You are on page 1of 7

Jurnal PSIK – FK Unsyiah Mulyadi

ISSN : 2087-2879
STUDI KASUS: PENDERITA HIV/AIDS YANG DIRAWAT
DENGAN PENYULIT TUBERKULOSIS PARU

Case Study: People with HIV / AIDS Disease are treated with Pulmonary Tuberculosis

Mulyadi
Bagian Pulmonologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh
Pulmonology Department, Faculty of Medicine, Syiah Kuala University/ RSUDZA Banda Aceh
E-mail: mul.0862@gmail.com

ABSTRAK
Seorang wanita 21 tahun dirawat dengan keluhan batuk lama, demam, penurunan berat badan yang drastis,
diare kronis, nyeri telan, luka pada mulut dan labia mayora. Radiologi torak didapatkan infiltrat pada kedua
paru. Penderita sebelumnya telah dirawat sebagai penderita HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB) paru (kasus
drop out). Hasil laboratorium didapatkan CD4 absolut : 6; CD 4 % : 3 % , hasil sputum didapatkan bakteri
tahan asam (BTA), ulkus pada oral dan pada labia mayora. Penderita dirawat di ruang isolasi, diberikan : O 2
3 – 4 liter/menit, infus RL / D5 / Aminofusin, dipasang nasogastric tube. Parasetamol 3x500 mg, tranfusi
packet red cell (PRC), Kotrimoksazole 1x960 mg, Nystatin oral drops 4x2 cc, Fluconazole oral 1x100 mg,
Fusidic cream pada labia mayora, Rifamfisin 450 mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg. Dalam 4 hari
pertama keadaan umum membaik, diare berkurang. Hari berikutnya keadaan umum menurun diberikan
tambahan antibiotika Ciprofloxacin 200mg/12jam. Penderita dirawat selama 12 hari dengan diagnosa kerja
HIV/AIDS dan TB paru serta infeksi opportunis, penderita meninggal dunia setelah dirawat 12 hari.

Kata Kunci: HIV/AIDS, TB, sepsis.

ABSTRACT
A woman 21 years old treated with complaints cough, fever, weight loss is drastic, chronic diarrhea, painful
swallowing, sores in the mouth and labia majora. Thoracic radiology obtained infiltrates in both lungs.
Patients had previously been treated as people with HIV / AIDS and Tuberculosis (TB) lung (cases drop out).
Laboratory results obtained absolute CD4: 6; CD 4%: 3%, the results obtained sputum acid-resistant
bacteria (AFB), and oral ulcers on the labia majora. Patients treated in isolation, given: O2 3-4 liters / min,
infusion of RL / D5 / Aminofusin, placed nasogastric tube. 3x500 mg paracetamol, packet red cell transfusion
(PRC), Kotrimoksazole 1x960 mg, nystatin oral drops cc 4x2, 1x100 mg oral fluconazole, fusidic cream on
the labia majora, Rifamfisin 450 mg, 300 mg INH, Ethambutol 1000 mg. In the first 4 days the general
condition improved, reduced diarrhea. The next day the general state of decline given additional antibiotic
Ciprofloxacin 200mg/12 hours. Patients were treated for 12 days with a working diagnosis of HIV / AIDS
and pulmonary tuberculosis and opportunistic infections, the patient died 12 days after being admitted.

Keywords: HIV/AIDS, TB, sepsis.

PENDAHULUAN diperkirakan ada 169.000 – 216.000


Sejak diketahui Human penderita HIV dewasa, namun
Immunodefisiensi Virus (HIV) pada tahun perkembangan epidemi HIV di Indonesia
1981 di Amerika Serikat, hingga menyebar termasuk yang tercepat di Asia, hal ini
ke seluruh dunia infeksi HIV menjadi terkait dengan pemahaman tentang
masalah kedaruratan global. Saat ini di HIV/AIDS, status ekonomi, masalah sosial
seluruh dunia terdapat 40 juta orang telah dan gizi. (Direktorat Jenderal Pemberantasan
terinfeksi HIV dan 20 juta orang telah Penyakit Menular dan Penyehatan
meninggal, Asia merupakan daerah dengan Lingkungan, 2003; Badan Penelitian dan
insiden tinggi penyebaran HIV. Di Pengembangan Kesehatan Kemenkes, 2010;
Indonesia kasus HIV/AIDS pertama kali Dikromo, Antariksa, Nawas, 2011). HIV
dilaporkan tahun 1986, meskipun secara merupakan golongan Retrovirus dengan efek
nasional prevalensi HIV di Indonesia sitopatik pada limfosit T, masa inkubasi
termasuk rendah, pada tahun 2006 bervariasi antara 1 – 6 tahun, replikasi

