You are on page 1of 13
2 Warta IHP/Journal of Agro-Based Industry Vol. 27 No. 1, Juni 2010, pp 72 - 84 Ulasan Imiah/Review PATI RESISTEN: STRUKTUR, PREPARASI, DAN EFEK FISIOLOGISNYA Resistant Starch (RS): Formation, Preparation, and Its Physiological Effects Yoliasri Ramadhani Meutia Balai Besar Industri Agro Ji. Ir. H. Juanda 11 Bogor. 16122 ABSTRACT : Resistant starch (resistant starch - RS) is one kind of starch which resistant to amylase enzyme activity. The interesting thing of this starch is the RS that can be used as a source Of dietary fiber, and it has several advantages compared with traditional dietary fiber in their application in various food products, such as it can be applied as a texture modifier in baked products as well as a crisping agent. RS can be prepared through heat treatment, enzyme treatment, the combination of heat and enzyme treatment, as well as by chemical treatment using distarch phosphate ester compounds. Along with increasing public attention to health, RS plays important role as functional foods, acts as a component of dietary fiber, prebiotic, preventing colon cancer, and has a hypoglycemic effect, as well as hipocholesterolemic effects. Keywords: Resistant starch (RS), functionally, formation, preparation, digestibility, physiological effects PENDAHULUAN KLASIFIKASI PATI BERDASARKAN PERLAKUAN ENZIMATIS DAN eiring dengan —_meningkatnya KARAKTERISTIK NUTRISI kesadaran —masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang memiliki nilai tambah bagi tubuhnya, maka —_perlu diperkenalkan suatu bentuk modifikasi pati yang bernilai fungsional bagi tubuh, yaitu pati resisten. Istilah pati resisten (resistant starch- RS) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980 oleh Hans Englyst yang menemukan bahwa ada beberapa jenis pati yang tahan terhadap enzim amilase. EURESTA (European Flair Concerted Action on Resistant Starch) mendefinisikan RS sebagai sejumlah pati dan produk degradasi pati yang tidak diserap oleh usus halus individu yang sehat (EURESTA, 1992). Dalam tulisan ini akan dibahas tentang Klasifikasi pati berdasarkan _perlakuan enzimatis dan karakteristik —_nutrisinya, beberapa fungsi pati resisten, faktor yang mempengaruhi pembentukan pati _resisten, preparasi pati resisten, sera _pengaruh fisiologis/ Keunggulan pati resisten terhadap kesehatan. Berry (1986) mengklasifikasikan pati berdasarkan perlakuan enzimatis menjadi 3 tipe, yaitu pati yang cepat dicerna / Rapidly Digestible Starch (RDS), pati yang lambat tercema / Slowly Digestible starch (SDS), dan pati resisten / Resistant starch (RS). RDS sebagian besar mengandung pati terdispersi yang ditemukan pada sejumlah besar pangan berpati yang dimasak dengan menggunakan panas dan air (moist heat) seperti roti dan kentang. RDS diukur sebagai jumlah molekul glukosa yang terbentuk dari hasil pencernaan pati oleh enzim amilase selama 20 menit. Seperti RDS, SDS diharapkan dapat tercerna sempurna pada usus halus, namun karena suatu alasan tertentu proses pencernaan terjadi lebih lambat. Tipe pati ini terdiri dari pati tak berbentuk dan pati mentah dengan struktur kristalin tipe A dan tipe C, seperti sereal dan pati tipe B baik dalam bentuk granular atau bentuk teretrogradasi pada makanan yang diolah. Tipe ini diukur secara kimia sebagai pati yang dikonversi menjadi glukosa setelah dicerna oleh enzim selama 100 menit. RS merupakan fraksi kecil dari pati yang resisten terhadap hidrolisis oleh enzim a- amilase dan pulullanase secara in vitro. RS merupakan pati yang tidak tercema setelah inkubasi dengan’ enzim selama 120 menit (Englyst et al, 1992). Namun, Karena pati dapat mencapai usus besar dan dapat lebih atau kurang terfermentasi oleh mikroflora _usus, maka RS didefinisikan sebagai fraksi dari serat pati, yang dapat melewati sistem pencernaan pada usus halus. RS divkur secara kimia sebagai perbedaan antara pati total / total starch (TS) yang diperoleh dari sampel yang dihomogenisasi dan diberi perlakuan kimia, dengan jumlah dari RDS dan SDS yang merupakan hasil sampel makanan yang tak terhomogenisasi oleh digesti enzim. Dengan demikian, pati resisten dapat diformulasikan sebagai RS = TS ~ (RDS + SDS). Berdasarkan karakteristik nutrisi, pati terbagi menjadi pati yang dapat dicema Digestible Starch) dan pati resisten (RS). Pati yang dapat dicerna mencakup RDS dan SDS, sedangkan RS dapat diklasifikasikan lagi menjadi 4 fraksi yaitu RS), RS: RS;, dan RS, Keempat tipe RS ini juga biasa disebut pati resisten tipe I, II, Il, dan IV (Asp dan Bjork, 1992). RS; merupakan pati yang resisten karena bentuknya secara fisik sukar ditembus oleh enzim pencemnaan seperti gandum dan bij-bijian yang digiling sebagian seria beberapa tipe yang berdensitas tinggi dari pangan berpati yang diolah. Pati ini diukur secara kimiawi sebagai perbedaan antara glukosa yang dibebaskan oleh _enzim penceaan dari sampel makanan baik yang dihomogenisasi_ maupun yang tidak dihomogenisasi. RS, bersifat tahan panas pada hampir seluruh suhu pengolahan pangan dan dapat digunakan sebagai komposisi makanan pada berbegai variasi makanan konvensional (Asp dan Bjork, 1992). RS; merupakan pati yang mempunyai bentuk granular tertentu dan resisten terhadap enzim pencernaan. Struktur patinya yang Kompak membatasi akses enzim pencernaan, enzim amilase, dan beberapa RS yang secara alami bersifat resisten seperti pati tak tergelatinisasi. Pada makanan, terdapat pati ‘mentah yang dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah seperti pisang. RS; dan RS; merupakan bentuk residu dari pati yang dicema sangat lambat dan tidak tercemna sempurna dalam usus halus (Asp dan Bjork, 1992). r I Pati Resisten: Struktur, Preparasi dan .. B RS; merupakan fraksi pati paling resisten dan terbentuk dari retrogradasi amilosa selama proses pendinginan pati yang tergelatinisasi. Makanan yang diberi perlakuan panas dan lembab/ high moisture treatment (HMT) memiliki kandungan RS;. RS; hanya dapat terdispersi dengan KOH dan dimetil sulfoksida (Asp dan Bjork, 1992 dan bersifat resisten terhadap pencernaan