You are on page 1of 4
FORUM PENDIDIKAN DAN PROFESI SEKILAS TENTANG PENDIDIKAN. GEOLOGI PASCA TEKTONIK LEMPENG Oleh : Subagyo Pramumijoyo" Intisari Himu geologi yang bare lahir di akhir abad ke 18 telah berkembang dengan diwarnai kontroversi- kontroversi yang pada awalnya timbul karena dogma yang dianut di masa itu. Setelah perang du- nia II usai, penelitian geofisika lautpun menjadi semakin gencar dilaksanakan sehingga melahirkan hipothesa pemekaran samodera. Penggabungan hipothesa tersebut dengan theori apungan benua yang lahir lebih dulu dan ditambah dengan kemajuan bidang komputer, di tahun 1968an melahir- kan teori tektonik temmpeng, yang merubah sifat geologi dari fixis menjadi mobilis, yang menuntut pula perubahan sistem dan materi pendidikannya. Pendidikan geologi di Indonesia yang lahir di alam pikiran fixispun telah berusaha menyesuaikan kurikulumnya dengan perubahan yang telah ter- Jadi, namun di dalam hal pengisian materi kuliahnya masih banyak yang menterapkan materi lama dengan sistem yang terpisah-pisah, tidak diintegrasikan ke dalam suutu kerangka dinamis yang berorientasi ke proses geologi. Pendabuluan Sejajar dengan perkembangan ilmu dan teknologi, geologi sebagai ilmupun juga mengalami_perkem- ‘bangannya sendiri yang bahkan bersifat revolusioner dan mengakibatkan suatu tuntuan perubahan sistem dan materi pendidikan geologi guna menghasilkan logika berpikir geologi moderen. Perkembangan Geologi Selayang Pandang Tanpa melupakan para pionimnya, harus diakui bahwa geologi sebagai ilmu baru lahir di akhir abad ke 18 dengan perkembangannya yang diwarnai oleh “Yjurusan Teknik Geologi FT UGM, sedang mengikuti Pen: didikan di Universitas de Paris-Sud, Perancs, kontroversi-kontroversi yang pada awalnya timbul karena dogma yang dianut masyarakal masa itu. Per- hatian para ”’ahli geologi’” saat itu terpusat pada asal usul mineral dan bantuan dengan mengandalkan mata sebagai alatnya (Drake, 1987). Dari hasil pengamatan global di daerah-daerah : Massif Central di Perancis, Boheme di Cekoslovakia dan Harz di Jerman, Abraham Gottolb Werner, seorang profesor mineralogi di Freiberg, menyimpulkan bahwa mineral dan batuan; termasuk di dalamnya : granit, genis, porfir, sekis dan basalt; terbentuk secara bertahap di lautan yang luas. Oleh karenanya aliran yang mencapai kejayaannya di tahun 1790 ini disebut sebagai Neptunisme. Di dalam masa yang sama James Hutton telah melakukan pengamatan yang lebih teliti di daerah Skotlandia, pada perlapisan sedimen terlipat yang ditutup oleh sedimen horisontal dan perlapisan sedimen yang diterobos oleh granit. Disimpulkannya bahwa granit menerobos sedi- MEDIA TEKNIK Edisi No. 1 Tahun XI Desember 1988—Maret 1969 No. ISSN 0216.3012 men dalam keadaan cair dan bahwa granit tersebut berasal dari dalam perut bumi yang panas sehingga aliran Hutton ini disebut sebagai Pluconisme. Hutton menyatakan di dalam bukunya yang terbit di tahun 1195; Theory of the Earth; valwwa sejacah bumi terdiri dari beberapa periode yang merupakan suatu siklus : diawali dengan pembentukan batuan primer (terobosan granit dan basalt), perlipatan, erosi kemudian pemben- tukan batwan sekunder di dalam laut. Siklus ini ber- Jangsung terus menerus sehingga sejarah bumi ini se- olah : ”....n0 vestige of a beginning no prospect for an end”’; jadi dimensi waktu di dalam sejarah bumi yang dianut Hutton sangatlah panjang. Hal tersebut, bertentangan dengan aliran Werner yang meyakini bahwa bumi lahir di tahun 4004 SM (Allegre, 1985). Dengan perkembangan industri di Inggris di awal abad ke 19, geologi sangat dibutuhkan untuk mem- bangun masyarakat industri : pembangunan jalan, pembuatan kanal, pencarian batubara dan lain-lain. Dari sana pula diperoleh tambahan data tentang per- Japisan sedimen beserta kandungan fosilnya, dan lahir- lah dasar-dasar itmu Stratigrafi yang dibidani oleh William Smith (Smith, 1986). Sementara itu; di saat Smith menggunakan fosil sebagai alat korelasi; Georges Cuvier mempelajari fosil-fosil dari setiap Japisan sedimen di cekungan Paris untuk perbandingan bentuknya. Ketidak-hadiran suatu fosil di lapisan se- dimen berikutnya dianggap Cuvier sebagai tanda ke- punahan fosil