You are on page 1of 120
KAJIAN APLIKASI INSEKTISIDA CURACRON 500 EC (Profenofos) PADA BAYAM ( Amaranthus tricolor L.) DI DAERAH SIMPANG TIGA KOTA PEKANBARU OLEH: IRFANDRI PROGRAM PASCASARJANA. INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK Penelitian tentang Kajian Aplikasi Insektisida Curacron 500 EC (Profenofos) pada Bayam (Amaranthus tricolor L.) di Daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru telah dilakukan dari bulan April hingga Juli 2002 di Simpang Tiga Pekanbaru dan di Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas dan UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Sumatera Barat. Dampak ekonomi dilakukan dengan metode survai dengan cara wawancara dan pengisian kuesioner kepada dua puluh orang petani sayur Simpang Tiga Kota Pekanbaru yang dipilih secara acak, sedangkan dampak residu pada bayam dan dalam tanah dilakukan dengan penanaman bayam di areal milik petani dengan perlakuan (1) aplikasi insektisida satu kali pada umur 8 hari setelah tanam (hst), aplikasi dua kali pada umur 8 dan 13 hst, aplikasi tiga kali pada umur 8, 13 dan 18 hst dan kontrol. Sebagai perbandingan juga diambil empat contoh bayam dari empat orang petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi insektisida dua kali tidak berbeda nyata dengan aplikasi insektisida tiga kali dalam hal persentase dan intensitas serangan hama. Kadar residu insektisida pada bayam dan dalam tanah tidak terdeteksi sehingga dianggap belum menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Analisis usaha budidaya bayam menunjukkan bahwa BEP harga bayam Rp. 1014,4 /kg dengan BIC ratio 1,577 sehingga meningkatkan pendapatan petani yang mana 20 % berpendapatan Rp. 36.600,-/hari, 70 % berpendapatan 73.200,-fhari dan 10 % berpendapatan 108.336,-/hari. Tidak terdeteksinya kandungan residu insektisida pada bayam menunjukkan bahwa sayuran bayam dari daerah Simpang Tiga Pekanbaru aman dikonsumsi dan berpeluang untuk dieskspor. PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Kajian Aplikasi Insektisida Curacron 500 EC (Profenofos) Pada Bayam (Amaranthus tricolor.) diDaerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru* adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pemah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, November 2002 Yang menyatakan ell Irfandri NIP : 132 240 004 KAJIAN APLIKASI INSEKTISIDA CURACRON 500 EC (Profenofos) PADA BAYAM ( Amaranthus tricolor L.) DI DAERAH SIMPANG TIGA KOTA PEKANBARU IRFANDRI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR: 2002 Judul Tesis : Kajian Aplikasi Insektisida Curacron 500 EC (Profenofos) Pada Bayam — (Amaranthus tricolor L.) di Daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru Nama Infandri, SP NRP 2 P. 105 000 01 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Mengetahui 1. Komisi Pembimbing Ketua 5 I : ; Surjono H. Sutjahjo, MS. ‘Anggota ‘Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungg ae, Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS. Tanggal Lulus : 31 Desember 2002 RIWAYAT HIDUP- Penulis adalah anak ke-lima dari delapan bersaudara yang dilahirkan di Cupak/Solok Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 28 April 1968 dari perkawinan H. Burhanuddin dengan Jamilah. Penulis menikah dengan Mariani, SP pada tanggal 15 Juli 1998 dan telah dikarunia seorang putri Salsabila Rifani. Menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 01 Cupak pada tahun 1981 , sekolah menengah lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 02 Solok pada tahun 1984 dan sekolah menengah lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 01 Solok pada tahun 1987. Melanjutkan pendidikan di Universitas Bung Hatta dari tahun 1987 sampai 1989. Tahun 1989 melanjutkan pendidikan di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, menerima Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dari DIKT! pada tahun 1993 dan menamatkan pendidikan sarjana pada tahun 1995. Bekerja di PT. Coca Cola Van Java Cabang Padang dari tahun 1995- 1996 , di Perguruan Buddhi Tangerang dari tahun 1996 - 1999. Dari tahun 1999 sampai saat ini sebagai staf pengajar di Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pada tahun 2000 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Megister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2002 ini adalah pencemaran pestisida dengan judul * Kajian Aplikasi Insektisida Curacron 500 EC (Profenofos) pada Bayam (Amaranthus tricolor L.) di Daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru “. Sejak pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini, penulis mendapat bantuan yang berarti dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan penghargaan dan mengucapan teimakasih kepada yang terhormat : 1. Bapanda H. Burhanuddin dan Ibunda Jamilah serta seluruh keluarga yang telah_memberi dukungan moril dan materi 2. Istri tercinta Mariani, SP dan ananda tersayang Salsabila Rifani yang telah memberi dukungan dan pengorbanan moril dan materil. 3. Dr. RTM. Sutamihardja , M Ag. (Chem), Dr. Ir Dadang, MSc. dan Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. 4, Sumizar Tanjung, staf Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan llmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas serta Drs Yarman Diar. Mkes beserta seluruh staf laboratorium UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi Sumatera Barat yang telah membantu penulis dalam analisis residu pestisida. 5. Bapak Paimin dan keluarga sera petani sayur di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru atas kerjasamanya dan telah membantu penulis di lapangan. 6. Teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor khususnya angkatan 2000 ‘Akhir kata semoga hasil penelitian ini memberikan manfaat dan sumbangan pengetahuan yang berharga. Bogor, Agustus 2002 Irfandri DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ... i DAFTAR ISI ii DAFTAR TABEL...... iv DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN... vi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5 1.4. Hipotesis. 6 I TINJUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pestisida.............0. 7 2.2. Penggolongan Pestisida . 8 2.3. Residu Pestisida dalam Tanaman 13 24, Degradasi Residu Pestisida ..... 7 25 Tanaman Bayam..... 20 Il, BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu . 24 3.2. Bahan dan Alat ........ 24 3.3. Metode 25 3.4. Pelaksanaan ..... . 26 3.5 Pengamatan «ccs . a7 3.6 Analisis Data. 31 Iv. HASIL DAN PEMBAHASAN 44. 42. 43 44, 45 46 47 Kondisi Umum Lokasi... Keadaan Umum Petani Responden . es Pengaruh Aplikasi Pestisida Tethadap Serangan Hama 4.3.1. Persentase Serangan Hama .. 4.3.2. Intensitas Serangan Hama . Dampak Aplikasi Pestisida. 4.4.1, Residu Pestisida Pada Bayam.... 4.4.2. Residu Pestisida Dalam Tanah...... Dampak Ekonomi 4.5.1, Pendapatan Petani.. 4.5.2. Tenaga Kerja... Dampak Pada Kesehatan Masyarakat Peluang Ekspor. V. KESIMPULAN DAN SARAN 54 5.2. DAFTAR PUSTAKA.... LAMPIRAN. Kesimpulan .......... Saran... 32 35 50 54 56 58 58 60 61 e©oane 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 47. DAFTAR TABEL. Halaman Nilai LDso dan LCs akut profenofos terhadap beberapa biotik ... .... seccssetsenee tose Residu insektisida diazinon pada selada pada interval yang berbeda sebelum panen Residu metomil yang dideteksi pada strawberri, tomat dan ketimun setelah beberapa hari aplikasi. 7 Efek pembilasan air tethadap residu metomil yang diperlakukan pada strawberri, tomat dan ketimun. Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap kadar residu insektisda pada kubis Sifat agronomi tujuh varietas bayarn... Nilai skor dengan tingkat kerusakan. Luas Kota Pekanbaru dirinci per-kecamatan Tahun 2000... Kondisi umum petani responden di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru . . - Pestisida yang dipakai petani sayur di Simpang Tiga Kota Pekanbaru. Nilai rata-tata persentase serangan hama pada sayuran bayam pada saat panen .. . Nilai rata-rata intensitas serangan hama pada bayam pada saat panen Kandungan residu insektisida pada bayam pada berbagai perlakuan ..... . Kandungan residu insektisida dalam tanah dengan berbagai perlakuan. oe Rata-rata produksi dan pendapatan petani sayur Simpang Tiga Kota Pekanbaru..... os se Keluhan yang dirasakan petani setelah aplikasi pestisida Kasus keracunan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Pekanbaru April 2001 — April 2002. " 14 14 19 19 22 28 33 35 42 51 53 S7 59 62 63 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Rumus bangun profenofos ... . . 10 2. Model kualitatif perjalanan pestsida formulasi ECWP setelah aplikasi 15 3. Degradasi pestisida dalam lingkungan.. 18 4, Sebaran umur petani sayur Simpang Tiga Kota Pekanbaru.... 37 5. Tingkat pendidikan petani sayur Simpang Tiga Kota 38 Pekanbaru — Jumiah petani yang mendapat bantuan teknis.......... 38 Kegiatan pembukaan lahan melalui aplikasi herbisida. 39 Kegiatan penyiraman yang dilakukan petani sayur Simpang Tiga Kota Pekanbaru ........ . “1 9. Kegiatan pengendalian OPT pada sayuran . 43 10. Kegiatan pencucian sayuran sebelum dipasarkan ........... 47 11. Aktiitas muat sayuran ke mobil untuk dipasarkan ke daerah Kerinci 48 12. Bagan pemasaran sayuran di Pekanbaru 49 13 Penanganan wadah bekas pestisida . vo 49 14. Nilai rata-rata persentase serangan hama pada bayam pada saat panen .... 51 15. Nilai rata-rata intensitas serangan hama pada bayam pada saat panen. 53 16. Rata-rata pendapatan petani sebelum bercocok tanam sayur 59 17 Pendapatan petani setelah bercoook tanam sayur ........ 60 18. Kegiatan budidaya sayuran dengan menggunakan kasa .. 66 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran oe ens Peta Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru.... Peta Kota Pekanbaru Peta Propinsi Riau Denah percobaan... Bagan pengambilan sampel. a Daftar bahan aktif yang dihentikan pendaftarannya untuk bidang pengelolaan tanaman... Data suhu, curah hujan, lama penyinaran dan kelembaban udara Bulan Mei 2002. Analisis Usaha Tani Budidaya Bayam : Hasil analisis residu pestisida pada bayam dan dalam tanah. Halaman 74 75 76 7 78 79 81 82 1. PENDAHULUAN 1.4. Latar Belakang Pengembangan komoditi hortikultura terutama sayuran mempunyai prospek yang cerah. Hal ini terlihat dengan semakin meningkatnya permintaan atas Komoditi tersebut baik di pasar domestik maupun intemasional. Sayuran merupakan salah satu bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, karena dalam sayuran tersebut terkandung berbagai macam vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk menjaga kesehatan. Kandungan aneka vitamin dan mineral pada sayuran tidak dapat disubsitusi oleh makanan pokok. Tanaman bayam merupakan salah satu jenis sayuran daun yang telah lama dikenal masyarakat luas. Saat ini bayam sudah tersebar luas di daerah beriklim tropis dan sedang. Di daerah subtropis seperti Belanda, sayuran jenis bayam yaitu Spinach diproduksi untuk keperluan komersial melalui penciptaan varietas-varietas Spinach hibrida (Rukmana, 1994). Di Indonesia bayam merupakan salah satu sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat dengan berbagai jenis masakan seperti tumis, sup dan lain-lain. Meningkatnya kontribusi sektor industri di Propinsi Riau dari 27,45 % pada tahun 1994 menjadi 30,89 % pada tahun 1996 mengakibatkan jumlah penduduk yang mencari kerja di propinsi ini juga meningkat. Hasil sensus tahun 2000 menunjukkan jumlah penduduk Riau 4,75 juta jiwa dengan laju pertumbuhan pertahun dari tahun 1990 - 2000 relatif tinggi yaitu 3,99 % Peningkatan jumlah penduduk juga mengakibatkan meningkatnya permintaan akan kebutuhan pokok termasuk permintaan akan sayuran . Tingginya permintaan akan sayuran membuka peluang usaha bagi petani dan pengusaha di daerah ini untuk mengembangkan sayuran terutama sayuran dataran rendah (BPS , BPS Kota Pekanbaru & Bappeda Kodya Pekanbaru , 2000) 2 Daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru merupakan salah satu daerah pengembangan sayuran dengan luas lebih kurang dua puluh hektar dengan kondisi lahan yang relatif datar . Sayuran yang dibudidayakan di daerah ini meliputi bayam yang merupakan jenis sayuran yang paling banyak dibudidayakan , kangkung dan selada. Dewasa ini permintaan pasar dalam dan luar negeri terhadap komoditi sayuran ini mengalami peningkatan. Peluang untuk memposisikan komoditi ini menjadi semakin berarti dalam perekonomian daerah, apalagi Propinsi Riau merupakan daerah segitiga kerjasama pertumbuhan Indonesia, Malaysia dan Singapura (Indonesia Malaysia Singapura Growth Triangle) Meningkatnya permintaan pasar tersebut menyebabkan penanaman sayuran di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru semakin berkembang dan intensif Berkembang dan intesifnya penanaman sayuran di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru ini tentu akan memberikan berbagai dampak terhadap lingkungan sekitamya, baik dampak positif maupun negatif. Dampak positinya meliputi terbukanya lapangan kerja, peningkatan pendapatan petani dan masyarakat sekitamya serta peningkatan harga tanah di sekitar lokasi. Sedangkan dampak negatif meliputi konfik sosial serta berkembangnya populasi serangga hama karena ketersediaan sumberdaya makanan yang terus menerus. Kondisi ini mengharuskan petani untuk mengadakan pengelolaan populasi serangga hama pada areal pertanaman mereka, agar produksi sayuran tetap tinggi dengan mutu yang baik. Salah satu cara pengelolaan hama yang dilakukan adalah dengan mengaplikasikan insektisida. Harga sayuran yang berfluktuasi dan adanya kecenderungan sebagian besar konsumen yang menginginkan produk sayuran yang bebas dari kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama telah mendorong petani untuk meningkatkan aplikasi insektisida, bahkan tidak jarang insektisida itu diaplikasi beberapa hari sebelum panen atau pada saat akan panen. 3 Penggunaan insektisida secara intensif dan kurang bijaksana telah menimbulkan dampak negatif yang telah banyak dilaporkan. Dampak tersebut menurut Oka (1995) dan Untung (1992) meliputi : (1) timbulnya resistensi organisme penggangu tumbuhan terhadap pestisida yang digunakan; (2) timbulnya resurjensi, yaitu meningkatnya populasi organisme penggangu tumbuhan sasaran setelah aplikasi pestisida; (3) ledakan hama sekunder; yaitu hama lain yang masih dianggap tidak membahayakan muncul dan berperan menjadi hama utama; (4) terbunuhnya musuh alami ‘organisme penggangu tumbuhan seperti predator dan parasitoid; (5) terbunuhnya organise bukan sasaran seperti katak, burung, ular dan hewan berguna lainnya; (6) adanya residu pada tanaman budidaya; (7) timbulnya magnifikasi, yaitu makin tingginya kosentrasi residu pada mata rantai makanan berikutnya sebagai akibat penggunaan pestisida yang persisten; (8) terjadinya pencemaran pada tanah, air serta udara; dan (9) menimbulkan keracunan pada manusia seperti keracunan akut dan kronik yang dapat mematikan. Adanya residu insektisida dalam bahan sayuran yang telah melampaui ambang batas yang ditentukan dapat membahayakan kesehatan konsumen, terutama konsumsi sayuran segar sebagai lalap yang tanpa pengolahan terlebih dahulu. Jonathan (1988) melaporkan bahwa kadar residu klorpirifos pada kubis yang baru siap dipanen setara dengan besar dosis yang diaplikasikan. Nurmalah (1992) melaporkan ditemukannya residu insektisida profenofos, deltametrin, klorpirifos dan permetrin pada beberapa sayuran di Lembang, Pengalengan dan Kertasari, Bandung. Harun (1995) yang meneliti residu pestisida pada beberapa sayuran di pasar swalayan dan pasar umum i Bogor juga menemukan adanya residu pestisida pada beberapa sayuran. Residu pestisida yang ditemukan antara lain mankozeb (Dithane M-45) 0,0029 ppm, klorotalonil (Daconil 75 WP) 0,0018 ppm dan metiram (Polycom 80 WP) 0,011 ppm pada buah tomat, sedangkan permetrin (Ambush 20 EC) 0,0014 ppm, kartap hidroksida (Padan 50 SP) 0,0025 ppm dan endosulfan 4 (Fanodan 35 EC) 0,0032 ppm dijumpai pada kubis. Meskipun pada umumnya residu tersebut masih relatif rendah, namun bila dikonsumsi terus menerus dalam waktu yang lama diduga dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Oleh Karena itu untuk menghindari dan mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat pemakaian insektisida sangat diperlukan pemantauan secara rutin baik jenis insektisida, dosis, frekuensi penyemprotan dan rentang waktu aplikasi terakhir dengan panen yang aman. Dalam era perdagangan bebas yang sangat kompetitif proses produksi produk yang kurang memperhatikan lingkungan tentu tidak dapat bersaing di pasar intemasional, termasuk salah satunya yaitu kandungan residu yang terdapat dalam produk tersebut. Negara lain bersikap tegas dalam menetapkan baku keamanan produksi hortikultura. Singapura berkali-kali memusnahkan sayuran yang dipasok dari Tanah Karo, Sumatera Utara karena kandungan residu pestisida yang melebihi ambang batas (Suara Pembaharuan, April . 1995) 1.2, Perumusan Masalah Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan petani sebelumnya, bahwa usaha tani sayuran dataran rendah di daerah Simpang Tiga Kotamadya Pekanbaru telah berkembang pesat dan sangat intensif. Dalam pengelolaan serangga hama petani menggunakan berbagai jenis insektisida seperti Curacron 500 EC (profenofos), Dursban 20 EC (Klorpirifos), Decis 2,5 EC (deltametrin) dan sebagainya untuk mengamankan produksi sayuran mereka. Curacron 500 EC (profenofos) merupakan jenis insektisida yang dominan digunakan oleh petani. Adanya kecenderungan peningkatan pemakaian insektisida dalam rangka peningkatan produksi sayuran , tentu akan menimbulkan dampak negatif yaitu timbulnya resistensi, resurjensi, ledakan hama_sekunder, terbunuhnya musuh alami seperti predator dan parasitoid, terbunuhnya 5 organisme bukan sasaran, adanya residu pada sayuran dan pencemaran pada tanah, air serta udara (Oka, 1995 dan Untung, 1992). Populasi musuh alami yang menurun dapat menyebabkan serangan serangga hama meningkat. Keadaan ini mendorong petani untuk meningkatkan baik frekuensi aplikasi maupun konsentrasi cairan semprot. Adanya kecenderungan sebagian besar konsumen yang menginginkan produk sayuran yang berkualitas baik dan bebas dari serangan hama , telah mendorong petani untuk mengaplikasikan insektisida pada sayuran yang dibudidayakan hingga menjelang panen tanpa mempertimbangkan kandungan residu yang terdapat dalam sayuran tersebut. Cara aplikasi seperti ini tentu akan berdampak buruk terhadap lingkungan yang mana 70% insektisida yang diaplikasikan itu akan jatuh dan mencemari tanah_ serta kemungkinan akan diserap lagi oleh tanaman. Hal ini tentu akan membahayakan Konsumen yang mengkonsumsi sayuran bayam tersebut yang diduga telah mengandung residu insektisida Pemakaian berbagai jenis insektisida tersebut apakah sudah sesuai dengan petunjuk pemakaiannya , rentang waktu aplikasi terakhir insektisida dengan panen apakah sudah aman dan sesuai petunjuk, berapa banyak kandungan residu insektisida yang terdapat dalam sayuran bayam, dampak residu tethadap kesehatan masyarakat serta tingkat pendapatan petani sayur, sedangkan data tentang hal-hal tersebut belum ada. Untuk itu sangat diperlukan penelitian tentang * Kajian Aplikasi Insektisida Curacron 500 EC (Profenofos) Pada Bayam (Amaranthus tricolor. L.) di Daerah Simpang Tiga Kodya Pekanbaru’. