You are on page 1of 161
NT aa 4S F arp ~ “ gs 8 ~~ Ghina Nauvalia Penulis Wattpad @Nanvli_a Testineni Pembaca Defeated, by love “Baca cerita ini tuh bener bener nggak rugiii, ngikutin banget perkembangannya dari awal. Dan, sekarang udah dinovelin, I feel so happy ... Karena jarang banget aku nemu yang kayak gini, cerita yang bisa bawa pembaca terhanyut ke dalamnya. Pokoknya the best. Dapet banget deg- degannya, percintaannya juga pokoknyaaa.” —@RahmatikaSiregar, pembaca Defeated by Love di Wattpad “Ceritanya menarik banget masa :”). Setelah baca cerita ini sampai habis, aku nggak bisa move on dua hari dua malam sampai kebawa mimpi. Ya, intinya seru, deh :”). Semoga ada karya-karya lain yang Kakak buat, and bisa bikin aku tambah terinspirasi.” —@fancyunixcorn, pembaca Defeated by Love di Wattpad “DBL itu keren banget!!! Setiap part bikin jantungku berdesir. Aku suka sama alur penyampaiannya. Baru kali ini baca cerita yang bikin aku ikut merasakan apa yang dirasakan tokohnya. Gemas, kesal, dan sedih. Kisahnya serasa nyata.” —@indahnofiafitri, pembaca Defeated by Love di Wattpad “Cerita ini tuh bagus, punya daya tarik sendiri. Apalagi buat aku yang masih remaja gini rasanya pas aja baca cerita ini. Sering dibuat baper, ketawa sendiri kayak orgil wkwkwk. Saking kerennya sampai nggak bisa diungkapin dengan kata-kata. Author-nya juga ramah, hihi. Sukses terus, ya! Ditunggu karya selanjutnya®.” —@Meylaazmi, pembaca Defeated by Love di Wattpad “Ceritanya keren abisss. Bikin baper, bikin senyum-senyum sendiri, bahkan sampai nangis. Ceritanya nggak ngebosenin, dan ini jadi mood booster buat gue. So, yang jomlo, yang nggak pernah ngerasain baper, wajib baca cerita ini karena ceritanya sukses nyihir pembacanya. Pokoknya nggak bakalan nyesel deh bacanya.” —@saldiv213, pembaca Defeated by Love di Wattpad “Defeated by Love ceritanya menarik, keren abis. Kadang-kadang gue geregetan sendiri bacanya. Ceritanya bikin baper, bikin gue kayak orang gila senyum-senyum sendiri, feel-nya dapet banget. Dari sekian banyak cerita yang gue baca, ini cerita yang paling gue suka. Pokoknya cerita ini the best banget. Gue salut sama author yang bikin cerita ini. Banyak banget rintang buat Alika dan Dika, tetapi itu semua mereka kalahkan dengan cinta mereka. Defeated by Love the best banget!” —@klerensiaMaringka, pembaca Defeated by Love di Wattpad “First impression pas baca DBL itu ASYIK. Nggak ada kata bosen pas baca, serasa naik rollercoaster pas baca DBL. Percaya cerita ini nggak mainstream. Baca DBL itu serasa lihat doi lewat depan mata: deg-degan :v.” —@Auraci, pembaca Defeated by Love di Wattpad “Sangat memotivasi pembacanya untuk terus membaca cerita ini. Di dalam cerita ini mengajarkan kita untuk saling berbagi dan saling mempererat tali persahabatan.” —@Angiisulastri_, pembaca Defeated by Love di Wattpad “Aku baca DBL itu serasa ada kupu-kupu yang beterbangan di perut. Ceritanya itu keren banget, susah ditebak apa yang terjadi selanjutnya. FIGHTING! NEVER STOP READING!” —@cipaaaaa__, pembaca Defeated by Love di Wattpad “Kocak, keren, baper, nggak garing, menarik, pokoknya kayak ada ikatan batinnya gitu sampai bisa ngerasain apa yang diceritain =D” —@duvvvwv, pembaca Defeated by Love di Wattpad Heh opta dieing undangundrg Dirang mesqutp tou nemperbanysh sebogon lou sean stub fon an tert dan pene dD efe ti Los 0 Defeated by Love Karya Ghina Nauvalia Cetakan Pertama, Juli 2017 Penyunting: Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari Perancang & ilustrasi sampul: Nocturvis Tlustrasi isi: Belinda C.H. Pemeriksa aksara: Mia Fitri Kusuma Penata aksara: Rio & Tomo Digitalisasi: FHekmatyar Diterbitkan oleh Penerbit Bentang Belia (PT Bentang Pustaka) Anggota Ikapi Jin, Plemburan No. 1 Pogung Lor, RT 11 RW 48 SIA XV, Sleman, Yogyakarta 55284 Telp. (0274) 889248 - Faks. (0274) 883753 Surel: infoebentangpustaka.com Surel redaksi: redaksi@bentangpustaka.com hittp://www.bentangpustaka.com Ghina Nauvalia Defeated by Love/Ghina Nauvalia; penyunting, Hutami Suryaningtyas & Dila Maretihaqsari.—Yogyakarta: Bentang Belia, 2017. ISBN 978-602-430-151-4 E-book ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing JL Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620 Telp.: +62-21-7864547 (Hunting) Faks.: +62-21-7864272 Surel: mizandigitalpublishingemizan.com CUS Novel ini aku persembahkan untuk teman-teman agar lebih suka membaca buku, bukan membaca pesan dari doi, hehehe. lika meemas ujung tasnya. Ia merasa tegang dan grogi duduk di alam mobil abangnya. Ini adalah hari pertamanya sekolah di SMA Merdeka. Sebelumnya, ia adalah siswi di sebuah SMA yang ada di Bandung. Karena harus mengikuti kepindahan orang tuanya, ia pun pindah ke SMA di Jakarta. Saat ini, Alika memikirkan berbagai macam hal yang mungkin terjadi di sekolah barunya nanti. Hal-hal yang sering dibacanya dalam cerita-cerita remaja tentang anak baru berseliweran dalam pikirannya. Apakah ada yang mau berteman dengannya? Apakah ada yang tidak suka kepadanya? Apakah ada yang akan berbuat jahat kepadanya? Serta sederet pikiran buruk lainnya. Bang Adit melirik Alika. Ia langsung menyadari kegelisahan adik ceweknya itu. Ia pun berusaha untuk menghibur Alika. “Nggak usah tegang, Dek. Kalo ada yang berani macam-macam sama lo, bilang aja sama gue!” Alika menoleh ke arah Bang Adit. Ia tahu, Bang Adit mengkhawatirkannya. Sedikit perasaan lega menghinggapinya. Namun, ia tetap saja masih merasa cemas. “Iya, Bang, tapi tetep aja takut. Gue, kan, anak baru, Bang. Nanti kalo Gue ada salah sedikit aja, pasti langsung di-bully.” “Nggak akan! Selama ada Abang di sini, Abang selalu siap mati-matian belain lo, Dek! Tenang aja!” Alika tersenyum menatap abangnya. Dia yakin Bang Adit nggak bakal berhenti meyakinkan dirinya sampai ia tenang. “Iya gue percaya. Makasih ya, Bang!” “Nah, gitu dong! Senyum. Kan, cakep!” goda Bang Adit. “Th, apaan sih, Bang!” Sampai di sekolah, Bang Adit memarkir mobilnya dan membukakan pintu untuk Alika. “Sok sweet lo, Bang! Nanti ada pacar lo lihat, beuh, abis dah gue!” “Gue walau ganteng gini nggak punya pacar, Dek!” ucapnya. “Nah Ioh kenapa? Lo nggak laku? Atau, jangan-jangan Abang suka sama cowok lagi, nih!” “Sialan!” kesalnya, lalu meninggalkan Alika di parkiran mobil. Alika hanya tertawa kecil melihat sikap abangnya itu. Lalu, Alika pun mengejar abangnya. Alika terus berlari kecil untuk menghampiri abangnya, tetapi langkah kaki Bang Adit sangat berbeda dengan Alika. “Dih, Abang jangan ninggalin gue! Gue, kan, nggak tahu sekarang harus ke mana. Gue bingung tahu!” Akhirnya, Bang Adit menghentikan langkahnya. Ia berbalik ke arah Alika sambil mengembuskan napasnya. “Ya, udah. Ayo ke Ruang Kepala Sekolah sama gue!” ucap Bang Adit. Alika pun menganggukkan kepala dengan semangat. Selama Alika berjalan bersisian dengan Bang Adit, banyak siswa-siswi memperhatikannya dari atas hingga bawah. Ada yang berbisik, ada juga yang menyapa Bang Adit. Apa seterkenal itu Bang Adit di sekolah ini? Bang Adit memang sejak awal sudah sekolah di SMA ini. Setelah kedua orang tua mereka pindah tugas dari Bandung ke Jakarta, barulah Alika menyusul abangnya ke sekolah yang sama. Bang Adit tidak pernah cerita soal ketenarannya di sekolah. Namun, bila melihat reaksi orang- orang yang mereka lewati, sepertinya Bang Adit cukup populer di sini. Setelah sampai depan Ruang Kepala Sekolah, Bang Adit mengetuk pintu Ruang Kepala Sekolah dan menunggu sampai mereka dipersilakan masuk. “Masuk.” Terdengar suara seorang wanita dari dalam, lalu Alika dan Bang Adit masuk ke Ruang Kepala Sekolah. “Bu Lili, ini adik saya yang baru pindah dari Bandung,” ucap Bang Adit dengan sopan. “Oh, Alika ya namanya? Silakan kalian duduk dulu,” ucap Kepala Sekolah. Kriiinggg .... “Sudah bel masuk. Adit, kamu masuk ke kelas kamu saja, biar adikmu bersama Ibu,” ucap Bu Lili selaku Kepala Sekolah. Setelah Bang Adit keluar dari Ruang Kepala Sekolah, kini hanya Alika dan Bu Lili di ruangan itu. Alika merasa ketegangan makin menyelimuti dirinya. Tak lama, Alika dan Bu Lili melewati koridor sekolah yang sepi karena kelas sudah dimulai. Alika dan Bu Lili pun masuk ke kelas XIIPA 1. Saat Alika dan Bu Lili masuk ke kelas, semua orang menatap Alika. Para cowok menatap Alika kagum, sedangkan beberapa cewek menatap Alika dengan tatapan tak suka. Tetapi, Alika tak menghiraukannya. “Anak-anak, hari ini kalian punya teman baru, pindahan dari Bandung. Ibu harap kalian bisa berteman baik dengannya,” ucap Bu Lili. “Saya permisi dulu ya, Bu Nina,” ucap Bu Lili, Bu Nina menganggukkan kepala sambil tersenyum. Lalu, Bu Nina yang berdiri di samping Alika mulai membuka suaranya. “Oke! Sekarang, silakan perkenalkan diri,” ucap Bu Nina dan kelas pun hening seketika. Alika menahan napasnya dan memulai memperkenalkan diri. “Nama saya Alika Fasya, panggilan saya Lika. Saya pindahan dari Bandung. Saya harap, saya bisa berteman baik dengan kalian,” ucap Alika dengan gugup. “Oke. Terima kasih, Alika. Ada yang ingin bertanya kepada Alika?” tanya Bu Nina. Tiba-tiba kelas XI IPA 1 yang awalnya tenang, langsung ribut, terutama para cowok. “ID Line, dong, Alika.” “Udah punya pacar, belum?” “Nomor sepatu, dong?” “Lika rumahnya di mana?” “Pin BBM, dong!” “Nama Path atau Instagram gitu?” 4 “Sok cantik.” “Nanti ke kantin bareng, ya!” “Jalan, yuk” “Alikaaaaaa aku padamu ....” “Bh, sudah sudah! Kalian ini ya, disuruh bertanya malah ribut nggak karuan. Ya sudah, Alika sekarang kamu duduk di bangku paling belakang, ya. Nggak apa-apa, kan?” ucap Bu Nina. “Nggak apa-apa kok, Bu,” ucapnya sambil tersenyum dan Alika langsung melangkahkan kakinya ke kursi yang ditentukan oleh Bu Nina. Alika menduduki kursinya dan membuka tas untuk mengambil buku. Tiba-tiba, suara knop pintu terbuka dan semua siswi di kelas baru Alika berteriak, kecuali Alika karena ia tak tahu apa-apa. Akhirnya, Alika melihat ke arah pintu itu dan ternyata yang datang adalah seorang cowok yang juga berseragam putih abu-abu. Cowok itu jangkung dan putih. Seragamnya sangat berantakan. Meski demikian, tampilannya yang sangat berantakan itu tak mampu menutupi ketampanan wajahnya. Mata cokelatnya yang dibingkai alis tebal mampu membuat wanita tak berkedip. “Ya ampun ganteng banget,” gumam Alika pelan. “Maaf, Bu, saya telat,” ucap cowok itu sambil tersenyum. “Waduuuhhh ... yang punya sekolah baru dateng, hebat!!!” ucap salah seorang siswa yang ada di kelas Alika, dan seisi kelas menertawakannya. “Dika ... Dika, kenapa harus kamu lagi yang telat. Sekarang apa lagi alasannya, hem?” tanya Bu Nina “Jadi gini Bu, tadi saya udah berangkat pagi banget sebenernya. Pas lagi di jalan, tiba-tiba mendadak macet gitu, Bu. Ternyata yang membuat macet itu nenek-nenek lagi nyeberang,” ucap Dika, dan seisi kelas pun tertawa. “Bilang aja, Dik, bilang kalo kesiangan,” ucap salah seorang siswa. “Jangan dengarkan mereka, Bu. Mereka nggak tahu apa yang saya rasakan. Kan, nggak mungkin ada nenek-nenek lagi nyeberang terus saya tabrak. Saya masih ingat dosa, Bu,” ucap Dika lagi, yang membuat seluruh isi kelas kembali tertawa. “Sudah, sudah. Kali ini Ibu maafkan kamu, Dik. Silakan kamu ke tempatmu.” Kemudian, Dika berjalan ke arah tempat duduknya. Alika mengikuti arah Dika berjalan. Betapa terkejut Alika ketika Dika berjalan menuju bangku kosong yang ada di samping bangkunya. Seketika dia merasa sangat beruntung bisa duduk di samping Dika. Cowok terganteng yang dia temui hari ini. “Lo anak baru, ya?” tanya Dika. Alika masih terpaku memandang kagum wajah Dika, sebelum akhirnya tersadar dan menjawab pertanyaan Dika dengan gugup. “I-iyaaa “Gue Dika,” ucapnya sambil mengulurkan tangannya kepada Alika. Tetapi, Alika hanya diam menatap Dika. Dika yang mulai bingung dengan sikap cewek yang ada di sebelahnya itu, alhirnya melambaikan tangan di depan wajah Alika. “Halo!” Alika yang terkejut, langsung membalas uluran tangan Dika. “E-eh, gue Alika.” Alika berusaha menyembunyikan salah tingkahnya dengan senyuman kecil. Cantik juga, batin Dika. oy Kringggggg.... Bel istirahat berbunyi, seluruh siswa-siswi kelas Alika berhamburan keluar dan menuju kantin sekolah, kecuali Alika. Ia hanya duduk di depan kelasnya karena ia belum tahu apa-apa tentang sekolah ini. Tiba-tiba seorang cewek duduk di samping Alika. “Hai, aku Via,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Alika. Alika pun membalas uluran tangannya dan berkata, “Aku Alika.” “Ke kantin, yuk!” ajaknya, to the point. “Ayo!” balas Alika. Lalu, mereka berdua pergi ke kantin. Sesampainya di kantin, mereka melihat keadaan kantin yang sangat ramai. “Yah, duduk di mana nih, kita?” Mata Alika menyapu seisi ruangan dan menemukan kursi kosong untuk mereka. “Tuh, di pojok aja, ada yang kosong, kok!” Setelah duduk, Alika dan Via langsung memesan makanan yang mereka berdua inginkan. Tiba-tiba terdengar suara histeris bermunculan. Tak perlu menunggu lama, Alika segera mengetahui penyebab kehebohan itu. Dika dan teman-temannya sedang berjalan di kantin. Mata Via pun berbinar saat melihat geng Dika. “Duh, kelompok anak cowok paling ganteng di sini, tuh!” “Masak, sih?” ucap Alika tak percaya. “Iyalah, Lika. Lihat, dong, mereka semua ganteng. Makanya, lo tuh beruntung banget. Tempat duduk lo persis di sampingnya Dika. Semua cewek pasti iri!” ucap Via. Alika hanya tersenyum kecil. “Termasuk lo juga, dong! Kan, lo cewek, jadi lo juga iri dong sama gue?” balas Alika sambil tersenyum jail. Via yang mendengar ucapan Alika barusan, tidak terima. “Eeeit ... nggak dong! Gue mah sukanya sama Harry. Dia beda sama yang lain gitu! Hehehe ....” Tidak lama kemudian, pesanan mereka berdua pun datang. Semangkuk bakso untuk Alika dan sepiring siomay untuk Via. Mereka langsung menyantapnya sebelum waktu istirahat usai. bows KRIIINGGGGGGG. Seluruh siswa-siswi SMA Merdeka pun berhamburan keluar setelah bel pulang berbunyi. Alika berjalan ke arah kantin, tempat ia akan menunggu Bang Adit untuk pulang bersama. Sesampainya di kantin, Alika memesan segelas jus avokad untuk menemaninya menunggu abangnya. Usai memesan, ia duduk di kursi paling pojok dan mengeluarkan ponselnya. Tiba-tiba ada notifikasi Line dari Bang Adit. “Duh, nggak enak, nih, firasat gue,” gumam Alika sambil membuka Line dari Bang Adit. Aditya Fasya: Dek, gue balik sore nih kayaknya, mau latihan basket. Lo di mana? Alika Fasya: Gue di kantin, Bang. Ya udah, gue pulang naik angkot aja ya, Bang. Aditya Fasya: Nggak, nggak, nggak usah. Gue udah minta tolong temen gue buat nganterin lo pulang. Dia udah mau ke kantin, kok, nyamperin lo. Ya udah, hati hati ya, Dek! Bye adikku tersayang :* Alika hanya membaca Line terakhir dari Bang Adit dan segera menghabiskan jus avokadnya. Tidak lama kemudian, Alika melihat Via berjalan ke kantin sendirian. “Alika! Gue kira lo udah balik,” teriaknya dari jauh. “Ini sebentar lagi mau pulang, Lo kenapa belum pulang?” tanya Alika. “Belum, lagi nunggu dijemput,” ucapnya. “Dijemput siapa? Harry, ya?” ledek Alika, dan Via hanya tersipu malu. Tidak lama kemudian, seorang cowok tiba-tiba duduk di samping Alika dan membuat kedua cewek itu terkejut. “Hei, Cantildkk!” ucap Dika dengan cengiran khasnya. “[-iyaa. Eh Dika,” ucap Alika kaget. “Abang lo Adit, ya?” katanya. “Liyaaa, kok lo tahu? Jangan-jangan lo temen Bang Adit yang dimintai tolong buat nganter gue pulang?” ucap Alika. “Iya, Lik. Ya udah, langsung balik aja, yuk!” ucapnya sambil menarik tangan Alika. Alika yang tidak siap, hanya bisa mengikuti ajakan Dika sambil menatap Via bingung. “Via gue duluan, ya.” Via mengacungkan jempolnya sambil tersenyum. Deg... Oh inikah cinta ... cinta pada jumpa pertama, batin alika. Eh, kok, gue malah nyanyi sih! batinnya lagi. Alika hanya melihat tangannya yang ada di genggaman tangan Dika. Entah kenapa Alika tidak berusaha melepaskan tangannya itu. Sesampainya di parkiran, Dika baru sadar dengan apa yangia lakukan. Ia langsung melepaskan tangan Alika. “Eh, sori, Lik. Gue nggak sengaja,” ucapnya membuyarkan pikiran Alika. Sengaja juga nggak apa-apa, kok! batin Alika, lalu ia tersenyum. “Iya, nggak apa-apa, kok!” Selama perjalanan pulang, hanya ada keheningan di antara mereka berdua. “Masuk kompleks, terus belok mana lagi?” tanya Dika memecahkan keheningan. “Belok kiri, Rumah keempat di sebelah kanan.” Tak lama kemudian, mereka berdua sampai di depan rumah Alika. Keheningan kembali menyelimuti mereka. Dika menghentikan mobilnya dan melihat ke arah Alika. Alika hanya diam, menatap keluar dengan tatapan kosong. Dika pun memecahkan keheningan. “Lik, udah sampai, Lik.” Masih hening. Alika tidak bereaksi sedikit pun. 10 Dika pun mengguncang pundak Alika dan melambaikan tangan di depan wajah cewek di sampingnya. “Helllooo, ada orang? Likaaa, udah sampai,” ucap Dika sekali lagi. Bahu Alika terguncang kaget. Matanya langsung membulat. “E-eh iya Dik, udah sampai, ya? Makasih ya, Dika,” ucap Alika sambil tersenyum. Alika meraih tuas pintu mobil. Lalu, ia berhenti dan menatap Dika. “Mau mampir?” “Nggak usah. Gue ada urusan lagi, Cantik,” jawab Dika sambil tersenyum. Alika mengangguk dan turun dari mobil. Setelah berpamitan, lalu Dika pergi dari rumah Alika. Setelah mobil Dika hilang dari pandangan, Alika masuk ke rumah dengan suasana hati yang sangat bahagia. Saat Alika memasuki rumahnya, kondisi rumah sangat sepi. Alika berpikir pasti bundanya tengah memasak di dapur. Alika pun berteriak memanggil bundanya. “BUNNNDAAAAAA. LIKA CANTIK PULANG.” “Udah sih, Dek, jangan berisik. Bunda pusing beneran nih, denger suara kamu. Kayak lagi di hutan aja,” ucap Bunda. “Ish, Bunda mah gitu.” Alika pura-pura ngambek sambil menggelayut manja di pundak Bunda. “Kamu dianterin siapa, Dek? Abang kamu mana?” “Abang ada ekskul. Pulangnya lama. Jadi, aku dianterin temen,” ucap Alika dengan wajah yang berbinar. Bunda menyadari perubahan di wajah anak perempuan satu-satunya itu. Ia pun tergelitik untuk menggoda Alika. “Temen apa temen?” goda Bunda sambil tersenyum jail. “Ish, apa sih, Bun. Udah, Lika mau ke kamar dulu ya, Bunda. Bye- bye,” ucap Alika sambil mencium pipi bundanya. Lalu, ia lari ke dalam kamarnya. Sesampainya di kamar, Alika mengganti baju seragamnya dengan baju santai, lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur dan tertidur. Setelah dua jam lamanya Alika tertidur, akhirnya Alika terbangun. “Hoaaaaaaaaaaaammm.” Alika meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku setelah tidur. “Lho, udah sore, ya?” gumamnya. Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya Alika turun dari ranjangnya. Ia langsung mengambil handuk dan mandi. Usai mandi, Alika memakai baju santai dan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Bunda pasti sedang menyiapkan makan malam. Alika berniat membantu bundanya. Saat menapaki anak tangga terakhir, Alika melihat Bang Adit baru pulang. Alika pun menghampiri abangnya itu. “Baru pulang, Bang? Beuh, capek gue mah kalo jadi lo, Bang!” “Berisik! Eh, gimana tadi dianterin pulang sama cogan?” “Biasa aja.” Alika yang tidak kuasa menahan senyumnya itu, buru-buru pergi dari hadapan abangnya. Lalu, ia mendengar abangnya bergumam pelan. “Padahal seneng, tuh!” Alika menghentikan langkahnya, ia berbalik ke arah abangnya sambil menaruh kedua tangannya di pinggang. “Apa lo bilang, Bang?!” Bang Adit hanya nyengir dan berkata, “Eh, eh, nggak, Dek! Aduh, aduh gerah, Abang ke kamar dulu, ya! Byeee....” Lalu, ia pergi ke kamarnya. Beberapa saat kemudian, Alika makan malam bersama keluarganya. Meski hanya berempat, tanpa kehadiran dua abangnya lagi, Alex dan Aldi, yang sedang kuliah di luar kota. “Alika, gimana hari pertamamu di sekolah?” tanya Papa. “Biasa aja, Pa,” jawab Alika singkat. “Asyik, kan? Ada cowok gantengnya, nggak? Udah punya temen, belum?” tanya Bunda bertubi-tubi. Th, Bunda mah, cowok ganteng mulu yang ditanya. Kalo temen mah udah ada, lah. Namanya Via,” jawab Alika. “Kalo cowok ganteng mah banyak di sekolah Alika sekarang. Termasuk yang lagi ngomong nih, cowok ganteng di sekolah,” ucap Bang Adit sambil membusungkan dadanya. “Huek, huek, huek.” Alika bereaksi pada ucapan Bang Adit. Bunda hanya terkekeh melihat kelakuan mereka berdua. Usai makan malam, Alika membantu bundanya membereskan meja makan, lalu mengulang kembali pelajaran yang ia terima di sekolah tadi. Di tempat lain, Dika yang memiliki ritme kehidupan yang berbeda dengan Alika, masih ada di luar rumah. Ia sedang nongkrong di kafe bersama dua sobatnya, yaitu Harry dan Viko. “Tadi balik sama siapa lo?” tanya Viko. “Sama Alika,” ucap Dika. “Oh, Alika anak baru yang adiknya Bang Adit, ya?” tanya Harry. “Iya,” jawab Dika sambil menenggak sisa kopinya dari gelas. “Yuklah, cabut!” ajaknya. Lalu, mereka bertiga pergi ke salah satu taman yang menyediakan tempat untuk bermain skateboard. 