enzim amilase pankreatik. Berdasarkan keterangan di atas, maka: RS; = TS ~ (RDS + SDS) — RS; - RS, RS, = TS - (RDS + SDS) — RS, — RSs, dan RS; = TS — (RDS + SDS) — RS, — RS; RS, merupakan pati resisten dimana _ikatan kimianya terbentuk di luar posisi a-(1-4) dan ‘o-(1-6). Pati termodifikasi diperoleh melalui berbagai tipe perlakuan kimia. FUNGSI PATI RESISTEN RS mempunyai ukuran partikel yang kecil, penampakan putih, dan cita rasa yang netral. RS mempunyai kapasitas penahanan air yang rendah (low water-holding capacity). Fausto ef al. (1997) menyatakan bahwa RS mempunyai sifat fisiko kimia yang diharapkan seperti kemampuan mengembang, mengalami peningkatan —_viskositas, kemampuan membentuk gel, dan kemampuan mengikat air sehingga dapat digunakan dalam pengolahan berbagai © makanan. © Nugent (2005) memaparkan keunggulan dari RS _yaitu merupakan sumber alami, mempunyai citarasa yang netral, berwama putih, dan berukuran partikel halus schingga tidak mempengaruhi tekstur. RS juga mempunyai suhu gelatinisasi yang tinggi, dapat terekstrusi dengan baik, mempunyai kemampuan dalam membentuk film, serta memiliki sifat menahan air yang lebih rendah dibandingkan dengan produk serat tradisional. RS memungkinkan terbentuknya formasi_produk low bulk high-fiber yang dapat memperbaiki tekstur, penampakan, dan mouthfeel (yang dapat meningkatkan mutu organoleptik) bila dibandingkan dengan produk berserat tinggi lainnya. RS dapat ‘meningkatkan ketahanan kerenyahan produk pada produk sereal, dan juga merupakan pangan fungsional yang dapat menurunkan nilai kalori dari produk untuk coeliacs, sebagai laksatif pada produk terapi rehidrasi oral. RS dalam pembuatan roti sebagai fortifikasi serat pangan Salah satu sifat fisik RS yaity mempunyai kapasitas penangkapan air yang -(Fultasri Ramadhani Meutia) | 74 rendah schingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pangan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan penanganan yang baik pada pengolehan, menjaga kerenyahan, ‘ekspansi, dan perbaikan tekstur produk akhir. Pada umumnya roti difortifikasi dengan serat makanan (dietary fiber). Namun roti yang difortifikasi dengan serat pangan ini (high fiber bread) umumnya mempunyai beberapa sifat yang tidak diinginkan seperti wama yang gelap, mengalami penurunan volume loaf, mouthfeel yang kurang baik, dan juga perubahan cita rasa (masking flavor). Suatu penelitian yang dilakukan oleh American Institute of Baking (AIB) mengevaluasi pengaruh RS dalam karakteristik roti dibandingkan dengan penggunaan erat makanan tradisional. Hasil__penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan serat oat, selulosa, dan serat gandum, RS mempunyai kapasitas penangkapan air yang lebih rendah, sebagaimana sifat alami tepung. Meskipun kapasitas penangkapan air RS lebih rendah bila dibandingkan sumber serat lainnye, namun kuantitas yang digunakan untuk memperolch level TDF lebih besar. Hal ini meningkatkan total air yang digunakan untuk adonan RS. Meskipun demikian, absorbsi adonan RS lebih rendah bila dibandingkan dengan adonan serat biasa. Dengan demikian, absorbsi adonan yang lebih rendah hanya akan memberikan sedikit pengaruh pada rheologi adonan dan sifatnya paling dekat dengan adonan roti bantal putih. Roti dengan kandungan TDF 40% mempunyai loaf volume lebih besar dan strukur sel yang lebih baik bila dibandingkan dengan ‘serat__tradisional (Baghurst et al., 1996). RS sebagai texture modifier pada makanan yang dipanggang RS dapat digunakan dalam produk pangan yang dipanggang seperti pada cake, muffin, atau brownies. Umumnya RS dapat memodifikasi tekstur (texture modifier), membentuk kelembutan yang lebih diinginkan pada kulit roti. Cake yang menggunakan RS menunjukkan hasil yang sama dengan cake yang mengandung serat oat serta kontrolnya dalam hal jumlah moisture loss selama pemanggangan, pengembangan, volume spesifik, dan densitasnya, Hasil penilaian panelis menyatakan bahwa loaf cake yang mengandung 40% RS menghasilkan flavor, grittiness (tekstur berpasir), _penerimaan kelembaban, serta kelembutan terbaik setelah dilakukan —_pemanggangan selama 24 jam (Sajilata et al., 2006). RS sebagai crisping agent RS dapat digunakan sebagai bahan Penyusun pangan (ingredient) yang dapat meningkatkan kerenyahan makanan, dimana perlakuan panas tinggi diaplikasikan pada permukaan produk selama pengolahan, Hasil Pengujian menggunakan panelis terlatih yang membandingkan antara penggunaan RS dan serat lainnya pada formula wafel terhadap kerenyahan awal dan kerenyahan wafel setelah 3 menit, serta tekstur wafel; secara keseluruhan ‘menunjukkan bahwa wafel yang mengounakan RS mempunyai kerenyahan yang lebih disukai daripada kontrolnya dan wafel yang menggunakan serat tradisioal (Yue dan Waring, 1998). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN PATI RESISTEN Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan pati resisten yaitu sifat dasar pati, perlakuan panas dan lembab, interaksi pati dengan komponen fain pada makanan, kondisi pengolahan, pengolahan panas, dan kondisi penyimpanan (Sajilata e¢ al., 2006). Sifat dasar pati terdiri dari sifat kristalin pada pati, struktur granular, nisbah amilosa-amilopektin, dan retrogradasi amilosa. Berdasarkan hasil difraksi sinar X dan studi kalorimetri pada residu kristalin sampel pati amilomaize menunjukkan bahwa fragmen rantai yang dikemas dengan struktur kristalin tipe B dengan kisi-kisi kristal yang sedikit membesar berkontribusi pada pembentukan RS pada pati amilomaize. Perlakuan yang mengeliminasi kristalinitas pati (seperti gelatinisasi) stau perubahan struktur sel atau jaringan tanaman —(misalnya arena penggilingan) meningkatkan _ketersediaan enzim dan mengurangi kandungan RS, dimana rekristalisasi dan modifikasi kimia dapat ‘meningkatkan kembali kandungan RS. Pati ‘makanan yang dimodifikasi bersifat resisten secara parsial adalah sebagai hasil induksi dari modifikasi secara kimia (Englyst. dan ‘Cummings 1986; Bjork ef al., 1989; Schweizer et.al, 1990). Struktur granular —_berpengaruh terhadap pembentukan