You are on page 1of 28

ADAT, TRADISI DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT NELAYAN

INDONESIA MENGENAI PROSES PENANGKAPAN IKAN1

Nurul Fadillah. Gs

A. Pengantar

Setiap daerah di Indonesia memiliki adat dan kepercayaan sendiri terkait dengan
proses penangkapan ikan. Biasanya memang unik dan memiliki ciri khas sendiri.
Keunikan dan kekhasan tersebut yang menjadi identitas dari masing-masing daerah,
terutama karena perbedaannya. Perbedaan ciri khas tersebut muncul karena beberapa
sebab di antaranya latar belakang agama, adat istiadat, dan warisan turun-temurun dari
nenek moyang.

Agama merupakan salah satu faktor kuat yang menyetir suatu tatanan yang ada
di dalam masyarakat. Tuntunan agama meresap hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat. Tuntunan merupakan nilai yang menjadi landasan dari norma. Agama
juga berpengaruh dan memiliki peran besar dalam tata cara penangkapan ikan di
beberapa daerah di Indonesia.

Selain agama, faktor yang juga mewarnai tatacara penangkapan ikan di


Indonesia adalah adat istiadat. Salah satu adat istiadat yang kental di beberapa daerah
adalah larung laut. Larung laut ini merupakan kiriman persembahan kepada penguasa
laut agar diberikan hasil ikan yang melimpah dan perlindungan pada saat mereka
menangkap ikan. Terlepas dari nilai agama yang menentukan benar atau tidaknya
kegiatan ini, larung laut biasa dilaksanakan bertepatan dengan momen-momen tertentu.

Warisan turun-temurun dari nenek moyang turut membentuk kebiasaan


masyarakat dalam menangkap ikan. Hal paling mudah dijumpai adalah adanya mitos
mengenai hantu laut, larangan melaut saat menjumpai hiu paus (whale shark–
Rhincodon typus), dan larangan menangkap penyu. Mitos hantu laut banyak ditemui di
hampir semua wilayah di Indonesia.

1
Artikel adalah tugas Kelas WSBM 24 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin 2018.

1
Begitu beragam keunikan dan kekhasan adat istiadat masyarakat Indonesia
khususnya terkait dengan penangkapan ikan. Upaya konservasi dipermudah dengan
adanya mitos atau adat istiadat yang menyebutkan secara tidak langsung perlindungan
terhadap spesies tertentu (penyu misalnya). Oleh karena adanya kepercayaan tersebut,
paling tidak masyarakat akan menghindari untuk menangkap spesies tersebut.

Lalu, apa hubungan nilai ini dengan ciri khas suatu daerah dalam kaitannya
dengan penangkapan ikan(1). Apa proses ritual, atau adat masyarakat pesisir yang
masih berlaku hingga saat ini?(2). Bagaimana proses ritual dan adat yang dilakukan
nelayan atau masyarakat pesisir sebelum melakukan penangkapan ikan?(3).

B. Tinjauan Pustaka

1.1. Adat

Dikutip dari Gurupendidikan.co.id (2018) “Secara etimologi, adat berasal dari


bahasa Arab yang berarti “kebiasaan”. Untuk di Indonesia sendiri tentang segi
kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut
dengan hukum adat. Adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat baik berupa
tradisi, adat istiadat, upacara dan sebagainya, yang mampu mengendalikan perilaku
masyarakat dalam wujud perasaan senang atau bangga dan peranan tokoh adat yang
menjadi tokoh masyarkat menjadi cukup penting.”

Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai tingkah laku seseorang yang terus-
menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarkat luar dalam waktu
yang lama. Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat ialah adanya tingkah laku
seseorang, dilakukan terus-menerus, adanya dimensi waktu dan diikuti oleh orang
lain/masyarakat. Tiap-tiap masyarkat atau bangsa dan negara memliki adat istiadat
sendiri-sendiri, yang satu dengan yang lainnya pasti tidak sama. Dikutip dari buku
terbitannya (Jalaludi Tunsam, 1660) “adat” berasal dari bahasa Arab yang merupakan
bentuk jamak dari “adah” yang memiliki arti cara atau kebiasaan. Seperti yang telah
dijelaskan bahwa adat merupakan suatu gagasan kebudayaan yang mengandung nilai
kebudayaan, norma, kebiasaan serta hukum yang sudah lazim dilakukan oleh suatu
daerah”. Menurut M. Nasroen (Soerjono Soekanto, 1981:70) Menjelaskan adat istiadat

2
merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual oleh karena
didasarkan pada:

 Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai
positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang.
 Kebersamaan dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama dan kepentingan
bersama untuk seseorang.
 Kemakmuran yang merata.
 Pertimbangan pertentangan yakni pertentangan dihadapi secara nyata dengan
mufakat berdasarkan alur dan kepatutan.
 Meletakan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah.
 Menyesuaikan diri dengan kenyataan.
 Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu dan keadaan.

Dalam hal ini pengertian adat istiadat menyangkut sikap dan kelakukan
seseorang yang diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini
menunjukkan begitu luasnya pengertian adat istiadat tersebut.Adat istiadat dapat
mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan merupakan suatu kepribadian
dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban dan cara hidup moderen
seseorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat istiadat yang hidup dan
berakar dalam masyarakat.

1.2. Kepercayaan

Dikutip dari Modul “Acuan Proses Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan


Keperibadian : Pendidikan Agama Islam” (2018: hal.2-5) “Kepercayaan atau bisa juga
disebut sebagai konsep ketuhanan adalah konsep yang didasarkan atas hasil yang
bersifat penelitian baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, biak yang bersifat
penelitian rasional maupun pengalamn batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal
teori Evulosionisme, yaotu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang
amat sederhana, lama-kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-
mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor (1877),
Robertson Smith, Lubbock dan Jevens”. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan
menurut teori Evolusionisme adalah sebagai berikut:

3
1) Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda.

2) Animisme

Disamping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai


adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda dianggap
memiliki roh.

3) Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan kepercayaan animisme lama-lama tidak


memberikan kepuasan, karena terlalu banyaknya yang menjadi sanjungan dan pujaan.
Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut Dewa.

4) Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.


Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi
lebih definitif (tertentu).

5) Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme hanya


mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifa internasional. Bentuk
monoteisme ditinjau dari filsafat ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.

a) Deisme yaitu suatu paham yang berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta
alam berada diluar alam. Dan menganggap bahwa antara alam dan Tuhan
sebagai penciptanya tidak lagi mempunyai kontak.
b) Panteisme berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta alam ada bersama alam.

4
c) Teisme (eklektisme) berpendapat bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pencipta alam berada di luar alam, namun Tuhan selalu dekat dengan alam.

Evoluisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh


Max Muller dan EB Taylor (1887), kemudian ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monotoisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan
bahwa orang-orang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang
Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang
khas terhadap Tuhan mereka yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


Evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya, sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat, mulai menentang Evoluisionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevasi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan itu didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monotoisme adalah
berasal dari ajaran wahyu Tuhan.

Wilhelm Schmidt dalam mengungkapkan hasil penyelidikannya tidak


mendasarkan, atau terpengaruh oleh fasal-fasal dalam Bible. Ia menulis dari segi
antropologi dan mendasarkan alasannya pada data yang dikumpulkan oleh berpuluh-
puluh peneliti dan sarjana yang mengalami hidup bersama-sama dengan masyarakat
primitif. Penelitian itu dilakukan antara lain terhadap suku Negritos dari kepulauan
Philipina, pelbagai suku dari Micronesia dan Polynesia dan suku Papua dari Irian.

Berdasarkan penelitian terhadap pelbagai masyarakat primitif tersebut, ia


mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Agung
dan Esa adalah bentuk tertua, yang ada sebelum kepercayaan lain seperti
dinamisme,animisme,dan politeisme.

1.3. Masyarakat Nelayan

5
Menurut Imron dalam Mulyadi (2005:17), nelayan adalah suatu kelompok
masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara
melakukan penangkapan ataupun budi daya.

Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di


kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai
suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri dari kategori-kategori sosial yang membentuk
kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan
sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari.

Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok


sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak
langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya
perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritim Indonesia.
Dalam konteks ini, masyarakat nelayan didefinisikan sebagai kesatuan sosial kolektif
masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata pencahariannya menangkap
ikan di laut, pola-pola perilakunya diikat oleh sistem budaya yang berlaku, memiliki
identitas bersama dan batas-batas kesatuan sosial, struktur sosial yang mantap, dan
masyarakat terbentuk karena sejarah sosial yang sama. Sebagai sebuah komunitas
sosial, masyarakat nelayan memiliki sitem budaya yang tersendiri dan berbeda dengan
masyarakat lain yang hidup di daerah pegunungan, lembah atau dataran rendah, dan
perkotaan.

Kebudayaan nelayan adalah sistem gagasan atau sistem kognitif masyarakat


nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh individu-individu dalam
interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk melalui proses sosio-historis yang
panjang dan kristalisasi dari interaksi yang intensif antara masyarakat dan
lingkungannya. Kondisi-kondisi lingkungan atau struktur sumberdaya alam, mata
pencaharian, dan sejarah sosial-etnis akan mempengaruhi karakteristik kebudayaan
masyarakat nelayan. Dalam perspektif antropologis, eksitensi kebudayaan nelayan
tersebut adalah sempurna dan fungsional bagi kehidupan masyarakatnya (Kusnadi,
2009:24).

6
Struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan, oleh sebagian besar orang
termasuk birokrat, dilihat sebagai suatu yang homogeny, seragam, dan sebangun. Ini
bisa dilihat dari bagaimana mereka memperlakukan masyarakat nelayan secara seragam
melalui berbagai program seragam yang diluncurkan kepada masyarakat Pandangan
keliru ini bisa dipahami karena selama ini, terutama pada masa Orde baru, paradigma
berpikir dan berpraksis Negara bersifat sentralis, homogen, dan hirarkis. Kenyataannya
masyarakat nelayan beranekaragam dalam berbagai dimensi (Damsar, Jurnal
Antropologi,2005 : 69).

Dilihat dari dimensi pekerjaan masyarakat nelayan terdiri atas 2 kelompok, yaitu:

1. Kelompok yang terkait (langsung) dengan aktivitas kelautan atau perikanan, terdiri
dari 2 sub kelompok, yaitu:

a. Sub kelompok pencari/penangkap hasil kelautan dan perikanan

Kelompok ini meliputi pemilik alat produksi/ tangkap seperti toke, juragan/bos.
Mereka pun beragam, bisa berada pada lapisan atas, menengah atau bawah. Kemudian
juga termasuk di dalamnya nelayan pekerja (buruh), nelayan mandiri, dan pedagang
ikan (kecil, menengah dan besar).

b. Sub kelompok pembudidaya hasil kelautan/perikanan

Kelompok ini meliputi pemilik alat produksi, pekerja (buruh), nelayan


pembudidaya mandiri, dan pedagang hasil budidaya kelautan/perikanan (kecil,
menengah, dan besar).

2. Kelompok yang tidak terkait (langsung) dengan aktivitas kelautan/perikanan


seperi pedagang/pemilik warung makanan, pedagang kebutuhan sehari-hari, petugas
koperasi, dan sebagainya.

1.4. Penangkapan Ikan

Dikutup dari Wikipedia (2018) “Penangkapan ikan adalah aktivitas menangkap


ikan. Istilah menangkap ikan tidak berarti bahwa yang ditangkap adalah ikan, namun
istilah ini juga mencakup mollusca, cephalopoda, crustacea, dan echinoderm, dan hewan
laut yang ditangkap tidak selalu hewan laut yang hidup di alam liar (perikanan tangkap),

7
tetapi juga ikan budi daya. Metode yang digunakan bervariasi, seperti tangkap tangan,
tombak, jaring, kail, dan jebakan ikan. Istilah penangkapan ikan terkadang juga
mencakup usaha penangkapan mamalia air seperti paus, sehingga berkembang istilah
perburuan paus.

Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture


Organization, FAO), total pelaku usaha penangkapan ikan komersial dan budi daya
adalah 38 juta orang dan memberikan pekerjaan kepada 500 juta orang secara langsung
maupun tidak langsung. Berdasarkan penelitian oleh Fisheries and Aquaculture in our
Changing Climate Policy brief of the FAO for the UNFCCC COP-15 in Copenhagen,
Desember 2009.

“Pada tahun 2005, konsumsi ikan yang ditangkap di alam liar per kapita adalah
14,4 kilogram per tahun, sedangkan dari perikanan budi daya adalah 7,4 kilogram.”
Data dan penelitian dikutip dari "Fisheries and Aquaculture". FAO. Januari,2012.

Dikutip di Wikipedia lebih lanjut “Penangkapan ikan telah dilakukan sejak


zaman prasejarah, sekitar zaman Paleolitikum (40 ribu tahun yang lalu). Analisis
isotopik dari sisa tulang belulang manusia Tianyuan yang berusia 40 ribu tahun
diketahui bahwa ia mengkonsumsi ikan air tawar secara berkala. Ciri arkeolgi seperti
tumpukan sampah makanan sisa tulang ikan, dan lukisan gua menunjukan bahwa boga
bahari dikonsumsi sebagai cara bertahan hidup yang penting. Selama masa itu, manusia
utamanya hidup sebagai pemburu pengumpul dan secara berkala berpindah. Namun di
Lepenski Vir terdapat pemukiman manusia purba yang diperkirakan bersifat permanen
dan mereka sangat terkait dengan aktivitas penangkapan ikan sebagai sumber utama
bahan pangan.” (ibid. 2018:1).