4 Chapter 2 agi harinya, Bunda menyuruh Adit yang baru saja selesai mandi untuk membangunkan Alika. Adit ke kamar Alika dan mengguncang pelan tubuhnya. Alika hanya membuka matanya sedikit, menarik selimut, memunggungi Adit, dan kembali tidur. Beberapa kali Adit berusaha membangunkannya, tetapi reaksi yang ia dapat sama. Adit hampir menyerah, lalu ia melihat sekeliling kamar Alika. Lalu, senyum jail mengembang di bibirnya. Adit mengambil jam dinding yang ada di kamar Alika dan mengubah jarum jamnya. Lalu, ia melakukan hal yang sama pada jam beker milik Alika. Tak lupa ia menyetelnya tepat satu menit ke depan. Lalu, ia kembali meletakkan jam beker itu di dekat telinga Alika. Setelah selesai dengan rencananya, Adit pun keluar dari kamar Alika dan melanjutkan bersiap- siap. Kringgggge. Alika menekan tombol di jam beker itu. Setengah sadar, Alika melihat ke arah jam kecil itu. Alika terkejut. Lalu, tatapannya segera beralih ke arah jam dinding untuk memastikan apa yang dilihatnya tak salah. Jarum jam di dinding pun menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh. “Hah!!! Setengah tujuh! Gawat gawat gawat!” Alika pun segera mandi seadanya dan memakai seragamnya dengan buru-buru. “Aduh, Bunda bisa marah besar ini.” Setelah selesai bersiap-siap, Alika pun menuruni anak tangga menuju ruang makan. Di ruang makan, Bang Adit dan Papa tengah asyik melahap sarapannya. Alika langsung menarik tangan abangnya. “Abang, ayo jalan, udah telat!” Adit hanya menatap Alika dan berkata, “Telat apanya? Tuh, lihat jam dinding” Alika pun menoleh ke arah jam dinding yang dimaksud, dan ternyata masih pukul enam lewat sepuluh. Alika pun curiga dengan abangnya ini. “Pasti Abang, deh, yang ngelakuin ini semua,” Awalnya Adit akan memasang tampang polos menanggapi Alika. Namun, ia tak kuasa menahan tawanya dan membuat Alika yakin bahwa dugaannya benar. “Abang parah, ya. Gue sampai buru-buru mandi, nih!” Bang Adit hanya tertawa dan berkata, “Hahaha ... makanya jadi cewek jangan kebo!” +7 “Udah, nggak usah ngambek, mau berangkat bareng, nggak? Kalo nggak mau, Abang jalan duluan, ya. Dahhb ...,” ucap Bang Adit yang langsung pamit dan pergi ke mobilnya. Alika yang melihat Bang Adit beranjak pergi menuju mobilnya, langsung mengambil setangkup roti bakar, lalu pamit kepada bunda dan papanya. “Abang, tunggu ....” Selama di jalan, Alika hanya menghabiskan sarapannya dan diam melihat ke luar jendela. “Dek, udah sampai, nih!” “Bh, udah sampai, ya?” “Hahaha ... makanya jangan mikirin Dika terus. Nanti juga ketemu, sabar aja, sih!” “Ha? Terserah lo deh, Bang. Oh, iya, nanti pulang sama gue, kan? Parah aja kalo nggak bareng lagi.” “Iya, Dek.” Lalu, Alika keluar dari mobil Bang Adit dan berjalan menuju kelasnya. Saat Alika membuka pintu kelasnya dan berjalan masuk, tiba-tiba .... Bruwughhh .... “ALIKAAAAAA....” Semuanya menjadi gelap. Ketika tersadar, Alika sedang berada di UKS dengan Dika. “Alika? Akhirnya bangun juga lo,” ucap Dika. Wajahnya tampak sangat lega melihat Alika membuka matanya. n “Kok, lo ada di sini? Bang Adit ke mana?” tanya Alika sambil mengedarkan pandangan mencari sosok abangnya. “Dia masuk kelas. Dia nyuruh gue buat nemenin lo sampai lo sadar,” ucap Dika sambil memegang tangan Alika secara tiba-tiba. Deg...! Boleh melayang, nggak? batin Alika. Dika yang melihat wajah Alika sangat tegang itu, menyunggingkan senyumnya dan berkata, “Jangan terbang dong, nanti atap sekolah jebol gimana? Ck.” Dia, kok, bisa tahu isi hati gue, ya? batin Alika. Alika hanya menahan senyumannya yang hampir merekah. Alika pun menepis tangan Dika dan berusaha bangun dari ranjang UKS. “Ish, Dik, apa sih. Udah, ah, gue mau ke kelas.” “Yakin lo udah nggak apa-apa? Ya udah, ayo kita ke kelas,” ucap Dika sambil membantu Alika pergi ke kelas. Selama di koridor menuju kelas, Alika hanya diam. Tiba-tiba saja Dika merangkul pundak Alika. Alika sangat terkejut karena perbuatan Dika. Dia langsung menatap Dika. Tetapi, Dika dengan santai hanya berkata, “Jangan ge-er, ini biar lo nggak jatuh aja.” “Sebenernya gue itu kenapa, sih, Dik? Kok, gue tiba-tiba ada di UKS.” “Lo tadi jatuh di depan kelas. Kepala lo kejatuhan buku dari atas pintu. Kepala lo nggak luka, sih, karena bukunya nggak begitu tebel. Kata dokter jaga di UKS tadi, mungkin lo shock, makanya lo sampai pingsan. Gue curiga, lo tadi kena jebakan gengnya Bella,” jawab Dika. Alika kemarin rf diberi tahu Via bahwa Bella itu fan beratnya Dika. Bahkan, dia pernah nembak Dika, tapi ditolak mentah-mentah oleh Dika. Tanpa Alika sadari, mereka berdua sudah sampai depan kelas. “Udah, lo masuk gih ke kelas. Gue mau ke kantin dulu sama anak-anak,” ucap Dika, lalu pergi meninggalkan Alika di depan kelas. Setelah Dika hilang dari pandangan, Alika masuk ke kelas dan keadaan kelas sangat ribut karena tidak ada guru. Kalau tahu nggak ada guru mah mending di UKS dulu rebahan, batin Alika. “Lo abis dari mana?” tanya Via tiba-tiba. “UKS, Vi,” jawab Alika. “Lho, lo kenapa?” tanyanya. “Gue jatuh kena jebakannya geng Bella gitu. Miris yaa ...,” ucap Alika sambil tertawa kecil. “Emang, lo ada masalah apa?” tanyanya. “Padahal, gue kemarin cuma balik bareng Dika doang. Tiba-tiba tadi pagi gue dijailin sampai gue pingsan.” “Tyalah, lagian lo pake acara pulang bareng Dika segala. Ya udah, biarin aja. Pantesan tadi gue lihat Bang Adit ngomong serius banget sama Bella. Tumben banget Bang Adit mau ngobrol sama cewek kayak Bella. Biasanya, kan, abang lo sok cool gitu kalo sama cewek,” ucap Via. “Dikasih pelajaran? Duh! Jangan sampai Bang Adit ikut diapa-apa . “Nggak bakal, lah. Gitu-gitu, abang lo juga termasuk cowok populer di sekolah ini. Gue aja dulu sempet naksir sama dia. Kalo sampai ada yang berani macam-macam sama Bang Adit, pasti banyak yang belain,” ucap Via memotong pembicaraan Alika. ra “Wah gue bilangin Harry, nih!” ledek Alika. “Jangan, dong! Gitu, ih, lo mah!” ucap Via sambil melipatkan kedua tangannya. Alika hanya tersenyum melihat teman barunya itu. bow Bel istirahat pun berbunyi, siswa-siswi SMA Merdeka langsung Kriiiingggg .... berhamburan ke kantin. “Ke kantin yuk, Lik?” ajak Via. “Yuk! Eh, tapi gue ke toilet dulu, ya,” ucap Alika, dan Via menjawab dengan mengacungkan jempolnya. Saat Alika ingin bangkit dari kursinya, Dika yang tadi sedang mendengarkan musik tiba-tiba mencegah Alika keluar. Nih anak apa-apaan, sih, batin Alika. “Lo mau ke mana?” tanya Dika. “Ke toilet, kenapa?” “Nggak apa-apa. Gue cuma mau ajak lo ke kantin. Ya udah, gue ke kantin duluan, yah,” ucap Dika yang langsung meninggalkan Alika dan Via dikelas. Setelah Dika keluar dari kelas, mereka berdua hanya saling menatap satu sama lain, “Dika kenapa, ya?” “Entahlah .... Ayo ke toilet!” ajak Alika, dan mereka berdua pergi ke arah toilet bersama. “Bh, gue nunggu di loker aja, ya. Gue mau telepon nyokap dulu sebentar,” ucap Via. Alika mengangguk, lalu menuju toilet sendirian. 2% Saat memasuki toilet cewek, Alika merasa heran, tumben sekali toilet ini sangat sepi saat istirahat. “Tumben ini toilet sepi,” gumamnya. Ketika Alika akan memasuki salah satu bilik toilet, ia melihat ada gayung di atas pintu. “aneh banget gayung ditaruh di atas,” ucap Alika sambil meraih gayung itu. Pada saat Alika mengambil gayung itu, tiba-tiba— Byuuuuuurrr ... Gayung yang berisi air dan telur busuk itu jatuh. Isinya tumpah membasahi rambut dan tubuh Alika. “Aaarrrrrrggghhh .... Siapa, sih, yang iseng sama gue! Emang gue salah apa sampai ada yang tega giniin gue,” lirih Alika. Alika hanya menatap wajahnya yang berantakan di cermin. Alika berusaha untuk membersihkannya, tetapi bau busuk dari telur itu masih saja terasa. Ketika Alika ingin membuka pintu toilet, ternyata pintu itu terkunci dari luar. Alika hanya bisa berteriak di dalam toilet, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. “Tolong!!! Bukain. Please, yang lagi di luar sana tolong gue!” Alika terus berteriak dan tak lama kemudian, ia pun menangis. “Tolongin gue! Gue takut sendirian!” Cekleeekk.... Alika langsung mengusap air mata di pipinya dan ia pun bangkit. Ia membuka pintu itu lebar, lalu segera keluar dari toilet. Saat Alika keluar, munculah wajah Dika di depan Alika. “Kok, lo di sini Dik?” ketus Alika. a “Udah, cepet ikut gue!” ucap Dika yang langsung menggandeng tangan Alika. Nih, orang maksudnya apa, sih? batin Alika, tetapi ia tetap mengikuti ajakan Dika. Tak lama, Alika tahu ke mana Dika membawanya pergi- “Whaaatttttt .... Kok, ke Ruang Kepsek, sih, Dik. Nggak usah, Dik! Apaan sih, lo? Gue mau bersihin badan gue dulu. Nggak lihat apa badan gue udah kacau banget kayak gini? Dika!” Alika berusaha melawan tarikan Dika. Namun, Dika tetap membawanya berjalan mendekati Ruang Kepsek. “Nih cewek berisik banget, sumpah!” gumamnya. “Gue masih bisa denger lo, ya, Dik!” ucap Alika kesal. Sesampainya di depan Ruang Kepala Sekolah, Dika langsung mengetuk pintu. “Masuk,” ucap Bu Lili dari dalam. Dika membuka kenop pintu dan mengajak Alika masuk bersamanya. Saat Alika sudah ada di dalam Ruang Kepala Sekolah, dia melihat ada Bella dan teman-temannya juga di sana. Lho..... Kok, ada Bella? batin Alika. “Dik, ngapain sih, bawa gue ke sini? Emang gue punya masalah apa, Dik?” bisik Alika. “Alika,” Bu Lili berkata, sebelum Dika sempat menjawab pertanyaan Alika. “[-iya Bu. Ada a-apa ya, Bu?” ucap Alika gugup. “Coba ceritakan apa yang bisa membuatmu menjadi seperti ini,” pinta Kepala Sekolah. Akhirnya, Alika menceritakan semua kejadian yang baru saja ia alami. “Apa kamu yakin, Dika, kalau Bella yang melakukannya?” tanya Bu Lili. “Iya, Bu. Saya punya bukti,” ucap Dika tenang sambil mengeluarkan ponsel dan menyodorkannya kepada Kepsek. Dika diem-diem baik, ya, batin Alika sambil tersenyum. Dika menyetel sebuah rekaman dari ponsel di tangannya itu. Lalu, sebuah suara dari rekaman itu mulai terdengar. Seluruh orang di dalam Ruang Kepala Sekolah pun mendengarkan dengan saksama. =? Dika sedang berada di kantin. Tanpa ia sadari, matanya mencari keberadaan Alika. Karena dia tidak menemukan Alika di kantin, Dika pun kehilangan minat untuk mengisi waktu istirahatnya di sana. Dika memutuskan kembali ke kelas. Dia tidak juga menemukan Alika di sana. Entah kenapa, Dika merasa ada yang tidak beres dengan ketidakhadiran Alika di kantin dan di kelas. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke toilet sebelum kembali mencari Alika. Saat akan masuk ke toilet cowok, Dika melihat Bella dan gengnya di depan toilet cewek. Mereka terlihat sedang berkasak-kusuk merencanakan sesuatu dan Bella memegang sebuah kunci. Karena penasaran dan merasa ada yang tidak beres, Dika diam-diam mendekati mereka sambil berusaha menyalakan aplikasi perekam suara di ponselnya. “Kena si Alika, nggak, ramuan menjijikkannya tadi? Sebel banget gue lihat kelakuannya yang sok cantik itu!” tanya Bella kepada salah seorang temannya. “Tenang ajaaa ... semuanya beres! Kita lihat aja nanti, Alika bakalan gue bikin malu. Kuncinya masih lo pegang kan, Bel? Nanti aja bukanya pas udah bel masuk. Mau ke mana lagi dia kalo kelas udah mulai?” jawab cewek yang ditanyai Bella tadi. B Dika tak tahan mendengar obrolan itu. Ia menggeram kesal, mematikan aplikasi perekam, dan langsung mendekati Bella. “Bel, itu kunci apa?” tanyanya. “Oh i-itu kunci ... rumah ... kunci rumah. Iya, kunci rumah gue,” jawab Bella gugup. Bella tidak bisa menutupi kekagetannya melihat Dika yang tiba- tiba muncul. “Oh, ya? Coba gue lihat, dong. Gue pengin lihat kunci rumah gedongan. Kan, katanya Bella orang kaya,” ucap Dika sambil merebut kunci dari tangan Bella, Dika pura-pura mengamati kunci yang ada di tangannya. “Bukannya ini kunci toilet wanita, ya? Siapa yang lagi lo kunciin?” tanya Dika datar sambil menatap Bella, tajam. Dengan polosnya, salah seorang teman Bella ada yang keceplosan . “Alikaaa dong!” ucap cewek yang langsung menutup mulutnya itu. “Oh, Alika ya? Sini lo!” ucap Dika yang langsung menarik lengan Bella ke few) og Bella dan gengnya hanya menundukkan kepalanya dan diam tidak bisa Ruangan Kepala Sekolah. berbicara apa-apa lagi. Usai mendengarkan rekaman singkat dari ponsel Dika, tidak ada lagi hal yang bisa dibantah bahwa mereka yang mem-bully Alika. “Saya sangat kecewa kepada kalian semua. Terutama kamu, Bella!” ucap Kepsek tegas. “Maaf, Bu,” ucap Bella dan gengnya serempak. “Kalian dihukum membersihkan toilet dan gudang. SEKARANG!” bentak Bu Lili. “Dan, buat kamu, Alika, ini baju seragam yang baru. Silakan kamu ganti baju dulu, setelah itu baru masuk kelas. Dan, Dika, silakan langsung masuk kelas,” ucap Bu Lili sambil menyodorkan seragam untuk Alika. Alika dan Dika langsung keluar dari Ruang Kepala Sekolah. Teman- teman geng Dika sudah menunggu di depan ruangan itu. “Brood .... Lo kenapa sampai ke Ruang Kepala Sekolah?” tanya Viko. “Wah, jangan-jangan dia kena masalah, tuh!” ucap Harry. “Jangan-jangan ketangkap basah dia sama Alika,” ucap Harry lagi dan mereka berdua tertawa. Alika pun langsung menggelengkan kepala. “Nggak, kok! Malah tadi Dika habis bantuin gue,” sanggah Alika. “Oh, gitu. Ya, ya, ya,” balas Harry. “Mmm, Dik, Ry, Ko Alika dengan senyumnya. ‘ue duluan, ya! Gue mau ganti baju dulu,” ucap “Iya, Lik, hati-hati,” jawab Dika. Alika berlalu dari tiga cowok itu. Dika menatap punggung Alika yang perlahan menjauh dan menghilang dari pandangan. “Dilihat-lihat, Alika cantik, ya,” ucap Harry sambil menyenggol lengan Dika. Iya, emang dia cantik! batin Dika. w ari Sabtu, hari ketika SMA Merdeka hanya mengadakan kegiatan Hee Saat ini, Alika sedang di rumah bersama keluarganya. “Bang, lo bete, nggak, sih di rumah? Jalan, yukkk!” ajak Alika. “Nggak, ah! Gue males jalan. Gue lagi pengin main PS aja di rumah,” tolak Bang Adit. “Kalo gue ikut lo main PS, gimana?” tanya Alika. “Nggak, nggak! Suka rusuh lo kalo main PS. Udah, jalan sendiri sana!” balas Adit. “Ah, nggak asyik banget lo, Bang!” ucap Alika kesal sambil melempar bantal ke arah Adit. To00k .... TORK... “Buka sana, Lik!” ucap Bang Adit. “Males, ah. Jauh Bang, jauh,” ucap Alika sambil merentangkan tangannya ke depan. “Ish, punya adik malesan. Awas aja kalo gue jalan, nggak bakalan gue ajak lo!” ucapnya kesal dan itu membuat Alika refleks berdiri dan membukakan pintu. “Gue bukain pintu, tapi ajak gue tiap lo jalan, yal” tawar Alika. “Iya, bawel! Udah gih, bukain pintunya,” jawab Bang Adit. Saat Alika membuka pintu itu, munculah kedua pria yang sangat ia rindukan. “Bang Alex! Bang Aldi!” teriaknya. Alika sangat kaget, tetapi ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. “Alikaaaaaaaa!” ucap mereka berdua sambil terkekeh dan merentangkan tangan. Bukannya menyambut pelukan mereka, Alika malah memukul lengan kedua abang kembarnya itu. “Ih, kok, pulang nggak bilang-bilang Lika, sih? Kan, nanti bisa dijemput di bandara. Lika kangen sama Abang!” ucap Alika sambil memeluk kedua abang tersayangnya. “Sama Abang yang satunya lagi, nggak, kangen?” ucap Bang Adit yang tiba-tiba sudah berada di belakang Alika. “Lo mah resek. Males gue kangen sama lo, Bang! Gue kangennya sama Bang Aldi sama Bang Alex aja, ah!” teriak Alika sambil memegang tangan kedua abangnya itu. Beberapa jam setelah kedatangan Aldi dan Alex, akhirnya Alika dan ketiga abangnya itu pergi ke salah satu mal yang ada di Jakarta. Banyak tatapan iri kepada Alika yang diapit oleh cowok-cowok ganteng, Banyak juga tatapan menggoda dari cewek-cewek yang ditujukan kepada abang-abang Alika itu. Setelah menemani Alika membeli beberapa novel, kini ia yang harus mengikuti ketiga abangnya itu bermain di Timezone. “Terus aja main! Gue dicuekin!” ucap Alika kesal. “Masih mending kita mainnya di Timezone, Dek, daripada main di hati cewek?” ucap Bang Aldi bercanda. “Iyalah! Kita mah cowok sejati. Ya, nggak, Bang?” ucap Bang Adit. “Iya, dong!” Lalu, mereka bertiga ber-high five ria yang membuat Alika heres oy Malam itu, keluarga Alika berkumpul. Makan malam bersama dengan makin memanyunkan bibirnya. formasi lengkap. Suasana nyaman melingkupi acara makan malam itu. “Gimana nih, sekolahnya adik-adikku?” tanya Bang Alex saat suasana tengah hening. “Aman, Bang. Lancar! Iya kan, Dek?” ucap Bang Adit sambil menyenggol lengan Alika dengan sikutnya. Tetapi, Alika masih asyik menikmati makanannya. “Tahu, nggak, Bang, Alika sekarang punya gebetan, Iho! Udah gede nih, adik kita,” ucap Bang Adit terkekeh. “Oh, ya? Coba dong bawa pacarnya ke sini,” ucap Bunda. Ucapan Bang Adit itu membuat Alika tersedak. “Uhuk uhuk! Apa-apaan sih, Bang? Siapa juga yang punya gebetan,” kesal Alika. “Kalo nggak merasa mah nggak usah marah kali, Dek. Cieee cieeeeee ..” ucap Bang Adit lagi dan itu membuat Alika semakin geram. 2B “Omongan ngaco Bang Adit mah nggak usah dipercaya!” ucap Alika kesal sambil meneguk air putih di depannya. “Yang ada Bang Adit, tuh, playboy banget di sekolah. Temen-temen sekelas Lika aja banyak yang naksir. Sombong! Huuu....” Alika mencibirkan bibirnya ke arah Bang Adit. “Wah! Bagus, dong! Dulu gue sama Aldi juga banyak fan loh pas masih SMA. Ya, nggak, Di?” Aldi hanya mengangguk sambil terus mengunyah. Alika yang melihat kelakuan abang-abangnya hanya bisa bengong. Sementara itu, Papa dan Bunda tertawa melihat tingkah laku anak- anaknya yang selalu bisa menghidupkan suasana. eesokan harinya, Bunda masuk ke kamar Alika. Seperti hari Kore biasanya, Alika selalu bangun lebih siang. Saat Bunda duduk di pinggir ranjang Alika, putrinya itu masih tidur dalam balutan piama, Bunda membelai lembut kepala Alika. “Alika, Sayang, bangun, udah siang” Alika membuka mata dan menatap langit-langit kamarnya. “Jam berapa sih, Bun?” tanyanya sambil mengucek mata. ‘Jam tujuh,” ucap Bunda. Alika pun langsung terduduk di ranjangnya. “Hahhhi!!!!!! Terus Bang Alex, Bang Adit, sama Bang Aldi ninggalin aku joging?” Semalam, ketiga abangnya itu sudah berjanji untuk mengajaknya joging bareng pukul 6.00 pagi hari ini. “Kamu susah dibangunin, jadinya abang-abang kamu ninggalin kamu, deh. Oh, iya, di bawah ada temenmu, tuh,” ucap Bunda. “Siapa?” tanya Alika. “Via, katanya temen sekelasmu. Cepetan turun. Kasihan dia nungguin kamu,” ucap Bunda dan langsung pergi meninggalkan kamar Alika. Alika pun langsung mandi dengan terburu-buru. Setelah rapi, Alika pun menuruni anak tangga dan melihat Via sudah berdandan dengan cantik. “Heil” sapa Alika. “Oh. Hai, Alika!” “Tumben banget pagi-pagi udah sampai sini. Ada apa, Vi? Jangan bilang lo mau ajak gue joging? Udah siang, sist!” “Astaga, gue punya temen satu, nih, ya, kalo ngomong nggak bisa direm. Gue mau ajak lo ke salon. Terus habis itu nanti kita cari baju. Shopping ala-ala gitu, deh! Mau kan, Lik? Mau, kaaaaaan?” ucapnya sambil menggamit lengan Alika. “Kalo gini, siapa yang ngomongnya nggak bisa direm coba? Oke, oke! Gue ganti baju dulu. Tapi, lepas dulu tangannya,” ucap Alika. Lalu, Alika pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Setelah ganti baju, Alika turun dan berpamitan kepada Bunda. Lalu, mereka berdua pergi ke mal dengan menggunakan mobil Via. “Tumben lo ajak gue jalan. Ayang bebeb lo ke mana emang?” ledek Alika. “Ishh, ayang bebeb gue siapa ?” tanya Via bingung. “Siapa lagi kalo bukan Harry,” ucap Alika terkekeh. Via hanya tersipu malu. “Wah, ini anak. Jangan-jangan udah jadian beneran lagil” tebak Alika, dan Via hanya tertawa. Sesampainya di mal, Via memarkir mobilnya, lalu berjalan bersama Alika menuju salon langganannya. Hampir dua jam waktu yang mereka habiskan di salon. Setelah itu, Alika dan Via jalan- 31 jalan mengelilingi mal mencari butik yang sedang mengadakan sale. Yah, namanya juga cewek. Barang diskonan pasti selalu tampak menarik. “Astaga Likaaaal!!” teriak Via histeris. Alika menoleh, lalu menghampirinya. “Apa sih, Vi? Berisik banget lo. Malu gue dilihatin orang-orang!” ujar Alika setengah berbisik. “tu bajunya bagus banget! Diskonnya lumayan banget lagi! Gue mau ambil itu, ah!” ucap Via tak memedulikan orang-orang yang sedang memperhatikan mereka. “Ya, tinggal ambil aja sih, Vi, kalo suka. Nggak usah pake teriak-teriak gitu.” Saat Via hendak mengambil baju yang ia maksud, tiba-tiba ada tangan lain yang juga ingin mengambilnya. “Maaf ya, tapi saya duluan yang ambil,” ucap Via sopan. “Enak aja! Gue duluan!” jawabnya nyolot. Alika merasa sangat mengenali suara tersebut. Saat Alika dan Via menoleh ke arah pemilik tangan itu. “Bella,” ucap mereka serempak. “Oh kalian. Ngapain lo ke sini?” tanya Bella ketus. “Gue di sini ya belanja, lah! Pake nanya segala. Mana ke siniin baju gue!” ucap Via tak kalah ketus. “Apaan? Ini baju gue!” Bella mencengkeram baju itu erat. “Heh! Baju itu gue duluan yang megang. Jadi, gue yang lebih berhak buat beli baju itu!” Via tetap tidak mau mengalah. 32 “Udah, Vi, udah. Nanti kita cari yang lain. Oke?” Alika mencoba melerai mereka berdua. Via menatap Alika, lalu matanya beralih pada baju pink di genggaman Bella. Ia mendengus kasar. “Makan tuh, baju diskonan! Katanya orang kaya, tapi diskonan aja masih dipertahanin. Kaya apaan!” ujar Via ketus. Kemudian, ia berbalik dan menarik lengan Alika. “Udah deh, jangan berurusan sama dia. Nggak akan selesai,” ucap Alika setelah mereka keluar dari butik tadi. “Iya Lik. Heran, deh, gue sama dia. Katanya orang kaya, tapi cari baju diskonan. Udah gitu direbutinnya aja, ya, ampun, setengah mati! Bangkrut kali ya bokapnya?” ucap Via masih kesal. “Stet ... udah jangan marah-marah, mending kita makan,” Alika mencoba menenangkan sahabatnya itu. “Makan apa emang?” “Lagi pengin piza.” “Ya udah, ayok!” Lalu, mereka berdua masuk ke restoran piza yang ada di mal tersebut. “Bh, Lik, itu bukannya Dika, Viko, sama Harry, ya?” tanya Via sesaat setelah mereka selesai memesan makanan. Alika menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Via dan mengerutkan keningnya. Ia berusaha mencari sosok-sosok yang disebutkan Via tadi. “Bh, iya. Itu Dika, ya? Ngapain dia ke sini?” “Ya makan, lah! Aneh banget sih, pertanyaan lo!” ucap Via sambil menoyor kepala Alika. “Sakit tahu, Via!” Alika mengusap pelan kepalanya. 