You are on page 1of 14

Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

DISHARMONI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG


AGRARIA

Wasis Susetio
Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta
Jalan Arjuna Utara No. 9 Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
wasis.susetio@esaunggul.ac.id

Abstract
Disharmony (disharmony) legislation also occur because of selfishness sectoral ministries/
agencies in the planning process and the legal establishment. In the harmonization of legislation is
done at the central level , according to data from the Ministry of Justice and Human Rights in
2007, has made 25 of 27 harmonized draft laws proposed (92.59 %), 92 of the 107 draft
regulations proposed (85.98 %); 7 of 9 proposed draft presidential regulation (77.77 %) . In the
year 2008 has been harmonized 13 draft laws , draft regulations 64 and 6 draft presidential
regulation. Setting the right to land is still causing a lot of problems with respect to sectoral
activities , departmental and local (regional) . In his judgment , this is the result of a mismatch
between the Agraria Law arrangements with other laws , such as: minning, Forestry, Spatial
Planning and Investment, as well as among the Act, for example, Forestry and Mines . Based on
the description of the background above, which is the case in this study were (1) legislation collide
whatever sector (disharmony) with Agraria Law and (2) What are the benchmarks for assessment
disharmony? The main objective of this research is to study the impact of the implementation of
various laws and regulations relating to land and give you the option to harmonize , so that the
legal framework for land management in Indonesia is compatible with the constitutional mandate .
Based on the above background , the formulation of the problem and research objectives as well as
objects of research about " disharmony legislation in the field of agrarian " as stated above , the
researches of this law depart from normative legal research.

Keywords: disharmony, legislation, agrarian

Abstrak
Disharmoni (ketidakharmonisan) peraturan perundang-undangan juga terjadi karena
egoisme sektoral kementerian/lembaga dalam proses perencanaan dan pembentukan
hukum. Dalam harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dilakukan di tingkat
Pusat, menurut data dari Departemen Hukum dan HAM pada tahun 2007, telah
dilakukan harmonisasi 25 dari 27 rancangan undang-undang yang diajukan (92,59 %); 92
dari 107 rancangan peraturan pemerintah yang diajukan (85,98 %); 7 dari 9 rancangan
perpres yang diajukan (77,77 %). Pada tahun 2008 telah diharmonisasi 13 rancangan
undang-undang, 64 rancangan peraturan pemerintah dan 6 rancangan peraturan
presiden. Pengaturan hak atas tanah masih menimbulkan banyak persoalan sehubungan
dengan kegiatan sektoral, departemental maupun local (daerah). Dalam penilaiannya,
hal ini terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara pengaturan UUPA dengan UU
lainnya, seperti: Pertambanagan, Kehutanan, Penataan Ruang, dan Penanaman
Modal,maupun diantara UU tersebut, misalnya Kehutanan dengan Pertambangan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah (1) Peraturan perundang-undangan sektor apa saja yang
berbenturan (disharmoni) dengan UUPA dan (2) Apa yang menjadi tolok ukur terhadap
penilaian disharmoni? Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
dampak implementasi dari berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan tanah dan memberikan pilihan untuk mengharmonisasikan, sehingga kerangka
legal bagi pengelolaan tanah di Indonesia kompatibel dengan amanat konstitusi.
Berdasarkan atas latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian serta obyek
penelitian tentang “Disharmoni peraturan perundang-undangan di bidang agraria”
sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, dalam penelitihan hukum ini bertolak dari
penelitian hukum normatif.

Kata kunci: disharmoni, peraturan, agraria

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 135


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

Pendahuluan Di bidang kehutanan, akan lebih ter-


Sumberdaya alam memiliki nilai dan kelola secara efektif, baik dari aspek ekonomi
arti ekonomi yang sangat signifikan, bahkan lingkungan, sebab perencanaan pengelolaan
suatu potensi sumberdaya alam di setiap kawasan hutan harus menyeleraskan dengan
wilayah sering menjadi tulang punggung fungsi hutan sebagai sumber hayati dan mata
dalam proses mewujudkan eksistensi kelang- air. Oleh karena itu, pengukuhan kawasan
sungan serta keberlanjutan kehidupan ber- akan terlebih dahulu dihitung dan dikal-
masyarakat, berbangsa, maupun bernegara, kulasi sebagai asset Negara yang memiliki
sebagaimana ruh Pasal 33 UUD 1945 sebagi parameter ekonomi lingkungan sehingga
“grundnorm” dari pasal tentang ekonomi makna sustainability development of forest
nasional dan kesejahteraan sosial. Namun dapat dijadikan ukuran penetapan RTRW.
pasal ini masih perlu penjabaran operasional Sementara nantinya, kewenangan menteri
dalam peraturan undang-undang beserta kehutanan dalam penetapan kawasan hutan
turunan pelaksaannya lagi (Jimly, 2005). dapat ditinjau kembali, apabila pola RTRW
Salah satu hal pokok dalam penga- sudah dilakukan secara terpadu dan efektif
turan yang saat ini banyak disoroti oleh ma- dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut
syarakat adalah undang-undang yang berhu- di atas. Untuk bidang ini,penetapan hak atas
bungan dengan pemanfaatan tanah, sebab tanah dapat dilakukan, dalam rangka pe-
pada dasarnya, kegiatan ekonomi menggu- manfaatan lahan oleh pemerintah,sehingga
nakan tanah sebagai salah satu modal dalam kejelasan batas wilayahpengusahaan akan
aktifitas perekonomian. Masalah pertanahan lebih bias dikalkulasi secara tepat economic
dimasukan dalam undang-undang nomor 5 value-nya, baik bagi pengusaha hutan mau-
tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Hukum pun pendapatan Negara (PDRB).
Agraria (UUPA) yang lingkupnya secara luas Demikian juga pertambangan, harus
mencakup bumi, air dan kekayaan yang di- dilihat sebagai bagian kegiatan yang memi-
kandungnya, bahkan udara di atas per- liki dampak langsung dengan kondisi tanah,
mukaan tanah, sementara dalam arti sempit oleh karena itu pola kegiatan tambang harus
adalah soal tanah. diselaraskan dengan RTRW ke depan,dengan
Pengaturan hak atas tanah masih demikian kegiatan reklamasi dan paska
menimbulkan banyak persoalan sehubungan tambang masih dapat termanfaatkan sesuai
dengan kegiatan sektoral, departemental peruntukan. Tanah paska tambang harus da-
maupun lokal (daerah). Dalam penilaiannya, pat diberikan hak atas tanahnya agar meng-
hal ini terjadi akibat adanya ketidaksesuaian hindari adanya tanah terlantar yang menjadi
antara pengaturan UUPA dengan UU lain- beban Negara (cq pemerintah setempat),
nya, seperti: Pertambangan, Kehutanan, Pe- dengan demikian hak atas tanah pertam-
nataan Ruang, dan Penanaman Modal, mau- bangan pra penambangan harus jelas, dan
pun diantara UU tersebut, misalnya Kehu- hal ini dapat dilakukan dengan member hak
tanan dengan Pertambangan. pakai bagi pengusaha tambang yang secara
Terjadinya tumpang tindih dalam melekat diberikan bersamaan dengan Kuasa
pengaturan tanah, dapat teratasi jika hak atas Pertambangan.
tanah suatu kawasan jelas melalui RTRW Disharmoni (ketidakharmonisan) pe-
setempat,hal itu kemudian menjadi alas hak raturan perundang-undangan juga terjadi
dalam mengeluarkan berbagai produk karena egoisme sektoral kementerian/ lem-
hokum, seperti ijin lokasi, maupun ijin-ijin baga dalam proses perencanaan dan pem-
memanfaatkan lahan lainnya. Sementara, bentukan hukum. Dalam harmonisasi pera-
dengan kejelasan RTRW hal tersebut juga turan perundang-undangan yang dilakukan
menjadi alas hak untuk mengeluarkan ber- di tingkat Pusat, menurut data dari Depar-
bagai hak atas tanah sesuai dengan peruntu- temen Hukum dan HAM pada tahun 2007,
kannya,dengan demikian system data base telah dilakukan harmonisasi 25 dari 27
yang akurat serta sebaran informasi yang rancangan undang-undang yang diajukan
transparan dan valid menjadi sangat penting (92,59 %); 92 dari 107 rancangan peraturan
dan strategis dalam melaksankaan pendataan pemerintah yang diajukan (85,98 %); 7 dari 9
atas tanah di Indonesia. rancangan perpres yang diajukan (77,77 %).

