You are on page 1of 20

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Manajemen Pneumotoraks Spontan Primer


Nirmala Dewi Abigail1, Ida Bagus Ngurah Rai2
1
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
2
Departemen/KSM Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
Korespondensi: Nirmala Dewi Abigail / No. Hp 08213444348/ Email:
abigailmanik@yahoo.com

ABSTRACT
Pneumothorax is an emergency case that needs immediate management.
Assessment of lung diseases and causes of pneumothorax is important to manage
interdisciplinary therapy and improve the overall quality of management. Primary
spontaneous pneumothorax (PSP) arise in patients without clinically apparent
lung disease, no obvious precipitating factor, otherwise healthy people. Smoking
remains the main risk factor of PSP. The exact pathogenesis of the spontaneous
occurrence of bullae rupture as the cause of air leakage still unknown. The
management of PSP continues to be a source of debate. There are three
international guidelines based on specialist opinion vary in their recommendations
on treatment of PSP, British Thoracic Society (BTS), American College of Chest
Physicians (ACPP) dan Belgian Society of Pulmonology (BSP). While they agree
on the management of small asymptomatic PSP (observation and outpatient
review) and clinically unstable PSP (intercostal drain insertion and admission),
they differ on the management of symptomatic small PSP and clinically stable
large PSP. Some study, systematically reviewed all published randomised control
trials comparing aspiration to intercostal drain insertion, concluded that there was
no difference in the immediate success rate, early failure rate, or one-year success
rate between the two interventions. However, aspiration resulted in a lower
number of patients requiring admission, and decreased the duration of hospital
stay. Until a large randomised control trial is performed, and provides a
conclusive evidence base for the most appropriate management of spontaneous
pneumothorax, confusion will remain over first-line treatment.

1
2

Keywords: Pneumothorax, Guidelines, , Respiratory, Pleural disease, Emergency


case

PENDAHULUAN
Istilah Pneumotoraks pertama kali diperkenalkan oleh Laënnec pada tahun 1819
dan pada tahun 1932 dikategorikan sebagai primer dan sekunder oleh Kjӕrgaard
menurut latar belakang penyakit yang mendasari. Pneumotoraks spontan
dikatakan primer jika tidak terdapat latar belakang penyakit paru yang mendasari
ataupun trauma, kecelakaan dan dapat terjadi pada individu yang sehat.
Pneumotoraks Spontan Primer (PSP) biasanya disebabkan oleh ruptur dari bleb
atau bula pleura.1,2,3,4 PSP tetap menjadi masalah global yang signifikan walaupun
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang realtif rendah dan biasanya
menyerang usia muda, individu yang sehat dan dilaporkan insiden PSP terjadi
pada 18-28/100.000 pertahun pada pria dan 1,2-6/100.000 per tahun pada wanita.
PSP biasanya terjadi pada laki-laki usia muda, postur tubuh tinggi dan astenik
dengan rentang usia 15-34 tahun dan jarang terjadi pada usia 40 tahun ke atas.
Merokok meningkatkan resiko PSP sebesar 1-12%.5,6
Manajemen PSP terdiri dari observasi, aspirasi, drainase, tube
thoracostomy, video-assisted thoracoscopy suergery (VATS) dan torakotomi.
Tujuan utama dari terapi PSP episode pertama adalah menghilangkan udara
intrapleural sehingga terjadi re-ekspansi paru dan mencegah kekambuhan
terjadinya PSP kembali.10 Terdapat beberapa panduan internasional dalam
penanganan PSP yaitu British Thoracic Society (BTS), American College of Chest
Physicians (ACPP) dan Belgian Society of Pulmonology (BSP). Namun terdapat
beberapa perbedaan prinsip dalam pengukuran besarnya penumotoraks dan terapi
pada tiga panduan ini.2 Pada pasien dengan gejala yang berat, ketiga panduan ini
sepakat menyatakan bahwa tindakan evakuasi udara sangat diperlukan. Namun
pada pasien dengan gejala yang ringan, penanganan dilakukan berdasarkan ukuran
penumotoraks yang dibagi menjadi kecil dan besar, dimana ketiga panduan ini
memiliki metode yang berbeda dalam menentukan ukuran pneumotoraks. Ketiga
panduan ini setuju bahwa pada pneumotoraks ukuran kecil tanpa adanya gejala
hanya diperlukan tindakan observasi, namun terdapat perbedaan dalam menangani
3

pneumotoraks ukuran kecil yang memiliki gejala. 5,8,9,10 Tinjauan pustaka ini
bertujuan untuk mengetahui manajemen tatalaksana PSP berdasarkan panduan
yang ada dan membandingkan beberapa panduan manajemen dari segi efektifitas
dan keberhasilannya.