RS. Variabilitas yang lebar dalam ketersedisan amilosa menunjukkan keadaan bahwa granula pati yang mentah juga Fagg [ Warta IHF Voi. 27 No. i, Juni 2010 mempengaruhi pembentukan RS. Pati kentang dan pati jagung beramilosa tinggi diketahui sangat resisten secara in vitro dan tidak diserap dengan sempurna secara in vivo, dimana hampir seluruh pati sereal dapat dicerna seluruhnya meskipun secara lambat serta dapat diserap secara in vivo (Holm et al. 1987). Permukaan granula alami juga dapat mempengaruhi resistensi_ pati; lapisan pengadsorbsi pada materi non pati dapat secara efektif’ merintangi kerja enzim (Ring ef al. 1988). Pati tepary mentah ditemukan lebih resisten terhadap hidrolisis dibandingkan pati jagung (Abbas ef al. 1987). Nisbah amilosa dan _amilopektin berpengaruh terhadap —pembentukan pati resisten. Semakin tinggi kandungan amilosa maka akan semakin menurunkan daya cema pati, sehingga ada korelasi positif antara kandungan amilosa dengan _pembentukan formasi RS (Abbas et al, 1987). Apabila pati dipanaskan hingga 50°C, dengan adanya air, maka granula amilosa akan mengembang, —struktur—kristalin dari amilopektin akan hancur, dan granula akan ferputus. Rantai polisakarida mengalami Konfigurasi acak, menimbulkan pembengkakan pada pati dan penebalan matriks, seperti gelatinisasi, proses yang menyebabkan pati mudah dicerna. Pada saat _pendinginan/ pengeringan, terjadi rekristalisasi (retrogradasi). Kejadian ini mempengaruhi secara cepat separuh amilosa sebagai struktur linier yang memfasilitasi ikatan silang dengan adanya ikatan hidrogen (Belitz et al., 2009). Sampai seberapa tingkat pati dapat beretrogradasi atau dapat mengkristal kembali setelah gelatinisasi tergantung pada jumlah amilosa yang ada. Proses pemanasan menggunakan autoklaf (high moisture treatment) yang berulang pada pati gandum dapat menghasilkan hingga 10% RS. Besar persentase RS yang diperoleh tergantung pada jumlah amilosa, dan retrogradasi amilosa diidentifikasikan sebagai —_-mekanisme terbentuknya RS yang dapat terus dihasilkan dengan proses autoklaf berulang (Berry, 1986; Bjork et al, 1990). Pati beramilosa tinggi alami diketahui mengandung sejumlah besar RS tipe II Berry, 1986), dan didefinisikan sebagai pati yang granula alaminya resisten terhadap pencernaan dalam usus halus, setelah dimasak dan didinginkan menghasilkan sejumlah besar RS tipe III (Sievert dan Pomeranz, 1989) atau pati B teretrogradasi (Englyst et al, 1992). Berdasarkan studi tethadap sifat-sifat amilosa, disebutkan bahwa pengamatan eksotermis selama pendinginan amilosa atau preparasi RS yang diberi perlakuan panas menggambarkan penggabungan rantai, yang —melibatkan. agregasi amilosa dan gelasi didominasi oleh formasi dan agregasi kisi-kisi berikutnya pada susunan kristalin double helix tipe B (Sievert dan Wursch, 1993). PREPARASI PATI RESISTEN RS dapat dipreparasi_ dengan menggunakan perlakuan panas, perlakuan enzim, kombinasi antara perlakuan panas dan perlakuan enzim, serta perlakuan kimia, Perlakuan Panas RS dapat diperoleh melalui pemasakan pati di atas suhu gelatinisasi dan dikeringkan secara bersama-sama pada roll yang dipanaskan seperti drum drier atau dengan ekstruder. Gelatinisasi granula pati yang terjadi melalui proses panas sangat dipengaruhi oleh kerentanannya terhadap hidrolisis enzim. Pada lingkungan yang berkelembaban tinggi, amilosa yang terlepas dari granulanya meningkatkan kelarutan pati dan juga kerentanannya (Holm et al, 1988). Rendemen yang baik dari RS dapat diperoleh melalui penggelatinisasian pati pada suhu 120°C selama 20 menit, diikuti dengan pendinginan pada suhu ruang (Garcia-Alonso et al. 1999). Gel pati kemudian dibekukan selama 24 jam pada suhu -20°C dan dikeringkan “pada suhu 60°C sebelum dilakukan penggilingan. Berbagai kombinasi perlakuan waktu dan subu telah digunakan untuk membuat RS tipe I dari berbagai sumber pati alami. Pemanasan di atas suhu 100 °C pada pati dengan kadar amilosa normal (tanpa perlakuan tertentu) dapat meningkatkan rendemen RS tipe III. Proses pemanasan pati tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 110°C (Berry, 1986), suhu 121°C, suhu 127°C, suhu 134°C, atau pada suhu 148°C selama dalam kisaran waktu 30 menit hingga 1 jam (Sievert dan Pomeranz, 1989). Tahapan gelatinisasi, propagasi, dan ferutama tahapan perlakuan panas dibutuhkan untuk menghasilkan Komposisi pati rendah kkalori yang mengandung pati yang bersifat resisten tethadap enzim. Pati ini dihasilkan dengan menggunakan suhu nukleasi atau [ Pati Resisien: Sirukiur, Preparusi dan. eee] ‘uliasri Ramudinani Kaewiia) | 16 propagasi, yang menghindari produksi yang, besar dari Kristal amilopektin, kristal amilosa, dan komplek kristal lipid-amilosa yang lebih mudah meleleh (Jower melting). Suhu nukleasi yang digunakan adalah di atas titik leleh dari kristal amilopektin sedangkan suhu propagasi yang digunakan berada di atas titik leleh dari komplek amilosa-lipid namun di bawah titik leleh enzim RS (Haynes et al., 2000). Hidrolisis asam parsial / partial acid Iydrolysis (PAH) dari pati jagung beramilosa tinggi (ae-VII) meningkatkan _pengaruh perlakuan hidrotermal yang digunakan untuk memproduksi RS granular yang stabil terhadap tahap perlakuan panas lanjutan pada tekanan atmosfer (Brumovsky dan Thompson, 2001). PAH pada pati ae-VII berkaitan dengan pemanasan 35% (w/v) suspensi pati dengan 1% (w/w) HCI pada 25°C hingga 78 jam. Hidrolisis asam _parsial diikuti dengan perlakuan HMT — ditunjukkan dapat ‘meningkatkan rendemen dari granular RS yang direbus dan stabil (boiling-stable granular RS) hingga maksimum 63,2%. Perlakuan panas yang selektif dari pati yang beramilosa tinggi dengan adanya agen —_penghambat pengembangan pati seperti alkali serta adanya garam alkalin seperti halida, sulfat, dan fosfat dapet_menghasilkan rendemen granular RS dengan serat pangan yang tinggi (Brumovsky dan Thompson, 2001). Pirodekstrinisasi dikenal sebagai cara menghasilkan RS yang larut dengan air dan tidak mempunyai pertalian non pati (Laurentin dan Edwards, 2004). Pirokonversi mengarah pada