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 135


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

Pada tahun 2008 telah diharmonisasi 13 ran- 1. Peraturan perundang-undangan sektor apa
cangan undang-undang, 64 rancangan pera- saja yang berbenturan (disharmoni) de-
turan pemerintah dan 6 rancangan peraturan ngan UUPA
presiden. 2. Apa yang menjadi tolok ukur terhadap
L.M. Gandhi mengidentifikasi 8 (dela- penilaian disharmoni?
pan) faktor penyebab timbulnya keadaan dis-
harmoni dalam praktek hukum di Indonesia, Tujuan Penelitian
yakni (Sidharta,2006): Tujuan utama dari penelitian ini
1. Perbedaan antara berbagai undang-un- adalah untuk mempelajari dampak imple-
dang atau peraturan perundang-unda- mentasi dari berbagai peraturan perundang-
ngan. Selain itu, jumlah peraturan yang undangan yang terkait dengan tanah dan
makin besar menyebabkan kesulitan un- memberikan pilihan untuk menghar-
tuk mengetahui atau mengenai semua monisasikan, sehingga kerangka legal bagi
peraturan tersebut. Dengan demikian pengelolaan tanah di Indonesia kompatibel
pula, ketentuan yang mengatakan bahwa dengan amanat konstitusi.
semua orang dianggap mengetahui se-
mua undang-undang yang berlaku nis- Metode Penelitian
caya tidak efektif; Berdasarkan atas latar belakang, ru-
2. Pertentangan antara undang-undang de- musan masalah dan tujuan penelitian serta
ngan peraturan pelaksanaan; obyek penelitian tentang “Disharmoni per-
3. Perbedaan antara peraturan perundang- aturan perundang-undangan di bidang
undangan dengan kebijakan instansi agraria” sebagaimana telah diuraikan ter-
pemerintah. Kita kenal berbagai juklak, sebut di atas, dalam penelitihan hukum ini
yaitu petunjuk pelaksanaan yang mala- bertolak dari penelitian hukum normatif
han bertentangan dengan peraturan per- (Soetandyo, 2002). Menurut Bagir Manan,
undang-undangan yang akan dilaksana- yang dimaksud dengan penelitian hukum
kan; normative adalah penelitian terhadap kaidah
4. Perbedaan antara peraturan perundang- hukum itu sendiri (peraturan perUUan,
undangan dengan yurisprudensi dan yurisprodensi, hukum adat atau hukum ti-
surat Edaran Mahkamah Agung; dak tertulis lainnya) dan asas-asas hukum.
5. Kebijakan-kebijakan instansi Pusat yang (Bagir,1999).
saling bertentangan;
6. Perbedaan antara kebijakan Pemerintah Hasil dan Pembahasan
Pusat dan Daerah; Disharmonisasi Peraturan Perundang-Un-
7. Perbedaan antara ketentuan hukum de- dangan
ngan perumusan pengertian tertentu; Disharmonisasi peraturan perun-
8. Benturan antara wewenang instansi-ins- dang-undangan memiliki makna adanya
tansi pemerintah karena pembagian we- ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan-
wenang yang tidak sistematis dan jelas. nya. Hal ini tentu bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara hukum baik secara
Sehubungan dengan hal tersebut materiel maupun formil. Secara materiel
Penulis tertarik untuk Membahas dan Meng- terkait dengan adanya ketidaktertiban suatu
analisis mengenai, peraturan perundang-un- masyarakat akibat adanya peraturan perun-
dangan sektor apa saja yang berbenturan dang-undanganan yang tidak menjamin keti-
(disharmoni) dengan UUPA, dan apa yang dakpastian hukum, hal ini telah diatur dalam
menjadi tolok ukur terhadap penilaian dis- Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 D ayat
harmoni Hal inilah yang perlu diteliti lebih (1) yang berbunyi : “ setiap orang berhak atas
lanjut. pengakuan, jaminan perlindungan, dan
Berdasarkan uraian latar belakang di kepastian hukum yang adil serta perlakuan
atas maka yang menjadi permasalahan dalam yang sama di hadapan hukum ”
penelitian ini adalah : Terkait dengan pengaturan bidang
agraria, kondisi dinamis yang ada dalam
penggunaan lahan sangat erat kaitannya