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengkaji tingkat pendapatan dan pengetahuan petani tentang insektisida; (2) menguji kadar residu insektisida yang terdapat pada bayam dan dalam tanah dengan berbagai frekuensi 6 dengan kandungan residu pada bayam dan (4) menjajaki dampak residu insektisida tethadap kesehatan petani dan masyarakat. Manfaat penelitian adalah :(1) sebagai umpan balik kepada produsen agar frekuensi dan rentang waktu aplikasi terakhir pestisida lebih diperhatikan untuk menghindari kandungan residu yang membahayakan kesehatan konsumen, (2) informasi bagi konsumen terhadap kandungan residu pestisida dalam sayuran bayam, (3) dasar pemikiran untuk pemantauan residu pestisida berikutnya, dan (4) bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan. 1.4. Hipotesis Berdasarkan permasalahan di atas , maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 4. Intensif dan kurang bijaksananya pemakaian insektisida di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru akan menimbulkan dampak pencemaran pestisida yang tinggi pada sayuran dan pada tanah . 2. Rentang waktu aplikasi insektisida terakhir dengan panen yang sangat dekat akan menyebabkan kandungan residu pestisida yang tinggi pada bayam. 3. Tingginya kandungan residu insektisida yang terdapat pada bayam akan menggangu kesehatan produsen, konsumen yang mengkonsumsinya. il. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pestisida Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama yang berasal dari kata pest (hama) dan cide (membunuh). Pestisida mencakup bahan-bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan jasad hidup yang merugikan manusia, tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, agar kerugian dan gangguan dapat ditekan seminimum mungkin ( Sastroutomo, 1992; Tarumingkeng, 1992; Ware, 1986; Wudianto, 1992). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang pengawasan dan peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain, jasad renik dan virus dan biopestisida yang digunakan untuk memberantas dan mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, pada bagian-bagian tanaman atau hasil pertanian, memberantas guima, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas hama-hama air, memberantas/mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat pengangkutan yang dapat menyebabkan suatu penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan tanaman, tanah dan air (Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida, 1985; Wudianto, 1992). Definisi pestisida menurut The United State Federal Environmental Pesticide Control Act adalah : (1) Semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas, mencegah atau menangkal gangguan oleh serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, bakteri, jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya; 8 (2) Semua zat atau campuran zat yang digunakan sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Natawigena, 1989) 2.2. Penggolongan Pestisida Penggolongan pestisida dapat dikategorikan dari berbagai dasar yaitu 1. Penggolongan berdasarkan jasad sasaran ; Ditinjau dari sasarannya, pestisida dapat digolongkan menjadi akarisida (pembunuh tungau atau caplak), nematisida (pembunuh nematoda), rodentisida (pembunuh binatang pengerat), herbisida (pembunuh gulma), insektisida (pembunuh serangga), dan fungisida (pembunuh jamur atau cendawan). Pestisida yang paling banyak digunakan dalam jumlah yang cukup besar untuk meningkatkan produksi pertanian adalah herbisida, fungisida dan insektisida (Matsumura, 1985; Sastroutomo, 1992; Tarumingkeng, 1992). 2. Penggolongan berdasarkan bahan asal a. Pestisida organik alam, misalnya dari tanaman nimba dan tembakau b. Pestisida organik sintetik seperti klor-organik, fosfat organik, karbamat c. Pestisida an-organik seperti asefat, tembaga sulfat d. Pestisida mikroba seperti bakteri Bacillus thuringiensis Berliner 3. Penggolongan berdasarkan bentuk formulasi pestisida ; a. Granule atau butiran. b. Tepung, seperti tepung yang dapat dilarutkan dalam air (soluble powder) dan tepung yang dapat disuspensikan dalam air (wettable powder). c. Debu atau dust. d. Cairan, meliputi cairan yang dapat diemulsikan dalam air (emulsifiable concentrate) dan cairan pekat yang dapat dilarutkan dalam air (water soluble concentrate). 4, Penggolongan berdasarkan cara kerja pestisida Menurut Ekha (1991) berdasarkan cara kerjanya pestisida dapat dibedakan menjadi empat golongan yaitu : a. Pestisida racun kontak Pestisida jenis ini membunuh jasad sasaran dengan masuk ke dalam tubuh melalui kulit, menembus saluran darah, atau dengan melalui sasaran pemnafasan. b. Pestisida racun perut Pestisida jenis ini mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan bagian tanaman yang terkena pestisida tersebut c. Pestisida sistemik Zat tersebut dapat ditranslokasikan ke berbagai bagian tanaman melalui jaringan. Hama akan mati kalau menghisap cairan tanaman. d. Pestisida Fumigan Zat tersebut mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran terkena uap atau gas. Berdasarkan kandungan bahan aktifnya insektisida dapat digolongkan menjadi: 1. Hidrokarbon berklor e. Hidrokarbon berklor dicirikan dengan: keberadaan atom hidrogen, karbon, Klorin, dan kadang-kadang oksigen, termasuk beberapa ikatan C-CL. b. Keberadaan rantai karbon siklik (termasuk cincin benzena) ©. d. Sedikitnya bagian yang aktif. |. Sifat apolaritas dan lipofilik Sifat ketidakreaktifan dari senyawa tersebut. Insektisida yang termasuk dalam senyawa ini adalah DDT, BHC, klordane, dan dieldrin. 2. Insektisida organofosfat. Lebin dari 30% dari insektisida yang terdaftar adalah organofosfat. Ribuan senyawa organofosfat telah diuji untuk digunakan sebagai insektisida, dan telah banyak ditemukan tentang pengaruh biokimia terhadap syaraf, baik untuk invertebrata maupun vertebrata. Baik fosfat, maupun senyawa organofosfat, mempunyai —_karakteristik © sebagai + penghambat asetilkolinesterase. Insektisida organofosfat digunakan sebagai racun perut dan racun kontak, sebagai fumigan, dan sebagai insektisida sistemik. Bahan aktif profenofos adalah turunan dari fenil organofosfat. Nama kimia profenofos adalah O-(4-bromo-2-klorofenil)-O-etil -S-propil fosforotioat (Worthing 1979). Cara kerja profenofos yaitu sebagai racun kontak dan racun perut, bersifat non-sistemik dan mempunyai spektrum yang luas. Profenofos berupa cairan berwama kuning pucat dengan titik didih 410°C (0,001 mm Hg) dan tekanan uap 1,3 mPA pada 20°C. Massa jenis profenofos 1,455 g/cm? pada 20°C dan dapat larut dalam air pada 20°C dengan konsentrasi 20 mg/l, tetapi profenofos akan lebih cepat larut dalam pelarut organik. Profenofos terhidrolisa pada 20°C dan sifat racunnya akan hilang sebesar 50% (ty) dalam waktu 93 hari pada pH 5, dalam waktu 14,6 hari pada pH 7 dan dalam waktu 5,7 hari pada pH 9 (Worthing 1979). Insektisida ini stabil dalam kondisi netral dan agak asam, tetapi tidak stabil pada kondisi basa (Farm Chemical Handbook1989 dalam Handajani 1996). Rumus bangun profenofos seperti pada Gambar 1 oO Br OP —— OCH,CH; Cl SCHz CH2 CH3 Gambar 1. Rumus bangun profenofos 1 Tabel 1. Nilai LDso dan LCso akut profenofos terhadap beberapa biotik Biotik Eksposur | Pengujian Dosis/Konsentrasi Tikus intra-oral UDso | 744 mg/kg berat badan Inhalasi LCs | > 2,7 mgt udara (4 jam) Kelinci Dermal LDso —_| >2,020 mg/kg berat badan Rainbow Trout | Media Air LCs | 0,025 mg/l (96 jam) Bluegill Sunfish | Media Air LCs | 0,5 ppm (96 jam) Daphnia magna | Media Air LCs | 0,0014mgfl (48 jam.) (Zooplankton) Mallard (aves) | Dietary LCso | 1,646 ppm (8hari dietary) Bobwhite Dietary LCs0 56,97 ppm (8 haridietary) Sumber : http://www.horizononline.com/MSDS Sheets/83. txt Menurut Matsumura (1985), senyawa organofosfat bekerja dengan cara mempengaruhi sistem syaraf. | Mekanisme kerjanya_terhadap metabolisme serangga yaitu menghambat kerja enzim kolinesterase. Gejala yang ditimbulkan oleh senyawa organofosfat adalah tertalu aktif, gerakan tidak terkoordinasi, kejang-kejang dan akhimya menyebabkan kematian. Profenofos digunakan untuk mengendalikan serangga dan tungau (Worthing, 1979). 3. Insektisida Piretroid (Piretrin sintetik) Insektisida deltametrin termasuk dalam golongan piretroid sintetik yang mempunyai toksisitas tinggi terhadap serangga ordo Lepidoptera, Homoptera, Diptera dan Coleoptera. Piretroid alami berasal dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium (Asteraceae). Karena kebutuhan akan senyawa yang lebih stabil di lapangan maka dilakukan modifikasi dari turunan piretrin alami, Insektisida golongan piretroid, khususnya deltametrin mempunyai efek mematikan yang sangat cepat pada serangga, mempunyai toksisitas rendah terhadap mamalia ( Cremlyn, 1980; Squiban et al, 1989). Insektisida ini sangat tidak larut dalam air, tetapi mempunyai kelarutan yang baik dalam beberapa pelarut organik ( Hassall, 1990). Rumus molekul deltametrin adalah C22HgBr2NO3 12 Mekanisme kerja deltametrin terutama mempengaruhi sistem syaraf pusat dan tepi serta merangsang sel-sel untuk menghasilkan impuls syaraf yang berulang-ulang dan akhimya menyebabkan kelumpuhan (Ware, 1986). Gejala keracunan pada serangga yang diberi perlakuan dengan senyawa piretroid berupa timbulnya aktifitas yang berlebihan (hiperaktif), dikkuti dengan gerakan kejang-kejang, kemudian kelumpuhan dan pada akhimnya serangga tersebut mati (Matsumura, 1985). 4, Insektisida Karbamat Insektisida karbamat adalah insektisida anti asetiikholinesterase yang ditemukan setelah fosfat organik. Insektisida karbamat adalah derivate dari fisostigimin (physostigimine, juga disebut inserin), yang merupakan alkoloida utama dari tanaman Physostigma venenosum (kacang kalabar). Fisostigmin merupakan perintang (inhibitor) kolinesterase Walaupun senyawa tersebut efektif sebagai penghambat kholinesterase serangga, tetapi bahan aktif karbamat tidak sesuai sebagai insektisida, karena reaktivitasnya terhadap garam dan pelarut hidroklorid bahkan senyawa tersebut terlalu polar untuk penetrasi kutikula serangga. Insektisida karbamat modem sudah dimodifikasi dengan mengeliminasi bagian yang polar (polar moiety) dari fisostigmin agar supaya karbamat dapat menembus kutikel dan selubung saraf (Tarimungkeng, 1992). Gugus aktif karbamat memiliki keistimewaan yaitu, grup metil bersifat sebagai insektisida, grup aromatik sebagai herbisida dan benzimidazol sebagai fungisida. 5. Insektisida Biologi Bacillus thuringiensis (Bt) B. thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada serangga. Bakteri ini tergolong ke dalam Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacteriles, Famili Bacillacea (Steinhaus, 1949 dalam Trizelia, 1994). 13 Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasiikan oleh serangga, ukuran molekul protein yang menyusun kristal (Burgerjon & Martouret, 1971 dalam Trizelia, 1994) dan susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal (Tyrell ef al, 1984 dalam Trizelia, 1994). Faktor yang ada pada serangga yang mempengaruhi toksisitas B thuringiensis adalah perbedaan keadaan pada saluran pencernaan larva, seperti apabila pH dalam mesenteron di atas 8,9 Kristal akan larut dan mengeluarkan toksin (Deacon, 1983 dalam Trizelia, 1994) 2.3. Residu Pestisida dalam Tanaman Yang dimaksud dengan residu adalah bahan kimia pestisida yang terdapat di atas atau di dalam benda dengan implikasi waktu atau penuaan (aging), perubahan kimia (alteration) atau kedua-duanya (Tarumingkeng, 1992). Menurut Mc Ewen dan Stephenson (1979), residu pestisida dalam bahan makanan khususnya sayuran, selain dari pestisida yang langsung diaplikasikan pada tanaman dapat juga karena terkontaminasi atau karena tanaman ditanam pada tanah yang mengandung residu pestisida yang persisten. Menurut Sutamihardja et al, (1982), tidak hanya gulma yang dipengaruhi oleh pestisida, tetapi juga beberapa jenis tumbuhan seperti tanaman sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman makanan lainnya. Hal ini disebabkan pada waktu aplikasi pestisida terhadap hama dan penyakit tanaman, terjadi deposit pestisida dan akhimya menjadi residu pada tanaman tersebut, Pada lingkungan alami pestisida dipindahkan ke berbagai bagian lingkungan pada permukaan tanah (akibat erosi), aliran air, sungai dan laut, 14 angin dan berbagai jasad hidup yang berpindah tempat. Komponen- komponen lingkungan seperti unsur-unsur hayati, suhu, air dan udara merubah pestisida melalui mekanisme biologi, fisik , kimia atau biokomia menjadi bahan-bahan lain yang masih beracun atau bahan yang toksisitasnya telah hilang sama sekali (Le Grand, 1970; USDA, 1990; Tarumingkeng, 1992) Jumlah residu yang tertinggal pada tanaman tergantung antara lain cara, waktu, banyak aplikasi dan dosis tiap aplikasi. Hasil penelitian Dibyantoro (1979) ; Ahmed & Ismail (1995) menyatakan bahwa semakin dekat rentang waktu aplikasi terakhir dengan panen residu yang tertinggal pada tanaman semakin banyak seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2 dan Tabel 3, Tabel 2. Residu insektisida diazinon pada selada pada interval waktu yang berbeda sebelum panen { Konsentrasi Aplikasi Hari Jumiah Residu | | celliter air (sebelum panen) | (ppm) | 6,70 5,10 3,40 1,90 1,50 0,80 2,50 NAR OMVso Sumber : Dibyantoro, 1979 Tabel 3. Residu metomil yang dideteksi pada strawberri, tomat dan ketimun setelah beberapa hari aplikasi —_ an ketimun setelah beberap: ip ee RESIDU" (ppm) = | ee Strawberti Tomat Ketimun oo 2,20 170 [ 7,90 1 1,90 1,50 1,40 3 1,20 0,80 7,08 7 0.55 0,20 061 14_| O17 0,07 0,19 24 0,03 ND® 0.04 ® Rata rata dari tiga analisis ° ND, Tidak Terdeteksi Sumber : Ahmed & Ismail (1995) Menurut Susilo (1986) dan Satroutomo (1992), sebagaian besar (90%) dari pestisida khususnya organokhlorin yang diserap ‘oleh manusia adalah melalui rantai makanan. Senyawa ini dapat bertahan lama di alam dan akan tertimbun di dalam badan hewan dan manusia melalui sistem makanan. Kebanyakan tertimbun dalam jaringan lemak baik pada hewan maupun manusia. Untuk menelaah tersebut dikemukakan suatu model kualitatif perjalanan pestisida formulasi ECWP seperti terlihat pada Gambar 2 (Oka dan Sukardi, 1982). a rare kowe | Ftttemon Se Perma mo ron as Fi 7 | Akumulasi “ Tanamari, Resid) * Hewan Hewan ‘Manusia | Hidroisis |Dirubah) — Herbivora— OmniKarnivora i Biodegradasi| Hantenr vee tain Oana t co cee, a ese Gambar 2. Model kualitatif perjalanan pestisida formulasi ECWP setelah diaplikasikan Penelitian Rengam (1992) dan Sumatra (1991) menginformasikan bahwa penderita kelompok semar/akut memperoleh residu pestisida baik dari lingkungan maupun dari dalam makanan seperti air susu ibu, sayuran dan air minum. Soemarwoto et al, (1978), membuktikan bahwa dari empat jenis sayuran yang dijual di pasar Kosambi Bandung ditemukan 2 - 4 mg/kg residu pestisida jenis diazinon pada wortel. Residu pestisida pada produk pertanian sangat berbahaya karena efek toksiknya yang akumulatif dan kronis antara lain sebagai zat karsinogenik, 16 menyebabkan cacat lahir atau keguguran, perubahan materi genetik dan sebagainya (Mott &Snyder, 1987). Badan perlindungan lingkungan AS, EPA memperkirakan bahwa residu telah menyebabkan penyakit kanker bagi sekitar 6000 orang per tahun (secara kasar dalam 417.000 jiwa untuk populasi 2,5 milyar) (Buzby et al, 1997), Keracunan akut pestisida di Indonesia tahun 1979 — 1986 terjadi pada 2.671 orang dengan jumlah yang meninggal 2.092 orang. Kasus tersebut terjadi di 24 propinsi yang tersebar di 98 wilayah kabupaten (Kusnoputranto, 1995). Keracunan kronis akibat pestisida berupa gangguan kesehatan karena seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung residu pestisida. Untuk melindungi konsumen atau masyarakat dari bahaya keracunan pestisida, WHO/FAO telah menetapkan batas maksimum atau toleran berdasarkan Maximum Residue Limits (MRL) yang boleh terkandung dalam makanan atau komoditas pertanian. MRL dinyatakan sebagai banyaknya residu pestisida untuk setiap berat bahan makanan. Penentuan batas maksimum didasarkan dan dihitung dari nilai Acceptable Daily Intake (ADI). ADI didefinisikan sebagai jumlah residu pestisida yang boleh dicema selama satu hari, yang tidak memberikan pengaruh jelek terhadap kesehatan manusia. Menurut FAO/WHO (1966); Uclaf (1982), MRL dapat dihitung dengan menggunakan rumus ADI x BW x 1000 mg/kg Dimana: MRL = Maximum Residue Limits ADI = Acceptable Daily intake (mg/kg berat badan) BW = Berat badan rata-rata (kg) M_— = Jumiah makanan yang dikonsumsi (food intake)(gr) 7 Banyak negara industri membuat peraturan yang cukup ketat untuk menekan penggunaan pestisida, dan mulai mengembangkan_ strategi pengelolaan hama altematif. Sebagai konsekuensi dari kebijaksanaan ini, kontaminasi dalam makanan menunjukkan penurunan. Pemerintah melalui Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No.881 dan 771 tanggal 22 Agustus 1996 menerbitkan penetapan Batas Maksimal Residu pada 218 jenis pestisida yang beredar di Indonesia. Dalam pelaksanaan di lapangan cukup banyak kasus yang sama sekali tidak tersentuh keputusan bersama yang telah dibuat. Pestisida merupakan masukan teknologi yang dianggap tidak dapat digantikan pada situasi