125
Idea Nursing Journal Vol. II No. 2

terjadi dalam sel CD4 menghasilkan HIV badan telah meningkat menjadi 46 kg.
baru yang menyebar ke jaringan limfoid. Penderita memiliki riwayat hubungan
Setelah melalui fase yang disebut sindroma seksual diluar nikah, menikah dua kali,
menyerupai mononukleusis dan seterusnya, dan saat ini memiliki suami yang menderita
dalam masa klinis laten jumlah CD4 HIV. Keadaan umum lemah dan berat badan
limfosit T yang makin menurun yang 46 kg. Pada pemeriksaan tanda vital tanggal
mencapai titik kritis dan menjadi risiko 21 April 2011 didapatkan kesadaran kompos
infeksi opportunistik, hal ini berkaitan mentis, tekanan darah 90/50 mmHg, nadi
dengan citokines network yang ikut 80 kali per menit, pernafasan 20 kali per
berperan dan mengakibatkan menit, suhu tubuh aksila 38,2 0C. Pada
imunodefisiensi. (Yunihastuti E, Djauzi S, pemeriksaan fisik kepala/leher didapatkan
Djurban Z, 2005 ) Pola penularan HIV konjunktiva anemis, ulcus pada lidah 2 x 1
berbeda antara satu daerah dengan lainnya, cm, multiple. Pada pemeriksaan torak
saat ini penularan terbanyak secara hetero tanggal 21 April 2011 didapatkan suara
seksual, kemudian dari ibu hamil yang nafas bronko vesikular dan bronkial pada
terinfeksi kepada bayi yang dilahirkan, kedua hemi torak. Didapatkan ulkus labia
homoseksual, pemakaian alat suntik yang majora. Hasil pemeriksaan Radiologi torak
terinfeksi, tranfusi yang terkontaminasi. pada waktu masuk didapatkan infiltrat pada
Diagnosa HIV/AIDS berdasar pada kedua lapangan paru, terutama apek,
kecurigaan faktor risiko, manifestasi klinis, dengan kecurigaan suatu proses spesifik lesi
serta hasil pemeriksaan darah. (Aditama, sedang. Hasil laboratorium tanggal 21 April
2006; Nasronudin, 2007) . 2011 didapatkan Hb 7,8 gr/dl, Leukosit
Saluran nafas bawah merupakan 11.000, Trombosit 735, gula darah sewaktu
organ utama terjadinya infeksi opportunis 120, hapusan sputum BTA +. Dari
pada HIV/AIDS, dalam hal ini jumlah anamnesa dan pemeriksaan fisik, penderita
CD4 dapat menjadi petunjuk, bila CD4 < ini didiagnosa sebagai penderita HIV/AIDS
200 – 250 ml/mm mengakibatkan infeksi dengan TB paru dan Candidiasis oral.
Pneumonitis Carinii Pneumonia dan Penderita dirawat di ruang isolasi.
Mycobacterium Avium Complek, CD4 > Dilakukan pemasangan nasogastric tube
200 – 250 ml/mm mengakibatkan infeksi untuk bantuan nutrisi, diberi O2 3 – 4
Pneumonia bakteri dan Tuberkulosis (TB) l/menit, infus RL /D5 / Aminofusin tiap 8
paru. (Yunihastuti dkk, 2005; Dikromo dkk, jam, tablet multivitamin C dan B complex
2011). 3x1 tablet, Parasetamol 3x500 mg, tranfusi
Berikut akan disampaikan satu studi PRC 2 kolf, Kotrimoksazole 1x960 mg,
kasus penderita HIV/AIDS dan Tb paru Nystatin drops oral 4x2 ml, Fluconazole
kasus drop out yang dirawat di Rumah Sakit oral 1x100 mg, Fusidic cream pada labia
Dr. Zainoel Abidin. mayora / 8 jam, Rifamfisin 450 mg, INH
300 mg, Ethambutol 1000 mg. Direncanakan
pemeriksaan CD4, fungsi hati, fungsi
TINJAUAN KASUS ginjal, elektrolit, pemeriksaan kultur jamur
Seorang wanita 21 tahun, dirawat pada lesi oral, pemeriksaan sputum BTA /
dengan keluhan batuk sejak satu tahun gram / jamur/ kultur sputum. Selama
terakhir, kadang disertai batuk darah, suara penderita dirawat di rumah sakit dalam 4
serak, nyeri menelan, kadang sesak nafas hari pertama, diare berkurang, nyeri telan
disertai demam terutama sore. Penderita berkurang, beberapa pemeriksaan belum
memiliki riwayat diare yang hilang timbul didapat, hingga penderita meninggal dunia
sejak 4 bulan, pada mulut luka yang hilang tanggal 2 Mei 2011 karena kecurigaan
timbul sejak enam bulan lalu. Penderita sepsis. Hasil laboratorium tanggal 24 – 04 -
telah didiagnosa HIV dan TB paru 10 bulan 2011 yang diterima tanggal 04 – 05 – 2011
lalu, namun berhenti minum obat anti (setelah penderita meninggal) didapat : CD4
tuberkulosa sejak 8 bulan lalu. Berat badan absolut = 6 sel/цL, Lymphocyte T helper
pernah turun dari 55 kg menjadi 33 kg sangat kurang, CD4 % = 3 % ; T Lymphs
dalam waktu 4 bulan, namun saat ini berat % of Lymphs (CD3 + /CD45) = 56 % (55-