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 136


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

dengan aktivitas usaha yang ada. Hal ini pelaksanaannya terdapat perbedaan antara
berarti perlu adanya banyak partisipasi HGUA untuk air minum dengan untuk
publik, khususnya dunia usaha dalam proses irigasi.
perancangan suatu RUU, atau rancangan Dalam Pasal 64 ayat (1) hingga (8)
produk peraturan lainnya. Dalam praktek Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005
pengaturan pokok agraria, masih tertumpu maka pengelolaan sistem air minum melalui
pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mekanisme pelelangan bagi badan hukum
(UUPA), sehingga banyak hal yang dalam swasta, koperasi atau perorangan. Di sisi
pengaturan sektoral cenderung menabrak lain, pengaturan tentang air irigasi meng-
ketentuan pokok tersebut akibat dinamika gunakan mekanisme izin bagi pihak swasta,
sektoral, contohnya UU tentang Sumber Da- baik badan hukum, koperasi maupun per-
ya Air (SDA) yang mengatur masalah Hak orangan sebagaimana diatur dalam pasal 15
Guna Usaha Air, namun tidak jelas keterkai- Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2001
tannya dengan UUPA. Undang-Undang No- tentang Irigasi yang masih bersumber dari
mor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
tidak mencantumkan UUPA sebagai dasar tentang Pengairan (UU a quo telah dicabut
mengingatnya dalam konsideran. dengan UU nomor 7 Tahun 2004 tentang
Secara teori, terdapat perbedaan prin- SDA). Dengan adanya dualisme pengaturan
sipal atas makna izin (verguning) dengan mekanisme tersebut, maka perlu dipertanya-
perjanjian (verbintenis), yang pertama kedu- kan lebih lanjut, apakah secara substansial
dukan pemerintah / Negara di atas, artinya terdapat perbedaan antara pengusahaan air
pemberian izin tersebut sepihak atas dasar minum dengan pengusahaan air irigasi, se-
persetujuan Negara dengan melihat syarat- bab hal tersebut sama-sama untuk kepenti-
syarat izin yang dipenuhi oleh pihak kedua, ngan publik. Sementara jika dilihat secara
sementara jika dengan perjanjian, maka hirarkis, maka sesungguhnya pengelolaan
kedudukan kedua belah pihak yaitu Negara sumber daya air harus bersumber pada
dan Pihak kedua adalah setara, masing- ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
masing memiliki hak dan kewajiban yang sesungguhnya telah ditafsirkan nilai kons-
seimbang dan tidak dapat dengan begitu saja titusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi
perjanjian dibatalkan oleh salah satu pihak. Republik Indonesia dalam putusan perkara
Dalam posisi ini, dampak yang terjadi secara nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
ekonomi jelas berbeda, sebab mengurus Perkara Nomor 008/PUU-III/2005.
perizinan dengan pembuatan suatu perjan- Terkait dengan adanya PP nomor 16
jian memiliki nilai materiel maupun imateriel tahun 2005, Sidharta (2006) mengatakan bah-
yang tidak sama. Untuk perizinan maka wa hal yang umum terjadi adalah adanya
anggaran yang harus disiapkan mungkin benturan norma yang kemudian saling
lebih besar akibat banyaknya pungutan, de- menderogasikan. Norma yang menderogasi,
mikian juga dengan legitimasi perizinan yaitu norma yang membatalkan keabsahan
yang terus menerus harus diperpanjang dari norma yang lain, hal ini dalam lingkup
(Jimly,2006). pengaturan suatu hirarki perundang-unda-
Masalahnya adalah, dalam UUPA ngan masih dapat dilakukan penderogasian
mekansime dalam perolehan hak melalui apabila peraturan perundang-undangan
permohonan kepada Negara, yang kemudian yang lebih tinggi berhadapan dengan pera-
diterbitkan hak bagi pemohon yang me- turan peundang-undangan yang lebih ren-
menuhi syarat. Hal ini lebih kepada bentuk dah. Dengan asas lex superiori derogate legi
produk administrasi Negara (beschikking), se- inferiori, ketentuan yang lebih tinggi mende-
mentara UU SDA perolehan atas hak guna regosikan peraturan yang lebih rendah. Ber-
usaha air (HGUA) tidak diatur dengan jelas beda, jika konflik tersebut terjadi antar se-
mekanismenya, apakah dengan bentuk sama undang-undang, dimana conflict of norm
beschikking, seperti perizinan, atau surat ke- atas suatu pengaturan yang bersifat kewa-
putusan atau dengan bentuk lainnya, seperti jiban atau larangan sama-sama diatur ter-
lelang. Karena HGUA yang ada dalam UU hadap obyek yang sama dalam undang-
SDA tidak jelas mekanismenya, maka dalam undang sektoral yang berbeda. Asas lex

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 137


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

special derogate lex generalis tidak dengan ekonomi. Oleh karena itu pemberian,
mudah diterapkan, sebab sektor mana yang perpanjangan, dan pembaruan HGU,
harus diunggulkan. HGB dan Hak Pakai berlaku ketentuan
UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar
Inkonsistensi vertikal Pokok-pokok Agraria dan PP No. 40/1996
Dari penelusuran terkait keputusan tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas
MK terhadap uji materi beberapa UUSDA Tanah.
dinyatakan bahwa UUSDA tersebut berten- 4) UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
tangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
khususnya terkait Pasal 33 ayat (2) dan/atau MK menyatakan 14 pasal dalam UU ter-
ayat (3) dan/atau ayat (4), di samping sebut tidak mempunyai kekuatan me-
berbagai pasal lainnya yang berakibat ter- ngikat.
hadap ketiadaan kekuatan mengikat pasal-
pasal tertentu dalam UU yang bersangkutan. Sebagai catatan dapat dikemukakan
Beberapa contoh dapat dikemukakan dalam bahwa inkonsistensi vertikal UUSDA ter-
putusan MK berikut. hadap UUD Negara RI Tahun 1945 itu dam-
1) UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas paknya boleh jadi tidak atau belum dirasakan
Bumi. MK menghapuskan Pasal 22 ayat atau dialami secara langsung dalam
(1). implementasi UUSDA yang bersangkutan.
2) UU No. 2/2002 tentang Ketenagalistrikan. Yang lebih memprihatinkan adalah tumpang
MK membatalkan UU tersebut. tindih antar berbagai UUSDA, implementasi
3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman dan dampaknya. Jika inkonsistensi vertikal
Modal. Khusus tentang jangka waktu antar UUSDA dengan UUD Negara RI Tahun
HGU, HGB dan Hak Pakai, MK 1945 penyelesaiannya sudah jelas, yakni
berpendapat bahwa hal itu dapat mengu- melalui uji materi ke MK, maka penyelesaian
rangi prinsip penguasaan oleh negara, inkonsistensi horisontal antar UUSDA tidak-
serta memperlemah, bahkan menghi- lah sederhana.
langkan kedaulatan rakyat di bidang

a. inkonsistensi vertikal
contoh :
1) UU No.22/2001 tentang
Minyak dan Gad Bumi .
2) UU No. 22/2002 tentang Melalui
Ketenagalistrikan .MK
Membatalkan UU tersebut Judicial Review
3) UU No.25/2007 tentang penyelesaian
Penanaman Modal Ke MK
4) UU No.27 /2007 tentang
Prengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pulau- pulau kecil.