DEFINISI
Pneumotoraks adalah suatu kondisi di mana terdapat udara di dalam rongga
pleura. Pneumotoraks dapat terjadi bila terdapat hubungan antara alveolus atau
ruang udara intrapulmonar lainnya dengan rongga pleura. 11 Berdasarkan klinis,
pneumotoraks dapat dibagi menjadi pneumotoraks spontan, pneumotoraks
traumatik, dan pneumotoraks iatrogenik.12
Pneumotoraks spontan adalah pneumotoraks yang terjadi secara spontan
tanpa didahului oleh kecelakaan atau trauma. Pneumotoraks spontan dibagi
menjadi primer dan sekunder berdasarkan ada tidaknya penyakit penyebab yang
mendasari. Pneumotoraks spontan dikatakan primer jika tidak terdapat latar
belakang penyakit paru yang mendasari ataupun trauma, kecelakaan dan terjadi
pada individu yang sehat. Dan dikatakan sekunder jika terdapat latar belakang
penyakit yang mendasari terjadinya pneumotoraks tersebut.1,5,10

EPIDEMIOLOGI
Pneumotoraks spontan baik primer maupun sekunder tetap merupakan masalah
kesehatan yang signifikan di dunia dengan kejadian yang sangat bervariasi di
beberapa negara. Di Amerika Serikat insiden PSP adalah 7,4/100.000 per tahun
pada pria dan 1,2/100.000 per tahun pada wanita, dengan rasio perbandingan pada
pria dan wanita adalah 3,2:1.13 Di Sweden, insiden PSP adalah 18-28 per 100.000
pada pria dan 1,2-6 per 100.000 pada wanita. 13 Pada penelitian retrospektif yang
dilakukan di Jepang dari tahun 2004-2014, persentase kasus terbesar adalah PSP
yaitu 64,5% dari seluruh kejadian pneumotoraks spontan dengan kejadian
tersering pada usia muda yaitu sekitar 27 tahun dan rasio perbandingan pada pria
dan wanita adalah 1,9:1.14 Pada penelitian kohort retrospektif di RSCM Jakarta
dari tahun 2000-2011, persentase kasus PSP menempati urutan kedua setelah
pneumotoraks spontan sekunder (PSS) yaitu 26 kasus (25%) dari seluruh kasus
4

Pneumotoraks yang dirawat inap.15 Di Semarang, distribusi penderita PSP


terbanyak terlihat pada rentang usia 21-30 tahun dengan perbandingan pada pria
dan wanita sekitar 3,3:1.16
ETIOLOGI
Penyebab pasti PSP sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti tetapi terdapat
beberapa faktor resiko yaitu jenis kelamin, merokok, blep subpleural, bula dan
tinggi badan. Merokok merupakan faktor resiko utama terjadinya PSP. Pada
perokok, kemungkinan untuk terjadinya PSP sekitar 12% dibandingkan non-
perokok yang hanya sekitar 0,1%.5 Laki-laki dengan postur tubuh tinggi dan
astenik merupakan faktor resiko yang khas pada PSP. 17 Bleb subpleural dan bula
apikal ditemukan pada 90% kasus PSP pada saat dilakukan Computerized
Tomography Scan (CT-Scan).5

PATOGENESIS
Penumotoraks adalah suatu kondisi di mana terdapat udara dalam rongga pleura.
Pneumotoraks dapat terjadi bila terdapat hubungan antara alveolus atau ruang
udara intrapulmonar lainnya dengan rongga pleura. Udara akan mengalir masuk
ke rongga pleura sampai tidak ada lagi perbedaan tekanan antara intrapulmonal
dengan rongga pleura, atau bila penghubung ruang intrapulmonal dan rongga
pleura tertutup.17,18
Sampai saat ini patogenesis terjadinya PSP masih belum jelas. Beberapa
peneliti mengatakan PSP terjadi akibat ruptur blep atau bula, namun beberapa
studi juga menjelaskan bahwa PSP terjadi sebagai akibat inflamasi sekunder yang
mengakibatkan “pleural porosity”. PSP terjadi akibat rupturnya blep atau bula
emfisematous subpleura, yang biasanya berlokasi di daerah apeks paru lobus
superior atau inferior. Blep dapat ditemukan pada 90% pasien PSP yang menjalani
torakoskopi.5,17 Patogenesis blep subpleura dan pencetus terjadinya ruptur alveoli
masih belum diketahui secara pasti. Blep terbentuk dari suatu alveoli yang pecah
melalui jaringan interstisial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang
kemudian terkumpul dalam bentuk kista, sedangkan bula merupakan ruang
patologis berdinding tipis yang berisi udara dengan diameter lebih dari 2 cm dan
5

terletak di parenkim paru akibat dari alveoli yang pecah. Blep dapat timbul akibat
abnormalitas kongenital dan inflamasi bronkeoli. 17,19,20,21,22