modifikasi pati ering dengan menggunakan perlakuan panas, dengan atau tanpa penambahan asam. Asam yang digunakan termasuk asam hidroklorat 0,15% (berdasarkan berat pati kering) dan asam ortofosforat atau asam sulfurat pada 0,17% (Wurzburg, 1995). Pirodekstrin komersial umumnya diproduksi dengan _pemanasan kering, asidifikasi pati menggunakan reaktor dengan agitasi. Asam disemprotkan (spray) pada pati untuk mendukung hidrolisis dan transglikosidasi. Pembuatan _pirodekstrin tergantung pada kondisi reaksi, dan hasilnya akan bervariasi dalam hal daya cemanya, ketersediaan pati, viskositas, Kelarutan air- dingin, daya pengembangan (swelling power), wama, dan stabilitas (Okuma dan Wakabayashi, 2001). Perlakuan Enzim Soral dan Wronkowska (2000) telah meneliti pengaruh penyerapan dari substansi hidrofobik pada konsentrat pati polong- polongan. Dengan menggunakan a-amilase yang stabil terhadap panas, preparasi RS yang mengandung campuran mineral dan komponen N organik dapat diperoleh hingga mencapai 70%. Konsentrat. RS polong-polongan mempunyai afinites terhadap asam empedu, deoxycholic, dan pati polong-polongan alami. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsentrat_ RS —polong-polongan secara potensial dapat digunakan sebagai komponen Pangan untuk diet khusus, atau untuk ‘mencegah penyakit degeneratif, prophylactic, ddan kegunaan terapeutik (Buttcher ef al. 1997). Panjang rantai optimum dari poli-1,2- -D-glucan pada RS tahan panas, yang siap difermentasi dan dapat digunakan pada berbagai pangan fungsional, teyata dapat diperoleh melalui sintesis in vitro dengan penambahan ekstrak enzim yang mengandung amilosukrase dari Neiserria polysaccharea pada larutan sukrosa, diikuti dengan inkubasi pada suhu 37°C selama beberapa jam (Buttcher etal. 1997). Sejauh ini telah ditemukan metode untuk memproduksi produk RS yang dapat mempertahankan kualitas pemasakan yang sama sebagaimana ditemukan pada pati tepung beras yang tidak diberi perlakuan; namun ‘mempunyai persentase pati resisten yang lebih tinggi terhadap pencernaan enzim a-amilase (King dan Tan 2005). Metode ini menggunakan enzim debranching, yaitu ‘menggunakan enzim pullulanase, namun tidak memerlukan pra perlakuan pada sumber pati sebelum perlakuan enzim. Metode ini juga dapat untuk memproduksi RS dari pati beramilosa rendah, pati beras (24%) dan tepung beras (20%). Hasil _ penelitian menunjukkan bahwa produk RS yang terbentuk melalui metode ini dapat mempertahankan kemampuan pembentukan pastanya seperti pada pati atau tepung yang tidak diberi perlakuan dan bersifat stabil tethadap panas. Selain itu, metode ini dapat digunakan untuk memproduksi RS dari sumber tanaman lain seperti jagung, gandum, kentang, oat, barley, tapioka, sagu, dan arrowroot (King dan Tan, 2005). Kombinasi Perlakuan Panas dan Enzim Preparasi RS untuk digunakan sebagai bulking agent yang bersifat food-grade melalui retrogradasi pati diikuti dengan hidrolisis I I enzimatik atau kimiawi untuk mengurangi atau menghilangkan bagian amorphous dari pati teretrogradasi (Iyengar, 1991). RS dapat dipreparasi dari pati beramilosa tinggi melalui gelatinisasi diikuti dengan _perlakuan menggunakan enzim debranching, seperti pullulanase pada proses pengadukannya dan dengan mengisolasi _produk pati melalui pengeringan/ekstrusi. Pengontrolan perlakuan panas pada pati dilakukan untuk memperoleh daya pengembangan (swelling) dan juga mempertahankan struktur granulamya, diikuti dengan pembukaan cabang (debranching) enzimatik, serta penempatan pada suhu yang sesuai diikuti dengan proses pengeringan akan dapat menghasitkan RS (Haralampu dan Gross, 1998). Proses pembentukan suspensi air-pati dengan nisbah pati terhadap air secara aproksimat 1:2 hingga 1:20 yang diikuti dengan proses pemanasan dengan autoklaf pada suhu di atas 100°C dapat menghasilkan produk purifikasi RS yang sedikitnya mengandung 50% kandungan RS. Dengan demikian, — dipastikan akan terjadi proses penggelatinisasian dan pendinginan untuk membiarkan terjadinya retrogradasi amilosa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ternyata hasil terbaik diperoleh pada proses pemanasan suhu 134°C dengan 4 siklus pemanasan dan pendinginan serta nisbah pati : air adalah 1 : 3,5. Selanjutnya RS dimumikan melalui pencampuran dengan amilase untuk mencema fraksi non-RS hingga yang tersisa hanya RS. Amilase kemudian diinaktifasi dengan perlakuan panas di atas 100°C (Pomeranz dan Sievert, 1990). Dalam rangka pengembangan produk pangan yang rendah lemak (reduce-fat), pati amilopektin yang bereabang__terbuka (debranched " amylopectin) dipresipitasi kemudian difragmentasi. _ Debranched amylopectin tersebut dapat dibuat dari pati yang mengandung amilopektin. Sebagai contoh Pati jagung secara umum dan pati jagung waxy, 7 melalui proses gelatinisasi pati, diikuti dengan perlakuan dengan enzim debranching seperti isoamilase atau pullulanase, _kemudian presipitasi pati debranched. Hasil presipitat kemudian dapat dipanaskan pada suhu sekitar 70°C, dengan kontak pada media cair, serta untuk melarutkan sebagian dari_presipitat. Represipitasi dengan pendinginan suspensi / larutan dapat dilakukan pula, Pengulangan pelarutan dan presipitasi dapat meningkatkan stabilitas terhadap suhu pada dispersi aquaeous yang dihasilkan dan telah diobservasi dengan siklus pemanasan dan pendinginan berulang, total 8 kali (Harris dan Little, 1995). Proses untuk meningkatkan jumlah amylase-RS (hingga minimum 15%) pada pati beramilosa tinggi, seperti Hylon V dan Hylon VIII mengalami gelatinisasi pati pada adukannya secara esensial, debranching enzimatik pada pati, serta isolasi produk pati dengan ekstrusi dan pengeringan. Peningkatan lebih jauh pada pati resisten terhadap amylase diperoleh dengan penambahan garam anorganik untuk membuka percabangan pati sebelum isolasi (Chiu ef al. 1994). Perlakuan Kimia Pada pembuatan RS tipe IV, resistensi enzim diintroduksi melalui modifikasi pati dengan ikatan silang menggunakan senyawa kimia (Haynes ef al. 2000). Ikatan silang pati diperoleh melalui reaksi pati dengan