b. Inkonsistensi Horisontal Minerba, Sumber Daya Air, Migas, Kehuta-


Inkonsistensi horisontal terjadi antar nan, dll. dan untuk melihat inkonstensinya
peraturan perundang-undangan yang maka Prof. DR. Maria SW. Sumardjono, SH.,
setingkat, dalam hal ini kita mengkaji UUPA MCL., MPA, membuat beberapa parameter,
dengan UU sektor-sektor lainnya, seperti sebagai berikut :

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 138


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

Tabel 1
Tolok Ukur penilaian Disharmoni
Explolitasi atau Konservasi
Orientasi
Keberpihakan Pro- Rakyat atau pro kapital
Sentrallistik/desentralistik,sikap terhadap
pluralisme hukum.
Pengelolaan dan implementasinya
Implementasinya:sektoral ,koordinasi
,orientasi produksi
Gender, pengakuan Masyarakat Hukum
Pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Adat (MHA) , penyelesaian sekata
Pengaturan good governance Parsitipasi, transparasi ,dan akuntabilitas
Hak atu ijin
Hubungan orang dengan sumber daya alam

Hubungan Negara dengan sember daya alam Hak Menguasai Negara, Hak Bangsa

Tumpang tindih pengaturan SDA Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80


Kajian terhadap 12 UUSDA yang dila- (delapan puluh) tahun dengan cara dapat
kukan dengan menetapkan tujuh tolok ukur diberikan dan diperpanjang di muka
menunjukkan bahwa berbagai UUSDA itu sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan
tidak sinkron, bahkan tumpang tindih satu dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)
sama lain. Khusus terkait tumpang tindih tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan
antara UU No. 5/1960 tentang Peraturan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun de-
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dengan ngan cara dapat diberikan dan diperpanjang
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (UUK) di muka sekaligus selama 45 (empat puluh
dan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25
Pokok Pertambangan (UUP) (sudah direvisi (dua puluh lima) tahun”. Selain itu, Pasal 22
dengan UU No. 4/2009 tentang Pertam- ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata “di
bangan Mineral dan Batubara (Minerba). Se- muka sekaligus” dan Pasal 22 ayat (4) se-
lanjutnya, yaitu aspek kewenangan lembaga, panjang menyangkut kata-kata “sekaligus di
atau pengaturan atas tanah yang berten- muka” juga dinyatakan bertentangan dengan
tangan dengan UUPA. Hal ini dapat dilihat UUD 1945.
dari berbagai contoh di bawah ini, seperti Demikian juga disharmoni terjadi an-
misalnya dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tara Undang-Undang dengan Peraturan
Tentang Penanaman Modal yang disahkan Daerah (Perda), sebagai contoh kasus Lapin-
dan diundangkan pada tanggal 26 April 2007 do Brantas. Peraturan Daerah Nomor 16
dan UUPA adalah contoh kasus yang sangat Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang
penting. Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo Tahun
Disharmoni kedua Undang-Undang 2003-2013 yang ditetapkan tanggal 18 Juni
tersebut telah teratasi dengan adanya Kepu- 2003. Perda tersebut menunjukkan bahwa
tusan Mahkamah Konstitusi untuk perkara kawasan pertambangan tidak secara eksplisit
21-22/PUU-V/207 pada tanggal 25 Maret dinyatakan dalam RTRW Kabupaten
2008 yang menyatakan bahwa UU 25/2007 Sidoarjo. Akan tetapi adanya kegiatan per-
bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 tambangan dimungkinkan berdasarkan
pada pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
kata-kata “di muka sekaligus” dan “berupa: 22 Tahun 2001 (UU 22/2001) Tentang Mi-
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan nyak dan Gas Bumi yang disahkan dan
jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun diundangkan pada tanggal 23 November
dengan cara dapat diberikan dan diper- 2001
panjang di muka sekaligus selama 60 (enam Secara lebih ringkas, inkonsistensi
puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 antara UUPA dengan UU Kehutanan dapat
(tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna dilihat dalam matriks berikut:

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 139


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

Tabel 2
INKONSISTENSI antara UUPA dengan UUK
ASPEK UUPA UU ke hutanan
Tekstual Kontekstual Tekstual Kontekstual
Orientasi Konservasi Konservasi Produksi & Konservasi Keseimbangan antara
produksi dan konservasi
Akses Orang perorangan Keadilan komutatif Badan Usaha Negara & Keadilan distributif
Memanfaatkan (UUNUUNI) Badan warga masyarakat
hukum (Indonesia
asing)
Hubungan negara Negara menguasai Hak bangsa & HAM Kekayaan Nasional & HAM disubordinasikan
dengan obyek dikuasai Negara pada Hak Bangsa
Pelaksanaan Pemerintah Sentralistik, ada Pemerintah pemda Sentralistik
kewenangan madebewind pelaksanaan
Negara
Hubungan Orang Hak Kontrol Negara Ijin pemanpaatan Kontrol negara
dengan obyek
HAM Gender Hak ulayat Pengakuan MHA diakui ,Hutan Pengakuan setengah hati
MHA Ulayat menjadi hutan
Negara
Good govemance Tidak disebut dengan Cepat dijumpai dalam Tuga prinsip Relatif cukup
tegas beberapa ketentuan
sosial, larangan
monopoli