tersebut yang diakibatkan oleh peristiwa kutastropis. Peristiwa katastropis itu pula yang dilihat oleh Elie Beaumont sebagai penyebab perlipatan- perlipatan besar seperti yang terjadi di Alpen dan Pyrenees, dan lahirlah Katastropisme. Dua dekade ke- mudian, muncullah kritik tehadap katastropisme yang dipelopori oleh Charles Lyell. Jika segala gejala geologi dipandang dari dimensi waktu yang panjang, maka gejala kepunahan dan pembentukan pegunungan tidak memerlukan kehadiran peristiwa katastropis. Di dalam bukunya : Principles of Geology yang terbit di tabun 1830, Lyell lebih lanjut menyatakan bahwa se- gala gejala geologi di masa lalu adalah identik dengan apa yang terjadi di masa kini, sehingga aliran Lyell ini disebut Uniformitarianisme, Pertentangan kedua aliran tersebut mereda sendiri dengan dominasi Uniformi tarianisme, walaupun demikian kedua aliran itu ber- jalan sejajar dan saling mengisi : di dalam sejarah geologi telah terjadi siklus-siklus yang kadang-kadang diakhiri oleh petistiwa katastropis. Periode berikutnya sejarah geologi boleh dikatakan berjalan datar dengan perhatian utama di bidang paleontologi dan genesa pegunungan. Di dalam hal genesa pegunungan, ber- kembang hipotesa bahwa pendinginan bumi menyebab- kan kontraksi di kulit bumi yang mengakibatkan perlipatan besar, dengan pengertian bahwa leak sedimen yang terlipat dan pegunungan hasil perlipatan adalah sama, fix, tak ada pergeseran mendatar. Baru di tahun 1908 muncul ide baru tentang pembentukan pegunungan yang merupakan akibat tumbukan antar benua. Hal tersebut dikemukakan oleh Frank Bursley ‘Tayloc dan sayang tak mendapat tanggapan karena dari segi paleontologi dan stratigrafi diengeap tidak mungkin (Smith, 1986). Namun ide tersebut ditambah apa yang pernah dikemukakan Francis Bacon di tahun 1620, diteruskan olehAlfred Wegener. Di dalam buku- nya yang terbit di tahun 1915 : Die Entstehung der Kontinente und Ozeane, Wegener menyatakan bahwa benua-benua kita saat ini berasal dari satu benua besar yang kemudian terpecah-pecah di era Mesozoikum, ‘mengapung di atas mantel, dan bergeser ke tempatnya sekarang ini, Wegener memberikan bukti-bukti pale- ontologi, paleoklimatoogi, geologi dan geofisika guna mendukung hipotesanya itu. Namun bukti-bukti ter sebut dianggap tidak cukup, karena Wegener kurang meyakinkan di dalam menjelaskan mekanisme dari hipotesanya yang kemudian dikenal sebagai Teori Apungan Benua ("Continental Drift Theory’ ) itu. Kesamaan fosil pre-Mesozoikum di Afrika dan di Brasilia, Amerika Selatan, menurut para ahli paleon- tologi masa itu disebabkan oleh kehadiran suatu jembatan darat yang menghubungkan kedua benua dan bukan karena kesatuan kedua benua seperti hipothesa ‘Wegener. Di sini dapat kita lihat bagaimana data yang sama mendapat penafsiran yang berbeda akibat perspektif yang berbeda pula; antara Fixists dan Mo- bilist (Uyeda, 1978). Karena tidak mendapat banyak dukungan, di.tahun tigapuluhan hipothesa Wegener tenggelam dan geologi kembali ke uniformitarianisme klasik yang fixis. Sebenamya di tahun 1929, Arthur Holmes telah menulis tentang arus konveksi panas di mantel bumi untuk menjelaskan mwkanisme Continen- tal Drift, mungkin karena ditulis di penerbitan yang tidak terkenal di masa itu sehingga tulisan Holmes ini tak mendapat tanggapan, Tahun-tahun berikutnya, ‘masing-masing bagian dari IImu Kebumian ( "Earth Sciences’? ) berjalan sendiri-sendiri. Bidang ke- magnitan bumi berkembang sampai dengan paleomag- net, pengukuran umur dengan radiometri semakin maju, bidang seismologipun menambah gambaran bagian dalam bumi termasuk gambaran sesar sungkup di daerah palung (Wadasi, 1930; Benioff, 1955), di (MEDIA TEKNIK Edisi No, I Tahun XI Desember 1986—Maret 1989 No. ISSN 026.2012 3 re bidang gaya-berat telah dicoba pengukuran di daerah palung laut (Vening Meinez, 1923 — 1932) dan seterus- nya sampai dengan purna Perang Dunia II penelitian ‘gcofisika di laut semakin gencar dilakukan, Data-data geofisika laut (bathimetti, seismik refleksi dan refraksi, paleomagnet, aliran panas) semakin banyak dikumpul- kan, demikian pula data-data geologi dari dasar laut dan bersamaan itu berkembang pula kemampuan dan