You are on page 1of 32
KUMPULAN MAKALAH KAJIAN ILMIAH REMATOLOGI [KIRNAS] 1 ipa:¥-W) 2013 The Sunan Hotel Solo Surakarta 10-12 Mei 2013 Sanksi Petanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 4 Barang siapa dengan sengala dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan danfatau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (setu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun an/atau dena paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupieh). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan tau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun danfatau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ralus juta rupiah). KUMPULAN MAKALAH KIRNAS 1 REMATOLOGI IRA 2013 APLICATION OF RHEUMATOLOGY BIOMOLECULAR IN DAILY PRACTICE Editor: Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., SpPD-KR, FINASIM Arif Nurudhin, dr., SpPD Yulyani Werdiningsih, dr., SoPD The Sunan Hotel Solo 10-12 Mei 2013 SEBELAS MARET UNIVERSITY PRESS Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Panitia Kajian Ilmiah Rematologi Nasional 1 Kumpulan Makalah Kirnas 1 Rematologi Ira 2013 “Aplication Of Rheumatology Biomolecular In Daily Practice”. Cetakan 1 Surakarta . UNS Press . 2013 vi+ 220 hal; 24,5 cm KUMPULAN MAKALAH Kajian tImiah Rematologi Nasional 1 Indonesian Rheumatology Association “Aplication Of Rheumatology Biomolecular In Daily Practice” Hak Cipta© Panitia Kajian Ilmiah Rematologi Nasional 1. 2013 Editor Prof, Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., SpPD-KR, FINASIM Arif Nurudhin, dr., SpPD. Yulyani Werdiningsih, dr., SpPD llustrasi Sampul Diding Heri P, dr., M.Sc Penerbit & Percetakan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press) Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telp. 0271-646994 Psw. 341 Website : www.unspress.uns.ac.id Email : unspress@uns.ac. Cetakan pertama, Mei 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Right Reserved ISBN 978-979-498-831-2 Kata Pengantar Assalamu'alaykum warrahmatulloh Segala puja dan puji kami haturkan kehadirat Allah, SWT atas segala’ limpahan rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan buku kumpulan makalah Kajian_—Iimiah Rheumatologi Nasional di Surakarta ini. Perkembangan dan kemajuan teknologi berkembang pesat di berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam bidang kedokteran, khususnya bidang ilmu rematologi teknologi. biomolekuler menjadi populer akhir-akhir ini. Adanya penerapan klinis teknologi biomolekuler di masyarakat akan meningkatkan kualitas hidup dari pasien, di mana pasien rematologi akan mengalami penurunan kualias hidup dikarenakan kesakitan yang berkepanjangan Oleh karena itu Indonesia Rheumatology Association mengadakan Kajian IImiah Rematologi Nasional 1 dengan tema : “Application Of Rheumatology Biomolecular in Daily Practice” yang akan membahas aspek biomolekuler, etiopatogenesis, dan penatalaksanaan bidang rematologi. Dengan adanya pertemuan ini, maka diharapkan peningkatan pemahaman tentang aspek biomolekuer dalam etiopatogenesis dan penatalaksanaan penyakit remtologi; sehingga diharapkan peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Buku ini kami susun dengan tujuan agar peserta maupun pembaca dapat lebih mendalami materi-materi yang ada pada simposium ini. Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat untuk pembaca sekalian. Wassalamu’alaykum warohmatulloh Ketua Panitia Zainal Arifin Adnan DAFTAR ISI Prakata. Daftar Isi How We Treat Septic Arthritis Focus on Antibiotic (Zainal Arifin A., Arif N., Yulyani W)........-.-.. Rationale Treatment on Nephritis Lupus (Bambang Purwanto).. 15 Pendekatan Diagnosis Fibromyalgia (I Nyoman Suarjana)... Peggunaan Agen Biologik Tocilizumab Monoterapi Pada Penderita Artritis Reumatoid (Bantar Sunioko) . Identifikasi Dan Penatalaksanaan Systemic Juvenile Idiopathic Arthritis (Deddy Nur W. Achadiono, Faishol Balfas)..... Penatalaksanaan Artritis Gout Akut (Tjokorda Raka Putra) Terapi Osteoporosis Yang Diinduksi Oleh Glukokortikoid Dengan Menggunakan Bisfosfonat Sekali Setahun (Laniyati Hamijoyo).. 30 49 58 73 Patofisiologi Nyeri Inflamasi (Zaenal AA, Arief N, Yulyani) 109 Peran Akupungtur Dalam Penanganan Nyeri (Arief Nurudhin).... Pemeriksaan Densitometri Tulang (Bambang Setiyohadi) .... Penggunaan Viskosuplementasi pada Pengobatan Osteoartritis (Arief Nurudhin) Peran Interleukin-1 pada Patogenesis Osteoartritis (Nyoman Kertia) ... a Teknik Injeksi Intra Artikuler Pada Penyakit Reumatik (Nyoman Kertia) .... 