Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Pneumothorax is an emergency case that needs immediate management.
Assessment of lung diseases and causes of pneumothorax is important to manage
interdisciplinary therapy and improve the overall quality of management. Primary
spontaneous pneumothorax (PSP) arise in patients without clinically apparent
lung disease, no obvious precipitating factor, otherwise healthy people. Smoking
remains the main risk factor of PSP. The exact pathogenesis of the spontaneous
occurrence of bullae rupture as the cause of air leakage still unknown. The
management of PSP continues to be a source of debate. There are three
international guidelines based on specialist opinion vary in their recommendations
on treatment of PSP, British Thoracic Society (BTS), American College of Chest
Physicians (ACPP) dan Belgian Society of Pulmonology (BSP). While they agree
on the management of small asymptomatic PSP (observation and outpatient
review) and clinically unstable PSP (intercostal drain insertion and admission),
they differ on the management of symptomatic small PSP and clinically stable
large PSP. Some study, systematically reviewed all published randomised control
trials comparing aspiration to intercostal drain insertion, concluded that there was
no difference in the immediate success rate, early failure rate, or one-year success
rate between the two interventions. However, aspiration resulted in a lower
number of patients requiring admission, and decreased the duration of hospital
stay. Until a large randomised control trial is performed, and provides a
conclusive evidence base for the most appropriate management of spontaneous
pneumothorax, confusion will remain over first-line treatment.
1
2
PENDAHULUAN
Istilah Pneumotoraks pertama kali diperkenalkan oleh Laënnec pada tahun 1819
dan pada tahun 1932 dikategorikan sebagai primer dan sekunder oleh Kjӕrgaard
menurut latar belakang penyakit yang mendasari. Pneumotoraks spontan
dikatakan primer jika tidak terdapat latar belakang penyakit paru yang mendasari
ataupun trauma, kecelakaan dan dapat terjadi pada individu yang sehat.
Pneumotoraks Spontan Primer (PSP) biasanya disebabkan oleh ruptur dari bleb
atau bula pleura.1,2,3,4 PSP tetap menjadi masalah global yang signifikan walaupun
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang realtif rendah dan biasanya
menyerang usia muda, individu yang sehat dan dilaporkan insiden PSP terjadi
pada 18-28/100.000 pertahun pada pria dan 1,2-6/100.000 per tahun pada wanita.
PSP biasanya terjadi pada laki-laki usia muda, postur tubuh tinggi dan astenik
dengan rentang usia 15-34 tahun dan jarang terjadi pada usia 40 tahun ke atas.
Merokok meningkatkan resiko PSP sebesar 1-12%.5,6
Manajemen PSP terdiri dari observasi, aspirasi, drainase, tube
thoracostomy, video-assisted thoracoscopy suergery (VATS) dan torakotomi.
Tujuan utama dari terapi PSP episode pertama adalah menghilangkan udara
intrapleural sehingga terjadi re-ekspansi paru dan mencegah kekambuhan
terjadinya PSP kembali.10 Terdapat beberapa panduan internasional dalam
penanganan PSP yaitu British Thoracic Society (BTS), American College of Chest
Physicians (ACPP) dan Belgian Society of Pulmonology (BSP). Namun terdapat
beberapa perbedaan prinsip dalam pengukuran besarnya penumotoraks dan terapi
pada tiga panduan ini.2 Pada pasien dengan gejala yang berat, ketiga panduan ini
sepakat menyatakan bahwa tindakan evakuasi udara sangat diperlukan. Namun
pada pasien dengan gejala yang ringan, penanganan dilakukan berdasarkan ukuran
penumotoraks yang dibagi menjadi kecil dan besar, dimana ketiga panduan ini
memiliki metode yang berbeda dalam menentukan ukuran pneumotoraks. Ketiga
panduan ini setuju bahwa pada pneumotoraks ukuran kecil tanpa adanya gejala
hanya diperlukan tindakan observasi, namun terdapat perbedaan dalam menangani
3
pneumotoraks ukuran kecil yang memiliki gejala. 5,8,9,10 Tinjauan pustaka ini
bertujuan untuk mengetahui manajemen tatalaksana PSP berdasarkan panduan
yang ada dan membandingkan beberapa panduan manajemen dari segi efektifitas
dan keberhasilannya.