Terdapat berbagai metode untuk menangkap ikan dan juga hewan lainnya,
seperti metode tangkap tangan, tombak, jaring, kail, dan jebakan ikan. Penangkapan
ikan rekreasi, komersial, dan ahli memancing dapat menggunakan berbagai metode
dalam satu waktu. Pemancing rekreasi mencari kesenangan dan aktivitas olahraga
dalam memancing, sedangkan penangkapan ikan komersial mencari ikan untuk tujuan
keuntungan. Pemancing tradisional menggunakan metode tradisional berteknologi
rendah untuk bertahan hidup, dan biasanya terdapat di negara miskin atau dipertahankan

8
sebagai warisan budaya di negara maju dan berkembang. Sebagian besar pemancing
rekreasi menggunakan pancing sementara penangkap ikan komersial menggunakan
jaring.

Terdapat hubungan antara berbagai metode penangkapan ikan dan pengetahuan


tentang ikan dan sifatnya, termasuk migrasi ikan, bagaimana ikan mencari makan, dan
habitatnya. Penggunaan metode penangkapan ikan tertentu dapat membuahkan hasil
yang amat bergantung pada pengetahuan tambahan tersebut.(William F. Keegan
1986:92-107). Beberapa nelayan bahkan mengikuti langit (solunar theory) karena
mereka percaya pola ikan dalam mencari makan dipengaruhi posisi bulan dan matahari.

Kapal penangkap ikan adalah kapal atau perahu yang digunakan untuk
menangkap ikan di laut, di danau, atau di sungai. Banyak variasi jenis kapal dan perahu
yang digunakan di usaha penangkapan ikan komersial, rekreasi, dan tradisional. (ibid.
2018:1).

Berdasarkan FAO, pada tahun 2004 terdapat empat juta kapal penangkap ikan
komersial. Sekitar 1,3 juta adalah kapal bergeladak dengan area tertutup. Hampir semua
kapal bergeladak ini sudah termekanisasi, dan sebanyak 40 ribu di antaranya berbobot
lebih dari 100 ton. Dan sekitar dua per tiga dari semua perahu tak bergeladak adalah
perahu tradisional yang digerakan dengan layar atau dayung. Perahu tradisional tersebut
digunakan nelayan tradisional.

Para pemancing rekreasi bisa menggunakan berbagai jenis perahu atau kapal,
dari perahu ukuran kecil seperti kano hingga kapal ukuran besar seperti yacht dan kapal
penjelajah (cruiser) yang mampu belayar di laut selama beberapa minggu. (ibid.
2018:1).

C. Pembahasan

a) . Macam-macam kepercayaan masyarakat pesisir dan nelayan di berbagai daerah di


Indonesia.

2.1. Kepercayaan Nelayan Terhadap Laut

9
Sejak lama masyarakat Indonesia terutama yang bermukim diwilayah pesisir
mempunyai pengetahuan tradisional tentang alam raya termasuk lingkungan laut, tidak
hanya dipandang sebagai status ruang hampa atau ruang kosong yang berproses secara
alamiah, melainkan alam itu dihayati sebagai bagian integral dari Sang Pencipta yang
penuh misteri. Konsep pengetahuan budaya yang dimiliki masyarakat bahwa alam raya
dikuasai oleh dewata, sedangkan unsur alam seperti langit, bumi dan lautan diserahkan
penjagaan dan pengaturannya kepada makhluk-makhluk gaib dan dikenal sebagai figur
yang melambangkan kebaikan dan kejahatan. Kebudayaan nelayan terbentuk dari
akumulasi pengalaman serta tingkat pengetahuan masyarakat pendukungnya, dan
terwujud dalam pola tingkah laku nelayan dalam memenuhi kebutuhannya
(Koentjaraningrat, 1972).

Sadar atau tidak sadar, untuk masyarakat nelayan telah membentuk pola-pola
tingkah laku dalam bentuk norma, sopan santun serta ide, gagasan dan nilai-nilai yang
menjadi pedoman bagi tingkah laku para individu dalam kelompok tersebut. Dalam hal
ini kebudayaan nelayan menjadi sebuah ”blue print” desain, atau pedoman menyeluruh
bagi para pendukungnya. Karena itu, kebudayaan sebagai pengetahuan, secara selektif
digunakan oleh manusia untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang
dihadapi, dan digunakan sebagai referensi untuk melakukan aktivitas. Lalu, apa
hubungan nilai ini dengan ciri khas suatu daerah dalam kaitannya dengan penangkapan
ikan? Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari suci dimana umat muslim
terutama pria melaksanakan ibadah sholat Jumat. Oleh karena itu nelayan dari beberapa
daerah di Indonesia memilih libur pada hari Jumat, seperti Berau, Kalimantan Timur;
Pangandaran, Jawa Barat; dan beberapa daerah lain. Selain libur pada hari Jumat,
mereka biasanya juga libur pada permulaan puasa, hari raya Idul Fitri / Idul Adha, dan
atau pada hari-hari bulan syawal (setelah Idul Fitri, biasa disebut pula syawalan).

Ada banyak macam kepercayaan dari nelayan-nelayan terhadap laut yang


tersebar di berbagai daerah pesisir Indonesia yang sampai saat ini masih sering
didengar. Ada kepercayaan yang berupa pantangan atau sesuatu yang harus dilakukan
seperti ritual yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan menghindarkan nelayan
dari bala bencana di tengah lautan sebelum mereka turun melaut. Para nelayan percaya
jika sesuatu yang telah ditetapkan tersebut dilanggar atau tidak dilakukan maka akan

10
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Seperti contoh larangan melaut apabila
menjumpai hiu paus dijumpai di daerah Cirebon dan Muara Baru. Kepercayaan
kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke darat,
masih kental dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat nelayan di sana. Larangan
menangkap penyu karena dipercaya akan sakit bagi penangkapnya dijumpai di daerah
Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.