mempertahankan swasembada pangan meskipun peraturan yang dibuat sudah cukup baik, termasuk pelarangan penggunaan 57 jenis pestisida pada tahun 1986 untuk tanaman padi (Sutanto, 2002) Usaha pemerintah untuk menerbitkan Keputusan Bersama tentang BMR relatif terlambat karena negara lain mulai melaksanakan pemantauan dan pengawasan BMR secara terprogram sejak tahun tujuh puluhan. Sebagai contoh Negara Swedia, melalui Badan Pangan Nasional (NFA) telah melaksanakan pemantauan residu pestisida pada sayuran dan buah sejak tahun 1972 (Anderson dan Heliquist, 1996 dalam Sutanto, 2002) 2.4, Degradasi Residu Pestisida Residu pestisida dapat hilang atau terurai, proses ini kadang-kadang berlangsung dengan konstan. Faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah penguapan, pencucian, pelapukan, degradasi enzimatik dan translokasi. Dalam jumlah yang sedikit, pestisida dalam tanaman dapat hilang sama sekali karena proses metabolisme yang berkaitan dengan proses pertumbuhan tanaman itu sendiri. Degradasi residu pestisida mengikuti Hukum —Kinetika Ordo Utama yaitu berhubungan dengan banyaknya 18 pestisida yang diberikan (deposit) dan faktor waktu akan diperoleh garis lurus seperti Gambar 3 (Tarumingkeng, 1992). Log Deposit waktu Gambar 3. Degradasi Pestisida dalam Lingkungan Keterangan; a. — Menurut Hukum Kinetika Ordo Utama b. — Keadan yang beriangsung di alam Menurut Tarumingkeng (1992) dan Matsumura (1985) residu permukaan dapat hilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan dan hidrolisis. Pembilasan bukan hanya untuk pestisida yang larut dalam air, tetapi juga terhadap pestisida lipofilik. Dalam waktu 1-2 jam setelah tanaman dipertakukan dengan pestisida, kemungkinan besar 90 deposit telah hilang karena tercuci jika terjadi hujan, sisanya terurai oleh sinar ultraviolet. Menurut Matsunaka (1972) beberapa pestisida hilang setelah digunakan karena tercuci oleh air hujan, penguapan spontanitas atau terjadi degradasi oleh sinar matahari pada permukaan daun. Beberapa pestisida yang bersifat sistemik dapat masuk ke dalam jaringan tanaman sehingga hasil metabolisme dapat membentuk senyawa lain atau tertinggal dalam tanaman. Ahmed & Ismail (1995) menyatakan pembilasan air dapat mereduksi pestisida sangat tinggi pada interval awal atau permulaan seperti yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Efek pembilasan air terhadap residu metomil yang diperlakukan pada strawberri, tomat dan ketimun ‘Strawbert Tomat Ketimum Waktu | Ratarata ] Reduksi | Raterata ] Reaursi | Rates | Recuksi residu %) residu (%) residu Co) (ppm) (ppm) (ppm) 0 1,20 5 410 34 130 | 32 1 4,10 at 0.90 | 40 1,06 _ 24 3 0,79 35, 0,63 23, 0,88 18 T 0.37 32 0.13 33 0.39 36__| 14 0,12 27 0,07 65 ota | 28 Sumber : Ahmed & Ismail (1995) Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap insektisida pada kubis telah dipelajari oleh Santoso dan Wirawan yang dikutip oleh Tjahyadi dan Gayatri (1994). Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa pencucian dan pemasakan dapat menurunkan kandungan residu beberapa jenis insektisida pada kubis seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap kadar residu insektisida pada kubis aa Kadar Residu (ppm) Insektisida Tidak dicuci Dicuct Dimasak Diazinon 1,88 0.32 0,14 Monokrotofos 1,93 4,01 0,23, Profenofos 4,57 1,21 0,29 ‘Sumber : Tjahyadi & Gayatri (1994) Dalam aplikasinya sebagian besar pestisida akan jatuh ke tanah dan membentuk deposit. Deposit pestisida dalam tanah dipengaruhi oleh : (1) kemampuan absorbsi pestisida oleh partikel-partikel tanah dan bahan organik; (2) pencucian (washing-off) oleh air hujan; (3) penguapan, terutama penguapan air; (4) degradasi atau aktivasi oleh jasad renik dalam tanah ; (5) dekomposisi fisikokimia maupun aktivasi yang terjadi karena kondisi dan komponen-komponen tanah yang bersifat katalisator, (6) dekomposisi oleh cahaya matahari (photodecomposition); (7) translokasi melalui sistem hayati (biological system) baik tanaman maupun binatang ke lingkungan yang lain. Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah menghambat penguapan 20 pestisida. Kelembaban tanah, kelembanan udara, suhu tanah dan porositas tanah merupakan faktor-faktor lain yang juga menentukan penguapan pestisida. Penguapan pestisida biasanya terjadi bersama-sama dengan penguapan air yang sering disebut ko-destilasi (co-destilation) (Tarumingkeng, 1992). 2.5. Tanaman Bayam Tanaman bayam bukan merupakan tanaman asli Indonesia melainkan berasal dari Amerika tropika. Dalam perkembangannya, dari Amerika Latin bayam dipromosikan sebagai tanaman sumber protein, terutama bagi negara berkembang (Rukmana, 1994) Keluarga bayam-bayaman (Amaranthaceae) terdiri dari banyak spesies. Klasifikasi secara umum menurut Benson (1957) adalah sebagai berikut : Divisi Spermatophyta Klas 2 Angiospermae Subklas : Dieotyledone Ordo : Caryophylales Family : Amaranthaceae Genus ‘Amaranthus Spesies 2: Amaranthus tricolor Bayam mengandung gizi yang tinggi dengan komposisi zat gizi yang lengkap. Komposisi zat gizi yang terdapat dalam tiap100 gram bayam adalah kalori 20 kal; protein 2,40 gr; lemak 0,30 gr; karbohidrat 3,20 gr; kalsium 81 mg; fosfor 55 mg; zat besi 3,0 mg; vitamin A 9.420 SI; vitamin B1 0,10 mg; vitamin B2 0,20 mg; vitamin C 59,0 mg; niacin 0,60 mg; dan serat 0,60 mg. Selain itu bagian akar bayam dapat menyembuhkan berbagai_penyakit seperti menurunkan panas, kencing manis, diare, membersihkan darah dan sebagainya. Tanaman bayam juga dapat dimanfaatkan untuk perawatan kesehatan dan merawat rambut agar tumbuh sehat (Bandini & Aziz, 1999). 21 Bayam mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tumbuh, sehingga dapat ditanam di dataran rendah sampai pegunungan (dataran tinggi ) lebih Kurang 2000 meter dari atas permukaan laut. Tanaman bayam dapat tumbuh kapan saja baik pada waktu musim hujan maupun musim kemarau, Tanaman ini membutuhkan air cukup banyak sehingga paling tepat ditanam pada awal musim hujan yaitu sekitar bulan Oktober — November. Namum demikian tanaman ini dapat juga ditanam pada awal musim kemarau yaitu sekitar bulan Maret — April. Bayam sebaiknya ditanam pada tanah yang gembur dan cukup subur, karena tekstur tanah yang berat akan menyulitkan produksi dan panennya. Tanah netral ber-pH 6 — 7 paling baik untuk bayam agar dapat tumbuh dengan optimal (Nazaruddin, 1995). Menurut Edmon et a., (1951), pertumbuhan bayam dipengaruhi oleh suhu dan panjang hari. Bayam termasuk tanaman hari panjang. Pada periode hari pendek tanaman ini biasanya membentuk daun dan batang, sedangkan pada periode hari panjang membentuk bunga dan buah (bij). Bayam termasuk tanaman pencinta cahaya, untuk pertumbuhannya bayam memerlukan cahaya matahari penuh (Harjadi, 1989). Dalam kenyataan di lapangan, penggolongan jenis bayam dibedakan atas dua macam, yaitu bayam liar dan bayam budidaya. Bayam liar itu sendiri dikenal dua jenis yaitu bayam tanah (A. blitum L.) dan bayam berduri (A. spinosus .). Kedua jenis bayam ini umumnya tumbuh liar, artinya jarang atau tidak diusahakan orang. Ciri utama bayam liar adalah batangnya merah dan daunnya kaku (kasap). Jenis bayam budidaya dibedakan atas dua macam yaitu bayam cabut atau bayam sekul alias bayam putih (A. tricolor L.) dan bayam tahunan atau bayam skop. Bayam cabut memiliki ciri-ciri yaitu batang kemerah-merahan atau hijau keputih-putihan dan mempunyai bunga yang kelvar dari ketiak cabang. Bayam cabut yang batang merah disebut bayam merah sedangkan batangnya putih disebut bayam putih. Bayam tahunan, bayam skop atau bayam kakap (A. hybridus L.) dengan ciri-cirinya memiliki daun lebar-lebar yang dibedakan atas dua spesies yaitu A. 22 hybdridus caudatus L., memiliki daun agak panjang dan runcing, bewarna hijau kemerah-merahan atau merah tua dan bunganya tersusun dalam rangkaian panjang terkumpul pada ujung batang sedangkan A. hybridus paniculatus L. mempunyai dasar daun yang lebar sekali, bewama hijau, rangkaian bunga panjang tersusun secara teratur dan besar-besar pada ketiak daun (Rukmana, 1995) Hingga saat ini terdapat sekurang-kurangnya tujuh varietas bayam yang dinyatakan unggul, dan masih mungkin terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada skala budidaya intensif dan komersil bayam tahunan diusahakan sebagai bayam cabut. Tujuh varietas bayam unggul pilinan yang dievaluasi selama 4 tahun percobaan di Balai Penelitian Hortikultura Lembang yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Sifat Agronomi tujuh varietas bayam a Produksi Varietas Ciri Tanaman (ton/ha) Giti Hijau 640 | Sedikit bercabang, batang dan daun bewama hijau muda Giti Merah 7,90 | Sedikit bercabang, batang bewama kemrah-merahan dan daunnya belang merah Maksi 73,20 | Hampir tidak bercabang, batang dan daun bewamna kekuning-kuningan, bunga bergerombol pada uj Raja 75,80 | Bercabang banyak, batang dan daun bewama hijau kekuning-kuningan Betawi 7,10 _ | Bercabang sedikit, batang dan daun bewama hijau tua ‘Skop 71,30 | Bercabang cukup banyak, batang bewama kemerah- ‘merahan, daun hijau keputin-putihan sampai hijau muda Hijau 9,10 | Bercabang sedikit, batang dan daun bewama hijau keputih- putihan Sumber : Sunarjo (1986) dalam Rukmana (1995) Beberapa varietas bayam cabut unggul lainnya adalah cempaka 10 dan Cempaka 20 dari PT. Est-West Seed Indonesia (Rukmana, 1996) Dalam budidaya bayam sering dijumpai berbagai kendala, khusus gangguan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) antara alin : 1. Hama yang sering menyerang daun bayam adalah Spodoptera litura, Lamprosema indica, Chrysodeixis chalcites, Crocidolomia binotalis, Plutella xylostella, Plusia signata, Aphis sp., Locusta sp. dan Bemisia 23 tabaci. Gejala yang ditimbulkannya pada daun sayuran dapat berupa gejala berlubang, menguning, menggulung, memutih dan mengeriting (Tim Penulis PS, 1992) . Saat bayam masih muda sering diserang oleh penyakit rebah kecambah (damping off) akibat keadaan tanah terlalu lembab atau becek. Penyakit ini dapat ditanggulangi dengan memperbaiki drainase dan mencabut tanaman yang terserang parah. Gejala yang ditunjukkan adalah pertumbuhan kecambah yang tidak normal, berbatang lemah, dan rebah. Penyakit rebah kecambah ini disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani dan Phytium sp. yang umum menyerang berbagai jenis sayuran terutama di persemaian. . Penyakit karat putih yang disebabkan oleh cendawan Albugo candida. Gejala serangan yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah terbentuknya bercak-bercak putih yang agak melepuh pada daun terutama pada sisi bawah . Dilaporkan juga adanya penyakit busuk batang dan cabang oleh cendawan Rhizopus sp., juga busuk daun tua oleh cendawan hitam mengkilat Choanephora cucurbitacum . Penyakit virus keriting mulai ditemukan di Balithor Lembang dengan gejalanya terdapatnya bercak-bercak pada daun, permukaan daun mengkerut, warna daun keseluruhan agak menguning dan belang-belang (mosaik). Jenis virus yang telah diketahui adalah Cucumber Mosaic Virus (CMV). Usaha pengendalian penyakit virus ini adalah dengan mencabut tanaman yang sakit dan melakukan pergiliran tanaman (rotasi) dengan tanaman yang tidak sefamili dengan Amaranthaceae . Gulma tanaman gelang (Portulaca oleracea) dan rumput liar lainnya, Kehadiran gulma gelang dapat menurunkan produksi bayam antara 30,56 - 63,10%. Usaha pengendaliannya adalah dengan sejak awal melakukan penyiangan sekaligus menggemburkan tanah. 24 Ill. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian yang dilaksanakan terbagi dalam tiga kegiatan. Pertama adalah wawancara dan pengisian kuesioner terstruktur dengan petani; kedua penanaman sayuran bayam di areal milik petani di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru; dan ketiga analisis residu insektisida dalam contoh sayuran bayam di Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan limu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang dan UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi Sumatera Barat. Peneiitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yaitu sejak bulan April hingga Juli 2002. 3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi benih bayam varietas lokal, pupuk kandang ayam petelur, pupuk urea, petroleum eter, asetonitril, natrium Klorida (NaCI), dietil eter, sodiumsulfat anhidrat (NasSO, ), florisil, aquades (bebas ion), aseton, insektisida profenofos, Klorpirifos dari Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Curacron 500 EC dan bahan-bahan kimia lainnya yang diperlukan untuk analisis residu. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi cangkul, alat tulis, hand sprayer, labu ukur, jarum suntik, termos, pisau, blender, corong pemisah (separatory funnel), corong bunchner (bunchner funnel), tabung penguap (evaporatory flask), labu erlenmeyer, alir udara cepat (air jet flow), pipet, penguap berputar (rotary evaporator), lemari pendingin (freezer) untuk menyimpan contoh dan hasil ekstraksi sebelum dianalisis, gelas ukur, kertas saring, batu didih, timbangan (balance), seperangkat GC dan alat-alat lain yang membantu untuk analisis residu pestisida. 25 3.3. Metode 1. Dampak biologi dan ekonomi Untuk mengevaluasi dampak biologi (jenis hama /penyakit yang banyak menyerang) dan ekonomi (pendapatan petani sayur, tenaga kerja, pendidikan) dilakukan dengan cara wawancara dan pengisian kuesioner terstruktur oleh petani sayur di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru . Petani yang diwawancarai dipilin secara random/acak agar semua petani mempunyai peluang yang sama . Jumlah petani yang diwawancarai sebanyak dua puluh orang dari dua kelompok tani yakni kelompok tani Suka Makmur dan kelompok tani Karya Nyata (sepuluh orang tiap kelompok tani). Untuk data seperti kondisi umum lokasi, dampak ekonomi, kesehatan masyarakat dan lainnya diperoleh dari data sekunder. 2. Dampak residu insektisida Untuk evaluasi dampak aplikasi insektisida dilakukan percobaan pada areal milik petani dengan membuat petak-petak percobaan yang berukuran ukuran 0,50 x 0,50 meter. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan ‘Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan yaitu A= Aplikasi insektisida satu kali pada umur 8 hari setelah tanam B = Aplikasi insektisida dua kali pada umur 8 dan 13 hari setelah tanam C = Aplikasi insektisida tiga kali pada umur 8, 13 dan 18 hari setelah tanam D = Kontrol (tanpa aplikasi insektisida) Letak plot perlakuan disajikan pada lampiran 1 Periakuan A, B dan C didasari dari hasil survei pendahuluan yang mana terdapat petani yang melakukan aplikasi insektisida sebanyak satu kali, dua kali dan tiga kali . Sebagai perbandingan dilakukan pula pengambilan sampel tanaman bayam yang diproduksi oleh petani sayur di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru secara acak sebanyak empat contoh dari ‘empat orang petani. 26 3.4. Pelaksanaan. 1. Persiapan lahan Tanah dicangkul dengan kedalaman 25 - 30 cm, dihaluskan, dibuat petak-petak percobaan dengan ukuran 0,50 x 0,50 m, lalu diratakan permukaannya. 2. Penyemaian Penyemaian benih bayam dilakukan dengan cara menebarkan langsung pada lahan. Untuk mempermudah cara penebaran, benih bayam dicampur dengan pasir halus secara merata dengan perbandingan 1 : 10 lalu disebar merata di lahan. Setelah penebaran benih bayam, lahan diberi pupuk kandang lalu disiram hingga cukup basah agar benih bayam cepat berkecambah. Kebutuhan benih bayam berkisar antara 0,5 — 1,0 gram tiap m?atau 5 -10 kg per hektar. 3. Pemupukan Pemupukan dilakukan pada umur sepuluh hari setelah tanam dengan pupuk urea sebanyak 200 — 300 kg/ha. Pemberian pupuk urea ini dilakukan dengan cara ditebar langsung pada tanaman bayam. 4. Aplikasi Insektisida Penyemprotan insektisida dilakukan sesuai dengan perlakuan. Konsentrasi yang dipergunakan adalah konsentrasi anjuran seperti tercantum pada label insektisida Curacron 500 EC yaitu 1,50 mi/L air dengan volume semprot sebanyak 600 liter per hektar atau sama dengan 60 mi/m? 5. Panen Pemanenan bayam dilakukan dengan cara mencabutnya setelah tanaman tersebut berumur 20 hari. 27 6. Pengambilan Contoh Tanaman Bayam Pengambilan contoh tanaman bayam untuk masing-masing perlakuan dilakukan secara acak dalam hirarki atau pengambilan contoh bertahap ganda (multi-stage sampling) yaitu petak contoh dibagi ke dalam dua puluh lima bentuk persegi empat yang teratur atau serupa dan kemudian dipilih lima diantaranya secara acak seperti yang disajikan pada Lampiran 2. Tanaman bayam yang terdapat dalam lima persegi empat tersebut dicabut yang jumlahnya berkisar antara 25-30 tanaman Contoh-contoh tanaman bayam yang telah diambil dimasukkan kedalam plastik , diberi label lalu dimasukkan ke dalam termos yang telah diberi es batu dan kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. 