DEFINISI
Pneumotoraks adalah suatu kondisi di mana terdapat udara di dalam rongga
pleura. Pneumotoraks dapat terjadi bila terdapat hubungan antara alveolus atau
ruang udara intrapulmonar lainnya dengan rongga pleura. 11 Berdasarkan klinis,
pneumotoraks dapat dibagi menjadi pneumotoraks spontan, pneumotoraks
traumatik, dan pneumotoraks iatrogenik.12
Pneumotoraks spontan adalah pneumotoraks yang terjadi secara spontan
tanpa didahului oleh kecelakaan atau trauma. Pneumotoraks spontan dibagi
menjadi primer dan sekunder berdasarkan ada tidaknya penyakit penyebab yang
mendasari. Pneumotoraks spontan dikatakan primer jika tidak terdapat latar
belakang penyakit paru yang mendasari ataupun trauma, kecelakaan dan terjadi
pada individu yang sehat. Dan dikatakan sekunder jika terdapat latar belakang
penyakit yang mendasari terjadinya pneumotoraks tersebut.1,5,10
EPIDEMIOLOGI
Pneumotoraks spontan baik primer maupun sekunder tetap merupakan masalah
kesehatan yang signifikan di dunia dengan kejadian yang sangat bervariasi di
beberapa negara. Di Amerika Serikat insiden PSP adalah 7,4/100.000 per tahun
pada pria dan 1,2/100.000 per tahun pada wanita, dengan rasio perbandingan pada
pria dan wanita adalah 3,2:1.13 Di Sweden, insiden PSP adalah 18-28 per 100.000
pada pria dan 1,2-6 per 100.000 pada wanita. 13 Pada penelitian retrospektif yang
dilakukan di Jepang dari tahun 2004-2014, persentase kasus terbesar adalah PSP
yaitu 64,5% dari seluruh kejadian pneumotoraks spontan dengan kejadian
tersering pada usia muda yaitu sekitar 27 tahun dan rasio perbandingan pada pria
dan wanita adalah 1,9:1.14 Pada penelitian kohort retrospektif di RSCM Jakarta
dari tahun 2000-2011, persentase kasus PSP menempati urutan kedua setelah
pneumotoraks spontan sekunder (PSS) yaitu 26 kasus (25%) dari seluruh kasus
4
PATOGENESIS
Penumotoraks adalah suatu kondisi di mana terdapat udara dalam rongga pleura.
Pneumotoraks dapat terjadi bila terdapat hubungan antara alveolus atau ruang
udara intrapulmonar lainnya dengan rongga pleura. Udara akan mengalir masuk
ke rongga pleura sampai tidak ada lagi perbedaan tekanan antara intrapulmonal
dengan rongga pleura, atau bila penghubung ruang intrapulmonal dan rongga
pleura tertutup.17,18
Sampai saat ini patogenesis terjadinya PSP masih belum jelas. Beberapa
peneliti mengatakan PSP terjadi akibat ruptur blep atau bula, namun beberapa
studi juga menjelaskan bahwa PSP terjadi sebagai akibat inflamasi sekunder yang
mengakibatkan “pleural porosity”. PSP terjadi akibat rupturnya blep atau bula
emfisematous subpleura, yang biasanya berlokasi di daerah apeks paru lobus
superior atau inferior. Blep dapat ditemukan pada 90% pasien PSP yang menjalani
torakoskopi.5,17 Patogenesis blep subpleura dan pencetus terjadinya ruptur alveoli
masih belum diketahui secara pasti. Blep terbentuk dari suatu alveoli yang pecah
melalui jaringan interstisial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang
kemudian terkumpul dalam bentuk kista, sedangkan bula merupakan ruang
patologis berdinding tipis yang berisi udara dengan diameter lebih dari 2 cm dan
5
terletak di parenkim paru akibat dari alveoli yang pecah. Blep dapat timbul akibat
abnormalitas kongenital dan inflamasi bronkeoli. 17,19,20,21,22