Masyarakat Galesong percaya sepenuhnya bahwa lautan itu adalah ciptaan Sang
Maha Kuasa sesuai ajaran Islam yang mereka terima, tetapi merekapun tahu
berdasarkan pengetahuan tradisionalnya bahwa Tuhan yang disebutnya Karaeng Alla
Taala telah melimpahkan penguasaan wilayah lautan lepada Nabi Hillerek. Masyarakat
Galesong percaya sepenuhnya bahwa lautan itu adalah ciptaan Sang Maha Kuasa sesuai
ajaran Islam yang mereka terima, tetapi merekapun tahu berdasarkan
pengetahuantradisionalnya bahwa Tuhan yang disebutnya Karaeng Alla Taala telah
melimpahkan penguasaan wilayah lautan lepada Nabi Hillerek. Tidak diketahui secara
jelas apakah penguasa laut itu identik dengan nama Nabi Khaidir, sebagaimana
terjemahan Tajuddin Maknun. Namun yang pasti masyarakat Galesong sampai sekarang
mengenal Nabi Hellerek sebagai tokoh mitologis yang menjadi penguasa lautan.

Berdasarkan anggapan dan kepercayaan tersebut, maka para nelayan lokal di


Galesong sangat memuliakan Nabi Hellerek. Perwujudan rasa hormat terhadap sang
penguasa lautan dimaksud maka setiap nelayan biasanya melakukan berbagai upacara,
baik upacara selamatan maupun upacara tolak bala dalam upaya pencarian nafkah
melalui kegiatan penangkapan ikan di laut. Dalam upacara tersebut digunakan mantra
mantra maupun bahan sesajen khusus, disertai dengan perilaku yang bersifat magis.
Secara mitologis masyarakat di Galesong terutama para nelayan memahami lautan
sebagai suatu bagian kosmos dengan segenap isinya yang penuh kegaiban dan
keajaiban. Warga masyarakat yang berusia lanjut biasanya mempunyai bayangan
pikiran tentang adanya kerajaan yang berpusat di dasar lautan sedangkan penguasa-
penguasanya adalah terdiri atas para keturunan dewata. Dewa-dewa penguasa lautan
dianggap masih bersaudara dengan dewa penguasa langit maupun dewa yang berkuasa
di atas bumi.

11
Sementara itu daerah Sibolga, Sumatera Utara, pernah dijumpai nelayan yang
mengaku menjumpai penampakan hantu laut, akibatnya setelah itu dia sakit. Beberapa
tahun kemudian nelayan tersebut sembuh dan kembali melaut setelah di-dukun-kan.
Kejadian serupa pernah dijumpai di Solor Timur, Nusa Tenggara Timur, terutama di
desa Watobuku dan Moton Wutun yang menyebutkan penampakan sering dijumpai di
sekitar Tanjung Naga, apalagi di daerah tersebut terdapat Pulau Sewanggi. Sewanggi
sendiri artinya adalah “setan”. Penampakan yang sering terlihat di sana adalah kapal
hantu, jenazah palsu, lampu-lampu setan, dan kabut tebal. Seperti juga nelayan di
pesisir selatan Jawa (Cilacap, Kebumen dan Jogjakarta) umumnya mereka tidak melaut
pada hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, yang merupakan salah satu wujud kearifan
lokal yang kental dengan nilai sosial dan budaya.

2.2. Kepercayaan Nelayan Terhadap Angin

Bentuk kepercayaan yang berkaitan dengan mata pencaharian khususnya terkait


aktivitas melaut tetap berlaku, sebab mereka tidak memiliki pengetahuan dasar tentang
navigasi. Bentuk kepercayaan yang berkaitan dengan navigasi tersebut antara lain
kepercayaan arah angin antara lain angin barat, timur, selatan utara, timur laut, barat
daya, arus, posisi matahari, letak bintang, serta perhitungan bulan di langit serta pasang
surut air laut.

Menurut informan S.M. bahwa seseorang yang akan ikut melaut termasuk
semua anggota maupun pimpinan kelompok nelayan haruslah mengetahui dasar-dasar
cara melaut. Kesemua bentuk kepercayaan tersebut akan menjadi pendorong serta
penghalang bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas. Sebagai contoh bulan terang,
dipercayai oleh masyarakat bisa mempengaruhi kawanan ikan, dimana ikan sangat sulit
didapat, sebaliknya bulan gelap atau bulan baru, mengindikasikan banyaknya kawanan
ikan. Bila angin barat nelayan tidak boleh melaut, angin timur dipercayai dengan arus
yang sangat kuat, posisi bintang dapat menentukan letak kawanan ikan atau menentukan
kapan nelayan harus pulang karena mereka dapat melihat seperti bintang Fajar bila
sudah berada dilangit akan menandakan datangnya hari pagi.

Kepercayaan tentang angin tenggara dan barat laut dipercayai membawa banyak
hujan. Waktu posisi bulan sudah rendah atau masih sedikit dilangit mereka

12
mengatakannya sebagai posisi bulan pertama. Ketika bulan muncul pertama kali maka
disebut oleh masyarakat nelayan sebagai bulan sabit. Bulan ke 15 adalah bulan purnama
karena waktu itu terjadi pasang surut sangat besar yang dinamakan mereka “air besar”.
Pada bulan keempat biasanya menurut kepercayaan masyarakat nelayan dirasakan
sedikit angker dan sering tidak terdapat ikan terutama terjadi di jumat kliwon.

b) Macam-macam adat dan tradisi unik nelayan Indonesia yang sarat makna

Berikut ini adalah beberapa tradisi unik nelayan dari berbagai daerah pesisir di
Indonesia :

3.1. Ngajaring (Pangandaran)

Ngajaring merupakan bentuk kegiatan bersama dengan menarik jaring reret yang
telah disebar dengan menggunakan perahu dan kemudian menariknya ke bibir pantai.
Besar kecilnya jumlah tangkapan langsung dijual dan kemudian hasilnya dibagi rata
bagi semua mereka yang ikut menarik jaring reret. Tradisi ini memiliki makna gotong
royong di antara para nelayan. Selain itu, ngajaring reret juga bisa menjadi daya tarik
para wisatawan yang datang ke Pangandaran untuk merasakan langsung sensasi menarik
jaring reret dan melihat semangat gotong royong para nelayan.

(ket. Para nelayan yang sedang mengolah hasil tangkapan sumber:


http://dispar.pangandarankab.go.id)

3.2. Sedekah Laut (Jawa)

13
Upacara Sedekah Laut merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan oleh
masyarakat pesisir Pulau Jawa, baik pesisir selatan ataupun pesisir utara. Sedekah laut
digelar setahun sekali sebagai wujud rasa syukur para nelayan serta doa dan harapan
mereka dalam mencari penghidupan dari hasil laut. Kegiatan ini bertujuan untuk
mewarisi kebudayaan turun-temurun dari nenek moyang dan memohon perlindungan
agar terhindar dari marabahaya selama melaut.