Tumpang tindih antara UUPA dengan UUK terjadi sengketa hak ulayat MHA terkait de-
antara lain dapat diindikasikan pada hal-hal ngan hutan adat, penyelesaiannya menurut
berikut: UUPA dan UUK akan berbeda.
“Dalam hubungan antara negara dengan Kedua, terkait status hutan, disebutkan bah-
tanah menurut UUPA, diakui keberadaan wa hutan negara adalah “hutan yang berada
tiga entitas, yakni tanah negara, tanah (hak) pada tanah yang tidak dibebani dengan hak
ulayat masyarakat hukum adat (MHA) dan atas tanah”. Dalam konteks UUPA, tanah
tanah hak yakni tanah yang dipunyai yang tidak dibebani dengan hak atas tanah
dengan sesuatu hak atas tanah menurut itu adalah tanah negara (garis bawah oleh
UUPA oleh orang perorangan maupun ba- penulis). Dengan demikian konsekuensinya
dan hukum. Namun, dalam hubungan adalah: (a) tanah-tanah di kawasan hutan
hukum antara negara dengan hutan, yang negara itu sejatinya adalah tanah negara.
muncul hanyalah dua entitas, yakni hutan Namun demikian, dalam praktik adminis-
negara (“hutan yang berada pada tanah trasi, terjadi hambatan dalam pengadminis-
yang tidak dibebani hak atas tanah”) dan trasian tanah negara di kawasan hutan.
hutan hak. Adapun hutan adat adalah hutan Sampai dengan saat ini pengadministrasian
negara yang berada di wilayah MHA. tanah negara pada umumnya berlaku di
Dengan perkataan lain, hutan adat dima- kawasan non hutan, padahal sesuai dengan
sukkan dalam kategori hutan negara. De- pemahaman terkait hutan negara dalam
ngan perkataan lain hutan adat dimasukkan konteks UUK sendiri, pengadministrasian
dalam kategori hutan negara.” tanah negara seharusnya dilakukan di selu-
Pemahaman tentang status hutan tersebut ruh wilayah RI tanpa membedakan kawa-
berimplikasi terhadap dua hal: san hutan atau non hutan, sesuai amanat
“Pertama, UUK tidak mengakui keberadaan Pasal 19 UUPA. Jelas dalam hal ini bahwa
hutan adat, yang sejatinya merupakan ba- dampak inkonsistensi tersebut adalah koor-
gian dari hak ulayat MHA. Namun demi- dinasi dan kewenangan pengelolaan yang
kian, UUK yang tidak mengakui kebera- “gagap” atau “ragu-ragu”.”
daan hutan adat itu, mengakui dan menen- Sementara terhadap Undang-undang
tukan persyaratan keberadaan MHA; hal ini nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, seba-
merupakan suatu kontradiksi karena UUK gai pengganti dari UU nomor 11/1967 dapat
tidak mengakui obyeknya (hutan adat) te- dilihat adanya berbagai persoalan benturan
tapi mengakui keberadaan subyeknya norma yang terkadang tidak konsisten satu
(MHA) jika memenuhi persyaratan. Jika sama lain.

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 140


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

Undang-Undang Republik Indonesia pemegang kuasa pertambangan. Namun UU


Nomor 4 Tahun 2009 (UU 4/2009) Tentang 4/2009 sudah memperbaiki UU 11/1967 di
Pertambangan Mineral dan Batubara yang antaranya melalui pasal 135, 137 dan 137
baru disahkan dan diundangkan pada Peraturan Pemerintah No 16 Tahun
tanggal 12 Januari 2009. Undang-Undang ini 2004 tentang Penatagunaan Tanah bertujuan
merupakan pengganti dari Undang-Undang untuk menciptakan keterpaduan dalam pe-
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 nguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
(UU 11/1967) Tentang Katentuan-Ketentuan tanah untuk berbagai kebutuhan kegiatan
Pokok Pertambangan yang disahkan dan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata
diundangkan pada tanggal 2 Desember 1967. Ruang Wilayah (RTRW) sehingga dapat ber-
Namun demikian, untuk mengkaji adanya dayaguna, berhasilguna, berkelanjutan, dan
disharmoni dengan peraturan perundang- berkeadilan. Oleh karenanya, untuk men-
undangan lain, masih perlu dikomparasikan jamin kesesuaian penggunaan dan
terhadap materi muatan UU 11/1967 karena pemanfaatan tanah untuk menjaga keber-
adanya kondisi baru yang berbeda dengan lanjutan fungsinya, penatagunaan tanah
sebelumnya terutama menyangkut rumusan tidak boleh terlepas dari RTRW. Pengaturan
Pasal 136 dan Pasal 137 dalam UU 4/2009 penggunaan dan pemanfaatan tanah dilaku-
yang tidak tegas mengatur ganti rugi bagi kan baik di kawasan lindung maupun di
pihak pemegang hak atas tanah. Hal ini akan kawasan budidaya dengan memperhatikan
dapat menimbulkan kebingungan bagi ma- hak atas tanah, pedoman, standar, dan kri-
syarakat akibat pengaturan dalam UU teria teknis pengelolaan yang ditetapkan oleh
4/2009 yang berbeda dengan UU 11/1967, pemerintah.
sementara aturan pelaksananya belum Dengan demikian dapat disharmoni
dikeluarkan. UUPA dengan UU Minerba dapat digam-
Dalam UU 11/1967 mengandung barkan dalam tabel 3, Sementara untuk
kewajiban bagi para pemegang hak atas disharmoni antara UUPA dengan UU SDA
tanah untuk melepaskan haknya melalui pro- dapat diperlihatkan pada tabel 4.
ses ganti rugi, bilamana lokasi tanah yang
dimaksud terdapat dalam wilayah kerja

Tabel 3
Inkonsistensi UUPA dengan UU Minerba
ASPEK UUPA UU Minerba
Konservasi Kontekatual Tekatual Kontekatual
Orientasi Konservasi. Konservasi Produksi & Konservasi Tekanan pada produksi

Akses Orang per orangan Keadilan komutatif BUM N.D,BUMS,Koperasi Keadilan distributif
memanfaatkan (UUNAUUI Badan ,perorangan
Hukum
( Indonesia asing )
Hubungan Negara Negara menguasai Hak Bangsa & HMN Kekayaan Nasional & dikuasi HMN disubordinasikan
dengan obyek Negara pada Hak Bangsa

Pelaksana Pemerintah Sentralistik,madebewind Pemerintah,Pemda, DPR-RI Disentralistik


Kewenangan
Negara
Hubungan orang Hak Kontrol Negara Ijin Kontrol Negara
dengan obyek
HAM Gender Hak Ulayat Pengakuan Masyarakat yang terkena Tidak mengatur tentang
MHA dampak negatif, Masyarakt gender, MHA
yang tanahya terdapat
sumber daya minerba
Good Governance Tidak disebut dengan Dapat dijumpaidalam Tiga prinsip Relatif tinggi
tegas beberapa ketentuan (fungi
sosial,larangan monopoli)

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 141


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

Tabel 4
Inkonsistensi UUPA dengan UU SDA
ASPEK UU UU SDA
Kehutanan
Tekstual Kontekstual Tekstual Konteksual
Orientasi Produksi & Keseimbangan Produksi & konservasi Terkanan pada
Konservasi antara produksi & konservasi
konservasi
Akses Badan usaha Keadilan Semua kelompok Keadilan Korektif
memanfaatkan Negara & warga distribuktif kegiatan
masyarakat
Hubungan negara Kekayan HMN SDA dikuasai Negara HMN
dengan obyek Nasional & disurbonasikan
diuasai Negara pada Hak Bangsa
Pelaksana Pemerintah Sentralistk Pemerintah dan atau Dapat sentralistik
Kewenangan ,Pemda pelaksana Pemda atau disentralistik
Negara
Hubungan orang Ijin pemanfaatan Kontrol Negara Penjinan,HGPA+HGUA Kontrol Negara
dengan Obyek tudak jelas
HAM Mha diakui & Pengakuan Pengakuan Hak Ulayat Pengakuan
hutan Ulayat setengah hati MHA bersyarat
menjadi hutan
Negara
Good Governance Tiga prinsip Relatif cukup Tiga prinsip Relatif tinggi

