You are on page 1of 18

LBM 3

STEP 1

1. Cell cycle arrest pada G1 : siklus sel yg berhenti pd fase Growth pertama, dimana yg
seharusnya ada G(G1: ukuran sel Growth factor, struktur DNA G2: replikasi DNA),
S(sintesis) dan M (M1 M2 metosis meiosis.
Interfase trdapat di sebelum G1

Berhentinya siklus sel, dimana siklus sel terdiri atas 2 fase utama yaitu :
a. Fase S (Sintesis) : terjadi replikasi kromosom DNA
b. Fase M (Mitosis) : pemisahan 2 set DNA kromosom tersebut menjadi 2 sel
(Nurse, 2002).

Fase yang membatasi 2 fase tersebut adalah Gap :

a. Gap 1 : (sebelum fase S) persiapan untuk sintesis DNA yang merupakan fase awal
siklus sel
b. Gap 2 : (setelah fase S) el melakukan sintesis lebih lanjut untuk proses
pembelahan pada fase M (Ruddon, 2007).

http://clincancerres.aacrjournals.org/content/8/11/3311
Setelah fase M, berlanjut pada fase G1 atau G0.
Interfase : fase G1, S, G2.
Terdapat regulator positif dan negative dalam siklus sel.
Gambar 3. Sitokin yang berperan dalam siklus sel (Lapenna dan Giordano,
2009)
Cells are constantly monitoring their cell cycle status through cell cycle checkpoints.
Cyclins and cyclin-dependent kinases regulate cell progression through the stages of the
cell cycle (G1, S, G2, M). Failure of the first two checkpoints (G1, G2/M) mostly occurs
upon DNA damage. The G1 checkpoint monitors the DNA integrity and cell machinery
and determines whether the cell will undergo DNA replication (S-phase) [1]. Cells that
fail the G1 checkpoint due to DNA damage can initiate a process of DNA repair or
initiate apoptosis. DNA damage can cause cell cycle arrest through induction of the p53
pathway, which can lead to initiation of repair or apoptosis[2]. Cells that fail the G1
checkpoint due to limited nutrients or extracellular signaling can enter the G0 phase of
the cell cycle, which describes a state of quiescence. Many cells of the body are stuck in
a permanent state of cell cycle arrest (i.e. terminally differentiated) and are unable to
replicate (e.g. neurons, muscle cells). However, under a specific set of conditions,
muscle cells can enter mitosis if stimulated by growth factors or by the expression of a
retroviral oncogene [3].

After cells pass the G1 checkpoint, they can progress through the initial stages of DNA
replication during S phase, and they must progress through the entirety of S phase to G2
phase before encountering the next checkpoint, the G2/M checkpoint. DNA damage can
arrest cells in G2 before progressing to mitosis, and in G2, the cell can undergo DNA
repair mechanisms or apoptosis similarly to during G1. If the cell passes the G2/M
checkpoint, cells begin to undergo mitosis until the spindle checkpoint. The cell will not
progress through mitosis until the spindles align at the equator of the cell. This process
is incredibly important because it ensures that both daughter cells receive one
chromatid from each pair of sister chromatids. Cells that fail this checkpoint become
arrested in anaphase [4]. After this checkpoint, cells can finish mitosis and cytokinesis to
generate two daughter cells.
https://www.quora.com/What-is-meant-by-a-cell-cycle-arrest
STEP 2

1. Apa saja model pengujian pada experiment farmakologi?


2. Apa desain penelitian yg digunakan pada scenario dan desain penelitian lainnya
(eksperimen)?
3. Apa perbedaan metode in vitro dan in vivo?
4. Apa saja contoh uji in vitro dan invivo?
5. Apa kelebihan dan kekurangan dari in vivo dan in vitro?
6. Bagaimana prosedur pengujian in vitro dan invivo?
7. Apa saja factor-faktor yg mempengaruhi penelitian in vitro dan invivo?
8. Bagaimana menentukan metode uji pada penelitian in vivo dan in vitro?
9. Apa saja yg harus dipertimbangkan dlm subjek uji dan parameter yg akan diukur serta
uji analisa nya?