reagen yang mempunyai dua hingga lebih fungsi seperti sodium —trimetafosfat, _fosforus oksiklorida, atau campuran asam _asetat anhidrida dan asam dikarboksilat seperti asam adipat. Tkatan silang terjadi dengan adanya gugus sulfonat dan fosfat antara berbagai molekul pati schingga melipatkan gugus hidroksiInya yang = membawa _resistensi terhadap serangan amilolitik pada molekul pati. Gambar | memperlihatkan preparasi RS dengan perlakuan kimia menggunakan distarch fosfat ester (Hamilton dan Paschall 1967). Gambar 1. Preparasi Ikatan silang Pati /Distarch Fosfat Ester | Pati Resisten: Struktur, Preparasi dan .. ~(Fuliasri Ramadhani Meutia) | 78 Distarch fosfat dengan konsentrasi 0,4% hingga 0,5% fosforus telah dipreparasi RS-aya dan senyawa tersebut mengandung baik SDS maupun RS, (Woo ef al. 1999). Pemfosfatan distarch fosfat, RS termodifikasi Gibuat dari pati jagung beramilosa tinggi, sekarang ini di Uni Eropa digunakan sebagai aditif pangan (Partos, 2005) PENGARUH FISIOLOGIS PATI RESISTEN TERHADAP KESEHATAN Studi secara __epidemiologi ‘menunjukkan bahwa konsumsi RS berkorelasi negatif terhadap risiko kanker kolorektal; sementara hubungan tersebut tidak dijumpai pada masyarakat yang mengkonsumsi serat makanan —(termasuk Non Starch Polysaccharide-NSP)-nya tinggi (Topping dan Clifton, 2001; Hylla et al, 1998). Studi yang dilakukan Toden et al. (2006) menunjukkan adanya korelasi linier antara konsumsi RS dengan penurunan isiko kanker kolorektal tetapi tidak ditemukan korelasi_antara konsumsi serat pangan dengan kanker kkolorektal. Telah diketahui bahwa fermentasi RS akan menghasilkan butirat dalam konsentrasi yang lebih besar_dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh NSP (polisakarida ‘non pati). Butirat telah dilaporkan bersifat anti- karsinogenik. Tiga mekanisme yang diyakini i, diferensiasi dan apoptosis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa butirat melindungi sel-sel kolon dari Kerusaken DNA dengan cara menghambat pertumbuhan dan proliferasi sel- sel tumor, —meningkatkan —_ diferensiasi (nomalisasi) sel-sel_—_tumor/kanker, memproduksi fenotip yang serupa dengan sei normal dewasa, dan meningkatkan apoptosis (program kematian sel) sel-sel__ kanker kolorektal pada manusia (Topping ef al., 2008; Leu et al, 2002; Topping dan Clifton, 2001; Hague, et al, 1995; dan Bingham, 1990). Beberapa studi menyebutkan efek konsumsi RS dapat menurunkan konsentrasi glukosa postprandial dan konsentrasi insulin postprandial. Kandungan lemak dalam diet mempunyai pengaruh signifikan terhadap respon glikemik terhadap makanan. Beberapa pengujian mengenai pengaruh RS dalam diet pada makanan yang tidak mengandung lemak atau makanan yang di dalamnya _mengandung Temak menunjukkan variasi yang menjadikan hasil penelitian tersebut sulit diintrepretasikan (Hoebler, 1999). Sumber RS yang digunakan juga dapat mempengaruhi respon glikemil/insulinemik terhadap konsumsi RS (Higgins et al. 2004). Studi mengenai hubungan antara_Konsumsi RS dengan metabolit postprandial dan konsentrasi hormon menunjukkan bahwa konsumsi RS selama lima minggu dapat menurunkan kolesterol dalam kondisi puasa dan konsentrasi trigliserida serta menurunkan konsentrasi plasma _ insulin postprandial relatif terhadap _ konsumsi digestible starch (DS) (Lerer-Metzger et al. 1996). RS dapat membantu mempertahankan keschatan kolon dan mencegah kanker kolorektal lebih efektif daripada NSP, dengan beberapa mekanisme sebagai berikut: (1) RS meningkatkan pengaturan Kesehatan usus dengan efek laksatif (pencahar) yang lebih rendah daripada NSP. RS mencegah degradasi Japisan mukosa kolon. Lapisan mukosa ini berfungsi untuk melindungi sel-sel_kolon (Topping et al, 2008); (2) RS. bersifat prebiotik yang secara selektif akan ‘meningkatkan populasi bakteri kolonik yang menguntungkan yaitu bifidobacteria dan lactobacilli. Menurut Leu et al (2007), Peningkatan jumlah bifidobacteria dan lactobacilli di dalam saluran pencemaan dapat ‘menekan kanker (termasuk kanker kolorektal) dengan cara meningkatkan kecepatan produksi asam lemak rantai pendek (terutama asetat, propionat dan butirat), menurunkan pHi ingkungan usus, bersifat proapotopsis dan menekan pertumbuhan patogen dengan meningkatkan Kemampuan —_kompetisinya tethadap ketersediaan nutrisi, reseptor dan faktor pertumbuhan lainnya; (3) Fermentasi RS akan meningkatkan konsentrasi dari asam lemak rantai pendek (SCFA) di dalam kolon, Fermentasi RS akan menghasilkan butirat dalam konsentrasi yang lebih _besar dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh NSP (Topping dan Clifton, 2001; Bingham, 1990). Keistimewaan butirat dibandingkan dengan jenis SCFA lainnya adalah karena butirat merupakan sumber energi utama untuk sel-sel mukosa kolonik dan mempunyai sifat anti-inflamasi yang penting untuk menjaga kesehatan dan penyembuhan sel-sel_kolon J (Bingham, 1990). SCFA akan menstimulasi aliran darah kolonik dan pengambilan (uptake) fluida dan elektrolit; (4) Fermentasi RS lebih efektif dalam menurunkan produksi amonia dalam luminal, dibandingkan dengan NSP. Amonia adalah produk akhir dari dari fermentasi mikrobial Komponen bernitrogen. Amonia ini bersifat toksik karsinogenesis terhadap epitelium kolonik. Fermentasi RS akan menekan proses fermentasi protein (atau Komponen bernitrogen lainnya) _sehingga menekan peningkatan jumlah amonia. Selain jitu, peningkatan fermentasi RS mungkin menstimulasi proses asimilasi nitrogen dari amonia untuk sintesa protein bakteri (Govers et al., 1999); dan (5) Fermentasi dari RS menurunkan pH intestinal dan menurunkan produksi asam empedu sekunder. Sebaliknya, konsumsi NSP tinggi dapat meningkatkan sekresi asam empedu. Asam empedu diketahui dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal. Menurut Bingham (1990), konversi asam empedu primer menjadi asam empedu sekunder merupakan —penyebab wal munculnya kanker usus besar. Hylla et al, (1998) menunjukkan terjadinya penurunan asam empedu sekunder (asam deoksikolat dan asam litokolat) di dalam tinja dari volunteer yang mengkonsumsi diet dengan RS