You are on page 1of 10
205 PENERBANGAN DAN ANGKUTAN UDARA DI INDONESIA DAN PENGATURANNY A”) Oleh : E. Suherman, S.H. Masih sering kali terdapat kekeliru- an pemakaian dan kesalahan penger- tian beberapa istilah dalam bidang penerbangan, angkutan udara dan hukum udara, bahkan juga dari pihak- pihak yang sehari-hari berkecimpung dalam bidang penerbangan dan angkut- an udara. Terutama untuk keperluan penyu- sunan peraturan perundang-undangan pemakaian istilah yang tepat merupa- kan suatu syarat yang mutlak, sedang- kan dalam aplikasinya pengertian yang tepat dan penafsiran yang tepat meru- pakan syarat mutlak untuk berlakunya Hukum, termasuk hukum udara. Istilah penerbangan (aviation) se- ting dipakai seolah-olah menjadi sino- nim dari angkutan udara (air transpor- tation). Pada hakekatnya penerbangan mem- *) Makalah untuk Lokakarya Hukum Da- gang Jakarta, 27-28 Februari 1985 Badan Pembinaan Hukum Nasional De- partemen Kehakiman. 1). Vide DR. Sochono Soemobaskoro, The new approach to the Indonesian Air Transportation Policy : its strategic economic factors and pitfalls, diss., FEUI 1978. Dengan tepat dipergunakan istilah tersebut, tetapi dalam ringkasan dalam bahasa Indonesia dipergunakan “penerbangan”, antara lain dalam judul “Pendekatan baru dalam kebijaksanaan penerbangan Indonesia : faktor-faktor strategis ckonomisnya dan kelemahan- nya”. punyai makna yang lebih luas dari angkutan udara, karena penerbangan dapat pula dilakukan bukan untuk keperluan angkutan udara, tetapi mi- salnya untuk latihan penerbangan, penyemprotan hama, olah raga, survei pemetaan dan lain-lain. Suatu salah pengertian yang mem- punyai akibat yang dapat merugikan konsumen jasa angkutan udara yang menderita kerugian karena kecelakaan pesawat udara atau suatu peristiwa lain selama penerbangan, adalah salah pengertian tentang masalah tanggung jawab dan masalah asuransi. Adat ke- biasaan kedua masalah ini dianggap identik, sehingga setelah setiap kecela- kaan pesawat udara selalu kita dengar bahwa ”masalah asuransinya sedang dalam penyelesaian”.? Suatu istilah lain yang perlu men- dapatkan penjelasan adalah istilah pe- sawat udara. Istilah ini penulis pergu- nakan sebagai ekivalen dari aircraft, yang dalam undang-undang No. 83 tahun 1958 tentang Penerbangan di- beri definisi sebagai “'tiap alat yang memperoleh gaya angkat dari reaksi udara”, Definisi lain dalam peraturan per- undang-undangan Indonesia, yaitu da- lam undang-undang No. 2 tahun 1962 2).Cf. E. SUHERMAN, "Pengertian dan salah Pengertian tentang Asuransi Pener- bangan”, dalam buku "Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, hal. 153. Juni 1985 206 tentang Karantina Udara adalah "se- mua alat pengangkut (juga termasuk yang kepunyaan Angkatan Bersenjata) yang dapat bergerak dari atas tanah air ke udara/ke ruang angkasa atau seba- liknya”. Sebagai perbandingan dapat kita lihat definisi yang tercantum dalam ICAO Lexicon,°? yaitu : Any machine, which can derive support in the at- mosphere from the reactions of the air other than the reactions of the air against the earth's surface. Istilah-istilah lain dalam bahasa In- donesia yang juga dipergunakan ada- lah, pesawat terbang,4 kapal udara,®) kapal terbang,®) pesawat udara bersa- yap tetap,”? pesawat udara bersayap putar,®) pesawat terbang bersayap tetap,°? pesawat terbang bersayap putar,2©) dan pesawat.2) Agaknya memang pemakaian isti- Jah dalam peraturan perundang-un- dangan Indonesia masih harus diter- tibkan.?) Dalam bahasa_ Indonesia 3). ICAO LEXICON, Document No. 9110, Vol. Il, hal. 10. Misalnya dalam SK . 