Press Release
Disertasi “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan
Seksual Non Marita” adalah hasil penelitian Sdr. Abdul Aziz tentang penafsiran Muhammad
Syahrur atas istlah milk al-yamin (atau yang semisalnys) dalam Al-Qur’an. Dia telah
melakukan penelitian secara obyektif dan sesuai dengan aturan-aturan akademik. Sebegai
Peneliti, dia dituntut untuk mampu mendeskripsikan pandangan dan penafsiran Syahrur atas,
kata tersebut dan memang Syahrur mempunyai pandangan bahwa milk al-yamin itu tidak
hanya budak, tetapi ‘semua orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual’, Pendapat
‘Syahur ini dikaji dan dikritisi oleh Sdr. Abdul Aziz, beik dari segi linguistik maupun dari sisi
endekatan gender. Memang, kritikannya masih belum sempurna dan belum komprehensif.
Karena itu, di ujian terbuka disertasi itu promotor dan penguji mempertanyakan dan
‘mengkritisi juga pandangan Syahrur ini, sebagai berikut.
Prof. Khoiruddin Nasution (Promotor):
Disertasi yang ditulis Abdul Aziz membahas kohsep milk al-yamin Muhammad
Syahrur. Syahrur mengkontekstualkan konsep milk al-yamin dalam kehidupan kontemporer
sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, yakni
nikah al-mut‘ah, nikah al-muhalli, nikah al-‘ifi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah
friend, nikah al-musakanah (samen leven). Nikah-nikah sejenis ini sekarang umum dilakukan
orang-orang Erope, termasuk Rusia, dimana Syahrur hidup lama. Secara hermenutika Konteks
inilah barangkali yang menginspirasi Syahrur. Jenis-jenis nikah ini telah ada dalam tradisi
muslim dengan hukum kontraversial. Ada ulama yang membolehkan, dan ada muslim yang.
mengamalkan, Sebaliknya ada ulama yang mengharamkan,Dalam disertasi, Abdul Aziz
mengkritik konsep Syahrur, dengan menyebut tampaknya ada bias-bias subjektivitas
pencetusnya. Di antara bias dimaksud barangkali adalah Syahrur ingin mengubah hukum zina
yang didasarkan pada sentiment pribadi (politik), bukan atas pembuktian. Sebab pensyaratan
Pembuktian zina yang demikian ketat, menurut Syahrur, ingin menunjukkan agar janganlah
‘mudah menghukum orang berzina. Sayangnya, dalam abstrak, Abdul Aziz tidak menulis
kritik tersebut. Malah menyebut konsep Syahrur ini sebagai teori baru dan dapat dijadikan
Justifikasi keabsahan hubungan seksual non-marital, Kalimat terakhir ini juga yang menjadi
bagian dari keberatan tim penguji promosi. Selanjutnya tim meminta Abdul Aziz
‘menyempumakan abstrak untuk disesuatkan dengan isi disertasi.
Dr.phil. Sabiron, M.A. (Promotor):
Saya berpandangan bahwa penafsiran M. Syahrur terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
tentang milk al-yamin atau yang semisalnya itu cukup problematik. Problemnya terletak pada
subyektivitas penafsir yang berlebihan yang dipengaruhi oleh wawasannya tentang tradisi,
kultur dan sisitem hukum keluarga di negara-negara Iain. Subyektivitasnya yang berlebihan
ini kemudian memaksa ayat-ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan pandangannya, schinggaayat-ayat tentang milk al-yamin yang dulu ditafsirkan oleh para ulama dengan ‘budak”
dipahami oleh Syahrur dengan ‘setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungen seksual’.