Gambar 1. Lokasi blep atau bula biasanya terjadi pada apeks paru.21
Terdapat hubungan yang kuat antara merokok dengan terjadinya PSP. Pada
penelitian yang dilakukan pada pasien PSP yang perokok dan mantan perokok,
didapatkan angka kejadian PSP berhubungan dengan ketingkatan keparahan
merokok. Pada laki-laki, resiko relatif terhadap penumotoraks adalah tujuh kali
lebih tinggi pada perokok ringan (1-2 batang rokok perhari), 21 kali lebih tinggi
pada perokok sedang (13-22 batang rokok per hari), dan 102 kali lebih tinggi pada
perokok berat (> 22 batang rokok per hari), bila dibandingkan dengan bukan
perokok. Kelainan saluran napas kecil yang diinduksi oleh rokok dapat
menyebabkan timbulnya blep subpleura.5,17,19
Pada pasien PSP, hampir 81% ditemukan emphysematous-like effect
(ELC). ELC yang ditemukan berupa bleb atau bula. Dari CT scan didapatkan ELC
sering ditemukan bilateral dengan lokasi predominan di segmen apikal dari lobus
superior dan inferior. ELC bilateral ditemukan sebanyak 79% sampai 93% pada
pasien yang menjalani sternotomi, namun sampai saat ini mekanisme
terbentuknya ELC masih belum pasti, kemungkinan terjadi akibat degradasi
jaringan elastik paru. Kerusakan paru terjadi sangat lambat dan progresif.
Neutrofil, makrofag, dan sel inflamasi lainnya akan masuk ke paru oleh pengaruh
asap rokok. Sel inflamasi dan sel epitel akan menghasilkan protease yang akan
mendegradasi komponen jaringan penunjang parenkim paru, termasuk elastin
6

yang merupakan jaringan penunjang utama di paru. Hal tersebut akan


mengakibatkan bronkiol dan alveoli kehilangan elastisitasnya. Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa terdapat perbedaan tekanan alveolar di bagian apeks paru
dibanding dengan daerah basal paru. Pada daerah tersebut, alveoli yang telah
kehilangan elastisitasnya tidak mampu lagi menahan tekanan tinggi. Tekanan
tinggi tersebut akan dialirkan ke bronkiolus. Karena bronkiolus juga kehilangan
elastisitasnya dan tidak cukup elastik lagi untuk menahan tekanan tersebut, alveoli
akan ruptur. Pada daerah alveoli yang ruptur tersebut, udara akan masuk ke
subpleura dan mengakibatkan terjadinya kumpulan udara di subpleura (blep).
Pecahnya blep akan menimbulkan aliran udara masuk ke rongga pleura dan timbul
pneumotoraks.19,20,21,22

Gambar 2. Mekanisme terjadinya blep akibat rokok.2


Sebuah studi terbaru yang dilakukan pada pasien PSP dengan
menggunakan fluoresen inhalasi, ditemukan aliran udara ke pleura berasal dari
lebih satu kebocoran, sehingga menimbulkan “pleura porosity”, dimana
kebocoran udara berasal dari lubang multiple pada pleura viseralis. Ini diakibatkan
karena kerusakan sel mesotelial yang difus dan digantikan oleh lapisan sel
inflamasi yang mengakibatkan peningkatan “elastofibrosis process” sehingga
diameter pori-pori meningkat 10-20 mm yang mengakibatkan kebocoran pleura
secara difus.1,19,22
Pada individu dengan postur tubuh yang tinggi didapatkan kejadian PSP
lebih besar. Gradien tekanan negatif pada pleura meningkat dari basal paru ke
7

apeks paru sehingga alveoli di apeks paru pada individu yang lebih tinggi
didapatkan lebih besar. Ini mengapa postur tubuh menjadi salah satu faktor
predisposisi terjadinya bleb subpleura di apeks.5

DIAGNOSIS PNEUMOTORAKS SPONTAN PRIMER


Diagnosis klinis PSP berdasarkan gejala klinis, riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Umumnya gejala
klinis PSP relatif lebih ringan bahkan seringkali tidak tampak adanya gejala
dibandingkan pneumotoraks spontan sekunder. Pasien biasanya datang dengan
nyeri pleuritik dengan atau tanpa keluhan sesak dan pada beberapa kasus
didapatkan nyeri pada bahu. Oleh karena gejala klinis seringkali minimal dan
tidak mengganggu, kebanyakan pasien datang beberapa hari setelah onset awal
gejala muncul. Menurut studi yang dilakukan di Amerika, 46% keluhan yang
berat seperti sianosis, takipnu berat, takikardi dan hipotensi biasanya
mengindikasikan gejala tension penumotoraks.1, 5, 9, 17, 23
Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan atau tidak adanya suara
napas, ekspansi dada ipsilateral menurun dan pada perkusi didapatkan
hiperresonansi. Gangguan hemodinamik dan hipoksia berat jarang ditemukan
pada PSP. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan adalah analisa gas
darah (AGD). Pada PSP biasanya didapatkan tekanan O 2 yang turun namun tidak
mempengaruhi saturasi oksigen. Kondisi hipoksemia jarang ditemukan.1,5
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan standar dan rutin yang
dilakukan dalam mendiagnosa PSP, menentukan ukuran pneumotoraks dan dalam
melakukan penatalaksanaan PSP. Terdapat beberapa jenis pemeriksaan radiologi
yang menjadi pilihan dalam melakukan diagnosa PSP yang dijelaskan dalam tabel
1.5
Tabel 1. Pemeriksaan penunjang pencitraan dalam diagnosa PSP
5
1. Foto rontgen thoraks proyeksi posterior-anterior (PA)
2. Foto rontgen thoraks proyeksi lateral
3. Foto rontgen dengan posisi supine dan lateral dekubitus
4. Ultrasound scanning
5. CT- Scan
8