33 Via baru saja akan berteriak memanggil Harry ketika Dika mengetahui keberadaan mereka berdua di sana. Mereka bertiga langsung menghampiri meja Alika dan Via. “Hai, Alika! Hai, Yayang Vial” ucap Harry dengan nada sok cool-nya. “Hail” ucap mereka berdua sambil tersenyum. “Kami boleh gabung, nggak?” tanya Viko. “Kasihan nih, kawan gue yang satu ini, dari tadi ngelihatin lo terus, Lik,” lanjutnya sambil menatap Alika, lalu terkekeh. “Boleh kok, gabung aja,” ucap Alika lembut. Cara lo ngomong bikin hati gue tenang Lika, batin Dika. Akhirnya, mereka berlima pun duduk di satu meja. Layaknya teman satu sekolah, mereka berbincang dan menertawai hal-hal lucu di sekolah. “Dik. Jangan tegang, dong!” ledek Viko ketika ia menyadari Dika yang menjadi lebih pendiam hari itu. Ledekan Viko disambut oleh tawa dari Via, Harry, dan Alika. Tak lama kemudian, pesanan mereka semua sampai. Meja yang tadinya ramai oleh canda tawa mendadak hening. Mereka semua sibuk dengan makanan yang ada di depan mereka. Baru saja mereka menyelesaikan makan, tiba-tiba ponsel Alika berbunyi. Ada yang menelepon Alika. “Siapa yang telepon?” tanya Dika tiba-tiba dan membuat yang lainnya terkejut. “Cieeeeee,” ucap Harry, Viko, dan Via serempak. “Hehehe ... dari Bang Adit. Sebentar ya, gue terima telepon dulu,” ucap Alika dan langsung meninggalkan meja. 34 Setelah Alika pergi, meja itu kembali hening. Viko asyik dengan minumannya, Via sibuk dengan ponselnya, Dika terlihat bingung melihat ke sekeliling restoran, sedangkan Harry tampak sedang memikirkan sesuatu. BRRRAAAKKKKKK..... “Gue punya ide!” ucap Harry tiba-tiba. Seketika seluruh pengunjung menatap Harry dengan tatapan aneh. “Maaf ya, Bapak, Ibu. Teman saya sedang bermasalah,” ucap Viko. Lalu, suasana kembali seperti semula. “Kenapa sih, lo? Kalo gue mati karena jantungan gimana?” ucap Viko sambil memegang dadanya. “Tahu, nih! Harry nggak jelas banget, sumpah!” ucap Via terkekeh. “Gue punya permainan, nih!” ujar Harry. “Apaan?” tanya Dika malas. “ToD. Alias truth or dare,” ucap Harry. “Oke! Gue nggak takut. Hayuklah mulai!” ucap Dika dengan tampang sok cool. “Jangan nafsu dulu, broooo ... tunggu Alika,” ucap Via. “Oke, oke! Kita tunggu Alika,” balas Dika. Tak lama, Alika kembali ke meja. Harry kembali menjelaskan permainan yang berasal dari idenya. Kemudian, mereka memulai permainan. Permainan dimulai dari Viko. “Truth or dare?” tanya Harry kepada Viko. “Truth,” jawabnya. “Mantan yang masih ada di hati lo, siapa?” tanya Harry. “Melisa,” jawab Viko dengan muka memelas. “Kasihaaannn....,” ucap yang lainnya serempak, lalu langsung tertawa. “Oke, oke, giliran lo, Vi. Truth or dare?” tanya Viko kepada Via. “Truth,” ucap Via. “Lo sama Harry beneran jadian?” tanya Viko. “Bener,” ucap Via singkat. Lalu, ledekan-ledekan meledak dari mereka semua kepada Via dan Harry. “Piza dibayarin sama Via dan Harry. Setuju?” ucap Dika. “Setuju!” ucap Viko dan Alika. Lalu, mereka berdua tertawa. “Sekarang lo, Dik. Hahaha ... truth or dare?” tanya Viko. “Gue dare, deh! Cowok cool kayak gue mah, harus dare, jangan truth. Nggak seru, Hahaha ...”” ucapnya jumawa. Harry justru melihat Viko dengan senyum penuh makna. Kayaknya gue mau dikerjain, nih! batin Dika yang langsung menyesali pilihannya. “Gue tantang lo nembak Alika sekarang. Kalo dia nerima lo, kalian berdua harus jadian selama sebulan!” ucap Viko yang langsung melayangkan tos dan disambut oleh Harry. Alika hanya diam menganga sambil melihat Viko dan Harry. “Oke!” ucap Dika tanpa ragu. “Alika,” ucap Dika sambil memegang tangan mungil Alika yang duduk di sebelahnya. “Kamu, mau, nggak, jadi pacar aku?” tanya Dika tulus sambil tersenyum. Alika masih diam terpaku dan melihat Dika yang masih menunggu jawabannya. 3 “Puas lo!” sembur Dika ke arah Viko, masih sambil menggenggam tangan Alika. “Nah, sekarang Alika, nih. Truth or dare?” tanya Via. “Dare, deh!” Lalu, Alika langsung menutup mulutnya, menyesali pilihannya yang spontan. “Eh, nggak, truth aja deh, truth,” ucapnya lagi. “Nggak bisa diganti, Alika Sayang,” ucap Via, dan Alika hanya mendengus kesal. Via melirik ke arah Viko yang langsung menangkap maksud tatapannya. “Oke, Lika, lo harus nerima Dika. Lo harus anggep dia pacar selama sebulan,” ujar Viko. Alika terbelalak. Entah mengapa ia merasa teman-temannya sudah merencanakan ini semua. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia harus menuruti aturan permainan. Alika kembali menatap mata Dika. “O-oke aku mau jadi pacar kamu,” ucapnya sambil tersipu malu. Lalu, Dika tersenyum lebar mendengar jawaban Alika. Ngapain gue seneng, kan, ini pura-pura, batin Alika. “Seneng kan, lo?” tanya Harry sambil menyenggol tangan Dika. “Apaan, sih,” ucap Dika. Lalu, tiba-tiba ia ingat sesuatu. “Bh, lo belom Ry! Jangan curang lo!!!” ujar Dika. “Iya ya? Gue sampai lupa. Truth or dare?” tanya Via. “Truth. Biar sama kayak ayang bebeb,” jawab Harry yang disambut tatapan jijik dari teman-temannya. “Lo lebih sayang sama Via apa sama mantan lo dulu?! Mampus lo, hahaha ...,” tanya Viko. “Sama ayang Via-lah!” ucapnya mantap sambil tersenyum. og Usai makan, mereka berpisah dan pulang masing-masing. Alika pulang dengan Dika atas paksaan teman-teman mereka. Menurut Via, Viko, dan Harry, pasangan baru harus pulang berdua. Mau tak mau, Alika dan Dika menurut. Lagi pula, Via bersikeras ingin pulang bersama Harry. Selama di jalan, mereka berdua hanya diam. Alika dan Dika merasa canggung untuk memulai sebuah percakapan. Mereka baru kenal selama beberapa hari, dan sekarang mereka adalah sepasang kekasih. Meski hanya pura-pura, mereka tetap merasa canggung. Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Alika. Dika pun berinisiatif membukakan pintu untuk Alika. Alika pun turun dari mobil dan tersenyum kepadanya. “Hhhmmm.... Makasih ya, Dik!” Dika pun membalas senyuman Alika. “Iya, sama-sama.” Alika tak segera masuk ke rumah. Ia menatap Dika, sambil menimang sesuatu. “Mmm ... Dika, gue tahu kita cuma pacaran bohongan. Tapi, itu udah bikin gue seneng banget, Dik. Karena ... gue ... emang suka sama lo. Mmmm... tapi gue juga masih bingung sama perasaan gue sendiri,” ujar Alika yang membuat Dika melebarkan matanya. “Lo serius suka sama gue?” tanyanya. Mata teduh Alika mendadak melebar dan menyiratkan kejailan. “Nggak ding! Gue bohong! Hehehe .... Gue duluan, ya, Dik!” ucap Alika sambil berjalan masuk ke rumahnya. 38 “Percuma lo ngeles nggak suka sama gue.Gue bisa lihat itu dari mata lo, Lik,” gumam Dika. Kemudian, ia pergi dari rumah Alika. di SMA Merdeka. Saat Alika berjalan di koridor, banyak siswi yang menatap Alika tak suka dan berbisikcbisik. Kasi harinya, berita Alika dan Dika pacaran sudah tersebar luas “Bener dia pacaran sama Dika?” “Nggak rela gue!” “Kenapa harus dia, sih?” “Ah, iri gue!” “Cantik juga nggak!” Perkataan aneh dari para siswi itu membuat Alika risih. Lalu, Alika mempercepat jalannya agar cepat sampai kelas. Sesampainya dikelas, Alika pun duduk di tempatnya. Via menghampiri Alika dengan wajah semangat. “Alikaaaaaaaaa ....” “Apa, sih? Mau gosipin gue juga pagi-pagi?” ucapnya kesal. “Nggak, kok, nggak. Hehehe ... lihat PR Kimia, dong! Gue belum selesai, nih!” ucap Via memohon. “Ya udah, gue ambil dulu buku PR gue.” Via langsung duduk di samping Alika. Kemudian, Alika memberikan buku Kimia-nya kepada Via yang langsung diterimanya dengan mata berbinar. Dengan sigap, Via langsung membuka buku tulis bersampul biru itu dan menyalin PR dari sahabatnya. Alika hanya menggeleng melihat kelakuan temannya dan mengambil novel dari dalam tas. Tak lama, ia sudah hanyut dalam cerita novel kesukaannya. “Bh, temen-temen! Kalian udah lihat jadwal kamping kita belum?” Raka sang ketua kelas tiba-tiba muncul di depan kelas. Alika pun langsung menoleh ke arah sumber suara. “Yang bener lo?” tanya seorang cewek, teman sekelas Alika. “Iya, udah ada pengumumannya di mading,” jawab Raka. “Kapan, Ka?” “Dalam waktu dekat ini. Buat jelasnya bisa lo baca di mading, ya. Ada daftar barang yang wajib dibawa juga. Mulai dari sekarang, jaga kesehatan masing-masing, ya!” jelas Raka lagi. Kringgggeg .... Bel pun berbunyi dan semua guru bersiap-siap memasuki kelas mereka sesuai jadwal. Tiba-tiba, munculah Viko di depan kelas. Wajahnya semringah, seakan-akan ada kabar gembira yang ingin ia ucapkan. “WOY! LO TAHU, NGGAK, GURU KIMIA HARI ININGGAK MASUK?” ucap Viko lantang. “ Seisi kelas langsung menoleh ke arah Viko. “Serius lo, Vik? Tampang lo mencurigakan gitu.” “Iya bener, dia nggak—” Viko tak jadi melanjutkan omongannya karena, Bu Beti, guru Kimia mereka, masuk bersama Harry dan Dika. “Ada apa ini berisik sekali?” tanya Bu Beti. “Viko bilang Ibu nggak masuk,” ucap Karin. “Nggak Bu, nggak! Apa sih lo, Karin? Jangan fitnah dong!” ucap Viko mencoba ngeles. “Sudah, diam! Viko, kamu duduk,” ucap Bu Beti. Viko diam dan pergi ke kursinya tanpa membantah. “Buka halaman 50. Kerjakan soal-soalnya dan kumpulkan. Ibu mau rapat dengan guru-guru yang lain. Jangan ada yang keluar dari kelas,” perintahnya. “Baik, Buuu ...,” jawab para murid. Lalu, dengan patuh mereka membuka buku yang dimaksud. Bu Beti pun pergi menuju ruang rapat para guru. Alika mengambil headset dari dalam tas, menancapkan ujungnya di ponsel, dan memasang di kedua telinga. Lalu, Alika mulai mengerjakan soal-soal yang diperintahkan dengan tenang sambil mendengarkan lagu. Kelas XI IPA 1 pun menjadi hening karena para penghuninya sibuk mengerjakan tugas dari Bu Beti. Beberapa saat kemudian, Alika telah selesai mengerjakan tugasnya, begitu pula dengan murid-murid lainnya. Perlahan, kelas menjadi riuh kembali. Beberapa bahkan meninggalkan kelas dan pergi ke kantin. Termasuk Dika, Harry, dan Viko. Kringgggeeees. 42 “Mau ke kantin, nggak?” tanya Via. “Iya, tunggu sebentar.” Alika membereskan peralatan tulisnya dan pergi ke kantin bersama Via. Saat Alika dan Via duduk di bangku kantin, Dika, Viko, dan Harry datang dan duduk di bangku yang sama. “Mau makan apa? Biar gue yang pesenin,” Harry menawarkan diri. “Nasi goreng sama jus avokad,” ucap Alika dan Dika serempak. “Cieee ..., Viko, Harry, dan Via berseru tak kalah kompak. Alika dan Dika hanya saling menatap dan tersipu. Setelah makan, Alika dan Via ke toilet cewek. Saat mereka masuk, ada Bella dan gengnya di dalam. “Bh, lihat nih, siapa yang dateng,” ucap Bella sinis. “Udah deh, Bel. Ini sekolah. Gue nggak mau ribut-ribut sama lo,” ucap Alika tegas. “Nggak mau ribut sama gue? Heh! Lo tuh, udah ambil Dika dari gue!!!” ucap Bella yang tangannya sudah terangkat untuk menampar wajah Alika. Tetapi, Via dengan sigap menahannya. “Udahlah, Lik, balik aja yuk!” ucap Via sambil meraih lengan Alika. “Gue tunggu lo pulang sekolah di taman belakang sekolah! Cabut, girls!” ucap Bella. Ia dan teman-teman gengnya pun berlalu dari toilet. Alika yang masih bengong akhirnya ditarik paksa oleh Via menuju kelas. fr og “Pulang bareng gue, yuk!” ajak Dika. 43 “Iya, sebentar. Gue tadi disuruh ke ruangan Pak Budi dulu. Lo tunggu sini sebentar, ya,” ucap Alika sambil tersenyum tipis. Kemudian, Alika pergi ke taman belakang sekolah untuk menemui Bella. “Punya nyali juga lo!” ucap Bella sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Gue nggak takut sama lo, Bel,” ucap Alika datar. “Pegang dia,” ucap Bella ke teman-temannya yang langsung bergerak maju. “Alaaah, lo beraninya keroyokan doang! Pecundang!” ucap Alika sebelum cewek-cewek itu mendekatinya. PLAKKKKKK. Alika memegang pipi kanannya yang ditampar oleh Bella yang berhasil mendahului teman-temannya mencapai Alika. “Gue bukan pecundang!!!” ucap Bella. PLAAAKKKKKK. Satu tamparan lagi mendarat di pipi kiri Alika. Tetapi, Alika hanya diam menahan rasa sakit di kedua pipinya itu. “Udah puas lo, Bell?” ucap Alika dengan mata berkaca menahan rasa sakit. “Segini doang lo udah nangis? Sekarang siapa yang pecundang?” ucap Bella. “Seenggaknya gue berani dateng ke sini sendirian! Nggak kayak lo yang beraninya keroyokan!” teriak Alika. “Alah banyak omong!!! Serbu, girls!” ucap Bella. 4 Saat mereka baru akan mendekati Alika, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak. Bella menoleh dengan cepat. Ia merasa marah dengan orang yang menghentikan kemenangannya itu. Namun, apa yang dilihatnya membuat rasa marah itu berubah menjadi ketakutan. “Dik—ka,” ucap Bella kaget. Dika langsung berlari memeluk Alika. “Sampai Alika kenapa-kenapa, gue nggak akan segan-segan sama lo!!! Pak, maaf ya, saya hanya ingin Bapak tahu perilaku putri Bapak,” ucap Dika kepada papa Bella yang sudah berdiri tak jauh dari Bella. “Papa kecewa sama kamu, Bella!” “Ini nggak seperti apa yang Papa lihat, Pa!” ucap Bella mencoba membela diri. “Papa udah lihat semuanya. Besok kamu pindah dari sekolah ini!” ucap pria paruh baya itu sambil meninggalkan Bella. Dika menuntun Alika menjauh dari tempat itu. Dika mengajak Alika duduk di sebuah bangku tak jauh dari taman. Setelah Alika terlihat lebih tenang, Dika mulai mengajaknya berbicara. “Kenapa sih, lo nggak bilang aja sama gue?” tanya Dika lirih. “Maaf, gue cuma nggak mau nyusahin lo, Dik,” ucap Alika sambil menunduk. “Lain kali, kalau lo ada masalah, cerita sama gue, ya. Sekarang kita pulang, yuk!” ajak Dika. Lalu, mereka berdua pulang. ika berjalan melewati koridor sekolah. Seperti biasa, banyak cewek yang berusaha menarik perhatiannya. Namun, Dika tak peduli dan tetap berjalan tanpa menoleh. “Hello, bro! Yang lagi seneng habis jadi pahlawannya Alikal” ucap Harry sambil menepuk bahu Dika. “Berisik lo!” balas Dika ketus. “Hahahahahaha ... akhirnya jatuh cinta beneran, kan, lo sama Alika,” ucap Harry tak menggubris sikap ketus Dika. Dika mendadak diam. Dia berusaha mencerna perkataan Harry barusan. Dika jatuh cinta sama Alika? Tidak mungkin. Alika memang cantik, tapi cantik saja belum cukup membuatnya jatuh cinta. Saat ini dia memang menyayangi Alika. Tapi, kalau jatuh cinta .... KRINGGGGGGGGG. Bel masuk berbunyi. Dika, Harry, dan Viko segera masuk ke kelas. Pelajaran pertama mereka hari itu adalah Matematika. “Pelajaran Bu Nina, ya? Duh, gue lupa banget belum kerjain PR, nih!” ucap Dika. “Lo udah belum, Vik, Har?” tanya Dika kepada dua sahabatnya. “Astaga! Lupa gue!” ucap Harry. Dan, ekspresi Viko yang membelalak lebar dengan mulut terbuka pun sudah cukup menjawab bahwa dia juga tidak mengerjakan PR. “Pagi, anak-anak,” suara Bu Nina menambah kepanikan mereka bertiga. Setelah Bu Nina duduk, beliau kembali berkata, “Kita ada PR, ya? Ayo, dikumpulkan di depan semua.” Semua murid di kelas itu pun mengumpulkan buku PR mereka, kecuali tiga orang. “Dika,Viko, Harry. Kalian nggak ngerjain PR lagi?” tanya Bu Nina. “Belum, Bu Cantik,” ucap Dika merayu. “Wuuuuuuuun ...., seru semua murid kepada mereka bertiga. “Beehhh ... kenapa ini pada nyorakin cowok-cowok ganteng?” ucap Viko dengan penuh kepercayaan diri. Lalu, semuanya menyorakinya lagi. Bahkan, lebih kencang. “Diam, diam! Dika, Viko, Harry, Langganan Ibu ini. Sini maju!” perintah Bu Nina. Setelah mereka bertiga ada di depan, Bu Nina memukul lengan mereka bertiga dengan penggarisnya. “bu bosan lihat kalian bertiga lagi yang nggak mengerjakan PR. Sekarang kalian berdiri menghadap tiang bendera,” ucap Bu Nina. Mau tak mau, mereka bertiga melaksanakan perintahnya. “Gilaaa ... capek!” keluh Dika. “Hausss ... haussss ...,” susul Harry. ” “Pegelll ... pegelll...” Viko tak mau kalah. Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. Seluruh siswi yang melihat kejadian ini, langsung mencari perhatian mereka dengan membelikan minuman atau makanan ringan . Dika mencari sesosok cewek di antara para siswi itu. Dan, dia hanya mendengus kesal saat melihat cewek yang dicarinya sedang menertawakan mereka bertiga dari jauh bersama Via. “Cewek gue tega ya, ninggalin gue yang lagi capek gini,” omel Dika. Tak lama kemudian, Dika melihat Alika dan Via berjalan menuju mereka bertiga dengan membawa makanan dan minuman. “Nih, buat lo semua,” ucap Alika. Dika dan yang lain langsung menerima makanan dan minuman dari tangan Alika, lalu segera melahapnya. Alika dan Via tetap berdiri di situ, agar mereka bisa menjadi alibi bila tiba-tiba Bu Nina datang. “Capek, nih, berdiri terus. Mending kita makan di kantin aja. Ayo, Sayang!” ajak Dika sambil menggandeng Alika. “Emang hukuman kalian udah selesai?” tanya Alika. “Nggak usah dipikirin itu mah!” “Dasar cowok nekat!” Sesampainya di kantin, Dika dan Alika mencari tempat yang biasa mereka duduki. Ternyata kursi itu sudah diduduki oleh Gerry. Ketua OSIS yang terkenal angkuh. Sisi egois Dika muncul. Ia merasa tak terima tempatnya diambil orang lain. Ia pun menghampiri Gerry yang sedang makan. “Sori, tapi ini tempat gue,” ucap Dika. 48 “Setahu gue, ini kantin umum. Tadi juga gue nggak lihat ada nama lo di meja ini. Lo siapa? Yang punya sekolah ini? Main atur tempat duduk. Lo nggak tahu siapa gue?” Gerry membalas Dika. “Jangan banyak omong, deh, lo! Kalo emang nggak mau pergi bilang aja! Nggak usah nyolot bikin orang kesel, dong!” Suara Dika meninggi, membuat kantin menjadi hening. “Udah, Dik, udah. Kita cari tempat lain aja,” Alika menggamit lengan Dika, berusaha menenangkan dan mengajaknya pergi. Dika melunak saat merasakan sentuhan Alika di lengannya. Namun, ia kembali geram saat mengetahui Gerry sedang memandang Alika lekat. “Ngapain lo ngelihatin cewek gue!” ucap Dika sambil mendorong bahu kanan Gerry. “Cewek lo? Kok, mau sih, dia pacaran sama cowok kayak lo!” ucapnya sambil menunjuk wajah Dika. Tangan Dika sudah terangkat untuk memukul Gerry, tetapi ada sebuah tangan yang memegang pergelangan tangan Dika. Dika melihat ke arah tangan itu. Tangan Alika, pacarnya. “Udah, Dik, udah ...,” lerai Alika mencoba tetap tenang. “Orang kayak dia harus dikasih pelajaran, Lik!” “Nggak harus berantem buat nyelesaiin masalah.” “Bener kata Alika. Berantem malah bisa nambah masalah,” ucap Viko. “Kali ini lo bebas, tapi hat nanti!” ancam Dika. Gerry hanya tersenyum sinis dan meninggalkan kantin. “Baru kali ini Dika nggak jadi berantem, nih!” ucap Harry. “Udahlah, daripada ngomongin orang itu, mending kita makan,” ucap Viko. “Yeee, makan mulu lo mah!” ucap Dika. Lalu, ia memesankan makanan untuknya dan Alika. Mereka akhirnya duduk di tempat biasa mereka makan. Saat mereka berlima tengah asyik dengan makanannya masing- masing, tiba-tiba ada yang menjewer telinga Dika. “Awwwhhh awwwhhh, sakit!” Dika pun menoleh ke arah pemilik tangan itu. Ternyata, Bu Nina yang menjewer Dika. “Aduh, sakit, Bu, sakit,” ucap Dika. “Kalian ini, ya, disuruh berdiri di lapangan malah makan di sini!” ucap Bu Nina. “Ampun, Bu, ampun,” ucap Harry. “Tampang seperti kalian tidak ada kapok-kapoknya. Cepat! Kalian kembali lagi ke lapangan!” ucap Bu Nina sambil menarik Dika dan kawan- kawannya. Kringgg..... Bel pulang pun berbunyi, semua siswa di SMA Merdeka berhamburan keluar kelas. “Gue duluan, ya,” ucap Via. “Oke!” balas Alika. “Lika balik bareng gue, kan?” tanya Dika kepada Alika. “Oke. Sekarang aja yuk pulangnya,” ucap Alika. 50 Lalu, Alika pulang bersama Dika dengan motor merah milik Dika. Selama di jalan, Dika selalu membuat Alika tertawa terbahak-bahak hingga tak sadar kalau mereka sudah sampai di depan rumah Alika. “Udah sampai, nih, betah aja di belakang gue,” ucap Dika yang membuat Alika memukul punggungnya. “Dik... makasih, ya,” ucap Alika. “Iya, Sayang,” balas Dika. Saat Alika berbalik, tangan Dika menahannya. “Kenapa, Dik?” tanya Alika kaget. “Gue mau bilang sesuatu.” “Oke, bilang aja,” Alika tersenyum. “Aku mau bilang, kalo sekarang ini aku bener-bener jatuh cinta sama kamu. Nggak tahu kenapa, tapi menurutku kamu beda sama yang lain, Kamu bener- bener istimewa, Lik. Apa kamu mau jadi pacar aku? Jadi pacar yang bukan karena paksaan. Bukan karena permainan. Tapi, aku ingin kita pacaran karena perasaan kita. Saling mengisi kelemahan kita. Aku bakalan tunggu jawaban kamu, Sayang. I love you, Alika Fasya,” ucapnya sambil tersenyum. DEG! DEG! DEG! Jantung Alika pun menari-nari saat Dika menyatakan isi hatinya. Alika ingin segera menjawab, tetapi lidahnya terasa kelu, dan air mata pun mulai menetes tanpa bisa ia kendalikan. 5f “Maaf” Akhirnya, Alika bisa mengucapkan satu kata itu sambil menyeka air matanya. “Maksud kamu, Lik? Kamu nolak aku?” ucap Dika berusaha tenang. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan yang mendadak menyerangnya. “Maaf ... aku nggak bisa nolak kamu,” lanjut Alika sambil menunduk, menahan senyum di wajahnya. “Ya ampun, Alika! Aku pikir kamu nggak mau terima aku! Alika, Alika, terima kasih, Alika .... Aku cinta kamu, Alika Fasya,” ucap Dika. Lalu, ia meraih dagu Alika dan membawanya menatap matanya. “Iya Dika, Sayang.... Aku juga cinta sama kamu,” ucap Alika, dan Dika langsung memeluknya. DEG! DEG! DEG! “Ahhh, Sayang, kamu lucu kalo lagi malu gini,” ucap Dika sambil mencubit kedua pipi Alika. “Awh, sakit Dikal” ucap Alika sambil mengelus pipinya yang merah itu. “Makin cantik aja kamu kalo pipinya merah gini,” ucapnya sambil menjawil dagu Alika. Hal itu justru membuat pipi Alika semakin panas. “Andai waktu bisa berhenti, aku pengin waktu berhenti sekarang. Karena aku suka momen kayak gini sama kamu. Aku sayang kamu, Dika,” ujar Lika. Kali ini Dika yang diam terpaku. Ternyata sebesar itu perasaan Alika untuknya. “Cieee ... malu juga yaaa? Hahaha ... satu sama, ya, Dikaaa ....” ledek Alika sambil tertawa. Dika yang baru sadar dirinya dikerjai, kembali mencubit pipi Alika. “Dasar kamu! Masuk sana!” Alika mengangguk dan segera berbalik masuk ke rumahnya. Setelah Alika menghilang dari pandangannya, Dika langsung menghidupkan motor dan bergegas pulang. Di tengah jalan, Dika merasa ponselnya bergetar lama. Awalnya dia ingin mengabaikan panggilan itu dan melihatnya di rumah nanti. Namun, ponselnya terus bergetar. Dika pun memutuskan untuk berhenti karena mengira itu panggilan penting. Dika melihat layar ponselnya. Ada nomor tak dikenal di sana. “Halo,” Dika menerima panggilan itu. “Dika, ini gue,” jawab orang di seberang sana. Dika langsung mengenali suara yang baru didengarnya tadi siang. “Gerry.” “Yup, Dika. Gue mau lo tanding basket satu lawan satu sama gue malam ini di lapangan sekolah.” “Dalam rangka apa?” “Memperebutkan Alika.” Dika mendengus mendengar jawaban Gerry. “Lo nggak usah macam- macam ya sama Alika. Dia itu udah jadi cewek gue!” “Hahaha ... bakal beda ceritanya kalo gue juga deketin dia. Kalo lo emang jantan, temui gue malem ini. Yang menang dapetin Alika. Gue tunggu!” Sambungan telepon langsung dimatikan oleh Gerry. “Ab, sial!!! Maunya apa, sih?!” teriaknya. 