135 159 174 KUMPULAN ABSTRAK.... vi PATOFISIOLOGI NYERI INFLAMASI Zaenal AA, Arief N, Yulyani Divisi Rheumatologi Bagian llmu penyakit Dalam FK UNS/RSUD DR Moewardi Nyeri adalah suatu fenomena dinamik dan merupakan salah satu gejala umum yang mendorong pasien untuk mencari Pengobatan. Pada kasus-kasus yang tidak terobati maka dapat menyebabkan disabilitas. Nyeri masih merupakan suatu hal yang menjadi misteri dan untuk memahaminya perlu diketahui tentang keterlibatan beberapa organ dan struktur dalam tubuh yang terlibat di dalamnya. Beberapa hal prinsip yang harus diketahui adalah: reseptor sensoris pada kulit dan organ dalam; serabut saraf yang menuju atau meninggalkan medula spinalis; struktur dari medula spinalis itu sendiri; serta otak. Serta dengan memahami mekanisme yang terlibat dalam proses terbentuknya nyeri maka akan membantu Klinisi untuk mengambil langkah pengobatan yang lebih efektif . Sebagian besar pasien penyakit rematik mengalami nyeri kronik. Berbagai mekanisme berbeda terlibat dalam nyeri pada penyakit rematik. Selain komponen nyeri nosiseptif, juga didapatkan nyeri neuropatik dan nyeri inflamasi. Nyeri neuropatik disebabkan oleh esi ujung-ujung nosiseptif, kompresi mekanik, atau oleh aksi mediator inflamasi. Oleh karena terdapat berbagai mekanisme berbeda yang mendasari nyeri maka nyeri pada beberapa penyakit rematik disebut sebagai nyeri campuran (mixed pain). Berbagai pedoman penatalaksanaan nyeri pada penyakit rematik telah diajukan, namun hingga saat ini terapi nyeri tersebut masih suboptimal. Perkembangan pemahaman terhadap mekanisme nyeri telah berkembang dan dapat digunakan sebagai pedoman penatalaksanaan nyeri. Ke depannya diperlukan alat diagnostik yang memungkinkan kita mengetahui mekanisme yang mendasari nyeri serta terapi farmakologis yang bekerja secara Kajian lImiah Rematologi Nasional | 2013, Ea spesifik terhadap mekanisme tersebut. Namun oleh karena mekanisme yang mendasarinya dapat beragam, pendekatan polifarmasi dapat diindikasikan pada kondisi tersebut. PAIN A. Definisi Menurut /nternational Association for the Study of Pain (IASP) pada tahun 1979, nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan seperti itu. Dari definisi tersebut, didapat dua hal penting yang dapat disimak yaitu yang pertama adalah adanya komponen inderawi yang melibatkan susunan saraf (fisik) dan yang kedua adalah komponen emosional yang melibatkan kejiwaan (psikologis). B. Anatomi 4. Saraf penghantar nyeri Reseptor merupakan akhiran saraf aferen di seluruh jaringan tubuh. Ujung serabut saraf aferen sebagian memperlihatkan suatu bentuk dan sebagian lain merupakan serabut bebas yang tidak memperlihatkan bentuk khusus. Yang tersebut terakhir dinamakan nosiseptor atau alat perasa nyeri. Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda-beda dan tersebar luas (kulit, otot, dan visera). Rangsang nyeri (noxious stimuli) utamanya dihantarkan melalui dua jenis serabut saraf aferen yaitu serabut saraf C dan serabut saraf a6. Serabut saraf C berdiameter kecil, berkonduksi lambat (0,5 — 2 meter/detik) dan tidak bermielif. Serabut saraf C menghantarkan informasi noxious dari berbagai macam stimulus yaitu mekanik, suhu, dan kimia, oleh karena itulah sering disebut C-polymodal nociceptors. Sedangkan serabut saraf a3 berdiameter medium dan bermielin tipis dengan kecepatan konduksi 2 — 20 Ea Kgjian limiah Rematologi Nasional | 2013 meter/detik, Seluruh serabut saraf 05 berespon pada stimulus mekanik dengan intensitas tinggi, oleh karena itu disebut high-threshold mechanoreceptors. Beberapa dari serabut saraf a3 juga berespon pada stimulus berupa suhu, disebut juga mechanothermal receptors. Dengan berbedanya kecepatan hantar dari serabut saraf tersebut maka serabut saraf ad biasanya menghantarkan nyeri yang bersifat tajam dan tusukan. Badan sel neuron sensorik terletak di ganglion spinalis dan khusus untuk N.Trigeminal (N.V) terletak di ganglion trigeminalis. Akson sentral berjalan di radiks dorsalis menuju kornu dorsalis medula spinalis dimana akson tersebut berakhir dengan memberikan Percabangan yang banyak. Di samping sebagai penghantar potensial aksi, serabut saraf aferen berfungsi pula sebagai jalur penghantar zat-zat sitokimiawi. Transport sitokimiawi jauh lebih lambat dibandingkan dengan perjalanan potensial aksi. Medula spinalis Akson sentral neuron somatik berakhir di kornu medula spinalis. Semua saraf aferen nosiseptif berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan 3 jenis neuron di komu dorsalis , Pada kornu dorsalis terdapat 3 macam neuron, yaitu: a, Neuron nosisepsi-spesifik (NS) b. Neuron wide dynamic range (WDR) ¢. Interneuron inhibisi dan eksitatorik. Neuron nosisepsi-spesifik terutama berlokasi pada lamina | dari Rexed pada medula spinalis. Sedangkan neuron wide dynamic range sebagian besar berada pada lamina | dan II, NS dan WOR menghantarkan impuls nyeri melalui traktus spinothalamikus. Selain itu, dari neuron ordo kedua yang terdapat pada medula spinalis ini juga Kajian lmiah Rematologi Nasional | 2013, EZ menghantarkan impuls ke daerah yang lebih tinggi melalui traktus spinoretikularis, traktus spinomesenfalik, traktus spinoservikal, dan beberapa melalui kolumna posterior . 