(ket. Suasana meriah pegelaran tradisi Sedekah Laut Sumber: my-cilacap.blogspot.com)

3.3. Nadran (Indramayu)

Sebuah tradisi tahunan yang rutin dilaksanakan oleh nelayan Indramayu setiap
dua minggu setelah lebaran Idul Fitri. Kata Nadran berasal dari kata nadzar – nadzaran
– nadran yang berarti kaul atau syukuran. Tradisi Nadran sendiri mula-mula diawali
dengan diadakannya pagelaran tari-tarian dan hiburan rakyat tradisional seperti reog,
jaipong, genjring, tari kerbau dan lain-lain. Syukuran nelayan Indramayu perihal
diadakannya tradisi ini sendiri adalah atas rezeki melimpah yang telah diberikan Tuhan
kepada mereka baik berupa keselamatan ketika berlayar di laut maupun hasil ikan yang
melimpah sepanjang tahun yang lalu.

14
(ket. Ribuan warga memadati Jalan Sunan Gunung Jati, Kecamatan Gungungjati,
Kabupaten Cirebon untuk menyaksikan Pagelaran Kirab Seni Nadran dan Sedekah
Bumi Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon, Minggu (23/9/2018).* Iwan/KC
Online)

3.4. Sorong Ka Sèrèng (Madura)

Sebagai wilayah bagian tengah Pulau Madura, Kabupaten Sumenep memiliki


batas wilayah pantai yang terletak di bagian utara yaitu pesisir Laut Jawa dan wilayah
selatan, Selat Madura. Dari kehidupan pesisir itulah muncul tradisi masyarakat pesisir
Sampang, salah satunya dikenal tradisi Sorong Kasereng – “sorong ka sèrèng“ (dorong
ke pesisir). Kesenian ini diekspresikan dalam bentuk tari, umumnya dimainkan oleh
anak-anak nelayan yaitu menggambarkan saat air laut pasang, mereka ikut membantu
para orang tua yang turun dari laut untuk membantu hasil tangkapan ikan dari perahu.
Tarian ini menunjukkan kegembiraan karena hasil tangkapan orang tua mereka
melimpah atas rejeki yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

15
(ket. Tari sorong ka sèrèng yang dilakukan saat air laut pasang sumber:
https://bayukrisnatama01.wordpress.com/madura/tradisi-madura/sorong-kasereng/)

3.5. Larung Sembonyo (Trenggalek)

Larung Sembonyo adalah salah satu tradisi yang dilakukan oleh nelayan di
daerah Trenggalek, Larung tersebut berupa sesaji yang ditempatkan dalam perahu dan
diarak dengan diiringi drum band. Sesaji tersebut diarak dari kantor kecamatan menuju
ke lokasi tempat pelelangan ikan (TPI). Para nelayan yang mengikuti iring-iringan
sesaji dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Tujuan dilakukannya upacara adat
Larung Sembonyo ini ialah nelayan berharap kelancaran dan keselamatan saat melaut
serta hasil tangkapan yang maksimal.

16
(ket. perahu hias yang digunakan untuk membawa larung kelaut sumber:
https://jatimnow.com/baca-5125-larung-sembonyo-tradisi-eksotis-nelayan-di-
trenggalek)

3.6. Petik Laut (Madura)

Ritual Petik Laut yang merupakan tradisi warisan nenek moyang yang biasa
digelar setiap tahun oleh nelayan di Desa Aengdake, Kecamatan Bluto, Kabupaten
Sumenep, Madura, Jawa Timur. Dengan cara itulah, masyarakat khususnya nelayan,
bisa mensyukuri nikmat berupa rezeki yang diberikan Tuhan dalam kurun waktu satu
tahun. Mereka berharap dapat dijauhkan dari musibah yang membahayakan saat melaut.

Dengan begitu, upaya mereka dalam mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya berjalan lancar. Dalam ritual Petik Laut, nelayan dan warga terlihat
antusias mengikuti pawai perahu hias milik nelayan ke tengah laut untuk melarung
sesajen yang terbuat dari pohon pisang menyerupai perahu dan diisi kepala kambing,
kembang tujuh rupa, dan ayam berwarna hitam. Setelah tiba di tengah laut sebagai
tempat melarung sesajen, seluruh perahu nelayan berkeliling membentuk bulat sembari
merebut air laut di areal sesajen dilepas dengan harapan dijauhkan dari malapetaka.

(ket. Antuasiasme warga dan nelayan mengikuti tradisi Petik Laut di Desa Aengdake,
Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. (Liputan6.com/Mohamad Fahrul)

3.7. Roah Segare atau Ruwatan Laut (Lombok Barat)

Roah Segare atau Ruwatan Laut merupakan salah satu tradisi rutin yang
dilakukan masyarakat sepanjang sebagai bentuk rasa syukur masyarakat nelayan di

17
Desa Kuranji Dalang atas hasil laut yang melimpah. Prosesi Roah Segara dimulai
dengan pembacaan Barzanji, Selakaran, Zikiran dan doa kepada Allah SWT, Kemudian,
dilanjutkan dengan mendoakan Dulang Penamat (Sesaji) untuk kemudian dibawa ke
bibir pantai. Dulang tersebut kemudian dilarung ke laut. Larungan itu adalah simbol
rasa syukur masyarakat nelayan dengan hasil laut yang melimpah. Tradisi ini pun
diikuti oleh masyarakat sekitar. Selain menjadi budaya, juga dapat menjadi potensi
pariwisata untuk turis yang ingin datang ke Lombok.

(ket. Masyarakat sekitar Pantai Kuranji, Lombok Barat sedang melakukan tradisi
Roah Segare (Ruwatan Laut), pada Minggu (4/11/2018). (FOTO: Humas Lo-Bar for
TIMES Indonesia))

c) Tradisi, Ritual dan Mantra Khusus Nelayan Sebagai Persiapan Sebelum Melaut

4.1. Tradisi Menyiram Bodi Kapal

Beragam tradisi para pelaut Sulsel yang didominasi suku Bugis-Makassar jika
ingin berlayar mengarungi laut lepas menggunakan kapal Phinisi. Salah satunya
menyiram bodi kapal Phinisi dengan menggunakan air laut. Menurut para nelayan
hampir semua pelaut disana melakukan hal yang sama, yaitu wajib memandikan
kapalnya dengan air laut sebelum memulai berlayar. Menrutu mereka, tradisi menyiram
kapal sudah jadi tradisi nenek moyang mereka yang terkenal sebagai pelaut tangguh.
Disamping sebagai tolak bala, juga berfungsi menghilangkan retak pada bodi kapal
yang diakibatkan terik matahari. Bodi kapal phinisi terbuat dari bahan kayu besi. Tradisi

18
tersebut diperoleh dari nenek moyang mereka yang diwariskan secara turun temurun
yang hingga saat ini masih dilestarikan oleh para nelayan setempat.