8 Kemudian, Dika menghubungi teman-temannya untuk menemaninya malam ini. “Halo, bro!” ujar Dika saat Harry menjawab teleponnya. “Ada apa, bro?” “Temenin gue tanding basket di sekolah malem ini.” “Acara apa?” “Gerry nantangin gue. Siapa yang menang, dapetin Alika. Dia nggak peduli walau Alika udah jadi milik gue. Gue nggak mau dianggap pengecut sama Gerry!” jelas Dika penuh emosi. “Ya udah, ya udah. Gue sama Viko langsung ke rumah lo.” Dika mengakhiri teleponnya dan melanjutkan perjalanan pulang. few) og Saat Alika masuk ke rumahnya, ia langsung mencium bau harum dari arah dapur yang membuat Alika lapar seketika. Alika langsung menuju bau harum itu. “Bunda, aduh baunya enak banget!” “Mau? Ayo makan bareng Bunda,” ajak Bunda. “Bang Aldi sama Bang Alex ke mana?” “Kan, mulai hari ini mereka kerja di tempat Papa,” ucap Bunda. “Yuk makan! Udah mateng nih, masakannya. Sana kamu ganti baju dulu.” Alika menurut dan segera mengganti baju seragamnya. Setelah itu, ia makan bersama bundanya. Usai makan, Alika pergi ke ruang keluarga untuk menonton film-film dari TV kabel. 54 Drttt... drttt.... Alika menatap layar ponsel yang menyala. Ternyata telepon dari Via. “Tumben Via telepon gue.” Lalu, Alika mengangkat telepon dari Via. “Halo Vi.” “Halo, Alika. Lo harus tahu ini!” Ekspresi Alika yang tadinya tenang menjadi tegang. Pikirannya langsung menuju kepada Dika. “Vi ...Vi lo tenang dulu kalo ngomong. Gue takut, nih!” “Oke, oke, mending sekarang gue ke rumah lo, oke? Gue jalan sekarang, ya!” ucapnya langsung menutup sambungan teleponnya. “Inj anak aneh banget,” gumam Alika. Dua puluh lima menit kemudian .... Tok ... tok... tokkk.... “Ya, sebentar,” ujar Alika sambil berjalan ke arah pintu. Saat Alika membukakan pintu, tampaklah wajah Via yang terlihat cemas. “Alika, lo harus denger ini, Lik...” “Tenang Via, tenang, Tarik napas dulu ...” “Dika, Lik, Dika,” ucapnya yang membuat Alikka ikut panik. “Dika kenapa®” tanya Alika. “Gue denger dari Harry, kalo dia mau tanding basket malam ini sama Gerry. Gerry mau ngerebut lo dari Dika, Lik!” “Kenapa jadi begini?” “Mending nanti malem kita ke sana, deh!” “Duh, gimana ya? Gue takut.” “Mau gimana lagi. Yang bisa hentiin mereka, tuh, lo, Lik. Cuma lo.” Alika tampak berpikir sebentar. “Oke, deh! Kalo gitu nanti gue dateng bareng abang gue. Lo dateng juga sama gue ya, Vi,” pinta Alika. “Bisa diatur. Udah siap gue mah kalo harus nginep di sini juga. Bereslah!” ucap Via. Alika mengangguk. “Mmmm... Lik,” lanjut Via lagi. Alika menoleh. “Apa, Vi?” “Bagi air, dong. Haus,” ucapnya terkekeh. Alika ikut tersenyum dan memukul lengannya pelan. 56 Chapter ‘ebenarnya Dika sangat malas berurusan dengan Gerry. Apalagi mengingat tingkahnya yang angkuh itu, membuat Dika makin muak dengan Gerry. Tapi, dia sadar juga, kalau dia yang kali pertama menyinggung Gerry. Karena itu, dia tidak menolak tantangan Gerry. Dia tidak mau lari dari masalah. “Udah siap lo?” tanya Viko. “Siap, sih. Cuma basket doang. Tapi, gue kepikiran Alika. Gue nggak enak sama dia. Jadiin dia taruhan gini. Dia bukan barang,” ucap Dika. “Tenang, kalo dia marah sama lo, gue bersedia nyiapin bahu buat dia. Hahaha ...,” kekeh Viko yang langsung diam melihat perubahan ekspresi wajah Dika. “Alamaaak! Seremnya ...,” ucap Viko sambil kabur. “Dik Ternyata Alika dan Via sudah datang, sebuah suara lembut membuatnya menoleh ke belakang. “Udah mau mulai, Dik? Hati-hati ya, Dik!” “Tenang aja, Alika. Aku udah sering main basket. Pasti nggak bakal kalah dari dia. Kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan kenapa- kenapa.” “Kamu menang atau kalah, aku tetap milik kamu,” kata Alika. “Makasih, Sayang,” ucap Dika tersenyum. Pertandingan One on One antara Dika dan Gerry memang bersifat personal. Namun, entah siapa yang menyebarkannya, banyak murid SMA Merdeka yang datang malam itu. Bahkan, seorang anggota ekskul Basket bersedia menjadi wasit dalam pertandingan itu. Peluit dibunyikan. Dika dan Gerry segera memasuki lapangan basket sekolah. Dika hanya menatap Gerry dengan datar. Tetapi, Gerry memberikan tatapan meremehkan kepada Dika. Wasit menyebutkan beberapa peraturan informal kepada keduanya. Dan.... PRITIMITTT!! Peluit kembali dibunyikan. Kali ini permainan dimulai. Dika dan Gerry tos untuk saling memperebutkan bola. Dika dan Gerry dikenal sebagai jagoan olahraga di sekolah mereka. Gerry adalah salah seorang anggota klub sepak bola di SMA Merdeka. Sedangkan Dika, meskipun ia tidak bergabung dalam klub mana pun, ia kerap dimintai bantuan saat ada pertandingan melawan sekolah lain. Pertandingan berlangsung ketat. Lima menit setelah permainan dimulai, Dika mendapatkan skor pertama. Hal itu membuat Gerry sangat geram kepadanya. Ia mempertajam serangannya kepada Dika. Namun, Dika tidak terpancing dan tetap fokus dengan bola basket yang mereka perebutkan. Waktu terus berjalan, perbedaan skor antara Dika dan Gerry sangat tipis. Mendekati akhir pertandingan, Dika masih unggul. Gerry yang merasa kesal, mulai mencoba bermain kasar. Saat Dika melompat untuk mendapatkan three point, Gerry menubruknya. Tanpa persiapan dan keseimbangan di udara, Dika jatuh dengan cukup keras. Gerry mengambil bola yang terlepas dari tangan Dika. la membawa bola itu menuju ring. “Dika!!!” Alika berteriak, lalu membekap mulutnya. Seolah ia ikut merasakan sakit yang diderita Dika. Dika berusaha bangkit, meskipun ia merasakan sakit di lengan kiri yang menjadi tumpuannya saat jatuh. Dika mengejar Gerry. Gerry yang tak menyangka Dika bangkit secepat itu, tidak menjaga bola dengan ketat. Dika berhasil merebut bola itu dengan mudah. Dika kembali menggiring bola ke arah luar dan shoot .... PRIIITTT. Waktu pertandingan berakhir tepat ketika bola masuk dengan mulus ke ring. Three points terakhir dari Dika menutup pertandingan malam itu. Dika menjadi pemenang dari pertaruhan yang diciptakan Gerry. Alika menghambur ke arah Dika. Ia tak memedulikan tatapan orang lain dan langsung memeluk kekasihnya itu. “Aku menang, Lika. Buat kamu,” ucap Dika. Alika melepas pelukannya dan menatap Dika. “Makasih, Dika.” Alika tersenyum dan kembali memeluk Dika. how oY Kriiinggggge. Bel sekolah berbunyi, tanda pelajaran pertama akan dimulai. Hari ini adalah hari terakhir mereka belajar sebelum mengikuti kegiatan kamping sekolah. Banyak murid yang sudah tidak konsentrasi pada pelajaran karena sudah tidak sabar akan mengikuti kegiatan itu. “Jam pelajaran siapa, sih, sekarang?” tanya Dika. “Bu Ella,” jawab Alika yang duduk di sebelahnya. Dika menoleh ke arah Alika. Dipandanginya cewek yang telah resmi menjadi pacar benerannya itu. Berapa kali pun Dika melihatnya, ia tak pernah bosan melihat Alika. Mata Alika yang tampak berbinar selalu berhasil membuat Dika seakan terhipnotis. “Udah, Dik. Jangan dilihatin terus. Her tub, iler,” ucap Viko yang duduk di belakang Alika. Dika tersentak kaget dan refleks memegang bibirnya. “HAHAHAHAHAHA ...” tawa Viko dan Harry, yang duduk di sebelahnya, berbarengan. Sadar baru membangunkan macan tidur, keduanya lari menjauhi Dika. Dika baru saja bangkit dari kursinya akan mengejar Viko dan Harry, saat ia melihat Bu Ella datang. Dika langsung duduk tenang di kursinya. Tapi, tidak dengan Viko dan Harry yang belum sadar akan kehadiran Bu Ella. “Kenapa lo, Dik?” tanya Viko heran melihat Dika tidak jadi mengejar mereka. “Penakut, nih, Dika sekarang,” ledek Harry. “Iya, takut gue sama kalian berdua. Nggak bakal bisa ngejar, deh!” ucap Dika sambil tersenyum. Viko dan Harry tertawa mengejek saat mendengar ucapan Dika. Tapi, tawa mereka tak bertahan lama. “HARRYYY! VIKOOOOOO!” ucap Bu Ella. “Bu Ella!” ucap mereka serentak. Wajah Viko dan Harry pun terkejut saat ia mengetahui bahwa Bu Ella sudah berdiri di belakang mereka. “Sini kamu, sini,” ucap Bu Ella sambil menjewer telinga Harry dan Viko. “ampun, Bu, ampun,” ucap mereka. “Sekarang kalian ke lapangan dan lari lima belas putaran. SEKARANG'!!"” teriak Bu Ella. Lalu, Viko dan Harry keluar kelas untuk menjalankan hukuman dari Bu Ella. Kemudian, pelajaran pun dimulai. Kringgegeeees. “Ya, sekian dari Ibu. Jangan lupa kerjakan tugasnya, ya, anak-anak,” ucap Bu Ella. “Iya, Bu.” Setelah Bu Ella keluar dari kelas, Viko dan Harry datang dengan wajah yang kecapekan. “Hahbh hahhh ... capek, Dik,” ucap Viko sambil membanting badannya di kursi. “Nggak, ah!” balas Dika. “Iya, lo enggak.... Lah kita?!” ucap Harry. Dika tertawa melihat kedua sahabatnya yang sedang mengatur napas. ot “Kalian lari lima belas putaran sampai dua jam pelajaran?” tanya Alika. “Ke kantin dululah, Lik. Bisa mati muda kita berdua kalo nggak minum nggak makan habis lari,” jawab Viko enteng. bow “Lik, mau ikut, kan?” tanya Dika sambil menunggu Alika membereskan buku. “Ayo!” jawab Alika. Kemudian, mereka berdua keluar kelas, menyusul teman-teman mereka. Siang itu, mereka berlima akan pergi ke mal. Mereka menaiki mobil Pajero Sport Harry. Seperti biasa, formasi duduk mereka adalah Harry dan Via di depan, Dika dan Alika di tengah, lalu Viko di belakang. Seperti biasa, Jakarta macet tanpa mengenal waktu. Entah karena lelah setelah seharian belajar di sekolah atau apa, keadaan di mobil Harry hening. Viko yang sendirian di belakang pun merasa bosan dan jenuh. “Gue bosen di sini, nih, Dik. Gue pindah ke samping lo, ya. Lo yang di tengah, deh,” pinta Viko. Dika hanya membalas dengan anggukan. “Yesssi!!” ucap Viko senang dan langsung meloncat ke kursi tengah. Tanpa sengaja, ia menindih tangan Dika. “Sakit!!!” ucap Dika, lalu menoyor kepala Viko. “Sori, beb!” ucap Viko sambil mengelus tangan kiri Dika. “Astagfirullah Vikooo, Dika. Ternyata kalian ...,” ucap Alika, dan Dika langsung menepis tangan Viko. “Alika ih, ganggu aja, deh! Gue, kan, lagi mengobati lukanya kesayangan gue,” ucap Viko dengan suara alaynya. Alika pun geli melihat dan mendengarnya. 6 Setelah menerobos kemacetan, mereka akhirnya tiba di mal yang mereka tuju. “Aduuuhhh ... mal!!! Ayem ka dari mobil langsung berlari-larian di parkiran. ing!!!” ucap Viko yang begitu turun “Jauhin, jauhin! Temen kayak gitu udah nggak waras,” ucap Harry. Via, Dika, dan Alika serempak tertawa. Mereka pun meninggalkan Viko yang masih lari berputar-putar di parkiran mobil. “Eh, mau ngapain, sih, kita ke mal?” tanya Via. “Nggak tahu, nih! Pengin aja. Besok, kan, kita ke hutan, jadi sekarang puas-puasin lihat mal dulu,” jawab Harry. “Kita nonton, yuk!” ajak Dika. “Alahhh, lo mah modus. Mau gelap-gelapan, kan, sama Alika?” tuduh Via. “Apa, sih?” “Lo semua jahat ya pada ninggalin gue. Untung radar gue bisa nemuin lo pada. Kalo nggak, gue stres, nih!” ucap Viko tiba-tiba. Rupanya ia benar- benar tidak sadar sudah ditinggal teman-temannya tadi. “Ck! Udah jangan lebay lo. Ayo cepet nonton!” ucap Via. Akhirnya, Dika dan teman-teman memilih menonton film horor. Sebenarnya, ini film pilihan Dika dan Harry. Siapa tahu mereka bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan bila pacar mereka takut nanti. Benar saja. Baru setengah jalan film diputar, Alika tampak meringkuk di kursi sebelah Dika. “Lika, kamu takut, yaaa?” ucap Dika mengejek. Setengahnya ia berharap Alika benar-benar ketakutan dan merapat kepadanya. 8 “Bnak aja! Kata siapa? Biasa aja, kok!” ucap Alika gengsi. “Yang bener?” “Beneran!” ucap Alika sambil mengacungkan jempolnya. “Kalo takut, peluk Aa Dika aja ya,” ucap Dika sambil terkekeh dan mendapatkan jitakan dari Alika. Sepanjang film, mereka benar-benar ketakutan. Beberapa kali Via dan Alika berpelukan. Bahkan, Viko dan Harry sempat secara refleks berpelukan. Dika? Ia tertidur pulas. Chapter 8 agi ini, murid kelas XI SMA Merdeka mengadakan kamping. | > Alika yang sudah rapi dengan celana panjang, baju panjang, dan tas ransel besar yang membawa perlengkapan kemahnya. Ia lalu menuruni anak tangga dari kamarnya menuju ruang makan. “Pagi semua!” ucap Alika kepada orang tua dan abang-abangnya. “Pagi Alika, Sayang,” ucap mereka serempak. “Ayo sarapan dulu, Lika, biar ada tenaga,” ucap bunda Alika. Alika mengangguk, duduk di samping bundanya, dan ikut sarapan bersama. Setelah selesai sarapan, Alika dan Bang Adit kembali memeriksa peralatan kamping mereka. “Bang ayo, nanti telat,” ajak Alika kepada Bang Adit. “Sebentar, Dek,” jawab Bang Adit. Setelah semua perlengkapan siap dibawa, Alika dan Bang Adit pamit kepada kedua orang tua mereka. “Hati-hati ya di sana, Adit jagain adikmu ya,” ucap Bunda. “Nanti gue sama Aldi nyusul, yal” ucap Alex tiba-tiba. “Nggak bolehhh!!!” tolak Alika. “Bun, boleh kan, Bun? Adit aja boleh ikutan. Dia kan, udah kelas XII, ngapain ikutan kegiatan anak kelas XI? Aku sama Alex ikutan juga, ya, Bun,” rayu Aldi meminta dukungan Bunda. “Adit, kan, panitia dari kelas XII. Kamu juga ngapain ikutan? Itu, kan, acara sekolah, bukan acara keluarga, Sayang,” jelas Bunda. Meski dengan tampang ditekuk, Aldi dan Alex pun melepas kepergian dua adiknya itu. Sesampainya di sekolah, Bang Adit memarkir mobilnya di tempat khusus untuk mobil yang menginap. Setelah keluar dari mobil, mereka berpisah karena Adit harus berkumpul bersama para panitia lain. Alika pun bergegas menuju tempat teman-temannya menunggu. Dari kejauhan, Alika sudah bisa melihat Via yang sedang berbincang dengan Dika, Harry, dan Viko di depan kelas mereka. Alika memulai membuka suaranya untuk memanggil sahabatnya itu. “VIAAAAAAAAAAAA!!"” teriak Alika sambil melambaikan tangannya. “Tumben agak siang lo datengnya,” tanya Via setelah Alika bergabung. “Biasa, abang-abang gue resek, pengin ikutan kemah,” jawab Alika. “Kok, nggak lo ajak aja? Kan, lumayan buat cuci mata.” Via langsung berhenti dan melirik Harry yang mengernyitkan dahi melihatnya. Alika dan yang lainnya tertawa. “Ya udah, yuk, kita kumpul di depan,” ajak Dika. Lalu, mereka menyusul murid-murid kelas XI lain yang sudah berkumpul untuk mendengarkan pengarahan sebelum berangkat. 6 Taklama, mereka sudah ada di dalam bus menuju tempat perkemahan. Alika duduk dengan Via, sementara Dika, Viko, dan Harry duduk bertiga di belakang. Layaknya murid sekolah yang sedang dalam perjalanan karyawisata, bus yang mereka tumpangi tak pernah sepi. Ada saja bahan yang membuat mereka tertawa dan bersenang-senang. Perjalanan pun tak terasa. Tanpa sadar, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Saat turun dari bus, betapa takjubnya mereka semua mendapati pemandangan yang sangat indah. Alika langsung mengambil ponsel miliknya dan mengambil beberapa foto pemandangan dan berswafoto. Tak hanya Alika, sebagian besar murid SMA Merdeka melakukan hal yang sama. Tak lama, Bu Lili berbicara lewat pengeras suara. “Kepada murid-murid, harap berkumpul,” ucap Bu Lili. Lalu, semua siswa-siswi kelas XI SMA Merdeka pun berkumpul dengan tertib. “Tbu ucapkan terima kasih kepada kalian yang telah mendukung dan mengikuti acara perkemahan kita pada hari ini, lalu Bu Lili melanjutkan sambutan sekaligus secara resmimembuka kegiatan kemah SMA Merdeka. Setelah Bu Lili selesai memberi sambutan, giliran panitia yang berbicara. Mereka membagi kelompok-kelompok kecil untuk mengikuti kegiatan. Kebetulan, Dika, Harry, Viko, Alika, dan Via ada dalam satu kelompok. “Setelah ini, panitia akan membagikan tenda kepada kalian. Buat tenda kalian masing-masing dan taruh barang kalian. Kalau sudah selesai, kalian harus mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Kalau ada kesulitan, bisa menghubungi panitia. Sudah mengerti? Ada yang mau ditanyakan? Kalau tidak ada, silakan ambil tenda di sebelah kanan kalian,” salah seorang panitia memberikan pengarahan. a Akhirnya, seluruh kelompok berpencar untuk membawa kayu bakar sebanyak-banyaknya. Malam itu kegiatan mereka hanya diisi dengan pentas seni yang disiapkan secara dadakan oleh setiap kelompok. Keesokan harinya, usai sarapan, para murid berkumpul untuk melaksanakan permainan. Kepala Sekolah yang memberi petunjuk bagaimana permainan itu dilaksanakan. “Murid-murid yang saya sayangi, hari ini kita akan bermain mencari harta karun. Jadi, nanti setiap kelompok akan diberikan teka- teki yang berbeda. Saat memecahkan teka-teki nanti, setiap kelompok harus kompak, ya, agar bisa cepat menemukan harta karun yang sudah disembunyikan. Jangan ada yang nyasar. Ikuti jalan yang sudah diberikan pita merah. Oke, selamat menemukan harta karun,” ucap Kepala Sekolah. Kemudian, setiap ketua kelompok mengambil teka-teki tersebut. Dika sebagai ketua kelompok, ikut mengambil teka-teki untuk kelompoknya. “Bh, eh, ch, kelompok kita dapet teka-teki apa?” tanya Viko kepada Dika yang baru saja mengambil kertas yang berisi teka-teki. Saat membaca apa isi teka-teki itu, Dika mengerutkan keningnya dan membuat seluruh anggota penasaran dengan teka-teki tersebut. “Mana sini gue lihat,” ucap Alika merebut kertas yang digenggam Dika. Alika membaca tulisan yang ada di kertas itu. “KUE HUTAN HITAM?” gumam Alika yang masih bisa didengar oleh teman-teman sekelompoknya. “Hah, lo bilang apa? Kue hutan hitam? Apaan, tuh?” tanya Via bingung. “Udah jangan bingung dulu. Sekarang kita jalan aja dulu, Siapa tahu nanti kita bisa tahu apa maksud teka-teki itu,” ucap Dika tegas. 83 Selama di jalan, kelompok Dika masih bingung memecahkan teka- teki yang mereka dapat. “Siapa, sih, yang bikin teka-tekinya? Ngerjain banget, nih!” ucap Viko. “Tahu, tuh! Apaan, sih, ini maksudnya? Nggak pake clue apa-apa lagi ini?” ucap Harry. “Stee ... jangan berisik! Lagi mikir, nih, gue!” ucap Via. “Masih jauh nggak, nih, Dik?” tanya Alika kepada Dika. “Harusnya nggak jauh lagi, sih, ini. Gue dari tadi ngikutin jalan yang dikasih pita merah doang. Hehehe ...,” ucap Dika. Alika mengangguk. “Eh, coba gue pinjam kertasnya sebentar.” Dika mengambil kertas dari tangan Via. Dika mencoba memahami tiap kata yang ada di kertas itu. Kue hutan hitam. Apa, ya? Apa mungkin ini anagram? Atau, bahasa lain? batin Dika. “AHA! YES! YES! YES!” teriak Dika tiba-tiba. “Dika! Kaget gue!” ucap Harry sambil menoyor kepala Dika. “Udah stres kali, nih, anak!” ucap Viko. “Astagfirullah ... Alika, pacar lo kerasukan, tuh!” ucap Via ngasal. “Gue tahu maksud teka-tekinya! Yeyeyeyeyeye!” ucap Dika sambil melompat-lompat kegirangan. “Baru kali ini gue lihat Dika kayak gitu. Biasanya, kan, sok cool gitu dia. OMG, jangan- jangan dia kerasukan! Dika, sadar, Dik! Nyebut Dik, nyebut!” ucap Viko ngelantur dan mendapatkan toyoran dari Dika. ay “Gue tahu jawaban teka-tekinya. Ini, tuh, gampang banget sebenernya. Nih, ya, kita jadiin bahasa Inggris aja kata-katanya. Kue kan, cake. Hutan kan, forest. Hitam kan, black. Jadi ....” Dika diam menunggu jawaban teman-temannya. Namun, mereka hanya menatap satu sama lain. “Arghbh! Kenapa, sih, nih kelompok gue! Itu artinya black forest cake- lah, Paham, kan?” ucap Dika. “Oh iya yaaa ... kok, gue nggak sadar, ya?” Harry menepuk jidatnya. “Udah jangan buang waktu lagi. Ayo kita cari!” ucap Dika bersemangat. Setelah sampai di pos yang mereka tuju, mereka langsung berkeliling mencari black forest cake yang dimaksud dalam teka-teki itu. Tak lama mencari, mereka sudah menemukannya. “Ye, selesai juga teka-tekinya!” ucap Alika. Sesampainya di tempat perkemahan, kelompok Dika memberikan harta karun mereka kepada panitia. “Dika, gue nggak nyangka otak lo lumayan encer kadang-kadang,” ucap Viko. “Gue juga nggak tahu dapet mukjizat dari mana,” Dika terkekeh. “Ya udah, yang penting sekarang kita udah berhasil memecahkan teka-teki ini,” ucap Alika sambil tersenyum kepada Dika. “Kamu memang bisa diandalkan, Dika,” lanjut Alika. Dika yang mendengarnya, hanya tersipu. 