3. Perjalanan impuls nyeri dari medula spinalis ke otak Impuls nosiseptif yang masuk ke kornu dorsalis kemudian dirilei ke otak melalui neuron proyeksi. Ada 5 jalur utama informasi nosiseptif menuju otak, yaitu : a. Traktus spinothalamikus Berisi serabut saraf dari neuron di lamina |, lV — VI dan sedikit lamina IX dan X. Traktus ini berjalan asenden, menyilang linea mediana (kontralateral) di anterolateral substansia alba dan berakhir di thalamus. Traktus ini dalam perjalanannya ke thalamus mempercabangkan traktus paleospinothalamikus (medial) dan traktus neospinothalamikus (lateral). Traktus paleospinothalamikus terutama berasal dari serabut saraf aferen C dan dirilei di nukleus intralaminaris thalami lalu didistribusikan ke korteks bilateral dan luas dan tidak mempunyai organisasi somatopik. Oleh karena itu akan menimbulkan rasa nyeri yang datangnya dari kedua bagian tubuh disertai perasaan takut dan sedih yang merupakan reaksi emosi terhadap nyeri. Sedangkan impuls nyeri yang dibawa oleh traktus neospinothalamikus akan diteruskan ke area somatosensori primer (area Broadman 1, 2, 3) maupun sekunder di korteks serebri , sehingga pada akhirnya ‘dari sini maka akan diperoleh kesadaran akan sumber lokasi dari nyeri tersebut . Serabut-serabut ini ketika melewati medula oblongata memberi cabang-cabang ke traktus respiratorius dan pusat jantung, melalui Kalan llmiah Rematologi Nasional | 2013 initah nyeri dapat membangkitkan refleks respirasi dan sirkulasi . . Traktus spinoretikular Berasal dari neuron nosiseptif di lamina VII dan VIII, menyilang linea mediana lalu berjalan asenden, ‘Sebagian berakhir di formatio retikularis dan sebagian di thalamus . Dari sini, akan dihantarkan informasi ke berbagai area di otak yaitu bagian anterior girus cinguli (emosi), amigdala (memori dan emosi), dan hipothalamus (emosi dan respon vaskular dari emosi). . Traktus spinomesenfalik Berasal dari neuron di lamina | dan V menuju formatio retikularis mesensefalon, ke bagian lateral Periaqueduktal dan ke otak bagian tengah lainnya (coliculus superior). Hal ini mungkin sama atau berhubungan dengan jalur yang menuju ke nukleus parabrakhial di batang otak, di mana informasi yang ada akan dihantarkan ke amigdala, hipothalamus, dan struktur limbik lainnya . |. Traktus spinoservikalis Kebanyakan neuron di lamina III dan IV berfungsi untuk impuls rabaan (tactile), namun beberapa di antaranya untuk nosiseptif dan akson-aksonnya berjalan melalui traktus spinoservikalis. Aksonnya berjalan ke atas, menyilang linea mediana untuk bergabung dengan lemniskus medialis ke batang otak dan masuk ke nukleus ventroposterolateralis dan nukleus posterior medialis thalami, sebagian ke nukleus di otak tengah (mid brain) . . Beberapa neuron nosiseptif di lamina |Il dan IV mengirimkan aksonnya melalui kolumna poterior dari medula spinalis yang bersama-sama dengan akson kolateral dari serabut-serabut aferen primer Kajian limiah Rematologi Nasional | 2013, Ea yang berdiameter besar dan bermielin menuju nukleus kuneatus dan nukleus grasilis dan medula oblongata . Sehingga dari jalur-jalur di atas dapat diketahui ada satu jalur yang mengurusi tentang analisa diskriminatif dari nyeri, dan terdapat banyak jalur yang mengurusi tentang reaksi kita dan perasaan kita tentang nyeri tersebut . C. Empat Tipe Dasar Nyeri Nyeri secara esensial dapat dibagi atas dua tipe, yaitu nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan dalam proses survival dengan melindungi organisme dari cedera atau sebagai pertanda adanya proses penyembuhan dari cedera. Nyeri maladaptif terjadi jika ada proses patologis pada sistem saraf atau akibat dari abnormalitas respon sistem saraf. Kondisi ini merupakan suatu penyakit (pain as disease). Terdapat 4 tipe dasar nyeri 1. Nyeri nosiseptif Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan. Pada umumnya tipe ini tidak memerlukan terapi khusus karena durasinya singkat. Nyeri ini timoul apabila ada stimulus yang cukup kuat sehingga akan menimbulkan kesadaran akan adanya stimulus berbahaya, dan merupakan sensasi fisiologis vital. Intensitas stimulus sebanding dengan intensitas nyeri. Contoh: nyeri pada operasi, nyeri akibat tusukan jarum, dan lain-lain. Nyeri inflamatorik Nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan atau lesi jaringan. Nyeri tipe 2 ini dapat terjadi akut atau kronis dan pasien dengan nyeri tipe ini paling banyak datang ke fasilitas kesehatan. Contoh: nyeri pada rhematoid artritis. Nn Ea Kjian limiah Rematologi Nasional | 2013 3. Nyeri neuropatik Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem saraf perifer (seperti pada neuropati diabetik, post- herpetik neuralgia, radikulopati lumbal, dil.) atau sentral (seperti pada nyeri pasca cedera medula spinalis, nyeri pasca' stroke, dan nyeri sklerosis multipel). 