126
Idea Nursing Journal Mulyadi

84); T Lymphs (CD3+) Abs Cnt = 136 (690 gambaran khas TB pada penderita
-2540); T helper % of Lymphs HIV/AIDS, manifestasi tergantung luas dan
(CD3+/CD45+) = 3 Lc (31 % - 60 %) ; T penyulit yang muncul. Risiko menderita TB
helper Lymphs (CD3+/CD4+) Abs Cnt = 6 pada penderita HIV di negara maju
Lo (410 - 1590); Lymphocyte (CD 45+) mencapai 50% dibanding 10% pada orang
Abs Cnt 243 cells/цL. tanpa HIV. Pada tahun 2005 di RSUD dr.
Soetomo Surabaya infeksi sekunder oleh
DISKUSI karena TB pada penderita HIV mencapai 83
Penderita seorang wanita berusia 21 %. (Nasronudin, 2007; Mulyadi & Fitrika,
tahun, menikah sebanyak dua kali, dan 2010).
memiliki suami menderita HIV. Menurut Masa inkubasi HIV bervariasi antara
WHO dan The Center for Disease Control 1 – 6 tahun, penderita ini didiagnosa HIV
(CDC) 2009, termasuk risiko tinggi sejak 3 tahun lalu, dan didiagnosa
menderita HIV apabila melakukan menderita TB paru 10 bulan dan telah
hubungan suami isteri dengan penderita mendapat terapi obat anti tuberkulosa (OAT)
HIV, berganti pasangan diluar nikah, atau selama 2 bulan, namun berhenti
berhubungan suami isteri dengan pasangan mengkonsumsi OAT karena merasa keadaan
yang memiliki riwayat berganti pasangan membaik. TB merupakan salah satu
sebelumnya dengan risiko pengidap HIV. penyebab progresifitas HIV menjadi AIDS,
Penderita ini sudah didiagnosa menderita kasus TB drop out mengakibatkan
HIV sejak 3 tahun lalu, TB paru sejak 10 progresivitas perjalanan HIV menjadi AIDS
bulan lalu. Hasil pemeriksaan klinis menjadi lebih cepat lagi, pada kasus ini
didapatkan penderita dengan riwayat batuk dapat dilihat pada hasil CD4 absolut = 6 sel
lama, demam, nyeri telan dan penurunan /цL, Lymphocyte T helper sangat kurang.
berat badan yang drastis dalam 4 bulan Infeksi HIV pada CD4 dan makrofag
terakhir serta diare kronis. Manifestasi klinis menyebabkan tidak berfungsinya cell
TB pada HIV/AIDS menyerupai akibat mediated immune response sehingga daya
infeksi lain, demam berkepanjangan tahan penderita HIV menurun, pada kasus
(100%), penurunan berat badan dramatis ini mengakibatkan penyebaran TB lebih
(74%), batuk (37%), diare kronis (28%), progresif hematogen menyebabkan
manifestasi koinfeksi dapat ditinjau dari timbulnya ekstra pulmonary TB di mulut
keluhan berupa infeksi menular seksual, dan labia mayora serta reaktifasi TB
herpes zoster, pneumonia, infeksi bakteri dorman. Prioritas pertama terapi pada
berat, penurunan berat badan > 10% dari penderita HIV/AIDS dengan TB adalah
berat badan basal, diare kronis > 1 bulan, dimulai pengobatan TB serta kotrimoksazol
nyeri retrospinal saat menelan akibat profilaksis segera waktu diagnosis
kandidiasis. (Yunihastuti, 2005). ditegakkan dan selama pengobatan TB,
Gambaran radiologi torak didapatkan selanjutnya pemberian Anti Retrovirus
infiltrat dengan lesi sedang, keadaan ini (ARV) bila CD4 < 200 sel/μl.
sesuai dengan referensi bahwa TB pada Prinsip penatalaksanaan koinfeksi
HIV/AIDS memberi gambaran infiltrat pada HIV dan TB: pemberian antiretroviral,
apek paru sebanyak 41% dengan 86,7% HAART, pengobatan TB sebagai koinfeksi,
lesi luas. Pemeriksaan sputum BTA pada mencegah relaps dan rekuren TB,
kasus ini mendapat hasil positif, menurut mencegah resisten terhadap OAT dan ARV,
penelitian Dikromo dkk (2011) konfirmasi mencegah transmisi HIV dan TB, dukungan
kepositifan bakteriologi TB pada nutrisi berbasis makronutrien dan
HIV/AIDS sebesar 27,7 %. Sepertiga mikronutrien, dukungan psikologis dan
penderita HIV/AIDS mengalami infeksi psikososial, physical exercise.
opportunis, pada kasus HIV dan TB di Regimen OAT pada penderita
negara berkembang TB merupakan HIV/AIDS + TB pada dasarnya sama seperti
penyebab kematian utama akibat infeksi kasus TB lainnya. Pemberian OAT lebih
oportunistik. Sama dengan manifestasi TB lama hingga 4 – 6 bulan pada penderita
pada kasus lain tanpa HIV, tidak ada HIV/ AIDS + TB akan menurunkan tingkat

