You are on page 1of 11

JARIMAH QADZAF

MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM


DAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Sehatus Salamah
Jurusan Hukum Keluarga Islam (Akhwal Syakhsiyah)
Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon
Email: ssehatus@gmail.com

Abstract
In this life, every man desires dignity, his honor awakens. Like the soul, the honor
and reputation of every human being must also be protected, free from the act of pollution
against it. Islamic law as rahmatan lil 'alamin, in principle has guarded and guaranteed
the honor of every human being. Also requires to keep the honor of his brothers. Such as
sanctioning for someone who accused others of committing adultery without being able to
show evidence that has been prescribed in Islamic law. Similarly, positive law, particularly
in the Criminal Code Article 310, paragraph 1 publicly threatened with imprisonment and
fines for anyone who intentionally accusing someone else to do something. However, in the
article is not clearly about the crime of adultery charges (jarimah qadzaf), in the article
only mentions "accusing others of doing something". The article is more related to the
criminal act of pollution against a person's good name and honor. This research uses
qualitative research. The approach used is the approach of literature review (library
research). After collecting the data is continued analysis. The results of this study explain
that in Islamic criminal law, qadzaf finger punishment is clearly listed in the QS. An-Nur
verses 4-5 that the punishment in the form of flagellation as much as eighty (80) and
punishment in the form of ta'zir namely that his testimony will not be accepted. The proof
for qadzaf finger is by presenting witness, acknowledgment and oath. While the criminal
law in Indonesia, jarimah qadzaf included into several classifications, namely, jarimah
qadzaf as the crime of defamation, jarimah qadzaf including the crime of insult which is
based on Article 310 of the Criminal Code, jarimah qadzaf including the crime of slander
which is based on Article 311 Criminal Code, qadzaf finger including criminal complaints
based on article 313 of the Criminal Code.

Keywords: Jarimah qadzaf, Islamic criminal law, criminal law of Indonesia

Abstrak
Dalam hidup ini, setiap manusia menghendaki martabat, kehormatannya terjaga.
Seperti halnya jiwa, kehormatan dan nama baik setiap manusia juga harus dilindungi, bebas
dari tindakan pencemaran terhadapnya. Hukum Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pada
prinsipnya telah menjaga dan menjamin akan kehormatan tiap manusia. Juga
mengharuskan untuk menjaga kehormatan saudara-saudaranya. Seperti memberi sanksi
bagi seseorang yang menuduh orang lain melakukan zina tanpa dapat menunjukkan bukti
yang telah ditentukan dalam hukum Islam. Begitu pula hukum positif, khususnya dalam
KUHP Pasal 310 ayat 1 secara terang mengancam dengan pidana penjara dan denda bagi
seseorang yang dengan sengaja menuduh orang lain melakukan sesuatu hal. Namun, dalam
pasal tersebut tidak tercantum secara jelas mengenai tindak pidana tuduhan zina (jarimah
qadzaf), di pasal tersebut hanya menyebutkan “menuduh orang lain melakukan sesuatu
hal”. Pasal tersebut lebih terkait pada tindak pidana pencemaran terhadap nama baik dan
kehormatan seseorang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kajian pustaka (library research). Setelah
terkumpul data-data tersebut dilanjutkan analisis. Hasil dari penelitian ini menjelaskan
bahwa dalam hukum pidana Islam, jarimah qadzaf hukumannya sudah tercantum jelas di
dalam QS. An-Nur ayat 4-5 yang hukumannya berupa dera sebanyak delapan puluh kali
(80) dan hukuman yg berupa ta’zir yaitu kesaksiannya tidak akan diterima. Pembuktian
untuk jarimah qadzaf yaitu dengan menghadirkan saksi, pengakuan dan sumpah.
Sedangkan dalam hukum pidana di Indonesia, jarimah qadzaf termasuk ke dalam beberapa
klasifikasi, yaitu, jarimah qadzaf sebagai tindak pidana pencemaran nama baik, jarimah
qadzaf termasuk tindak pidana penghinaan, jarimah qadzaf termasuk tindak pidana
memfitnah, jarimah qadzaf termasuk tindak pidana aduan.