4. Nyeri fungsional Bentuk sensitivitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit Neurologis. Nyeri ini disebabkan oleh respon abnormal sistem saraf terutama__ hipersensitivitas aparatus sensorik. Beberapa kondisi umum memiliki gambaran nyeri tipe ini, yaitu fibromialgia, irritable bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri non-kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang. Tidak diketahui pada mengapa_nyeri fungsional susunan saraf menunjukkan sensibilitas abnormal atau hiperresponsifitas . Kalian limiah Rematologi Nasional | 2013 Ea A. Noccestve P39 Noxious Pcgheral Stnalh te = Btonomic Response Empat tipe dasar nyeri Mekanisme Nyeri Nosiseptik Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologik yang secara kolektif disebut nosisepsi (nociception). Ada 4 proses yang terjadi pada suatu nosisepsi, yaitu: 1. Proses transduksi (transduction) i Kajian lImiah Rematologi Nasional | 2013 Merupakan proses di mana suatu fangsang nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktivitas listrik atau potensial aksi, yang akan diterima oleh ujung- ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia . Pada proses transduksi ini juga didapatkan peran neuroregulator. Stimulus yang datang di reseptor mengubah permeabilitas membran reseptor terhadap berbagai ion terutama natrium. Terjadi infuks Na™ ke Tuangan intraseluler _sehingga terjadi depolarisasi membran . Peristiwa ini memunculkan potensial aksi yang akan dijalarkan akson ke kornu dorsalis. Begitu Potensial aksi muncul maka semua saluran ion akan menutup dan potensial membran akan kembali ke keadaan istirahat. Nayt.B/1.9, \Nociceptor Peripheral Terminal 1H Heat Heat Hest Pinch Cold ATP + Proses transduksi . Proses transmisi Dimaksudkan sebagai perambatan rangsang melaui saraf sensoris menyusul proses transduksi . Transmisi ini melibatkan pelepasan asam amino decarboxilic glutamate, juga peptida seperti substansi P yang bekerja pada reseptor penting di neuron post-sinaps . 3. Proses modulasi Kajian limiah Rematologi Nasional | 2013, Hz Adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat menutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif dan pribadi pada setiap orang. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang . Modulasi endogen dari nyeri dilakukan oleh neuron intermediate pada lapisan permukaan medula spinalis dan traktus desenden ke medula spinalis. Opioid endogen dan eksogen dapat bekerja pada presinaps dari serabut saraf nosisepsi melalui reseptor opioid py dan pada medula spinalis (neuron ordo kedua). Dua jenis opioid endogen yang teraktivasi melalui traktus desenden adalah beta- endorfin dan enkephalin . . Persepsi Adalah hasil akhir proses interaksi yang kompleks dan unik dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Persepsi ini menyadark&n individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian_ individu tersebut dapat bereaksi. Fase ini dimulai pada saat di mana nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio retikularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi Mekanisme nosisepsi Nosisepsi merupakan satu-satunya mekanisme yang mendasari nyeri nosiseptif. Eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi khas terdapat pada nyeri neuropatik. Sementara sensitisasi perifer dan sentral terjadi pada nyeri neuropatik dan inflamasi . Kajian limieh Rematoiogi Nasional | 2013 | 119] 1. Sensitisasi perifer Trauma dan inflamasi jaringan menyebabkan perubahan yang sangat besar pada lingkungan kimiawi akhiran nosiseptor perifer. Sel-sel yang rusak mengeluarkan muatan intraseluler, seperti adenosin trifosfat dan ion K*; penurunan pH; dan sitokin, kemokin, serta faktor-faktor pertumbuhan, yang diproduksi oleh sel- sel inflamasi yang tertarik ke lokasi trauma. Beberapa faktor tersebut bekerja secara langsung pada akhiran nosiseptor untuk mengaktifkannya dan menghasilkan nyeri (aktivator nosiseptor), dan yang lainnya mensensitisasi akhiran nosiseptor sehingga menjadi hipersensitif terhadap stimuli berikutnya (sensitisator nosiseptor) . Adenosin trifosfat, sebagai contoh, dilepaskan dalam jumlah milimolar oleh sel yang mengalami trauma ke ruang ekstraseluler. Aktivasi ligand-gated P2x3 purinoceptor oleh adenosin trifosfat memungkinkan dapat segera dideteksi oleh nosiseptor jaringan yang rusak (Woolf, 2004). Sebaliknya, proton dibentuk secara perlahan setelah kerusakan jaringan dan bekerja pada saluran ion sensitif- asam dan saluran_ reseptor potensial V1 yang diekspresikan oleh nosiseptor untuk menghasilkan nyeri beberapa saat setelah trauma (Woolf, 2004). Prostanoid prostaglandin E2 dan faktor pertumbuhan saraf masing- masing terikat pada prostaglandin E terikat-protein G dan reseptor tirosin kinase A, untuk mengubah sensitivitas akhiran nosiseptor tanpa mengaktivasi nosiseptor secara langsung. Bradikinin, suatu peptida yang dihasilkan pemecahan kininogen yang diperantarai_kalikrein, mengaktivasi dan mensensitisasi akhiran nosiseptor melalui reseptor B2. Reseptor bradikinin B1 diekspresikan hanya setelah trauma atau inflamasi. Ea Kajian llmiah Rematologi Nasional | 2013 Na1.8/1.9 BK AAW ___EGE, Cod NGF Sensitisasi perifer Produksi prostanoid pada lokasi trauma, sebuah elemen mayor reaksi inflamasi, berasal dari produksi asam arakhidonat dari membran fosfolipid oleh fosfolipase A2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin H, yang diubah menjadi spesies prostanoid spesifik, seperti prostaglandin E2, oleh prostaglandin sintase . Siklooksigenase-2, fosfolipase A2, dan prostaglandin E sintase merupakan enzim yang dapat diinduksi yang tidak secara alamiah berada pada jaringan tanpa inflamasi. COX-2 diinduksi sebagai respon terhadap interleukin-1B dan fumor necrosis factor-a. Karena induksi ini terjadi beberapa jam setelah inisiasi inflamasi, obat antiinflamasi nonsteroid atau