STEP 3

1. Apa saja model pengujian pada experiment farmakologi?


1). Bioassay uji biologis : uji experiment il miah, untuk mngukur dampak dari zat pd
organism hidup. Penting untuk pengembangan obat baru.
2). Invivo  tubuh hewan utuh, sample banyak, mahal, lama, dalam lingkungan yg
terkendali
3). Invitro diluar tubuh sel, uji nya murah cepat cocok dilakukan untuk mngamati
subjek hidup
4). In silico upaya untuk penemuan obat baru dengan screening maya (computer)
5). In situ

2. Apa desain penelitian yg digunakan pada scenario dan desain penelitian lainnya
(eksperimen)?
4 jenis design penelitian:
- pre experiment design  bukan merupakan exp sungguh2 krn ada factor luar yg
mmpengaruhi variable dependent. Masih banyak perancu nya dan blm focus pd titik
yg dicari.
Bentuk design: one shoot case study, one group pretest post test design, intake
group comparation.
- True experiment design  design dpt mngontrol semua variable dari luar,
validitasnya bisa dipercaya dari pda pre experimental, sample nya dipilih scr random,
memiliki 3 design penelitian: post tes only, pre post test, Solomon-four group
- Quasi experiment design  merupakan pengmbangan true experiment design, sulit
dilaksanakan punya kelompok kontrol tp tdk berfungsi untuk mengotrol variabel2
luar. Lebih valid dibandingkan pre experimental design, model desing : Time series,
non equivalen control group design, conter balances design
- Factorial design  selalu melibatkan 2 atau lebih variable bebas, tujuan nya untuk
mengetahui apakah efek dpt digeneralisasikan lewat semua level dari semua
variable control.

3. Apa perbedaan metode in vitro dan in vivo?


- In vitro: suatu uji yg dilakukan diluar tubuh manusia atau luar tubuh semua
organisme, contohnya: dilakukan di cawan petri, pada mikroorganisme tdk hidup
dan terkontrol, organ, jaringan, sel,biomolekul
- In vivo: uji dilakukan di dalam tubuh organism hidup, min 2 spesies rodent maupun
nonrodent, umur dan BB contohnya: hewan coba.

4. Apa saja contoh uji in vitro dan invivo?


- Uji in vitro : contoh nya obat asma bisa mengambil otot trakea dari marmot, obat
anginga aritmia bisa mengambil jantungnya marmut, cacing, jamur.
- Uji in vivo: pain killer, obat fertilitas pakai tikus, obat anti diabetic pakai babi atau
sapi, antihipertensi pakai kucing atau anjing, antipiretik
(Intinya mencari metabolism yg sama dg manusia)

5. Apa kelebihan dan kekurangan dari in vivo dan in vitro?


a. Kelebihan in vitro
>bisa dilakukan pd mikroorganisme tdk hidup tetap harus dikontrol spy hasil tdk
bias. (mikroorganisme hidup tapi diluar tubuh diamati pada tabung atau cawan
petri)
Kekurangan in vitro
>percobaan biologi mikroseluler krn ada banyak kondisi yg dikontrol maka bisa
menyebabkan bias
b. Kekurangan in vivo
>Hewan yg digunakan banyak dan mahal

Kelebihan in vivo
>bisa untuk melihat perbandingan dari perlakuan hewan tsb
>dilakukan min 2 spesies rodent dan nonrodent

6. Bagaimana prosedur pengujian in vitro dan invivo?


 In vivo
.Lakukan persiapan hewan uji (tikue/mencit) jenis keamin, jml yg ingin diambil,
status kes hewan, pengalaman peneliti
.Lakukan persiapan sediaan uji (ekstrak markisa kuning dilarutkan pd pelarut yg
sesuai
.Vol sediaan uji (hewan uji di puasakan dlu lalu ditimbang dan dikasih sediaan uji)
.Uji pendahuluan(mencari dosis awal yg sesuai untuk uji awal yg dipilih)
.Uji utama (memperhatikan tingkat dosis dimana tjd kematian pada uji
pendahuluan)
.Uji batas (pd uji pendahuluan tdk didpt kan kematian maka tdk perlu diberikan dosis
2000mg/KgBB
.Dilakukan pengamatan( 30 mnt setelah pemberian uji ,diamati tingkah laku hewan,
BB)
.Pengumpulan dan analisis data (dalam bentuk table, jml hewan yg mati, BB)

