Williams (2003) menyatakan bahwa rasa takut dan kecemasan pada phobia
penderita phobia sebenarnya secara logis cukup kuat untuk menganggu rutinitas
mengetahui bahwa situasi objek tersebut normal, pekerjaan, atau relasi dan
tidak akan menyakiti, namun rasa menyebabkan distress yang signifikan.
kecemasan tersebut tetap muncul. Individu dengan acrophobia, jika
Kring, Johnson, Davison, dan Neale dipertemukan dengan ketinggian, akan
(2010) menyatakan bahwa terkadang berusaha menghindar dengan kecemasan
specific phobia dapat mengganggu tujuan tinggi. Namun, dalam kehidupan saat ini,
hidup seseorang. Hal ini dikarenakan sulit untuk menghindari aktivitas yang
penderita specific phobia akan berusaha berkaitan dengan ketinggian. Hal ini tentu
untuk menghindari atau bahkan melarikan menyulitkan individu dengan acrophobia
diri dari objek yang ditakuti dengan untuk melakukan beberapa aktivitas yang
kecemasan yang intens (Halgin & terkait dengan ketinggian, seperti
Whitbourne, 2009). Sebagian besar menumpangi pesawat untuk kepentingan
penderita specific phobia tidak mencari pekerjaan, menaiki lift, bekerja pada kantor
penanganan fobia atau tidak mendapatkan dalam gedung tinggi, atau hanya sekadar
penanganan yang efektif (Adler & Cook- menyeberangi jembatan yang tinggi. Hal ini
Nobles, 2011). bisa menyebabkan distress. Tentu saja,
Salah satu specific phobia yang umum diperlukan penanganan untuk acrophobia
EFEKTIVITAS CBT 33

agar individu dapat melakukan aktivitas- therapy terhadap acrophobia pada dewasa
aktivitas tersebut tanpa harus melewati muda di Indonesia.
kecemasan yang intens. Berdasarkan pertimbangan-
Terdapat beberapa penanganan untuk pertimbangan di atas, maka penulis
acrophobia. Studi menemukan bahwa virtual bermaksud untuk melakukan penelitian
reality exposure, yakni mengajak berjudul “Efektivitas Cognitive Behavior
penyandang fobia untuk berhadapan dengan Therapy untuk Dewasa Muda dengan
objek fobia dalam kehidupan nyata, mampu Acrophobia”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengatasi acrophobia. (Coelho, Santos, mengetahui bagaimana efektivitas
Silverio, & Silva; 2006; Quervain et al., 2010; penerapan cognitive behavior therapy
Emmelkamp, Bruynzeel, Drost, & Der Mast dalam mengatasi acrophobia pada dewasa
2001). Selain psikoterapi, terapi fisik yakni muda.
vestibular physical therapy juga ditemukan
mampu mengatasi acrophobia yang terkait Metode
dengan vertigo (Whitney et al., 2005). Antony
Penelitian ini merupakan penelitian
dan Barlow (dalam Kring et al (2010)
eksperimen, dengan pengumpulan data
menemukan bahwa exposure therapy lebih
secara kuantitatif dan kualitatif. Pada data
efektif dibandingkan dengan cognitive
kuantitatif, teknik analisis yang digunakan
therapy. Wilding dan Milne (2008)
adalah paired sample t-test. Kriteria dari
berpendapat bahwa cognitive behavior
subjek penelitian ini adalah berusia 20-40
therapy dapat memberikan hasil untuk
tahun (masa dewasa muda) dan
specific phobia. Adler dan Cook-Nobles
menyandang acrophobia. Tidak ada
(2011) menemukan bahwa penanganan
pembatasan jenis kelamin, suku budaya,
spesific phobia dengan cognitive-behavioral
maupun agama dalam penentuan subjek
therapy dengan penekanan pada in vivo
penelitian. Metode sampling yang
exposure memberikan hasil yang efektif.
digunakan adalah purposive sampling.
Pengukuran kecemasan pada subjek
Cognitive-behavioral therapy efektif
acrophobia dilakukan dengan mengukur
dalam menangani specific phobia karena
denyut jantung, menggunakan alat Omron.
selain mengubah pemikiran individu terhadap
Peneliti juga melakukan observasi terhadap
objek fobia, juga mengubah perilaku individu
perilaku subyek ketika dihadapkan dengan
jika terpapar oleh objek fobia tersebut. Hal ini
objek ketinggian. Pengukuran dan
dikarenakan cognitive-behavioral therapy
observasi dilakukan sebelum dan sesudah
mengatasi kognisi dan perilaku individu.
pemberian intervensi (pre-test dan post-
Asumsi dasar CBT adalah perilaku didasari
test) agar peneliti bisa melihat efektivitas
oleh pikiran (Hofmann, Asnaani, Vonk,
dari intervensi yang diberikan kepada
Sawyer, & Fang, 2012; Sudak, 2006).
subjek. Intervensi yang digunakan adalah
Namun, hingga saat ini, penulis belum
cognitive behavior therapy, yang diberikan
menemukan penelitian yang meneliti
dalam 7 sesi, dengan rincian sebagaimana
efektivitas cognitive behavior
tercantum pada Tabel 1.
34 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