13/S/1971 Menteri Perhubungan tanggal 18 Januari 1971 5). Misalnya dalam Peraturan Pemerintah no. 12 tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972. 6). Dalam bahasa sehari-hari, misalnya da- Jam surat kabar. Misalnya dalam Peraturan Menteri Per- hubungan no. PM 2/K/-PHB-73 tanggal 1 Oktober 1973. 8). Ibid. 9). Dalam SK 13/S/1971 Menteri Perhu- bungan tanggal 18 Januari 1971. 10). Ibid. 11), Ibia. 12). Untuk pembahasan istilah, cf. Priyatna Abdurrasyid, kedaulatan negara di ruang udara, hal. 40 dan seterusnya. Disinggung oleh Mahadi dalam Artikel "Bahasa dan Hukum”, Majalah Hukum, No. 3 tahun II, hal. 35: 4). yD. Hukum dan Pembangunan dapat kita pakai istilah ”pesawat udara” sebagai istilah genus dan istilah ”pesawat terbang” dan helikopter sebagai istilah species, demikian pula "kapal udara” (luchtschip, “balon’’, *pesawat peluncur”, dan lain-lain. Istilah-istilah "kapal terbang”, serta pesawat terbang bersayap tetap” dan *pesawat terbang bersayap putar’” se- baiknya tidak dipergunakan lagi dalam peraturan perundang-undangan Indo- nesia, dan istilah “pesawat” dapat di- pergunakan, bila jelas dari konteks apa yang dimaksudkan. Sistem Angkutan Udara di Indo- nesia Kebijaksanaan Dasar Dalam rangka kebijaksanaan dasar mengenai kebijaksanaan ekonomi pada umumnya, dapat kita katakan bahwa kebijaksanaan dasar mengenai pener- bangan dan angkutan udara kita jum- pai dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 83 tahun 1958 tentang Penerbangan, ketetapan MPRS. No. XXIII/MPRS/1966 dan Undang- _ undang No. 1 tahun 1967 tentang Pe- nanaman Modal Asing. Sebenarnya tidak ada ketentuan yang menetapkan bahwa usaha pener- bangan dan angkutan udara niaga ha- nya boleh dilakukan oleh negara atau suatu perusahaan negara. Meskipun demikian sebelum tahun 1967 hanya pernah ada satu perusahaan penerbang- an swasta, yaitu Pioneer Aviation Corporation, yang didirikan di Suma- tera Selatan pada tahun 1953 dan ber- tahan sampai tahun 1955, Akan tetapi setelah tahun 1960 seolah-olah hanya Garuda dan Merpati yang boleh berdiri. Angkutan Udare Dalam tahun 1966 oleh MPRS dite- tapkan bahwa prinsip etatisme dilepas- kan, dengan catatan bahwa ciri-ciri negatif dari liberalisme tidak akan di- tolerir. Dalam Undang-undang No. | tahun 1967 ditetapkan bahwa bagi usaha angkutan _udara_partisipasi_ modal Swasta dan Asing diizinkan dalam ben- tuk joint venture sebagai akibatnya setelah tahun itu bermunculanlah per- usahaan penerbangan, berjadwal mau- pun tidak berjadwal, baik dengan mo- dal swasta nasional maupun dengan modal campuran.13) Kebijaksanaan Eksekutif Meskipun pada dasarnya usaha ang- kutan udara bebas bagi usaha swasta, kebijaksanaan untuk mengatur usaha penerbangan lebih lanjut, terletak di tangan eksekutif, yaitu Menteri Perhu- bungan dan eselon bawahannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu kebijaksanaan tidak tertulis yaitu bahwa perusahaan penerbangan di luar PT Garuda Indonesian Air- ways tidak dibenarkan untuk memiliki dan mengoperasikan pesawat bermesin 13). Bahan dari E. Suherman, Laporan Pene- litian Masalah Hipotik Pesawat Udara, atas Kerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakim- an, Juli 1977. Ada gejala-gejala bahwa perusahaan penerbangan modal campuran akan men- jadi perusahaan dengan modal nasional penuh. (Vide Majalh ASIAN AVIATION, Ok- tober 1982: "The recent take over of Airfast by local interests is a sign that the days of foreign - controlled aviation companies in Indonesia are numbered”, hal. 3). 