Pemeriksaan rontgen dada dengan proyeksi PA merupakan pemeriksaan


standar yang harus dilakukan dalam melakukan diagnosa awal PSP. Pada rontgen
thoraks PA didapatkan perpindahan letak dari garis pleura dan tidak tampaknya
jaringan paru (avaskuler) antara tepi pleura dan dinding dada.1

Gambar 3. Gambaran rontgen paru PSP.2


Pemeriksaan thoraks proyeksi lateral dilakukan apabila hasil pemeriksaan
rontgen thoraks diragukan adanya PSP namun pemeriksan ini tidak lagi rutin
dilakukan. Rontgen paru dengan posisi supine dan lateral dekubitus dikerjakan
pada pasien trauma yang tidak diperbolehkan mobilisasi. Pemeriksaan dengan
posisi ini kurang sensitif dibandingkan posisi PA dan sebaiknya dilanjutkan
dengan pemeriksaan ultrasound dan CT-Scan untuk menentukan diagnosa pasti.5,6
Pemeriksaan ultrasound merupakan pemeriksaan yang sensitif dalam
mengevaluasi penyakit pada saluran pernapasan, dan merupakan pemeriksaan
yang rutin dikerjakan pada penumothoraks yang disebabkan oleh trauma maupun
oleh penyakit kritis. Namun saat ini ultrasound tidak menjadi pemeriksaan rutin
yang dikerjakan pada evaluasi PSP.1,5,18 Pemeriksaan CT-Scan merupakan baku
emas dalam diagnosa PSP ukuran kecil dan memeperkirakan ukuran namun tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal dalam menentukan diagnosa.1,5,9 CT-
Scan juga direkomendasikan untuk melihat adanya emfisema dan bula.9,17
9

Gambar 4. Pemerikssaan CT-Scan ditemukan bula pada apeks paru kanan.21

PENATALAKSANAAN
Pneumotoraks merupakan kasus emergensi yang harus mendapat penanganan
cepat. Tujuan utama dari terapi PSP episode pertama adalah menghilangkan udara
intrapleural sehingga terjadi re-ekspansi paru dan mencegah kekambuham
terjadinya PSP kembali. Tingkat kekambuhan pada PSP lebih dari 20% dari
eposod pertama.10 Manajemen PSP terdiri dari observasi, aspirasi, drainase, tube
thoracostomy, video-assisted thoracoscopy surgery (VATS) dan torakotomi.
Terdapat beberapa panduan internasional dalam penanganan PSP namun ada
beberapa perbedaan prinsip dalam pengukuran besarnya penumotoraks dan terapi
pada tiga panduan ini.2 Adanya perubahan pada beberapa tahun terakhir dalam
manajemen PSP terutama dalam penggunaan tube drainage torakostomi dan
manajemen konservatif. Data penelitian yang langka berdasarkan studi yang
berkualitas tinggi dalam terapi PSP membuat manajemen PSP masih dalam
perdebatan di beberapa negara. Beberapa wilayah internasional mengadopsi
metode yang berbeda dalam melakukan estimasi pengukuran besar pneumotoraks
dan mengakibatkan perbedaan asumsi volume PSP sehingga pengambilan
keputusan manajemen juga berbeda berdasarkan perbedaan klasifikasi ukuran
yang dibuat.2,23
Panduan internasional dalam penanganan PSP yaitu British Thoracic
Society (BTS) yang juga diadopsi di negara Australia, American College of Chest
Physicians (ACPP) dan Belgian Society of Pulmonology (BSP). Ketiga panduan
10

ini memiliki prinsip yang berbeda dalam melakukan pengukuran besarnya


penumotoraks dan manajemen yang juga berbeda berdasarkan ukuran tersebut. 2,23
Ketiga panduan tersebut menyarankan pada pneumotoraks ukuran kecil tanpa
adanya gejala hanya diperlukan tindakan observasi namun keputusan untuk
dirawat di rumah sakit hanya disarankan pada panduan ACPP dan BSP, sedangkan
BTS tidak.2,5 Pada pasien dengan gejala berat, ketiga panduan tersebut melakukan
pengukuran untuk estimasi voulume PSP yang akan diklasifikasikan menjadi
besar dan kecil untuk selanjutnya berpengaruh terhadap keputusan terapi. 2 Dalam
hal ini terdapat perbedaan yang signifikan dalam manajemen PSP, sehingga
beberapa studi membandingkan tingkat keberhasilan antar panduan tersebut.