Tabel 1
Rincian Rancangan Intervensi

Pertemuan Rancangan Kegiatan


Initial interview Perkenalan dan penjelasan mengenai penelitian yang peneliti
(screening) lakukan, identifikasi keluhan, konfirmasi komitmen untuk
berpartisipasi dalam penelitian.

Sesi 1 Pre-test dengan pengukuran denyut jantung untuk mengukur


kecemasan, penjelasan rancangan terapi kepada partispan,
psikoedukasi mengenai CBT dan fobia.
Sesi 2 Analisis fungsional
Sesi 3 Relaksasi
Sesi 4 Memahami irrational beliefs
Sesi 5 Systematic desensitization, cognitive restructuring
Sesi 6 In-vivo exposure, cognitive restructuring
Sesi 7 Post-test, terminasi

Tabel 2
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada IH

Jumlah Denyut Jumlah Denyut


Situasi yang Memunculkan Acrophobia Jantung Sebelum Jantung Setelah
Intervensi Intervensi
Membayangkan berada di dalam gedung 93 kali/menit 80 kali/menit
tinggi dan memandang dari jendela
Melihat pemandangan dari jendela gedung 102 kali/menit 88 kali/menit
lantai 5
Melihat pemandangan dari jendela gedung 98 kali/menit 83 kali/menit
lantai 7
Melihat pemandangan dari jendela gedung 102 kali/menit 86 kali/menit
lantai 9
Melihat pemandangan dari jendela gedung 124 kali/menit 93 kali/menit
lantai 11
Melihat pemandangan dari jendela gedung 128 kali/menit 91 kali/menit
lantai 13

Tabel 3
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada DO

Jumlah Denyut Jumlah Denyut


Situasi yang Memunculkan Acrophobia Jantung Sebelum Jantung Setelah
Intervensi Intervensi
Membayangkan berada di tepi gedung 96 kali/menit 73 kali/menit
mall lantai 5 dan melihat ke bawah
Melihat pemandangan lantai dasar mall 92 kali/menit 72 kali/menit
dari tepi mall lantai 3
Melihat pemandangan lantai dasar mall 96 kali/menit 74 kali/menit
dari tepi mall lantai 4
Melihat pemandangan lantai dasar mall 98 kali/menit 75 kali/menit
dari tepi mall lantai 5
Initial interview bertujuanuntuk
EFEKTIVITAS CBT 35