Gambar 1. Lokasi blep atau bula biasanya terjadi pada apeks paru.21
Terdapat hubungan yang kuat antara merokok dengan terjadinya PSP. Pada
penelitian yang dilakukan pada pasien PSP yang perokok dan mantan perokok,
didapatkan angka kejadian PSP berhubungan dengan ketingkatan keparahan
merokok. Pada laki-laki, resiko relatif terhadap penumotoraks adalah tujuh kali
lebih tinggi pada perokok ringan (1-2 batang rokok perhari), 21 kali lebih tinggi
pada perokok sedang (13-22 batang rokok per hari), dan 102 kali lebih tinggi pada
perokok berat (> 22 batang rokok per hari), bila dibandingkan dengan bukan
perokok. Kelainan saluran napas kecil yang diinduksi oleh rokok dapat
menyebabkan timbulnya blep subpleura.5,17,19
Pada pasien PSP, hampir 81% ditemukan emphysematous-like effect
(ELC). ELC yang ditemukan berupa bleb atau bula. Dari CT scan didapatkan ELC
sering ditemukan bilateral dengan lokasi predominan di segmen apikal dari lobus
superior dan inferior. ELC bilateral ditemukan sebanyak 79% sampai 93% pada
pasien yang menjalani sternotomi, namun sampai saat ini mekanisme
terbentuknya ELC masih belum pasti, kemungkinan terjadi akibat degradasi
jaringan elastik paru. Kerusakan paru terjadi sangat lambat dan progresif.
Neutrofil, makrofag, dan sel inflamasi lainnya akan masuk ke paru oleh pengaruh
asap rokok. Sel inflamasi dan sel epitel akan menghasilkan protease yang akan
mendegradasi komponen jaringan penunjang parenkim paru, termasuk elastin
6
apeks paru sehingga alveoli di apeks paru pada individu yang lebih tinggi
didapatkan lebih besar. Ini mengapa postur tubuh menjadi salah satu faktor
predisposisi terjadinya bleb subpleura di apeks.5
PENATALAKSANAAN
Pneumotoraks merupakan kasus emergensi yang harus mendapat penanganan
cepat. Tujuan utama dari terapi PSP episode pertama adalah menghilangkan udara
intrapleural sehingga terjadi re-ekspansi paru dan mencegah kekambuham
terjadinya PSP kembali. Tingkat kekambuhan pada PSP lebih dari 20% dari
eposod pertama.10 Manajemen PSP terdiri dari observasi, aspirasi, drainase, tube
thoracostomy, video-assisted thoracoscopy surgery (VATS) dan torakotomi.
Terdapat beberapa panduan internasional dalam penanganan PSP namun ada
beberapa perbedaan prinsip dalam pengukuran besarnya penumotoraks dan terapi
pada tiga panduan ini.2 Adanya perubahan pada beberapa tahun terakhir dalam
manajemen PSP terutama dalam penggunaan tube drainage torakostomi dan
manajemen konservatif. Data penelitian yang langka berdasarkan studi yang
berkualitas tinggi dalam terapi PSP membuat manajemen PSP masih dalam
perdebatan di beberapa negara. Beberapa wilayah internasional mengadopsi
metode yang berbeda dalam melakukan estimasi pengukuran besar pneumotoraks
dan mengakibatkan perbedaan asumsi volume PSP sehingga pengambilan
keputusan manajemen juga berbeda berdasarkan perbedaan klasifikasi ukuran
yang dibuat.2,23
Panduan internasional dalam penanganan PSP yaitu British Thoracic
Society (BTS) yang juga diadopsi di negara Australia, American College of Chest
Physicians (ACPP) dan Belgian Society of Pulmonology (BSP). Ketiga panduan
10
nyeri dan lama rawat di rumah sakit.8 Tindakan pembedahan dilakukan jika
terdapat indikasi seperti yang dijelaskan pada tabel 2.