7 q ‘etelah kegiatan kemah selesai, Alika dan Bang Adit pun sampai di rumah dengan selamat. Sesampainya di rumah, Alika tak menghiraukan barang bawaannya dan langsung mencari keberadaan papa dan bundanya. “BUNDA, PAPA, ALIKA PULANG ...!” teriak Alika sambil mencari kedua orang tuanya itu. “Ya Allah, Nak, jangan berisik,” ucap Bunda. “Maaf, Bun. Hehehe ...,” ucap Alika dengan cengiran manjanya. “Woiii, Dek! Tas lo, nih! Bawa, kek!” ucap Bang Adit yang tengah membawa tas Alika. “Bawain dong, Bang. Aku kan, capek,” ucap Alika menahan tawa. Bunda menyenggol lengan Alika. Alika menoleh ke arah bundanya yang memberikan tatapan “kasihan-abangmu”. Dengan perasaan malas, Alika mengambil tasnya dan pergi ke kamar. “Haiii Kamar! Gue kangen bangeceeeet!” ucap Alika sambil merebahkan tubuhnya ke ranjang. “ALIKA, ADIT, ALEX, ALDI, CEPETAN MANDI! TERUS TURUN KE BAWAH, YA. BUNDA SAMA PAPA MAU NGOMONG SESUATU,” teriak Bunda. Lalu, Alika bergegas mengambil handuk dan segera mandi. Setelah memakai baju santainya, Alika menuruni anak tangga dan berjalan menuju ruang keluarga. Semua anggota keluarga ternyata sudah berkumpul di sana. Alika pun ikut duduk di antara Bunda dan Bang Aldi. “Alika, Bunda mau bicara sama kamu,” ucap Bunda yang membuat seisi ruangan menjadi tegang. “Iya, Bun?” ucap Alika yang sudah memiliki firasat tidak enak. “Bunda mau jodohin kamu sama anaknya sahabat Bunda. Bunda yakin, kok, pilihan Bunda itu yang terbaik buat kamu, Lik,” terang Bunda yang membuat Alika terkejut. “Apa???!!! Bunda mau jodohin Alika? Nggak Bun, ini bukan zaman Siti Nurbaya!” protes Bang Alex. “Ap-apaan sih, Bun? Lika nggak mau dijodohin,” ucap Alika. “Bunda tahu kamu pasti bakal nolak. Kamu coba kenalan dulu sama anaknya sahabat Bunda ini. Kalau memang Alika benar-benar nggak suka, nanti kita bicarakan lagi. Besok malam keluarga kita akan makan malam bersama keluarga mereka di restoran Papa. Kamu pakai baju yang bagus dan dandan yang cantik, ya. Bunda yakin kamu pasti bakal suka sama pilihan Bunda,” Bunda mencoba menenangkan. Kemudian, Bunda dan Papa pergi dari ruang keluarga. Setelah Bunda dan Papa pergi, Alika menoleh ke arah abang-abangnya sambil memasang wajah sedih. “Ah, kok gue dijodohin, sih? Gimana ini? Tolongin gue dong,” lirih Alika. Ketiga abangnya hanya mengedikkan bahu dan mengerubungi Alika. “Aduh, mati konyol nih, gue,” ucapnya. how 1 Di tempat lain, Dika juga sedang memikirkan pembicaraannya dengan orang tuanya. Ia merasa gelisah. Lalu, tiba-tiba ia teringat kepada kekasihnya. Akhirnya, lelaki itu mengambil ponsel dan menghubungi kekasihnya itu. “Lik, jalan yuk! Aku jemput kamu, ya, sekarang?” ucap Dika sesaat setelah Alika mengangkat teleponnya. “Eh? Mmmn.... iya, Dik. Hati-hati, ya. Aku siap-siap dulu,” jawab Alika dan langsung menutup teleponnya. Ia terkejut karena Dika menelepon tepat ketika ia sedang memikirkannya. Lalu, Alika langsung mengganti bajunya dengan baju pergi yang sederhana untuknya. Setelah selesai memoles wajah dengan dandanan yang natural, Alika menuruni anak tangga dan menunggu kedatangan Dika di ruang tamu. Tidak lama kemudian, suara klakson mobil berbunyi di depan rumah Alika. “Pasti Dika,” gumam Alika. Alika pamit kepada kedua orang tuanya dan pergi menghampiri Dika. B “Kamu nunggu aku lama, ya?” tanya Dika. “Nggak, Sayang,” jawab Alika. Lalu, ia masuk ke mobil Dika. “Kita mau ke mana?” lanjutnya. “Tenang aja. Pasti kamu bakalan suka, deh!” ucap Dika tersenyum. Alika membalasnya dengan senyuman. Setelah satu setengah jam Dika mengendarai mobilnya, akhirnya sampai juga di tujuan. Dika menoleh ke Alika yang tengah tertidur. “Lik, bangun, ini sudah sampai,” ucap Dika lembut sambil menyentuh pundak Alika. Alika bangun dan mengucek-ucek kedua matanya. “Udah sampai, Dik?” tanya Alika setengah mengantuk. “Iya, Lik. Ayo keluar, kamu pasti suka, deh! Aku bukain pintunya dulu.” Lalu, Dika keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Alika. Dika mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Alika. Saat ia keluar, Alika melihat pemandangan yang sangat jarang ditemui di kota besar. Kedua mata Alika berbinar saat melihat padang rumput penuh dengan bunga-bunga liar yang sangat indah. Sepoi-sepoi angin menyapa wajah Alika dan udara segar memenuhi paru-parunya. “Woaaaaaa ... ini indah bangettt!” ucap Alika. Kedua mata Alika tertuju pada sebuah rumah pohon, tak jauh dari tempat mereka berdiri. Dika yang sejak tadi memandang Alika pun ikut menatap rumah pohon itu. “Mau ke rumah pohon? Ayo aku bantu!” ucap Dika sambil mengajak Alika ke rumah pohon tersebut. 4 Ketika sampai di atas rumah pohon itu, mereka melihat hamparan hijau yang dihiasi warna-warni bunga. Keduanya tersenyum hangat memandangi pemandangan itu. “Aku sayang kamu, Alika Fasya,” ucap Dika. “Aku juga sayang kamu, Dika Saputra,” ucap Alika. “Alika, sudah belum, Sayang? Kita semua menunggu kamu,’ teriak Bunda yang tengah menunggu anak perempuan satu-satunya di ruang keluarga. Malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan untuk Alika. Kenapa harus ada perjodohan? Alika sangat membenci perjodohan saat ia sudah mempunyai kekasih yang sangat ia sayangi. Malam ini, Alika memakai dress putih biru dan high heels setinggi 7 cm. Rambut lembutnya dibiarkan tergerai bebas dan Alika berdandan senatural mungkin. Alika menuruni anak tangga dan menghampiri bundanya yang sudah menunggu. “Anak Bunda cantik banget,” puji Bunda. “Terima kasih, Bun,” ucap Alika dengan senyum simpulnya. “Wih, yang mau duluin kita-kita, nih!” ucap Bang Aldi. “Diem ah! Bete!” ucap Alika kesal. Lalu, keluarga Alika pergi dengan menggunakan mobil milik Bang Alex. “Bun, beneran mau jodohin aku? Aku takut nggak cocok,” ucap Alika lesu. 5 “Alika, kamu kenalan dulu sama anak temennya Bunda, ya. Bunda yakin anaknya baik. Bunda pasti selalu memikirkan yang terbaik buatmu, Nak,” ucap Bunda yang kembali meyakinkan Alika. Tak lama kemudian, sampailah mereka di restoran milik Papa. Mereka pun langsung memasuki ruangan VVIP yang telah disiapkan. “Ayo Alika, duduk,” ajak Bunda, Alika pun duduk di antara Bang Aldi dan Bang Alex. “Halo Pak Johan.” Seorang pria paruh baya memasuki ruangan mereka dan memanggil nama Papa. “Halo Pak Joshua Saputra,” balas papa Alika antusias, dan mereka berdua berjabat tangan. Di samping Pak Joshua, berdiri seorang wanita yang sepantaran dan sama cantiknya dengan bunda Alika. “Bu Mira. Aduh, udah lama kita tak berjumpa,” ucap bunda Alika kepada istrinya Pak Joshua. “Hai, Bu Lia. Aduh, makin cantik saja kamu. Ini putrimu, ya? Aduh, kamu cantik sekali. Dulu kamu masih kecil banget. Sekarang sudah besar, ya,” ucap Bu Mira. Setelah Pak Joshua dan Bu Mira menduduki kursi masing-masing, Papa mulai membuka suara. “Oh iya, di mana anakmu Josh? Si Saputra kedua,” ucap papa Alika. “Ohiya, anak kita mana ya, Ma? Jangan-jangan ketinggalan di rumah, ya, Ma,” gurau Pak Joshua. “Selamat malam,” ucap seorang cowok di seberang sana, Semua menoleh ke arah suara itu. % Mata Alika pun membulat saat melihat pria itu. “Kamu,” ucap Alika. “Lho? Kalian udah saling kenal?” tanya papa Alika. “Iya, Pa. Bunda sih, inget banget anak ini yang suka nganterin Alika, Pa,” ucap Bunda. “Lho? Ini kan, Dika, temen sekolah sekaligus pacarnya Alika,” ucap Bang Adit. Semuanya menoleh ke arah Bang Adit karena tanpa sengaja, ia telah membongkar hubungan Alika dan Dika. “Oooh, jadi ini yang diceritain abang kamu waktu itu, Lika? Kenapa nggak dikenalin ke Bunda, Sayang,” ucap bunda Alika. Alika hanya bisa tersenyum menanggapi semuanya. Ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi malam ini. Perjodohan. Dika. “Haduh-haduh, kalau sudah saling mengenal seperti ini, kita bisa mempercepat proses tunangannya,” ucap Pak Joshua. Alika dan Dika pun terkejut dengan perkataan tersebut. “HAH TUNANGAN?!” “Aduuuhhh, adek gue udah mau tunangan aja. Kalah gue,” ucap Bang Alex. “Makanya cari pacar!” ledek Bang Aldi. “Gue juga harus ngomong kayak gitu ke lo, ya, Bang. Soalnya lo juga sama, jomlo,” balik Bang Alex dan semuanya tertawa. “Sudah-sudah, jangan bertengkar. Habis ini kita akan menentukan tanggal pertunangan untuk Alika dan Dika,” ucap Pak Joshua. 7 Kemudian, kedua keluarga itu melangsungkan makan malam yang sangat menyenangkan. Banyak canda tawa yang terlontar antara kedua keluarga tersebut. Dengan mudahnya, kedua keluarga itu melebur menjadi satu. Sesuai kesepakatan, seusai santap malam, keluarga Alika dan Dika pun menentukan tanggal yang pas untuk acara tunangan keduanya. “Kira-kira, enaknya kapan, ya, Alika dan Dika tunangan?” ucap papa Alika. “Bunda, sih, penginnya sehabis mereka wisuda.” “Iya Jeng, kalau sekarang, sih, kecepetan ya.” “Atau, bagaimana kalau sebelum UN? Kalian setuju, tidak?” usul papa Dika. “Jangan!” seru Dika dan Alika bersamaan. Semua menoleh ke arah mereka berdua. “Belum tunangan aja udah kompak banget,” ledek Bang Alex. Keduanya saling pandang dan tersipu. “Kenapa memangnya kalau sebelum UN?” tanya papa Dika. “Ya, nanti aku sama Alika nggak bisa konsen ke UN-nya, Pa. Mungkin lebih baik kalau setelah UN aja,” usul Dika yang mendapat anggukan dari Alika. “Wah, dengan kata lain, kalian menerima perjodohan ini tanpa paksaan, ya?” tanya mama Dika senang. Dika dan Alika kembali bertukar pandang dan tersipu. Lalu, keduanya mengangguk. Akhirnya, mereka pun memutuskan bahwa tanggal pertunangan Alika dan Dika dilangsungkan setelah mereka menjalankan UN. 8 ferry oY Alika membuka kedua matanya melirik sekilas jam yang ada di layar ponsel. “Masih jam 05.00 lewat,” gumamnya sambil bangkit dari tidurnya. Alika langsung memasuki kamar mandi. Setelah mandi dan menjalankan ibadah, Alika menonton film kartun yang ia suka. Waktu berjalan dengan cepat. Tanpa terasa, sudah pukul 06.00 lewat dan Alika masih menonton film kartun kesukaannya itu. Tok ... tok... tok. “Masuk,” jawab Alika. Pintu kamar terbuka dan ada bunda Alika di sana. “Alika, ayo turun. Kita sarapan bareng. Di bawah udah ada Dika,” Bunda menekankan nama Dika dan membuat Alika terbelalak. Alika langsung berdiri dari duduknya. Kemudian, ia bersiap-siap dengan cepat. Alika menuruni anak tangga dan berjalan menuju ruang makan. “Pagi semuanya,” sapa Alika. “Pagi juga, Sayang. Ayo sini sarapan!” ajak Bunda. Lalu, Alika, keluarganya, dan Dika pun sarapan bersama. “Bun, Alika sama Dika berangkat, ya,” pamit Alika. Setelah pamit, Alika dan Dika menaiki ninja hitam milik Dika yang terparkir di depan rumah Alika. Lalu, mereka berdua berangkat ke sekolah bersama. Sesampainya di sekolah, Alika disambut Via yang juga baru tiba. “ALIKAAAAAAAAA!!!”" suara menggelegar Via memenuhi koridor sekolah. “Alikaaa, lo tahu, nggak. Katanya di kelas kita ada anak baru. Ada yang bilang, sih, cantik banget. Tapi, gue juga belum lihat, sih. Cantikan dia apa gue, ya?” ucap Via tanpa jeda. “Oh, ya? Jadi penasaran juga, nih, gue. Ya udah, yuk ke kelas bareng,” ucap Alika yang kemudian berjalan mendahului Dika. “Yah, gue ditinggalin. Ya udah, deh,” gumam Dika. Lalu, Dika pergi ke kantin untuk menemui kedua sahabatnya yang bisa dipastikan sedang sarapan di sana. Kringgggegege. Bel masuk pun berbunyi, semua siswa-siswi SMA Merdeka masuk ke kelas masing-masing. “Pagi anak-anak,” ucap Bu Vera. “Pagi, Bu,” ucap seisi kelas serempak. “Hari ini kita kedatangan murid baru. Silakan perkenalkan diri,” ucap Bu Vera. “Perkenalkan, nama saya Vita Amelia, panggil saja saya Vita,” ucap cewek yang berdiri di depan kelas itu. “Terima kasih Vita, sekarang kamu duduk di tempat yang kosong itu, ya,” ucap Bu Vera sambil menunjuk bangku di sebelah Via. Vita mengangguk dan bergegas duduk di kursi sebelah Via. Tok... tok... tok... Bu Lili berdiri di depan pintu kelas dengan Dika, Viko, dan Harry yang ia jewer. “Ada apa, Bu Lili?” tanya Bu Vera. “Ini Bu Vera, anak murid kelas Ibu, kebiasaan sekali membolos di kantin,” ucap Bu Lili. “Kalian ini, ya. Saya capek ngadepin kalian lagi, kalian lagi. Sering sekali membolos saat jam pelajaran. Sekarang kalian malah datang telat ke kelas. Apa lagi alasan kalian, hmmm?” omel Bu Vera. “Begini Bu, tadi pagi-pagi sekali kami sudah sampai di sekolah. Karena berangkat terlalu pagi, kami nggak sempat sarapan. Terus laper, kan, Bu? Ya udah, kami bertiga makan dulu di kantin. Biar kuat buat belajar, Bu,” jelas Dika. “Lalu, kenapa kalian lama sekali di kantin? Kenapa nggak langsung masuk kelas?” tanya Bu Vera. “Nah, Bu, sehabis makan kan, kami harus menunggu makanan itu turun ke dalam perut biar tecerna dengan baik. Dan, itu memakan waktu yang lama, Bu. Maklum ya, Bu,” jawab Dika. Harry dan Viko hanya mengangguk di belakangnya. Teman-teman yang mendengarnya tertawa. “Tidak!!! Sekarang kalian keluar dari kelas. Berdiri di depan kelas dan saling menjewer antara satu sama lainnya sampai istirahat!” ucap Bu Vera. Mau tak mau, mereka bertiga melaksanakannya. Kringggegeses. Waktu istirahat pun tiba. Semua siswa-siswi SMA Merdeka berhamburan keluar. Saat Bu Vera telah keluar kelas menuju ruang guru, Dika dan kawan-kawannya langsung masuk kelas. “Arggghhh kurang lama, tuh, Bu Vera kasih hukuman,” keluh Dika. “Iya ya, Dik. Untung nggak panas-panasan di bawah matahari lagi,” ucap Viko. 8 Saat akan menduduki kursinya, Dika melihat anak baru yang bernama Vita. Kedua mata Dika langsung membulat lebar. “Tuh kan, gue bilang apa, bro. Cantik, kan? Mau gue deketin, nih!” bisik Viko. “Gih deketin. Gue mah udah punya Alika,” ucap Dika penuh rasa bangga. “Gue juga punya Via,” ucap Harry. “Pada sombong-sombong banget, sih!” protes Viko. “Makanya jangan kelamaan jones," ucap Via dan Alika yang membuat mereka tertawa. Kritingggege. Bel masuk berbunyi. Mereka berlima masuk ke kelas dan menunggu pelajaran Bu Nina. Saat pelajaran Bu Nina dimulai, Dika tertidur sangat pulas. Lalu, Harry melemparkan kertas kepada Dika, yang membuatnya terbangun dari tidurnya. Lalu, ia membuka surat itu. “Sialan, nih anak!” ucap Dika. “Sttt ...,” ucap Alika. “Hayo siapa yang berbicara?” ucap Bu Nina. Semuanya diam. Saat Bu Nina kembali menulis di papan tulis, Dika datang ke meja Viko dan Harry, lalu memukul pelan kepalanya. “Sakit bego!” teriak Harry. “Stttttt ...,” seisi kelas mendesis ke arah mereka. “Sakit bego ...,” bisiknya. “Hahaha ...,” kekeh Viko. Lalu, Dika kembali ke tempatnya dan kembali tertidur dengan pulas. “DIKAAAAAAAAA!!!!!!” ucap Bu Nina yang membuat Dika membulatkan matanya. “Bh, eh iya, Bu Nina cantik,” rayu Dika. “Keluar dari kelas sekarangl!!” ucapnya. Lalu, Dika keluar dari kelas dengan mata yang tertutup. Alika yang melihat kelakuan pacarnya itu hanya bisa menggelengkan kepala. Saat keluar kelas, tujuan Dika hanya fry Bel pulang berbunyi, semua murid bergegas keluar dari kelas mereka satu saat ini, pergi ke kantin. masing-masing. Sedangkan Alika, Viko, Harry, dan Via pergi ke kantin untuk menghampiri Dika yang sedang tertidur. “WOOOO!” teriak Viko. “Astagfirullah!” ucap Dika kaget. “Tidur aja lo! Makan yuk!” ajak Harry. “Lo aja sana. Gue udah kenyang,” ucap Dika dan kembali tertidur. Lalu, mereka berempat memesan makanan, meninggalkan Dika. “Kenyaaaaaang ...,” ucap Harry. “Perut lo, tuh! Buncit banget kayak lagi hamil. Hahaha ...,” ucap Viko sambil memukul perut Harry. “Sakit, bro!” ucap Harry. “Guys, gue ke toilet dulu ya,” ucap Alika. Lalu, ia pergi bersama Via. % Setelah sampai toilet, Alika melihat Vita tengah mencuci mukanya di wastafel toilet. Tiba-tiba dompetnya terjatuh dan Alika pun berinisiatif mengambil dompet itu. Dompet itu terjatuh dalam keadaan terbuka. Saat Alika mengambilnya, ia melihat sebuah foto orang yang dikenalnya. “Dika?” Di dalam dompet itu ada foto seseorang yang sangat persis dengan Dika. Alika cepat-cepat menutup dompet itu dan mengembalikannya kepada Vita. Kemudian, Alika berkata kepada Via, “Lo duluan aja, ya. Nanti gue nyusul,” ucap Alika. Setelah Via berlalu, Alika pergi ke halaman belakang sekolah dan menangis di bawah pohon yang rindang. “Dika selingkuh atau gimana, sih,” gumamnya. Katanya dia sayang sama gue. Katanya cinta. Ternyata kayak gini. Pantesan aja dari tadi tegang gitu. Gue harus gimana? batinnya. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Alika, membuatnya langsung menoleh dan buru-buru menghapus air matanya. Namun, terlambat. Via sudah melihat air mata Alika. “Lo kenapa, Lik?” tanya Via cemas. Alika diam, tetapi air matanya kembali mengalir. “Tenangin diri lo dulu, Lik. Habis itu, cerita sama gue,” ujar Via lagi sambil mengelus lembut punggung sahabatnya. Alika menarik napas panjang dan menahannya selama beberapa detik. Setelah mengembuskan napasnya kembali, ia mulai bercerita kepada Via tentang foto yang ia temukan di dompet Vita tadi. “Sabar, Lik, semuanya akan baik-baik aja. Lo harus ngomong sama Dika. Biar semuanya jelas dan nggak ada kesalahpahaman antara kalian,” 84 ucap Via sambil memeluk tubuh mungil Alika. Alika membalas pelukan Via dan menumpahkan kekalutannya. Chapter 10 emenjak kejadian Alika menemukan foto Dika, Alika menjadi dingin terhadap Dika. Alika sudah meminta penjelasan kepada Dika. Dika pun sudah berterus terang siapa Vita sebenarnya. Vita adalah mantan pacarnya. Mungkin seharusnya Alika tidak perlu bersikap dingin seperti itu. Karena bagi Dika, cewek yang paling penting baginya saat ini adalah Alika. Dan, dia hanya ingin membuat Alika bahagia selamanya. “Teman-teman, gue ada pengumuman, nih. Mohon perhatiannya,” ucap Raka sang ketua kelas tiba-tiba. Kelas yang awalnya ribut, langsung hening. Semua perhatian tertuju kepada Raka. “Gue mau kasih tahu kalau hari Sabtu nanti, sekolah mengadakan pertandingan. Futsal, basket, dance, menyanyi, dan fashion show. Ada yang mau ikut? Satu orang boleh mengikuti lebih dari satu lomba,” jelas Raka. Kemudian, ia menulis kategori perlombaan dan memberi ruang untuk menuliskan nama-nama peserta di papan tulis. “Alika aja yang nyanyi, Ka,” ucap Dika yang membuat Alika kaget. “Nggak, nggak .... Gue nggak bisa nyanyil” ucap Alika. “Jangan bohong, baby,” ucap Dika yang membuat Alika diam. “Beneran. Suara gue juga lagi serak, nih,” ucap Alika sambil menunjuk tenggorokannya. “Ya udah, yang nyanyi Karin aja. Setuju?” ucap Raka. Lalu, ia menuliskan nama Karin di papan tulis. “Gue sama Alika mau dong ikutan dance!” Via menawarkan diri bergabung dengan kelompok peserta dance. “Oke! Dance udah. Nyanyi udah. Futsal putra, tim yang biasa aja, ya. Basket juga timnya udah ada. Oke! Tinggal fashion show couple, nih! Ada yang mau ajuin kandidat, nggak?” tanya Raka. “DIKA SAMA ALIKA!” Hampir seluruh murid kelas XI IPA 1 menyebutkan nama yang sama. Alika terkejut hingga membulatkan matanya. “Kok, jadi gue, sih?” ucap Alika terkejut. “Nggak apa-apalah, Sayang. Kan, kita emang best couple,” ucap Dika sambil mencolek pipi Alika. Sebenarnya ia sedang berusaha agar Alika tidak bersikap dingin lagi kepadanya. Alika menepis tangan Dika dengan lembut. Hatinya mulai luluh. Ia pun tak tahan berlama-lama mendiamkan pacarnya itu. Bel pulang pun berbunyi. Para peserta yang mengikuti lomba untuk hari Sabtu diharuskan mengikuti rapat di ruang OSIS. Termasuk Alika dan Dika yang sudah duduk bersebelahan di ruang OSIS. “Oke, saya langsung aja, ya. Banyak yang harus kalian pahami untuk acara Sabtu besok,” ujar salah seorang panitia acara dari pihak OSIS. “Untuk yang ikut lomba nyanyi, dari panitia ada pilihan lagu. Kalian a boleh pilih yang mana aja. Nanti dicatat sama panitia bagian kesenian. Terus untuk dance, pilihan lagunya terserah kalian. Untuk peraturannya, yang penting nggak ada gerakan yang mesum, ya,” jelas panitia yang juga berasal dari kelas XI. “Huuuu ... nggak asyik!” protes para cowok yang hanya direspons dengan senyuman dari panitia. “Udah, udah .... Sekarang bagian olahraga. Sepak bola dan basket peraturannya sama aja, sih, kayak peraturan tahun-tahun sebelumnya. Nah, untuk fashion show couple, kalian pakai baju daerah, ya. Terserah dari daerah mana saja. Selain fashion show, nanti akan ada pertanyaan yang harus dijawab dari para juri untuk peserta. Itu tadi gambaran lomba buat hari Sabtu nanti. Ada yang kurang jelas?” tanya panitia acara. Beberapa tangan terangkat. Lalu, mereka mengadakan sesi tanya jawab. “Kita mau fitting baju di mana, Sayang?” tanya Dika usai mengikuti rapat dengan panitia tadi. “Di butik langganan bunda aku aja. Di situ kebayanya bagus-bagus banget, kok,” ucap Alikka. “Oke, kita ke sana,” ajak Dika. Ia menggandeng tangan Alika ke parkiran dan mereka pergi ke tempat yang dimaksud Alika. Sesampainya di butik langganan Bunda, mereka berdua disambut hangat oleh pemilik butik. “Kalian mau nikah atau gimana ini?” tanya Mbak Bunga, si pemilik butik. “Nggak, Mbak! Gini, Mbak, kami mau ada acara fashion show di sekolah, dan dress code-nya itu baju daerah. Jadi, kami milih kebaya aja yang nggak ribet,” jelas Alika. Mbak Bunga mengangguk-angguk mengerti. 