Bioassay baik in vitro dan in vivo


1. Virtual screening : menyeleksi apa saja yg mau diteliti, target selektion
2. Primary bioassay: nonfisilogical assay Cuma berbasis biokimia atau mekanis, bisa
disebut microorganism based assay atau sell based assay atau tissue based assay
3. Secondary bioassay: levelnya ke hewan missal mencit
4. Preclinical trials: bisa pada hewan, serupa dengan secondary bioassay
5. Clinical trial:

7. Apa saja factor-faktor yg mempengaruhi penelitian in vitro dan invivo?


Faktor internal
- Variasi biologi: usia, jenis kelamin, RAS, sifat genetic
- Status kesehatan hewan coba
Factor eksternal
- Suplay O2, pemeliharaan lingkungan (kandang), pengalaman hewan yg diberi obat.
- Tingkat kebisingan kandang, cahaya yg masuk dlm kandang, suhu atau kelembaban
dalam kandang

Pemilihan subjek uji:


Tikus : TD
Mencit : obesitas
Betina: masih dara
Jantan: produktif
8. Bagaimana menentukan metode uji pada penelitian in vivo dan in vitro? (kapan pakai
nya)
Tergantung mau cek apa (sel atau jaringan) misal pada penelitian sel kanker diambil sel
nya untuk di teliti (in vitro), selanjutkan bisa dilakukan uji secara klinik bisa dilakukan
pada manusia (in vivo)

9. Apa saja yg harus dipertimbangkan dlm subjek uji dan parameter yg akan diukur serta
uji analisa nya?
Subjek uji:
Uji toxixitas memenuhi criteria hewan coba:
1. BB 1 Kg
2. Mudah diambil darahnya
3. Mudah di kendalikan
4. Mudah dikembangkan dan dipelihara di lab
5. Fisiologi sesuai dg hewan atau manusia yg di tuju

(Sesuai prinsip 3R)

Uji analisa

Parameter : mis hipertensi bisa mengukur TD nya

1. Apa saja model pengujian pada experiment farmakologi?


a. In SIlico  non physiological assays, biochemical and mechanisms based assays
b. In Vitro  cell based bioassays, tissue based bioassays
c. In Vivo  animal based bioassays / preclinical studies, human trial / clinical trial.

There are three broad categories of experiments: in vitro studies, in vivo studies, and in silico
studies. Each study type has conveniences and liabilities. Understanding the liabilities of study
types offers insight into the validity of researchers' conclusions.

In vitro (Latin for within the glass) refers to the technique of performing a given procedure in a
controlled environment outside of a living organism. Many experiments in cellular biology are
conducted outside of organisms or cells. One of the abiding weaknesses of in vitro
experiments is that they fail to replicate the precise cellular conditions of an organism,
particularly a microbe. To cite one example among many, the lysates or extracts from culture-
grown spirochetes do not reflect antigens expressed in the mammalian Borrelia:

Addressing this question is complicated by the fact that protein expression of culture-grown
spirochetes does not fully resemble Borrelia in the host, i.e. the usefulness of protein lysates
from culture-grown bacteria is limited as a source of antigen for ELISPOT analysis.

Stefan S. Tunev 1)
Because of this, in vitro studies may lead to results that do not correspond to the
circumstances occuring around a living organism.

Until the last several years, efforts to detect and identify microorganisms in the human body have
depended almost exclusively on in vitro studies. As a result, many researchers began to assume
that chronic diseases were not caused by microbes. The net effect of all this was that the
understanding of pathogens in disease was driven by the study of well-known, easy-to-culture
microbes–which, as it turns out, represent the vast minority of bacteria in the human body. By
one estimate, 99.6% of the species in the human microbiota have not or cannot be characterized
through in vitro techniques.2)

Another example of a shortcoming of in vitro studies relates to concentrations of molecules,


especially as they compete for nuclear receptors. For example, the vitamin D metabolite, 1,25-D,
exerts its effects at 30 picograms per milliliter, or 0.000000000003 grams per milliliter.