obat selektif COX-2 tidak memiliki efek terhadap nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi akut. Namun, kedua obat tersebut memiliki efek analgesik cepat pada kondisi seperti rhematoid artritis di mana COX- 2 diekspresikan secara kronis sebagai akibat inflamasi yang terjadi terus-menerus. Agen sensitisasi, seperti PGE2, menurunkan ambang aktivasi akhiran nosiseptor dan meningkatkan responsivitas dengan berikatan pada reseptor spesifik yang diekspresikan pada membran akhiran nosiseptor (sebagai contoh, reseptor PGE). Reseptor-reseptor tersebut Kajian llmiah Rematologi Nasional | 2013, El terpasang pada kinase intraseluler pada sitoplasma akhiran nosiseptor. Aktivasi adenil sikiase oleh PGE meningkatkan kadar siklik adenosin monofosfat, yang mengaktifkan protein kinase —_tergantung-adenosin monofosfat. Pelepasan kalsium dari mikrosom pada akhiran nosiseptor atau entri kalsium melalui saluran pada membran mengaktifkan protein kinasse C_ teraktivasi- kalsium . Protein kinase A dan protein kinase C memfosforilasi asam amino serin dan treonin pada banyak protein. Fosforilasi protein menyebabkan pemrosesan post- translasional, suatu perubahan tampilan kimiawi dari sebuah protein yang terjadi setelah sintesisnya (atau translasi) dari messenger RNA. Fosforilasi semacam itu dapat merubah secara dramatis aktivitas reseptor dan saluran ion. Sebagai contoh, saluran tranduser transien reseptor potensial V1 sensitif-suhu secara normal memiliki ambang aktivasi 42°C, temperatur di mana kita mulai merasa panas sebagai menyakitkan. Namun_ setelah fosforilasi, ambang menurun mendekati suhu tubuh normal . Produksi PGE2 setelah induksi COX-2 pada kondisi seperti terbakar matahari menyebabkan ambang nyeri terhadap suhu menurun. Efek tersebut, yang terbatas pada lokasi inflamasi, bertanggung jawab untuk nyeri seperti terbakar yang dialami sebagai respon terhadap mandi dengan air hangat pada individu yang terbakar sinar matahari. Ambang dan kinetik saluran ion natrium dengan gerbang voltase, seperti Nav1.8, juga diubah oleh fosforilasi, meningkatkan eksitabilitas membran. Potensial aksi melebihi normal dihasilkan akhiran nosiseptor . Karena terdapat beberapa sensitisator (PGE2, nerve growth factor, dan bradikinin), penghambatan produksi pada hanya salah satu. substansi tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Faktor tersebut berkontribusi terhadap ceiling effect dari obat seperti inhibitor COX-2. Sensitisasi a Kajian lImiah Rematologi Nasional | 2013 perifer menurunkan ambang nosiseptor ambang tinggi dan memainkan peran penting dalam peningkatan sensitivitas nyeri pada lokasi truma atau inflamasi 2. Pengaturan transkripsional dan post-transkripsional pada neuron sensoris Furgsi, eksitabilitas intrinsik, dan suseptibilitas terhadap agen farmakologis dari neuron sensoris tidak tetap namun tergantung pada sifat alamiah dan kadar berbagai protein yang diekspresikan oleh neuron sensoris. Sebagai contoh, setelah inflamasi perifer, terdapat peningkatan saluran transien reseptor potensial V1 sensitif- suhu pada akhiran nosiseptor, meningkatkan sensitivitas perifer terhadap suhu, dan pada kadar modulator sinaps substansi P dan faktor neurotrofik dari otak , dan meningkatkan input sentral ke medula spinalis. Perubahan tersebut berasal dari peningkatan produksi nerve growth factor pada jaringan yang inflamasi. Nerve growth factor tersebut ditransportasikan dari perifer ke badan sel saraf sensoris di ganglion dorsalis, dimana nerve growth factor mengakifkan jalur sinyal intraseluler yang mencakup mitogen-activated protein kinase p38 . Setelah trauma akson perifer, jumlah reseptor opioid 4 menurun dan subunit saluran kalsium a25 meningkat, menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap morfin dan peningkatan sensitivitas terhadap gabapentin. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium setelah truma saraf meningkatkan eksitabilitas membran sehingga impuls ektopik mulai muncul tanpa stimulus perifer; eksitabilitas ektopik tersebut merupakan sering menyebabkan nyeri neuropatik spontan . jan limiah Rematologi Nasional | 2013 Ez Sea ‘Src Protas i Ea Perubahan transkripsional pada ganglion dorsalis 3. Sensitisasi sentral Dengan cara yang sama dengan akhiran nosiseptor perifer disensitisasi, neuron transmisi nosiseptor sentral pada kornu dorsalis medula spinalis atau pada nukleus spinalis trigeminus juga dapat disensitisasi. Sensitisasi perifer dan sentral merupakan penyebab mayor hipersensitivitas terhadap nyeri setelah trauma. Sensitisasi sentral meningkatkan dan memfasilitasi transfer sinaptik dari akhiran nosisepor sentral ke neuron kornu dorsalis . Awalnya, sensitisasi sentral dipicu pada neuron sentral oleh input nosiseptor ke medula spinalis (sehingga sensitisasi sentral tergantung pada aktivitas) . Selanjutnya, sinyal pemicu tersebut bertahan terus-menerus di luar stimulus awal karena perubahan transkripsional pada mesin molekular dalam sel (sehingga sensitisasi sentral tergantung transkripsi). Spinal Cord Sik Conte Transmission Neuron Brain Pain Inhibitory interneuron Transmisi