melakukan screening. Pada sesi ini, calon IH mengaku pertama kali menyadari
subjek akan menjalani wawancara, mengalami acrophobia ketika ia berada
observasi, serta psikotes. Wawancara pada usia 4 tahun. Saat itu, ia berada di
dilakukan secara tidak terstruktur, eskalator mall dan berloncat-loncat di sana.
mengenai acrophobia serta keluhan- Karena tidak seimbang, ia pun terjatuh
keluhan yang terjadi akibat acrophobia dengan posisi kepala berada di bawah dan
tersebut, guna memastikan peneliti bahwa melihat ke lantai bawah secara langsung.
calon subjek memang benar mengalami Hal ini membuat ia sejak itu merasa cemas
masalah acrophobia. Melalui tahapan ini, dan takut dengan ketinggian, dan selalu
terpilihlah 3 subjek yang memenuhi kriteria. menghindari ketinggian.
Partisipan penelitian berjumlah 3 orang. Subjek 2 berinisial DO, berjenis
Subjek 1 berusia 23 tahun dengan keluhan kelamin perempuan dan berusia 26 tahun.
acrophobia, sehingga merasakan Saat ini tinggal di sebuah kamar kost di
kecemasan yang berlebih ketika menaiki kawasan Jakarta Barat, beragama Kristen,
eskalator di dalam pusat perbelanjaan dan dan bersuku Tionghoa, dengan pendidikan
menaiki pesawat terbang. Subjek 2 berusia terakhir SMA. Saat ini DO belum menikah.
25 tahun datang dengan keluhan mengalami Dalam keluarganya, DO adalah anak ke-4
acrophobia sehingga selalu menghindari dari empat bersaudara. Kedua orangtuanya
ketinggian, termasuk ketika harus berada di masih hidup dan saat ini ia bekerja sebagai
pusat perbelanjaan dengan karyawan di sebuah perusahaan swasta.
jumlah lantai banyak maupun DO mengaku tidak dapat mengingat
menyeberangi jembatan. Subjek 3 berusia kejadian pertama kali yang menyebabkan
36 tahun, datang dengan keluhan ia mengalami acrophobia. Namun ia
acrophobia sehingga sering mengalami mengingat pertama kali ia menyadari
kecemasan berlebihan dan menghindari bahwa ia menyandang acrophobia pada
berada di ujung ruangan ketika harus saat ia masih duduk di bangku sekolah
berada di dalam gedung tinggi. dasar kelas 4. Saat itu ia sedang mengikuti
Subjek 1 berinisial IH, seorang laki-laki program karyawisata, dan di sana ia selalu
berusia 23 tahun. Saat ini menetap di merasa takut serta ingin menghindar ketika
rumah orang tuanya di daerah Serpong, didekatkan dengan ketinggian.
beragama Katolik, dan bersuku Jawa, Subjek 3 berinisial DD, seorang laki-laki
dengan pendidikan terakhir S1 Akuntansi. berusia 39 tahun. Saat ini tinggal di Jakarta
Saat ini IH belum menikah. Ia merupakan Selatan di sebuah kamar kost, beragama
anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya Islam, dan bersuku Jawa, dengan
saat ini berusia 47 tahun dan bekerja pendidikan terakhir S1 Arsitektur. Saat ini
sebagai karyawan swasta, sedangkan DD belum menikah. Ia merupakan anak 3
ibunya berusia 43 tahun dan saat ini dari 5 bersaudara. Saat ini, DD bekerja
beraktivitas sebagai ibu rumah tangga. sebagai freelancer yang bekerja di dalam
Saat ini, IH baru menyelesaikan pendidikan mall.
sarjananya dan sedang mencari pekerjaan. DD mengaku pertama kali mengalami
36 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

Tabel 4
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada DD

Jumlah Denyut Jumlah Denyut


Situasi yang Memunculkan Acrophobia Jantung Sebelum Jantung Setelah
Intervensi Intervensi
Membayangkan berada di tepi gedung mall 105 kali/menit 73 kali/menit
lantai 5 dan melihat ke bawah
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari 103 kali/menit 71 kali/menit
tepi mall lantai 3
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari 106 kali/menit 78 kali/menit
tepi mall lantai 4
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari 109 kali/menit 73 kali/menit
tepi mall lantai 5

Tabel 5
Hasil Intervensi Ketiga Subyek Berdasarkan Respon Fisiologis (Denyut Jantung)

Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3


Keterangan
(IH) (DO) (DD)
Rata-rata denyut jantung dalam kondisi
83 70,13 71,5
normal
Rata-rata skor pre-test ketika dihadapkan
107,83 93,5 103,25
dengan objek ketinggian
Rata-rata skor post-test ketika dihadapkan
86,83 72,5 73
dengan objek ketinggian

Tabel 6
Hasil Paired Sample t-test dari Denyut Jantung Ketiga Subjek

Std. Std. Error


Mean Deviation Mean T df Sig.