UUSDA menentukan hubungan hu- a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga


kum antara orang perorangan maupun yang berbeda dan sering dalam kurun
badan hukum dengan SDA dalam bentuk waktu yang berbeda;
Hak Guna Air (HGA). Lebih lanjut HGA b. Pejabat yang berwenang untuk memben-
dibedakan menjadi Hak Guna Pakai Air tuk peraturan perundang-undangan ber-
(HGPA) dan Hak Guna Usaha Air (HGUA). ganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa
Walaupun menggunakan istilah “hak”, na- jabatan, alih tugas atau penggantian;
mun yang dimaksudkan dengan HGA, c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan
HGPA dan HGUA adalah “ijin”. Hal ini su- peraturan perundang-undangan lebih kuat
dah tepat, karena hubungan antara orang- dibanding pendekatan sistem:
perorangan/badan hukum dengan air adalah d. Lemahnya koordinasi dalam proses pem-
hubungan pemanfaatan. Jika dilihat dari bentukan peraturan perundang-undangan
asalnya terkait dengan istilah HGA diatur yang melibatkan berbagai instansi dan
dalam Pasal 47 UUPA, namun konteks HGA disiplin hukum;
dalam UUPA berbeda dengan UUSDA. e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi
UUSDA mengakui hak ulayat MHA. dalam proses pembentukan peraturan per-
Pasal 6 ayat (3) menentukan: “hak ulayat undang-undangan masih terbatas;
MHA atas SDA tetap diakui sepanjang ke- f. Belum mantapnya cara dan metode yang
nyataannya masih ada dan telah dikukuhkan pasti, baku dan standar yang mengikat se-
dengan Perda setempat”. Fungsi Perda da- mua lembaga yang berwenang membuat
lam hal ini harus dipahami sebagai pene- peraturan perundang-undangan.
tapan yang bersifat declaratoir dan bukan
konstitutif. Disharmoni peraturan perundang-
undangan mengakibatkan :
Faktor-Faktor Terjadinya disharmoni a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam
Faktor-faktor terjadinya disharmoni pelaksanaannya;
antar peraturan perundang-undangan. b. Timbulnya ketidakpastian hukum;
Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan c. Peraturan perundang-undangan tidak ter-
disharmoni sebagai berikut: laksana secara efektif dan efisien;

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 142


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

d. Disfungsi hukum, artinya hukum tidak da- dang-undangan terkadang diintervensi oleh
pat berfungsi memberikan pedoman ber- politik hukum pembentuk undang-undang
perilaku kepada masyarakat, pengendalian sesuai dengan tafsir kondisi yang sedang ber-
sosial, penyelesaian sengketa dan langsung, termasuk dalam hal ini kepen-
tingan usaha.
Berbagai perosalan di atas, tidak lu- Beberapa faktor penyebab disharmoni
put dari adanya faktor eksternal dan internal di sini dapat dibedakan antara aspek formil
dari perubahan yang terjadi sekarang, hal ini dan aspek materil, dengan demikian hal ini
secara filosofis, sosiologi, dan politis meng- dapat digambarkan sebagai berikut :
akibatkan pembentukan peraturan perun-

BAGAN TOLOK UKUR


Disharmoni Peraturan
Perundang-undangan
Bentuk
disharmoni :
-Antar
Pusat sektor/departemen
Akibat:
ASPEK (pusat X pusat)
-Tidak Jelas - Antara Pusat dan
FORMIL -Tumpang Daerah
KEWENANGAN Tindih

Bentuk
Daerah Akibat: disharmoni :
Pertentangan -Antara UU dng UUD
Secara horisontal -Antar sesama per-
UU
-Aspek Filosofis
- Antara UU dng Per
ASPEK - Aspek Sosiologis UU dibawahnya
SUBSTANSI Pertentangan
- Aspek Yuridis
MATERIL Secara vertikal
TEKNIK LEGAL Bentuk isharmoni
TK 1 arti ganda,
DRAFTING Drajat
Ketidaksempurnaan kekaburan, terlalu luas

TK 2 ketidaktetapan tentang
pentingnya sesuatu,
berlebihan, terlalu panjang
lebar, membingungkan,
tanpa tanda yang
memudahkan pemahaman, dan
ketidakteraturan

Penyebab Disharmoni Peraturan perundang-


undangan
Sosial Economi Political
Faktor Eksternal Aspect cal Aspect Faktor Internal
Aspect
Perubahan Perubahan Perubahan
sistem terhadap terhadap
sosial pola usaha kebijakan dan
Faktor Kondisi alam, dalam dan pengaturan Good Proses
ideologi, Will
politik,
Lingkungan pengelolaan pendapatan terhadap pembentuk
maupun an per UU
sosial,dan geografis tanah dari tanah penguasaan
budaya tanah

Sistem Sistem Sistem


Sosial Ekonomi Politik
Pertanahan

Fungsi sosial
Kolektif Sosialis

Individual Kapitalis- Barang Ekonomi


liberal

Sumber : Wasis Susetio, LMPDP BAPENAS, 2009

Upaya-upaya tersebut di atas antara lain ada- melakukan legislative review terhadap UU
lah sebagai berikut. sektoral yang diindikasikan tumpang
1) Penghentian sementara (moratorium) pe- tindih.
nyusunan UU sektoral sambil membe- 2) Usulan moratorium itu mudah dikatakan
rikan kesempatan kepada DPR-RI untuk tetapi sulit dilaksanakan, karena: (1) tidak