mengakibatkan laporan outome yang berbeda pula dan tidak dapat dievaluasi. 1,2
Shariar dkk membandingkan 3 studi yang dilakukan oleh peneliti untuk
membandingkan tindakan apsirasi dan tube torakostomi. Pada studi ini tidak
ditemukan perbedaan outcome antara kedua tindakan ini. Namun didapatkan
bahwa tindakan aspirasi memiliki lama rawat lebih dan tingkat nyeri rendah
daripada tindakan tube torakostomi. Studi ini menyarankan untuk melakukan
tindakan aspirasi dengan alasan tingkat keamanan tindakan lebih baik dan
memiliki efektivitas yang sama dengan tube torakostomi.27
Kelly dkk melakukan evaluasi ulang dalam kurun waktu 15 tahun sejak
panduan tersebut dipublikasikan dari tahun 1993-2007. Didapatkan variasi tingkat
keberhasilan pada tiap manajemen yaitu observasi, aspirasi, kateter interkosta
(ICC) dan pemasangan small bore. Tindakan aspirasi memiliki tingkat
keberhasilan lebih rendah yaitu sekitar 50-83% jika dibandingkan ICC sekitar 66-
97%. Namun aspirasi memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dari tindakan
intervensi lainnya. Tindakan ICC dan small bore memiliki kesamaan dalam hal
outcome, namun tingkat keberhasilan small bore pada beberapa penelitian
menunjukan persentase lebih tinggi yaitu sekitar 74-100% dengan tingkat
kegagalan sekitar 4,5%.28
Studi retrospektif yang dilakukan di London antara bulan Februari 2013
sampai Desember 2014, didapatkan perbedaan defintif ukuran pneumotoraks
besar dan kecil menurut data rontgen dada. Dari 72 pasien terdapat 34%
perbedaan definitif ukuran kecil dan besar yang mempengaruhi keputusan untuk
dilakukan konservatif atau tindakan intervensi. Pada studi ini didapatkan bahwa
16
keputusan aspirasi lebih banyak dilakukan menurut panduan BTS karena prosdeur
ini dianggap lebih aman dan mudah. Pada pasien dengan tindakan NA, lama rawat
dan tingkat nyeri berkurang dibanding tindakan drainase interkosta yang
disarankan panduan ACPP (100 : 52%) dan tidak terdapat perbedaan pada tingkat
rekuransi. Namun pada pneumotoraks yang terdapat di apeks paru, pengukuran
yang disarankan oleh BTS tidak merepresentasikan ukuran sehingga definisi besar
dan kecil seringkali salah, sehingga studi ini menyarankan pengukuran menurut
panduan ACPP lebih disarankan pada PSP yang terletak di apeks.29
SIMPULAN
Pneumotoraks pontan primer merupakan salah satu kegawatan penyakit paru yang
harus mendapat pertolongan segera. Tujuan utama terapi PSP adalah evakuasi
udara dari rongga pleura dan mencegah kekambuhan. Manajemen PSP terdiri dari
observasi, aspirasi, drainase, tube thoracostomy, video-assisted thoracoscopy
suergery (VATS) dan torakotomi yang dilakukan berdasarkan gejala klinis dan
klasifikasi pengukuran besar PSP menurut pemeriksaan rontgen dada. Perbedaan
antar panduan internasional dalam melakukan pengukuran PSP mengakibatkan
alur manajemen pada beberapa negara juga berbeda sehingga tidak terdapat
kesamaan dalam penanganan PSP secara internasional dan terbatasnya laporan
keberhasilan ataupun kegagalan untuk studi lebih lanjut. Pengambilan keputusan
terapi pada PSP oleh klinisi harus berdasarkan klinis pasien dan
mempertimbangkan keamanan serta efektivitas suastu tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tschopp JM, Bintcliffe O, Astoul P, Canalis E, Driesen P, Janssen J, Krasnik
M, Maskell N, Van Schil P, Tonia T, Waller DA. ERS task force statement:
diagnosis and treatment of primary spontaneous pneumothorax. European
respiratory journal. 2015;46(2):321-35.
2. Kelly AM, Druda D. Comparison of size classification of primary spontaneous
pneumothorax by three international guidelines: a case for international
consensus?. Respiratory medicine. 2008;102(12):1830-2.