ke- cepatan hidung komputer, sehingga gabungan Kemajuan-kemajuan itupun mempercepat kelahiran hipotesa Pemekaran Dasar Samodera ( "Sea-floor Spreading”). Di sini laut merupakan kunci teka-teki sejarah kulit bumi kita dan laut merupakan jenidela ke menangan kelompok mobilis. Sampai dengan tahun 1968an penelitian laut semakin banyak dilakukan dalam bentuk Kerjasama oleh berbagai negara dan bangsa, semakin banyak pula tokoh-tokoh yang ber- jasa. Penggabungan theori apungan benua dan hipothesa pemekaran samodera disertai perkembangan komputer melahirkan Teori Tektonik Lempeng (""Plate Tectonics Theory”), yang kemudian disebut sebagai Theori Tektonik Global. Dapat disimpulkan di sini dahwa Tektonik Lempeng merupakan hasil kombinasi yang serasi antara pengamatan lapangan di dalam IImu Kebumian dengan konsep abstrak di bidang Fisika dan Kimia (Uyeda, 1978). Sekarang setelah duapuluhan tahun Tektonik Lempeng, dengan perkembangan teknologi angkasa war, pandangan kita tentang bumipun semakin utuh dan pengukuran kinematika pergeseran di daratpun dapat dilakukan dan penginderaan jarak jauhpun se- makin penting, termasuk di dalamnya geodesi satelit. Imu kebumian menjadi ilmu antarbidang dan cabang- cabang ilmu di dalam geologipun dituntut berintegrasi. ‘Geologi terasa meniadi semakin luas, peralatan yang di- perlukan para ahli geologipun semakin beraneka ragam dan kuantifikasi datapun menjadi suatu kebutuhan. ‘Memang Tektonik Lempeng tidak bisa diterapkan pada segala fenomena geologi; pada batuan pra-Kambrium misalnya : namun Tektonik Lempeng telah memberi- kan kerangka dan cara berpikir dinamis yang mampu menjawab hubungan suatu fenomena geologi yang satu dengan yang lainnya. Secara mendasar theori ini telat mampu mendobrak ketertutupan masyarakat geologi yang tercermin di dalam penolakannya terhadap hipo- tesa Wegener (Hallam, 1979), Tuntutan Perubahan Sistem dan Materi Pendidikan Geologi Pendidikan geologi di Indonesia lahir di Yogya- karta di masa revolusi kemerdekaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan bangsa dan negara dengan sifatnya yang semi-akademi. Beberapa tahun kemudian didirikan pendidikan tinggi geologi : tahun 1950 di Universitas Indonesia, Bandung; tahun 1959 di Universitas Padjadjaran, Bandung dan Univer- as Gadjah Mada, Yogyakarta (Katili, 1985). Lepas dari letak geologi di dalam sistem pen- Gidikan tinggi, pendidikan geologi di Indonesia lahir dengan pandangan fixis yang bertitik berat pada stra- tigrafi dan paleontologi. Setelah memasuki era Tekto- nik Lempeng dan setelah memasuki alam pikiran mobilis, sistem dan materi pendidikan geologipun perlu diseswaikan dengan perubahan yang telah terjadi. Di Indonesia perbaikan dan pemibakuan kurikulum dasar untuk pendidikan geologipun juga telah diadakan, namun beberapa silabus masih tetap sama isinya; dalam arti buku pegangan yang lamapun masih tetap dipertahankan. Hal yang mendasar di dalam perubahan kurikulum itu sendiri adalah perubahan sifat; dari sifat fixis yang cenderung diskirptif ke sifat dinamik yang berorientasi kepada proses gealogi (Stewart, 1968 di dalam Wyllie, 1971). Perubahan itu ‘menuntut penguasaan ilmu-ilmu dasar (fisika, kimia, matematika) dan menuntut adanya hubungan timbal balik antar mata kuliah yang diberikan sehingga tidak merupakan bagian yang terpisah-pisah. Gejela lain yang, perlu diperhatikan adalah perubahan persyaratan kerja misalnya di Amerika Serikat; jika di tahun tujuh puluhan seorang betderajad Bachelor sangat mudah memperoleh pekerjaan, maka kini persyaratan mini- mai yang dibatuhkan untuk pekerjaan yang sama ada- Jah derajad Master (Agnew, 1987). Lepas dari alasan penyempitan lowongan kerja, peningkatan kualitas dan penguasaan geologi mutlak diperlukan, Mengingat perubahan-perubahan/loncatanke- majuan yang telah terjadi baik di dalam ilmw ke- bumian ataupun bidang-bidang lain yang berkaitan se- perti yang telah disinggung di atas, mungkin sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengadakan evaluasi dan pengembangan kurikulum pendidikan geologi yang selama ini kita jalankan. © (MEDIA TEKNIK Edisi No. 1 Tahun XI Desember 1988—Maret 1989 No. ISSN 026.3012

You might also like