3.5. Pengamatan 1. Persentase Serangan Penghitungan persentase serangan hama dari masing-masing sampel dilakukan pada saat panen dengan cara membandingkan jumiah tanaman yang terserang dengan jumiah total tanaman dari masing masing sampel. x = «100 % N Dimana: P= persentase serangan jumlah tanaman yang terserang N = jumlah tanaman seluruhnya 2. Intensitas Serangan Pengamatan intensitas serangan hama dari masing-masing sampel dilakukan pada saat panen dengan cara menentukan skala kerusakan dari masing-masing tanaman yang terserang. Intensitas serangan dapat dihitung dengan menggunakan rumus : 28 k (nxvi) l= 5———— x 100% mt Nx Z Dimana: | intensitas serangan n banyak tanaman yang rusak pada nilai skor ke-I vi nilai skor ke-i N jumiah tanaman total z nilai skor tertinggi Nilai skor dengan tingkat kerusakan dapat dilihat pada Tabel 7 Tabel 7. Nilai skor dengan tingkat kerusakan Nilai skor Tingkat kerusakan kerusakantanaman 0% kerusakan tanaman 0< x $25% kerusakan tanaman 26 < x 350% kerusakan tanaman 51 < x $75% kerusakantanaman x > 75% ReENao| 3. Analisis Residu Insektisida Analisis residu insektisida dilakukan berdasarkan metode Mann (1978) dengan menggunakan GC (Shimadzu GC-4CM) yang dilengkapi dengan detektor ECD (Electron Capture Detector) dan FID (Flame lonization Detector). Tahapan analisis residu insektisida pada metode ini yaitu : (a) pembuatan larutan standar (larutan baku), (b) ekstraksi contoh tanaman, (c) pemumian (clean up), dan (d) determinasi dan analisis kuantitatif (perhitungan kadar residu). a. Pembuatan Larutan Standar Pembuatan larutan standar dilakukan sesuai dengan _insektisida yang akan dianalisis yaitu insektisida profenofos dan klorpirifos, yang dicampur dengan pelarut asetonitril. Konsentrasi larutan standar yang 29 dengan pelarut asetonitril, Konsentrasi larutan standar yang digunakan adalah 1 ppm. Penetapan puncak (peak) larutan standar dilakukan dengan menggunakan GC. b. Ekstraksi Contoh Sayuran dan Tanah Tahapan ekstraksi sayuran bayam adalah sebagai berikut : (1) contoh sayuran dirajang, diambil secara acak sebanyak 20 gram tiap plot, kemudian ditambahkan 100 ml campuran petroleum eter dan dietil eter (PE - DE 50/50), lalu diblender selama 3 menit dengan kecepatan tinggi (1 000 rpm); (2) ekstrak disaring dengan menggunakan corong bunchner dan ditampung dalam labu penguap 200 mi; (3) blender dibilas dengan 50 ml PE-DE 50/50; (4) ekstrak dikisatkan dengan penguap berputar yang diletakkan dalam penangas air (water bath) pada temperatur antara 40 — 60 °C, hingga larutan diperkirakan tersisa 2 ml. ‘Tahapan ekstraksi tanah adalah sebagai berikut : (1) contoh tanah di sekitar perakaran pada kedalaman 5,0 cm diambil secara acak sebanyak 20 gram tiap plot, kemudian ditambahkan 100 ml campuran petroleum eter dan dietil eter (PE - DE 50/50) dan diaduk: (2) ekstrak disaring dengan menggunakan corong bunchner dan ditampung dalam labu penguap 200 ml; (3) tabung erlenmeyer dibilas dengan 50 ml PE-DE 50/50; (4) ekstrak dikisatkan dengan penguap berputar yang diletakkan dalam penangas air (water bath) pada temperatur antara 40 - 60 °C, hingga larutan diperkirakan tersisa 2 ml. ¢. Pemumian (clean up) Langkah selanjutnya setelah ekstraksi adalah memumikan ekstrak melalui kolom kromatografi (clean up) yang telah diisi florisil dan sodium sulfat anhidrat yang telah diaktivasi pada suhu 120° C selama 5 jam. Elusi dengan larutan 15% eter dalam petroleum eter. Eluat (hasil pemumian) ditampung dalam labu penguap 200 mi, kemudian dikisatkan dengan 30 penguap berputar hingga agak kering (1 mi), larutan dipindahkan ke dalam tabung uji dengan bantuan larutan aseton hingga volume 5 ml. d. Determinasi dan Analisis Kuantitatit Determinasi dan analisis kuantitatif dapat dilakukan setelah GC dalam kondisi siap pakai (standar). Kondisi tersebut biasanya dicapai pada suhu kolom 200 °C, suhu injektor 230 °C, kedepatan alir nitrogen (N2) 40 ml/mt, hidrogen 1,3 kg/cm’, dan tekanan udara 1 kgicm?. Dalam kondisi tersebut analisis dapat dilakukan dengan menyuntikan 5 ul larutan standar atau larutan contoh ke dalam GC yang akan menghasilkan kromatogram dengan waktu retensi/tambatan tertentu. Kosentrasi residu insektisida dalam contoh dapat dihitung dari grafik kromatogram yang dihasilkan, kemudian dibandingkan dengan kromatogram standar. Kadar residu yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium dapat dihitung dengan menggunakan rumus Sx Ngs Fy Kadarresidu = ——-—- x x - ppm Ulx Ss w dimana : Sx = puncak grafik tertinggi Uk = volume ekstrak contoh tanaman yang disuntikkan (1) Ngs = jumlah insektisida standar yang disuntikkan (1!) Ss = puncak graf tertinggi standar Fv = volume akhir ekstrak (ml) W_ = berat contoh tanaman yang digunakan (gr) 4. Data penunjang Data penunjang yang dicatat meliputi curah hujan , suhu harian, lamanya penyinaran , kelembaban udara yang diambil dari stasiun BMG bandara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru. 31 3.6. Analisis Data Data dari kuesioner ditabulasikan lalu dihitung persentase masing- masing bagian, sedangkan data yang didapat dari percobaan lapangan dianalisis secara statistik dengan ji lanjutan Duncan New Range Multyple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5 %. 32 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Propinsi Riau terdiri atas daerah daratan dan perairan dengan luas lebih kurang 329.867,61 km? yang mana 71,33% merupakan daerah lautan dan hanya 28,67% daerah daratan. Keberadaan propinsi ini membentang dari lereng Bukit Barisan sampai Laut China Selatan, terletak antara 1°15’ Lintang Selatan sampai 4° 45 Lintang Utara. Di daerah ini terdapat 15 sungai, diantaranya ada empat sungai yang mempunyai arti penting sebagai sarana perhubungan seperti Sungai Siak (300 km) dengan kedalaman 8 - 12 m, Sungai Rokan (400 km) dengan kedalaman 6 - 8 m, Sungai Kampar (400 km) dengan kedalaman lebih kurang 6 m dan Sungai Indragiri (500 km) dengan kedalaman 6 - 8 m. Ke empat sungai yang membelah dari pegunungan dataran tinggi Bukit Barisan bermuara ke Selat Malaka dan Laut China Selatan itu dipengaruhi pasang ‘surut laut. Batas-batas daerah Riau adalah : -Sebelah Utara __: Selat Singapura dan Selat Malaka - Sebelah Selatan: Propinsi Jambi dan Selat Berhala -Sebelah Timur _: Laut China Selatan - Sebelah Barat _: Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Sumatera Utara Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000 — 3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Rata-rata hujan setahun pada tahun 2000 tercatat 154 hari, jika dibandingkan banyaknya hari hujan dalam tahun 2000 dengan banyaknya hari hujan pada tahun 1999 terjadi peningkatan yang cukup tajam. Daerah yang paling sering terjadi hujan adalah Kepulauan Riau dan Batam yaitu 212 hari serta Kota Pekanbaru 192 hari. Menurut data dari Stasiun Meteorologi Bandara Sultan Syarif Qasim II, suhu rata-rata di kota Pekanbaru tahun 2000 adalah 27,0 °C dengan suhu maksimum 35,2 °C dan 33 suhu minimum 20,9 °C, kelembaban maksimum antara 98% - 100% dan kelembaban minimum antara 41% - 59%, tekanan udara antara 1.006,6 — 1.013,8 milibar dan kecepatan angin 7 — 12 miljam. Kota Pekanbaru berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1987 terdiri atas delapan wilayah kecamatan dengan luas seluruhnya 632,27 km? . Kecamatan yang terdapat di Kota Pekanbaru disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Kota Pekanbaru dirinci per-kecamatan Tahun 2000 No KECAMATAN LUAS WILAYAH (km) 1_| Pekanbaru Kota 2,26 2_| Senapelan 6,65 3_| Sukajadi 5.10 4_| Sail 3,26 5 _| Rumbai 203,03 6 _| Bukit Raya 299,09 7_[Tampan 108,84 8_| Lima Puluh 54,04 Jumlah 632,27 ‘Sumber : Pekanbaru Dalam Angka in Figures, 2000 Kecamatan Bukit Raya merupakan kecamatan yang paling luas (299 km’) dimana penelitian ini dilakukan. Posisi strategis Pekanbaru yang terletak di jalur timur Pulau Sumatera dan mudah dilalui oleh arus lalu lintas dari ujung utara sampai ke ujung selatan memberi dampakipengaruh serta peluang bagi perkembangan perekonomian dan pembangunan Kota Pekanbaru. Sebagian besar wilayah Kota Pekanbaru terdiri atas hamparan dataran rendah yang rata dan sebagian kecil bergelombang dengan aliran Sungai Siak yang membelah dua wilayah. Bagian Utara Sungai Siak mempunyai kontur yang bergelombang dengan ketinggian antara 5 - 50 meter di atas permukaan laut yaitu pada wilayah Kecamatan Rumbai dan sebagian Kecamatan Bukit Raya. Dataran rendah sebagian besar berada pada wilayah sebelah selatan Sungai Siak, dimana pada belahan barat relatif datar dengan ketinggian rata-rata 10 meter 34 di atas permukaan laut dan sedikit bergelombang dengan ketinggian maksimum 30 meter di atas permukaan laut. Struktur geologinya terdiri atas Formasi Minas yang dikelilingi oleh alluvium tua yang berawa-rawa. Formasi Minas ini terdiri dari kerikil, sebaran kerakal, pasir dan lempung yang juga merupakan alluvium namun relatif terkonsolidasi. Adanya sebaran kerakal, kerikil dan pasir menyebabkan daya dukung lahan bagi perkembangan perkotaan pada formasi Minas lebih baik bila dibandingkan dengan alluvium tua dan alluvium muda. Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk Propinsi Riau tercatat 4.733.948 jiwa, yang mana 582.240 jiwa merupakan penduduk Kota Pekanbaru. Data penduduk Kota Pekanbaru pada akhir tahun 1997 tercatat 512.123 jiwa, berarti terjadi pertumbuhan penduduk sebesar 12% selama tiga tahun atau rata-rata 3,99% pertahun. Komposisi penduduk tersebut terdiri dari bermacam-macam suku antara lain : Melayu, Minang, Jawa, Batak, Banjar, Bugis, turunan Cina dan turunan asing lainnya seperti Eropa dan Amerika. Suku Melayu, Minang, Jawa dan Tapanuli merupakan penduduk dengan jumiah terbesar di kota Pekanbaru dengan lokasi pemukiman yang sudah membaur di antara suku-suku tersebut (BPS, BPS Kota Pekanbaru, Bappeda Kota Pekanbaru. 2000). Peningkatan jumlah penduduk yang relatif tinggi tersebut disebabkan oleh pengaruh antara lain : 1. Kota Pekanbaru disamping sebagai pusat pemerintahan, kota ini juga berkembang sebagai pusat pendidikan, perdagangan, jasa dan industri Berkembangnya sentra-sentra industri, perdagangan dan maskapai sing juga mempengaruhi berimigrasinya penduduk ke Pekanbaru; Dalam bidang industri terjadi peningkatan yang cukup tinggi yaitu 2.459 unit usaha pada tahun 1996 menjadi 43.464 unit usaha pada tahun 1999 serta sektor pengembangan dunia usaha berkembang secara pesat dimana indikasi pada tahun 2000 lembaga perbankan terdiri dari milik pemerintah 8 buah dan milik swasta 11 buah. 35 2. Sebagai lintasan antar propinsi yang frekuensinya relatif tinggi memasuki Pekanbaru, terutama sebagai akibat semakin lancarnya sarana transportasi dan komunikasi 3. Pengaruh realisasi kerjasama segitiga indonesia, Melayasia dan Singapore Growth Triangle (IMSGT) 4, Berkembangnya usaha perkebunan swasta nasional dan PT. Perkebunan (PTP) yang lokasinya merupakan daerah Hiterland Kota. 4.2 Keadaan Umum Petani Responden Petani sayur di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru terbagi dalam dua kelompok tani yaitu kelompok tani Suka Makmur dan kelompok tani Karya Nyata. Untuk melihat kondisi umum petani sayur di daerah Simpang tiga Pekanbaru dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kondisi umum petani responden di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru No. Keadaan Petani Responden Jumiah (%) 1 | denis Kelamin © Lakitaki 100 *_Perempuan 0 2 | Umur (tahun) «25-34 50 © 35-44 20 * 45-54 20 2 355 10 3 | Pendidikan © Tidak tamat SD 50 + Tamat SD 25 * SLIP 20 © SLTA Q *_ Sarana o 4 | Tuas lahan yang diusahakn (hektary © 0-025 20 © 025-05 70 * 06-4,0 5 « >10 a 5 | Status lahan © Pinjam 100 * Sewa 0 __¢_Milik sendiri o 36 © | Pengetahuan tentang * Pestisida yang dilarang ° © Pestisida yang dipalsukan ° Residu Pestisida el ‘* Penyebab residu 9 ¢_Bahaya residu 9 7 | Pemakaian Alat Pelindung © Pakai 10 «Tidak pakai 90 & | Frekuensi Penyemprotan © Satu kali 5 © Dua kali 45 «Tiga kali 45 + Empat kali 5 ‘9 | Konsenirasi Penyemprotan © 2tutup (25 mi 15 L) 90 + _3tutup (38 mi/15L) 10 70 | Kelunan yang dialami tidak ada keluhan 75 + pusing 25 © mual dan muntah 10 © gatal-gatal 5 mata perih oO 71 | Penanganan wadah bekas pestisida ‘© dibuang sembarangan 85 + _dikubur 15 12 | Panen dilakukan © 2-3 hari setelah aplikasi 45 © 4-5 hari seteleh apiikasi 50 © _6—7>hari setelah aplikasi 5 73 | Pemasaran hasil produksi + pedagang pengumpul 95 + pasar 5 *__pasar swalayan o 14 | Bantuan teknis yang didapat © penyuluhan 30 __pelatinan 15 15 | Kendaia yang dinadapi © lahan 25 © saprotan 10 * modal kerja 45, *_pemasaran 20 ‘Sumber : Data Primer Dilihat dari kelompok umur, petani responden berumur antara 25 sampai 60 tahun. Umur petani responden terbanyak berada diantara umur 25 sampai dengan 34 tahun yaitu 50%, umur 35 - 54 sebanyak 40% dan sisanya 10% petani yang berumur lebih dari 55 tahun. Ini terlinat sebagian 37 besar petani berada pada usia produktif yang masih dapat diarahkan dan dibina (Gambar 4). Jenis kelamin petani responden semuanya adalah _laki-laki. Berdasarkan suku/asal petani responden sebagian besar (80%) mereka berasal dari pulau Jawa, yang sebagian dari mereka datang langsung sendiri ke Pekanbaru atau melalui program transmigrasi yang telah ditempatkan di daerah Pasir Pengarayan. Mereka yang datang lewat transmigrasi berpindah ke Pekanbaru dengan alasan untuk membuka usaha baru karena di lokasi transmigrasi tanaman karet mereka belum berproduksi. Selain berasal dari Jawa sisanya 20% berasal dari Propinsi Sumatera Utara namun belum ditemukan petani sayur yang berasal dari penduduk asli Riau. BRB HRS RS Jummiah petant (%) ‘Umut (tahun) Gambar 4. Sebaran umur petani sayur Simpang Tiga Kota Pekanbaru Berdasarkan tingkat pendidikannya, umumnya petani responden mempunyai tingkat pendidikan tidak tamat SD sebanyak 50% , tamat SD 20%, pendidikan SLTP 20% , tamat SLTA 10 % dan tidak ada ‘petani responden yang berpendidikan sarjana seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Disamping rendahnya pendidikan yang mereka miliki, bantuan teknis seperti penyuluhan dan pelatihan yang mereka dapat juga masih rendah. Dari data lapangan baru 30% petani sayur Simpang Tiga Kota 38 Pekanbaru yang mandapat penyuluhan dan 15% yang mendapat pelatihan (Gambar 6) suman BReee aE petant 10 “Tingkat penckan Gambar 5. Tingkat pendidikan petani sayur Simpang Tiga Kota Pekanbaru a ‘Bantuan teknis Gambar 6. Jumiah petani yang mendapat bantuan teknis Dalam melakukan kegiatan budidaya sayuran terutama bayam tahap- tahap kegaitan yang dilakukan petani adalah pembukaan lahan, penaburan benih, pemupukan, penyiraman, pengendalian organisme pengganggu tanaman, pemanenan, pemasaran dan penanganan wadah bekas pestisida. a. Pembukaan lahan Berdasarkan status lahan yang mereka olah hampir semua petani responden meminjam lahan kepada pemilik lahan tanpa sewa apapun. 39 Dalam perjanjiannya pemilik lahan dapat mengambil kembali lahan tersebut bila mereka membutuhkan tanpa ada ganti rugi. Pembukaan lahan dilakukan sendiri oleh petani dan keluarganya secara bertahap. Dalam pembukaan lahan ini petani menggunakan herbisida jenis Roundup, DMA-6, Gromoxone S dan Basmilang 480 AS. Herbisida ini disemprotkan pada semak pada lahan yang akan dibuka dan dibiarkan selama 10 hari, Setelah semak-semak itu kering dan mati dilakukan pembakaran dan pembongkaran akar-akar pohon . Tahap selanjutnya dilakukan penebasan dan pembuatan bedengan dengan ukuran 2,5 - 3,0 meter x 20 meter. Untuk memenuhi kebutuhan air penyiraman petani juga membuat satu atau lebih sumur bor. Lahan yang baru dibuka tidak bisa langsung ditanami dengan bayam karena tekstur tanah masih kasar dan bergumpal-gumpal. Biasanya petani menanami lahan tesebut dengan kangkung untuk dua hingga tiga musim tanam agar tekstur tanahnya halus dan tidak bergumpal-gumpal. Petani yang luas lahannya lebih dari 0,5 hektar, pengolahan lahan berikutnya biasanya diupahkan kepada pekerja dengan upah Rp 8000,-/petak. Kegiatan pembukaan lahan dapat dilihat pada Gambar 7 Gambar 7. Kegiatan pembukaan lahan melalui aplikasi herbisida b. Penaburan Benih Benin yang digunakan petani responden adalah benih lokal. Benih ini mereka produksi sendiri di areal pertanaman mereka. Para petani secara 40 bersama-sama dan serentak dalam suatu waktu tertentu menanam bayam dan membiarkannya sampai berbunga. Setelah cukup umur bunganya dipetik, dijemur sampai kering lalu disimpan. Pembuatan benih ini dilakukan secara serentak pada suatu waktu tertentu yang telah mereka sepakati bersama. Bila ada petani yang diketahui memperbanyak benih diluar waktu yang telah mereka sepakati, maka sebagai sangsinya adalah dimusnahkan . Masing-masing petani akan membuat benih bayam ini untuk kebutuhan mereka satu tahun. Bila terjadi kekurangan benih maka mereka dapat membeli kepada teman sesama petani dengan harga Rp 40.000,- Rp.50.000,-/kg. Disamping benih lokal ada juga yang mempergunakan benih bayam cap panah merah yang diproduksi oleh PT. East West Seed Indonesia dengan harga lebih mahal yaitu sekitar Rp.60.000,-/kg. Benih cap panah merah ini hanya mereka pakai untuk bayam merah, dan kangkung, disamping kebutuhannya juga sedikit. Tingginya penggunaan benih lokal ini karena daya kecambahnya tinggi, murah, pertumbuhan bagus dan serentak , tidak cepat berbunga dan harganya juga realtif murah. Keengganan petani menggunakan benih kemasan adalah daya kecambahnya sedang, tidak serentak pertumbuhannya, harganya mahal dan kadang-kadang didapatkan benih-benih yang kadaluarsa. c. Pemupukan Pemupukan awal dilakukan dengan pemberian pupuk kandang. Pupuk kandang yang dipakai adalah kotoran ayam petelur yang didatangkan dari Payakumbuh Propinsi Sumatera Barat sekitar 200 km dari lokasi. Dosis pupuk kandang yang diberikan adalah 100 kg/50m? atau setara dengan 20 ton/hektar. Pemupukan awal dilakukan setelah penaburan benih dengan cara menebarkan secara merata lalu disiram . Pemberian pupuk kandang ini dilakukan tiap kali musim tanam. Pemberian pupuk susulan (urea) dilakukan pada umur 10 hari setelah tanam sebanyak 1-2 kg/50 m?, a d. Penyiraman Kondisi tanah di Kota Pekanbaru relatif datar dengan tekstur tanah yang pada umumnya terdiri dari jenis alluvial dengan pasir. Kondisi tanah yang berpasir ini menyebabkan daya simpan air oleh tanah sangat rendah karena pori-pori tanah sangat besar. Keadaan ini mengharuskan petani melakukan penyiraman pada tanaman sayurnya setiap hari. Sumber air yang mereka gunakan dari sumur bor yang mereka buat dengan bantuan pompa air. Penyiraman dilakukan pada pagi atau sore hari Diprediksi kebutuhan bahan bakar untuk satu petak ukuran 2,5 x 20 m dari penaburan benih hingga panen adalah sebanyak 3 liter premium atau setara dengan 600 liter premium per hektar per musim tanam seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. r we Gambar 8. Kegiatan penyiraman yang dilakukan petani sayur ‘Simpang Tiga Kota Pekanbaru Keterangan A: Sumur bor dan mesin pompa untuk pengambilan air tanah B: Petani sedang melakukan penyiraman sayuran mereka e. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Organisme penggangu yang sering menyerang tanaman mereka adalah hama dan penyakit. Hama yang sering menyerang bayam mereka adalah semut merah (Docichopodidae), belalang (Locusta sp.), Crocidolomia binotalis, kutu daun (Myzus sp.) dan ulat grayak (Spodoptera litura). Semut merah menyerang waktu penaburan benih, dengan membawa benih bayam tersebut ke sarangnya, Ini terlihat setelah benih berkecambah yang mana 42 bedengan ditumbuhi bayam yang tidak merata. Semut merah ini sangat ditakuti oleh para petani sehingga para petani sebelum menaburkan benih, benih direndam terlebin dahulu dalam insektisida selama lima menit. Hama belalang (Locusta sp.) dan C. binotalis merupakan hama yang sering menyerang setelah bayam tumbuh atau berumur sepuluh hari dengan memakan daun-daun bayam tersebut sehingga terlihat daun robek dan bolong. Sedangkan penyakit yang sering menyerang bayam mereka adalah penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan dan penyakit keriting yang disebabkan oleh virus. Penyakit busuk pangkal batang banyak menyerang pada musim hujan, karena kelembaban udara yang tinggi dan kurangnya penyinaran matahari. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan bahan kimia yaitu dengan menyemprotkan pestisida. Pestisida yang banyak digunakan adalah seperti yang terdapat pada Tabel 10. Tabel 10. Pestisida yang digunakan petani sayur di Simpang Tiga Kota Pekanbaru. Jumiah ; Nama formulasi denis | pemakai (%) | Nama bahan aktif ‘Curacron 500 EC inseKiisida 75 Profenofos Dursban 20 EC ** Inseltisida 65 Klorpirifos Decis 2,5 EC Insektisida 20 Deltametrin Matador 25 EC Insektisida 20 Sihalotrin ‘Akodan 350EC** —_| Insektisida 15 Endosutfan Regent 50 SC. Insektisida 5 Fipronil DithaneM-45 80 WP | Fungisida 50 Mankozeb Tamaron* Insektisida 10 Metamidofos Roundup 480 AS Herbisida 50 !s0 propil amina glifosat DMA-6 Herbisida 25 2,4-D dimetil amina Gromoxone S Herbisida 15 Parakuat diklorida Basmilang 480 AS__| Herbisida 5 Iso propil amina glfosat Sumber : Data Primer Keterangan: *_Dilarang penggunaannya sejak tahun 1996 ** Dilarang penggunaannya sejak tahun 1996 Frekuensi penyemprotan yang dilakukan petani beragam tergantung pada tingkat serangan, ada yang disemprot satu kali, dua kali, tiga kali atau lebih. Pemakaian insektisida ini sudah dimulai pada waktu penaburan benih. 43, Menurut keterangan petani, sebelum ditabur benih direndam terlebih dahulu dalam insektisida selama lima menit , tujuannya adalah agar benih bayam tersebut tidak dibawa oleh semut merah ke sarangnya. Waktu aplikasi yaitu 60% responden melakukan pada sore hari, dengan alasan serangga hama itu keluar pada malam hari dan agar pestisidanya tidak cepat menguap sedangkan 40% responden melakukan aplikasi pestisida pada pagi hari dengan alasan hama masih ada dan waktu yang tersedia, Kegiatan pengendalian organisme pengganggu tanaman disajikan pada Gambar 9. Gambar 9. Kegiatan pengendalian OPT pada sayuran Keterangan: A: Aplikasi pestisida pada umur 8 hari setelah tanam B: Aplikasi pestisida pada umur 2 hari menjelang panen Alat ukur yang digunakan untuk menakar pestisida adalah tutup pestisida itu sendiri untuk pestisida cair atau sendok makan untuk pestisida dalam bentuk bubuk/tepung. Konsentrasi yang mereka gunakan adalah 2-3 tutup per 15 liter air atau setara dengan 1,60 milliter — 2,50 milter dengan volume penyemprotan 15 liter/200 m? atau setara dengan 750 liter/hektar. Konsentrasi yang dipakai tersebut telah melebihi dari konsentrasi yang diajurkan. Konsentrasi yang dianjurkan adalah 1,50 militer. Kebiasaan yang kurang baik yang dilakukan responden adalah mencampurkan beberapa pestisida untuk satu kali penyemprotan, seperti Curacron 500 EC atau Dursban 20 EC dicampur dengan 2 - 3 sendok makan Dithane M-45 80 WP 44 atau mencampur Roundup 480 AS dengan DMA-6 untuk pengendalian gulma pada wektu pembukaan lahan. Masing-masing pestisida itu mempunyai sifat kimia tersendiri dan tidak semuanya bisa dicampur dalam aplikasinya, karena ada zat-zat kimia yang bersifat saling memperkuat daya racunnya (sinergis) atau sebaliknya saling melemahkan daya racunnya (antagonis). Untuk yang saling memperkuat akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada serangga non target dan lingkungan serta akan mempercepat proses resistensi pada serangga hama, sedangkan sifat yang saling melemahkan aplikasi pestisida tersebut tidak akan berpengaruh terhadap serangga terutama serangga hama sehingga aplikasi pestisida tidak efektif mengendalikan populasi serangga hama. Para petani responden menggunakan insektisida berdasarkan pengalaman sendiri, yaitu insektisida yang digunakan tersebut_mampu mematikan serangga hama atau organisme penggangu tanaman. Responden menyatakan bahwa mereka tidak dapat melepaskan diri dari penggunaan pestisida, karena tanpa pestisida mereka akan mengalami kerugian akibat gagal panen, terutama pada musim hujan. Pada musim hujan serangan penyakit tanaman jauh lebih besar dibandingkan dengan pada musim kemarau. Hal ini mengakibatkan penggunaan pestisida menjadi meningkat, baik konsentrasi maupun frekuensi pemakaian . Hal ini disebabkan oleh kurangnya penyinaran matahari sehingga tanaman tidak tumbuh dengan optimal, kelembaban udara dan tanah yang tinggi yang menyuburkan cendawan patogen serta pada musim hujan aplikasi pestisida banyak yang tercuci oleh air hujan. Pada waktu melakukan aplikasi pestisida hampir semua responden tidak mempertimbangkan arah angin, mereka melakukan semaunya saja. Mereka juga tidak mempergunakan alat pelindung, seperti masker, kaca mata, topi, baju lengan panjang, sarung tangan, celana panjang dan sepatu boot, dengan alasan yang sangat sederhana yaitu tidak punya dan tidak praktis. 45 Dari semua keterangan sebelumnya menggambarkan bahwa pengetahuan petani tentang pestisida sangat kurang. Pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan tindakan yang dilakukan. Tanpa pengetahuan yang memadai pekerjaan yang dilakukan bukan saja tidak membuahkan hasil yang baik bahkan sebaliknya dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Dengan berbekal pengetahuan yang baik/tinggi seorang pengguna pestisida diharapkan akan bekerja secara aman baik bagi dirinya, Konsumen maupun lingkungan. Dalam menggunakan pestisida diperlukan pengetahuan yang memadai terutama tentang jenis pestisida yang digunakan, serangga hama (OPT) sasaran, dosis/konsentrasi, peralatan aplikasi yang sesuai dengan sasaran serta alat pelindung diri yang harus dipakai, Hal tersebut penting karena salah melakukan pencampuran berakibat fatal bagi dirinya, OPT sasaran maupun terhadap lingkungan. Pelaksanaan peraturan penggunaan dosis pestisida yang tidak tepat, misalnya dosis terlalu tinggi dapat menimbulkan keracunan pada manusia atau hewan lain yang bukan sasaran, sedangkan bila dosis terlalu rendah daya bunuhnya kemungkinan menjadi rendah atau tidak efektif Pekerja yang memiliki pengetahuan yang baik cenderung melakukan pekerjaan dengan benar dan teliti sesuai dengan apa yang diketahuinya, termasuk bekerja di lingkungan kimiawi sebagai tenaga penyemprot. Penyemprot yang berpengetahuan kurang tentang pestisida mempunyai resiko terpapar pestisida lebih besar dibanding yang berpengetahuan cukup. Berdasarkan hasil kuesioner yang dilakukan terhadap petani sayur di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru temyata antara pengetahuan dengan pelaksanaan peraturan penggunaan pestisida berhubungan. Hal ini berarti pengetahuan yang dimiliki oleh petani akan mempengaruhi mereka dalam pelaksanaan peraturan penggunaan pestisida. Petani yang memiliki pengetahuan yang lebih baik terutama tentang pestisida cenderung melaksanakan peraturan penggunaan pestisida dengan tepat dan benar. Kesenjangan antara pengetahuan dengan pelaksanaan _peraturan 46 penggunaan pestisida ini menyebabkan adanya kesenjangan antara yang diketahui dengan dilaksanakan oleh petani responden. Hal ini terjadi karena kesalahan menafsirkan pengetahuan di dalam praktek. Petani responden umumnya beranggapan apa yang mereka lakukan sudah benar. Kesenjangan ini juga dapat disebabkan karena petani tidak mengerti makna kalimat yang tercantum pada label kemasan, sehingga mereka mengartikan sendiri sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki dalam memahami petunjuk dalam label kemasan tersebut. Data lapangan menunjukkan bahwa jumiah petani yang mendapat penyuluhan baru 30% , sedangkan yang telah mendapat pelatinan baru 15%. Untuk menghindari kesenjangan antara pengetahuan dan pelaksanaan peraturan penggunaan pestisida oleh petani dapat dilakukan kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang berkesinambungan. Dari Tabel 9 terlihat adanya penggunaan beberapa pestisida yang telah dilarang penggunaannya oleh pemerintah. Para responden mengakui bahwa mereka tidak tahu sama sekali bahwa beberapa pestisida yang mereka pergunakan itu telah dilarang penggunaannya oleh pemerintah. Para petani masin memakai pestisida tersebut dengan alasan harganya murah dan lebih ampuh. Kondisi ini menggambarkan betapa lemahnya pengawasan dari pihak pemerintah terhadap pestisida yang telah dilarang penggunaannya untuk pengendalian OPT dalam pertanian. Lemahnya pengawasan ini disebabkan Karena didalam pemberian wewenang (SK) tidak dicantumkan mengenai frekuensi pengawasan lapangan yang diwajibkan dalam jangka waktu tertentu, misalnya sekali sebulan, dua kali sebulan dan sebagainya. Ini berarti tidak ada pedoman khusus bagi petugas yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap pestisida. Pengawasan hanya dilakukan apabila diperlukan saja menurut keputusan petugas pengawas pestisida. Pengawasan dan pemantauan yang dilakukan secara teratur, selain agar pestisida dapat disimpan, diedarkan dan digunakan dengan aman dan efisien juga untuk lebih meningkatkan usaha-usaha pembinaan pada petani, pedagang pestisida dan masyarakat lainnya yang mempunyai kegiatan 47 dengan pestisida serta untuk lebin mengefektifkan peraturan pestisida di tingkat daerah (Ditlintan, 1988) f, Pemanenan Petani banyak memanen bayam yang berumur 20 - 21 hari, namun ada juga yang memanen pada umur 18 atau 19 hari tergantung dari permintaan pasar. Sebanyak 45% dari petani responden melakukan pemanenan 2 - 3 hari setelah aplikasi pestisida, 50% petani responden melakukan pemanenan 4 - 5 hari setelah aplikasi pestisida dan sisanya 5% melakukan pemanenan 6 - 7 setelah aplikasi pestisida. Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut bayam dan mencuci bayam tersebut pada bak pencucian seperti yang disajikan pada Gambar 10. Bayam yang telah dicuci_ dimasukkan ke dalam keranjang dan diangkut oleh pedagang pengumpul ke pasar. Dari hal ini tampak bahwa_petani kurang memahami tentang rentang waktu aplikasi terakhir dengan waktu panen. Sesuai dengan peraturan penggunaan pestisida, rentang waktu aplikasi terakhir dengan panen itu minimal tujuh hari dengan tujuan agar produk yang dihasilkan tidak mengandung residu yang membahayakan bagi kesehatan konsumen dan sekaligus juga untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja dan petani itu sendiri. Gambar 10. Kegiatan pencucian sayuran sebelum dipasarkan 48 g. Pemasaran Sebagian besar (95%) petani menjual hasil produksi mereka kepada pedagang pengumpul, dan hanya 5% yang menjual langsung ke pasar., akibatnya harga sayur mereka sangat ditentukan sekali oleh pedagang pengumpul. Keadaan ini tentu akan sangat merugikan petani, karena mereka tidak dapat menentukan harga dan petani hanya menerima sisa hasil penjualan setelah pedagang pengumpul mengambil untung. Produksi sayuran Simpang Tiga belum ada yang dijual langsung ke pasar swalayan, sedangkan peluang untuk itu sangat besar, karena di Pekanbaru_ terdapat enam pasar swalayan dan dua department store ( BPS, BPS Kota Pekanbaru, Bappeda Pekanbaru ). Hal ini terjadi karena petani tidak punya akses dan tidak mengetahui cara memasok produk mereka ke pasar swalayan tersebut. Produksi sayuran di daerah Simpang Tiga ini tidak saja untuk memenuhi kebutuhan sayur untuk Pekanbaru, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan kota-kota lainnya di Propinsi Riau seperti Selat Panjang, Bangkinang, Kerinci, Batam , Tanjung Pinang, Dumai, Perawang dan lain sebagainya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar 11. Aktifitas muat sayuran ke mobil untuk dipasarkan ke daerah Kerinci Untuk melihat bagan pemasaran sayuran petani Simpang Tiga Kota Pekanbaru sebelum sampai kepada konsumen disajikan pada Gambar 12. 49 Pasar ‘Swalayan fagang >| Pengecer ¥ Konsumen Gambar 12. Bagan pemasaran sayuran di Pekanbaru Petani |_95% Pedagang fog 5% ¥ h. Penanganan Wadah Bekas Pestisida Dari hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa 85% petani responden melakukan pembuangan secara sembarangan wadah bekas pestisida dan hanya 15% yang menguburkan wadah bekas pestisida tersebut pada suatu tempat tertentu. Keadaan ini menggambarkan bahwa_petani responden hanya memikirkan segi efisiensi dan kepraktisan dalam penanganan wadah bekas pestisida seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13 Gambar 13. Penanganan wadah bekas pestisida Dalam media pestisida (1994) dinyatakan bahwa masih banyak petani yang tidak memperhatikan waktu yang paling tepat untuk melakukan aplikasi dan masih adanya penyemprot yang berpakaian minim (kaos/celana pendek), 50 demikian juga halnya dengan penanganan sisa-sisa_bekas wadah pestisida yang dibuang sembarangan. Menurut Saragih (1994) tindakan petani membuang wadah bekas pestisida sembarangan seperti di sumber air, karena mereka menganggap bahwa pestisida hanya berbahaya bagi makhluk hidup yang berdarah putih seperti serangga sehingga manusia dan makhluk hidup lainnya yang berdarah merah dianggap tidak berbahaya. Oleh karena itu periu diberikan informasi yang benar kepada petani mengenai bahaya pestisida, agar tindakan tersebut tidak berlanjut Berdasarkan fakta tersebut diperlukan langkah-langkah dalam upaya memperbaiki sikap petani terhadap pestisida agar permasalahan dalam penggunaan pestisida oleh petani dapat dihindari. Sikap negatif petani mengenai bahaya dan cara penggunaan pestisida yang benar disebabkan karena rendahnya pengetahuan petani mengenai bahaya pestisida. Selain itu karena petani belum merasakan manfaat langsung dari tindakan tersebut karena dampak negatif penggunaan pestisida yang tidak benar biasanya bersifat kronis sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi sakit. Untuk mengubah sikap para petani pengguna pestisida menjadi tinggi, pengetahuan petani harus ditingkatkan sehingga sikap petani terhadap pestisida akan menjadi positif terhadap cara-cara penggunaan pestisida, oleh karena itu periu diberi cukup informasi mengenai bahaya dan cara penggunaan pestisida yang benar. Menurut Ancok (1987) sikap dipengaruhi oleh pengetahuan tentang segi positif dan negatif suatu hal. 4.3. Pengaruh Aplikasi Pestisida Terhadap Serangan Hama 4.3.1. Persentase Serangan Hama Dari masing-masing perlakuan didapat data persentase serangan hama terhadap sayuran bayam, setelah dilakukan analisis statistik dan ji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% seperti yang terlihat pada Tabel 11 51 Tabel . 11. Nilai rata-rata persentase serangan hama pada sayuran bayam pada saat panen Keterangan ; Ratatata di dalam kolom yang diikuti olen huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjutan Duncan New Multiple Range Test (ONMRT) pada taraf nyata 5% Dari Tabel. 11 terlihat bahwa persentase tanaman yang terserang sangat tinggi. Kontrol memiliki persentase serangan tertinggi yaitu 85.68% yang diikuti oleh aplikasi insektisida satu kali 73,87%, aplikasi insektisida dua kali 65,48% dan aplikasi insektisida tiga kali memiliki persentase serangan terendah yaitu 61,17%. Tingginya serangan pada kontrol diduga disebabkan hama berkembang secara leluasa karena tidak mendapat aplikasi pestisida. Aplikasi insektisida satu kali dengan aplikasi insektisida dua kali berbeda nyata, diduga hama yang menyerang tanaman yang diberi aplikasi insektisida dua kali banyak yang mati sehingga populasinya berkurang. Bees eases Ratacata persentase serangan () Gambar 14. Nilai rata-rata persentase serangan hama pada bayam pada saat panen. Keterangan : kontrol (tanpa aplikasi insektisida), A = aplikasi satu kali pada umur 8 hist, B = aplikasi dua kali pada umur 8 dan 13 hst, C = aplikasi tiga kali pada umur 8, 13 dan 18 hst 52 Aplikasi insektisida dua kali dengan aplikasi insektisida tiga kali tidak berbeda nyata artinya aplikasi insektisida tiga kali tidak akan mengurangi persentase tanaman yang terserang. Hal ini diduga bahwa aplikasi insektisida tiga kali menyebabkan hamanya menjadi resisten, apalagi pestisida yang digunakan masih tetap sama dengan pestisida sebelumnya sehingga kurang berpengaruh terhadap hama yang disemprot. Kemungkinan kedua adalah terjadinya resurjensi yaitu populasi hama meningkat setelah aplikasi pestisida, penyemprotan berulang-ulang dengan rentang waktu yang singkat menyebabkan banyaknya musuh alami seperti predator dan parasitoid yang mati sehingga terjadi ledakan populasi hama karena tidak ada yang mengontrol populasi mereka. Dalam tropik level makanan, posisi predator dan parasitoid berada lebih tinggi dari level hama yang bararti populasinya lebih sedikit dibandingkan dengan populasi hama. Bila diberikan pestisida berulang-ulang dengan rentang waktu yang singkat maka populasinya akan banyak yang mati dan berkurang. Adanya ketersediaan makanan yang terus menerus di lokasi yang sama juga merupakan salah penyebab sulitnya mengendalikan populasi hama karena tidak terputusnya siklus hidup dari hama. Hal ini sesuai yang dikemukan oleh Oka (1995) dan Untung (1992) bahwa dampak dari pemakaian pestisida dengan frekuensi yang tinggi dan rentang waktu yang singkat menyebabkan hama menjadi resisten, timbulnya resurjensi yaitu meningkatnya populasi hama setelah aplikasi pestisida, ledakan populasi hama sekunder dan matinya musuh alami dan hewan bukan saran seperti katak, burung, ular dan hewan berguna lainnya. 4.3.2. Intensitas Serangan Hama Dari masing-masing perlakuan diperoleh data intensitas serangan hama terhadap sayuran bayam setelah dilakukan analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% seperti yang terlihat pada Tabel_ 12. 