4.2. Ritual patorani

Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang terkenal
kaya akan budaya bahari karena terbentang daerah pesisir yang luas. Misalnya ialah
Galesong di Kabupaten Takalar yang merupakan wilayah komunitas nelayan tertua di
Sulawesi Selatan, yakni nelayan telur ikan terbang (patorani). Komunitas ini memiliki
tradisi budaya tersendiri sebelum pencarian telur ikan terbang yang disebut dengan
‘ritual patorani’. Ritual ini lah yang menjadi kearifan lokal dari komunitas nelayan ikan
terbang di Galesong, Kabupaten Takalar.

Ritual patorani hingga saat ini masih dipertahankan oleh komunitas nelayan
beserta masyarakat pesisir sekitar di tengah derasnya arus globalisasi yang semakin
rentan mengikis budaya-budaya lokal. Adapun tradisi ini tentu memiliki nilai-nilai,
pesan, dan fungsi tersendiri yang telah melekat kuat pada masyarakat sekitar, sehingga
mereka masih tetap menjaga dan mewariskan kearifan lokal yang mereka miliki dari
generasi ke generasi.

4.3. Ritual Unik dan Mantra Khusus Nelayan

Menangkap ikan dengan peralatan sederhana tentu tidaklah mudah, harus


menggunakan skill 'tingkat dewa' atau beberapa ritual khusus beserta mantra ampuh
sebelum melaut agar hasil tangkapnya melimpah ruah.

Bagi nelayan Makassar yang terkenal sebagai salah satu masyarakat yang handal
dalam urusan melaut, ternyata mempunyai beberapa ritual khusus beserta mantra
ampuhnya sebelum memulai mencari ikan di laut lepas. Salah satu ritual yang harus
dilakukan para nelayan agar hasil tangkapannya melimpah ialah melempar pisang manis
ke tempat yang akan ditebari jala. Pisang yang dilemparkan bukan sebagai umpan
melainkan sebagai perayu karena menurut para leluhur nelayan raja ikan tertarik dengan
pisang manis.

19
Ritual selanjutnya adalah “membalik celana dalam” setelah menebar jala. Entah
apa tujuannya, tapi para nelayan tetap mengikuti apa yang para leluhur mereka ajarkan.
Dan yang terakhir adalah melafalkan mantra “ajaib” atau istilahnya baca-baca. Mantra
yang disebutkan terdapat dalam kitab suci ummat Islam atau Al-Quran yaitu tiga surah
terakhir yang kita kenal dengan 3 Qul (Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas). Mantra ini
tiada lain sebagai bentuk pujian Juga ucapan syukur kepada pemilik laut dan bumi.

4.4. Ritual Malapeh Budak

Ritual Malapeh Biduak adalah ritual yang biasanya dilakukan warga dan nelayan
di daerah Padang setelah biduak baru saja selesai dibuat atau direnovasi. Prosesi dimulai
dengan 'mandarah', menggunakan darah ayam hitam serta penyiraman air campuran
bunga tujuh rupa dengan jeruk nipis di sekeliling biduak. Setelah itu, prosesi dilanjutkan
dengan berdoa dan makan bersama.

Setelah prosesi selesai, biduak tersebut akan didorong dari tepi pantai menuju ke
laut oleh ratusan nelayan dan warga. Untuk selanjutnya siap mengarungi lautan dan
digunakan sebagai kapal tangkap ikan. Biasanya jenis biduak yang digunakan yakni
Payang.

Tradisi ritual ini sudah hampir punah dan sangat jarang dijumpai. Untuk itulah,
para nelayan menggelar kembali tradisi ini agar tidak punah tergerus perkembangan
zaman. Di samping untuk berdoa, tradisi ini juga mampu mempererat silaturahmi dan
kebersamaan sesama nelayan.

4.5. Ritual “Kelahiran Perahu”

Accaru-caru bisa juga disebut accera turungang adalah ritual nelayan Galesong,
khusus perahu baru diperbaiki atau baru akan digunakan. Accaru-caru bisa berarti
kenduri atau baca doa, di atas perahu ada beragam pakrappo atau sesajen. Jenis
beragam, mulai unti tekne (pisang raja), bajao jangang (telur ayam), songkolo
lekleng (nasi ketan hitam), songkolok kebok(ketan putih), umba-umba (onde-
onde), kulapisik (kue lapis), lekok (daun sirih) dan rappo (buah pinang). Dua ayam,
jantan dan betina disembelih dan diletakkan di depan perahu. Perahu diberi minyak
sangat harum. Bagian belakang, seorang guru atau sanro berdoa. Setelah dupa

20
dinyalakan dan doa-doa dibacakan, sanro melanjutkan ritual dengan memaku bagian
depan perahu pakai uang koin. Setelah semua berakhir, acara selesai, beragam makanan
tersaji di tengah perahu dan yang hadir berebutan. Semacam berkah bagi mereka.
Setelah itu, perahu lalu diangkat sekitar lima orang ke laut. Karena terbuat dari
bahan fiber, pemindahan perahu ke laut tak perlu waktu dan tenaga yang banyak. Jarak
antara tempat ritual dan garis pantai hanya beberapa puluh meter.

Menurut seorang papalele atau nelayan pengumpul di Desa Tamalate, Galesong


Utara, accaru-caru adalah ritual wajib bagi setiap nelayan yang baru melaut. Ia
semacam persembahan bagi ‘pemilik laut’, entah makhluk halus, roh-roh suci yang
diharapkan memberi keselamatan atau tak mengganggu nelayan ketika melaut. Accaru-
caru ini bisa disamakan dengan ritual atompolok’ atau menaruh ramuan obat di ubun-
ubun anak. Dengan acara ini mereka mengharapkan makhluk halus sekitar tak
mengganggu si anak, malah ikut menjaga. Accaru-caru juga sebuah bentuk kecintaan
nelayan kepada laut sebagai sumber penghidupan mereka.

Accaru-caru hanya satu dari sekian banyak ritual nelayan Galesong atau Suku
Makassar umumnya. Di waktu tertentu, nelayan akan membawa sesajen ke pantai, batas
antara laut dan daratan. Kadang juga dibawa ke tengah laut yang dianggap memiliki
‘penunggu.’ Di tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker di tengah laut, di
sanalah sesajen itu dipersembahkan dengan cara dialirkan ke laut.

(ket. Sesajen yang terdiri dari beberapa kue tradisional bugis Foto: Wahyu Chandra/
Mongabay Indonesia)

21
Dalam ritual Accaru-caru ini di atas perahu diletakkan beragam pakrappo atau
sesajen. Jenisnya beragam macam, mulai dari unti tekne (pisang raja), bajao jangang
(telur ayam), songkolo lekleng (nasi ketan hitam), songkolok kebok (nasi ketan putih),
umba-umba (onde-onde), kulapisik (kue lapis), lekok (daun sirih) dan rappo (buah
pinang). Beragam makanan ini memiliki makna tersendiri.