8 “Oke. Ini Mbak kasih lihat kebaya yang cocok untuk dipakai oleh kalian. Nanti kalian pilih sendiri, ya,” ucap Mbak Bunga mengajak mereka melihat kebaya-kebaya buatannya. Lalu, mereka berdua pun sibuk memilih kebaya yang mereka inginkan. Memilih kebaya tidak sesederhana yang Alika bayangkan. Ada saja komentar dari Dika atas kebaya pilihan Alika. “Nah, ini pas buat kalian. Kulit Alika kan, putih. Dika juga. Jadi, cocok memakai kebaya yang ini,” ucap Mbak Bunga sambil menyodorkan satu kebaya berwarna pastel kepada Alika. “Oke! Aku suka, sih. Kamu gimana?” tanya Alika kepada Dika yang dibalas dengan acungan jempol. “Ya, udah Mbak, yang ini aja. Terus, hari Sabtu pagi, Mbak Bunga dateng ke rumah, ya. Sama perias dari salon langganan Bunda dan Mbak Bunga, ya. Buat make-up-in aku dan Dika,” ucap Alika sopan. Mbak Bunga mengangguk. Setelah itu mereka berdua pamit kepada Mbak Bunga dan berterima kasih atas bantuannya. Sepanjang perjalanan pulang, Dika bersyukur mereka dipilih menjadi peserta fashion show couple. Dengan begitu, Alika jadi melupakan kekesalannya kepada Dika dan kembali ceria. Chapter - C " T ari terasa cepat berganti. Hari yang ditunggu para siswa-siswi SMA | persia kian dekat. Hari ini Alika dan teman-temannya tengah latihan dance untuk perlombaan nanti. “Lik, nanti latihan ya, di ruang dance,” Via mengingatkan. Alika yang sedang mengunyah roti, menelan isi mulutnya, dan menjawab, “Oke!” Setelah bel pulang sekolah berbunyi, perwakilan dari kelas Alika yang mengikuti dance langsung menuju ke ruang dance. Dika dan kawan- kawannya pun ikut untuk melihat latihan itu. Setelah sampai di ruang dance, Via memberikan aba-aba untuk memulai dance-nya. “Yuk, kita mulai!” Lalu, Alika, Via, Bianca, Cika, Lily, dan Rita latihan dance dengan diiringi lagu Becky G. yang berjudul “Shower”. Setelah satu jam mereka latihan dance, akhirnya mereka selesai juga. Kedua mata Alika tengah mencari-cari keberadaan Dika yang tak tampak di ruangan. Ia pun bertanya kepada teman-teman Dika yang ada di sana. “Lihat Dika, nggak?” Viko dan Harry pun melihat samping kanan-kiri mereka, tapi tidak menemukan Dika. “Nggak lihat, Lik. Ke toilet kali,” ucap Viko. Akhirnya, Alika keluar dari ruang dance dan mencari Dika. Nih cowok ke mana, sih, gerutunya dalam hati. Ketika Alika melewati lorong sekolah, matanya membulat saat ia melihat Vita yang sedang memeluk Dika. Alika diam mematung dan hatinya tergores. DUK Botol air minum yang ia bawa tiba-tiba jatuh dan membuat keduanya menoleh. Tak seperti Vita, Dika yang melihat keberadaan Alika di sana, sangat terkejut. Alika meninggalkan tempat itu, meski Dika terus memanggil namanya. “Alika! Alika tunggu!” Alika terus berlari tanpa mendengarkan apa yang Dika katakan. Ia pun tak berhenti saat teman-temannya yang lain memanggil. Dasar laki-laki nggak punya hati! Gue nyesel kenal lo, Dikkk! “Arrrghhhhhh,” Alika berteriak, seolah ingin melepas sesuatu yang mengimpitnya. Entah sudah seberapa jauh ia berlari, ia tak berhenti. Walaupun sudah di luar sekolah, Alika tak menghentikan langkahnya. Saat Alika tengah menyeberang di jalan, ia mendengar suara klakson dari arah kanan. Saat ia menoleh, sebuah lampu menutupi penglihatannya. Suara klakson itu terus berbunyi dan mendekat. Alika tak tahu lagi harus bagaimana. Ia 7] mencoba untuk menghindari sorot lampu itu, tetapi semuanya terlambat. Alika terpental dan semuanya menjadi gelap gulita. Alika terbaring tak berdaya di aspal. Dika yang melihat kejadian itu pun langsung berteriak dan memanggil namanya, “ALIKAl!!” fe oy Sesampainya di rumah sakit, Alika langsung dibawa ke ruang UGD. Dengan tangan yang bergetar, Dika menelepon Bang Adit. “Halo, Bang” “Iya, kenapa, Dik?” “Alika ... hmmm ....” “Alika kenapa?” “Alika kecelakaan, Bang. Sekarang lagi ditangani dokter di UGD.” “Rumah sakit mana? Gue ke sana!” Setelah memberi tahu Bang Adit, Dika menutup teleponnya. Ia menunggu di ruang tunggu dan tidak pernah berhenti berdoa untuk keselamatan Alika. Tak lama kemudian, keluarga Alika dan teman-teman mereka berdua datang. Mereka ikut menunggu dokter yang sedang memeriksa Alika. Pintu UGD terbuka dan keluarlah seorang dokter yang memakai jas putih. “Dok, bagaimana keadaan putri saya?” tanya bunda Alika. “Anak Ibu dan Bapak baik-baik saja. Tetapi, karena benturan di kepalanya, membuat otaknya mengalami trauma. Kemungkinan putri Bapak dan Ibu akan mengalami amnesia,” jelas dokter itu. a “Amnesia, Dok?” bunda Alika terhuyung mundur. Dengan sigap, Papa menangkap bahunya. “Bapak dan Ibu jangan panik dulu. Kalau boleh, mari ikut saya. Akan saya jelaskan kondisi putri Bapak dan Ibu,” dokter menenangkan. Kemudian, Papa menuntun Bunda mengikuti dokter itu. Tak lama, Alika dipindahkan ke ruang rawat. Dika dan teman- temannya pun mengikutinya. Saat ingin masuk ke ruang rawat Alika, Bang Adit menutupi jalan Dika. “Lo utang cerita sama gue. Kenapa adik gue bisa kayak gini?” Dika mengangguk lesu. Semoga kamu cepat pulih ya, Lik. Aku kangen sama kamu, batin Dika saat sekilas ia melihat Alika yang terbaring tak sadarkan diri. born Semenjak kejadian yang membuat Alika amnesia, Dika sangat frustrasi. Hari Sabtu ini adalah hari diadakannya berbagai macam lomba antarkelas. Hari di mana seharusnya Alika menjadi peserta lomba itu. Namun, Alika masih di rumah sakit karena keadaannya belum membaik. Viko menghampiri Dika yang tengah berdiam diri di kelasnya. “Dik, fashion show lo gimana?” “Nggak tahu, deh,” ucapnya dingin. Tiba-tiba seorang cewek bergabung di pembicaraan Viko, Harry, dan Dika. Vita. “Dika. Lo sama gue aja fashion show-nya,” ujarnya antusias. B Dikaberdiri dan berkata, “Nggakperlu!” Lalu, Dikapergimeninggalkan berry oy Alika membuka kedua matanya. Ia memegang kepalanya yang terasa mereka. sangat sakit. “Alika, lo udah sadar,” ucap cewek yang berada di kiri ranjangnya. Alika menoleh ke sumber suara. Ia tidak mengenal cewek tersebut. “Ka-kamu siapa?” “Ya Allah Lik, gue sahabat lo. Gue Via, Lik,” ucap cewek itu. Alika mencoba mengingat. “Vi-Via?” Tak lama kemudian ada seorang cowok tampan yang berdiri di hadapannya. “Ka-mu siapa?” ulangnya. “aku pacar kamu, Sayang, aku Dika,” ucapnya sambil menggenggam tangan Alika. Alika semakin mengerutkan keningnya. “Pacar?” Alika mulai panik karena kebingungan. Ia tidak bisa mengingat apa pun atau siapa pun. Ia semakin merasa kalut karena ia tidak mengenali dua orang di depannya saat ini. “Aku nggak kenal kalian! Aaahhh! Siapa kalian?” Alika terus saja berteriak, “Tidakdck!! Tidakdck!!!? Aku tidak mengenal kalian. Kalian orang jahat. Iya, kalian pasti orang jahat!!! Tidak lama kemudian, seorang dokter dan dua orang perawat datang ke kamar Alika. Mereka tiba tak lama setelah Via menekan tombol pemanggil yang ada di samping ranjang Alika. " “Sudah sadar, Alika? Saya periksa sebentar, ya,” ujar dokter sambil menyiapkan stetoskopnya. Di luar dugaan, Alika tetap memberontak. Dia tidak ingin di sentuh oleh siapa pun. Bahkan, oleh dokter sekalipun. “Nggak mau! Kalian semua ini siapa? Siapa?” Alika baru hendak turun dari ranjang, ketika dua orang perawat tadi dengan sigap memegangi lengannya. Dokter yang datang bersama mereka langsung mengambil sebuah suntikan dan mengambil cairan dari botol kecil di salah satu sakunya. Setelah yakin Alika sudah dipegangi dengan baik, dokter menyuntikkan cairan itu ke lengan Alika. Setelah dokter memeriksa Alika, kondisi hening seperti semula. Dika menemani Alika seorang diri. Via sedang membelikan makanan dan orang tua Alika sedang pergi ke ruangan dokter. Tak lama kemudian, Alika membuka kedua matanya secara perlahan- lahan. Alika menoleh ke arah Dika. Ia pun kembali bertanya, “Kamu siapa?” Dika pun membalasnya dengan lembut, “Aku pacar kamu, Lika.” Alika pun berpikir, lalu ia merasakan sakit di bagian kepalanya. “P-pacar?” Dika pun mencegah Alika untuk berpikir lebih keras. “Jangan banyak berpikir, Sayang, aku punya bukti kok, kalo kita pacaran.” Lalu, Alika pun menangis. “Jangan nangis dong, Sayang,” ucap Dika sambil mengelus kepala Alika lembut. “Apa kamu orang baik?” tanya Alika yang membuat Dika tertawa. “Hai, Sayang. Kalo aku bukan orang baik, mungkin aku sudah makan kamu,” ucapnya lembut. % “Hehehe ...,” Alika terkekeh. “Akhirnya, kamu ketawa juga,” ucap Dika. Tok... tok... Dika dan Alika menoleh ke arah pintu. Saat pintu terbuka, ada suster yang mengantarkan makan untuk Alika. Setelah suster itu pergi, Dika menyuruh Alika untuk makan. “Sekarang waktunya makan. Kamu makan, ya. Mau aku suapin?” Alika mengangguk. Lalu, Dika menyuapi kekasihnya itu. Setelah selesai menyuapi Alika, keheningan menyelimuti kamar Alika. “Kamu tahu siapa orang tuaku?” “Aku tahu, kok! Abang kamu, keluarga kamu, aku tahu semuanya. Sahabat kamu pun aku tahu, Sayang,” jawab Dika. “Sahabat? Apa itu sahabat?” tanyanya. Dengan sangat sabar, Dika pun menjelaskan makna seorang sahabat kepada Alika. “Sahabat itu seperti sandal, mereka akan setia melindungi kita dari duri-duri yang siap menikam meskipun sering terinjak.” “Oh gitu. Kok, sahabat saya tidak datang saat saya terjatuh?” ucapnya yang membuat Dika terkejut. “Cewek yang tadi kamu lihat waktu pertama kali sadar, itu sahabat kamu. Sekarang dia lagi di bawah, beli makanan.” Tidak lama kemudian, munculah wanita dan pria paruh baya yang menatap Alika sedih. “Alika-ku,” ucap wanita itu sambil memeluk gadis semata wayangnya. % Alika mengerutkan keningnya. “Kalian siapa?” “Mereka adalah orang tuamu Alika. Wanita ini adalah bundamu yang melahirkan kamu dan menjagamu sampai sekarang. Dan, pria ini adalah papa kamu yang memberikanmu fasilitas dan membiayai semua kebutuhanmu, Sayang,” jelas Dika. “Bun-Bunda ... Papa ....” Aku perlahan-lahan akan membuatmu ingat dengan duniamu, Alika, batin Dika. ery oY Hari Minggu ini, Alika sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Dika yang menjemput Alika, membantunya bersiap-siap. “Ayo, Sayang, udah siap, kan?” tanya Dika. Alika mengangguk. Dika mengangkat tas yang berisi baju Alika, lalu menggenggam tangannya. Saat sampai parkiran mobil, Dika membukakan pintu untuk Alika. “Ayo Tuan Putri silakan masuk.” Alika tersenyum dan masuk ke mobil. Lalu, Dika melajukan mobilnya ke arah rumah Alika. Sesampainya di rumah Alika, Dika membukakan pintu dan menggenggam tangan Alika kembali. “Ini rumah siapa? Kok, besar sekali?” tanyanya. “Ini rumah orang tuamu.” Sampai di dalam rumah, Alika mengerutkan keningnya karena rumahnya tidak ada siapa-siapa. “Kenapa sepi?” “Mungkin mereka sedang keluar. Ayo aku antar kamu ke kamar, ya, Sayang” Saat Dika membuka knop pintu kamar Alika, tiba-tiba lampu kamar menyala. “SURPRISEEEEEE.....” “WELLCOME HOME, ALIKA.” Teriak Abang, Bunda, Papa, dan teman-teman Alika. Dika melihat raut wajah Alika yang menahan tangisannya, Dika langsung menenangkannya. “Terima kasih, kalian sahabatku, bukan?” tanyanya ragu-ragu. Teman-teman Alika pun terkekeh, “Iya Alikaaaaaaaaa.” Dan, mereka semua memeluk Alika. “Kalian bertiga siapa?” ucapnya sambil menunjuk kepada ketiga abangnya. “[tu abang kamu Alika, saudara kandung kamu, jelas Dika. “Abang,” ucapnya sambil memeluk ketiga abangnya itu. “Makasih ya, Dik, atas usaha lo agar Alika bisa mengingat kita semua,” ucap Bang Adit sambil menepuk pundak Dika. = Chapter \ \ 12 etelah beberapa hari Alika beristirahat di rumah, akhirnya ia kembali masuk sekolah. Alika melirik jam yang berada di nakas samping ranjangnya. “HAH, JAM TUJUH?!” Alika langsung terburu-buru untuk mandi, memakai seragam, dan langsung turun. Sesampainya di ruang makan, Alika langsung berpamitan dengan kedua orang tuanya. “Bunda, Papa, aku berangkat, ya.” Alika pun segera menyusul Bang Adit yang sudah menunggunya di mobil. Sesampainya di sekolah, Bang Adit menemani Alika sampai di koridor menuju kelasnya. Sedangkan Bang Adit harus ke ruang guru. Alika mencari kelas XI IPA 1 sesuai petunjuk Bang Adit. Setelah menemukan tulisan kelas yang dicarinya, ia masih ragu untuk memasuki ruang itu. “Bener nggak, ya, ini kelas gue?” Alika mengalihkan pandangan ke dalam kelas. Matanya langsung tertuju kepada Dika di sana. Akhirnya, Alika memasuki kelas tersebut. Saat memasuki kelas, Alika melihat pemandangan yang membuat hatinya sakit. Vita sedang duduk berdekatan dengan Dika. Alika yakin bahwa cewek yang ada di sebelah Dika saat ini adalah Vita yang sering diceritakan oleh Via. BRAAAKKKKKKKKK!!! Alika memukul meja dengan sangat kencang, membuat Dika dan Vita menoleh ke arah Alika. Dika sangat terkejut melihat Alika di kelas. “Alika?” ucap Vita. “Alika, ini nggak seperti apa yang kamu lihat,” Dika berusaha menjelaskan. Wajah Alika terlihat sangat marah. “Nggak seperti apa yang aku lihat kamu bilang? Jangan bohong! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Sudah, kamu pacaran saja dengan cewek penggoda seperti dia. Tidak usah mengejarku atau memanggil namaku lagi!!!” Alika melempar tasnya dan langsung keluar kelas. Ia duduk di bangku koridor sekolah, lalu menangis. Tiba-tiba Bang Adit menghampiri Alika. “Lo kenapa, Dek?” “Dika, Bang...” Alika melihat tatapan abangnya yang sangat marah. 100 “Kenapa Dika? Cerita sama gue sekarang!!!” Lalu, Alika menceritakan kejadian itu secara detail. Wajah Bang Adit mulai memerah karena menahan marah. “Gue nyesel harus nitipin lo ke Dika. Sumpah gue nyesel!” Kemudian Bang Adit marah-marah dan terus mengumpat Dika. melihat abangnya seperti itu, ternyata menimbulkan rasa tidak terima di hati Alika. Bagaimanapun, ia tidak mau abangnya membenci Dika. Seketika ia tersadarkan akan sesuatu. Bagaimana jika memang Dika nggak salah? Alika lalu mengingat-ingat lagi. “Tenang, Bang. Bang, kayaknya memang sebenarnya itu bukan salah Dika, tapi salah cewek itu. Tadi aku cuma emosi aja.” Bang Adit mengerutkan keningnya. “Kamu tahu dari mana?” Alika menceritakan semua tentang tingkah Vita yang ia ketahui dari Via. Ia yakin, sahabatnya itu tidak mungkin berbohong kepadanya. Bang Adit terkekeh dengan cerita yang baru saja Alika ceritakan. “Aduh, Adek gue pinter, ya. Ada gunanya juga lo amnesia. Lo jadi lebih berani mengungkapkan pikiran lo dan nggak diem aja sama orang yang jahat sama lo.” Alika pun tertawa. “Aku nggak akan membiarkan orang yang aku cintai berpaling.” Bang Adit pun memberikan dua ibu jarinya untuk adik kesayangannya itu. “Good!!!” a 101 Siang itu adalah waktunya pelajaran Olahraga untuk kelas XI IPA 1. Usai mengganti baju, Alika kembali memasuki kelasnya. Alika melihat CCTV yang telah ia tutup dan memastikan tidak ada orang lagi di sana. Lalu, Alika mulai memasukkan sampah yang ada di keranjang ke tas Vita. Setelah selesai menjalankan rencananya, Alika hanya tersenyum puas dan pergi ke lapangan untuk ikut pelajaran Olahraga. Seusai mengikuti pelajaran Olahraga, Alika bersikap biasa dan membaur dengan teman-temannya yang lain. Alika tengah mengambil seragamnya ketika ia mendengar seseorang berteriak. “ARRRRRRGHHHHHHHHHHHH TAS GUE KENAPAAAAAA?????? !!!” Vita berteriak histeris. Teriakan itu membuat seluruh isi kelas langsung mengerumuni Vita. Kedua mata Vita langsung mengarah kepada Alika. Vita pun menghampiri Alika dengan tatapan kesal. “Hehbh! Ini pasti ulah lo, kan? Iya, kan?! Lo yang ngelakuin semuanya kayak begini!!! Lo sengaja masukin semua sampah ini ke tas gue, kan?!” Alika hanya menjawab dengan santai, “Kalo nggak kenapa? Kalo iya kenapa?” PLAK.... Pipi kanan Alika ditampar oleh Vita. Semua siswi di kelas diam seketika. Alika pun angkat bicara, “Udah puas lo?” tanyanya masih tanpa emosi. “Nggak! Karena lo, Dika nggak mau sama gue!” Alika menahan kemarahannya. a membalas dengan tenang. “[tu, kan, terserah Dika mau pilih siapa. Bukan gue yang paksa dia. Kok, lo yang ribet, sih? Lagian, kan, lo juga cantik, masak iya lo mau ngerendahin diri sendiri dan ngejar-ngejar cowok yang udah punya pacar. 5 Lo nggak malu apa?! Mau sampai kapan lo ngejar cowok gue? Nggak takut apa dibilang murahan?” Vita tidak terima dengan apa yang dibicarakan oleh Alika barusan. Ia menjambak rambut Alika. Alika yang tidak siap, hanya merintih kesakitan. Via yang tak tega melihat sahabatnya itu, akhirnya turun tangan. Ia berusaha melerai keduanya. “Udah, udah, Vit. Lo mau bersikeras ngerusak hubungan Alika dan Dika juga nggak mempan. Percuma!!!” Suara bas itu menggelegar di dalam kelas, membuat semua orang terdiam. “Lo apa-apaan sih, Vit!” Vita terkejut melihat Dika yang terlihat sangat marah itu. Iamencoba membela diri. “Ini, tuh, semuanya gara-gara Alika!!! Dia yang rebut lo dari guel!!” “Kok, lo malah nyalahin orang? Berapa kali gue kasih tahu, gue cinta sama dia, bukan lo. Alika nggak ngerebut gue! Kita udah lama selesai. Sekarang yang ada, lo yang mau ngerebut gue dari Alika! Bener kata Via barusan. Percuma lo mau misahin kami berdua, nggak akan pernah bisa, Vit. Camkan itu!” Lalu, Dika membawa Alika ke UKS untuk mengobati pipinya. Sesampainya di UKS, Dika langsung memberikan obat kepada Alika agar pipinya tidak lebam karena tamparan Vita. “Kamu jangan lakuin itu sendiri lagi, ya,” ujar Dika lembut. Alika mengangguk. 18 Chapter 13 tahun kemudian. Hari ini adalah hari yang sangat bahagia untuk Alika dan Dika. Setelah berbagai rintangan yang mereka alami, akhirnya pada hari ini mereka berdua melangsungkan pertunangan. Kini Alika tengah duduk manis di depan meja riasnya. la memandang wajahnya yang sudah dirias dengan make-up natural. Bunda Alika pun masuk ke kamar putrinya. “Sayang, kamu udah siap?” Alika menarik napasnya. “Aku siap, Bunda.” Alika dan Bunda pun menuruni tangga menuju ruang tamu yang sudah diubah menjadi tempat pertemuan dua keluarga besar. Dika sudah duduk di sana. Ia tampak sangat tampan dengan balutan jas berwarna hitam. MC pun memulai acara pertunangan Alika dan Dika. Sampai akhirnya Dika pun memakaikan cincin untuk Alika. Kini Alika Fasya sudah resmi menjadi tunangan Dika Saputra. Setelah selesai acara inti, akhirnya para tamu yang hanya terdiri atas keluarga besar dan teman-teman dekat pun memberikan ucapan selamat untuk Alika dan Dika. Di sela-sela acara, Dika menggenggam tangan Alika. Alika menoleh ke arahnya dan tersenyum. “T love you, Alika,” bisik Dika di telinga Alika. Alika tersenyum dan menyandarkan kepala di dada Dika. 105 & Chapter 4 eberapa minggu setelah acara pertunangan Alika dan Dika adalah Be: tahun Alika. Tidak ada perayaan khusus di hari ulang tahunnya. Hanya ucapan selamat dari kedua orang tua dan abang- abangnya. Setelah itu, Papa, Bang Aldi, serta Bang Alex pergi ke kantor, Bang Adit berangkat kuliah, dan Bunda pergi arisan dengan teman- temannya. Tinggalah Alika sendiri di rumah. Ia baru saja merayakan lolosnya ia dan Dika di universitas yang sama. Saat ini mereka hanya tinggal menunggu tanggal masuk kuliah. Alika baru akan bertemu Dika nanti malam. Karena tidak ada yang bisa ia kerjakan, seharian Alika hanya menonton film di rumah. Ia merasa bosan di hari ulang tahunnya. Sampai akhirnya ia tertidur. Alika membuka kedua matanya dan mengusapnya. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Betapa terkejutnya ia melihat jarum jam di sana. ‘Jam enam???!!!” Alika panik karena Dika berjanji akan menjemputnya pukul tujuh. Artinya Alika hanya punya waktu satu jam untuk bersiap-siap. Sementara ia sendiri belum mandi. Alika buru-buru mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Lima belas menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. “Aduh, gue harus dandan cantik, nih! Birthday dinner gue harus sempurna,” gumamnya sambil berpakaian. Baru saja ia akan mengambil peralatan make up-nya, tiba-tiba lampu mati. “AAAAAAKKK!!!” Betapa kagetnya Alika. Dia tidak suka gelap. Ia bahkan tidak pernah tidur dalam keadaan gelap gulita. “Ya Tuhan! Parah banget ultah gue kali ini! Udah ada orang belum, ya? Aduh, ponsel gue di mana lagi?” Alika meraba-raba dalam gelap. Ia berusaha mencari ponselnya untuk dijadikan senter. Namun, hasilnya nihil. Ia tidak terbiasa mencari dalam gelap. Alika menemukan pintu keluar. Ia membukanya, berharap ada orang diluar kamarnya. Namun, keadaan diluar tak jauh berbeda dari kamarnya. Hanya ada sedikit cahaya dari luar. “Bunda? Bang Adit?” panggilnya. Namun, tak ada jawaban. Alika merayap, menyusuri tembok. Ia teringat persediaan lilin yang ada di dapur. Perlahan, ia menuruni anak tangga. Saat tiba di anak tangga paling bawah, Alika menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan lega. Namun, baru saja ia bernapas lega, ada suara yang menarik pendengarannya. Alika menengadah berusaha menerka suara benda jatuh itu. Hening. 7 Alika kembali berjalan menuju dapur. Alangkah kagetnya ia melihat sekelebat bayangan putih lewat di depannya. Alika terpaku dan bergerak mundur. Dalam hati, ia merapal berbagai macam doa yang ia hafal. Saat tengah ketakutan, ia kembali melihat bayangan itu. Namun, kali ini bayangan itu tidak hilang meski Alika berkali-kali mengerjapkan matanya. Alika yang sedari tadi meringkuk ketakutan langsung membuka matanya dan membulatkan matanya. Lampu sudah menyala. Di depannya ada kawan-kawan Alika, Dika, dan keluarga Alika yang berkumpul sambil memegang kue ulang tahun. Ruang tamu di belakang mereka sudah dihiasi dengan banyak balon berbentuk love favorit Alika. Via pun datang menghampiri Alika. “Jangan nangis dong! Kasihan banget sahabat gue,” ucapnya sambil memeluk Alika. “Ini rencana kalian?” ucap Alika tak percaya. “Iya,” ucap mereka semua. “Huhuhu ... jahat banget! Udah tahu gue penakut. Bisa mati jantungan tadi gue!” “Salahin aja biang keroknya, nih!” tunjuk Via ke arah Dika. Dika mendekati Alika dan memeluknya. “Happy birthday, Sayang” “Cieee ....” 18 “Kamu jahat banget! Aku, kan, belum dandan ini! Jelek deh, ini foto- foto kejutannya.” Semua yang ada di sana tertawa mendengar kekhawatiran Alika. “Woi! Pegel, nih, megang kue dari tadi! Tiup dulu dong lilinnya. Gue udah pengin rasain kuenya,” ucap Bang Alex sambil memelas. Semua yang ada di situ kembali tertawa. Alika maju. Ia memejamkan mata dan berdoa dalam hati. Tuhan, semoga aku bisa terus merasakan kebahagiaan bersama mereka. Alika membuka mata dan meniup lilinnya. “Yeeeeeeyyy!” ucap Viko dan semua bertepuk tangan. “Wah, Viko seneng banget, pasti ada maunya,” ucap Dika. “Iya, nih! Hati-hati, Lik,” ucap Harry. “Potooong Viko-nya! Potong Viko-nyal” ucap Harry dan Dika. “Th, kok, gue, sih yang dipotong. Pada jahat, nih!” ucap Viko manja. Semua tertawa karena tingkah Viko. “Udah, kita lanjut barbeque-an di halaman belakang, yuk! Semua udah disiapin,” ajak Bunda. Semua pun menurut dan beralih ke halaman belakang. Acara ulang tahun Alika berlangsung sangat seru. Semua sangat bahagia sampai tanpa sadar, malam sudah larut. “Gue nginep di rumah lo, boleh, nggak?” tanya Via dan membuat Alika membulatkan mata. “BOLEHHHHHH BANGEEET"” ucapnya girang. 