17
3. Abdala OA, Levy RR, Bibiloni RH, Viso HD, De MS, Satler VH. Advantages
of video assisted thoracic surgery in the treatment of spontaneous
pneumothorax. Medicina. 2011;61(2):157-60.
4. Chen JS, Hsu HH, Chen RJ, Kuo SW, Huang PM, Tsai PR, Lee JM, Lee YC.
Additional minocycline pleurodesis after thoracoscopic surgery for primary
spontaneous pneumothorax. American journal of respiratory and critical care
medicine. 2006;173(5):548-54.
5. Henry M, Arnold T, Harvey J. BTS guidelines for the management of
spontaneous pneumothorax. Thorax. 2003;58(Suppl 2):ii39.
6. Crescent F, Edinburgh E. Primary spontaneous pneumothorax: why all the
confusion over first-line treatment?. JR Coll Physicians Edinb. 2007;37:335-8.
7. Ayed AK, Chandrasekaran C, Sukumar M. Aspiration versus tube drainage in
primary spontaneous pneumothorax: a randomised study. European
Respiratory Journal. 2006;27(3):477-82.
8. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax:
British Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax.
2010;65(Suppl 2):ii18-31.
9. Leyn PD, Lismonde M, Ninane V, Noppen M, Slabbynck H, Meerhaeghe AV,
Schil PV, Vermassen F. Belgian Society of Pneumology. Guidelines on the
management of spontaneous pneumothorax. Acta chirurgica Belgica.
2005;105(3):265-7.
10. Baumann MH, Strange C, Heffner JE, Light R, Kirby TJ, Klein J, Luketich
JD, Panacek EA, Sahn SA. Management of spontaneous pneumothorax: an
American College of Chest Physicians Delphi consensus statement. Chest.
2001;119(2):590-602.
11. Sharma A, Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic
pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and Shock. 2008;1(1):34.
12. Noppen M, Baumann MH. Pathogenesis and treatment of primary
spontaneous pneumothorax: an overview. Respiration. 2008;70(4):431-8.
18
13. De Andrés JJ, López MF, López-Rodó LM, Trullén AP, Lanzas JT. Guidelines
for the diagnosis and treatment of spontaneous pneumothorax. Archivos de
Bronconeumología. 2008;44(8):437-48.
14. Onuki T, Ueda S, Yamaoka M, Sekiya Y, Yamada H, Kawakami N, Araki Y,
Wakai Y, Saito K, Inagaki M, Matsumiya N. Primary and secondary
spontaneous pneumothorax: prevalence, clinical features, and in-hospital
mortality. Canadian respiratory journal. 2017;2017.
15. Pwidjaya D, Amin Z, Suprayitno, Afifi R, Shatri H. Karakteristik dan faktor-
faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien penumotoraks di rumah sakit
cipto mangunkusumo. Ina J Chest Crit and Emerg Med. Jakarta.
2014;1(3):113-9
16. Nugroho APA. Pengelolaan penderita pneumotoraks spontan yang dirawat
inap di rumah sakit di semarang selama periode 2000-2006 [tesis]. Semarang.
Universitas Diponegoro; 2007.
17. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks. Dalam: Sudoyo aW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2006. h. 1640-50
18. Isselbacher. Harisson pulmonary and critical care. New York.2009;17:219-20
19. Mason RJ, Courtney B, Thomas RM,. Murray & Nadel’s textbook of
respiratory medicine. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2010;1:1764-70
20. Shields TW, Joseph LC, Reed CE. General Thoracic Surgery. William and
Wilkins company. USA. 2012;1:738-41
21. Lyra RD. Etiology of primary spontaneous pneumothorax. Journal Brasileiro
de Pneumologia. 2016;42(3):222-6.
22. Noppen M. Spontaneous pneumothorax: epidemiology, pathophysiology and
cause. European Respiratory Review. 2010;19(117):217-9.
23. Al-Qudah A. Treatment options of spontaneous pneumothorax. Indian Journal
Of Chest Diseases And Allied Sciences. 2006;48(3):191.
24. Kelly AM. Treatment of primary spontaneous pneumothorax. Current opinion
in pulmonary medicine. 2009;15(4):376-9.
19