127
Idea Nursing Journal Vol. II No. 2

Tabel 1. Pengobatan TB/HIV

Jumlah sel CD4 Regimen yang dianjurkan Keterangan

CD4 < 200 / Mulai terapi TB Dianjurkan ARV :


mm3 Mulai ARV segera setelah EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau
terapi TB dapat ditoleransi ( 2 perempuan usia subur tanpa kontrasepsi efektif.
minggu – 2 bulan ) EFV dapat diganti dengan :
Paduan yang mengandung EFV  SQV/RTV 400/400 mg, 2 kali / hari
 SQV/ r 1600/200 mg 4 kali / hari
 LPV/RTV 400/400 mg, 2 kali / hari
CD4 200 - 350 / Mulai terapi TB Pertimbangan ARV:
mm3  Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah
selesai fase intensif (mulai lebih dini dan bila
penyakit berat) :
Paduan yang mengandung EFV :
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari) atau
 Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB
fase lanjutan tidak menggunakan Rifampisin
(AZT atau d4T) + 3TC + NVP
CD4 > 350 / Mulai terapi TB (obati TB Tunda ARV. Monitor CD4. Evaluasi kembali pada
mm3 sampai selesai) saat minggu ke 8 terapi TB dan setelah terapi TB
selesai.
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV mulai 2-8 minggu
mungkin setelah terapi TB dimulai
diperiksa
Sumber : DEPKES, 2009
HIV/AIDS + TB aka kekambuhan serta penderita ini bertujuan untuk profilaksis
kegagalan pengobatan yang lebih kecil. terhadap Pneumonitis Carinii Pneumonia
Penderita ini merupakan HIV/AIDS + TB dan Toksoplasmosis, selain itu pemberian
kasus drop out, oleh karena itu regimen Kotromoksazole diberikan pada kasus
OAT harus dimulai kembali dari awal. HIV/AIDS dengan infeksi TB. Penderita ini
Pemberian pada HIV/AIDS + TB dengan belum diberikan ARV karena masih
memperhatikan limfosit, CD4, (table 1). memulai pengobatan TB, diberikan
Jumlah CD4 adalah cara menilai Ciprofloxacin 200 mg/12 jam untuk infeksi
status imunologi penderita HIV/AIDS, dapat sekunder
berubah setiap hari tergantung penyulit dan Pada kasus HIV/AIDS+TB,
komplikasi infeksi oportunis yang timbul. pemberian ARV direkomendasikan untuk
Hasil pemeriksaan laboratorium pada semua penderira HIV/AIDS +TB CD4 <
penderita ini didapatkan CD4 absolut = 6 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila
sel/цL, Lymphocyte T helper sangat kurang, CD4 < 350/mm3. Bila tidak tersedia
CD4 % = 3%; T Lymphs % of Lymphs pemeriksaan CD4, maka terapi ARV
(CD3+/CD45) = 56 (55% - 84%); T Lymphs direkomendasikan untuk semua HIV/AIDS
(CD3+) Abs Cnt = 136 (690 -2540); T + TB. Pada kasus ini ARV belum diberikan
helper% of Lymphs (CD3+/CD45+) = 3 Lc karena masih dalam fase awal pemberian
(31% - 60%) ; T helper Lymphs (CD3 OAT.
+/CD4+) Abs Cnt = 6 Lo (410 - 1590); Pada dasarnya pemberian ARV pada
Lymphocyte (CD 45+) Abs Cnt 243 cells / penderita HIV/AIDS+TB sebagai berikut :
цL. Hasil menunjukkan status imunologis
penderita yang menurun secara progresif
akibat penghentian OAT. Pemberian
Kotrimoksazole dengan dosis 960 mg pada