tinggi. Penurunan pH Karena produksi SCFA akan menyebabkan inaktivasi dari enzim 7a- dehidroksilase schingga proses konversi asam empedu primer menjadi asam empedu sekunder terhambat. Selain itu, penurunan konsentrasi asam empedu sekunder juga diduga disebabkan oleh faktor pengenceran karena peningkatan volume tinja. Beberapa efek fisiologis RS terhadap kesehatan Nugent (2005), antara lain: 1. RS sebagai komponen serat pangan RS bersifat sangat _resisten terhadap enzim mamalia dan dapat diklasfikasikan sebagai Komponen serat Pangan. Bagian dari RS dapat mengandung dekstrin yang berbobot molekul rendah, sifat kambanya mengandung _polimer, dimana amilosa yang _teretrogradasi seringkali membentuk fraksi mayor (Ranhotra et ai. 1991). Meskipun bukan merupakan komponen dinding sel, RS bila dilihat dari segi nutrisi lebih mirip dengan NSP dibandingkan dengan pati yang dapat dicerna. RS diuji sebagai serat tidak larut, namun tetap—memiliki _keuntungan fisiologis sebagaimana serat larut. Sebagai 19 tambahan, RS meningkatkan level slow digestibility yang dapat digunakan sebagai sarana untuk pelepasan glukosa secara lambat. Sebagaimana serat larut, RS mempunyai pengaruh positif terhadap kesehatan kolon dengan meningkatkan laju produksi sel crypt, atau menurunkan atropi epithelial usus dibandingkan dengan makanan tanpa serat. Terdapat indikasi bahwa RS seperti guar, serat larut, mempengaruhi tumorigenesis, dan menurunkan serum —_kolesterol_ dan trigliserids. Sejak RS — mempunyai keunggulan fisiologis sebagai _serat, setingkali RS dikaitkan dengan penelitian- penelitian mengenai serat pangan total (TDF) (Haralampu, 2000). ._Mencegah kanker kolon Pati yang tak terabsorbsi di usus halus difermentasi oleh mikroflora pada usus besar. Pati tidak terdapat pada feses manusia atau -hewan _percobaan, mengindikasikan telah terjadi fermentasi secara lengkap. Percobaan in vitro menggunakan inokulum fekal manusia menunjukkan bahwa rendemen butirat dari pati tinggi. Butirat merupakan substrat energi utama untuk sel epitelial usus besar dan menghambat transformasi malignan pada sel tersebut secara in vitro; hal ini menjadikan fraksi RS yang mudah terfermentasi sangat berperan dalam pencegahan kanker kolon (Asp dan Bjork 1992). Perubahan signifikan pada pH fekal dan bulking sebagaimana produksi yang lebih besar SCFA pada cecum tikus yang diberi pakan preparasi RS dilaporkan oleh Ferguson ef al. 2000). Bila RS dikombinasikan dengan serat pangan tidak larut seperti gandum, semakin tinggi level SCFA, secara khusus senyawa — butirat ditemukan dalam feses (Leu et al, 2002). .Efek hipoglikemik Makanan yang mengandung RS menyeimbangkan laju pencernaan, RS yang lambat tercema mempunyai implikasi tethadap kegunaannya dalam aplikasi pengontrolan —pelepasan —_glukosa. Metabolisme RS terjadi 5 - 7 jam setelah konsumsi, berbeda dengan pati yang dimasak — secara_ normal, —_dimana pencemaan terjadi hampir pada saat itu juga. Pencernaan lebih dari periode 5 — 7 jam menurunkan glikemia dan insulinemia Resisien: Sirubiur, Preparasi dan ‘liasri Ramudnani Keutia) | 80 asca makan yang sangat berpotensi untuk ‘meningkatkan periode kenyang (Reader et al, 1997), Studi Idinis menggunakan bahan RS; komersial, tingkat kandungan glukosa darah maksimum —ditemukan —secara signifikan lebih rendah dibandingkan karbohidrat lainnya (gula _sederhana, igosakarida, dan pati). RS; terbukti dapat menurunkan glukosa darah pasca makan dan memainkan peranan penting dalam pengendalian metabolik diabetes tipe II (non-insulin dependent). ‘Sebagai prebiotik RS disarankan untuk digunakan pada komposisi prebiotik untuk meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme yang menguntungkan seperti Bifidobacterium (Brown et al. 1996). RS yang bisa melewati usus halus dapat beriaku sebagai substrat untuk Pertumbuhan mikroorganisme probiotik. . Mereduksi pembentukan batu ginjal Daya coma pati pada beras dan gandum dapat ditingkatkan melalui penggilingannya menjadi tepung (Heaton, 1988). Pati yang dapat dicerna mengkontribusi_ pembentukan batu ginjal melalui sekresi insulin yang lebih besar dan insulin in ‘wn mengawali stimulasi sintesis kolesterol. »._ Efek hipokolesterolemik Hasil penelitian membuktikan bahwa = RS mempunyai_—efek hipokolesterolemik pada tikus. Tikus yang diberi diet RS (25% kentang mentah) mengalami peningkatan ukuran cecal dan jumlah asam lemak rantai pendek yang ‘menunjukkan telah terjadi penyerapan dan penurunan kolesterol dan trigliserida pada plasma. Selain itu, terjadi penurunan konsentrasi_ kolesterol_ pada fraksi lipoprotein, terutama high density lipoprotein (HDL) dan penurunan Konsentrasi trigliserida pada fraksi kaya trigliserida di lipoprotein (Chezem et al, 1997). Studi menggunakan hamster yang diberi diet mengandung pati ubi kayu ckstrusi dengan 9.9% serat oat dan pati ubi kayu ckstrusi dengan 9.7% RS. Sifat hipokolestrolemik dari kedua_perlakuan tersebut dapat direkomendasikan untuk diterapkan pada makanan guna meningkatkan eschatan kardiovaskular (Martinez et al. 2004), 7. Menghambat akumulasi lemak Penggantian 5.4% dari total karbohidrat dengan RS pada makanan dapat meningkatkan oksidasi lipid secara signifikan pasca makan yang berhubungan dengan penurunan akumulasi lemak dalam Jangka panjang (Higgins et al. 2004), 8. RS membantu absorbsi mineral Studi yang — membandingkan absorbsi kalsium, pospor, zat besi, dan seng pada usus dengan adanya RS maupun pati yang tercera menunjukkan bahwa makanan yang mengandung 164% RS dapat mengabsorbsi kalsium dan zat besi yang lebih besar dibandingkan dengan pati yang tercerna (Morais et al. 1996). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa RS mempunyai pengaruh positif terhadap Penyerapan kalsium dan zat besi pada usus, KESIMPULAN RS memegang peranan penting antara lain mempunyai manfaat terhadap kesehatan, karakteristik yang diinginkan dalam Pengolahan pangan sebagai serat fungsional. RS mempunyai partikel yang halus dan cita rasa yang ringan sehingga dapat digunakan dalam formulasi berbagai produk pangan dengan penerimaan konsumen yang lebih baik dibandingkan dengan produk —_yang _Menggunakan serat alami. RS dapat meningkatkan kerenyahan dan pengembangan produk tertentu serta menghasilkan mouthfeel, rasa, dan warna yang lebih baik dibandingkan bila menggunakan serat tidak larut alami. RS juga dapat diaplikasikan pada sereal siap makan, makanan ringan (snack), pasta/mi, makanan yang ipanggang, dan makanan yang digoreng, RS dapat digunakan pada formulasi_makanan diet (reduce-fat) dan gula. RS mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan serat dan menunjukkan sifat yang dapat meningkatkan keuntungan fisiologis bagi manusia melalui pencegahan _beberapa penyakit. Makanan yang mengandung RS dalam jumlah besar serta mengandung kalori yang lebih rendah dan indeks glikemik yang lebih rendah, merupakan pertimbangan utama dalam formulasimakanan untuk pengidap diabetes dan makanan rendah kalori. RS diklasifikasikan sebagai komponen serat aT | dengan fermentasi sebagian atau sedikit formentasi. Secara teknis, kandungan RS dapat ditingkatkan pada makanan melalui modifikasi kondisi pengolahan seperti pH, suhu dan waktu pemanasan, jumlah sikius _ pemanasan- pendinginan, pembekuan, dan pengeringan. DAETAR PUSTAKA Abbas,LR., Scheerens, J.C.and Berry, J.W. 1987. “Tepary Bean Starch. Part III: In vitro _ digestibility.” Starch/Starke 39(8): 280-284. Asp, N.G. and Bjork, I. 1992. “Resistant Starch.” Trends Food — Science Technology 3(5):111-114. Baghrust, P.A., Baghrust, K.l. and Record, S.J. 1996. “Dietary Fiber, Non Starch Polysacharides and Resitant Starch - a review.” Food Aust 48 (3): S3-S35. Belitz, H.D., W. Grosch, and P. Schieberle. 2009. “Food Chemistry. 4" Revised and Extended Edition.” Springer- Verlag Berlin, Berry, C.S. 1986, “Resistant Starch. Formation and Measurement of Starch that Survives Exhaustive Digestion with Amylolytic Enzymes During the Determination of Dietary Fiber.” Journal Cereal Science 4: 301-304. Bingham, S.A. 1990. “Mechanisms and Experimental and Epidemiological Evidence Relating Dietary Fibre (Non- Starch Polysaccharides) and Starch to Protection Against Large Bowel Cancer.” The Proceedings of the Nutrition Society 49(2) : 153 - 171. Bjorck, 1, Gunnarsson, A. and Ostergard, K. 1989. “A Study of Native and Chemically Modified Potato Starch. Part If. Digestibility in the Rat Intestinal Tract." Starke 41: 128 134. Bjork, I, Eliasson, A.C. Drews, A. Gudmundsson, M., and Karlson, R. 1990. “Some Nutritional Properties of Starch and Dietary Fiber in Barley Genotypes Containing Different Levels of Amylose.” Cereal Chemistry 67:327 —333. 81 Brown, LL, McNaught, KJ, Ganly, RN. Conway, P.L., Evans, AJ., Topping, D.L., and Wang, X.1996. “Probiotic Composition.” International Patent WO 96/08261/ Al. Issued Mar 21, 1996, Brumovsky, J.0., and Thompson, DB. 2001. “Production of —_Boiling-Stable Granular Resistant Starch by Partial Acid Hydrolysis and Hydrothermal Treatments of High-Amylose Maize Starch.” Cereal Chemistry 78(6) : 680 — 689. Buttcher, V., Welsh, T., Mitzer, LS., and Kossmann, J. 1997. “Cloning and Characterization of the Gene for Amylosucrase from Neisseria polysaccharea: Production of Linier a- 1, 4-glucan.” Journal Bacteriology 179: 3324 -3330. Chezem, 5., Furumoto, E., Story, J. 1997. “Effects of Resistant Potato Starch on Cholesterol and Bile Acid Metabolism in The Rat.” Nutrition Research 17: 1671 - 1682. Chiu, C.W., Henley, M., and Altieri, P.1994. “Process for Making Amylase Resistant Starch from High Amylose Starch.” US Patent 5 281 276 National Starch and Chem Investment Holding Corp, Wilmington. Eerlingen, R.C., Deceuninck, M., and Delcour, J.A. 1993. “Enzyme-Resistant Starch. Influence of Amylose Chain Length on Resistant Starch Formation.” Cereal Chemistry 70): 345 ~ 350. Englyst HN, and Cummings, JH. 1985. “Digestion of the Polysaccharides of Some Cereal Foods In the Human Small Intestine.” American Journal of Clinical Nutrition 42:778-87. Englyst, H.N., and Cummings, J.H. 1986. “Digestion of Carbohydrates of Banana = (Musa _paradisiacal sapientum) in Human Small Intestine.” Journal of Clinical Nutrition 44; 42 — 50. Englyst, H.N., Kingman, S.M., and Cummings, JH. 1992. “Classification and Measurement of Nutritionally Important Starch Fractions.” Europea | Pati Resi : Siruktur, Prepurasi dan... 82 Journals of Clinical Nutrition 46: $33 — $50. EURESTA (European Flair Action Concerted on Resistant Starch). Newsletter III, 1992. Department of Human Nutrition, Wageningen agricultural University, Germany. Fausto, F.D, Kacchi, A.J, and Mehta, D. 1997, “Starch Product in Confectionery.” Beverage and Food World 24(4): 4 — 16. Garcia-Alonso A., Jimenez-Escrig, A., Martin- Carron, N., Bravo, L., and Saura- Calixto, F. 1999. “Assesment of Some Parameters Involved in the Gelatinization and Retrogradation of Starch.” Food Chemistry 66: 181 — 187. Govers, MJ., Gannon, NJ., Dunshea, FR, Gibson, P.R., and Muir, J.G. 1999, “Wheat Bran Affects the Site of Fermentation of Resistant Starch and Luminal Indexes Related to Colon Cancer Risk: A Study in Pigs.” Gut 45(6) : 840-847, Hague, A, Elder, D.J., Hicks, DJ, and Paraskeva, C. 1995. “Apoptosis in Colorectal Tumour Cells: Induction by the Short Chain Fatty Acids Butyrate, Propionate and Acetate and by the Bile Salt Deoxycholate.” International Journal of Cancer 60: 400-406 Hamilton, R.M., and Paschal, E.F.1967. “Starch: Chemistry and Technology.” Academic Press, New York and London. Haralampu, S.G., and Gross, A. 1998. “Granular RS and Method of Making.” US Patent 58, 49, 090. Bedford: Opta Food Ingredient, Inc. Haralampu SG. 2000. “Resistant starch—A review of the Physical Properties and Biological Impact of | RS3.” Carbohyderate Polymer 41:285-92. Harris, D.W. and Little, J.A. 1995. “Methods for Preparing Reduced Fat Foods.” US Patent 5, 395, 640. Decatur: Stanley Manufacturing Co. Haynes, L., Gimmler, N., Locke, J.P., Mee-Ra Kweon, Slade, L., and Levine, H. 2000. “Process for Making Enzyme- Resistant Starch for Reduced-Calorie Flour Replacer.” US Patent 6, 013, 299. Wilmington: Nabisco Technology Co. Heaton, K.W. 1988. “Gall Stones Prevention. Bile Acids and Diseases.” MTP Press, Lancester, UK. Higgins, J.A, Dana, H.R, Donahoo, W-T., Brown, LL., Bell, M.L. and Bessesen, DH. 2004. “Resistant Starch Consumption Promotes Lipid Oxidation.” Nutrition Metabolism 1: 1 -8. Hoebler C. 1999. Bioavailability of starch in bread rich in amylose: metabolic responses in healthy subjects and starch structure. European Journal of Clinical Nutrition 53:360-366. Holm, J, Asp, N.G., and Bjorck, I. 1987. “Factors Affecting Enzymatic Degradation of Cereal Starches In Vitro and In Vivo.” Cereal in a European Context._—-EBuropen Conference on Food Science and Technology. Holm, J., Lundquist, 1., Bjorck, I, Eliasson, AC, and Asp, NG. 1988. “Relationship Between Degree of Gelatinization, Digestion Rate In Vitro and Metabolic Response in Rats.” American Journal of Clinical Nutrition 47: 1010 — 1016. Hylla, S., Gostner, A., Dusel, G., Anger, H., Bartram, H.P., Christl, S.U, H,, and Scheppach, W.1998. “Effects of Resistant Starch on the Colon In Healthy Volunteers: Possible Implications for Cancer Prevention. American Journal of Clinical Nutrition 67: 36-142. Iyengar, R. 1991. “US Patent on Starch- Derived, Food Grade, _Insouble Bulking Agent.” US Patent 5, 051, 271. Cambridge: Opta Food Ingredient Inc, King, J.M., and Tan, S.Y. 2005. “Resistant Starch with Cooking Properties Similar to Untreated Starch.” US Patent Application 20050089624. [ ‘Warta TEP Vol. 27 Ne. 1 2010 Laurentin, A., and Edward, C.A. 2004. “Differential Fermentation of Glucose- Based Carbohydrates In Vitro by Human Faecal Bacteria.” European Journal of Nutrition 43(3): 183 — 189. Leu, R.K., Hu, Y. and Young, G.P. 2002. “Effects of Resistant Starch and Nonstarch Polysaccharides on Colonic Luminal Environment and Genotoxin- Induced Apoptosis in Rats.” Carcinogenesis 23(5): 713 -719. Leu, RK., Brown, LL., Hu Ying, Tatsuya, M., Adrian, E., and Young, G.P. 2007. “Effect of Dietary Resistant Starch and Protein on Colonic Fermentation and Intestinal Tumourigenesis in Rats.” Carcinogenesis 28 (2): 240-245. Lerer-Metzger M, Rizkalla, S.W., Luo, J. Champ, M,, Kabir, M., Bruzzo, F., Bomet F., and Slama, G. 1996. “Effects “of Long-Term Low- Glycaemic Index Starchy Food on Plasma Glucose and _—_Lipid Concentrations and Adipose Tissue Cellularity in Normal and Diabetic Rats. British Journal of Nutrition 75:723-732. Martinez-Flores, HE, _Yoon-Kil-Chang, Martinez-Burtos, F., Sgarbieri, V. 2004. “Effect of High Fiber Products on Blood Lipids and Lipoproteins in Hamsters.” Nutrition Research 24(1):85 —93. Morais, M.B., Feste, A. Miller, R.G., and Lifichitz, CH. 1996. “Effect of Resistant Starch and Digestible starch on Intestinal Absorption of Calcium, Iron, and Zinc in Infant Pigs.” Pediatric Research 39(5): 872 ~ 876. ‘Nugent, A.P. 2005. “Health Properties of Resistant Starch." British Nutritional Foundation Nutricional Bulletin 30: 27 ~ 54, Ohkuma, K., and Wakabayashi, S. 2001. “Fibersol-2: Soluble, Non-digestible, Starch-Derived Dietary —_Fiber.” Advanced Dietary Fibre Technology. Blackwell Science, UK. Partos, L. 2005. “New Study Supports Low-GI Resistant Starch Development.” 83 www foodnavigator.com — [terhubung berkalal. Pomeranz, Y., D. Sievert. 1990. *Purified Resistant Starch Products and Their Preparation.” WO 9015147. University of Washington. Ranhotra, G.S., Gelroth, J.A., Astroth, K., and Eisenbraun, GJ. 1991. “Effects of Resistant Starch on Intestinal Responses in Rats.” Cereal Chemistry 68(2): 130-132. Reader, D., Johnson, M.L., Hollander, P., and Franz, M. 1997. “Response of Resistant Starch in a Food Bar vs Two Commercially Available Bars in Person With type IH Diabetes Mellitus.” Diabetes 46(1): 254. Ring, S.G., Gee, J.M., Whittam, M., Oxford, P., and Johnson, I. 1988. “Resistant Starch. Its Chemical Form In Foodstuffs and Effect on Digestibility In Vitro.” Food Chemistry 28: 97 — 109. Sajilata, M.G., Singhal, RS., and Kulkarni, PR. 2006. “Resistant Starch- a review.” Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety Vol 5 : 1-17. Schweizer, T-F., Anderson, H., Lankilde, AM.,, Reimann S., and Torsdottir, 1. 1990. “Nutrients Excreted in [leostomy Effluents After Consumption of Mixed Diets with Beans or Potatoes.” European Journal of Clinical Nutrition 44: 567 -575. Sievert, D., Pomeranz, Y. 1989.”Enzyme- Resistant Starch. Characterization and Evaluation by Enzymatic, Thermoanalytical, and Microscopic Methods.” Cereal Chemistry 66(4): 342-347. Sievert, D., Czuchajowska, Z., and Pomeranz, Y. 1991. “Enzyme-Resistant Starch. X-ray Diffraction of Autoclaved Amylomaize VII Starch and Enzyme- resistant Starch Residues.” Cereal Chemistry 68(1): 86 — 91. Sievert, D. and Wursch, P. 1993. “Thermal Behavior of Potato Amylase and Enzyme- Resistant Starch from 5 Sirubtier, Preparusi dan.» « ia Bea | Fuliasri Ramadivani iieutia) | Maize.” Cereal Chemistry 70: 333 — 338, Soral, S.M., and Wronkowska, M. 2000. “Resistant Starch of Pea Origin.” Zywnosc 7(2): 204: 212. Toden, S, Bird, AR, Topping, D.L., and Conlon, M.A. 2006. “Resistant Starch Prevents Colonic DNA Damage Induced by High Dietary Cooked Red Meat or Casein in Rats. Cancer Biology and Therapy. Topping, D.L. and Clifton, P.M. 2001. “Short- Chain Fatty Acids and Human Colonic Function: Roles of Resistant Starch and Nonstarch Polysaccharides.” Physiological Reviews 81 (3): 1032 — 1054, J L, Cevlan, M.A., Morelli, M.K., and Toden, S. 2008. “Resistant starch as a Vehicle for Delivering Health Benefit to the Human Large Bowel.” Microbial Ecology in Helath and disease 20: 103 - 108. Woo, K.S., Shin, M.S., and Seib, P.A. 1999. “49 Cross-linked, type RS (4) resistant starch: Preparation and Properties.” American Association of Clinical Chemistry (AACC) Annual Meeting, Manhattan. ‘Wurzburg, O.B. 1995. “Modified Starch. Food Polysaccharides and Their Application.” Marcell Decker, New York. ‘Yue, P., and Waring, S. 1998. “Functionally of Redden = Sar. Book. Applications.” Food Australia 50 (12): 615-621.

You might also like