231
DISPEPSIA FUNGSIONAL
Dharmika Djojoningrat
/PENDAHULUAN
‘Ds pensia berasal dari bahasa Greek dimana “dys” berarti
‘Seruk dan “pepsis” artinya pencernaan. Istilah dispepsia
=ulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang
“=enggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (jadi suatu
‘Sedroma) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman
= ecigastrium, muel, muntah, kembung, cepat kenyang,
‘= perut penuh, sendawa. Keluhan dispepsia merupakan
‘s=2daan Klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis
‘hari-hari. Diperkirekan bahwa hampir 30% kasus pada
_=2ktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologist
“=erupakan kasus dispepsia ini. Sindroma atau keluhan ini
‘pat disebabken atau didasari oleh berbagai penyakit,
5k itu penyakit yang berlokasi di lambung, diluar
‘embung, maupun merupakan manifestasi sekunder dari
-=stu penyakit sistemik, Berbagai penyebab dapat dilihat,
‘pada tabel 1.
fagogastroduodenal _Tukak peptik, gastritis, tumor
dsb
t-obatan Antinflamasi non steroid, te0-
filin, digitalis, antibiotik dan
sebageinya
patubilie: Hepatitis, kolesistitis, tumor
disfungsi sphincter Odi dan
sebagainya
nkreas Pankreatitis, keganasan.
syakt sistemik Diabetes melitus, penyakit
tiroid, gagal ginjal, penyakit
jantung koroner, dsb
Dispepsia fungsional,
irritable bowel syndrome
sngguan fungsional
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam
waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Berdasarkan
penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa
hari, Dari data pustaka Negara Barat didapatkan angka
prevalensinya berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang
‘akan mencari pertolongan medis dan sisanya mengobati
diri sendiri dengan obat bebas yang beredar luas di
pasaran. Angka insiden dispepsia diprakirakan sampai
110%, dimana kasus baru yang datang pada pelayanan
Kesehatan lini pertama sebesar 5-7%. Belum ada data
epidemiologi di indonesia.
Secara garis besar, penyebab sindroma dispepsia
ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyah
organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung
‘empedu dll) dan kelompok dimana sarana penunjang
diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi,
endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan
adanya gangguan patologik struktural atau biokimiawi.
‘Atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini disebut,
sebagai gangguan fungsional
DEFINISI
Dalam referensi, cukup banyak definisi untuk dispepsia.
Mizalnya istilah ini diksitkan dengan keluhan yang
berhubungan dengan makan, atau Keluhan yang oleh
pasien ataupun dokternya dikaitkan dengan gangguan
saluran cema bagian atas. Dalam konsensus Rome ll tahun
2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai berikut,
Dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper,
abdomen. Formulasi keluhan nyeri atau tidak nyaman
‘menjadi suatu yang relatif terlebih lagi bila diekspresikan
dalam bahasa yang berbeda. Jadi disini diperlukan sekali
komunikasi yang baik dalam anamnesis sehingga seorang
1805-1806
dokter dapat menangkap apa yang dirasakan pasien dan
mempunyai persepsi yang relatif sama. Dalam definisi
lamanya keluhan tidak ditetapkan, Hanya tentunya untuk
keperiuan suatu penelitian hal ini perlu ditetapkan
Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia
setelah eksplorasi penunjang diagnostik, akan terbukti
apakah disebabkan gangguan patologik organik
atau bersifat fungsional. Dalam konsensus Rome III
(tahun 2006) yang khusus membicarakan tentang
kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional
didefinisikan sebagai berikut.
Definisi dispepsia fungsional:
1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrk, rasa
terbakar di epigastrium
2, Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk
didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerma
bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab
keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan
terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.
Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk
meminimalisasikan kemungkinan adanya penyebab
organik, Seperti dalam algoritine penaigarian dispepsia,
bahwa bila ada alarm symptoms seperti penurunan berat
badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen,
‘maka merupakan petunjuk awal akan kernungkinan adanya
penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan
penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti
endoskopi dan sebagainya
Dalam usaha untuk mencoba ke arah praktis
pengobatan, dyspepsia fungsional ini dibagi menjadi
3 kelompok yaitu; 1). Dispepsia tipe seperti ulkus (ulcer
like),yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik; 2).
Dispepsia tipe seperti dismotilitas (dismorility lke), yang
lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah,
rasa penuh, cepatkenyang; 3). Dispepsia tipe non-spesifik,
tidak ada keluhan yang dominan.
Sebelum era konsensus Rome Il, ada dispepsia tipe
refluks dalam alur penanganan dispepsia. Tapi saet ini
kasus dengan keluhan tipikal refluks, seperti adanya
heartburn atau regurgitasi, langsung dimasukkan dalam
alur/algoritme Gastro-Esophageal Reflux Disease. Hal
disebabkan oleh sensitiftes dan spesifitas keluhan itu yang
tinggi untuk adanya proses refluks gastroesofageal.