53, Tabel 12. Nilai rata-rata intensitas serangan hama pada bayam pada saat panen Kontrol 41,06 a A 38,18 ab B 34,16 be Cc 29,97 ¢ Keterangan ; Rata-rata di dalam kolom yang dikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjutan Duncan New Multiple Range Test (ONMRT) pada taraf nyata 5%, Kontrol (tanpa aplikasi insektisida), A = aplikasi satu kali pada umur 8 hst, B = aplikasi dua kali pada umur 8 dan 13 hst, C = aplikasi tiga kali pada umur 8, 13 dan 18 hst Dari Tabel 12 terlihat bahwa intensitas serangan hama berbanding lurus dengan persentase bayam yang terserang. Intensitas serangan tertinggi juga terdapat pada kontrol (tidak disemprot sama sekall) yaitu 41,06% diikuti oleh aplikasi insektisida satu kali 38,18%; aplikasi dua kali 34,16% dan aplikasi tiga kali 29,97% seperti yang terlihat pada Gambar 15. Intensitas serangan (%) Pertakuan Gambar 15. Nilai rata-rata intesitas serangan hama pada Keterangan : kontrol (tanpa aplikasi insektisida), A = aplikasi satu hst, B = aplikasi dua kali pada umur 8 dan 13 hst, pada umur 8, 13 dan 18 hst plikasi tiga kali Semakin banyak frekuensi aplikasi insektisida maka intensitas serangannya juga semakin berkurang, tetapi secara statistik aplikasi insektisida dua kali dengan aplikasi insektisida tiga kali tidak berbeda nyata, 54 berarti aplikasi insektisida tiga kali tidak efektif menurunkan intensitas serangan. Kead3an ini diduga disebabkan timbulnya dampak resurjensi dan resistensi hama. Dari data tersebut juga menggambarkan bahwa aplikasi insektisida tiga kali tidak memberikan banyak manfaat dalam menekan persentase dan intensitas serangan, selain itu juga sangat membahayakan bagi Konsumen, pekerja , petani dan lingkungan. Dari sisi ekonomi juga akan menambah biaya produksi sehingga keuntungan yang akan didapat juga akan berkurang, 4.4. Dampak A:plikasi Insektisida 4.4.1. Residu Irsektisida Pada Bayam Sampel bayam diberi kode dari nomor 4 - 16, yang mana kode 1 - 3 sampel bayam yang diaplikasi insektisida satu kali, kode 4 - 6 sampel bayam yang diaplikasi insektisida dua kali, kode 7 - 9 sampel bayam yang diaplikasi insektisida tiga kali, kode 10 - 12 sampel kontrol (yang tidak diaplikasi insektisida) dan kode 13 - 6 sampel bayam dari petani (4 petani)(lampiran 9). Setelah dilakukan analisis residu pestisida di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi Sumatera Barat didapatkan hasil seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 12. Kandungan residu insektisida pada bayam pada berbagai perlakuan Ki Kontrol ttd A ttd } B ttd c ttd n=4 ttd Keterangait : Kontrol (tanpa aplikasi insektisida), A= aplikasi satu kali pada umur 8 hist, B= aplikasi dua kali pada umur 8 dan 13 hst, C = aplikasi tiga kali pada umur 8, 13 dan 18 hst, n= 4 = sampel dari petani, ttd = tidak terdeteksi Dari Tatel 13 terlihat bahwa kandungan residu insektisida pada bayam pada masing-masing perlakuan tidak terdeteksi. Aplikasi insektisida 55 tiga kali yang interval waktu aplikasi pestisida dengan panen hanya 3 hari juga tidak terdeleksi kandungan residu pestisidanya. Sebagai pembanding juga dilakukan sengambilan sampel dari empat orang petani. Sampel dari empat orang petani juga memperiihatkan kandungan residu insektisida yang tidak terdeteks. Tingginya persentase dan intensitas serangan hama merupakan salah satu indikasi bahwa kandungan residu insektisida yang terdapat pada l:ayam sangat sedikit sekali sehingga kurang berpengaruh terhadap seranciga hama. Hal ini diduga bahwa insektisida tersebut terbilas, oleh air hujan dan air penyiraman waktu petani melakukan penyiraman sayuran mereka. Jenis tanah alluvial yang berpasir yang mempunyai sifat daya simpan gir sangat rendah, menyebabkan petani harus melakukan penyiraman setiap hari, kecuali waktu aplikasi insektisida _penyiraman dilakukan pada hari keduanya. Bila tidak dilakukan penyiraman maka sayuran akan layu dan dapat mengalami kematian karena kekurangan air. Penyiraman yang dilakukan petani juga menyebabkan insektisida yang menempel padi: sayuran akan terbilas sehingga keberadaanya di daun sayuran juga ekan berkurang. Hal ini juga ditambah dengan kondisi di lapangan ketika dilakukan aplikasi insektisida pertama , pada malam harinya turun hujan dengan jumiah curah hujan 9,30 mm, keesokan harinya juga turun hujan dengan jumlah curah hujan 3,80 mm dan hari berikutnya juga turun hujan d n jumlah curah hujan 11,80 mm, sehingga dapat diprediksi bahwa insektisi:la yang diaplikasikan akan banyak tercuci oleh air hujan. Pada waktu aplikasi insektisida dua kali, terjadi hujan pada malam harinya dengan jumlah curah hujan 133 mm . Pada waktu aplikasi insektisida tiga kali tidak terjadi hujan, tetapi dua hari setelah aplikasi insektisida dilakukan penyiraman karena tanaman sudah kekurangan air. Kondisi lapangan ini diduga sebagai penyebab terjadinya reduksi residu pestisida yang terdapat pada tanaman sayam dan dalam tanah. Insektisida profenofos mempunyai sifat sebagai recun Kontak, racun lambung, non sistemik serta dapat larut dalam air pada suhu 20 °C. Adanya sifat non sistemik tersebut menyebabkan 56 insektisida profenofos hanya menempel pada permukaan daun yang sangat mudah tercuci bila dibilas dengan air berulang-ulang kali. Menurut Tarumingkeng (1992) dan Matsumura (1985) residu permukaan dapat hilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan dan hidrolisis. Pembilasan bukan hanya urtuk pestisida yang larut dalam air, tetapi juga terhadap pestisida lipofilik. Dalam waktu 1-2 jam setelah tanaman diperiakukan dengan pestisida, kemungkinan besar 90 deposit telah hilang karena tercuci jika terjadi hujan, sisanya terurai oleh sinar ultraviolet. Menurut Matsunaka (1972) beberapa pestisida hilang setelah digunakan karena tercuci oleh air hujan, penguapan spontanitas atau terjadi degradasi oleh sinar matahari pada permukaan daun. Hal ini sesuai dengan penelitian Santoso dan Wirawan yang dikutip lett Tjahyadi dan Gayatri (1994) bahwa pembilasan air dapat mereduksi kandungan residu insektisida profenofos dari 1,57 ppm menjadi 1,21 ppm atau tereduksi sebesar 23 %. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Ahmed & Isma! (1995) bahwa pembilasan air akan mereduksi residu pestisida metomil yang terdapat pada strawberry, tomat dan ketimun. Reduksi residu pestisida tersebut bisa mencapai 40 % pada hari kedua setelah aplikasi dan seterusnya akan berkurang sampai beberapa hari setelah aplikasi. 4. Residu Insektisida Dalam Tanah Sampel tanah dapat dilihat dari kode nomor 17 - 20, yang mana kode 17 adalah sampel tanah aplikasi insektisida satu kali, kode 18 sampel tanah aplikasi insektisida dua kali, kode 19 sampel tanah aplikasi insektisida tiga kali dan kode 20 sampel tanah kontrol (lampiran 9). Setelah dilakukan analisis residu didapatkan hasil seperti terlihat pada Tabel 14. ST Tabel 14. Kandungan residu insektisida dalam tanah dengan berbagai gertakuan ___Perlakuan _ Kandungan Residu Kontrol ttd A td | B ttd | c td | Keterangan : Kontrol (lanpa aplikasi insekisida), A = aplikasi satu kali pada umur 8 ht, B = aplikasi dua kali pada umur 8 dan 13 hst, C = aplikasi tiga kali pada umur 8, 13 dan 18 hst. Dari Tabel 14 terlihat bahwa residu insektisida di dalam tanah tempat budidaya sayurar| bayam tidak terdeteksi. Ini disebabkan oleh: 1. Tanah yang digunakan untuk budidaya bayam itu merupakan lahan yang baru dibuka. Pemakaian untuk menanam bayam merupakan yang ketiga setelah dibuka. Dua kali musim tanam sebelumnya ditanami kangkung, diduga residu yang terdapat di dalam tanah sangat sedikit sekali Jenis tanzih alluvial dengan struktur tanah berpasir yang memiliki sifat daya simpan air rendah maka bila terkena sinar matahari suhu tanah akan tinggi sehingga penguapan air juga akan tinggi. Hal ini juga mengakibatkan penguapan residu insektisida yang terdapat dalam tanah juga tinggi yang akhimya menyebabkan residu yang tersisa dalam tanah menjadi sangat sedkit. Tarumingkeng (1992) menyatakan bahwa penguapan residu di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh penguapan air Penyiraman yang dilakukan setiap hari oleh petani mengakibatkan residu yang terdapat dalam tanah juga akan tercuci atau bergerak ketempat lain yaitu ke dalam tanah yang lebih dalam. Ketika aplikasi insektisida baik aplikasi pertama dan aplikasi kedua terjadi hujan setelah aplikasi yang mengakibatkan insektisida yang diaplikasikan tersebut akan tercuci, hanyut, dan terbawa ke tempat yang lebih dalam apalagi insektisida profenofos_mempunyai sifat non persisten dan dapat larut dalam air pada suhu 20 °C. 58 Menurut Tarumingkeng ( 1992 ) deposit pestisida dalam tanah dipengaruhi oleh : (1) kemampuan absorbsi pestisida oleh partikel-partikel tanah dan bahan organik; (2) pencucian (washing-off) oleh air hujan; (3) penguapan, terutama penguapan air; (4) degradasi atau aktivasi oleh jasad renik dalam tanah ; (5) dekomposisi fisikokimia maupun aktivasi yang terjadi karena kondisi dan komponen-komponen tanah yang bersifat katalisator; (6) dekomposisi oleh cahaya matahari (photodecomposition); (7) translokasi melalui sistem hayati (biological system) baik tanaman maupun binatang ke lingkungan yang lain, Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah menghambat penguapan pestisida. Kelembaban tanah, kelembanan udara, suhu tanah dan porositas tanah merupakan faktor-faktor lain yang juga menentukan penguapan pestisida. Penguapan pestisida biasanya terjadi bersama-sama dengan penguapan air yang sering disebut ko-destilasi (co- destilation) (Tarumingkeng, 1992). 4.5. Dampak Ekonomi 4.5.1 Pendapatan Petani Kegiatan budidaya sayuran daun terutama bayam di daerah Simpang Tiga Pekanbaru telah membawa dampak positif bagi lingkungan sekitamya, balk terhadap petani itu sendiri, buruh tani harian, pedagang pengumpul maupun pedagang pengecer. Dampak positif tersebut berupa peningkatan penghasilan bagi petani, pekerja harian dan pedagang pengumpul. Sebagian besar petani adalah para transmigrasi di Pasir pengarayan yang pindah ke Pekanbaru untuk perbaikan kehidupan. Di lokasi transmigrasi mereka tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap yang memadai. Rata-rata penghasilan mereka di lokasi Rp 350.000.00 per bulan. Analisis usaha tani budidaya bayam diperoleh nilai BEP Volume Produksi yaitu 1585 kg, BEP Harga yaitu Rp. 1014,4/kg dan B/C Ratio yaitu 1,577 (lampiran 9). Hasil analisis usaha tani tersebut biaya produksi bayam 59 untuk satu kilogram adalah Rp.1014,4 sedangkan penjualan kepada pedagang rata-rata Rp.1600/kg sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 585,6/kg. Lahan seluas 0,25 hektar dapat dibuat 40 bedeng dengan ukuran 20 x 2,5 m, sehingga setiap hari petani dapat memanen 2 bedeng sayur bayam dengan produksi rata-rata 1000 ikat atau setara dengan 125 kg sehingga keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp. 73.200 /hari. Tabel 15 menunjukkan 20% petani sayur Simpang Tiga Pekanbaru mempunyai penghasilan Rp.36.600/hari, 70% petani mempunyai penghasilan Rp. 73.200/hari, dan 10% petani yang mempunyai penghasilan Rp. 108,336/hari seperti yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Rata-rata produksi dan pendapatan petani sayur Simpang Tiga Pekanbaru per hari. Produiksi | Total Te, Tota tas tahan | Jamleh | Totaeata | SEP | mie | Pendapatan | sregutss | Ten#9® | tennge roe ‘er har! ar | Pacha | “ie | RAM | py Lm” | es | eo (eg) | | (tg) | (org)_| 7-025 2 [625 35600] — 840] 4 ° o2sex 04 5 185. 108336 | 740 2 4 Sumiah | 400 I 3.395] at ‘Sumber. Data primer Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa kegiatan budidaya bayam berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani dibandingkan dengan pendapatan mereka sebelum mereka bertani sayur. Peningkatan pendapatan ini dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17. suman petant 63) Pendapatan (ssn a0 mrs ano 50 0 1 00 m0 00 a0 020 S00 OE) Gambar. 16. Rata-rata pendapatan petani sebelum bercocok tanam sayur 60 918.000 1830 000 2748.00 Pendapatan Gambar 17. Pendapatan petani setelah bercocok tanam sayur Bagi pedagang pengumpul bayam tersebut dijual dengan harga rata- rata Rp. 333/ikat (Rp. 1000/ 3 ikat) atau setara dengan 2500/kg, sehingga mereka mendapat selisih penjualan sebesar Rp. 900/kg. Bila dalam satu hari mereka bisa menjual sebanyak 60 kg maka keuntungan yang mereka dapatkan sebesar Rp. 54.000. Pedagang pengumpul yang mempunyai banyak pelanggan mampu menjual bayam sampai 100 kg/hari, sehingga pendapatan mereka sebesar Rp. 90.000. Dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat kota Pekanbaru adalah berkurangnya ketergantungan terhadap pasokan sayuran yang didatangkan dari Propinsi Sumatera Barat dan ‘Sumatera Utara sehingga masyarakat mempunyai banyak pilihan dan juga harga sayuran dapat bersaing. 4.5.2, Tenaga Kerja ‘Sebagian besar tenaga kerja produktif di Pekanbaru bekerja di sektor perdagangan dengan jumlah 71.095 orang, jasa 50.966 orang, industri dan pertambangan 26.662 orang, kontruksi bangunan 14.784 orang, angkutan 12.51 orang, pertanian 7.222 orang, industri /kerajinan 5.491 orang dan lembaga keuangan 5.458 orang (BPS , BPS Kota Pekanbaru & Bappeda Kodya Pekanbaru , 2000) 61 Kegiatan budidaya sayuran di daerah Simpang Tiga Kota Pekanabaru juga membuka lapangan kerja dan lapangan usaha baik untuk petani, buruh harian, maupun pedagang pengumpul. Data di lapangan menunjukkan jumlah petani yang menanam sayur di daerah Simpang Tiga sebanyak 45 orang yang mana 25 orang dari kelompok tani Suka Makmur dan 20 orang dari kelompok tani Karya Nyata. Dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner maka dapat dihitung jumlah tenaga kerja buruh tani harian sebanyak 48 orang seperti yang terlihat pada Tabel 15. Tenaga kerja untuk pedagang pengumpul sebanyak 25 orang karena setiap pedagang pengumpul rata-rata mempunyai langganan dua orang petani. Ini sangat berarti sekali dalam keadaan krisis ekonomi seperti saat sekarang ini, ditambah lagi dari tenaga kerja dari lapangan usaha yang memasok kebutuhan petani seperti pemasok pupuk kandang, bibit, pestisida, pupuk buatan, pedagang premium, karet dan lain-lain sebagainya. 4.6. Dampak Pada Kesehatan Masyarakat Kasus keracunan pestisida akut jarang dijumpai di masyarakat sedangkan kasus keracunan kronis umumnya dijumpai pada pelaksana Pengendalian hama dan mereka yang bekerja pada industri pestisida. Pestisida yang bersifat persisten seperti insektisida organokhlorin, kemungkinan terjadinya kasus keracunan kronis lebih besar daripada pestisida yang tidak persisten. Hal ini terjadi karena bioakumulasi, yaitu proses dinamika yang terjadi bila pemasukan (intake) lebih besar dari pengeluaran (excretion). Kurangnya pengetahuan petani tentang pestisida dan aturan penggunaannya menyebabkan mereka mengaplikasikan insektisida tanpa menggunakan alat pelindung untuk melindungi keselamatan dirinya, karena pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan dan mata. Hasil kuesioner menunjukkan 90% petani tidak menggunakan alat pelindung sehingga mereka akan merasakan 62 beberapa keluhan setelah aplikasi insektisida. Keluhan yang dirasakan oleh petani setelah aplikasi insektisida seperti pusing, mual dan muntah mata perih, kulit gatal-gatal dan lainnya disajikan pada Tabel 16 Tabel 16. Keluhan yang dirasakan petani setelah aplikasi pestisida Keluhan yang dirasakan petani Jumiah (%) ~ Tidak ada keluhan’ 7 ~ Pusing 25 - Mual dan muntah 10 - Gatal-gatal 5 - Mata perih 0 ‘Sumber : Data Primer Rendahnya kadar residu insektisida dalam makanan jelas tidak akan menimbulkan gejala keracunan kronis maupun akut, tetapi dapat menimbulkan efek subtil (subtle effect) yaitu efek jangka panjang yang terjadi pada dosis rendah yang berkali-kali. Penelitian mengenai efek subtil pada manusia tidak mungkin ditakukan, sehingga pengamatan pada hewan Percobaan merupakan indikasi utama pada manusia. Efek subtil dapat berupa perubahan histologis dan patologis, efek karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Untuk mengetahui efek karsinogenik dan mutagenik suatu pestisida diperlukan penelitian pada beberapa generasi. Hasil analisis residu pestisida profenofos pada bayam menunjukkan hasil tidak terdeteksi, artinya kandungan residunya sangat rendah sekali di bawah nilai ambang batas dan aman dikonsumsi. Pencucian bayam dengan air setelah panen yang dilakukan petani juga dapat menurunkan kandungan residu pestisida. Adanya kegiatan pencucian sayur sebelum dimanfaatkan serta adanya pemasakan dengan air panas juga dapat menurunkan kandungan residu pestisida pada sayuran, sehingga residu yang termakan sangat sedikit sekali atau jauh dibawah ambang toleran. Hal ini tentu tidak akan menyebabkan keracunan pada masyarakat yang mengkonsumsi sayuran dari Simpang Tiga tersebut. Hasil penelitian Tjahyadi dan Gayatri (1994) bahwa pencucian dapat mereduksi residu pestisida profenofos dari 63 1,57 ppm menjadi 1,21 ppm dan pemasakan dengan air panas juga dapat mereduksi residu pestisida dari 1,21 ppm menjadi 0,29 ppm. Pemerintah Republik Indonesia juga telah menetapkan nilai Batas Maksimum Residu (BMR) insektisida profenofos adalah 0,05 mg/kg dan klorpirifos adalah 0,05 mg/kg (Peraturan Pemerintah R.1 Nomor 6 Tahun 1995 & Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 881/Menkes/SKB/VIII/1996/71 1/Kpts/TP.270/8/96 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan residu insektisida pada bayam dari daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru masih jauh di bawah nilai BMR (0.05 mg/kg untuk prefonofosdan klorpirifos) sehingga aman untuk dikonsumsi. Data catatan medis RSUD Kota Pekanbaru dan data Puskesmas Simpang Tiga yang menunjukkan belum ada kasus keracunan pestisida akibat mengkonsumsi sayuran seperti yang disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Kasus keracunan di RSUD Kota Pekanbaru dari April 2001 =April 2002 No. Penyebab_ ‘Jumlah Penderita (Orang) _| 7 | Pestisida 39 2 | Bensin 1 3. | Minyak tanah 4 4 | Tinner 1 5 | Ekstasi 6 6 | Bayclin 1 7__|Makanan 4 Jumiah 53 ‘Sumber : Catatan Medis Kasus Keracunan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Pekanbaru Tahun 2001/2002 Dari Tabel 17. kasus keracunan pestisida merupakan kasus yang paling bayak terjadi. Catatan medis kasus keracunan di linstalasi Gawat Darurat RSUD Pekanbaru menyebutkan bahwa keracunan pestisida yang terjadi akibat sengaja mengkonsumsi insektisida rumah tanga untuk percobaan bunuh dil dan kelalaian dari pengguna yang kurang memperhatikan peraturan penggunaan pestisida terutama penggunaan alat 64 pelindung pada waktu aplikasi herbisida dan penyimpanan pestisida yang sembarangan sehingga tercampur dengan bahan makanan dan menimbulkan kecelakaan yang membahayakan bagi dirinya. 