nosiseptif Kajian limiah Rematologi Nasional | 2013, Pain Hypersensitivity Sensitisasi sentral — fase akut eP mp Diffuse Pain Sensitivity Sickness Syndrome Sensitisasi sentral — fase lambat Pada umumnya, perubahan yang mendasari sensitisasi sentral serupa dengan perubahan yang mendasari sensitisasi_perifer. Kinase _ intraseluler teraktivasi, menyebabkan fosforilasi saluran ion dan reseptor, dan kemudian gen-gen terinduksi, merubah karakter kimiawi atau fenotip neuron. Sensitisasi perifer dan sentral merupakan suatu ekspresi plastisitas atau mampu-dimodifikasinya sistem saraf, . yang _berubah dengan sendirinya ke fungsi-fungsi baru sebagai respon Kajian limiah Rematologi Nasional | 2013 | 125 | le ee mem eS input yang berubah (dalam hal ini, trauma jaringan). Dalam hitungan detik oleh karena aliran sensoris masif dari jJaringan atau saraf yang rusak, neuron pada medula spinalis yang menerima input sensoris tersebut menjadi hiperresponsif. Setelah reaksi tersebut, input yang seharusnya secara normal tidak lagi dideteksi sekarang memunculkan output; stimulus normal yang tidak berbahaya, seperti sentuhan ringan pada kulit, sekarang menimbulkan nyeri; dan area di luar lokasi trauma menjadi nyeri (hiperalgesia sekunder) . Sensitisasi sentral membutuhkan — aktivitas nosiseptor yang cepat namun intens untuk dapat diinisiasi: sebagai contoh, insisi kulit dengan skalpel. Sensitisasi sentral juga dapat terjadi karena nosiseptor yang tersensitisasi selama inflamasi dan oleh aktivitas ekstopik spontan yang ditimbulkan pada neuron sensoris setelah cedera saraf. Sensitisasi sentral berawal dengan serangkaian kejadian pada kornu dorsalis medula spinalis yang dipicu oleh pelepasan transmiter dari akhiran nosiseptor sentral, menyebabkan perubahan densitas, ambang, kinetik, dan aktivasi reseptor sinaps yang kemudian secara dramatis meningkatkan transmisi nyeri. Satu reseptor kunci yang terlibat dalam perubahan tersebut adalah reseptor glutamate-activated N.methyl-D-aspartic acid (NMDA). Selama sensitisasi sentral, reseptor tersebut terfosforilasi, sehingga meningkatkan distribusinya dari cadangan intraseluler ke membran sinaps dan perannya terhadap glutamat. Peningkatan responsivitas terhadap glutamat terjadi karena hilangnya blokade ion Mg?* pada saluran NMDA dan meningkatkan waktu terbukanya saluran. Peningkatan eksitabilitas sel berarti bahwa sel tersebut dapat diaktivasi oleh input yang secara normal di bawah ambang dan responnya terhadap peningkatan input di atas ambang. Terlibatnya input di bawah ambang limiah Rematologi Nasional | 2013 bermanifestasi sebagai penurunan ambang untuk menimbulkan nyeri (alodinia), respon yang berlebihan atau meningkat terhadap stimulus nyeri (hiperalgesia), dan penyebaran sensitivitas ke area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder). Inhibisi reseptor NMDA dengan menggunakan ketamin antagonis-kompetitif reseptor NMDA, suatu anestesi durasi cepat, menurunkan fase awal sensitisasi sentral dan hipersensitivitas terhadap nyeri. Setelah perubahan post-translasional tergantung— aktivitas tersebut’ terhadap protein yang ada yang mengubah distribusi dan fungsi protein tersebut, Perubahan terjadi pada regulasi gen di neuron sentral, termasuk induksi protein-protein baru dan efeknya pada tingkat ekspresi protein yang ada . Beberapa perubahan ekspresi gen disebabkan oleh aktivasi yang diperantarai sinaptik dari jalur transduksi sinyal intraseluler dan terbatas pada bagian sistem saraf yang menerima input dari jaringan yang cedera. Satu contoh adalah opioid endogen peptida dinorfin, yang diregulasi oleh mitogen-activated protein kinase dan sebuah represor . Gen-gen lain teraktivasi secara luas. Sebagai contoh COX-2 mulai diekspresi pada neuron pada banyak area sistem saraf pusat beberapa jam setelah trauma jariigan perifer lokal. Ekspresi ini diinisisasi bukan oleh aliran sensoris ke medula spinalis namun oleh faktor humoral yang bersirkulasi yang dilepaskan oleh sel-sel inflamasi yang bekerja pada sel-sel endotelial pembuluh darah serebral untuk memproduksi interleukin-18. IL-18 memasuki cairan serebrospinal dan bekerja pada neuron yang mengekspresikan reseptor IL-1 untuk memproduksi COX-2. Peningkatan PGE2 yang ditimbulkannya memiliki banyak aksi presinaps dan postsinaps yang memfasilitasi transmisi dan meningkatkan eksitabilitas, berkontribusi pada sensitisasi sentral onset lambat, prolonged, dan difus lmiah Rematologi Nasional | 2013 Ea . Induksi sentra! luas dari COX-2 berkontribus pada nyeri general, hilangnya nafsu makan, dan perubahan pada mood dan siklus tidur yang menandakan sindrom penyakit, sebuah bagian dari penyakit inflamasi . Penemuan ini memiliki dampak yang penting pada terapi. Pertama, COX-2 inhibitor harus ditargetkan ke sentral dan perifer. Aksi sentral COX-2 inhibitor tampak sebagai komponen mayor aktivitas analgesik mereka. Sebagai tambahan, terapi yang ditujukan untuk menurunkan aliran sensoris ke sisten saraf pusat, seperti anestesi regional atau epidural lokal anestesi selama pembedahan, tidak akan mencegah induksi sentral COX-2 yang diperantarai humoral dan membutuhkan_ terapi tambahan dengan COX-2 inhibitor. Sensitisasi sentral berkontribusi pada kondisi hiperresponsivitas _nyeri postoperasi, migrain, nyeri neuropatik, fibromialgia, dan nyeri traktus gastrointestinal . 