Panduan British Thoracic Society (BTS)


Menurut panduan BTS, gejala klinis pasien menjadi pertimbangan penting dalam
menentukan terapi dibandingkan ukuran pneumotoraks. Pemeriksaan thoraks PA
merupakan pemeriksaan standar yang harus dilakukan dalam menentukan
diagnosa awal dan dilakukan untuk mengukur besarnya ukuran pneumotoraks
dengan mengukur jarak antara interpleural.8
Panduan ini membagi ukuran pneumotoraks menjadi kecil dan besar.
Dikatakan ukuran besar jika jarak yang terlihat lebih dari 2 cm antara tepi paru
dan dinding dada setingkat hilum. Ukuran 2 cm dipakai sebagai patokan karena
dianggap mendekati 50% volume pneumotoraks dan juga dianggap sebagai
tingkat kedalaman yang aman dalam melakukan aspirasi jarum untuk terhindar
dari trauma jarum itu sendiri. Jika dibandingkan dengan panduan ACPP, yaitu
pengukuran dilakukan dari apeks ke kupola maka pengukuran ini kurang memberi
gambaran volume pada pneumotoraks dan hanya menginterpretasikan
pneumotoraks yang terjadi pada apeks saja.8
11

Gambar 5. Pengukuran pneumotoraks berdasarkan panduan BTS (b) dan


berdasarkan panduan ACPP (a).8
Terapi PSP berdasarkan panduan BTS selalu berdasarakan gejala klinis
yang dialami oleh pasien. Pasien dengan gejala pernapasan seperti sesak harus
dilakukan tindakan evakuasi udara dari rongga pleura tanpa melihat ukuran
penumotoraks itu sendiri. Ukuran pneumotoraks merupakan indikasi relatif dalam
melakukan tindakan intervensi dan menentukan tingkat kecepatan resolusi.
Kecepatan resolusi PSP terjadi sekitar 1.25% sampai 2,2% dari volume total
setiap 24 jam. Sehingga diperkirakan resolusi komplit terjadi dalam 6 minggu
secara spontan. Observasi di Rumah Sakit dilakukan pada pasien tanpa gejala baik
pada ukuran kecil maupun besar dan diijinkan pulang jika selama pengawasan
tidak terdapat progresifitas penyakit serta harus dilakukan edukasi yang benar
mengenai kapan pasien harus kembali ke Rumah Sakit.8
Aspirasi jarum menjadi pilihan tindakan intervensi pada pasien dengan
gejala pernapasan. Menurut panduan ini, aspirasi jarum (14-16 G) memiliki
efektifitas yang sama dengan chest drain ukuran besar (>20 F) dan menurunkan
waktu perawatan di Rumah Sakit karena minimalnya tindakan yang dilakukan.
Pada beberapa studi acak yang dilakukan di Kuwaiti dan India, didapatkan
kesamaan tingkat keberhasilan pada tindakan aspirasi jarum maupun chest drain
dan dikatakan terjadi penurunan waktu rawat pada tindakan aspirasi jarum. 25, 26

Sedangkan pada beberapa studi meta analisa didapatkan bahwa keberhasilan


tindakan aspirasi jarum sekitar 30-80%.6 Jika dengan tindakan aspirasi jarum tidak
terjadi perubahan, maka panduan ini menyarankan untuk dilakukan pemasangan
chest drain ukuran kecil dibandingkan dengan ukuran besar untuk mengurangi
12

nyeri dan lama rawat di rumah sakit.8 Tindakan pembedahan dilakukan jika
terdapat indikasi seperti yang dijelaskan pada tabel 2.

Gambar 6. Alur manajemen pneumotoraks spontan menurut panduan BTS.8


Tindakan pembedahan dilakukan dengan teknik Video-assisted
thoracoscopic surgery (VATS) atau torakotomi untuk mencegah kekambuhan dan
juga memperbaiki kebocoran persisten pada pleura. Tindakan ini memiliki dua
tujuan utama yaitu, melakukan reseksi pada bula atau bleb di pleura viseral atau
memperbaiki kebocoran (porositi) pleura serta membentuk simfisis antar
permukaan pleura sehingga dapat mencegah kekambuhan.8
Tabel 2. Indikasi tindakan pembedahan
8
Pneumotoraks ipsilateral pada episode kedua
Pneumotoraks spontan yang terjadi bilateral
Kebocoran udara tetap terjadi pada hari ke 5-7 setelah pemasangan chest drain
atau gagal terjadi re-ekspansi paru
13