Denyut jantung 24,08333 5,34049 3,08333 7,811 2 0,016

Tabel 7
Hasil Intervensi Ketiga Subyek berdasarkan Perilaku

Subyek Sebelum Sesudah


IH 1. Tidak berani menaiki eskalator 1. Sudah berani menaiki eskalator
sendirian sendirian.
2. Tidak berani melihat pemandangan 2. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari dalam gedung bertingkat ke bawah dari dalam gedung bertingkat.
DO 1. Tidak berani melihat pemandangan 1. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari tepi mall. ke bawah dari tepi mall.
2. Tidak berani menyeberangi jembatan 2. Sudah berani menyeberangi jembatan
penyeberangan. Bila terpaksa, dilakukan penyeberangan tanpa harus berlari.
dengan berjalan cepat dan berlari.
DD 1. Tidak berani melihat pemandangan 1. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari tepi mall. ke bawah dari tepi mall.
2. Tidak berani melihat pemandangan 2. Sudah berani melihat pemandangan
dari balkon kost. dari balkon kost.

acrophobia ketika ia masih duduk di


EFEKTIVITAS CBT 37

bangku SMP. Saat itu, rumahnya belum gejala acrophobia. Hasil pre-test dan post-
selesai direnovasi. Pada saat itu, ia datang test pada DO dapat dilihat pada Tabel 3.
melihat-lihat rumahnya yang sedang Pada DD, ia mengaku lebih tenang
diperbaiki dan menaiki tangga rumahnya dalam menghadapi ketinggian setelah
yang belum memiliki pegangan. Tiba-tiba, mengikuti program intervensi. Ia mengaku
ia terpeleset dan terjatuh dari tangga tidak memiliki pemikiran negatif lagi
tersebut, sehingga badannya terjatuh dan terhadap ketinggian, sehingga ketika ia
menghantam lantai. Ia sangat terkejut, menatap dari tepi mall ke lantai dasar, ia
meski tidak mengalami luka fisik yang sudah mampu memahami bahwa ketakutan
serius. Sejak saat itu, ia selalu berpikir tersebut tidak rasional. Hal ini
bahwa ketinggian adalah hal yang memudahkannya karena ia seringkali
berbahaya dan harus ia jauhi. bekerja di dalam mall. Hasil pre-test dan
post-test DD dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil Ketiga subjek mengalami penurunan
denyut jantung ketika dihadapkan pada
objek ketinggian, hal ini mengindikasikan
Berdasarkan pengukuran denyut bahwa kecemasan pun menurun ketika
jantung, ditemukan adanya penurunan ketiga subjek dipaparkan pada objek
frekuensi denyut jantung yang fobianya, dan mendekati rata-rata jumlah
mengindikasikan turunnya kecemasan denyut jantung dalam kondisi normal. Hal
pada ketiga subjek. IH mengaku, setelah ini terangkum dalam Tabel 5.
mengikuti program intervensi, ia merasa Kemudian, peneliti juga melakukan
lebih tenang ketika menghadapi ketinggian. analisis data kuantitatif dengan
Ia sudah mampu menaiki eskalator tanpa menggunakan paired sample t-test untuk
harus berpegangan pada pundak atau baju mengetahui apakah perubahan jumlah
temannya lagi, sehingga ia tidak lagi denyut jantung antara pre-test dan post-test
ditertawakan oleh teman-temannya. Selain menurun secara signifikan. Hasil paired
itu, ia juga sudah berani untuk menatap sample t-test menunjukkan signifikansi p =
pemandangan dari dalam jendela gedung 0,016 < 0,05; yang berarti ada perubahan
bertingkat. Ia mengaku mengalami jumlah denyut jantung secara signifikan
penurunan gejala acrophobia. Hasil pre- pada ketiga subjek setelah menjalani sesi
test dan post-test pada IH dapat dilihat intervensi.
pada Tabel 2. Selain melalui pengukuran denyut
Pada DO, ia mengaku mengalami jantung, evaluasi juga dilakukan melalui
peningkatan yang cukup baik setelah observasi. IH pada awalnya tidak berani
mengikuti program intervensi. Ia mengaku menaiki eskalator sendirian, sehingga
sudah mampu mengabaikan pemikiran seringkali memegang pundak temannya
negatifnya ketika berada di tepi mall. Hal ini untuk menenangkan diri ketika menaiki
membuat ia lebih nyaman ketika sedang eskalator. Kini, IH sudah berani untuk
berada di dalam mall. Selain itu, ia juga menaiki eskalator sendirian. Selain itu, IH
mengaku merasakan adanya penurunan
38 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