In vivo studies
In vivo (Latin for “within the living”) refers to experimentation using a whole, living organism as
opposed to a partial or dead organism. Animal studies and clinical trials are two forms of in vivo
research. In vivo testing is often employed over in vitro because it is better suited for observing
the overall effects of an experiment on a living subject.

While there are many reasons to believe in vivo studies have the potential to offer conclusive
insights about the nature of medicine and disease, there is a number of ways that these
conclusions can be misleading. For example, a therapy can offer a short-term benefit, but a long-
term harm.

In silico studies
In silico is an expression used to mean “performed on computer or via computer simulation.”
The expression in silico was first used in public in 1989 in the workshop “Cellular Automata:
Theory and Applications” in Los Alamos, New Mexico. Pedro Miramontes, a mathematician
from National Autonomous University of Mexico (UNAM), presented the report “DNA and
RNA Physicochemical Constraints, Cellular Automata and Molecular Evolution.” In his talk,
Miramontes used the term “in silico” to characterize biological experiments carried out entirely
in a computer.

Although in silico studies represent a relatively new avenue of inquiry, it has begun to be used
widely in studies which predict how drugs interact with the body and with pathogens. For
example, a 2009 study used software emulations to predict how certain drugs already on the
market could treat multiple-drug-resistant and extensively drug-resistant strains of tuberculosis.3)

There is a variety of in silico techniques, but the two that are discussed the most in connection
with the Marshall Protocol are:
 Bacterial sequencing techniques – As an alternative to in vitro methods for identifying bacteria,
various in silico methods which sequence bacterial DNA and RNA have been developed. The
most commonly used use is polymerase chain reaction (PCR). PCR takes a single or few copies of
a piece of DNA and increases it across several orders of magnitude, generating millions or more
copies of a particular DNA sequence. PCR has allowed researchers to detect bacteria associated
with a variety of conditions with increasingly high sensitivity.
 Molecular modeling – Part of the Marshall Pathogenesis is based on in silico work,
demonstrating how drugs and other substances interact with the nuclear receptors of cells. In
particular, Trevor Marshall, PhD, has used computer-based emulations to show that 25-D, one
of the vitamin D metabolites, and Capnine, a substance produced by bacteria, turn off the
Vitamin D Receptor. These conclusions have since been validated by clinical observations.
 Whole cell simulations – As described here, researchers have built a computer model of the
crowded interior of a bacterial cell that—in a test of its response to sugar in its environment—
accurately simulates the behavior of living cells.4)

https://mpkb.org/home/patients/assessing_literature/in_vitro_studies

2. Apa desain penelitian yg digunakan pada scenario dan desain penelitian lainnya
(eksperimen)?

(Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta)


(Ahmad, Watik. 2000. Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran & Kesehatan. Raja Grasindo
Persada: Jakarta)
(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195602141980032-
TJUTJU_SOENDARI/Power_Point_Perkuliahan/Eksperimen/disain__EKSPERIMEN.ppt_%5BCom
patibility_Mode%5D.pdf)

3. Apa perbedaan metode in vitro dan in vivo?

Kelebihan in vitro

Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh


dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol,
misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri
Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental
pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan
pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul
tingkat penyederhanaan sistem yang diteliti lebih besar , sehingga peneliti dapat fokus
pada sejumlah komponen. Sebagai contoh , identitas protein dari sistem kekebalan
tubuh ( misalnya antibodi ) , dan mekanisme yang mengenali dan mengikat antigen
asing akan tetap sangat jelas jika tidak untuk penggunaan ekstensif kerja in vitro untuk
mengisolasi protein , mengidentifikasi sel-sel dan gen yang memproduksi mereka ,
mempelajari fisik sifat interaksi mereka dengan antigen , dan mengidentifikasi
bagaimana interaksi mereka menyebabkan sinyal seluler yang mengaktifkan komponen
lain dari sistem kekebalan tubuh
Respon seluler adalah spesies - spesifik , lintas analisis - bermasalah spesies . Metode
baru spesies - sasaran yang sama - , studi multi- organ yang tersedia untuk memotong
hidup , pengujian lintas-spesies