Terjadi hemothoraks spontan


Pekerjaan tertentu (pilot, pengemudi)
Kehamilan
Panduan American College of Chest Physicians (ACPP)
Manajemen PS menurut panduan ACPP memliki perbedaan dari panduan BTS
dalam hal pengukuran besar pneumotoraks maupun tindakan intervensi yang
dilakukan. Pengukuran besar pneumotoraks berdasarkan panduan ini dilakukan
dengan menghitung jarak antara apeks paru yang kolaps ke kupola. Dikatakan
besar jika ukuran tersebut ≥ 3 cm dan kecil bila dengan ukuran < 3 cm.10
Pada pasien dengan pneumotoraks ukuran kecil dan gejala yang stabil sperti
frekuensi napas < 24 kali per menit, frekuensi nadi 60-120 kali per menit, tekanan
darah normal, saturasi oksigen tanpa menggunakan selang oksigen >90% dan
pasien dapat berbicara 1 kalimat utuh, maka pasien hanya dilakukan observasi di
ruang gawat darurat selama 3-6 jam dan diperbolehkan pulang dengan dilakukan
foto rontgen ulangan tanpa terjadinya progresi pneumotoraks. Pasien harus
diberikan edukasi untuk kembali setelah 12 jam sampai 2 hari untuk dilakukan
evaluasi ulang. Tindakan seperti aspirasi jarum maupun chest drain tidak
dilakukan pada kondisi ini.10
Pada pasien dengan ukuran pneumotoraks yang besar tanpa gejala, harus
segera dilakukan tindakan untuk evakuasi udara dan harus dirawat inap. Tindakan
yang dilakukan berupa pernasangan kateter ukuran kecil (≤ 14F) sampai terjadi
ekspansi paru dan kebocoran udara terselesaikan. Jika paru gagal ekspansi, maka
dapat dilakukan suction setelah dilakkukan water seal drainage (WSD). Pasien
harus dievaluasi selama 2 hari dengan target tidak adanya gejala setelah 24 jam
dilakukan tindakan. 10
Pada pasien dengan pneumotoraks ukuran besar dan gejala yang tidak stabil,
makan pasien harus rawat inap dan dilakukkan pemasangan kateter untuk re-
ekspansi paru dengan menggunakan selang kateter 16-22F atau 24F, tergantung
dari beratnya gejala. Jika terjadi kebocoran yang persisten, observasi kembali
dilanjutkan 4 hari sampai terjadi remisi spontan, namun jika kebocoran tetap
terjadi lebih dari 4 hari, makan dilakukan evaluasi melalui pembedahan untuk
14

menutup kebocoran tersebut dengan melakukan prosedur plurodesis yang juga


bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Jika terdapat kontraindikasi pembedahan,
pasien dilakukan plurodesis kimiawi dengan menggunakan doksisiklin maupun
talk. Pada pasien yang terlihat bula atau bleb, maka dilakukan tindakan bulektomi
dengan cara staple bullectomy. 10

Panduan Belgian Society of Pulmonology (BSP)


Manajemen PSP menurut panduan BSP dilakukan berdasarkan ukuran
pneumtoraks yang didapat dari rontgen toraks PA dan gejala klinis pasien. Ukuran
pneumotoraks dibagi menjadi kecil dan besar. Ukuran penumotoraks dikatakan
besar jika terdapat jarak interplural pada seluruh lapangan paru yang terkena.9
Pada pasien dengan PSP ukuran kecil dan tanpa gejala, tindakan obeservasi
tanpa intervensi dilakukan dan evaluasi kembali dalam 24 jam dengan foto
rontgen ulang. Pada pasien dengan PSP ukurann besar dengan atau tanpa gejala,
dialkukan terapi inisial dengan melakukan aspirasi maupun pemasangan WSD
dengan kateter ukuran kecil. Jika pada aspirasi terjadi kegagalan re-ekspansi dan
kebocoran tetap terjadi, dilakukan pemasangan tube ukuran kecil (16F). Suction
dengan tekanan rendah dilakukan jika pada 2 hari setelang pemasangan tube tetap
terjadi kebocoran dan paru gagal re-ekspansi. Pada kasus dimana kebocoran tetap
terjadi dalam 4-7 hari, tindakan invasif seperti plurodesis kimiawi dilakukan
melakukan chest tube.9

PERBANDINGAN PANDUAN MANAJEMEN PSP


Terdapat beberapa perbedaan prinsip dalam tiga panduan internasional yang
sampai saat ini masih dalam perdebatan. Perbedaan tersebut berupa definisi
ukuran pneumotoraks (kecil dan besar) dan penggunaan tube drainage. Pada
penelitian kohort yang dilakukan di Australia dalam kurun waktu 1995-2005,
terdapat perbedaan yang signifikan dalam definisi ukuran besar pada tiga panduan
ini berdasarkan pengukuran menggunakan foto rontgen. Ukuran besar menurut
definisi BTS hanya terdapat pada 5 pasien, sedangkan menurut ACPP dan BSP
sebanyak 24 dan 23 pasien.2 Perbedaan definisi ini mengakibakan alur manajemen
PSP berdasarkan ukuran tersebut pada beberapa negara berbeda yang
15

mengakibatkan laporan outome yang berbeda pula dan tidak dapat dievaluasi. 1,2
Shariar dkk membandingkan 3 studi yang dilakukan oleh peneliti untuk
membandingkan tindakan apsirasi dan tube torakostomi. Pada studi ini tidak
ditemukan perbedaan outcome antara kedua tindakan ini. Namun didapatkan
bahwa tindakan aspirasi memiliki lama rawat lebih dan tingkat nyeri rendah
daripada tindakan tube torakostomi. Studi ini menyarankan untuk melakukan
tindakan aspirasi dengan alasan tingkat keamanan tindakan lebih baik dan
memiliki efektivitas yang sama dengan tube torakostomi.27