yang sebelumnya tidak berani melihat ketinggian. Baik IH, DO, maupun DD;
pemandangan dari jendela gedung tinggi, selalu meyakini bahwa jika mereka dekat
kini sudah berani. Demikian juga dengan dengan ketinggian, mereka dapat
DO, yang awalnya selalu menjauhi tepi mall terjungkal dan terjatuh hingga
karena takut melihat ke bawah, kini sudah menyebabkan luka berat atau kematian.
berani melakukannya. DO juga sudah Selain itu, mereka juga selalu meyakini
berani menyeberangi jembatan bahwa ada temannya yang akan iseng dan
penyeberangan setelah mengikuti program mendorong mereka hingga jatuh bila
intervensi. DD, yang sebelumnya juga mereka berada dekat dengan ketinggian.
selalu menjauhi tepi mall karena takut Hal ini yang kemudian membuat mereka
melihat ke bawah, kini sudah berani merasa cemas dan menjauhi ketinggian.
mendekati tepi mall ketika berada di dalam Baik pada ketiga subyek, keyakinan yang
mall. DD juga sudah tidak merasa cemas tidak rasional tersebut berasal dari
lagi ketika berada di balkon kostnya yang pengalaman traumatis di masa kecil yang
berada di lantai 3. Hasil intervensi dalam berkaitan dengan ketinggian.
bentuk observasi perilaku terangkum dalam Kesadaran subjek bahwa acrophobia
Tabel 7. yang ia alami berasal dari keyakinannya
yang tidak rasional mulai muncul pada sesi
keempat, yakni sesi memahami irrational
Diskusi
belief. Pada sesi ini, peneliti menjelaskan
bahwa acrophobia muncul dari keyakinan
Acrophobia merupakan salah satu jenis yang salah, dan subjek memiliki keyakinan
specific phobia. IH mengalami acrophobia yang salah ini sehingga memunculkan
sehingga tidak berani menaiki eskalator gejala kecemasan dan ketakutan yang
sendirian, selalu merasa cemas berlebihan intens ketika didekatkan dengan ketinggian.
ketika menaiki pesawat, dan tidak berani Ketiga subjek, IH, DO, dan DD mengaku
menyeberangi jembatan gantung. DO mulai memiliki perubahan pandangan
menyandang acrophobia sehingga tidak terhadap ketinggian setelah melewati sesi
berani menaiki tangga untuk mengganti keempat ini, namun masih belum mampu
lampu, merasa cemas ketika menaiki mengatasi acrophobia.
pesawat, dan tidak berani melihat ke Pada akhirnya, ketiga subjek mengaku
bawah ketika berada di tepi mall. Demikian mengalami penurunan intensitas
juga DD yang merasa terganggu dengan acrophobia setelah mengikuti program
acrophobia yang ia sandang sehingga ia Cognitive Behavior Therapy dengan
kerapkali menjauhi tepi mall agar tidak lengkap, baik yang berjenis kelamin laki-
perlu melihat ke bawah. Baik ketiganya laki maupun perempuan. Hal ini berarti
merasakan gangguan dari acrophobia bahwa program Cognitive Behavior
tersebut ke dalam kehidupannya, baik Therapy untuk acrophobia tidak dibatasi
secara sosial maupun pekerjaan. Baik oleh jenis kelamin. Namun IH dan DO
ketiganya juga memiliki irrational belief atau menyatakan bahwa tujuh sesi yang dijalani
keyakinan yang tidak rasional terhadap
EFEKTIVITAS CBT 39

terlalu lama, sehingga terkadang tangga, atau menaiki pesawat.