207 pure jet. Bahwa hal tersebut mempengaruhi pula kemampuan bersaing, adalah wa- jar, karena pesawat jet umumnya lebih menarik penumpang karena lebih ce- pat dan nyaman, terutama untuk ja- rak-jarak jauh, di samping lebih efisien pengoperasiannya. Meskipun demikian, tidak boleh kita lupakan bahwa pesawat udara bermesin jet tidak selalu cocok untuk setiap perusahaan penerbangan. Menteri Perhubungan mempunyai kebijaksanaan dalam hal penetapan tute-rute penerbangan, wilayah operasi dan pangkalan induk perusahaan pe- nerbangan (berjadwal) serta frekuensi penerbangan. Suatu surat keputusan Menteri Per- hubungan yang berisikan suatu kebi- jaksanaan penting adalah SK . Menteri Perhubungan No. 14/S/1971 tanggal 18 Januari 1971. Kebijaksanaan tersebut dengan sing- kat adalah bahwa ”Garuda diberikan pendahuluan (prioritas) tanpa bersifat monopolistis” meskipun ”pengusaha swasta dalam negeri dan asing diberi keleluasaan untuk tumbuh dan ber- daya kreasi” dengan memberi kesem- patan dan mendorong dengan penertiban-penertiban, tapi di lain pihak mengikhtiarkan terjaminnya ke- pentingan umum”. Surat keputusan Menteri Perhubungan tersebut di atas berjudul ”*Pedoman kerja Direktur Jenderal Perhubungan Udara dalam melaksanakan SK. Menteri Perhu- bungan No. 13/S/1971 tanggal 18 Januari 1971” tentang syarat-syarat 14). Cf. Sinar Harapan, 4 Agustus 1976, Hanya Garuda yang boleh mempergu- nakan pesawat jet” Juni 1985 208 dan ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan pesawat terbang secara komersiil di Indonesia, yang dalam pasal 6 menetapkan susunan rute-rute penerbangan komersiil baik penerbang- an teratur maupun tidak teratur,!>) yaitu : a, rute-rute Nusantara, b. rute-rute daerah (lokal) sebagai pe- nunjang rute Nusantara. Dalam ayat 2 pasal 6 terdapat suatu ketentuan kebijaksanaan yang penting, yaitu bahwa rute-rute Nusantara hanya diterbangi oleh Garuda Indonesian Airways dengan Merpati Nusantara sebagai pelengkap atau sebagai suatu usaha bersama oleh Garuda Indonesian Airways atau Merpati Nusantara de- ngan usaha swasta dalam negeri atau asing. 19 Bagi suatu usaha angkutan udara niaga ada dua syarat yang penting menentukan apakah usahanya meng- untungkan atau tidak, yaitu armada yang tepat dan struktur rute yang te- pat!) Dari uraian di atas saya condong untuk berpendapat bahwa kedua sya- rat tersebut sukar dipenuhi oleh per- usahaan penerbangan swasta di Indo- nesia. Dengan kebijaksanaan tersebut di atas maka dalam satu kalimat telah ter- simpul dan tercakup sistem angkutan udara di Indonesia dewasa ini: "Garuda sebagai perusahaan yang 15). Istilah yang lebih baik; "penerbangan berjadwal” dan “tidak berjadwal”, 16).Kata “asing” dalam ayat ini mungkin menimbulkan kesan seolah-olah usaha angkutan udara dalam negeri terbuka bagi modal asing "murni”. 