Terlepas dari tujuan atau kepada siapa sesajen tertuju, kata Tadjuddin, dalam
buku ‘Nelayan Makassar: Kepercayaan, Karakter (2012)’ menyatakan, pakrappoatau
sesajen dalam ritual caru-caru itu sebenarnya punya makna tertentu. Dia contohkan,
makanan umba-umba (onde-onde), terbuat dari beras ketan dan berbentuk seperti bola
pingpong berisi gula merah dan kepala muda. Sesajen lain, diistilahkan Tadjuddin
sebagai benda budaya, adalah kulapisik (kue lapis). Makanan ini, terbuat dari beras
tepung ketan, santan, gula pasir dan pewarna. Dalam pembuatan sengaja dibuat
berlapis-lapis. Ada juga unti tekne, sejenis pisang sangat manis. Makna unti dalam ritual
agar nelayan selalu memperoleh kesejahteraan lahir dan batin dalam menjalankan
aktivitas sebagaimana rasa manis dari pisang. Benda budaya lain
adalah lekok (sirih), bayao jangang (telur ayam), rappo (buah pinang) dan dupa. Kelima
macam benda budaya ini merupakan perangkat sesajen sebagai lambang penghormatan
kepada roh leluhur dan makhluk lain.

Pemberian sesajen biasa sesuai kesanggupan masing-masing nelayan. Makin


besar perahu atau armada nelayan, makin besar nilai atau sesajen harus
dipersembahkan. Terlebih jika nelayan akan melaut lama, biasa sesajen makin banyak.

4.6. Ritual Buka Laut

Bajo Mola Bahari merupakan suku Bajo yang paling modern dari seluruh Bajo
di Wakatobi. Mereka tinggal di selatan Pulau Wangi-wangi atau biasa di sebut Wanci,
Wakatobi. Sebagian masyarakat sudah menggunakan motor sebagai transportasi darat.
Mereka sudah membaur dengan kehidupan di darat.

Segala kebutuhan mereka terpenuhi dari laut. Untuk itu Bajo selalu melakukan
ritual sebelum melaut sebagai tanda hormat kepada alam. Ritual ini disebut Buka Laut.
Mereka akan membawa arak yang di masukkan ke dalam botol bening. Kemudian botol
akan di hanyutkan ke laut. Kadang arak dalam botol dihanyutkan juga bersamaan

22
dengan daun sirih. Ini merupakan ritual penting bagi Suku Bajo saat melaut atau mereka
menyebutnya pergi ke karang. Tidak sampai di situ, saat berada di laut masyarakat Bajo
tidak boleh menggunakan sabun atau parfum. Supaya lingkungan di laut tidak tercemar.

Layaknya orang yang pergi melaut, Suku Bajo juga menyiapkan perbekalan saat
pergi ke karang. Namun ada pantangan untuk membuang sisa cabai ke laut. Satu biji
cabai pun tidak boleh jatuh ke laut. Bukan hanya itu, saat di karang Suku Bajo pantang
untuk bernyanyi secara keras atau berteriak. Menurut mereka, itu sikap yang tidak sopan
terhadap penjaga laut. Walaupun sudah beradaptasi dengan teknologi, mereka tidak
melupakan adat melaut yang menjadi jati diri mereka.

4.7. Upacara Sembanyo

Rangkaian labuh laut diawali dengan kirab tumpeng raksasa yang berisi nasi
kuning dan aneka hasil bumi, mulai dari kantor Kecamatan Watulimo hingga Pelabuhan
Prigi. Sebelum dilepas ke laut, warga dan nelayan terlebih dahulu menggelar doa serta
pembacaan silsilah kawasan Prigi. Upacara adat yang telah ada sejak zaman nenek
moyang tersebut merupakan acara tahunan yang rutin digelar oleh masyarakat nelayan
setiap bulan Selo (penanggalan Jawa).

Larung tumpeng dan aneka hasil bumi tersebut sebagai bentuk rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan hasil laut kepada para nelayan
di wilayah teluk Prigi dan sekitarnya selama setahun terakhir. Tradisi tersebut juga
sekaligus untuk mengenang jasa para pendahulu yang telah membuka permukiman di
wilayah Prigi. Usai doa rangkaian seremonial, selanjutnya tumpeng dan aneka sesaji itu
di bawa ke dermaga Prigi untuk ditarik ke tengah laut dengan kapal nelayan. Dengan
pengawalan dari SAR, Polisi, TNI AL dan PSDKP iring-iringan tumpeng dan aneka
perahu hias menuju ke ujung teluk.

4.8. Ritual Tuturangiana

Ritual Tururangiana adalah ritual yang dilakukan oleh nelayan di daerah


Makassar. Ritual ini dimulai dengan beberapa laki-laki paruh baya yang menggunakan
jubah panjang adat Buton membawa sesajen di tangannya. Empat buah sesajen yang
tersimpan di atas susunan bambu besar yang sudah dipotong dengan ukuran kecil.

23
Keempat sesajen tersebut dimasukkan ke dalam tenda yang di dalamnya sudah banyak
pejabat dan tokoh masyarakat duduk bersila.

Sesajen tersebut merupakan bagian dari adat Tuturangiana Andala, atau


memberi sesajen kepada penguasa laut yang dilakukan masyarakat Pulau Makasar, Kota
Baubau, Sulawesi Tenggara. Ritual ini merupakan salah satu tradisi masyarakat Puma
sebelum melaksanakan aktivitas di laut diawali dengan Tuturangiana Andala yang
dipercaya untuk membuka pintu-pintu rezeki di laut, sekaligus menolak semacam
hambatan dan tantangan yang berasal dari kejahatan laut, seperti gelombang tinggi dan
sebagainya.

Isi sesajen tersebut seperti aneka jenis kue tradisional khas Buton, beberapa
batang rokok, beberapa lembar daun sirih, satu buah pinang, dan kelapa merah yang
masih muda. Seekor kambing disembelih di sekitar area ritual adat tersebut. Darah
kambing yang keluar ditampung dalam sebuah ember kecil dan kambing setelah
disembelih langsung dibawa ke rumah penduduk. kemudian, empat orang laki-laki
yang mengenakan jubah adat, datang mengambil darah kambing tersebut. Masing-
masing mengambil darah kambing dengan gelas dari bambu dan meletak di dekat
tempat sesajen tersebut.

Ritual adat ini telah lama dilakukan sejak Pulau Makasar mulai dihuni pasukan
Gowa dari pasukan Sultan Hasanuddin yang ditawan di pulau ini karena mengalami
kekalahan. Secara umum, penduduk Puma berprofesi sebagai nelayan. Sebelum turun
melaut mereka akan melakukan ritual adat tersebut. Menurut keyakinan masyarakat
setempat, bila tidak melakukan ritual akan mendapatkan hambatan dan gangguan dari
penguasa laut.