Kelebihan in vitro
Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
Murah dan cepat
Dalam penelitian in vitro yang lebih cocok dibandingkan in vivo untuk menyimpulkan
tindakan mekanisme biologis. Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual
diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil yang umumnya lebih jelas.
in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup
Contoh :
- uji pada mikroba jika antibiotic;
- pada sel kanker dari hewan utk obat anti kanker;
- pada plasmodium utk obat anti malaria;
- pada jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis;
- pada cacing utk obat cacing;
- pada virus utk obat antivirus;
- pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator diuji pada
otot polos trachea marmot;
- pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll.

kekurangan in vitro :
- Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena
kondisi pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat
mengakibatkan hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam
organisme hidup. Akibatnya, hasil eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in
vitro, bertentangan dengan in vivo.
- Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan
dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu,
dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo.
Contohnya termasuk:
- Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat mengakibatkan
enzim dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim dalam siklus Krebs mungkin
tampak memiliki tata-nama, salah.
- DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .
- Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi protein lain
dan ada sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro, kondisi kurang
bergerombol dan tidak membantu.
-
(http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanya-antara-in-vivo-in-vitro-
dan-ex-vivo/)

kelebihan dan kekurangan uji in vivo beserta contohnya!

In vivo :
Terletak di dalam tubuh digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau
teranestesi)
dalam lingkungan yang terkendali
Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus
dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan
(mempengaruhi dosis)
harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non
rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan
perpaduan antara rodent dan non rodent.

kekurangan
Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
Mahal dan lama
(http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanya-antara-in-vivo-in-
vitro-dan-ex-vivo/)

4. Apa saja contoh uji in vitro dan invivo?


Contoh :
- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD
bukan Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak
banyak shg pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.
- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan
yakni dengan penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi
jika sasarannya nyeri tekanan digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena
tikus akan dijepit ekornya atau telapak jarinya dengan alat tertentu,
sementara kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit atau tikus krn
hewan akan diletakkan di hot plate.
- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau sapi yg pankreasnya
banyak kemiripan dg manusia, namun dengan tikus sudah cukup dengan
adanya keterbatasan subyek uji
- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa
dirangsang utk muntah berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain
hanya muntah sekali.
- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn
system kardiovaskulernya paling mirip dg manusia
- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di
bawah kulitnya shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan
kaki tikus sering dipotong utk menimbang udem yg terbentuk
- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu
duburnya setelah disuntik pyrogen
- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam
(ayam makan ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg
terjadi dg biokimiawi di keluarga burung.
- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di
dalam air, hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill.
- Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan estrus/siap menerima pejantan.
- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau
paru-paru tikus setelah dipejankan benzo(a)pirena
Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang
menghasilkan 50% efek maksimum.
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)

Uji in vitro

Contoh :

- uji pada mikroba jika antibiotic;


- pada sel kanker dari hewan utk obat anti kanker;
- pada plasmodium utk obat anti malaria;
- pada jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis;
- pada cacing utk obat cacing;
- pada virus utk obat antivirus;
- pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator
diuji pada otot polos trachea marmot;
- pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll.

http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanya-
antara-in-vivo-in-vitro-dan-ex-vivo/

5. Apa kelebihan dan kekurangan dari in vivo dan in vitro?


6. Bagaimana prosedur pengujian in vitro dan invivo?
7. Apa saja factor-faktor yg mempengaruhi penelitian in vitro dan invivo?
Faktor yang mempengaruhi hasil uji

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan


diantaranya:
1. Faktor internal
Meliputi variasi biologik, yaitu usia (berpengaruh pada dosis yang
harus diberikan) dan jenis kelamin (ada obat-obat yang lebih peka
untuk jantan dan untuk betina). Kemudian ras dan sifat genetic, faktor-
faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap hewan yang akan di
jadikan percobaan karena akan memepengaruhi hasil dari percobaan
disebabkan oleh pengaruh dosis dan cairan tubuh hewan tersebut
sehingga hasil dari pengamatan akan berbeda-beda, sehingga
memepengaruhi efek farmakologinya. Selain itu, status kesehatan dan
nutrisi, bobot tubuh serta luas permukaan tubuh akan berpengaruh
pada dosis yang harus diberikan.