17). Cf, Nawal K. Taneja, The Commercial Airline Industry. Hukum dan Pembangunan diberi prioritas dalam segala hal, dan pada perusahaan lain diberi keleluasa- an untuk tumbuh sendiri, asalkan ter- jamin kepentingan umum”’. Kepentingan umum memang meng- hendaki suatu multi airlines system yang efektif dan efisien, yang dilaksa- nakan oleh perusahaan-perusahaan pe- nerbangan yang sehat. Sebaliknya, suatu multi airlines system dengan sejumlah besar perusa- haan penerbangan yang tidak sehat hanya akan merupakan beban bagi masyarakat dan negara. Dalam tahun tujuh puluhan dapat dikemukakan perbandingan sebagai berikut : Di Amerika Serikat terdapat 11 domestic trunklines, 9 local service lines, 4 helicopter airways, 3 all cargo lines dan 14 supplemental aircrarriers - charter operators.*®) Jumlah tersebut di atas, melihat volume angkutan di Amerika Serikat, relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah perusahaan penerbang- an di Indonesia, yaitu 42 perusahaan berbanding dengan 26 perusahaan. Suatu multi - airline system de- ngan sejumlah besar perusahaan pener- bangan yang kecil-kecil dan merana akan lebih merupakan suatu mini airline system yang tidak akan ber- guna bagi kepentingan umum. Sebaliknya, suatu mono airline sys- tem juga belum tentu dapat melayani kepentingan umum secara sempurna dan akan bertentangan dengan kebi- jaksanaan dasar yang ditetapkan. Pembinaan suatu multi-airline system yang sehat memang menjadi 18). Dudley F. Pegrum, Transportation Eco- nomics and Public Policy, hal. 40—41. Angkutan Udara tanggung jawab dan tugas Perintah, antara lain dengan pengaturan dan ke- bijaksanaan yang realistis dengan mem- perhitungkan kepentingan para konsu- men jasa angkutan udara, akan tetapi berhasil tidaknya juga banyak tergan- tung pada manajemen perusahaan pe- nerbangan sendiri, karena menurut pengamatan, perusahaan penerbangan Indonesia yang dapat digolongkan sehat dan kuat secara wajar, justru adalah yang dipimpin oleh dan mem- punyai Korps Karyawan yang pro- fesional. Hal ini memang sudah sewajarnya bagi suatu industri yang harus highly skilled dan highly specialized seperti industri angkutan udara, yang juga merupakan the most regulated indus- try, baik nasional maupun internasio- nal. Monopoli dan Kompetisi Suatu masalah di Indonesia adalah apakah dalam usaha angkutan udara di Indonesia terdapat monopoli dan kompetisi. Pada umumnya baik monopoli maupun kompetisi (yang tanpa batas) tidak disukai dalam dunia penerbang- an. Yang diinginkan adalah suatu mul- tiairlines system dengan jumlah per- usahaan penerbangan yang tepat de- ngan kompetisi yang diatur, bukan suatu sistem free fight, tapi suatu sis- tem regulated competition yang mem- perhatikan hal-hal sebagai berikut 1, pelayanan yang lebih memadai 2. pelayanan yang lebih efisien 3. permintaan angkutan yang lebih cepat 19). Untuk masalah ini, lihat juga Alex Hunter, Monopolity and Competition. 209 4. suatu ukuran efisiensi 5. keputusan dalam memilih.2 Monopoli yang konsekuen hanya ada di negara-negara yang hanya mengizin- kan adanya suatu perusahaan pener- bangan. Untuk angkutan dalam negeri persaingan sama sekali tidak ada. Khususnya untuk Indonesia, bagi penerbangan dalam negeri, tidak terda- pat suatu sistem yang tegas meskipun kelihatannya mengarah ke suatu kom- petisi yang diatur. Dengan kebijaksanaan_ eksekutif, maka praktis dan de fakto Garuda mempunyai monopoli karena dua hal, yaitu pertama karena diberi prioritas dan melayani rute-rute Nusantara (yang umumnya mempunyai potensi angkutan yang besar)* dan kedua karena diberi monopoli de fakto dalam soal pemakaian pesawat jet, ditambah. lagi dengan pengalaman dan knowhow. Merpati Nusantara hanya mener- bangi sebagian rute Nusantara, dan se- bagai anak perusahaan Garuda tidak akan diizinkan menyaingi Garuda. Perusahaan