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 143


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

ada landasan hukum yang secara eksplisit studi Maria Sumardjono, dkk). Jika diper-
memerintahkan moratorium tersebut lukan, dapat dilakukan tambahan kaji ulang
(walaupun secara implisit hal tersebut peraturan perundang-undangan yang belum
dirumuskan dalam TAP MPR RI No. sempat dilakukan. Berdasarkan hasil kajian
IX/MPR/2001, khususnya arah kebijakan tersebut, dapat dilakukan legislative review
huruf a): dan (2) akan bertabrakan dengan terhadap peraturan perundang-undangan
urgensi penyusunan peraturan perun- sektoral yang bersangkutan. Upaya legis-
dang-undangan sektoral, baik yang lative review juga tidak dapat diharapkan
berupa UU yang sama sekali baru atau- maksimal hasilnya karena belum adanya UU
pun UU yang dimaksudkan untuk me- terkait SDA yang bersifat lex generalis. Se-
nyempurnakan/melengkapi UU sebe- mentara UU lex generalis itu belum ada, seti-
lumnya. daknya “batu uji” sinkronisasi horisontal da-
pat dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar
Jikalau hal ini “terpaksa” dilakukan/ yang diatur UUPA dan TAP MPR RI No.
tidak dapat ditunda, diperlukan upaya untuk IX/MPR/2001.
meminimalkan kemungkinan ketidaksin- Oleh karena itu, tidak kalah penting-
kronan baik vertikal maupun horisontal. Un- nya untuk meletakkan dasar bahwa hukum
tuk menunjang sinkronisasi horisontal terse- (di bidang SDA) itu merupakan sistem, yakni
but, maka penyusunan Naskah Akademik dengan mengagendakan terbentuknya UU
harus betul-betul berkualitas, dengan mem- terkait pengelolaan dan pemanfaatan SDA/
berikan waktu dan perhatian khusus untuk SD Agraria sebagai lex generalis yang akan
memahami semua peraturan perundang- menjadi landasan bagi peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan UU sektoral undangan sektoral (lex specialis) untuk me-
yang diusulkan tersebut. Upaya ini paling nyesuaikan diri setelah terbitnya UU yang
tidak, akan dapat meminimalkan tumpang bersifat lex generalis tersebut.
tindih dengan UU sektoral lain. Demikian pula, perlu dipertim-
Harmonisasi yang ideal, hanya dapat bangkan gagasan untuk adanya suatu ke-
dicapai bila ada undang-undang yang ber- menterian yang mempunyai tugas pokok dan
laku sebagai lex generalis bagi semua penga- fungsi mengkoordinasikan kebijakan dan pe-
turan terkait SDA. UU itu akan dapat diwu- raturan perundang-undangan di bidang SDA
judkan bila ada kemauan bersama antar dan implementasinya. Barangkali dapat
sektor untuk duduk bersama menyusun asas- dicontoh keberadaan Ministry of Land and
asas/prinsip-prinsip pengelolaan dan Resources di RRC.
pemanfaatan SDA sesuai dengan prinsip-
prinsip yang digariskan oleh Ketetapan MPR Kesimpulan
RI No. IX/MPR/2001. Dampak dari inkonsistensi peraturan
Sebelum UU yang bersifat lex gene- perundang-undangan SDA antara lain ada-
ralis itu terbentuk, tumpang tindih masih be- lah sebagai berikut. a) kelangkaan dan
lum dapat dihindari sepenuhnya karena se- kemunduran kualitas dan kuantitas SDA; b)
tiap sektor mempunyai visi dan misinya ketimpangan struktur penguasaan/pemili-
masing-masing yang belum tentu sejalan kan, peruntukan, penggunaan, dan peman-
dengan visi dan misi sektor lain. Upaya lain faatan SDA; c) timbulnya berbagai konflik
untuk harmonisasi pengaturan SDA adalah dan sengketa dalam penguasaan/pemilikan,
legislative review terhadap UU sektoral yang penggunaan dan pemanfaatan SDA (antar
tumpang tindih. Untuk melakukan hal ini sektor, antara sektor dengan MHA/masyara-
diperlukan komitmen dari DPR-RI untuk kat, antara investor dengan MHA/masyara-
menginisiasinya. Legislative review dilaku- kat, dan antar investor terkait hak/ijin pe-
kan karena hal ini sesuai dengan arah Ke- manfaatan SDA).
bijakan Pembaruan Agraria sebagaimana di- Penyelesaian masalah tumpang tindih
muat oleh TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 itu tidak mudah karena masing-masing
Kaji ulang peraturan perundang- sektor berpegang kepada UU sektoralnya
undangan sektoral, paling tidak terhadap le- dan UU sektoral itu sama derajatnya. UUPA,
bih dari 12 UU telah dilakukan (lihat a.l. yang pada awalnya dimaksudkan untuk

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 144


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

dapat dijadikan landasan bagi pengaturan 1) Lex superior derogat legi inferiori. Peratu-
lebih lanjut peraturan perundang-undangan ran perundang-undangan bertingkat lebih
di bidang SDA, telah didegradasikan kedu- tinggi mengesampingkan peraturan
dukannya sejak awal 1970-an seiring dengan perundang-undangan tingkat lebih rendah,
terbitnya berbagai UU sektoral. UUPA sama kecuali apabila substansi peraturan
sekali tidak dimuat dalam konsiderans UU perundang-undangan lebih tinggi mengatur
sektoral, semua UU sektoral langsung meng- hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan
acu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI menjadi wewenang peraturan perundang-
1945. undangan tingkat lebih rendah. 2) Lex
Tumpang tindih substansi dalam specialis derogat legi generalis Asas ini
pengaturan SDA tersebut seiring sejalan mengandung makna, bahwa aturan hukum
dengan tidak adanya satu kementerian/ yang khusus akan mengesampingkan aturan
departemen yang berwenang untuk mengko- hukum yang umum, Ada beberapa prinsip
ordinasikan kebijakan terkait SDA dan yang harus diperhatikan dalam asas Lex
implementasinya. Masing-masing sektor di- specialis derogat legi generalis : (a) Ketentuan-
naungi oleh Kementerian dan semenjak ta- ketentuan yang didapati dalam aturan
hun 1988, sektor pertanahan dinaungi oleh hukum umum tetap berlaku, kecuali yang
Badan Pertanahan Nasional. UU sektoral diatur khusus dalam aturan hukum khusus
yang proses penerbitannya melalui lembaga tersebut.(b) Ketentuan-ketentuan lex specialis
legislatif itu tidak dijamin bebas dari tum- harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan
pang tindih karena pembahasan UU sektoral lex generalis (undang-undang dengan
dilakukan melalui komisi-komisi yang undang-undang). (c) Ketentuan-ketentuan
berbeda sesuai bidang masing-masing. Tugas lex specialis harus berada dalam lingkungan
harmonisasi yang dibebankan pada Kemen- hukum (rezim) yang sama dengan lex
terian Hukum dan HAM juga tidak selalu generalis. Kitab Undang-Undang Hukum
dapat diharapkan hasilnya yang maksimal Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum
karena berbagai kendala. Perdata sama-sama termasuk lingkungan
Di tengah-tengah berbagai permasa- hukum keperdataan. 3). Asas lex posterior
lahan tersebut, jalan keluarnya, walaupun derogat legi priori. Aturan hukum yang lebih
tidak mudah, harus ditempuh. Telah digam- baru mengesampingkan atau meniadakan
barkan sebelumnya bahwa mengupayakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior
solusi ini “mudah dikatakan” tapi tidak sela- derogat legi priori mewajibkan menggunakan
lu mudah dilaksanakan, kecuali dengan hukum yang baru. Asas ini pun memuat
itikad baik dan komitmen semua pihak. prinsip-prinsip : (1) Aturan hukum yang
Berdasarkan hasil kajian ini maka, baru harus sederajat atau lebih tinggi dari
dalam hal terjadi disharmoni peraturan per- aturan hokum yang lama; (2) Aturan
undang-undangan ada 3 (tiga) cara menga- hukum baru dan lama mengatur aspek yang
tasi sebagai berikut : Mengubah/ mencabut sama. Asas ini antara lain bermaksud
pasal tertentu yang mengalami disharmoni mencegah dualisme yang dapat
atau seluruh pasal peraturan perundang- menimbulkan ketidak pastian hukum.
undangan yang bersangkutan, oleh lemba- Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi
ga/instansi yang berwenang membentuknya. priori, ketentuan yang mengatur pencabutan
Mengajukan permohonan uji materil kepada suatu peraturan perundang-undangan
lembaga yudikatif sebagai berikut; 1) Untuk sebenarnya tidak begitu penting. Secara
pengujian undang-undang terhadap hukum, ketentuan lama yang serupa tidak
Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah akan berlaku lagi pada saat aturan hukum
Konstitusi; 2) Untuk pengujian peraturan baru mulai berlaku.
perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang kepada Daftar Pustaka
Mahkamah Agung. c. Menerapkan asas Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu
hukum/doktrin hukum sebagai berikut: Tinjauan Filosofis dan Sosiologis, Toko
Gunung Agung: Jakarta, 2002.