‘Bagi Syahrur, sama dengan budak pada zaman dulu yang dimanfeatkan olch tuannya untuk
‘melakukan hubungan seks, orang-orang yang diikat kontrak untuk hubungan seks apapun
bentuknya, marital ataupun non-marital, halal. Penafsiran ini sekali lagi terlalu subyektif,
‘karena mungkin dipengaruhi oleh tradis dan kultur masyarakat yang melegalkan tindakan
fhubungan seks yang didasarkan pada suka sama suka (atau kontrak), schingga
mengenyampingkan obyektivitas makna teks ayat Al-Qur’an. Selain itu, analogi antara budak
dan orang yang diikat kontrak itu sangat simplisistik, karena hanya memandang satu aspek
Perbudakan, yakni seksualitas, padahal sisi lain yang harus diperhatikan dari perbudakan
ig sudah ada jauh sebelum turunnya ayat-ayat milk al-yamin, Sisi lain yang saya maksud di
falah ‘martabat kemanusisan’ yang oleh ayat-ayat Al-Qur’an sangat dijunjung tinggi.
Penafsiranyang tepat atas ayat-ayat Al-Qur’an tentang milk al-yamin adalah
Penafsiran yang di satu sisi memperhatikan makna historis (al-ma‘na al-tarikhi) ayat dan di
sisi lain memperhatikan pesan utama ayat (magshad al-ayat) dan signifikansinya (magkza)
untuk konteks kekinian, Untuk mendapatkan makna historis dan pesan utama ayat, sescorang
harus menganalisa makna kata-kata dalam ayat tertentu pada masa diturunkannya ayat Al-
Qur'an, konteks tekstualnya (siyag al-ayat), dan_konteks historisnya ( antara lain, sabab al-
nucul). Adapun untuk mendapatkan signifikansi (maghza) ayat, seseorang berusaha
‘mengembangkan pesan utama ayat pada konteks kekinian, Problem penafsiran Syahrur atas
ayat-ayat tentang milk al-yamin terletak pada keengganan memperhatikan makna historis kata
tersebut dan maksud/pesan utama ayat itu. Itilah milk al-yamin atau ma malakat aymamukum
pada abad ke-7 itu ‘budak’. Adapun pesan utama ayat-ayat tersebut bukanlah hubungan
seksual atau kebutuhan biologis, sebagaimana yang dipahami Syahrur, melainkan
kemanusiaan, Ada dua pesan utama. Pertama, ayat-ayat tentang milk al-yamin memberikan
kesadaran secara implisit kepada manusia tentang kehidupan budak yang nestapa, karena
‘budak tidak mempunyai kesemaan derajat dengan orang merdeka. Pesan utama keduaadalah
‘menanamkan kesadaran untuk mengatasi problem perbudakan saat itu dan sampai kapanpun,
lihat misainya QS. 39. Makna historis dan pesan utama ayat-ayat tentang milk
al-yamin semacam itu tidak ditangkap oleh Syahrur, sehingga penafsirannya menjadi
problematis.
Dr. Agus Najib (Penguji):
Kritik saya terhadap pemikiran Syahrur adalah sebagai berikut:
1. Penyebutan istilah milk al-yamin dalam Al-Qur’an tidak hanya berkaitan dengan
“budak perempuan” yang dimiliki laki-laki (ma malakat aimanuhur), tetapi juga
“budak Iaki-laki" yang dimiliki perempuan (ma malakat aimanuhunna). Syahrur
hanya terfokus pada “budak perempuan” yang dimaknai secara kontemporer,
sehingga pembehasan yang dilakukan tidak Komprehensif dan secara konseptual
‘masih dipertanyakan, apalagi kemudian akan diterapkan dalam masyarakat,2. Hubungan non marital ini, berbeda dengan akad nikah, disebut oleh Syahrur dengan
istilah agd ihson (“akad komitmen”). Kalaupun dianggap sebagai sebuah skad,
seharusnya Syahrur mengemukakan syarat dan rukunnya. Syahrur belum menjelaskan
syarat rukun akad tersebut secara jel.
3. Pandangan Syahrur berangkat dari kebiasaan dan tradisi (‘uf) masyarakat Barat-
sekuler saat ini yang mentolerir adanya samen leven (musakanah, kumpul kebo).
Karena perbedaan ‘urf, kebiasaan dan tradisi semacam itu tidak bisa diterima oleh
masyarakat muslim.
4. Dengan alasan di atas, pandangan Syahrur tersebut di samping secara teoritis masih
diperdebatkan, juga secara paksis tidak sesuai dengan ‘Urfmasyarakat muslim.