penerbangan swasta di- beri wilayah-wilayah operasi tertentu untuk penerbangan berjadwal, dengan pangkalan induk di luar Jakarta, suatu hal yang kurang menguntungkan, se- perti halnya PT. Zamrud yang diberi wilayah operasi di Nusatenggara de- ngan pangkalan induk di Denpasar, 20). Bahan kuliah, Institute of air and Space Law, McGill University, Montreal, 1960/ 1961 : . CE. Sinar Harapan, 11 November 1974 Menteri Perhubungan Emil Salim Rute penerbangan ke Jawa masih me- rupakan usaha utama dalam menjamin kelanjutan hidupnya perusahaan pener- bangan dalam negeri”. Catatan : Suatu kenyataan yang sampai saat ini masih berlaku. Juni 1985 210 suatu wilayah dengan potensi yang rendah. Secara realistis, bagi Pemerintah memang tidak banyak pilihan. Meskipun volume angkutan udara dari tahun ke tahun terus bertambah dan menurut perkiraan dalam tahun 1971, penumpang yang diangkut (do- mestik dan internasional) dalam tahun 1972 berjumlah 1.440,000 orang, dalam tahun 1977 3.030,000 orang, dalam tahun 1982 4.440,000 orang, dan dalam tahun 1985 5,620,000 orang, suatu masalah yang pen- ting adalah apakah penambahan ini cukup besar untuk dinikmati oleh semua perusahaan yang ada ataukah sudah cukup ditampung oleh Garuda sendiri saja, yang juga terus-menerus meningkatkan kapasitasnya, dengan perkataan lain : suatu pertumbuhan perusahaan-perusahaan —_ penerbangan swasta akan mengurangi penghasilan Garuda, dan sebaliknya, pertumbuhan Garuda akan mengurangi penghasilan perusahaan swasta. Suatu masalah yang juga menarik untuk dikaji adalah pada akhirnya Ga- ruda tidak akan menyaingi dirinya sendiri, misalnya apakah dengan peng- operasian pesawat-pesawat Airbus di dalam negeri tidak akan ada kapasitas ngangeur dari pesawat-pesawat lain, dengan segala akibat-akibatnya. Pengaturan Penerbangan dan Angkutan Udara Pengaturan Penerbangan dan Ang- 22).Ceramah Dirjen Perhubungan Udara, dalam Kumpulan Ceramah pada Hari Penerbangan Nasional tahun 1971, Aka- demi Angkutan Udara Niaga, Universitas Trisakti, Jakarta. Hukum dan Pembangunan kutan Udara sebenarnya tidak terlalu sulit, karena luas lingkupnya sudah pasti dan ditentukan oleh objek yang diatur oleh Hukum Udara yaitu ruang udara dan pemanfaatannya, Namun dalam kenyataannya, masih ada sejum- lah masalah, diantaranya masalah yang cukup penting, belum mendapat penga- aturan sebagaimana mestinya. Masalah tanggung jawab misalnya, masih di- atur dalam suatu ordonansi yang di- buat dalam tahun 1939 dan diberi nama yang pada hemat penulis kurang tepat, yaitu Luchtvervoer ordonantie (Staatsblad 1939 No. 100) atau bila diterjemahkan bersama_Ordonansi Pengangkutan Udara”, padahal yang diatur di dalamnya bukanlah materi angkutan udara secara keseluruhan. Hal ini dapat dimengerti kalau kita lihat bahwa Ordonansi tersebut meru- pakan suatu terjemahan dari Konser vasi Warsawa tahun1929, yang berju- dul ”Konvensi untuk menyeragamkan beberapa ketentuan pada Angkutan Udara Internasional’”. Jelaslah bahwa yang diatur dalam Konvensi Warsa- wa hanya diatur beberapa ketentuan khususnya mengenai tanggung jawab pengangkut-pengangkut udara dan do- kumen angkutan udara, sehingga mungkin akan lebih tepat kalau Kon- vensi ini dinamakan konvensi menge- nai” Tanggung Jawab Pengangkut pada Angkutan Udara Internasional”. Mes- kipun dalam Ordonansi Pengangkutan Udara telah ditambahkan beberapa ketentuan khusus mengenai angkutan barang, dilihat dari segi_ sistimatik