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 145


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Atre, B.R 2001. Legislative Drafting,
Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Principles and Techniques, Universal
Pemikiran Hukum Media dan HAM. Law Publishing Co,Pvt,Ltd, New
Konstitusi Press: Jakarta, 2005. Delhi.

---------Model-Model Pengujian Konstitusional di Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan


Berbagai Negara, Konstitusi Press: Sosial, Departemen Kehutanan.
Jakarta, 2005. Statistik Kehutanan.

---------Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Harsono, B. 2002. Hukum Agraria


Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Indonesia,Penerbit Djembatan, Jakarta
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia: Jakarta, 2006. Kansil, C.S.T. 2003. Kemahiran Membuat
Perundang-undangan, Perca, Jakarta.
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang
Dimilki Dalam Sistem Hukum Indonesia, Pemerintah RI. 1960. Undang-Undang
Raja Grafindo Persada: Jakarta Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Fuady, Munir. Aliran Hukum Kritis (Paradigma Agraria, 24 September 1960
Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya
Bakti: Bandung, 2003. Pemerintah RI. 1999. Undang-Undang
Nomor Tahun 1999 Tentang
Gilissen, John dan Frits Gorle. Sejarah Hukum: Kehutanan, 30 September 1999
Suatu Pengantar, judul asli Historische
Inleiding tot het Recht, disadur oleh Pemerintah RI. 2001. Undang-Undang
Freddy Tengker, Editor ahli Lili Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Rasjidi, Refika Aditama: Bandung, Minyak dan Gas Bumi, 23 November
2005. 2001

Gunadi, Tom. Sistem Perekonomian Menurut Pemerintah RI. 2004. Undang-Undang


Pancasila dan UUD’45, Angkasa: Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Bandung, 1990. Daya Air, 18 Maret 2004

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Pemerintah RI. 2004. Undang-Undang


Penelitian Hukum Normatif, Bayu Nomor 18 Tahun 2004 Tentang
Media: Malang, 2006. Perkebunan, 11 Agustus 2004

Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Kaidah-kaidah Pemerintah RI. 2004. Undang-Undang


Hukum Yurisprudensi, Kencana: Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Jakarta, 2004. Pemerintahan Daerah, 15 Oktober
2004
Malaka, Tan. Madilog: Materialisme Dialektika
dan Logika, Pusat Data Indikator: Pemerintah RI. 2007. Undang-Undang
Jakarta, 1999. Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal, 26 April 2007
Mertokusumo, Sudikno. Bab-bab Tentang
Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti Pemerintah RI. 2007. Undang-Undang
bekerjasama dengan Konsorsium Nomor UU 26 Tahun 2007 Tentang
Ilmu Hukum Departemen Pendidikan Penataan Ruang, 26 April 2007
dan Kebudayaan dan The Asia
Foundation: Bandung, 1993. Pemerintah RI. 2007. Undang-Undang
Nomor UU 27 Tahun 2007 Tentang

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 146


Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pembentukannya, Kanisius:


Pulau- Pulau Kecil, 17 Juli 2007 Yogyakarta, 1998.

Pemerintah RI. 2009. Undang-Undang Strong, C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik


Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Modern: Kajian Tentang Sejarah &
Pertambangan Mineral dan Batubara, Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia,
12 Januari 2009 diterbitkan kerjasama antara Penerbit
Nuansa dengan Penerbit Nusamedia,
Sekretariat Jendral MPR.2002. TAP MPR Bandung: 2004. terjemahan dari
nomor IX/MPR/2001 tentang Modern Political Constitutions: An
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Introduction to the Comparative Study Of
Sumber Daya Alam Their History and Existing Form, The
English Book Society and Sidgwick &
Sidharta, A. 2006. Hukum dan Logika, Jackson Limited: London, 1966.
Penerbit Alumni, Bandung.
Sutiyoso, Bambang. Hukum Acara Mahkamah
---------Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Konstitusi Republik Indonesia-Upaya
Liberty: Yogyakarta, 1999. Membangun Kesadaran dan Pemahaman
Kepada Publik Akan Hak-Hak
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Citra Aditya Konstitusionalnya Yang Dapat
Bakti: Bandung, 2000. Diperjuangkan dan Dipertahankan
Melalui Mahkamah Konstitusi, PT Citra
---------Membedah Hukum Progresif, kumpulan Aditya Bakti: Bandung, 2006.
tulisan, editor: Joni Emirzon, I Gede
A.B. wiranata, dan Firman Muntaqo, Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni’matul
Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2006. Huda. Teori Dan Hukum Konstitusi,
Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2005.
Riyanto, Astim. Teori Konstitusi. Yapemindo:
Bandung, 2000. Yudho, Winarno et. Al, Privatisasi
Ketenagalistrikan, Minyak dan Gas
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Bumi: Dalam Perspektif Peraturan
Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Perundang-undangan, Kebijakan Politik
Revisi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Pemerintah, dan Penerapannya Di
Indonesia, Pusat Penelitian dan
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Pengkajian Sekretariat Jenderal dan
Penelitian Hukum Normatif: Suatu Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Republik Indonesia bekerjasama
Persada: Jakarta, 2006. dengan Konrad-Adenauer-Stiftung:
Jakarta, 2005.
Soeprapto, Maria Farida Indrawati. Ilmu
Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan

Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013 147

You might also like