14 “Kami nginep di sini juga boleh, nggak?” ucap Dika, Harry, dan Viko berbarengan. Alika mengernyit menatap mereka bertiga. “Iyuuuh,” ujarnya pelan. Namun, kemudian ia tertawa dan menoleh ke arah Bunda. “Bunda, Dika sama teman-teman mau nginep di sini, boleh, nggak?” “Boleh, asal mau tidur seadanya,” jawab Bunda sambil tersenyum. “Dan, Dika nggak boleh tidur di kamar Alika!” Bang Alex memperingatkan dengan tegas. “Yaaaaaahhh ...,” Dika kecewa. Semua yang mendengarnya tertawa. Malam ini adalah salah satu malam terindah untuk Alika. Ulang tahunnya dimeriahkan oleh orang-orang yang ia sayang. Hal itu memberikan banyak energi positif untuknya. Orang-orang inilah yang selalu ada, apa pun keadaan Alika. Itulah arti sahabat bagi Alika. Saat kita susah, mereka susah. Kita bahagia, mereka bahagia. Aku sayang mereka, batin Alika sambil tersenyum. 10 Chapter a 15 tidur, termasuk abang-abang Alika. Maklum, hari Sabtu adalah hari bermalas-malasan bagi mereka yang memiliki kesibukan lima hari dalam seminggu. Papa dan bunda Alika sudah selesai sarapan dan 1 eesokan harinya, semua yang menginap di rumah Alika masih sedang bersantai di pinggir kolam renang halaman belakang. Alika dan Via yang pertama bangun dibanding para cowok. Mereka berdua turun ke ruang keluarga. Dika dan yang lainnya masih tertidur di sana. Akhirnya, Alika dan Via berinisiatif menyiapkan sarapan untuk semuanya. Usai menyiapkan sarapan, ternyata para cowok itu masih tidur. Lalu, Alika berjalan ke arah dapur dan mengambil panci serta sendok. Dung! Dung! Dung! “Astagfirullah,” ujar Viko kaget. “Bangun banguuun! Udah siang, ayo sarapan!!!” ucap Via dan semuanya langsung bangun. Setelah semua bangun, Alika kembali mengajak mereka sarapan. “Ayo sarapan! Makanannya udah siap,” ajak Alika. Dengan malas, mereka semua mengikuti Alika ke ruang makan. Saat mereka menyantap sarapan bersama, seorang asisten rumah tangga Alika masuk sambil membawa amplop. “Neng Alika, ini ada amplop di depan rumah tadi. Kirain nyasar, tapi ada tulisan nama Neng di depannya. Jadi, saya bawa masuk aja,” ujar wanita yang mulai berumur itu. Alika menerima amplop dari tangan asisten rumah tangganya itu. “Terima kasih, Bi!” Alika melihat amplop putih di tangannya. Tak ada tulisan lain selain namanya di sana. Ia mengedarkan pandangan ke arah teman-teman dan abangnya. “Dari siapa, ya? Ada yang mau ngerjain gue lagi, nih?” tanyanya sambil nyengir. “Udah kelar surprise-nya. Cepetan dibuka, penasaran, nih!” jawab Dika. Alika merobek atas amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas putih yang dilipat di dalamnya. Alika membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya. Matanya terbelalak dan tangannya mendekap mulutnya. “Kenapa, Lik?” tanya Dika ketika melihat perubahan di wajah Alika. Alika menyerahkan surat itu kepada tunangannya. Dika membacanya. 1 Ternyata surat itu berisi ancaman atas keselamatan Alika. Dika meremas kertas itu dan langsung memeluk Alika. “Jangan khawatir, Sayang. Ini kerjaan orang iseng. Ada aku. Kamu nggak bakal kenapa-kenapa.” Disisi lain, seorang cewek sedang berdiri di balik pohon tak jauh dari rumah Alika. Ia mengumpat melihat kehebohan yang terjadi pagi hari itu. “Lo sampai sekarang masih belum bisa juga, ya, jauh dari Dika. Dia tuh, milik gue!” gumamnya. “Dika tuh, milik gue! Nggak boleh ada yang milikin dia selain gue! Lihat aja nanti, Lik!” Lalu, cewek itu tertawa dan beranjak pergi. 18 Chapter 1b ari ini Alika mulai masuk kuliah setelah OSPEK selesai. Ia bersiap berangkat kuliah dengan semangat. Walaupun beda jurusan dengan teman-temannya, tetapi tetap saja mereka kuliah di satu universitas yang sama. Siang itu mereka semua tengah nongkrong bersama di halaman belakang kampus. Dika sedang menelepon orang yang menyelidiki siapa orang yang sudah meneror Alika beberapa minggu belakangan ini. “Iya, Pak. Oke, terima kasih,” ucap Dika sambil memutuskan telepon. “Gimana, Dik?” tanya Viko. “Mereka belum menemukan orang yang meneror Alika. Tapi, waktu itu ada wanita yang memakai baju serbahitam berdiri di belakang pohon depan rumah Alika. Waktu kita nginep bareng itu, Iho. Pas ada satpam kompleks yang menegurnya, ch dia malah kabur gitu,” ucap Dika. “Wah, jangan-jangan dia orangnya,” ucap Harry. “Tapi, selama Alika kuliah, ada body guard yang menemaninya, kan?” tanya Viko. “Ada, kok! Kan, ada kalian. Hehehe ...,” jawab Alika. “Papa juga udah sewa orang buat jagain gue. Ada yang nyamar dan jagain gue dari jauh. Agak berlebihan ya papa gue,” lanjut Alika. “Ya, nggak dong! Kamu kan, anak perempuan satu-satunya. Aku juga setuju, kok, sama tindakan papa kamu,” ujar Dika sambil mengacak pelan rambut Alika. Alika hanya tersenyum. fen og Sudah sebulan Alika menjalani kuliahnya dengan baik, dan teror pun lama-kelamaan hilang. Saat ini Alika sedang berkumpul bersama Dika, Via, Harry, dan Viko di sebuah coffee shop tak jauh dari kampus. “Gimana terornya, Dik?” tanya Harry. “Udah nggak ada, sih, belakangan ini, tapi buat jaga-jaga, Alika tetep dijagain body guard. Gue juga selalu anter-jemput dia,” jawab Dika. “Bener juga, sih, Dik. Semoga aja dia nggak kepikiran bayar orang,” ucap Viko. “Hey guys, gue ke toilet dulu, ya,” ucap Alika. “Sendirian, Lik?” tanya Via. “Iya, Vi. Cuma ke toilet ini.” Lalu, Alika sendirian ke toilet. BrrruwukKKk.... “Awwwhhh,” Alika meringis. “Sori sori,” ucap cowok yang menabraknya. “Nggak apa-apa, kok,” ucap Alika sambil membersihkan pakaiannya. “Ehmmm ... gue Rey. Lo anak kampus sini juga, kan?” ucap cowok itu sambil mengulurkan tangannya. “Iya, gue Alika,” ucap Alika dan membalas ulurannya. “Gue duluan, ya,” pamit Alika, lalu pergi dari hadapannya. Cantik, batin Rey sambil tersenyum. Setelah Alika kembali dari toilet, Alika pun kembali ke mejanya di teras coffee shop bersama teman-temannya. “Heeei, lama sekali kau. Mules, ya?” ucap Harry. “Berisik aja lo!” ketusnya. Tak lama, pesanan mereka datang. “Ini pesanannya sudah semua, ya? Selamat menikmati,” ucap Waiters yang mengantarkan pesanan mereka. Lalu, mereka menikmati makanan mereka. Tanpa mereka sadari, seorang cowok mengawasi Alika dari dalam fe XY Sore itu, Dika mengantar Alika pulang. Mereka berdua duduk di ruang coffee shop itu. keluarga sambil menikmati es jeruk yang baru saja Alika buat. “Capek ya anter-jemput aku tiap hari?” tanya Alika. “Nggak kerasa, kok. Kan, jadi bisa sering-sering ketemu kamu,” jawab Dika. “Gombal aja!” kata Alika tersipu. 16 “Habis kamu suka digombalin, sih! Hehehe .... Eh, aku main PS dulu, ya. Masih macet kalo mau balik jam segini,” ujar Dika. Alika pun mengangguk. Dika sering menghabiskan waktunya bermain PS bersama ketiga abang Alika. Karena itu, dia sudah tidak canggung ketika akan menghabiskan waktunya bermain PS di rumah Alika. Alika pun menemani Dika bermain PS. Meski bukan hobinya, tetapi besar bersama tiga kakak cowok, membuat Alika lumayan mahir memainkan permainan itu. Sebelum mulai bermain, Alika memotret aktivitas mereka dan mengunggahnya ke Instagram. 628 AlikaFsya: DikaSptr: AlikaFsya: Viacantik: Harry_: Vikoviko: AlikaFsya: Dikasptr: Waktunya main yaaa. Siap-siap ya kamu kalah hehehe .... Walau kalah tetep love you, kok! 5.123 likes. 123 comment heyyy heyyy yang kalah kamu yaaa, Sayang @AlikaFsya wkwkwk yang kedua aku menang yeeeyeye @Dikasptr alaaah yang lagi pacaran, masih aja komen-komenan :p wah main PS ya lo? Gue mau ikut! OTW ke rumah lo ya, Lik! @ Dikasptr tuh, kan, gue nggak diajak. Ok fine! —_- weyyy Viko ngambek, noh @Dikasptr @Harry_ @Vikoviko @ Viacantik sayangkuuuuuu .... Ya udah Viko buruan ke sini keburu gue balik! @Vikoviko 1 Adityaaa: Dikasptr: Aldigans: Alex: AlikaFsya: Dikasptr: Vikoviko: Harry_: Viacantik: Aldigans: Adityaaa: Alex: AlikaFsya: Dikasptr: Adityaaa: Vikoviko: Viacantik: Aldigans: Harry_: Woi! PS siapa itu? Enak aja pada mo maen. Gue juga nggak diajak. Pada lupa, nih, sama gue. @Dikasptr Sori Bang. Gue pinjem PS-nya. Buruan balik! Hahaha .... @ Adityaaa Ada yang rame-rame nggak ngajak kita, nih Bang @Alex iya bro @Aldigans. Alika-ku sayang, tunggu abangmu ini ya, Sayang duuuh Abang rindu kamu :p mau muntah mau muntah(2) mau muntah(3) mau muntah(4) mau muntah(6) mau muntah(7) mau muntah(8) Terus aja bully gue. Nggak akan gue traktir. Abang Alex ganteng banget jangan ngambek. Abang Alex ganteng banget jangan ngambek (2) Abang Alex ganteng banget jangan ngambek (3) Abang Alex ganteng banget jangan ngambek (4) Abang Alex ganteng banget jangan ngambek (5) Abang Alex ganteng banget jangan ngambek (6) Abang Alex ganteng banget jangan ngambek (8) Setelah selesai membaca comment aneh dari mereka. Akhirnya, Alika menaruh ponselnya dan mengambilkan camilan untuk Dika. Di tempat lain, Rey yang sudah berhasil menemukan akun Instagram Alika, sedang geram karena membaca komentar di Instagram Alika. “Sial, Alika udah punya cowok? Dan, sekarang mereka sedang berduaan di rumah?” ucap Rey. “Gue harus tahu di mana rumah Alika,” ucapnya lagi. a Malam ini, teman-teman Alika berkumpul di rumahnya. Tak hanya teman- temannya, ketiga abang Alika sudah sampai di rumah sebelum petang. “Eh, jalan yuk!” ucap Viko. “Iya kita ke mal aja, yuk! Udah lama nggak nonton. Kapan lagi kita nonton bareng-bareng kayak gini,” ucap Alika dan semua menyetujuinya. Lalu, Alika dan Via pun bersiap-siap. Sebelum berangkat, tak lupa Alika meng-upload foto di media sosialnya. 628 AlikaFsya: best friend goals :* kita capcus guysssss 4.500 likes 99 comment Dika pun terkekeh melihat Alika mem-post foto itu. “Ayo jalan!” ucap Dika. Kemudian, mereka semua pergi dengan dua mobil berbeda. Sesampainya di mal, mereka langsung menuju ke bioskop dan membeli sembilan tiket. Film yang mereka tonton kali ini bukan film 19 horor karena Alika menolak mentah-mentah ide untuk menonton film genre itu. Akhirnya, mereka menonton film drama komedi yang direstui semua orang, “Dika aku mau pop corn,” ucap Alika. “Ya udah, yuk beli. Biar kamu sekalian bisa milih makanan lain juga,” ucap Dika. Alika mengangguk dan mengikuti Dika. Setelah membeli makanan dan minuman yang mereka inginkan, mereka berdua masuk ke studio dan menonton film pilihan mereka. “Laper gue!” ujar Viko seusai menonton film. “Sekarang mau makan di mana kita?” tanya Viko. “Di Pizza HUT aja yuk!” ucap Alika dengan memasang puppy eyes-nya. “Duh, kalo Alika udah masang puppy eyes-nya gitu mah udah nggak bisa ditolak lagi. Ya udah yuk ke Pizza HUT. Abang Aldi bayarin,” ucap Bang Aldi dan semuanya langsung senang. “Alika sama Dika nostalgia, nih!” ucap Viko setelah mereka selesai memesan. Alika hanya terkekeh. “Emang di sini kenapa, sih?” tanya Bang Aldi. “Dulu Alika sama Dika mulai jadian di sini, Bang,” jelas Harry. Ketiga abang Alika pun mengangguk mengerti. Tak lama kemudian, pesanan mereka semua pun datang. Mereka mulai melampiaskan rasa lapar mereka pada makanan yang terhidang itu. Drttt.... Drttt..... Tiba-tiba ponsel Dika bergetar saat tengah menikmati makanannya. Dika mengambil ponselnya dan melihat pesan yang masuk. to 828 Kalau mau Alika selamat, jauhin dia sekarang. Dika terbelalak. Tanpa disadarinya, Alika yang duduk di sebelahnya pun ikut membaca pesan itu. “Tenang aja, ya, Sayang, ada aku di sini. Kamu nggak akan kenapa- kenapa?” ucap Dika lembut. Alika mengangguk. Lo punya masalah sama Dika Saputra. Belum tahu dia, gue itu siapal! batin Dika. Chapter iv] ing ... tong... Alika membuka pintu. Dika sudah berdiri di sana. “Hai Al....,” Dika tak bisa melanjutkan kata-katanya saat melihat Alika. Tunangannya itu sudah berdandan rapi dengan mini dress merah muda yang simpel dan elegan. Rambutnya digerai membingkai wajah mungilnya yang dirias sederhana. “Dika? Kamu kenapa, Sayang?” tanya Alika. “Tunanganku cantik banget,” jawab Dika. Alika tersipu malu. “Gombal mulu! Ayo ab, jalan!” Kemudian, keduanya berjalan menuju mobil Dika. Siang itu mereka berdua akan menghadiri acara pertunangan Via dan Harry. Acara sederhana seperti acara pertunangan mereka berdua dulu. Sesampainya di sana, Dika dan Alika melihat Via dan Harry yang tampak sangat bahagia. “Kita dulu kayak gitu juga ya, Sayang,” ujar Dika. Alika mengangguk sambil tersenyum. “Aku masih ingat, lho, perasaanku waktu itu. Bahagia banget!” “Aku juga masih ingat gimana deg-degannya aku dulu. Takut tiba-tiba kamu nolak pertunangan kita,” ujar Dika. “Ya, nggaklah, Sayang,” balas Alika sambil menggelendot manja di bahu Dika. Tak terasa hari sudah berganti malam. Alika dan Dika pun pamit kepada kedua sahabatnya itu. “Gue pulang duluan, ya,” ucap Dika. “Mau pulang lo?” ucap Viko. “Iya, nih. Alika nggak boleh pulang malam-malam. Semua pasti khawatir sama dia,” ucap Dika sambil merangkul Alika. “Iya udah nggak apa-apa. Jagain Alika, ya. Harus dianter sampai masuk rumah, lho!” ucap Via khawatir. “Siap! Ya udah, gue balik dulu,” ucap Dika sambil mengajak Harry dan Viko ber-high five. “Oke hati-hati, bro!” ucap Harry. Lalu, mereka berdua pergike arah parkiran mobil sambilbergandengan tangan. Saat sampai depan mobil, ada seseorang yang menarik Dika. “Gue udah pernah nyuruh lo jauhin Alikal” ucap cowok itu. “Siapa lo?” tanya Dika. “Gue orang yang bakal gantiin lo buat jaga Alika,” ucap cowok itu lagi. Pria itu memakai masker, jadi Alika tidak bisa melihat wajahnya. Dengan sigap, Alika membuka maskernya. “Rey?” ujar Alika terkejut. 18 “Kamu kenal dia?” tanya Dika. “Aku pernah beberapa kali ketemu dia di kampus. Dia anak kampus kita juga. Aku nggak nyangka dia punya niat buruk. Siapa yang butuh kamu buat jagain aku?” bentak Alika. “Lo denger apa kata Alika? Mending lo pergi daripada lo babak belur di sini,” ucap Dika. “Gue nggak takut!” ucapnya meremehkan Dika. “Wah, sialan lo!” ucap Dika. Lalu, Dika menyerangnya. Perkelahian di antara mereka tak dapat dihindari. Alika mengkhawatirkan Dika. Ia pun mengambil ponselnya dan menelepon Viko. “Halo, Vik!” “Iya ada apa, Lik?” “Dika berantem di parkiran, Vik. Tolongin, Vik!” “Hah? Gue ke sana!” Lalu, Alika mematikan sambungan teleponnya.Tak lama kemudian, Viko datang bersama beberapa orang kerabat Harry. “Woil” teriak Viko. Dika pun menoleh ke arah Viko. Lalu, Alika langsung mendekat untuk memisahkan Dika dan Rey. Pada saat itu juga, Rey ingin memanfaatkan kelengahan Dika. Rey melayangkan pukulannya kepada Dika, tetapi malah mengenai wajah Alika. “Aaaaaawwwhbh!!” teriak Alika. Lalu, ia terjatuh tak sadarkan diri. Dika menangkapnya dan segera menggendongnya menjauhi Rey. te “Kalo sampai Alika kenapa-kenapa, gue bakal cari lo!” ancam Dika kepada Rey. Dika segera membawa Alika ke dokter. Di tengah jalan, Alika tersadar. “Sayang,” ujarnya lirih. “Alika. Kamu udah sadar? Sebentar ya, aku bawa kamu ke rumah sakit terdekat,” ujar Dika. “Nggak usah, Dik. Kita pulang aja. Aku nggak mau Bunda khawatir,” Alika menolak. “Tapi, Lik . “Aku nggak apa-apa Dika. Kita pulang aja, ya.” Akhirnya, Dika menuruti keinginan Alika. Sesampainya di rumah Alika, Dika langsung meminta es untuk mengurangi lebam di wajah Alika. Seperti dugaan Alika, Bunda sangat mengkhawatirkannya. Ketiga abang Alika sangat marah dan berencana mencari Rey. Namun, Alika berhasil menenangkan mereka dan meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja. Keesokan harinya, semua berkumpul di rumah Alika. Jadi, semuanya bisa ke rumah Alika sepanjang hari. “Makasih ya kalian semua mau nemenin gue. Pas Bunda, Papa, sama abang-abang gue harus ke luar kota. Untung ada kalian,” ujar Alika. Seharusnya hari ini Alika ikut keluarganya ke luar kota untuk meresmikan bisnis baru Papa. “Makasih ya kalian selalu ada buat gue,” ucap Alika. “Aaahhh, sayang Alika,” ucap Via sambil memeluk Alika. “Udah Viudah, gue nggak bisa napas.” Via melepas pelukannya sambil tertawa. “Wiiih ada Frozen! Diem dulu, gue mau nonton!” ucap Viko, lalu duduk manis di sofa dan menonton kartun itu. “Woooo ... dasar bocah!” ledek Dika dan Harry. Namun, tak lama, semuanya ikut menonton film itu. Tak hanya menonton, semuanya bahkan ikut menyanyi mengikuti tokoh-tokoh di film itu. Alika hanya menggeleng-geleng melihat tingkah kocak para sahabatnya itu. “Yahhh abis,” ucap Viko lesu saat film yang mereka tonton selesai. “Nonton apa lagi, ya?” tanya Harry. Ting... tong... “Gue buka pintu dulu,” ujar Dika sambil bangkit dari duduknya. “Rey,” gumam Dika saat membuka pintu. “Siapa Dik?” tanya Alika. Dika mengabaikan pertanyaan Alika. “Mau apa lo dateng ke sini?” ucap Dika sambil menatapnya tajam. “Mau jenguk Alika,” jawab Rey datar. “Lo nggak malu udah nyakitin Alika?” “Rey? Ngapain lo ke sini?” tanya Alika yang menyusul Dika. “Gue minta maaf Lik,” ucap Rey, tetapi Alika tak menghiraukannya. “Lo sekarang berurusan sama gue. Jangan ganggu Alika lagi,” ucap Dika. “Sori Alika .... Gue nggak sengaja,” ucap Rey, mengabaikan Dika, Viko, Harry, dan Via yang sudah ikut bergabung dengan Alika. 26 “Di kamus kehidupan gue, kata maaf karena udah nyakitin orang yang gue sayang, tidak diterima,” ucap Dika sambil mengepalkan tangannya. “Gue tanya sama lo, kenapa sih, segitunya banget lo pengin ngerebut Alika dari Dika?” selidik Viko. “Karena gue suka sama Alika,” ucap Rey yang membuat Dika makin panas. “Lo suka sama Alika?” ucap Dika. “Iya. Gue suka sama Alika. Emang kenapa? Nggak boleh? Lagian juga, kan lo cuma pacar doang. Jadi, masih bisa dong gue rebut dia,” ucap Rey santai dan semuanya terbahak-bahak. “Kenapa lo ketawa?” gumam Rey. “Rey, gue kasih tahu, ya. Alika ini bukan pacar gue. Dia tunangan gue. Segera setelah kami berdua lulus, gue bakal nikahin dia. Orang tua gue sama Alika udah sama-sama setuju. Bahkan, mereka yang punya rencana nikahin gue sama Alika. Jadi, mending lo nyerah aja,” jelas Dika. “Nggak, nggak mungkin. Lo pasti bohong!” “Udahlah Rey. Gue udah maafin lo. Mending lo pergi dari rumah gue sekarang, Gue nggak mau ada ribut-ribut lagi,” suara lembut Alika terdengar sangat tulus. ““Maaf Alika, maf. Gue berbuat kayak gini karena provokasi seseorang. Gue dapet informasi yang salah soal lo berdua,” ujar Rey. “Provokasi? Siapa orangnya?” tanya Dika penuh rasa curiga. Ia menduga bahwa hal ini ada kaitannya dengan teror yang Alika dapat. “Orangnya ada di sini. Dia yang kasih tahu alamat rumah lo, Lik. Tunggu, gue ajak dia turun buat minta maaf ke kalian juga. Lalu, Rey kembali ke mobilnya. 07 Tak lama, Rey kembali bersama seorang cewek yang sangat dikenal oleh Dika dan Alika. “Vita? Lo yang...” “Iya! Gue yang nyuruh Rey buat ngerebut Alika dari lo. Emang kenapa?!!!” jawab Vita sambil tersenyum sinis. “Tapi, kenapa?” tanya Dika. “Asal lo tahu, gue masih cinta samalo, Dika,” ujarnya sambil mendekat ke arah Dika. “Tapi, gue nggak, Vit!” ucap Dika geram. Ia mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Melihat itu, Alika mendekati Dika dan memegang bahunya. “Tenang Dika,” ujarnya lembut. “Dia udah keterlaluan!” jawabnya. “Biarin aja .... Biar waktu yang membuatnya sadar kembali,” ucap Alika. “Oh, ada Alika di sini,” ucap Vita sambil menghampiri Alika. “Ini rumah gue. Lo ada perlu apa sama gue?” tanya Alika. “Gue nggak minta macem-macem. Dari dulu gue cuma minta lo jauhin Dika,” jawabnya. “Dasar cewek nggak tahu malu lo, yal” ucap Viko geram. “Gue nggak peduli lo mau ngomong apa. Gue mau Dika,” ucap Vita. “Vita udah!” bentak Rey tiba-tiba. Ia benar-benar merasa bersalah kepada Dika dan Alika. Ia memang menyukai Alika, tapi ia tidak ingin menyakiti Alika. Vita memelotot ke arah Rey. “Lol Berani bentak gue? Cowok cupu! Harusnya lo bisa ngerebut apa yanglo suka! Cuma misahin mereka berdua aja lo nggak becus!” teriak Vita ke arah Rey. “Harusnya rencana kita berjalan mulus, seandainya lo nurut sama gue! Dasar cowok yang nggak bisa diandalkan! Lemah!” lanjut Vita. Rey yang tak tahan dengan tingkah Vita langsung menarik kedua tangannya. “Diem lo! Ikut gue! Jangan buat onar di rumah orang!” ujar Rey dengan wajah marah. Lalu, ia menatap ke arah Alika yang sedang memeluk lengan Dika. “Alika, Dika, gue bener-bener minta maaf. Gue bener-bener nggak tahu udah percaya sama orang yang salah,” ujar Rey tulus. Alika hanya mengangguk. Kemudian, Rey membawa paksa Vita yang masih berteriak- teriak ke dalam mobilnya. Chapter 18 ia kembali kuliah. Lebam di wajahnya tinggal sedikit tersisa. Hari R= hari setelah kejadian tak mengenakkan di rumah Alika, ini Alika mengambil kelas kuliah siang. Seperti biasa, Dika yang menjemputnya. “Sayang, sebentar lagi SMA kita mau ada acara reuni, Iho!” kata Dika. “Oh, ya? Mau dateng, nggak?” tanya Alika. “Kalo kamu mau dateng, aku juga mau.” “Huuun ... ikut-ikutan!” “Hehehe ... kalo nggak ada kamu, hidupku hampa, Lik.” “Gombaaaaaalll!” “Hahaha ... jadi mau dateng, nggak?” “Agak aneh, sih, ya. Baru lulus berapa bulan juga ini kita, udah ikutan reuni aja.” “Nggak apa-apalah. Kangen kantin, nih, aku.” “Hahaha ... ya udah kita ikutan, ya. Ajak yang lain juga nanti.” “Siap, Bos!” og Hari reuni tiba, mereka berlima datang ke SMA Merdeka. “Ya, selamat datang untuk Bang Adit, Bang Dika, Bang Viko, Bang Harry, Kak Via, dan Kak Alika,” ucap MC yang membuat mereka semua menoleh ke arahnya, lalu mengacungkan jempol. “Kenapa ya kalo udah lulus, sekolahan pasti jadi lebih bagus daripada pas kita masih sekolah di situ?” ucap Harry saat mereka memasuki gedung sekolah. Sudah ada beberapa bagian sekolah yang mengalami perubahan. “Lo nyesel Har?” tanya Viko. “Masuk lagi sono!” imbuh Dika. “Ogah! Kalo masuk SMA lagi, nanti gue nggak bisa sering-sering lihat wajah Via yang cantik,” ucap Harry, dan mereka berempat menoyor kepala Harry. Kemudian, mereka berlima menikmati acara reuni yang meriah ini. Tak lama, ketiga abang Alika yang juga alumnus SMA Merdeka, bergabung dengan mereka. “Sayang, pudingnya enak! Mau lagi dong diambiliiin,” ucap Alika manja. “Siap!” Tak lama, Dika datang membawa puding. Ia tak menyerahkan puding itu kepada Alika, tetapi langsung menyuapi tunangannya itu. “Deuh, romantisnya. Bikin orang-orang iri aja lo berdual” ujar Viko. ft “Deuh, kasihan banget yang kelamaan jomlo. Makanya cari pacar!” balas Dika yang disambut tawa teman-temannya. Setelah makan dan berfoto ria, Dika berjalan menelusuri sekolah ini. Ingatan saat Dika dan Alika bersama-sama pun datang. Kenangan itu berputar dalam benaknya. Saat Alika berantem dengan Bella. Saat mereka baru pertama jadian. Dan, juga saat Dika selalu kabur di jam pelajaran yang membosankan. Hampir semua hukuman ringan pernah ia dapat dari para guru. Berdiri di lapangan, bersihin koridor, dan banyak lagi. “Kayaknya sifat bad boy gue udah hilang, nih,” gumam Dika sambil tersenyum geli. Tak lama kemudian ada orang yang menepuk pundak Dika. Dika pun menoleh. Ternyata Harry dan Viko yang sedang ngos-ngosan seperti dikejar hantu. “Lo berdua kenapa?” tanya Dika. “Eh itu ... itu ...,” ucap Viko sambil mencoba mengatur napasnya. “Atur napas dulu baru ngomong,” ucap Dika. “Itu Dik, mobil lo,” ucap Viko setelah berhasil mengatur napasnya. “Kenapa mobil gue?” tanya Dika panik. “Ada yang coret-coret mobil lo pakai cat. Alika lagi nangis di deket mobil lo,” ucap Harry yang membuat mata Dika membulat. Dika langsung berlari tanpa menghiraukan kedua temannya. Mendengar Alika menangis lebih menakutkan daripada kenyataan mobilnya dirusak orang tak bertanggung jawab. Ketika Dika tiba di tempat Alika yang sedang menangis, ia langsung memeluknya. “Dika,” ucap Alika sesenggukan. “Ada aku Lik. Nggak apa-apa. Semua baik-baik aja. Ada aku,” ucap Dika sambil mengelus kepalanya. Alika menangis semakin kencang, menumpahkan impitan di dadanya. Dika melihat, mobilnya ditulisi dengan cat berwarna hitam. 