Tabel 4. Perbandingan definisi PSP besar2

Panduan Definisi PSP besar Manajemen


BTS Terdapat jarak > 2cm antara paru dan Aspirasi
dinding dada
ACPP Jarak interpleura > 3 cm Drainase kateter
interkostal
BSP Terdapat jarak pleura pada seluruh paru Aspirasi atau drainase
yang terkena kateter ukuran kecil

Kelly dkk melakukan evaluasi ulang dalam kurun waktu 15 tahun sejak
panduan tersebut dipublikasikan dari tahun 1993-2007. Didapatkan variasi tingkat
keberhasilan pada tiap manajemen yaitu observasi, aspirasi, kateter interkosta
(ICC) dan pemasangan small bore. Tindakan aspirasi memiliki tingkat
keberhasilan lebih rendah yaitu sekitar 50-83% jika dibandingkan ICC sekitar 66-
97%. Namun aspirasi memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dari tindakan
intervensi lainnya. Tindakan ICC dan small bore memiliki kesamaan dalam hal
outcome, namun tingkat keberhasilan small bore pada beberapa penelitian
menunjukan persentase lebih tinggi yaitu sekitar 74-100% dengan tingkat
kegagalan sekitar 4,5%.28
Studi retrospektif yang dilakukan di London antara bulan Februari 2013
sampai Desember 2014, didapatkan perbedaan defintif ukuran pneumotoraks
besar dan kecil menurut data rontgen dada. Dari 72 pasien terdapat 34%
perbedaan definitif ukuran kecil dan besar yang mempengaruhi keputusan untuk
dilakukan konservatif atau tindakan intervensi. Pada studi ini didapatkan bahwa
16

keputusan aspirasi lebih banyak dilakukan menurut panduan BTS karena prosdeur
ini dianggap lebih aman dan mudah. Pada pasien dengan tindakan NA, lama rawat
dan tingkat nyeri berkurang dibanding tindakan drainase interkosta yang
disarankan panduan ACPP (100 : 52%) dan tidak terdapat perbedaan pada tingkat
rekuransi. Namun pada pneumotoraks yang terdapat di apeks paru, pengukuran
yang disarankan oleh BTS tidak merepresentasikan ukuran sehingga definisi besar
dan kecil seringkali salah, sehingga studi ini menyarankan pengukuran menurut
panduan ACPP lebih disarankan pada PSP yang terletak di apeks.29

SIMPULAN
Pneumotoraks pontan primer merupakan salah satu kegawatan penyakit paru yang
harus mendapat pertolongan segera. Tujuan utama terapi PSP adalah evakuasi
udara dari rongga pleura dan mencegah kekambuhan. Manajemen PSP terdiri dari
observasi, aspirasi, drainase, tube thoracostomy, video-assisted thoracoscopy
suergery (VATS) dan torakotomi yang dilakukan berdasarkan gejala klinis dan
klasifikasi pengukuran besar PSP menurut pemeriksaan rontgen dada. Perbedaan
antar panduan internasional dalam melakukan pengukuran PSP mengakibatkan
alur manajemen pada beberapa negara juga berbeda sehingga tidak terdapat
kesamaan dalam penanganan PSP secara internasional dan terbatasnya laporan
keberhasilan ataupun kegagalan untuk studi lebih lanjut. Pengambilan keputusan
terapi pada PSP oleh klinisi harus berdasarkan klinis pasien dan
mempertimbangkan keamanan serta efektivitas suastu tindakan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tschopp JM, Bintcliffe O, Astoul P, Canalis E, Driesen P, Janssen J, Krasnik
M, Maskell N, Van Schil P, Tonia T, Waller DA. ERS task force statement:
diagnosis and treatment of primary spontaneous pneumothorax. European
respiratory journal. 2015;46(2):321-35.
2. Kelly AM, Druda D. Comparison of size classification of primary spontaneous
pneumothorax by three international guidelines: a case for international
consensus?. Respiratory medicine. 2008;102(12):1830-2.
17