pencangkokan ini kelihatan janggal.”3? Masalah lain yang memerlukan 23). Lihat Pasal 12, 13 dan 15 sampai dengan 23 Ordonansi Pengangkutan Udara. Angkutan Udara pengaturan segera adalah pengaturan mengenai lembaga jaminan bagi pesa- wat udara, yang sekarang masih di- lakukan tanpa dasar yuridis yang kuat. Dilihat dari tingkatan pengaturan maka peraturan perundang-undangan tentang penerbangan dan angkutan udara dapat dibagi dalam pengaturan dasar dan pengaturan pelaksanaan, sedangkan dari segi materi yang diatur dapat kita mengadakan pembagian an- tara pengaturan yang bersifat publik dan yang bersifat perdata atau dalam pengaturan teknis operasional, peng- aturan ekonomis komersial dan peng- aturan administratif. Seperti halnya dengan bidang lain, seringkali sulit untuk memisahkan secara tajam antara pengaturan yang bersifat publik dan yang bersifat privat, sehingga dalam makalah ini akan dibahas pengelom- pokan dalam pengaturan dasar dan pengaturan yang bersifat teknis opera- sional, ekonomis komersial dan admi- nistratif. Pengaturan Dasar Prinsip-prinsip tentang penyeleng- gafaan penerbangan dan angkutan udara di Indonesia serta masalah-masa- lah yang pokok diatur dalam Undang- Undang Dasar, Ketetapan-ketetapan MPR(S) dan Undang-undang. Prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Dasar dan Ketetapan- ketetapan MPR(S) adalah mengenai pokok-pokok kebijaksanaan ekonomis, keuangan dan pembangunan pada umumnya, sedangkan prinsip-prinsip 24). Lihat Laporan Penelitian Masalah Hipo- tik Pesawat Udara, E. Suherman, BPHN (1977). 211 dan masalah-masalah_pokok tentang penerbangan dan angkutan udara seca- ra konkrit atau hal-hal yang bersang- kutan dengannya dijumpai dalam ber- bagai undang-undang, misalnya Un- dang-undang No. 83 tahun 1958 ten- tang penerbangan, meskipun di dalam- nya belum diatur secara tegas suatu hal yang mendasar, yaitu mengenai wilayah udara Republik Indonesia, Ke- tentuan demikian baru akan kita jumpai dalam Undang-undang tentang penerbangan yang baru, yang cangannya sudah dalam taraf pemba- hasan interdepartemental, dan dalam Undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pertahanan Ke- 25) ran- amanan. Yang mendasar pula adalah peng- aturan mengenai masalah tanggung ja- wab pengangkut udara yang harus diatur tersendiri dalam suatu undang- undang sebagai pengganti dari Lucht- yervoer Ordonnantie tahun 1939. Sehubungan dengan ini perlu dikemu- kakan bahwa pengaturan yang men- dasar kita jumpai pula dalam Konven- si-konvensi internasional mengenai penerbangan dan angkutan udara yang diikuti oleh Indonesia seperti Kon- vensi Chicago tahun 1944 tentang Pe- nerbangan Sipil Internasional, yang menegaskan prinsip bahwa setiap ne- gara mempunyai kedaulatan mutlak dan penuh atas wilayah udaranya.™? Pengaturan Teknis Operasional Pengaturan teknis operasional ada- 25). Untuk pembahasan masalah wilayah uda- ra menurut Undang-undang ini, lihat E. Suherman, Wilayah Udera dan Wilayah Dirgantara, (1984), hal. 2. 