2. Faktor eksternal
Meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan
kandang, suasana asing atau baru, pengalaman hewan dalam
penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti suhu,
kelembaban, ventilasai, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan),
pemilihan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ
untuk percobaan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil
percobaan, dan mempengaruhi efek farmakologinya, apabila hewan
yang sudah biasa di beri obat maka akan terlihat lebih rilex dan santai
berbeda dengan hewan percobaan yang masih baru dan masih asing
makan akan lebih berontak dan agresif, sehingga kita membutuhkan
penelitian dan perawatan yang baik terhadap hewan percobaan
sebelum melakukan percobaan.

8. Bagaimana menentukan metode uji pada penelitian in vivo dan in vitro?


9. Apa saja yg harus dipertimbangkan dlm subjek uji dan parameter yg akan diukur serta
uji analisa nya?

Pemilihan subyek Uji.


Paling tidak hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu :
a. species dan strain hewan yang akan digunakan,
b. usia atau ukuran hewannya terkait dgn BB (kriteria inklusi)
c. jenis kelamin
d. jenis sampelnya
e. kualitas sampelnya (steril atau terkontaminasi)
f. jumlahnya.
g. Frekuensi pengambilan sampel
h. Status kesehatan hewan
i. Pengalaman peneliti

Tabel.
Konversi perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia

Hewan Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia


percobaan 20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg

Mencit 1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64, 1 124,2 387,9

Tikus 0,14 1,0 1 ,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0

Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5

Kelinci 0,04 0,25 0,44 1.0 1,08 2,4 4,5 14,2

Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4, 1 13,2

Kera 0.016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1

Anjing 0.008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3, 1

Manusia 0.0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0

Menggunakan hewan utuh


(Harmanto, Ning. Subroto, Ahkam. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping.
Jakarta: Elex Media Komputindo)

Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai berikut:
 Berat badan lebih kecil dari 1 kg
 Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
 Mudah dipegang dan dikendalikan
 Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute
 Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
 Lama hidup relative singkat
 Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press)
Penelitian yang memanfaatkan hewan coba, harus menggunakan hewan percobaan yang
sehat dan berkualitas sesuai dengan materi penelitian. Hewan tersebut dikembang-biakkan
dan dipelihara secara khusus dalam lingkungan yang diawasi dan dikontrol dengan ketat.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan defined laboratory animals sehingga sifat genotipe,
fenotipe (efek maternal), dan sifat dramatipe (efek lingkungan terhadap fenotipe) menjadi
konstan. Hal itu diperlukan agar penelitian bersifat reproducible, yaitu memberikan hasil
yang sama apabila diulangi pada waktu lain, bahkan oleh peneliti lain.

Berbagai hewan kecil memiliki karakteristik tertentu yang relatif serupa dengan manusia,
sementara hewan lainnya mempunyai kesamaan dengan aspek fisiologis metabolis
manusia.

Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus diterapkan prinsip
3 R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction,dan refinement.
Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan
secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab
pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau
biakan jaringan. Replacement terbagi menjadi dua bagian, yaitu: relatif (mengganti hewan
percobaan dengan memakai organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan dari ordo
lebih rendah) dan absolut (mengganti hewan percobaan dengan kultur sel, jaringan, atau
program komputer).

Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapi
tetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum biasa dihitung menggunakan
rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t
adalah jumlah kelompok perlakuan. Kelemahan dari rumus itu adalah semakin sedikit
kelompok penelitian, semakin banyakjumlah hewan yang diperlukan, serta sebaliknya.
Untuk mengatasinya, diperlukan penggunaan desain statistik yang tepat agar didapatkan
hasil penelitian yang sahih.

Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi (humane),


memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta meminimalisasi perlakuan
yang menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan hewan coba sampai akhir penelitian.
(http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/1237/1210)

You might also like