128
Idea Nursing Journal Mulyadi

Tabel 2. Panduan ARV bagi penderita HIV + TB :


Paduan ARV lini Paduan ARV pada
Pilihan terapi ARV
pertama atau kedua saat TB muncul
2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
Lini pertama Ganti dengan EFV atau Ganti dengan tripel NRTI
2 NRTI + NVP
atau Teruskan dengan 2 NRTI + NVP
Tripel NRTI Teruskan tripel NRTI
Ganti atau teruskan (bila sudah digunakan) paduan ARV
Lini kedua 2 NRTI + PI/r
yang mengandung LPV/r
Sumber : DEPKES, 2009
WHO menganjurkan dua Nucleoside Rifampisin dan obat antiretroviral golongan
Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) non-nukleosida dan inhibitor protease. Hal
ditambah satu non NRTI (NNRTI). First ini karena adanya induksi enzim CYP3A
line ARV regiment dianjurkan berisi EFV, P450 oleh Rifampisin pada metabolisme
karena interaksi dengan obat TB minimal. protease inhibitor. Kadar protease inhibitor
Dari beberapa penelitian dijumpai bahwa obat dapat turun drastis sehingga dapat
EFV dengan dosis standar ditoleransi mengurangi efek antiretroviral. Rifampisin
dengan baik dan dapat mencapai supresi dapat menurunkan kadar Nelfinavir sampai
virus komplit pada pasien yang mendapat 82% dan kadar Nevirapin sampai 37%,
Rifampisin bersama untuk pengobatan TB. tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan
EFV tidak diberikan pada HIV yang resisten dosis Nevirapin yang direkomendasikan.
terhadap NNRTI dan pada kehamilan karena Beberapa hal yang perlu
sifatnya yang teratogenik. Regimen lini dipertimbangkan pada pasien yang memakai
kedua adalah Protease Inhibitor (PI). protease inhibitor : 1) Menghentikan
(Nasronudin 2007, Aditama, 2009) pemakaian protease inhibitor dan
Dilaporkan bahwa 1/3 penderita TB menggunakan alternatif antiretroviral lain
yang dimulai dengan ARV mengalami sampai tuberkulosis sembuh. 2) Memakai
Iimmunoreconstitution Inflamatory Indinavir sebagai protease inhibitor dan
Syndrome (IRIS), berupa demam, substitusi Rifabutin untuk menurunkan
pembesaran limfonodus, infiltrat paru dosis Rifampisin. 3) Mengeluarkan
memburuk dan kambuhnya inflamatori di Rifampisin dari regimen dan pengobatan
tempat lain. Hal ini umumnya terjadi dalam Tabel 3. Obat yang dipakai dan lama
3 bulan pemberian ARV dan lebih sering pengobatan
bila CD4 < 50 sel/mm3. Kebanyakan kasus
membaik sendiri dan ARV aman diteruskan. Klasifikasi Regimen obat
Pada IRIS tidak perlu diubah ke lini kedua
ARV. Pemberian ARV waktu awal Kasus TB paru
2 RHZE / 6 HE (DOTS)
mengurangi semua penyebab kematian, 2 RHZE / 4 RH (DOTS)
memperbaiki hasil terapi TB dan TB kambuh/
2 RHZES / RHZE /
mengurangi kejadian. (WHO, 2009) pengobatan
5 H3R3E3 (DOTS)
Interaksi obat TB dengan ARV : ulang
1) Pemakaian obat HIV/AIDS, spt zidovudin Sumber : Aditama, 2006
meningkatkan terjadinya efek toksik OAT. diperpanjang selama 18 bulan.
2) Tidak ada interaksi bermakna antara Pada penderita HIV/AIDS + TB paru
OAT dengan ARV golongan nukleosida, dengan kavitas, fase lanjutan diperpanjang 3
kecuali didanosin (ddI) yang harus diberikan bulan sehingga lama pengobatan hingga 9
selang 1 jam dengan OAT karena bersifat bulan. Pada penderita TB diluar paru, fase
buffer antasida. lanjutan ditambah 4-7 bulan, sehingga lama
Pada pasien HIV yang mendapat terapi 6 - 9 bulan, untuk TB sistim saraf
terapi kombinasi beberapa obat Highly pusat, atau TB pada tulang dan sendi, lama
Active Antiretroviral Therapy, (HAART) terapi mencapai 9 - 12 bulan (Aditama,
akan terjadi interaksi obat, terutama antara 2009 ).