4. Interaksi neuroimun dan glia Sensitisasi perifer merupakan sebuah bentuk interaksi neuroimun yang dihasilkan dari aksi sinyal kimiawi yang diproduksi sel-sel inflamasi pada serabut saraf. Interaksi serupa adalah induksi secara sentral COX-2 pada neuron sentral sebagai respon terhadap sinyal inflamasi humoral dan pelepasan IL-1 serta aktivasi masif mikroglia pada medula spinalis sebagai respon terhadap trauma saraf perifer. Sel mirip makrofag tersebut berada secara normal pada medula spinalis namun dengan cepat teraktivasi setelah cedera saraf dan kemungkinan merupakan salah satu sumber dari banyak sitokin dan kemokin yang beraksi pada neuron dan sel glia untuk mengubah fungsi atau pola transkripsi gen. Perubahan pada sel glia perifer (sel Schwann) setelah trauma saraf berkontribusi_ pada aktivasi secara langsung serabut sensoris di sekitarnya dan tanpa trauma dengan Kajian limiah Rematologi Nasional | 2013 melepaskan semacam substansi pensinyalan seperti TNF- a dan faktor pertumbuhan. Sel glia sentral (astrosit) juga dapat memainkan peran yang sama . 5. Peningkatan fasilitasi Kontrol kuat yang dipegang oleh otak pada pemrosesan sensoris di medula spinalis, dan nukleus trigeminal terdiri atas inhibisi dan fasilitasi. Hanya sedikit yang diketahui mengenai peran normal pengaruh fasilitasi desenden, namun terdapat indikasi bahwa kontrol positif tersebut teraktivasi atau meningkat setelah inflamasi dan trauma saraf perifer dan proses tersebut berkontribusi kepada peningkatan transmisi sensoris secara umum . Pencegahan peningkatan tersebut dapat membantu mengurangj hipersensitivitas terhadap nyeri 6. Reorganisasi struktural Akhiran sentral neuron sensoris nosiseptor berakhir pada area yang berbeda pada medula spinalis, lamina paling superfisial dari komu dorsalis. Sebaliknya, serabut sensoris ambang-rendah yang diaktivasi oleh sentuhan, tekanan, getaran, dan gerakan sendi normal berakhir pada lamina profunda kornu dorsalis. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa terdapat restrukturisasi fisik sirkuit tersebut terjadi setelah cedera saraf perifer: pada beberapa minggu, pertumbuhan baru atau sprouting akhiran . sentral aferen ambang-rendah ke zona yang secara eksklusif digunakan oleh akhiran nosiseptor . Namun belum dapat ditentukan apakah restrukturisasi yang sama juga terjadi pada pasien dan mendasari peningkatan sensitivitas nyeri. Fenomena semacam itu dapat menjelaskan intraktabilitas banyak kondisi nyeri neuropatik dan mengemukakan isu bagaimana mencegah perubahan tersebut dan apakah perubahan tersebut irreversibel. Telah diketahui bahwa_ sensitivitas nyeri terhadap sentuhan ringan pada pasien dengan nyeri Kajian limiah Rematologi Nasionel | 2013 | 129 | neuropatik disebabkan oleh respon sentral yang abnormal terhadap serabut sensori ambang-rendah yang biasanya hanya berespon terhadap sensasi sentuhan. Reaksi abnormal sentral terhadap input sensoris normal tersebut dapat disebabkan oleh sensitisasi sentral dan reorganisasi struktural, juga hilangnya inhibisi (disinhibisi) . 7. Disinhibisi Mekanisme inhibisi tonik dan fasik yang kuat yang bekerja presinaps dan postsinaps memfokuskan input sensoris sehingga menghasilkan respon terbatas, tepat, dan sesuai terhadap setiap input. Dalam medula spinalis, inhibisi tersebut diperantarai oleh neuron inhibitor yang melepaskan transmiter inhibitor glisin dan GABA. Input inhibisi desenden dari batang otak beroperasi melalui norepinefrin dan serotonin. Penghambatan farmakologis inhibisi GABA dan glisin spinal dengan injeksi antagonis reseptor menghasilkan hipersensitivitas nyeri yang serupa dengan hipersensitivitas yang diakibatkan trauma saraf perifer, mengindikasikan bahwa_ inhibisi_ mempengaruhi sistem nyeri. Sensitisasi sentral menghasilkan hipersensitivitas terhadap nyeri, dengan secara langsung meningkatkan eksitasi. Namun, hilangnya inhibisi secara patologis (disinhibisi) juga dapat meningkatkan eksitabilitas dan nyeri. Trauma saraf perifer berdampak pada hilangnya sebagian arus inhibisi, khususnya yang diperantarai oleh GABA, dan pemakaian GABA-mimetik menurunkan nyeri neuropatik . Hal tersebut menunjukkan bahwa disinhibisi berkontribusi terhadap hipersensitivitds pada pasien dengan nyeri neuropatik . Salah satu penyebab disinhibisi tersebut adalah kematian selektif interneuron inhibitor GABAnergik setelah cedera saraf. Seminggu setelah trauma saraf yang menyebabkan hipersensitivitas terhadap nyeri, neuron mulai mengalami apoptosis pada kornu Kajan limiah Rematologi Nasional | 2013 dorsalis . Apoptosis tersebut dapat bersifat eksitotoksis, oleh karena pelepasan glutamat yang berlebihan atau kegagalan uptake glutamat, atau diakibatkan oleh cell death-inducing signal, seperti pelepasan TNF-a dari mikroglia yang teraktivasi. Apabila disinhibisi merupakan penyebab utama nyeri neuropatik pada pasien, sindrom tersebut paling