Prof. Euls Nurlalla, Ph.D. (Penguji Disertssi):
Disertasi ini merupakan kajian ilmiah atas pemikiran seorang tokoh, yaitu Syahrur.
Penulis (Abdul Aziz) memahami bahwa dengan konsep milk al-yamin hubungan seksual di
luar pemikshan diperbolehkan dalam Islam. Penulis menekankan bahwa Syahrut
‘mengembangkan konsep ini untuk diterapkan di masa sckarang ini dalam beberapa bentuk
Pemikahan atau tepanya hubungan seksual, seperti nikah misyar, nikah pertemanan, dan
lainnnya. Tujuan Syahrur dalam pemahaman penulis adalah untuk melindungi institust
Perkawinan : yang diagungkan Syariat Islam untuk menjadi keluarga yang
sakinah/bahagia/damai penuh kasih sayang, dimana Syahrur melihat bahwa banyak sekali
Pemikahan yang membawa kehancuran dan kenestapaan. Untuk itu bagi Syshrur, dalam
‘masalah hubungan seksual konsensus lebih diutamakan, Memang konsep ini problematik,
tari oleh kondisi sosial dimana Syahrur hidup dan mengembangkan pemikirannya dan
karenanya penulis disertasi (Abdul Aziz) tertarik untuk mengkajinya untuk melihat kekuatan
dan kelemahan pemikiran Syahrur (critical discourse). Sayangnya, memang pengugunaan
bahasa atau redaksi dalam beberapa poin membingungkan dimana penulis lupa atau alpa
‘menyematkan phrase ‘dalam perspektif Syahrur atau dalam kacamata Syahrur’ pada beberapa
Pemnyataan penulis di disertasi dan di ajang promosinya, schingga yang terbaca dan terdengar
adalah bahwa penulis mempunyai pandangan bahwa dengan konsep milk al yamin hubungan
seksual di luar nikah itu sah dalam syariat Islam.Pemahaman saya sendiri terhadap pemikiran
‘Syahrur adalah bahwa ia lemah dalam berargumen dan tidak konsisten dalam pemikirannya
terkait isu-isu hukum keluarga dan pidana terutama. Argumen bahwa ayat-ayat Qur’an masih
selalu harus relevan pada masa sekarang ini, sehingga ia perlu membunyikan kembali milk al
amin sangat lemah, Selain itu, interpretasi Syahrur terhadap istilah itu dalam batas tertentu
bertolak belakang dengan “teori limit/batas hukum”-nya, terutama batas maksimal tanpa
menyentuh garis bates minimal sama sekali, terkait dengan tindakan yang mendekati
‘hubungan seksual, Dengan konsep milk al yamin ia malah melegitimasi hubungan seksual di
{war nikah, dimana ia juga terkesan abai terhadap posisi ‘urf (tradisi) dan penetapan
hukumnya dalam isu ini tidak memenuhi standar kelayakan konsep maslahah, dimana
perlidungan terhadap perempuan yang ia ingin realisasikan bertabrakan dengan konsep milk
al yamin yang malah merendahkan perempuan.Dr. Samsul Haji (Penguji):
Menafsirkan ayat hukum tidaklah cukup dengan menafsirkan secara bahasa ataupun
didasarkan kepada konteks diturunkannya ayat tersebut. Ketika ayat ditafsirkan dengan cara
tersebut akan menghasilkan produk hukum yang parsial dan sulit diterima. Diperlukan
Pemahaman yang komprehensif terhadap metode penetapan hukum (istinbath hukum) yang
disebut ushul fikih. Aspek yang sangat penting yang juga harus dikuasai adalah pemahaman
terhadap illat hukum dan tujuan hukum_ (bina'ul ahkam ‘ala al-‘illat wa bina'ul ahkam ‘ala
cal-magashid). ‘Illat dipshami sebagai alasan kenapa suatu hukum ditetapkan (ratio legis),
sedangkan magisid asy-syarT'ah adalah tujuan dari hokum, yaitu merealisasikan
kemaslahatan, Kemasiahatan ini meliputi kemaslahatan agama, jiwa (kehidupan), kesucian
keturunan dan kehormatan, akal dan harta,