129
Idea Nursing Journal Vol. II No. 2

Tabel 4. Efek samping OAT atau ARV dan kemungkinan penyebabnya


Kemungkinan Penyebab
Efek Samping
OAT ARV
Alergi kulit Pirazinamid, Rifampisin, INH Nevirapin, Efavirenz
Mual, muntah Zidovudin
Pirazinamid, Rifampisin, INH

Hepatitis imbas obat Pirazinamid, Rifampisin, INH Nevirapin, golongan protease inhibitor
Leukopenia, anemia Rifampisin Zidovudin
Sumber : Yunihastuti E (2005)
Pada penderita HIV/AIDS yang saja. Salah satu permasalahan dari TB dan
sedang menjalani terapi ARV dan OAT, AIDS ini adalah terjadinya multi drug
perlu diperhatikan efek samping obat yang resistance (MDR), angka kematian pada
tumpang tindih dan seringkali sulit penderita TB+AIDS dengan MDR yang
ditentukan penyebabnya. Efek samping tinggi (70% - 90%) dalam waktu 4-16
OAT lebih sering terjadi pada penderita minggu sejak diagnosis hingga meninggal,
HIV/AIDS dengan TB dibandingkan (Mulyadi dan Fitrika, 2010; Dikromo,
kelompok TB tanpa HIV. Sebaiknya OAT Antariksa, Nawas, 2011). Pada kasus ini
tidak dimulai bersama-sama dengan ARV seorang penderita HIV dan TB yang tidak
untuk mengurangi kemungkinan interaksi mendapat perawatan TB dengan adekuat
obat, ketidakpatuhan minum obat, dan reaksi mengakibatkan HIV/AIDS menjadi
paradoks (tanda eksaserbasi TB), jika progresif mengakibatkan infeksi opportunis
penderita HIV/AIDS sudah dalam terapi lainnya, kondisi makin buruk dan penderita
ARV, pemberian ARV tetap diteruskan. meninggal dicurigai karena sepsis.
Pemberian OAT fase lanjutan secara
intermitten pada kasus TB deangan HIV, PENUTUP
meningkatkan kemungkinan relaps dan Telah dibahas seorang penderita
gagal pengobatan 2 – 3 kali bila HIV/AIDS+ TB ( TB paru kasus drop out)
dibandingkan dengan pemberian fase keadaan ini mengakibatkan progresifitas
lanjutan secara tiap hari. HIV/AIDS + TB dengan infeksi
Pasien dengan koinfeksi opportunistik lainnya. Penderita dirawat dan
HIV/AIDS+TB mempunyai viral load ± 1 kembali mendapat obat anti Tuberkulosis
log lebih besar atau meningkat 6-7 kali dan untuk sementara ARV belum diberikan,
daripada pasien yang tidak mengalami TB. keadaan progresifitas HIV/AIDS + TB dan
Terjadinya peningkatan kepadatan viral load infeksi sekunder lainnya yang memperberat
ini akibat pengaruh Mikobakterium TB mengakibatkan penderita meninggal
terhadap produksi sitokin (IL-1, IL-6, TNF- kecurigaan akibat sepsis.
α). Sitokin proinflamatori tersebut
mengiduksi aktivasi NkKB sehingga terjadi SARAN
aktivasi provirus yang semula tenang pada Karena secara demografis Indonesia
fase laten, serta percepatan replikasi HIV. merupakan daerah dengan insiden TB yang
Hal ini mengakibatkan perkembangan HIV tinggi, terhadap setiap kasus yang
menjadi AIDS lebih cepat. HIV juga didiagnosa HIV/AIDS dan dicurigai
meningkatkan kerentanan terhadap TB dan menderita TB hendaknya perlu pemantauan
meningkatkan progresifitas TB laten dan evaluasi yang ketat, hal ini akan
menjadi TB aktif. HIV menyebabkan mengurangi progresivitas proses perjalanan
penurunan CD4 mengakibatkan sistem HIV/AIDS.
imun mendorong timbulnya TB, akibat
kegagalan mencegah perkembangan dan KEPUSTAKAAN
penyebaran MTB. Angka mortalitas pada Aditama TY, Soedarsono, Thabrani Z,
koinfeksi TB/HIV ± 4 kali lebih besar Wiryokusumo HS, Sembiring H, Rai
daripada pasien yang hanya mengalami TB IBN, Palilingan JF, Lulu M, Soepandi