tidak sebagai bagian dari penyakit degeneratif. Kita harus mempertimbangkan terapi yang ditujukan pada pencegahan kerusakan neuron dan, akibatnya, menyebabkan nyeri. Strategi semacam itu membutuhkan identifikasi risiko pasien dan perkembangan terapi yang mencegah aktivasi jalur apoptosis . DAFTAR PUSTAKA Chou, Roger, Laurie Hoyt Huffman, 2007. Medications for Acute and Chronic Low Back Pain: A Review of ihe Evidence for an American Pain Society/American College of Physicians Clinical Practice Guideline. Annals of Internal Medicine 2007;147:510. Dray A., 2008. New Horizons in Pharmacologic Treatment for Rheumatic Disease Pain. Rheum Dis Clin North Am; 34(2): 481-505. Fehrenbacher, J.C., C.P. Taylor, M.R. Vasko, 2003. Pregabalin and Gabapentin Reduce Release of Substance P and CGRP from Rat Spinal Tissues only afer Inflammation or Actvation of Protein Kinase C. Pain; 105(1-2):133-41, Goetz, C.G. dan Pappert E.J., 2007. Anatomy of Pain and Temperature Sensation. Textbook of Clinical Neurology, 3% ed. Philadelphia: W.B. Saunders. Gulur, P, Soldinger S.M., dan Acquadro M.A., 2007. Concept in Pain Management. Clin Podiatr Med Surg 2007; 24: 333, Saunders Elsevier. lImiah Rematologi Nasional | 2013 EW International Association for the Study of Pain, 2004 Neuropathic Pain: The Immune Connection. Pain Clinical Updates Volume Xil, No. 1. Ji, R.R., Befort K., Brenner G.J., C.J. Woolf, 2002. ERK MAP Kinase Activation in Superticial Spinal Cord Neurons Induces Prodynorphin and NK-1 Upregulation and Contributes to Persistent Inflammatory Pain Hypersensitivity. J Neurosci;22:478-85. Ji, R.R., Kohno T., Moore K.A., C.J. Woolf, 2003. Central Sensitization and LTP: Do Pain and Memory Share Similar Mechanisms? TINS;26:696-705, Kidd, Bruce L., Richard M. langford, Theresia Wodehouse, 2007. Current Approaches in the Treatment of Arthritic Pain. Arthritis Research & Therapy 2007, 9:214. Levine, J.D., Reichling D.B., 1999. Peripheral Mechanisms of. Inflammatory Pain. Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain. 4th ed. Edinburgh: Churchill Livingstone:59-84. Lucas Meliala, 2004, Klasifikasi Nyeri; Neurobiologi dan Mekanisme Nyeri. Terapi Rasional Nyeri Tinjauan Khusus Nyeri Neuropatik. Yogyakarta: Aditya Media. Him: 7-48. Macres, S.M., S.H. Richeimer, P.J. Duran, 2000. Understanding Neurophatic Pain, usc Pain Center, http://helpforpain.com/helpforpain.htm (tanggal akses 20 November 2010) Mahar, M dan Priguna S, 2003. Susunan Somaestesia. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat. Him: 81-2. Mannion, RJ., Costigan M., et al, 1999. Neurotrophins: Peripherally and Centrally Acting Modulators of Tactile Stimulus-Induced Inflammatory Pain Hypersensitivity. Proc Natl Acad Sci U S A; 96:9385-90. Marchand, S., 2008. The Physiology of Pain Mechanism: From the Periphery to the Brain, Rheum Dis Clin n Am 2008;34:285- 99. Ea Kajian llmiah Rematologi Nasional | 2013 Moore, K.A., Kohno T., Karchewski L.A., Scholz J., Baba H., C.J. Woolf, 2002. Partial Peripheral Nerve Injury Promotes A Selective Loss of Gabaergic Inhibition in the Superficial Dorsal Horn of the Spinal Cord. J Neurosci;22:6724-31. Porreca, F., Ossipov M.H., Gebhart G.F., 2002. Chronic Pain and Medullary* Descending Facilitation. Trends Neurosci;25:319-25, Ranney, D., 2008. Anatomy of Pain. Available at: http:/Awww.ahs.uwaterloo.ca/~ranney/painanat. html (Tanggal akses 20 November 2010). Rose, M.A., P.C.A. Kam, 2002. Gabapentin: Pharmacology and Its Use in pain Management. Aenesthesia 57:451-462, Saputra, K., S. Sudirman, 2008. Akupuntur untuk Nyeri dengan Pendekatan Neurosain. Sagung Seto: Surabaya. Stratz, T., W. Muller, 2000. The Use of 5-HT3 Receptor Antagonists in Various Rheumatic Diseases - A Clue to the Mechanism of Action of These Agents in Fibromyalgia? Scandinavian Journal of Rheumatology, Vol. 29, No. 113 , Pp: 66-71. Tantra, Husni, 2005. Nyeri Suatu Rahmat Sekaligus Sebagai Tantangan. Jurnal Medika Nusantara (Suplemen);26 (3):75-8 Vanderah, T.W., 2007. Patophysiology of Pain. Med Clin N Am 2007; 91:1-4. Saunders Elsevier. Vane, J.R., Bakhle Y.S., Botting R.M., 1998. Cyclooxygenases 1 and 2. Annu Rev Pharmacol Toxicol;38:97-120. Watkins, L.R., Milligan E.D., Maier S.F., 2001. Glial Activation: A Driving Force for Pathological + Pain. Trends Neurosci;24:450-5. Whitten, Christine E.,Marilee Donovan, Kristene Cristobal, 2005. Treating Chronic Pain: New Knowledge, More Choices. The Permanente Journal, Fall 2005 Volume 9 No. 4. Kajian lImiah Rematologi Nasional | 2013, | 133 | Woolf, C.J., 2004. Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Spesific Pharmacologic Management. Ann Intern Med; 140:441-451. Woolf, C.J., Salter M.W., 2000. Neuronal Plasticity: Increasing the Gain in Pain. Science;288:1765-9. Woolf, C.J., Shortland P., Coggeshall R.E., 1992. Peripheral Nerve Injury Triggers Central Sprouting of Myelinated Afferents. Nature;355:75-8. World Health Organization, 2010. WHO's Pain Ladder. htto:/www.who.int/entity/cancer/palliative/ent —_(Tanggal akses 20 November 2010). a Kejian limiah Rematolog) al 2048

You might also like