26). Pasal 1 Konvensi Chicago tahun 1944. Juni 1985 212 lah pengaturan pelaksanaan mengenai lalu-lintas udara, keselamatan, pener- bangan, alat-alat bantu komunikasi dan navigasi. Pengaturan dilakukan oleh Pemerintah atau Menteri Perhu- bungan atau oleh eselon bawahan- nya, khususnya Direktur Jenderal Per- hubungan Udara. Dengan sendirinya Peraturan Pemerintah atau Surat Ke- putusan Menteri, apalagi_ pengaturan oleh eselon yang lebih rendah, tidak boleh berisikan hal-hal yang berten- tangan dengan ketentuan-ketentuan dalam pengaturan yang lebih tinggi. Suatu contoh dari ketentuan demikian adalah kalau isi suatu keputusan ber- akibat bahwa pesawat udara milik asing dapat didaftarkan di Indonesia, karena menurut Undang-undang No. 83 tahun 1958 tentang penerbangan hanya pesawat udara milik warga ne- gara atau badan hukum Indonesia yang dapat didaftarkan di Indonesia.”” Pengaturan Ekonomis-Komersial Pengaturan masalah ekonomis-ko- mersial adalah pengaturan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan as- pek-aspek ekonomis dan komersial angkutan udara, seperti rute pener- bangan, pertarifan, pemberian kon- sesi untuk melakukan usaha angkutan udara’ dengan memungut bayaran, pengaturan frekuensi penerbangan. Kebijaksanaan yang menyangkut masa- lah ekonomis dan komersial ditetap- kan oleh Pemerintah atau Menteri 27), Pethatikan misalnya Pasal 11 SK. Men- teri Perhubungan No. SK. 13/S/1973 tanggal 18 Januari 1973 yang menentu- kan : "Untuk maksud pendaftaran pe- sawat, pembelian pesawat secara sewa- beli dapat dianggap sebagai pemilikan sah... .. dan seterusnya”, Hukum dan Pembangunan Perhubungan, dengan memperhatikan kebijaksanaan dasar yang ditetapkan dalam pengaturan dasar.”*) Pelaksanaan kebijaksanaan diatur oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Pengaturan Masalah Administratif Dalam arti yang luas semua peng- aturan mengenai perizinan merupakan pengaturan administratif.°? Termasuk pula dalam pengaturan administratif pengaturan mengenai prosedur regis- trasi dan deregistrasi pesawat udara, prosedur pendaftaran dan pencoretan hipotik pesawat udara, prosedur impor pesawat udara dan prosedur licensing awak pesawat. Hukum Pidana Udara Suatu tinjauan mengenai pengatur- an penerbangan dan angkutan udara tidak lengkap kalau kita tidak sing- gung pula mengenai hukum pidana udara, yang mengatur mengenai sanksi- sanksi untuk tindakan-tindakan ter- tentu, yang dinyatakan sebagai tindak pidana udara atau pelanggaran terha- dap ketentuan-ketentuan penerbangan. Sanksi-sanksi hukum untuk pelanggar- an dapat kita jumpai dalam Undang- 28). Vide supra, hal. 11 mengenai monopoli dan kompetisi. TAP MPR(S) No. XXIII tahun 1966 melepaskan etatisme dalam bidang usaha, akan tetapi tanpa ciri-ciri negatif dari liberalisme. Baik monopoli maupun kompetisi atau persaingan bebas tidak dapat dibenarkan. Untuk pembahasan masalah perizinan, lihat E. Suherman, "Masalah Keterpadu- an perizinan (koordinasi, integrasi, sin- Kronisasi) dalam Pengangkutan Udara”’ dalam buku ”Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara”’, (1984), hal. 223. 29). Angkutan Udara undang No. 83 tahun 1958 tentang Penerbangan,? dalam _—_Peraturan Pengawasan Penerbangan (Verordening Toezicht Luchtvaart, Staatsblad 1939 No. 426)*? dan mengenai_tindak pidana udara dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana, yang dengan Undang-undang No. 4 tahun 1976 mendapat tambahan Bab baru, khusus mengenai kejahatan penerbangan.