4.7. Peluang Ekspor Peluang Propinsi Riau untuk mengekspor berbagai aneka barang kerajinan dan produksi pertanian sangat besar, karena letak propinsi Riau sangat dekat dan berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Ini dapat dilihat dari perkembangan ekspor Propinsi Riau dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 untuk ekspor non migas dari 595.527,0 (000 US $) menjadi 6.988.702,0 (000 US §). Perkembangan ekspor ini menghasilkan surplus bagi Propinsi Riau yang meningkat dari tahun ketahun, yang dapat dilihat dari neraca perdagangan luar negeri Propinsi Riau. Pada tahun 1990 neraca perdagangan luar negeri propinsi Riau menghasilkan surplus 4 423 527,5 (000 US $) dan menjadi 9 190 431,1 (000 US $) pada tahun 2000 (BPS Propinsi Riau, 2000). Untuk mengekspor suatu produk ke negara lain diperlukan tiga kriteria yaitu kualitas, kuantitas dan kontiniyu. Ketiga kriteria tersebut harus dipenuhi dan bila salah satu kriteria tidak terpenuhi, maka produk tersebut tidak bisa diekspor ke negara lain. Sebelum tahun 2002 sayuran yang dihasilkan oleh petani di daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru belum ada yang diekspor ke Singapura. Hal ini mungkin disebabkan oleh kualitas belum memenuhi standar ekspor, kuantitasnya belum terpenuhi serta belum terjaminnya rutinitasnya. Adanya kerjasama Pemda Riau dengan Pemerintah Singapura melalui alih teknologi pertanian, telah dibangun satu hektar demplot rumah kasa bantuan pemerintah Singapura untuk budidaya sayuran daun. Dari bantuan demplot rumah kasa tersebut telah berproduksi sayuran sebanyak 1,7 ton/0,2 ha untuk musim tanam pertama bulan Mei 2002 dan 1,8 ton/0,2 ha untuk musim tanam ke-2 pada bulan Juni 2002. Hasil dari kedua musim tanam 65 tersebut telah diekspor ke Singapura. Hasil wawancara dengan Wang Cheow Phen salah seorang tenaga ahli dari Agri-food & Veterinary Authority of Singapore menyatakan bahwa hasil analisis residu pestisida di laboratorium Singapura terhadap sayuran tersebut menunjukkan kandungan residu yang sangjat rendah atau tidak terdeteksi. Ini menggambarkan bahwa sayuran yang diproduksi di daerah Simpang Tiga Kodya Pekanbaru dan daerah Riau lainiya sangat berpeluang untuk dipasarkan ke Singapura asal kualitas , kuantitas dan kontiniunitasnya terpenuhi, Untuk itu pada tahun 2002 dan 2003 Pemda Riau menargetkan 100 hektar rumah kasa untuk budidaya sayuran daun yang tersebar di empat daerah kabupaten/kota yaitu Kota Pekanbaru, Kabupaten Kampar, Siak dan Palalawan. Untuk satu hektar rumah kasa akari membutuhkan dana sebanyak 200 juta yang nantinya akan digarap oleh lime: orang petani dengan luas masing-masing 0,2 hektar/petani dan diberi sekat untuk masing-masing petani. Pemerintah daerah melalui Bank Pembangunan Daerah Riau akan mengucurkan kredit kepada petani dengan bunga yang sangat rendah. Pemberian sekat untuk masing-masing Petani bertujuan untuk meningkatkan kompetisi dari masing-masing petani dalam pengelolaan tanamannya agar kualitas yang dihasilkan memenuhi standar ekspor. Ini dapat dilihat dari Nota Kesepahaman (MOU) Kerjasama Pengembangan Pusat Pengolahan Hasil Pertanian Untuk Ekspor antara Pemda Riau dengan Pemerintah Singapura yang ditandangani tanggal 22 Oktober 2001. Pemerintah Singapura diwakili oleh Badan Pangan Singapura yaitu Agrifood & Veterinary Authority of Singapore, sedangkan dari pemerintah Indoxesia diwakili oleh Guberur Propinsi Riau. Dari MOU itu terlihat bahwa terbuka peluang ekspor sayuran daun ke Singapura sebanyak 150 - 200 ton/ha‘i. Sayuran daun yang berpeluang untuk dikembangkan dan dipasarkan ke Singapuran adalah : Caixim (Brassica chinensis var patachinensis), Baicai (Brassica chinensis), leaf mustard (Brassica juncea); chines cabbage (Brassica comprestris); gailan (Brassica alboglabra); ceylon spinach (Bassela rubra); bayam (Amaranthus ganggeticus); kangkung 66 (Ipomea aquatica) dan lettuce (Lattuca sativa). Bila ini terwujud maka akan berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan petani, masyarakat, penyerapan tenaga kerja_yang banyak, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan penerimaan devisa negara. Contoh rumah kasa bantuan pemerintah Singapura dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Kegiatan budidaya sayuran dengan menggunakan kasa 67 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1 Pengetahuan petani tentang pestisida masih kurang. Hal ini dapat dillhat dengan dekatnya rentang waktu aplikasi terakhir dengan panen yaitu kurang dari satu minggu, konsentrasi_ pemakaian pestisida yang melebihi anjuran, kurangnya pengetahuan mereka tentang residu pestisida, penyebab dan akibat yang ditimbulkan bila terkonsumsi. Kegiatan budidaya bayam di Daerah Simpang Tiga Kota Pekanbaru belum menimbulkan pencemaran pestisida. Analisis residu pestisida pada bayam dan dalam tanah menunjukkan hasil tidak terdeteksi, sehingga belum menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Budidaya bayam telah meningkatkan pendapatan petani sayur di Simpang Tiga Kota Pekanbaru yang mana 20% petani berpendapatan Rp.36.600,/hari, 70% berpendapatan Rp. 73.200, /hari dan 10 % berpendapatan 108.336./hari. Frekuensi penyemprotan tiga kali dan rentang waktu aplikasi terakhir tiga hari sebelum panen tidak efektif menurunkan persentase dan intensitas serangan hama meskipun analisis residu insektisida yang terdapat pada bayam dan dalam tanah jenis alluvial berpasir menunjukkan hasil tidak terdeteksi. 5.2. Saran 1. Para petani umumnya masih memiliki tingkat pengetahuan yang kurang tentang pestisida. Perlu dilakukan beberapa upaya seperti peningkatan pengetahuan melalui. © penyuluhan —secara berkelanjutan dan pelatihan penggunaan insektisida secara bijaksana serta bahaya insektisida bagi manusia dan lingkungan. 68 2. Perlu dikembangkan pengendalian hama secara terpadu sehingga dampak aplikasi insektisida terhadap manusia dan lingkungan dapat diminimumkan 3. Perlu pemantauan yang kontiniyu dan analisis residu yang lebih telii terhadap residu insektisida pada bayam dan sayuran lainnya serta penelitian lanjutan tentang dampak — aplikasi_pestisida terhadap mikrobiologi tanah dan air tanah. 69 DAFTAR PUSTAKA Ahmed, M. T. and Ismail, M. M. S. 1995. Residues of methomyl in strawberries, tomatoes and cucumbers. Pesticides Sciences Journal. 44. Him. 197 — 199. Anonim, 2000. Statistik Tanaman Pangan Propinsi Riau. Dinas Pertanian Propinsi Riau. Pekanbaru. , 1995. Ekspor Sayuran Terhambat Karena Penggunaan Pestisida. Suara Pembaharuan, Edisi April. Ancok, D. 1987. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian dan Kependudukan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Bandini dan Aziz. 1999. Bayam. Penebar Swadaya. Jakarta. 70 hal. Benson. 1957. Plant Classification. D. C. Health and Company. U.S.A. 668 p. BPS, BPS Kota Pekanbaru dan Bappeda Kota Pekanbaru, 2000. Pekanbaru Dalam Angka in Figures. BPS Propinsi Riau, 2000. Statistik Perdagangan Luar Negeri Propinsi Riau. Buzby, J., R. Ready & J. Skees. 1997. The role of economic in pesticide regulation. Home syllabus projects Sites People. University of Kentucky. http://aec.ca.uky/policy/safety/NET8.htm|. Cremlyn, R. 1980. Pesticides: Preparation and Mode of Action. John Willey & Sons. Toronto. Daryanto. 1999. Pengelolaan pestisida. Makalah Seminar Institut Pertanian Bogor, 26 Mei 1999. Dibyantoro, H. . 1979. A case study of organophosphate pesticide residue in lettuce and carrot. Bulletin Penelitian Hortikultura. VII(5). Him. 17 — 23. Dirktorat Perlindungan Tanaman. 1988. Petunjuk Umum Pengawasan Pestisida. Jakarta. Edmond, J. B., T.L. Senn and F.S. Andrews. 1951. Fundamental of Horticulture. Megraw-Hill Book Company. New York. 357 p. 70 Ekha, |. 1991. Dilema Pestisida, Tragedi Revolusi Hijau. _Kanisius. Yogyakarta FAOMHO. 1963. Pesticide Residues In Food. Rome. 19 him Handayani, S. 1996. Pengaruh Insektisida Profenofos terhadap Mortalitas Larva Crecidolomia binotalis. Makalah Khusus. Jurusan Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harjadi, S. S. 1989. Dasar-Dasar Hortikultura. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian . IPB. Bogor. 506 hal. Harun, Y. 1995 Telaah Tingkat Jenis Residu Pestisida Pada Beberapa Sayuran Yang Dijual di Pasar Swalayan dan Pasar Umum Bogor. Tesis. yang tidak dipublikasikan . Program Pascasarjana IPB, Bogor. Hassall. 1990. The Biochemistry and Uses of Pesticides: Structure, Metabolism, Mode of Action and Uses in Crop Protection, 2” ed. Macmillan London.Squiban, A. b. M. B. Jonathan, J. 1938. Kadar Residu Pestisida Chlorpirifos pada Sayuran Kubis (Brassica sleracae var. Capitata Linn) Setelah Dipanen, Dipasarkan dan Setelah Dimasak. Tesis yang tidak dipublikasikan Program Pascasarjena IPB, Bogor. Kusnoputranto, H. 1995. Toksikologi Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat dan PPSML. Jakarta. Le Grand, H. E. 1970. Movement of pesticides in the soil. in Pesticides and Effects on Soil and Water. ASA Special Publication No. 8 Symposium the Soil Science Society of America. Published by the Soil Science Society of America, Inc. Him. 71 ~ 77. Man, J. B. 1978. Manual for Training in Pesticides Analysis. University of Miamy, Floida. Matsunaka, S. 1972. Metabolism of pesticides in higher plants. /n Environmental Toxicology of Insecticides. ( ed. Matsumura, F., G. Mallory Boush, Tomomasa Misato). Academic Press. New York, San Francisco, London. Him. 341 — 353. Matsumura, F. 1985. Toxicology of Insecticides. 2 nd Edition. Plenum Press. New York, London. 598 him. nm Mc Ewen, F. L. ind G. R. Stephenson. 1979. The Use and Significance of Pesticide iri The Environment. John Wiley & Sons, Inc. New York. Him. 28 - 259 Media Pestisida. 1994. Liku-liku Penemuan Pestisida dan Pendaftarannya. Vol. 8, Tahun X, AP3I. Jakarta. Mott, L & K. Snyder. 1987. Pesticide Alert Siema Club Books. San Fransisco. Natawigena. H. ‘\989. Pestisida dan Kegunaannya. CV. Armico. Bandung. Nazaruddin. 1995, Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta. Nurmalah, |. 1962. Analisis Residu Insektisida dalam Tomat (Lycopersicum esculenturr L), Kubis (Brassica oleracae var. Capitata Linn ) dan Wortel (Daucus carota). Tesis yang tidak dipublikasikan Program Pascasarjava IPB, Bogor. Oka, |. N. dan S. Sukardi 1982. Dampak lingkungan penggunaan pestisida Jurnal Litbeng Pertanian | (2). Him. 49 - 56. Oka, |. N. 1995. Pengelolaan Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida. 1985. Direktorat Perlindungan Tanaman . Direktorat Jendral pertanian Tanaman Pangan. Jakarta. Him 3 Peraturan Peme‘intah R.| Nomor 6 Tahun 1995 & Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 881/Menkes/SKBIVIII/1996/ _711/Kpts/TP.270/8/96 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian. Rengam, S. 1992. Biological control : a. consumer perspective; in Biological Control : Issue in The Tropics. Proceeding of The Biological Control session. 3° Intemational Confrence on Plant Protection Society (MAPS). Rukmana, R. 1994. Bertanam Bayam dan Pengolahan Pascapanen, Kanisius Yogyakarta. 39 hal 72 Saragih, E. 1994. Laporan Survei Pengetahuan , Sikap dan Penerapan Pengendalian Hama Terpadu Petani Wortel di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor, Jawa Barat. IPB. Bogor. Sastroutomo, $. S. 1992. Pestisida. Dasar-Dasar dan Dampak Penggunaannya. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 186 hal. Soehartono, |. 2000. Metode Penelitian Sosial. Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahetraan Sosial dan IImu Sosial Lainnya. Soemarwoto, O; N. Djuaningsing; A. Suriadarma; |. Farida. 1978. Residu Pesitisida di dalam Hasil Pertanian dan Air. Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Nopember 1978. Sumatra, M. 1991. Analisis Residu Pestisida; dalam Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya (Kunarso, D.H. dan Ruyitno). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Proyek Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Air Tawar Jakarta, Jakarta. Susilo, H. 1986. Introduction to pesticide residue problem with special reference to foodstuffs. FAO/Biotrop Training Course on Integrated Pest Management of Legumes and Coarse Grain. July 15-20 Agust 1986. Sutamihardja, R. T. M., D. Nandika, A. Indriawan, Syahbuddin. 1982. Tinjauan tentang Penggunaan Pestisida di Indonesia. Fakultas Pascasarjana. Jurusan pengelolaan Lingkungan IPB, Bogor. 58 him. Sutanto, R. 2002 . Petanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius . Jakarta. Squiban, A. B., M. B. Belpomme & F. Marano. 1989. Cytotoxicity, accumulation and metabolism of deltametrin, a pyrethroid insecticide in Drosophilla malanogaster cells. Pestic. Biochem. Physiol. 33:201-212 Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida. Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. 249 him. Tjahyadi, R.V & Gayatri. 1994. Ingatlah Bahaya Pestisida Bunga Rampai Residu Pestisida dan Alternatifnya. PAN Indonesia. Jakarta Tim Penulis PS. 1992. Hama Penyakit Sayur dan Palawija Gejala, Jenis dan Pengendalian. Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta 207 hal. 73 Trizelia. 1994, Infeksi Bacillus thuringiensis Berliner pada Larva Heliothis armigera Hubner (Lepidoptera :Noctuidea) dan Pengaruhnya terhadap konsumsi Polong Kedelai. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Uclaf, R. 1982. Deltamethrin Monograph. 412 Him. United States Departement of Agriculture/USDA. 1990. Pesticide Back- ground Statement. Volume I Herbicides. Untung, K, 1992. Pengelolaan hama terpadu di Indonesia. Makalah disampaikan di UPN Surabaya, 25 Pebruari 1992. Vincent. E, Rubutkzy, M. Yamaguci. 1998. Sayuran Dunia 2. Prinsip, Produksi, dan Gizi. Edisi Il. Penerbit ITB Bandung. Ware, G. W. 1986. Fundamentals of Pesticides — A self Introduction Guide. 2nd Edition. Thomson Publication. Fresno. 247 him. World Health Organization. 1962. Principles Governing Consumer Safety in Relation to Pesticides Residue. Ganeva. Him 1 - 18. Worthing, C. R. 1979. The Pesticide Manual A World Compendium, 6" ed. The British Crop Protection Council Publications, Croydon. Wudianto, R. 1992. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Seri Teknologi-XXIl. Jakarta. 201 him. Lampiran 1. Peta Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru | PETA KECAMATAN BUKIT RAYA KOTA PEKANBARU. ears Desa 74 Lampiran 2. Peta Kota Pekanbaru 75 Ht KOTA PEKANBARU ‘Seatas1 00.000 Kabupaten Bengkalis Kampar 76 Lampiran 3. Peta Propinsi Riau PETA PROPINSI RIAU PROPINS! RIAU pee i \ a MALAYSIA S20 Le x i Propins! SUMATERA BARAT SKALA 1 : 3500.00 umm | 7 Lampiran 4. Denah Percobaan <— 50cm» tla B2 c3 50 cm] 30cm 30cm | 30cm C1 A2 K3 Bt K2 B3 Al c2 3 Keterangan : 1, K2 dan K3_ = Kontrol (tanpa aplikasi insektisida) ‘Al, A2 dan A3_ = Aplikasi insektisida satu kali umur 8 hst B1, B2 dan B3 = Aplikasi insektisida dua kali umur 8 dan 13 hst C1, C2 dan C3 = Aplikasi insektisida tiga kali umur 8,13 dan 18 hst 78 Lampiran 5. Bagan Pengambilan Sampel $$ 50cm — > <10 0m» 1 3 4 5 x 6 8 9 10 | 1 12 | 13 14 15 | a | 16 rn 19 20 | | : [ 2 22 23 24 25 x | X = petak sampel yang terpilih secara acak 79 Lampiran 6. Daftar bahan aktif yang dihentikan pendaftarannya untuk bidang pengelolaan tanaman Nama Bahan Aktif_| Nama Formulasi__ _| Tahun Penghentian Asefat | Sematron 75 SI 1998 | Amcothene 75 SP 1998 Orthene 75 SP 1995 | Orthene 200 LC 1996 Diazinon Diazinon 60 EC 1997 Diazinon 10 G 1997 Basudin 60 Ec 1996 Imazinon 600 EC 1996 Rhozinon 600 EC 1995 Endosulfan Thiodan 35 EC 1995 Akodhan 350 EC 1998 Dekasulfan 350 EC 1995 _____| Indodan 350 EC 1999 Fenitrotion Dimaphen 50 Ec 2000 Agrothion 50 EC 1998 Lirocide 650 EC 1998 Sumithion L-100 1997 Sumithion 210 MCP 1996 Sumithion 50 EC 1997 Fentoat Elsan 60 EC 1996 Dharmasan 60 EC 1998 Merosan 500 EC 1996 Fention Lebacyd 500 EC 1996 [Fosfamidon Demecron 50 SCW. 1995 Karbaril Petrovin 85 WP 1998 Indovin 85 SP 2000 Sevin 5 D 1996 Sevin 4 Oil 1995 Sevin 85 S 1997 Sevin 43 FW 1997 Kartap hidroKlorida | Padan 50 SP 1995 Klorpirifos Basmiban 200 EC 1997 Dursban 20 EC 1998 Dursban 14 G 2000 Petroban 20EC 1998 Kuinalfos Mestakwin 250 EC 1998 Ekalux25EC 1996 Malation Gisonthion 50 WP 1995 Gisonthion 600 EC_ 1995 80 Metamidofos Monitor 200 LC 19968 Tamaron 200 LC 1996 __| Sematam 200 WSC 1996 Metomil Lannate 25 WP 1998 Metindo 200 WSC 1997 Metindo 25 WP 1998 Lannate L 1995 Monokrotofos Azodrin 60 WSC 1996 Imafos 150 WSC 1996 __| Nuvacron 150SCW 1996 Piridafention | Ofunack 40 EC. 1997 Triazofos —_|Hostathin 40 EC 1995 Triklorfon Dipterex 95 SP 1996 Sumber : Departemen Pertanian dalam Daryanto (1999) Daftar bahan aktif yang dilarang pendaftarannya di Indonesia No__[ Nama Bahan Aktif 01 Aldrin 01 Dinoseb | 03 | Endrin 04 =| EPN 05 | Fosfor Merah | 06 | Halogen Fenol 07 _| HCH dan isomernyaHeptaklor 08 | Heptakior 09 | Metoksiklor 10 | Mevinfos 11 Natrium- 4- bom-2,5 diklorofenol 12 | Natrium klorat 13 | Strikhnin 14 | Senyawa Merkuri 15 |2,3,5-T 16_| Telodrin _ Sumber : Departemen Pertanian dalam Daryanto (1999) 81 Lampiran 7. Data suhu, curah hujan, lama penyinaran dan Kelembaban udara bula Mei 2002 GARIS LINTANG £00.28 N GARIS BUJUR 101.26 E TINGGI DI ATAS PERMUKAAN LAUT: 31M rc TEMPERATUR (6) CURA] pewyinaran [_KELEMBABAN NISBIDIM% | RAT HUAN, | MATAHAR! tat | 07.00 | 13.00 | 18.00) RAT | max} win | orraKar | WATAHAR | O70 | 13.00 | 18.00 —_| JAM 07.00 Soe see a T 3 ae Tm | 313 | 52"| B65 | az | ao 70 35 ‘3667 | 32 2p a2 308-317 [277] 338 | 28 | 00 Tse | 8 | 5] 4 3/252 | 332 | 290 | 282 [350 [255 | 56 3 22 | 6 | 7 4""358-| 290| 280_[ 272-| 320 | 236 | 260 30 ‘sf | 8 | a7 S260 | 315 | 268 | are | 925 | ma | 35 2 a 65 [314] 336 | 286 | 68} 236 | —o68 75. 96 _| es} 60 t 7242 | 278 | 290 | 263 | 300 | 246 | — 05 6 36_| 61 | 79 8252 | 320-312 Ze [78 58, 3 |e | er ° 32,17| 304 248 | 00 46 si] ee | 72 10 325 | 297 246 | 00. 88 94] 55 | 66 far 325 | 280 242 _| Tw 68 0 | s7_|_72 12 “12330 238 | op. 61 | 8} | a7 13 338 [344 240" | 000 80 ‘69 [58 | 60 14 336_| 336 252} 00. 64 3 | 65 | 56 15 338_| 336 52 | 09. co si_[61_| 57 16 30 [3a 247_[09~| 1007 ‘3048 | “65 a7 340 34a 255] 09. 09 38 | 85 | 60. 18 338-[ 330) 244} 009 cn 89__| 58 | 60 18 343] 31.8 254_[ 09 [78 89_| 68 [67 20, 328] 316 338_[ 93. ca ‘ot_[ 61 | 68 21 314] 322) 232 38. 