mengalami kesulitan untuk menyesuaikan Selain itu, dua dari tiga subjek
waktu antara jam pulang kerja dan sesi. mengeluhkan bahwa program intervensi
yang cukup lama. Pada penelitian
Kesimpulan, Implikasi, dan Saran selanjutnya, disarankan untuk dapat
mencari dan merumuskan program
intervensi acrophobia yang lebih singkat,
sehingga dapat menghemat waktu, tanpa
Berdasarkan hasil penelitian yang
mengurangi efektivitas dari terapi tersebut.
dilakukan pada ketiga partisipan dengan
gangguan acrophobia, dapat disimpulkan
bahwa Cognitive Behavior Therapy efektif Referensi
untuk mengatasi acrophobia pada dewasa
awal, yang berada pada rentang usia 20 Adler, J. M., & Cook-Nob les, R. (2011).
sampai dengan 40 tahun, baik pada jenis The successful treatment of spesific
kelamin perempuan maupun laki-laki. Hal ini phobia in a college counseling center.
dapat dilihat dari penurunan denyut jantung Journal of College Student
serta perubahan perilaku pada ketiga Psychotherapy, 25(1), 56-66.
partisipan setelah mengikuti program terapi, Bourne, E. J., & Garano, L. (2003). Coping
masing-masing sebanyak tujuh sesi selama with anxiety: 10 simple ways to relieve
sekitar 2 bulan atau 8 hingga 10 minggu. Hal anxiety, fear, and worry. CA: New
ini mengimplikasikan bahwa Cognitive Harbinger Publications.
Behavior Therapy dapat digunakan untuk Coelho, C. M., Santos, J. A., Silverio, J., &
mengatasi acrophobia pada dewasa muda Silva, C.F. (2006). Virtual reality and
dalam jangka waktu kurang lebih 2 bulan, acrophobia: One-year follow-up and
sehingga dapat membantu dewasa muda case study. Cyberpsychology &
penyandang acrophobia agar dapat Behavior, 9(3), 336-341.
beraktivitas sesuai Coelho, C. M., & Wallis, G. (2010).
perannya tanpa harus mengalami Deconstructing acrophobia:
kecemasan terhadap ketinggian. Physiological and psychological
Pada penelitian selanjutnya, dapat precursors to developing a fear of
disarankan untuk menambah jumlah heights. Depression and Anxiety, 27,
partisipan dengan latar belakang yang 864-870.
lebih beragam, misalnya dari bidang Depla, M., Have, M. T., Balkom, A. J., &
pekerjaan dan usia yang berbeda-beda. Graaf, R. (2008). Specific fears and
Selain itu, disarankan untuk menambah phobias in the general population:
partisipan dengan jenis acrophobia yang Results from the Netherlands Mental
lebih beragam juga. Dalam penelitian ini, Health Survey and Incidence Study
lebih ditekankan pada ketinggian dari (NEMESIS). Psychiatry Epidemiology,
dalam gedung, sedangkan masih banyak 43, 200-208.
jenis acrophobia lainnya seperti jembatan, Emmelkamp, P. M. G., Bruynzeel, M.,
40 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

Drost, L., & Van Der Mast, C. A. disorders. UK: Cambridge University
(2001). Virtual reality treatment in Press.
acrophobia: A comparison with Whitney, S. L., Jacob, R. G., Sparto, P. J.,
exposure in vivo. Cyberpsychology & Olshanky, E. F., Detweiler-Shostak, G.,
Behavior, 4(3), 335-339. Brown, E. L., & Furman, J. M. (2005).
Halgin, R. P., & Whitbourne, S. K. (2009). Acrophobia and pathological height
Abnormal psychology: Clinical vertigo: Indications for vestibular
perspective on psychological disorders physical therapy? Physical Therapy,
(6th ed.). NY: McGraw-Hill. 8(5), 443-458.
Hofmann, S. G., Asnaani, A., Vonk, I. J., Wilding, C., & Milne, A. (2008). Cognitive
Sawyer, A. T., & Fang, A. (2012). The behavioural therapy. UK: Bookpoint.
efficacy of cognitive behavioral therapy: Williams, C. (2003). Overcoming anxiety: A
A review of meta-analyses. Cognitive five areas approach. NY: Oxford
Therapy and Research, 36(5), 427-440. University Press.
Kail, R. V., & Cavanaugh, J. C. (2010).
Human development: A life-span view
(5th ed.). NY: McGraw-Hill. Alamat surel: garvin.goei@gmail.com,
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. monty_satiadarma@yahoo.com,
C., & Neale, J.M. (2010). Abnormal angiedenrich@yahoo.com
psychology (11th ed.). NY: McGraw-
Hill.
Nolen-Hoeksema, S. (2004). Abnormal
psychology (3rd ed.). NY: McGraw-Hill.
Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2012).
Experience human development (12th
ed.). NY: McGraw-Hill.
Quervain, D. J., Bentz, D., Michael, T., Bolt,
O. C., Wiederhold, B. K., Margraf, J., &
Wilhelm, F. H. (2010). Glucoticoids
enhance extinction-based
psychotherapy. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the
United States of America, 108(16),
6621-6625.
Sudak, D. M. (2006). Cognitive behavioral
therapy for clinicians. PN: Lippincott
Williams & Wilkins.
Taylor, M. A., & Vaidya, N. A. (2009).
Descriptive psychopathology: The
signs and symptoms of behavioral

View publication stats

You might also like