Sedangkan pada kriteria Rome II] 2006, dispepsia
fungsional dibagi atas; 1) Post-prandial Distress Syndrome
dimana pasien merasa penuh setelah makan dalam porsi
yang biasa atau rasa cepat kenyang sehingga tidak dapat
menghabiskan porsi makanan regular; 2). Epigastric Pain
Syndrome dimana pasien mengeluh nyeri dan rasa terbakar,
hilang timbul, berpusat di epigastrium. Rasa nyer ini tidak
pada bagian perut lainnya atau daerah dada.
GASTROENTEROLOG!
PATOFISIOLOGI
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk
menerangkan patogenesis terjadinya dispepsia fungsional
ini, Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakon
den potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional
adalah; Hipotesis asam lambung dan inflamasi, hipotesis
gangguan motorik, hipotesis hipersensitifitas viseral,
serta hipotesis tentang adanya gangguan psikologik atau
psikiatrik
Sekresi Asam Lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umuminya mempunyai
tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun
dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal.
Didugaadanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
tethadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak
diperut,
Helicobacter pylori (Hp)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional
belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari
berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia fungsional
sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angke
kekerapan Hp pada kelompok orang sehat, Memang mulai
‘ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi Hp pada
dispepsia fungsional dengan Hp positityang gagal dengan
pengobatan konservatifbaku.
Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia
fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung,
adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus),
gangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmia
domperidon. Penggunaan obat golongan ini dalam
‘serbagai penelitian, memperlihatkan ketidaksesuaian
‘set2ra perbaikan tingkat motilitas dengan perbaikan
Smotom pasien. Misalnya, terdapat perbaikan tingkat
oilitas tapi tidak disertai dengan adanya perbaikan
Setuhan yang bermakna atau sebaliknya.
‘Metoklopramid
‘Mezupakan antagonis reseptor dopamin D2.dan antagonis
Ssseptor serotonin (5-HT3) yang tampaknya cukup
‘Germanfaat pada dispepsia fungsional, tapi terbatas
Sxdinya dan hambatan efek samping neurologiknya,
‘Snutama gejala ekstrapiramidal.
‘Domperidon
Femasuk antagonis dopamin D2 yang tidak melewati
‘sewer otak sehingge tidak menimbulkan efek samping
-=cstrapiramidal. Obat ini lebih unggul dibandingkan
‘=iesebo dalam menurunkan keluhan,
‘Cisapride
Fexgolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3.
‘Obat ini banyak sekali diteliti penggunaannya pada
Gspepsia fungsional. Penilaiansecara meta-analisis
Semperlihatkan angka keberhasilan yang bermakna
ibandingkan plasebo. Beraksi pada pengosongan
Sembung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah
-setelah dikctahui cfck samping pada aritmia jantung,
serutama perpanjangan masa Q-T, di beberapa negara
‘2bat ini ditarik dari peredaran sedangkan di Indonesia
‘etap tersedia dalam mekanisme khusus (obat tersedia
anya di apotik rumah sakit)
Agonist Motilin
‘Seat yang masuk golongan ini adalah eritromisin yang
-=erupakan stimulan motorik gaster yang kuat. Pemberian
eritromisin intra vena akan meningkatkan pengosongan
lambung, baik yang cair maupun yang padat, tapi
sayangnya tidak menurunkan keluhan dispepsia setelah
makan, Sehingga aplikasi klinisnya tidak praktis.
Obat Lain-lain
Terapi yang dityjukan untuk menghambat keluhan
rasa nyeri akibat gangguan persepsi menjadi perhatian
khusus. Pemberian obat antidepresi golongan trisikik
dosis rendah(seperti amitriptilin) pada kasus dispepsia
fungsional dilaporkan menurunkan keluhan dispepsia dan
terutama rasa nyeri perutnya,
Kappa-opioid agonist (fedotoksin) dapat menurunkan
hipersensitivitas lambung dalam studi pada volunteer serta
pada beberapa studi dapat menurunkan keluhan pada
kasus dispepsia fungsional, welaupun menfaet kliniknye
masih dipertanyakan. Obat golongan agonis 5-HT1
(sumatriptan dan buspiron) dapat memperbaiki akomodasi
lambung dan memperbaiki keluhan setelah makan, Obat
antagonist reseptor 5-HT3 alosetron dilaporkan dapat
menurunkan rasa mual post prandial. Ondansetron juga
pernah dicoba pada studi terbatas dan memperlihatkan
sedikit diatas plasebo.
koterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral
‘therapy memperlihatkan manfaatnya pada kasus dispepsia
fungsional dibandingkan terapi baku .
Modalitas pengobatan lain seperti akupuntur,
acupressure, acustimulation, gastric electrical stimulation
pemah dicoba untuk kasus dispepsia, walaupun belum
sistimatik untuk dispepsia fungsional.
PROGNOSIS
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan
klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis
yang baik.