24
(ket. Sesajen tersebut dengan menggunakan kapal akan dibawa ke empat penjuru Pulau
Makasar, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Minggu (16/10/2016) yang dianggap
sebagai tempat keramat oleh masyarakat.(KOMPAS.com/DEFRIATNO NEKE)

Empat buah sesajen kemudian dibawa dengan menggunakan kapal kecil di


empat penjuru Pulau Makasar yang dianggap keramat. Keempat penjuru tersebut
mempunyai sejarah seperti terjatuhnya stempel Kerajaan Kesultanan Buton yang
dianggap keramat, munculnya jangkar putih tanpa berkarat dari lautan, dan terjadinya
kecelakaan ketika masyarakat bertentangan dengan nilai agama. Ritual adat
Tuturangiana Andala merupakan ritual yang dilakukan setiap tahun. Memberi sesaji
kepada penguasa laut dengan empat arah angin mengandung hikmah dan makna
tersendiri.

4.9. Ritual Mappandesasi

Salah satu tradisi yang masih dipertahankan dalam masyarakat etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko hingga saat ini adalah ritual Mappandesasi. Yaitu suatu tradisi
kepercayaan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini masih
dipegang teguh. Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual memberi makan laut ini
sudah dilaksanakan sejak nenek moyang yang bermukim di daerah Mandar dan
diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini.

Masyarakat Bungkutoko, khususnya masyarakat nelayan Mandar tidak terlepas


dari berbagai ritual upacara yang dilakukannya. Nelayan etnik Mandar mempercayai
adanya penghuni laut yang disebut Penjaga Sasi. Sebagaimana halnya suku Mandar
yang beraktivitas sebagai nelayan, rutinitas dalam melakukan upacara-upacara selalu

25
dilakukan untuk kesuksesan pekerjaan sebagai nelayan. Hal ini dilakukan karena
dianggap sangat penting sehingga pelaksanaannya pun melibatkan tokoh-tokoh adat
yang berasal dari Mandar.

Masyarakat nelayan etnik Mandar sangat mempercayai adanya ritual


mappandasesasi. Prosesi ritual mapandasesasi dipimpin oleh seorang sansro ‘dukun’
yang berasal dari etnik Mandar. Dukun atau sandro dalam kehidupan sehari-harinya
hidup bersama dengan masyarakat pada umumnya dan mempunyai mata pencaharian
seperti masyarakat lainnya, yakni sebagai nelayan. Akan tetapi,seorang sandro biasanya
ada hal hal tertentu yang membedakannya dengan masyarakat pada umumnya, yakni
seorang sandro dapat berhubungan dengan roh-roh halus para leluhur yang dianggap
membantu dan melindungi masyarakat Mandar.

Terdapat beberapa ketentuan yang perlu mendapat perhatian setiap orang bila
hendak mengikutiritual mappandesasi. Orang yang hendak melakukan ritual
mappandesasi perlu mempersiapkan diri (sehat jasmani dan rohani). Selain kesehatan
jasmani dan rohani, orang-orang yang hendak melakukan ritual mappandesasi harus
menyiapkan benda-benda sebagai prasarat sahnya ritual. Syarat sahnya ritual ini terdiri
atas bebrapa jenis, mulai dari binatang sebagai sesembahan, dari berbagai jenis tumbuh-
tumbuhan.

Upacara ini terdiri dari proses pemilihan hewan qurban, pemotongan hewan
qurban, peletakan sesaji dan acara makan bersama.

D. Penutup

Dari pembahasan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti berikut :

5.1. Masih ada banyak sekali proses ritual adat yang yang masih berlaku hingga saat
ini, walaupun sebagian diantaranya mulai ditinggalkan, hampir punah, atau
berevolusi namun antusiasme nelayan dan warga setempat untuk melestarikan
peninggalan leluhur sangat besar sehingga tetap melaksanakan tradisi-tradisi
yang ada untuk mempertahankan tradisi yang mulai ditinggalkan di tengah era
globalisasi ini.

26
5.2. Terdapat banyak kemiripan pada setiap tradisi yang dilakukan di berbagai
daerah terutama dalam penyajian sesajen yang biasanya terdiri dari hewan
qurban dan kue tradisional serta cara pembawaannya yang hampir semuanya
menggunakan perahu dan dilarung ketengah laut dan proses baca doanya.
5.3. Pada dasarnya semua tradisi dan ritual yang dilakukan oleh para nelayan
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memohon keselamatan, tanda syukur
atas hasil tangkapan yang berlimpah, dan penolak bala.
5.4. Disamping sebagai perwujudan doa, dan ucapan rasa syukur, tradisi-tradisi atau
ritual yang masih ada sampai sekarang juga menjadi keberkahan bagi
masyarakat disekitarnya, tradisi dan ritual seperti ini juga memiliki daya tarik
wisata dan menjadi tontonan menarik bagi turis yang sedang berkunjung ke
daerah-daerah pesisir.

27
DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Achmad. 2012. Tradisi, adat, dan kearifan lokal dalam dunia perikanan
di Indonesia. Semarang. WWF Indonesia. Diakeses di
https://www.wwf.or.id/?26284/Tradisi-adat-dan-kearifan-lokal-dalam-dunia-perikanan-
di-Indonesia pada tanggal 14 Nov. 18 pukul 12.39.

Ikah, Ifa. 2016. 4 Tradisi Unik Nelayan Yang Sarat Makna. Jakarta. Inspirator
Freak. Diakses di https://inspiratorfreak.com/4-tradisi-unik-nelayan-yang-sarat-makna/
pada tanggal 14 Nov. 18 pukul 12:44.

Ibrahim, I. (2018). SISTEM KEPERCAYAAN SEBAGAI BASIS-STRUKTUR


SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN LIUKANG TUPABBIRING DI
KABUPATEN PANGKEP. Al-Qalam, 16(2), 141-152.

Day, Alya Khaerunnisa Indrawan. RITUAL PATORANI: KEARIFAN LOKAL


KOMUNITAS NELAYAN DI GALESONG. 2017. Academia Edu diakses di
http://www.academia.edu/35291109/Ritual_Patorani_Kearifan_Lokal_Komunitas_Nela
yan_di_Galesong_Tugas_Artikel_WSBM_ pada tanggal 14 Nov. 18. Pukul 12.56.

Addini, I. (2016). PRAKTIK SOSIAL NELAYAN SEBELUM MELAUT DI


KELURAHAN BLIMBING KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN
LAMONGAN. Paradigma, 4(3).

28

You might also like