™) Sistimatik Pengaturan Pengaturan pada tingkat Undang- undang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama : Seluruh bidang penerbangan diatur dalam satu Un- dang-undang, baik mengenai segi pu- blik maupun segi privatnya. Dengan cara ini kemungkinan overlap peng- aturan tidak akan ada dan bagi yang memerlukan lebih mudah membaca- nya dan mempelajarinya. Kedua : Di- adakan beberapa undang-undang yang masing-masing mengatur hal-hal. ter- tentu, sedangkan dalam Kitab Undang- undang Hukum Dagang diatur satu aspek perdata, yaitu perjanjian ang- kutan udara. Kalau cara kedua yang ditempuh maka harus dijaga agar tidak terdapat duplikasi pengaturan, dan peraturan perundang-undangan menge- nai penerbangan dan angkutan udara akan terdiri sekurang-kurangnya dari undang-undang dan peraturan peme- rintah sebagai berikut. 1, Undang-undang tentang Penerbang- an. 30). Bab VI tentang "Pengusuran, Penuntut- an dan Hukum Pidana’’, Pasal 17 sam- pai 25, 31). Pasal 147, 148 dan 149. 32). Bab XXIXA, Pasal 479 a sampai dengan 4701, i) w a x 90 » Me ee. E 213 Undang-undang ini berisi ketentu- an-ketentuan dasar mengenai pener- bangan pada umumnya, termasuk ketentuan mengenai wilayah udara. . Undang-undang mengenai Tanggung Jawab Pengangkut. Undang-undang ini akan mengganti- kan Luchtvervoer-ordonantie — ta- hun 1939. . Undang-undang mengenai Hipotik Pesawat Udara. Undang-undang mengenai status hu- kum kapten pesawat. Undang-undang tentang Tanggung jawab untuk kerugian yang ditim- bulkan pada Pihak Ketiga diper- mukaan bumi. . Undang-undang tentang Karantina Udara. Undang-undang ini sudah ada, yaitu Undang-undang No. 2 tahun 1962, dengan kemungkinan bahwa un- dang-undang ini harus diperbarui. Kitab Undang-undang Hukum Da- gang, yang didalamnya terdapat suatu Bab mengenai perjanjian ang- kutan udara. Kitab Undang-undang Hukum Da- gang, yang didalamnya terdapat suatu Bab tentang asuransi pener- bangan. Kitab Undang-undang Hukum Pi- dana, yang didalamnya_ terdapat Bab mengenai Kejahatan Pener- bangan. tentang keselamatan pener- bangan, yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang ten- tang Penerbangan, dan menggan- tikan Luchtverkeersverrordening (Staatsblad tahun 1936 No. 425) dan Verordening Toezicht Lucht- vaart (Staatblad 1936 No. 426). PP. tentang Pelabuhan Udara. Juni 1985 214 12. PP. tentang Pemeriksaan Sebab- sebab Kecelakaan Pesawat Udara. 13. P.P. tentang Pengangkutan barang berbahaya. 14. PP. tentang Pertarifan. 15. PP. tentang Rute-rute penerbangan komersial. 16. P.P. tentang Keamanan Penerbang- an. Ada kemungkinan bahwa dalam peraturan perundangan lain terdapat ketentuan-ketentuan lain yang berhu- bungan dengan bidang penerbangan dan angkutan udara dan dengan sen- dirinya harus mendapat perhatian pula. Dua contoh dapat dikemukakan, pertama ketentuan Pasal 467, 470 dan 493 K.U. Hukum Perdata bahwa seorang dianggap sudah meninggal kalau ia meninggalkan tempat tanpa memberi kabar berita selama 5 sampai 10 tahun. Dengan K.B. (Koninklijk Besluit) No. 344 tahun 1926 jangka waktu tersebut dipersingkat menjadi Hukum dan Pembangunan 1 tahun bagi awak atau penumpang pesawat udara. Contoh kedua adalah ketentuan hukum acara perdata seba- gaimana terdapat dalam "Reglement op de Rechtsvordering”, Buku 3, Bab 3, Bagian 7 tentang “Sita atas pesawat Udara”, (Pasal 763 h sampai 763 k). Ketentuan-ketentuan ini harus masuk pula dalam Hukum Acara Per- data yang disusun untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang lama. Penutup Bidang penerbangan dan angkutan udara mempunyai' bermacam aspek dan kaitan dengan bidang lain, sehing- ga pengaturannya pun harus memper- hatikan semua aspek dan kaitan terse- but. sehingga keseluruhan pengaturan- nya merupakan suatu kesatuan yang sistimatis, integral, up-to-date dan hanteerbaar,

You might also like