3. Abdala OA, Levy RR, Bibiloni RH, Viso HD, De MS, Satler VH. Advantages
of video assisted thoracic surgery in the treatment of spontaneous
pneumothorax. Medicina. 2011;61(2):157-60.
4. Chen JS, Hsu HH, Chen RJ, Kuo SW, Huang PM, Tsai PR, Lee JM, Lee YC.
Additional minocycline pleurodesis after thoracoscopic surgery for primary
spontaneous pneumothorax. American journal of respiratory and critical care
medicine. 2006;173(5):548-54.
5. Henry M, Arnold T, Harvey J. BTS guidelines for the management of
spontaneous pneumothorax. Thorax. 2003;58(Suppl 2):ii39.
6. Crescent F, Edinburgh E. Primary spontaneous pneumothorax: why all the
confusion over first-line treatment?. JR Coll Physicians Edinb. 2007;37:335-8.
7. Ayed AK, Chandrasekaran C, Sukumar M. Aspiration versus tube drainage in
primary spontaneous pneumothorax: a randomised study. European
Respiratory Journal. 2006;27(3):477-82.
8. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax:
British Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax.
2010;65(Suppl 2):ii18-31.
9. Leyn PD, Lismonde M, Ninane V, Noppen M, Slabbynck H, Meerhaeghe AV,
Schil PV, Vermassen F. Belgian Society of Pneumology. Guidelines on the
management of spontaneous pneumothorax. Acta chirurgica Belgica.
2005;105(3):265-7.
10. Baumann MH, Strange C, Heffner JE, Light R, Kirby TJ, Klein J, Luketich
JD, Panacek EA, Sahn SA. Management of spontaneous pneumothorax: an
American College of Chest Physicians Delphi consensus statement. Chest.
2001;119(2):590-602.
11. Sharma A, Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic
pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and Shock. 2008;1(1):34.
12. Noppen M, Baumann MH. Pathogenesis and treatment of primary
spontaneous pneumothorax: an overview. Respiration. 2008;70(4):431-8.
18

13. De Andrés JJ, López MF, López-Rodó LM, Trullén AP, Lanzas JT. Guidelines
for the diagnosis and treatment of spontaneous pneumothorax. Archivos de
Bronconeumología. 2008;44(8):437-48.
14. Onuki T, Ueda S, Yamaoka M, Sekiya Y, Yamada H, Kawakami N, Araki Y,
Wakai Y, Saito K, Inagaki M, Matsumiya N. Primary and secondary
spontaneous pneumothorax: prevalence, clinical features, and in-hospital
mortality. Canadian respiratory journal. 2017;2017.
15. Pwidjaya D, Amin Z, Suprayitno, Afifi R, Shatri H. Karakteristik dan faktor-
faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien penumotoraks di rumah sakit
cipto mangunkusumo. Ina J Chest Crit and Emerg Med. Jakarta.
2014;1(3):113-9
16. Nugroho APA. Pengelolaan penderita pneumotoraks spontan yang dirawat
inap di rumah sakit di semarang selama periode 2000-2006 [tesis]. Semarang.
Universitas Diponegoro; 2007.
17. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks. Dalam: Sudoyo aW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2006. h. 1640-50
18. Isselbacher. Harisson pulmonary and critical care. New York.2009;17:219-20
19. Mason RJ, Courtney B, Thomas RM,. Murray & Nadel’s textbook of
respiratory medicine. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2010;1:1764-70
20. Shields TW, Joseph LC, Reed CE. General Thoracic Surgery. William and
Wilkins company. USA. 2012;1:738-41
21. Lyra RD. Etiology of primary spontaneous pneumothorax. Journal Brasileiro
de Pneumologia. 2016;42(3):222-6.
22. Noppen M. Spontaneous pneumothorax: epidemiology, pathophysiology and
cause. European Respiratory Review. 2010;19(117):217-9.
23. Al-Qudah A. Treatment options of spontaneous pneumothorax. Indian Journal
Of Chest Diseases And Allied Sciences. 2006;48(3):191.
24. Kelly AM. Treatment of primary spontaneous pneumothorax. Current opinion
in pulmonary medicine. 2009;15(4):376-9.
19

25. Ayed AK, Chandrasekaran C, Sukumar M. Aspiration versus tube drainage in


primary spontaneous pneumothorax: a randomised study. Eur Respir
J.2006;27:477-82
26. Chan SSW, Lam PKW. Simple aspiration as initial treatment for primary
spontaneous pneumothorax. J Energ Med.2005;28:133-8.
27. Zehtabchi S, Rios CL. Management of emergency department patients with
primary spontaneous pneumothorax: needle aspiration or tube thoracostomy?.
Annals of emergency medicine. 2008;51(1):91-100.
28. Kelly AM. Review of management of primary spontaneous pneumothorax: is
the best evidence clearer 15 years on?. Emergency Medicine Australasia.
2007;19(4):303-8.
29. Yoon J, Sivakumar P, O’Kane K, Ahmed L. A need to reconsider guidelines on
management of primary spontaneous pneumothorax?. International journal of
emergency medicine. 2017;10(1):9.
1

You might also like