KESIMPULAN
Diagnosis dispepsia fungsional didasarkan pade keluhan/
simptom/sindroma dispepsia dimana pada pemeriksoon
penunjang baku dapat disingkirkan causa organik/
biokimiawi, sehingga masuk dalam kelompok penyakit
gastrointestinal fungsional (berdasarkan kriteria Rome
II), Mempunyai patofisiologi yang kompleks dan multi
faktorial, dimana tampaknya berbasiskan gangguan
pada motilitas atau hipersensitifitas viseral. Modalitas
pengobatannyapun menjadi luas, berdasarkan kompl
patogenesisnya, serta lebih ke arah hanya menurunkan/,1810
‘menghilangkan simptom.Pilihan pengobatan berdasarkan
pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun
‘masih dapat diperdebatkan manfaatnya,
REFERENS!
1, Agreus L. Dyspepsia management in general practice, Brit
‘med J 19973315:1284-88.
2. Drossman DA. The functional gastrointestinal disorders and.
the Rome Ill process. Gastroenterology 2005;130:1377-13%0
3, Drossman DA, Rome Il, The functional Gastrointestinal Dis-
orders. Diagnosis, pathophysiology and treatment:A multi
national consensus, Degnon Associated Virginia. 2000.
4. HlSerag, Talley NJ Systematic review: the prevalence and
clinical course of functional dyspepsia. Aliment Pharmacol
‘Ther 2004;19:643-654
5. Feinle Bisset C, Horowitz M. Review article : dietary fac-
tors in functional dyspepsia. Neurogastroenterol Motil
2006;18:608-619
6. George AA. Sensitivity of the gastric mucosa to acid and,
duodenal content in patients with non-ulcer dyspepsia.
Gastroenterology 1991;101:3-6
2, Greydanus MP. Neurohormonal factors in functional dys-
pepsia, Gastroenterology 1991;1001311-18
8, HoltmanG, Altered vagal and intestinal mechanosensory
fanetion in chronic unexplained dyspepsia. Gut 1998/42:501-
505
9, Hiyama T, Yoshihara M, Matsuo K etal, Meta-analysis of
Ihe effects of prokinetic agents in patients with functional
dyspepsia. J Gastroenterol Hepatol. 2007;22:304307
10, Jackson JL. Treatment of functional gastrointestinal disorders
with anti depresant medications: a meta-analysis. Am J Med
2000;10865
11, Kellow JE. Efficacy of cisapride therapy in functional dyspep-
sia. Aliment pharmacolther 1995;9:153-60
12 KindtS, Tack J. Impaired gastric accommodation and its role
in dyspepsia. Gut 2006,55:1685-1691
13, Mayer EA. Basic and clinical aspect of visceral hyperalgesia.
Gastroenterology 1994;107.271-93
‘14, Pajala M, Heilkkinen M. A prospective 1-year follow up study
in patient with functional or organic dyspesia; changes in
gastrointestinal symptoms, mental distress and fear of serious
illness. Aliment Pharmacol Ther 2006;24:1241-1246
15, Peura DA, Gudmundson J, Seipman N et al. Proton pump
inhibitors, effective frst-Hine treatment of dyspepsia. Dig Dis
Sei. 2007,52:988-987
16, Parkman HP, Friedenberg FK, Fisher RS. Disorders of gastric
‘emptying, In. Yamada T ed. Textbook of Gastroenterology.
Blackwell Publishing 2008925.
17, Stanghellin V. Fasting and post prandial GI motility in ulcer
and non-ulcer dyspepsia. Gut 1992;33:184-50
418, Tack}, Talley NJ, Camilleri Metal, FunctionaleGastroduode-
nale disorders. Gastroenterology 2006/130:1466,
19, Tach], Palwplyysiology and treatment of Functional éyspep
sia, Gastroenterology 20041271239.
20, Tack J. Symptoms associated with hypersensitivity to gas-
tric distention in functional dyspepsia. Gastroenterolgy
2001:121:526
21, Tack Role of impaired gastric accommodation to a meal in
functional dyspepsia. Gastroenterology 1998,115:1346-52
22. Talley NJ. Quan C. Review article: Helicobacter pylori and
non-ulcer dyspepsia, Aliment Pharmacol Ther 2002;16:58-
65
23, Talley NJ. Functional Gastroduodenal disorder. In. Dross=
mann DA ed. The functional GI Disorders. Virginia: Degnon
26.
GASTROENTEROLOG!
Associated:2000:299-327
Talley NY, Locke GR, Lahr BD et al. Functional dyspepsia
delayed gastric emptying, and impaired quality of life. Gut
2006;55:933-939
‘Talley NJ. Dyspepsia and dyspepsia subgroup: a population
based study, Gastroenterology 1992:102:1259-61
‘Talley NJ. What vole does Helicobacter pylori play in non
ulcer dyspepsia, Gastroenterology 1997;113:367-68,
‘Tucci A. Helleobacter pylori infection and gastric function im
patients with chronic idiophatic dyspepsia, Gastroenterology
1992;103:768-73