130
Idea Nursing Journal Mulyadi

ZS, Bernida I, Hariadi S, Sartono TS, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit


Sampurno E, Iswanto, Burhan E, Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Wulandari L. (2006) Pengobatan (2003). Pedoman Nasional
Tuberkulosis pada Keadaan Khusus. Perawatan, Dukungan dan
Dalam: Tuberkulosis. Pedoman Pengobatan Bagi ODHA. Buku
Diagnosis dan Penatalaksanaan di pedoman untuk petugas kesehatan
Indonesia. Jakarta : Perhimpunan dan petugas lainnya. Departemen
Dokter Paru Indonesia. Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Aditama TY. (2009). Terapi ARV pada
Pasien dengan Koinfeksi TB dan HIV. Mulyadi, Fitrika Y. (2010).
Dalam: Pedoman Nasional Terapi Penatalaksanaan Tuberkulosis Pada
Antiretroviral. Edisi 2. Jakarta: Penderita HIV – AIDS. Jurnal
Departemen Kesehatan Republik Kedokteran Syiah Kuala 3 : 169-178.
Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Nasronudin. (2007). Penatalaksanaan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Koinfeksi Penderita HIV. Dalam:
Barakbah J,dkk (Ed). HIV & AIDS
Badan Penelitian dan Pengembangan Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis
Kesehatan Kemenkes. (2010) dan Sosial. Edisi 1. Surabaya:
HIV/AIDS Malaria, dan Tuberkulosis. Airlangga University Press hal. 177-
Dalam : Riset kesehatan dasar. 91.
Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, hal : 265 – 350. WHO (2009). TB impact measurement
policy and recomendations for how
Dikromo NP, Antariksa B, Nawas A. assess the epidemiological burden of
(2011). Factors Associated to Success TB and the impact of TB control.
Tuberculosis Therapy of Co – WHO Geneva.
infection TB - HIV Patiens in
Yunihastuti E, Djauzi S, Djurban Z (Ed).
Persahabatan Hospital, Jakarta -
(2005). Infeksi Oportunistik pada
Indonesia. J Respir Indo 2011 : 31:1:
AIDS. Balai Penerbit FKUI Jakarta.
14 – 21.

DEPKES. (2009). Pedoman Nasional


Terapi Anti Retroviral dengan
panduan tatalaksana klinis infeksi
HIV pada orang dewasa dan remaja.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.

131

You might also like