98 94 —|—68—| 69 2 30,0[ 325) ms [118 71 33 | 63] 64 Zz 314 | 320 23.0_| 00 90 94 _| 59 | 62 24 313] 260. z0_| 09. “4 31 | 65 | 79 25 36 [32.9 m2 | 398 Eg 90 [60 | 60 26 240 255 B0_| 1380 0 96100] 9 2 282 [-240-| 245 2 | — Tw 8 37_| 78 _| 75 26 320-312" 272 | 336 [220 | 09 38, 96 4 ‘29 | 260 [334 [316 | 283 | 360 | 24.0 | 09 74 80 | 59 | 68 ‘30 260 | 324-328-287 | 343 | 230] 09 38: ‘32 or_ [68 [a2 [326-| s20_[ 283 | 60 | 236 | 09 60 90 | ~60—| 62 ‘WU| 7602 | 984.0] 8564] 869, | 105 | 7424] 3036 454 2art | 1996 | 2119 re 7 | 43 AK RA | 248 | 37 | 304 | 287 | 339] 259 | Taha w Bea Tae 1 Keterangan : Pekanbaru, 05 Juni 2002 KEPALA STASIUN METEREOLOGI Tanggal 12 Mei 2002 :Penaburan benih PEKANBARU ‘Tanggal 20 Mei 2002 : Aplikasi insektisida ke-satu Tanggal 25 Mei 2002 : Aplikasi inseltisida ke-dua ‘Tanggal 20 Mei 2002 : Aplikasi insektisida ke-tiga ‘Tanggal 02 Juni 2002: Panen PURWOKO SUSILO NIP. 120 081 816 82 Lampiran 8. Analisis Usaha Tani Budidaya Bayam Analisis Usaha Budidaya Bayam Spesifikasi - Luas lahan 0,25 Ha = 40 bedeng dengan ukuran 20 x 2,5 m -Jenis sayur bayam cabut - Umur sampai panen 20 hari - Masa pakai alat 5 tahun 1. Biaya a. Investasi © Buka lahan Rp. 1.000.000,- © Sumur bor Rp. 800.000,- Mesin Robin Rp. 2.000.000,- © Selang air 100 m Rp. 400.000,- * Sprayer solo Rp. 200.000,- © Gerobak sorong Rp. 300. 000,- © Bak pencucian Rp. 300.000, © Cangkul + garu Rp. 200.000,- © Dangau Rp. 1.000.000, « Lain-lain Rp. 300.000, Jumlah Rp. 5.500 000,- b. Operasional ‘* Pengolahan lahan 40 bedeng (20x 2,5m) Rp. 300.000,- * Bibit 40 bedeng x 50 gibedeng Rp. 160.000, + Pupuk kandang ayam 10 karung x40 x2500 Rp. © Urea 2 kg fbedeng x 40 x Rp.1500 Rp. © Pestisida 2 kaleng (250 mi) Rp. ‘* Pemanenan Rp15.000/ bedeng x 40 bedengRp. © Karet 0.5 kgfbedeng x 40 x Rp 2000 Rp. 40.00 © Bensin 3 liter/bedeng x 40 x Rp 1800 Rp. 216.000, Jumiah Rp. 2.536,000,- 2. Produksi Produksi bayam = 500 ikat/bedeng x 40 bedeng 10.000 ikat Bila satu kilogram bayam = 8 ikat, maka produksinya = 2500 kg 3. Penjualan Hasil Penjualan = 2500 kg x Rp. 1600/kg Rp. 4.000.000 4. Keuntungan= Penjualan ~ Biaya Rp. 4.000.000, — Rp.2.536.000 = Rp. 1.464.000,- 83 5. Pertimbangan Usaha a. Titik Impas (Break Event Point) BEP Volume Produksi = Biaya : Harga Jual Rp. 2.536.000 : Rp. 1600/kg 585 kg BEP Harga Biaya : Volume Produksi Rp. 2.536.000,- : 2500 kg = Rp. 1014,4/kg b.BIC Ratio = Rp.4.000.000 / Rp.2.536.000 = 1.577 artinya setiap Rp. 1,00 yang dikeluarkan akan menghasikan Rp. 4.577 atau memperoleh keuntungan 57 %. c. Pengembalian Investasi (Return of invest men) RO! Keuntungan/modal investasi X100.% Rp.1.464.000/ Rp 5.500.000 X 100 % 6,6 % Perhitungan di atas menunjukkan bahwa produksi bulan pertama dapat mengembalikan biaya investasi sebesar 26,6 %, artinya seluruh biaya investasi akan kembali dalam jangka 4 kali musim tanam . Karena bayam baru bisa ditanam setelah 3 kali musim tanam, maka pengembalian biaya invetasi setelah 7 musim tanam atau lebih kurang pada bulan yang ke-6. 84 Lampiran 9, Hasil analisis residu pestisida pada bayam dan dalam tanah DINAS KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PROPINS! SUMATERA BARAT UPTD. BALAI LABORATORIUM KESEHATAN J. Gadjah Mada (Gn. Pangiun) Tep. (0751) ~ 54023 Fax. (0751) - 41927 PO. BOX 168 Padang 25137 No. Agenda LA 02.01. 732, 2002 Perinal : Hasil Pengukuran Residu Pestisida Yih Asal Sampel Peneliian Mahasiswa Pascasarjana -_IRFANDRI ‘Tanggal Masuk 24 Juni 2002 Mns. Pascasarjana IPB Bogor No. Lab 2002. R. 08 ai PADANG ary rc ikaran Residu Pestisida dengan GC (BL) | Ketorangan | No. | Kode Sampet | Hasil Fengukuran Residu Pestiside congen SC ( Keterangan | 7 [Ne or Ay td : 2 | No, 02 (A2) td 3_[ No. 03 (a3)_| ta “4 |"No, 04 (61) ttd = 5__|_No. 05 (B2) td anaes _ 6 | No, 06 (63) tte 5 7 | -No. 07 (C1) itd 8 | No. 08 (C2) itd : 9 |_No.09(C3)_ itd 10 | No. 10 (ki) tte ‘ 11 _|_No- 11 K2) td : 42 | No. 12 (k3)_|— tte : 73 | No. 13(91) td z 4 | No. 14 (n2) ttd 5 15 | No. 15 (n3) tid : 46 | No. 16 (nd) td ad 17 | No. 17 (TA) td 5 18_|_No. 18 (TB) ttd = 19 | No. 19 (To) tid : - 20__| No. 20.(TK) ta 5 Ket {td tidak terdeteksi Tembusan ‘Aesip Padang, 1 Juli 2002 Kepaia UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Drs. Yarman Diar, Mkes NIP. 140 050 422 85 DINAS KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PROPINSI SUMATERA BARAT UPTD. BALAI LABORATORIUM KESEHATAN 4. Gadjah Mada (Gn, Pangiun) Telp. (0751) ~ 54023 Fax. (0751) - 41927 PO. BOX 168 Padang 25137 Lampiran : Data Hasil Uji Standar Data Hasil Pembacaan Standar Hasil pengukuran Standar Pestisida dengar No Standar Profenofos Klorpirifos 7_| injeksi 5,0 pl 5.0L 50 pL [2 | Konsentrasi (opm) 10,0 10.0 '3_ | Tinggi Peak 72,634 74,612 4 [Area 68.338 «| 87,821 5 [RT Peak 10,142 6,567 Hasil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi File + ¢t\analis~1\food-ml\stprof 86 Raye L of Method -vp\service\methods\method_5.met: Sample ID Acquired : : : Printed + dun 25, 2002 10:17: User Systen lanalis~1\food-mn~4istprof ~ Channel A 100) 100 | | | mg g ym v > 3 Boy : | g | i q 1g ——— e 5 : a 5 10 Minutes chamne Fesults Peak Peak Name Tite Area Weight — Cone ( ppt ) 2 Profenofos 10.142 68336 12634 10.0000 0 channel A Results Peak Peak Name Rlorfiritos 87 Page 1 asil Analisa Kadar Residu Pestisida Tab Kimia Air dan Toksikologi File \analis~l\food-m-l\stklori Method \class-yp\service\methods\method_S.met Sample ID Standar Klorfirifo Acquired : dun 25, 2002 0! 7 Printed Jun 25, 2002 10: User : System clanals~{Voodsn={istHort Channel A 100} ‘ | in m kg y & rey Le soontates 8.807 220, i ! L—as, Minutes m1 6.567 Area weight — cone ( ppm ) sez 14612 10,0000 88 Hiaail Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi File + ¢t\analis~1\food-m-1\st01 Method ¢:\class-vp\service\methods\method_5.met Sample ID + Sampel 1 Acquired Jun 25, 2002 10:20:55 Printed : dun 25, 2002 10:43:55 User : System clanalis~f\oodsn-f\stlt = Channel A 100 mn mi y 3 y is 8 Re 8 | _ 7h 0 8 Minutes channel A Results Peak Peak Name Height cone | ppm ) Totals t 0 0 0.0000 89 Page 1 9) fagil Analisa Kadar Residu Pestisida Tab Kimia Air dan Toksikologi + et\analis~1\food-m-1\st02 Pile Method \clasz-vp\service\methoda\Method_5.met Sample ID + Sampel 2 Acquired Jun 28, 2002 10:38:26 Printed Jun 28, 2002 10:52:27 vser systen canals Voodm~1\S102 ~ Channel A <2 5 10 Minutes channel A aoeulee Peak Peak Name Time Area Feignt cone ( ppm ) Totals t ° 0 0.0000 Ragil Analiea Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi 90 page 1 of File \analis~1\ food-m-1\St03 Method class-vp\service\metheds\Method_S.met Sample ID + Sampel 3 Acquired : Jun 25, 2002 10: Prin Jun 25, 2002 11 user System cclanals-tNoodsn~f16103 ~ Channel A | 400 m | mn 7 3 fe : | a tha. : 0 5 10 Minutes channel & Results peak Peak Name Time Area Height Cone ( ppat ) Totals : 0 0 0.0000 91 Page 1 of Basil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi File + ¢s\analis~1\ food-m-1\st0d Method + ¢:\class-vp\secvice\metheda\Method_$.met sample ID: Sampel 04 Acquired : Jun 25, 2002 11:14:09 Printed 1 Jun 25, 2002 11:28:14 User 1 System \analis~fVfood-m-1\St04 ~ Channel A 100} 100 n g \ mn Fl 3 150 v ES | v 2 i a g A ad ——4 0 3 a) Minutes Channel A Results Feak Peak Hone Tine Area Height — cone ( ppm ) Totals : 0 09,0000 92 Rasil Analisa Kadar Residu Pestisida Zab Kimla Air dan Toksikologi Rage 1 of Pile analis~1\ food-m-1\3t05 Method claga-vp\service\metheds\Methed_S.met Sample ID sampel 05 Required Jun 28, 2002 11 2 Printed : Jun 25, 2002 11 4 User : System canals Vood-mfIst05 ~ Channel A 100) "6g v B88 ea Ge Channel A Results Peak Peak Name Time totals : 9 0 0.0000 93 page 1 Hasil Analise Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi File + ¢\analis~l\food-mel\st06 Method : ¢:\class-vp\service\methods\method_§.net Sample ID: Sampel 6 Acquired Gun 25, 2002 11:45:49 Printed Sul O1, 2002 08:00:83 User System clanals~f\food.m~\st06 - Channel A 100} | | im 11 m | n v y channel A Results Peak Peak Name ise cone ( pom ) 1 O17 21768 9.0000 2 2.292 20268412 1063193 0.0000 3 6.008 61420 15138 0.0000 4 7.083 408865187103 0,0000 s 7.218 341796 61661 0.0000 6 953313673 2088 0,000 > Profenofos 10.142 6 o — 0,0000 7 Yo1T 12413 2133 0.0000 Totals : gil4a344 1399641 -0.0000 94 Page 1 of Hasil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi File +: ct\analis~l\food-m-1\st07 Method c:\class-vp\service\methods\method_§.met- Sample ID Sampel 7 Acquired Jun 26, 2002 08:55:32 Printed Jul O1, 2002 08:02:14 User System cclanalis~!Mfood-mtist07 Channel A | 10 00 | | | m 5, m v Poy 9 i : | ; oN _ s 0 a 0 Minutes Channel A Results Peak Peak Name Time Area Height cone ( ppm ) 2.090 3297973 106L4S7.—_9.0000 Guz S146 = 11958 (0.0000 : 71200 243531 117480—(0.0000 7.382 15516925260 0.0000 1o.14z ° © 0.0000 3748089 1216186 9.0000 95 Hasil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi File : ct\analis-1\food-m-1\st0el Method : c:\class-vp\service\methods\method_S.met Sample ID: Sampel # Acquired + dun 26, 2002 09:11:38 Printed : Jul 01, 2002 08:09:46 User : System Cclanalis~fVood-m-ist08 ~ Channel A <3 0 9 10 Minutes: channel A Results Peak Peak Nane time Area Height conc ( rm ) L 2361 0.0000 2 1062075 0.0000 3 1333, 0.0000 4 9125 0.0000 8 6.208 $290 1ITL 9.0000 6 7.108 33714160868 0,000 7 7.300 71860738971 6.0000 8 7.042 13620 1163 0.0000 3 ais SoaL 393 9.0900 10 9.642 $663 662 6.0000 n 9.925 S582 1120 9.0000 12 Protenofos 10.042, 7750 1118 0.0000 b 10.408 9217 2034 6.0000 4 11,800 7616 1180 0,000 lasil Analisa Kadar Residu Pestisida ab Kimia Air dan Toksikologi fle 1 ¢r\analis~1\food-m-l\st09 fethod : ¢:\class -vp\service\methods\method_S.met sample ID Sampel 9 Acquired dun 26, 2002 09:20:26 2rinted Tul O1, 2002 08215216 Iser system clanalis~fMfoodn~tst09 - Channel A 100 8 100 n n | 6 V 0 g | is ° 8 ao Ee kK age Fe ; a saftey Q 5 10 Minutes channel A Results Peak Peak Name ine Height — Cone ( ppt L O17 -284se 2446 0.0000 2 0.442 18186 B04 0.0000 3 2.075 $229278 1062482 0.0000 4 6.058 41154 9964 0.0000 s 7.125 161480 24463 0.0000 6 7,317 224111 48861 0.0000 7 7.88 11036 853 0.0000 8 4.8! 19117 1738 9.0000 4 9.933, aaa 1358 0.0000 10 Profenofos 10.058 7939 1017 0,000 1 11.042 10785 1162 0.0000 w 11,808 e132 1990 90,6000 se71990 113502 «(0.0000 7 Page 1 of Hasil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi File analis~1\food-m~1\st010 Method + ¢s\class-vp\service\methods\method_5.met. Sample ID Sampel 10 Acquired Jun 26, 2002 09:45:56 Printed s dul 01, 2002 08:20:52 User : System clanais~!Noodsst040 ~ Channel A 400 8 100 ~ | ji | ke m v moo g bog gl g er: Oe es ~ v 0 5 10 Minutes Channel A Results Peak Peak Nane Time Area Haight Cone ( ppav ) 9,108 e188 1Bss 0.0000 1 2 2,058 3898940 1061730 0,000 3 4.692 6STL 1123 0.0000 4 6.067 47134 14zz 0.0000 5 7.133 180068 33234 0.0000 6 7.328 279737 S316 0.0000 1 8.342 5959 471 0.0000 a 8.742 7008 477 0.0000 9 9.233 5026 862 0.0000 10 9.567 8267 1056 0.0000 1 9,942 $302 1930 9.0000 12 Profencfos 10,058 1652 342 0.0000 13 10.425, 9689 3060 0,000 u 11,067 5726 304 0.0007 1s 1.817 7944 1330 0.0000 44e3261 — Lazzo1s 0.0000 : Baad 1 AF flasil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi 98 File + ¢r\analis~1\food-m-1\st011 Method ¢:\class-vp\service\methods\method_8.net Sample ID Sampel 11 Acquired + dun 26, 2002 10:06:36 Printed Jul OL, 2002 08:22:25 User : System cclanalis~filood-m-fist01t - Chanel A m m Vv y g Be RB RR =e ws 6 fhHE wwe here soe = & channel A Results | Peak Peak Name Time Area me ( ppm) Poa 0.158 30372 1374 0,0000 i 3 ose Re oort tn tc {. 3 2.092 11033275 10627946, 0000 $ soe hone Saat] 0c000 \ 6 2.525 9000, waz 9.0000 : ae gions Tae eco 7 10 4.588 S156 698 0.0000 aed 4.800 9350 a2t 0.0000 P gio. ausie aes oso 1s 6.683 ‘$809 as 6.0000, r The Fee Se 0.0000 wy 7.683 6SSS. 802 0.0000 20 9.017 59309 1564 0.0000 Hasil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi 99 File + es\analis~1\food-m=l\st0l2 Method : ¢:\class-yp\service\methods\method_5,met Sample ID: Sampel 12 Acquired + dun 26, 2002 10:22:2 Printed Gul O1, 2002 08:2 User System clanalis~{Voodn~f\st0412 ~ Channel A 100 Channel A Results Peak Peak Name Time 0.133 0.317 0.817 0.650 2.108 2.66 4.642 7.003 1,308 9.033, 9.867 Profenofos 10.142 19.400 10.467 m7 Totals : Area 49547 32962 12378 $183 9404s m2 5268 33503 8249 si 8033, 0 19 e718 S091 9147690 § Minutes Height Gone ( ppm ) aiid 9.0000 2995 0.0000 1788 0.0000 988 0.0000 1062436 0.0000, 1959 0.0000 Ties 0.0000 13762 0.0000 1g3, 0.0000 323 0.0000 687 0.0000 0 0.0000 2502 0.0000 2023 0.0900 S16 0.0000 1os74s0 0,000 Hod Hasil Analisa Kadar Residu Pestisida’ Lab Kimia Air dan Toksikologi File Method Sample ID Acquired Printed User ¢:\analis~l\food-m=1\st013 ¢:\class-vp\service\methods\method_5.met Sampel 13 Jun 26, 2002 10:38:39 Jul O1, 2002 08:29:03 system \anals~food-m~f\st043 - Channel A 100 Rage 1 of 100 + 90.408 3 0 Minutes channel A Results Peak Peak Name Profenofos Totals : Time Area Height — Cone (ppm) 2.058 4022946 1063403 0.0000 4.650 e404 ‘1ss1 0.0000 7,100 $0405. 20884 0,000 7.228 7208 1088 0.0000 10.142 0 9 0.0000 110.408 ssa 1438 0,000 4094571 1088364 0.0000 10 Page 1 of fasil Analisa Kadar Residu Pestisi¢a cm Zab Kimia Air dan Toksikologi File 1 ct\analisrl\food-m-1\st0l4 Method o:\class-vp\service\methods\nethod_5.met Sample ID: Sanpel 14 Acquired + Jun 26, 2002 11:04:14 Printed —: dul O1, 2002 08:30:49 User 1 System clanals~{\food-m-f\st014 - Channel A 1 400 100 mgd lg Vv ~ v 3 e 8 fe : Oe : te a f 0 § 10 Minutes channel A Results Peak Peak Name time Area Height — Cone (ppm) 9.106 6272 906 9.0000 L 2 2.067 6669569 1063510 0.0000 3 2.383 (14458 RSS 0.0000 4 2.825 S601 871 0,000 5 2,692 8045 3924 0,000, 6 2,792 6130 655 0.0000 7 4.742—-10210 2223 0.0000 8 1.193 31312 15930 0.0000 3 7.400 76 1017 0.0000 == Profenofos 10,142 0 00,0000 Totals : 6765343 1092251 0.0000 Hasil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab File Method Sample ID Acquired Printed : User 1 Vv mia Air dan Toksikologi ct\analis~1\food-m-1\st0ls :\class-yp\service\methods\method_5.met Sampel 15 Jun 26, 2002 11:22:06 Jul Ol, 2002 08:32:13 system cclanalis~1\ood.mn-f\st016 - Channel A 102 Page 1 00 4100 g 0 5 0 Minutes channel A Results Peak Peak Nane Tine Area Height Cone (ppm) L 44403, 412 6.0000, 2 46523 3448 0.0000 3 2.052 S043eS 1063442, 0.0000 4 4.700 8747 1760 0.0000 $ 6.658 S416 aa 0.0000 6 7.133 44203-17384 0,000 7 7.3330 M11 2208 0.0000 3 qisiz 7339 mz 0.0000 9 8.975, TESS V3 0.0000 10 650 7349, STL 0.0000 -- Profenofos 10.142 0 oO 0.0000 u 10.442-17372 6227 0,000 1 10.908 14131 5120 0.0000 Totals 5341658 1108876 (0.0000 f Hasil Analisa Kadar Residu Pestisida’ | Lab Kimia Air dan Toksikologi 103, ) Pie + o:\analis~1\ food-n-l\st0l6 Method } c:\class-yp\service\methods\method_5.met Sample ID: Sanpel 16 Required + dun 26, 2002 11:38 Printed Gul 01, 2002 08 User 2 System clanalis~f\ood:me1\st016 Channel A Seats 5 m v 3 8 Bs Seog gE 8 ag 2! d _ : a § 10 Minutes channel A Results © peak Peak Nane rine Area fieignt cone (opm) ggo710z 1063711 4 130431 S041 : 46143 4330 yt 15736 4048 4 26720 7980 a 7941 a2 i 7294 1040 6397 743, 0.0000 2620 530 9.0900 677 1452 0.0000 == Profencfos 10.142 ° 0 0.0000 un to.40a 9907 3503 0.0000 2 ioa7s 6574 2331 0.0000 B 1110337580 ios 0.0000 Totaly : woigs4az2 1144228 0.0000 flasil Analisa Kadar Residu Pestisida Lab Kimia Air dan Toksikologi 104 File + ¢2\analis~1\food-m-1\st 017 Method c:\class-yp\service\methods\nethod_§.met Sample ID + Sampel 17 Acquired + Jun 26, 2002 12:08:30 Printed : Jol O1, 2002 08:35+18 User : System cclanals~fNood-m-‘lst017 ~ Chanril A 7 | ys | 50 Ko fn | | 3 5 S 4 s ° 88 s & 3 a 5 F a emrrneenge Seamed Brim ht —P 0 t 0 Minutes channel A Results i Peak Peak Name Time Area Height cone (pai) 1 2.083 9628493 1063690 0.0000 2 2.11$ 151565 $0934 0.0000 pee) 2.390 $1388 7048 © 0.0000 s4 2.708 39485 18379 0,0000 s 4925 6337 662 0,0000 6 611729872 70s0 0.0000 vod 112s 5968 1944 0.0000 4 7,458 5058 a7 -0,.0000 $ 9.517 6264 362 0.0000 == Profenofos 10,142 0 9 0.0000 10 10.475 13641 4364 0.0000 1 19.550 10063 3501 0.0000 agagi04 1156011 0.0000 Hail Analisa Kadar Residu Festisida - Lab Kimia Air dan Toksikologi 105 File + ct\analis~l\food-m-l\st01@ Method : c:\class-vp\service\methods\method_5.met Sample ID: Sampe) 18 Required + Jun 28, 2002 08:36:02 Printed Jul 01, 2002 User : System chanalisVood-m~t\st018 ~ Channel A a a | i | | a # m i m Vv y Pi) 125, 3 » ie e 8 gg 38 $8 g ° gf a 3 Re 3 k 35° a a | 0 § 10 Minutes Channel A Results 1 Peak Peak Name time Area weight Cone (ppm) 2.092 8590921 1062643 0.0000 1 z 2.417 5880 7a2 0.0000 , 3 2.667 7165 1803 0,000 aha 4.850 6482 576 0.0000 5 6.033 31713 6737 0.0000, 6 8.642 6840 364 6.0000 7 9.042 3025, $94 0.0000 a 3.808 S249 499, 0,000, => Profenofos 10,142 0 o 0.0000 3 10.408 16670 2404 0.0000 10 10.483 eee 1633 0.0000 Totals : 606934 1079101 0,000 asil Analisa Kadar Residu Pestisidd - Lab Kimia Air dan Toksikologi 106 File + ot\analis~l\food-m-1\st019 Method 1 c:\class-vp\service\methods\method_5.met Sample ID: Sanpel 19 Acquired + Jun 28, 2002 08:50:46 Printed + Jul OL, 2002 08:37:57 User System clanals-ads-ts019 ~ Chanel A 5 fs | | a fe m | v | Channel A Results Peak Peak Name rime 1 0,133 2 9,300 3 0.475 4 2.067 5 6,025 6 6.183 7 7.025 5 7,367 4 7,509 10 7,608 u 9.500 -- profenofos 10.142 2 19.400 B 10.467 Area 27228 116037 10771 4460631 41507 ns 6630 7357 6356 5403 S611 0 117s 19312 4628806 Height 2742 1843 906 1062864 10877 1306 138 1382 2046 958 379 0 $310 $96 1090845 cone (ppm) 0.0000 9.0000 9.0000 9.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0900 9.0000 9.0000 0.0000 3 , Page i Hasil Analisa Kadar Residu Pestisidd - Lab Kimia Air dan Toksikologi Me File + ¢\analis~1\food-m-1\st020 Method 3 ¢:\class-vp\service\methods\method_5.met Sample ID: Sampel 20 Acquired + dun 28, 2002 09:17:41 Printed + dul 01, 2002 08:39:19 User : System clanalis~1Voodyn~f\st020 - Channel A 75} 5 50} es) n nm v v a Minutes channel A Results Peak Peak Wane time Area Height Cone (ppm) 2.050 3591371 1 0.0000 2 4,933 6563 0.0000 3 6.128 59773 1827L_——0,0000 4 6.292 10432 1185 0.0000 5 6.858 S132 10 0.0000 6 2.133 9389 2002 0.0000 7 71,342 8657 1916 0.0000 8 7.467 10997 2187 0,000 9 7.600 7492 2423 0,000, 10 7.700 7589 1330 -0.0000 n 1,933 5256 S10 0.0000 2 8.711 65st 435 0.0000 13 Profenofos 9.092 5480 681 0.0000 u 10.492 22892 7549 0,000 1s 10.558 16084 5728 0.0000 Totals : a 3772364 1108957 0,.0000

You might also like