Mengalihkan makna milk al-yamin kepada makna diperbolehkannya hubungan seks non-
‘marital dalan bentuk nikah misyar, muhallih, samen leven dan lainnya, selain tidak sesuai
dengan maksud diturunkannya perintah menikah untuk membentuk suatu keluarga yang
abadi sakinah mawaddah dan rahmah, juga tidak sesuai dengan perwujudan kemaslahatan
agama. Bahwa Islam menghendaki keadilan bagi semua manusia laki-laki dan perempuan,
Pengalihan makna tersebut mengakibatkan perempuan menjadi korban dan bukan
perlindungan dan keadilan. Dalam aspek lain, konsep Syahrur tersebut sangat tidak sesuai
dengan prinsip penghormatan terhadap kaum ibu, dan bahwa kemuliaan lakislaki bisa dinilai
ketika dia memuliakan wanita,
Dr. Alimatul Qibtiyah (Penguji):
‘Saya melihat pemikiran Syahrur terkait milk al-yamin problematis terutama jika dilihat dari
Perspektif Kesetaraan gender. Perspektif yang digunakan lebih menekankan kriteria
erempuan yang boleh ‘dinikahi” secara non-marital (nikah hanya untuk kepuasan seksual),
tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama (istri yang di rumah),
Kesehatan reproduksi, hak-hak anak dan hak-hak pérempuan dari ‘pemikahan’ non-
maritalnya, Selain itu, hakekat pemikahan yang dipshami oleh jumhur ulama adalah
berjanjian yang sakral dan kuat (mitsagan ghalizhan) dan berdasar pada konsep kesalingan,
tidak sekedar menghalatkan hubungan seksual. Karena itu, ‘pernikahan’ non-m
bentuk apapun tidak sesuai dengan hakekat.pernikahan yang dipahami oleh kebanyakan
lama. ‘Pernikahan’ non-marital’ yang diprediksi skan mengurangi praktek poligami,
sehingga perempuan terlindungi, maka sebenamya hal itu justru menimbulkan ketidskadilan
dalam bentuk lain, legalitas perselingkuhan, jadi argumentasi menjadi problematis. Karena
tu, judul disertasi disarankan ditambah dengan kata “problematika.” Semaangat Al-Qur'an
‘adalah melindungi perempuan dan menghapuskan perbudakan. Dengan disebutnya milk al-
Yamin dalam Al-Que‘an 15 kali, hal ita menunjukkan bahwa masalah perbudakan, khususnya
budak perempuan, adalah masalah yang serius, karena menjadikan perempuan tidak diakui
kemanusiaannya, tidak mendapatkan akses ekonominya, menjadi obyek seksual dan tidak
Punya otonomi terhadap tubuhnya sendiri. Karena itu, tidak sepatutnya justru dicari bentukperbudakan baru dengan konsep ‘pernikahan non-marital’ yang hanya berorientasi pada
‘pemenuhan hubungan seksual, dan mengabaikan hak-hak perempuan dan anak.
Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. (Ketua Sidang)
Untuk diberlakukan, pemahaman Syahrur tentang milk al-yamin harus ditambah akad nikah,
wali, saksi dan mahar, Sebagai’ konsekuaensinya, Kata-kata Syahrur: “ Jika masyarakat
‘menerima”, maka harus mendapatkan legitimasi dari iimak. Dalam konteks Indonesia, dibuat
uusulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR, agar disyahkan menjadi Undang-undang.
Syahrur tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Dengan demikian,
den
in pada tanggal 28 Agustus harus direfisi sesuai dengan kri
Yogyakarta, 30 Agustus 2019
Tanda Tangan:
1, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. (Ketua Sidam
2. Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A. (Promotor)
3. Drphil. Sahiron, M.A. (Promotor)
4. Dr. Agus Moh. Najib (Penguji)
5. Dr. Samsul Hadi (Penguji)
6. Prof. Euis Nuri
lawati, Ph.D. (Penguji)
7. Dr. Alimatul Qibtiyah (Penguji)