628 Hidup kalian nggak bakal tenang. a Sejak kejadian di acara reuni, teror kembali mendatangi Alika. Bahkan, lebih sering dibandingkan sebelumnya. Kadang Alika sampai tidak ingin kuliah karena takut. Namun, Dika tetap datang menemaninya setiap hari. Meski hanya satu atau dua jam, Dika pasti datang ke rumah Alika. Dika dan papa Alika sudah menyewa orang untuk mengawasi serta menyelidiki siapa yang menyebar teror ini. Namun, belum ada hasilnya. Orang itu terlalu licin untuk ditangkap. Sore ini Dika ingin mengajak Alika keluar. Ia merasa kasihan melihat tunangannya itu frustrasi di rumah karena teror yang menghantuinya. Untungnya Alika mau. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Dika. “Aku mau makan yang enak, Sayang, Aku stres! Aku mau makan yang banyak!” jawab Alika. “Hehehe ... iya iya ... mau makan apa aja bakal aku traktir!” Sesampainya di restoran yang diinginkan Alika, mereka langsung memesan makanan. Sesuai keinginan Alika, ia memesan banyak menu terenak yang ada di restoran itu. “Cukup pesenannya?” tanya Dika. Alika mengangguk. “Kalo kebanyakan, kamu yang habisin ya, Sayang,” ucap Alika. “Lah? Aku kan, pesen makan juga. Bungkus aja, ya. Siapa tahu sampai rumah kamu laper lagi.” Alika mengangguk dan menggenggam tangan Dika yang ada di atas meja. “Sayang aku takut,” ucap Alika tiba-tiba. “Jangan takut, ada aku,” ucap Dika ganti memegang tangan Alika fern Sy Usai makan, mereka langsung pulang. Alika masih khawatir bila keluar yang ada di atas tangannya. rumah terlalu lama. Sesampainya di rumah, Alika melihat Via yang baru saja tiba di rumahnya. “Eh, Via tuh! Tumben ke rumah sendirian,” ucap Alika. Ia lalu segera turun dan menghampiri Via. “Vial Tumben malem-malem dateng sendirian. Harry mana?” “Alika! Nggak usah sok baik lagi lo sama gue!” kata Via tiba-tiba. Ford “Via? Lo kenapa?” tanya Alika terkejut. “Diem lo! Gue kecewa sama lo! Selama ini gue udah anggep lo sodara gue Lik,” lanjut Via. “Gue nggak ngerti Vi: “Lo nggak usah sok polos di depan gue! Gue udah muak sama lo! Lo, kan, yang nyebar fitnah soal gue dan Harry ke anak-anak kampus? Norak lo! Bercanda lo nggak lucu, Lik!” Alika makin tak mengerti. Ia hanya bisa diam saat Via berteriak- teriak memakinya. “Udah deh, Lik, Gue udah tahu siapa lo! Cewek munafik! Harusnya gue nggak pernah bantuin lo tiap lo di-bully dulu! Kecewa gue sama lo!” Dika yang baru datang sehabis memarkirkan mobil bingung melihat Alika terdiam bagai patung. “Alika, kenapa?” “Dika! Mendingan lo mikir lagi, deh! Lo beneran mau nikahin cewek kayak gini?” ujar Via. “Vial Gue nggak tahu, ya, kalian ada masalah apa. Tapi, omongan lo nggak pantes! Mending lo pergi dinginin kepala lo!” bentak Dika. “Bmang gue mau pergi. Gue nggak betah lama-lama deket cewek lo ini! Jangan pernah sapa gue lagi!” Lalu, Via pergi meninggalkan Alika dan Dika. Dika langsung memeluk Alika yang tampak hampir jatuh. “Ayo masuk, Sayang” Dika menuntun Alika masuk. Dari depan pagar rumah Alika, Vita tersenyum puas melihat adegan barusan. Chapter | 11 ‘dah tiga bulan Via menjauh dari Alika. Bahkan, beberapa kali Alika melihatnya nongkrong bareng Vita. Alika sedih. Ia benar-benar sudah menganggap Via adalah sahabat sejatinya. Dia ingat, Via adalah orang pertama yang selalu membelanya dulu. “Kamu kenapa ngelamun terus?” tanya Dika. Hari itu Dika menemani Alika sepanjang hari karena kedua orang tuanya sedang menghadiri acara pernikahan anak dari rekan bisnisnya. Sementara ketiga abangnya sedang memiliki urusan masing-masing. “Nggak apa-apa kok, Dik,” ucap Alika, lalu mengusap air matanya. “Hei, hei, kenapa nangis?” tanya Dika lagi. “Gue nggak kenapa-kenapa Dika. Biarin gue sendiri dulu,” pinta Alika. Dika pun pergi ke ruang makan meninggalkan Alika di ruang keluarga. “Sayang makan yuk! Ini aku bawain makan siangnya ke sini. Kita makan sambil nonton TV, ya,” ucap Dika. “Nggak ah, masih kenyang,” ucap Alika. “Kenyang apanya? Dari pagi kamu baru minum segelas jus jeruk doang. Ayo dimakan. Nanti kamu sakit. Aku suapin, ya,” rayu Dika. Akhirnya, Alika menyerah dan menerima suapan dari Dika. Saat sedang makan, terdengar bunyi bel pintu. Alika bangkit dari duduknya. “Aku buka pintu duly,” kata Alika. “aku ikut!” Ditemani Dika, Alika pun membuka pintu rumahnya. “Alika,” panggil orang yang ada di depan pintu itu. “Via?” tanpa sadar, Alika menggenggam tangan Dika erat. Setengahnya, ia merasa takut Via akan memakinya lagi tanpa alasan. “Jangan takut dulu, Lik! Gue mau kasih tahu sesuatu sama lo,” ucap Via sambil memegang tangan Alika. Lalu, Alika mengajak Via duduk di ruang keluarga. Alika pun merasa kebingungan dengan semua ini. “Ada apa, sih, ini?” Tak lama beberapa orang menyusul masuk ke ruang keluarga. Harry, Viko, Bang Adit, Bang Alex, Bang Aldi, dan ... Vita. Alika makin bingung dengan situasi ini. “Tenang Alika. Gue mau jelasin semuanya sama lo. Lo nggak usah khawatir. Hari ini, semua teror ke lo bakal selesai,” ujar Via. Setelah melihat Alika tenang, Via mulai bercerita. “Sebenernya gue jauhin lo itu bohongan. Sebelum gue marah-marah sama lo, Vita dateng ke gue. Dia nuduh lo udah fitnah gue. Gue tahu dia bohong. Gue percaya sama lo. Tapi, gue pura-pura percaya. Gue cuma mau mastiin, bener dia dalang di balik semua teror ini bukan? Akhirnya, gue ikutin skenario dia. Harry dan Viko tahu ini Alika. Cuma lo sama Dika yang nggak tahu. Ternyata dugaan gue dan yang lainnya bener. Vita yang 87 terus-terusan neror lo. Tapi, daripada gue ngebuka semuanya dan Vita tetep bakal ngelakuin ini lagi ke lo, gue coba deketin dia. Gue coba nyadarin dia. Dan, berhasil. Udah beberapa hari ini, gue ajak dia ketemu lo, tapi dia belum siap. Dia malu sama lo. Akhirnya, hari ini, dia siap ketemu lo sama Dika,” jelas Via panjang lebar. “Tapi, sebelum Vita minta maaf ke lo, gue yang mau minta maaf ke lo. Maafin gue yang ngata-ngatain lo kemarin ya, Lik,” tambah Via. Tanpa berkata apa-apa, Alika langsung memeluk Via. “Viaaa ... lo nggak tahu betapa ketakutannya gue kehilangan lo! Gue yang minta maaf udah mikir yang nggak-nggak kemarin. Gue sayang lo Via,” ujar Alika sambil menangis. Setelah Alika melepas pelukannya kepada Via, ia menatap Vita. “Alika, maafin gue. Dika, maafin gue. Gue sadar gue udah jahat banget sama kalian. Gue sadar, ternyata bukan karena gue cinta sama Dika yang jadi alasan gue jahatin Alika. Tapi, karena gue iri sama Alika. Dia punya segalanya yang gue nggak punya. Dia punya Dika dan dia punya.... sahabat. Maafin gue, Lik. Gue bener-bener minta maaf sama lo. Lo mau maafin gue, kan?” tanya Vita sambil menangis. Alika bingung harus berkata apa. Ia menoleh kepada ketiga abangnya untuk meminta pertimbangan. Ketiganya mengangguk. Alika tahu maksudnya. “Gue udah maafin lo dari sebelum lo minta maaf sama gue,” ucap Alika. Vita langsung memeluk Alika secara tiba-tiba. Alika terdiam sesaat karena terkejut. Kemudian, ia membalas pelukannya. “Kita temenan, ya,” ucap Vita, dan Alika menganggukkan kepala. 28 Vita kembali memeluk Alika. Kemudian, Via ikut memeluk mereka berdua. “Udah, udah. Nangis-nangisannya udah. Kalian udah makan siang belum? Gue laper, nih! Delivery order yuk!” “Setuju!” “Pizal” “Bang Aldi yang bayar!” “Lah, kok jadi gue?” Satu jam kemudian, mereka tengah menikmati piza dan pasta yang Alika pesan. Tak ada rasa canggung. Semuanya merasa lega. Tidak ada lagi beban, ketakutan, dan kebencian. “Oh, iya Vit, jadi sekarang lo udah nggak suka sama gue lagi, kan?” tanya Dika. Vita menggeleng malu. “Bagus, deh! Jangan ngejar hal yang mustahil lagi, ya,” ujar Dika bijak. “Nanti gue cariin cowok deh, Vit. Temen gue banyak yang jomlo, kok,” kata Bang Adit. “Nggak usah repot-repot Bang, Udah ada calonnya, nih, Vita,” ujar Via sambil memasukkan potongan piza ke mulutnya. “Hah? Cepet banget lo dapet pengganti gue! Kecewa gue!” ujar Dika yang langsung mendapat cubitan dari Alika. Vita hanya tersenyum malu sambil menunduk. “Siapa Vit?” tanya Alika. “Lo juga kenal Lik,” jawab Via. Alika berpikir sejenak. Matanya menyapu ruang keluarga tempat mereka makan. Kemudian, ia terhenti Bd saat melihat sosok yang sok cool di pojok sofa. Padahal, biasanya dia paling heboh urusan ngeledekin temen. “Viko?” tanya Alika tak percaya. “CIEEEEEEEEEEEE ..., sama-sama bersemu merah. ” ucap mereka semua. Wajah Viko dan Vita “Wahbh! Wajib kita rayain, nih, berakhirnya masa jomlo Viko!” ucap Dika, lalu semuanya tertawa. Tak ada lagi dendam. Mereka semua sekarang adalah teman. Suasana hangat pun kembali merayapi ruang keluarga itu. Hangat. Dekat. Lekat. 40 Ekstra da yang bilang, bila kita bahagia maka waktu terasa cepat berjalan. Begitu halnya dengan Alika. Setelah Vita tak lagi mengganggu, bahkan berteman dengannya, kehidupan kampus Alika terasa sangat menyenangkan. Hingga tanpa terasa, mereka sudah ada di penghujung masa-masa mereka ada di kampus. Kini Alika, Dika, Via, Harry, dan Viko tengah mengikuti acara wisuda di kampusnya. Alika sangat bangga dengan teman-temannya. Mereka semua menepati janji untuk berjuang agar lulus bersama. Alika lebih merasa bangga lagi kepada Dika yang lulus dengan gelar cum laude-nya. “Th seneng, udah lulus kuliah aja, ya,” ucap Alika setelah mereka usai menjalani prosesi wisuda. “Iya ya, perasaan baru kemarin masuk jadi mahasiwa baru. Sekarang udah lulus aja,” ucap Via. “Guys! Foto studio bareng-bareng yuk kelar acara sama keluarga. Masak foto kita background-nya lemari buku doang. Nggak asyik!” ajak Via. Mereka semua menyetujui usul Via. Setelah itu mereka mengikuti rangkaian acara wisuda yang telah disiapkan bersama para keluarga. “Duh, Bunda sama Papa mana sih, ini? Katanya ada urusan penting mau balik. Kok, malah ngilang gini?” gumam Alika. Ia sedang menunggu kedua orang tuanya yang menghilang usai makan siang bersama di kampus. “Papa lagi nemenin bunda lo ke toilet kali, Lik,” ujar Via mencoba menenangkan sahabatnya. “Kalo gitu, coba gue cari ke toilet, deh!” “Udah biarin aja, Lik. Nanti juga balik.” “Tadi kata Papa, dia ada janji sama orang jam dua. Ini udah mepet. Kalo kena macet gimana? Sebentar ya, Vi” “Bh tunggu, Lik! Yah, dia pergi.” Alika tak menghiraukan panggilan Via. Dia hanya ingin mencari Papa dan Bunda, yang menurutnya, sudah menghilang terlalu lama. Alika baru akan berbalik ke arah toilet ketika dia melihat sosok-sosok yang dikenalnya sedang berkumpul. “Bunda. Kirain ke mana. Ditungguin sama Alika dari tadi di sana.” Bunda yang dipanggil, menoleh dengan kaget. Bersama Bunda, ada Papa, Dika, dan kedua orang tuanya. “Eh Alika. Ini lho ada orang tuanya Dika. Salaman dulu.” Alika pun menyapa dan menyalami kedua orang tua Dika. Setelah berbasa-basi sebentar, orang tua Alika berpamitan. 142 “Ya udah, kami pamit dulu. Sampai ketemu lagi, ya. Semoga lancar semuanya,” ujar Papa kepada Dika dan kedua orang tuanya. Dika tersenyum canggung. Alika menatap papanya bingung. Lancar? batinnya heran. Bunda dan Papa langsung pergi setelah itu. Ada pertemuan dengan rekan bisnis Papa sehingga Alika tidak pulang bersama mereka. Alika pun segera berkumpul dengan teman-temannya untuk pergi ke studio foto di mal yang biasa mereka kunjungi. Saat menuju ke parkiran mobil di kampus mereka, tiba-tiba Dika melepas genggaman tangannya kepada Alika. Alika menoleh ke arah tunangannya itu. Dika sedang memegang dadanya. Wajahnya tampak sangat kesakitan. “Aaaaaargh!!!” Dika mulai berteriak hingga membuat Via, Harry, dan Viko menoleh. “Dik, kamu kenapa?” ucap Alika panik. Dika terus saja mengeluh kesakitan sambil memegang dadanya. Sampai akhirnya, Dika tergeletak di lapangan. Alika mulai menangis. “Dika! Sadar Dika!” ucapnya sambil mengguncang badan Dika. Namun, sia-sia. Dika tetap terpejam. Orang-orang yang ada di sekitar mereka mulai berkumpul. Beberapa menyarankan untuk memanggil ambulans. Alika sudah tidak bisa berpikir. Dia hanya duduk di samping Dika sambil terus berusaha membangunkannya. “Coba gue cipratin pakai air. Siapa tahu dia sadar,” ucap Viko sambil membuka botol air mineral miliknya. Kemudian, ia menyipratkan isinya kepada Dika. Tetapi, hasilnya nihil. Alika semakin panik melihatnya. 143 Tiba-tiba ia merasa tubuhnya sangat lemah. Ja butuh bersandar. Ia pun memeluk Via dengan sangat erat. “Vi ... Dika ....” “ALIKA.” Tiba-tiba Alika mendengar suara bas yang sangat ia kenali. Ia menghentikan tangisnya dan mencoba meyakinkan diri bahwa ia tak salah mengira. Alika pun menoleh ke belakang. Ia sangat terkejut saat melihat Viko dan Harry memegang spanduk dengan tulisan: WILL YOU MARRY ME? Alika menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia juga melihat Dika yang sudah berdiri dengan tegap, membawa buket bunga. Dika berjalan mendekat ke arahnya dan menyodorkan buket bunga kepada Alika. Alika menerimanya tanpa mengucapkan apa-apa. “Walaupun kita udah tunangan, aku mau ngelamar kamu dengan cara ini, Aku mau membuat semuanya spesial buat kamu. Karena kamu spesial buat aku, Alika,” ucap Dika yang membuat Alika kembali menangis. Kali ini karena bahagia. jangan nangis dong! Cepetan jawab! Pegel, nih!” teriak Viko yang masih memegang spanduk bersama Harry. Semua yang mendengarnya tertawa, Dika kembali menoleh kepada Alika. ‘Jadi, apa jawabannya?" tanya Dika. Alika tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Semua orang yang ada di situ bertepuk tangan. Dika menarik kedua tangan Alika dan membenamkannya dalam pelukan. fry oy 144 Enam bulan kemudian, tibalah hari yang sangat berbahagia untuk Alika dan Dika. Pernikahan mereka berdua. Saat ini, Alika sedang berada di ruang rias. Sejak pagi ia sudah bangun dan mulai didandani. Sekarang, perias pengantin tinggal melakukan polesan terakhir pada riasan dan gaun pengantin yang ia pakai. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. “Masuk,” ujar Alika. Pintu terbuka, Via muncul di baliknya. Via pun terlihat cantik dengan riasan natural dan balutan dress mini. “Cantik banget yang mau jadi mahmud (mamah muda),” ucap Via sambil mencolek dagu Alika. Alika menepis lengan Via sambil tersipu malu. “Apaan, sih Vil” “Jangan marah-marah dong, nanti cantiknya hilang, loh!” ucap Via tetap menggoda Alika. Tak lama kemudian, bunda Alika masuk ke ruang rias untuk menjemput Alika karena acara akan segera dimulai. Bunda terpana begitu melihat putri bungsunya yang baru didandani hingga secantik ini. “Alika,” panggil Bunda. Alika menoleh dan melihat bundanya. Ia menyambut bundanya. “Alika aneh, ya, dandan tebel gini, Bun?” tanya Alika. Bunda tersenyum dan menggeleng. “Alika, saat kamu lahir, Bunda bersyukur mendapatkan seorang bidadari mungil dalam keluarga kita. Hari ini Bunda seperti melihat bidadari sungguhan di depan Bunda. Dan, hari ini juga Bunda harus melepas bidadari Bunda ke tangan orang lain. Tapi, Bunda percaya, bidadari Bunda akan berada di tangan yang tepat,” ujar Bunda sambil mengusap ujung kepala Alika. “Bunda ....” Mata Alika berkaca-kaca. 15 “Udah yuk! Jangan nangis dulu. Nanti riasannya luntur. Hehehe ... yuk keluar! Penghulunya udah siap. Acaranya udah mau dimulai,” ajak Bunda. Alika mengangguk dan keluar menuju tempat ijab kabul bersama Bunda dan Via. Saat Alika memasuki tempat diselenggarakannya ijab kabul, semua tamu undangan pun melihat tak berkedip. Alika memang tampak sangat berbeda hariitu. Kecantikannya bertambah berkali-kali lipat. Bukan hanya karena riasan, melainkan juga karena aura kebahagiaan yang memancar. Kemudian, sampailah Alika di meja yang akan menjadi saksi bisu proses ijab kabul Alika dan Dika. Dika sudah duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja itu. Raut wajahnya sangat tegang sampaiia melihat Alika mendekat. Sedikit kelegaan terpancar di wajahnya. Alika tersenyum kepadanya dan duduk di sampingnya. Ijab kabul berjalan dengan lancar dan khidmat. Dika berhasil mengucapkan kalimat ijab kabul dalam satu tarikan napas dan tanpa kesalahan. Semua orang yang ikut menahan napas, akhirnya bisa bernapas dengan lega dan mengucapkan kalimat hamdalah. Mereka berdua sudah sah menjadi suami-istri detik itu juga. Setelah rangkaian acara ijab kabul selesai, Alika dan Dika dibawa ke ruang rias untuk berganti pakaian. Kali ini, mereka berganti pakaian di ruangan yang sama. Setelah selesai mengganti pakaian, Dika duduk di sofa yang ada di ruang rias. Ia menunggu Alika selesai mengganti gaun pengantinnya. Tak lama, Alika selesai dengan gaun barunya. Ia mendekati Dika dan duduk di sampingnya. Dika menatapnya tak berkedip. “Dika, kenapa sih?” tanya Alika. “Cantik banget istriku,” jawabnya. Alika tersipu malu. 146 “Gombal, ah!” “Tapi, kamu suka kan, digombalin? Auw!” Dika mengaduh karena Alika mencubit pahanya. “Akhirnya, kita sampai di sini juga, ya,” ujar Alika. Dika tersenyum dan menggenggam tangan Alika yang telah memakai cincin pernikahan mereka. “Alika, aku kan, pernah bilang, kita nggak akan bisa dipisahin. Coba kamu ingat, waktu Vita masih membenci kamu. Seberapa pun usaha Vita untuk memisahkan kita, kita tetap bertahan agar selalu menyatu. Bahkan, akhirnya Vita ‘menyerah’ kalah karena cinta. Cinta kita berdua dan cinta dari Viko. Itu semua udah takdir Tuhan. Walau banyak rintangan, kita pasti tetap bisa bersatu,” ucap Dika. Alika tersenyum. “Sok bijak banget suamiku,” ujar Alika. “Th, kamu ini, ya. Jarang-jarang nih, aku ngomong serius gini.” Dika pura-pura ngambek. “Iya, iya. Aku tahu. Terima kasih ya suamiku. Terima kasih untuk selalu ada di sampingku dalam keadaan apa pun. I love you, Dika,” ucap Alika sambil menyenderkan kepalanya di bahu Dika. Dika tersenyum mendengarnya. “I love you too, Nyonya Dika Saputra.” Alika tersenyum mendengarnya. lamemejamkan matanya, merasakan kehangatan yang didapatkannya dari cowok yang ada di sebelahnya. Kehangatan yang mulai hari ini akan ia rasakan setiap hari. 147 Ucapay Terima Kasih, Aku ingin mengucapkan terima kasih tentunya kepada Allah Swt. yang sudah mengabulkan keinginanku untuk menjadi seorang penulis. Kedua orang tuaku dan juga kepada Jeje, Okta, Indah yang selalu menyemangati dalam menyelesaikan novel ini. Terima kasih juga kepada Chaca Faza (penulis Come on Late dan Bad Boy's Effect) yang selalu memberi tahu cara menulis yang benar dan menyemangatiku. Terutama kepada Bentang Pustaka yang telah menerbitkan novel Defeated by Love. Terima kasih juga kepada Kak Dila dan Kak Tami yang selalu membantuku untuk menyelesaikan novel ini. Profil Penylis Ghina Nauvalia, perempuan _ kelahiran Jakarta 16 Agustus 1999 ini baru saja lulus dari SMK jurusan Farmasi dan berniat untuk melanjutkan pendidikannya. Ketertarikannya pada menulis saat Ghina berada di kelas X. Awalnya menulis hanya sebuah keisengan pada waktu luang. Setiap ada waktu luang, ia menumpahkan imajinasinya dalam bentuk tulisan di aplikasi Wattpad. Selain sibuk mencari kuliah, ia juga sibuk mencari imajinasi yang akan ia kembangkan di karya-karya lainnya. Defeated by Love merupakan karya pertamanya yang diterbitkan. Baginya, menulis novel itu tidaklah mudah. Butuh banyak kata yang harus dirangkai, banyak juga hambatan dan rintangan yang ia lalui. Kamu bisa menikmati karya-karya lainnya di akun Wattpad-nya, ya! Wattpad: Nanvli_a Instagram: Ghina1608 Surel: Ghina.nauvalia123@gmail.com Corita-cerita manis dari Wattpad avorit Caramel Macchiato Ifa Arigoh_) RpHH.000,00 Lo, Tunangan Gue! Yenny Marissa ) Rp59.000,00 When Love Walked In Ega. Dyp ) Rpé4.000,00 Just be Mine Pit Sansi ) Rpb9.000,00 b F Google play READ anytime anywhere Kini, buku-buku Bentang Pustaka juga tersedia dalam bentuk digital. Praktis Cepat v Mudah Se

You might also like