Kata kunci: Jarimah Qadzaf, Hukum Pidana Islam, Hukum Pidana Indonesia

PENDAHULUAN
Syari’at Islam diturunkan untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Setiap
perilaku yang merendahkan harkat dan martabat manusia, baik secara pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat tentu dilarang oleh Allah SWT.1 Dalam hukum Islam dijumpai
istilah jinayah, yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan
bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegent).2 Di sini Islam sangat berperan
penting dalam mengatur tatanan hidup manusia dan memberikan batasan-batasan pergaulan
antara lawan jenis agar tidak terlalu jauh keluar dari jalur yang telah digariskan. Salah satu
aturan yang akan selalu menjaga hubungan antara lawan jenis adalah an-nikah. Perbuatan
zina yang haram hukumnya, dapat tercegah bahkan terhapus melalui pernikahan yang sah.
Islam memandang zina adalah perbuatan yang keji, dan memiliki konsekuensi
hukum yang berat, yaitu hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan, dan dera seratus kali
bagi zina ghairu muhsan. Islam tidak hanya melarang dan melaknat bagi hambanya yang
melakukan perzinahan, akan tetapi menuduh wanita baik-baik melakukan perzinahan
merupakan perbuatan yang amat keji dan terlaknat. Dalam hukum Islam perbuatan ini
dinamakan “qadzaf”. Istilah qadzaf dalam hukum Islam adalah tuduhan terhadap seseorang
bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan zina.3

1
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 60
2
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm.
2
3
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet. ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 53
Dalam hukum Islam, perbuatan seperti ini masuk kategori tindak pidana hudud yang
diancam dengan hukuman berat, yaitu 80 kali dera. Hukuman bagi yang menuduh zina tapi
tidak terbukti (qadzaf) didasarkan pada ayat,4
  
   
  
   
    
 
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksiannya
mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”(QS.
An-Nur: 4)
Dengan kata lain, sesuai dengan ayat di atas menyatakan bahwa Islam menutup
pintu rapat-rapat terhadap orang-orang yang mencari-cari jalan untuk membuat malu orang
lain yang baik-baik serta memperberat hukuman bagi penuduh (berbuat zina) sehingga
hukumannya hampir sama berat dengan hukuman (had) zina itu sendiri, yaitu delapan
puluh kali dera dengan tambahan tidak akan diterima kesaksiannya buat selama-lamanya
dan diberi predikat sebagai orang yang fasik.
Tuduhan berbuat zina kepada seseorang dalam kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) belum tercantum secara jelas, akan tetapi dalam pasal 310 ayat 1 kitab undang-
undang hukum pidana (KUHP) menjelaskan tentang pencemaran nama baik. Adapun bunyi
pasal itu lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan itu atau nama baik seseorang dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan
tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-
lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-”5

Dari uraian tersebut Penulis merumuskan permasalah tersebut di atas adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana jarimah qadzaf menurut hukum pidana Islam ?
2. Bagaimana jarimah qadzaf menurut hukum pidana di Indonesia?
3. Bagaimana proses penyelesaian tindak pidana qadzaf menurut hukum pidana Islam
dan hukum pidana di Indonesia ?

LITERATUR REVIEW
Penelitian terkait tentang tuduhan zina yang ditemukan diantaranya adalah karya
saudara Arifin dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang
skripsinya berjudul “Pencemaran Nama Baik Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum

4
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Cet. ke-1, (Jakarta: Gema Insane Press, 2003),
hlm. 25
5
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, (Bogor: Polites, 1995)hlm. 225
Pidana Indonesia”.6 Di dalamnya diuraikanpengertian pencemaran nama baik, asas-asas,
unsur, kriteria serta sanksi untuk yang melakukan pencemaran nama baik yang ditunjau
dari hukum pidana Islam dan hukum pidana di Indonesia. Dalam penelitiannya hanya
menjelaskan secara rinci tentang pengaturan pencemaran nama baik, serta menjelaskan
secara umum terkait tentang tindak pidana.
Karya saudari Nurul Afifah yang skripsinya berjudul “Qadzaf Menurut Hukum Islam
dan KHI”.7Di dalam penelitiannya hanya membahas tentang bagaimana pengertian qadzaf,
kesaksian serta prinsip qadzaf menurut hukum islamdan bagaimana qadzaf menurut KHI
yang dimana tuduhan tersebut diperuntukan bagi yang berstatus suami istri yang suami
tersebut menuduh istrinya berbuat zina atau yang biasa disebut dengan li’an. Dan akibat
hukumnya suami isteri tersebut adalah putusnya perkawinan mereka untuk selama-
lamanya. Dalam hal ini hanya menjelaskan tentang qadzaf menurut hukum Islam dan
qadzaf menurut KHI.
Karya saudara A. Vebriyanti Rasyid tentang“Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak
Pidana Terhadap Pencemaran Nama Baik Melalui Tulisan”.8 Didalamnya membahas
tentang pengertian tindak pidana, jenis-jenis pidana, teori pemidanaan, serta pengertian,
bentuk, unsur-unsur, dan penerapan hukum tindak pidana pencemaran nama baik melalui
tulisan. Diuraikan disana bahwa ukuran suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai
pencemaran nama baik orang lain masih belum jelas karena banyak factor yang harus
dikaji. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan yang hendak dilindungi adalah
kewajiban setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama
baiknya dimata orang lain. Dalam penelitian ini berfokus pada penerapan hukum
pencemaran nama baik melalui tulisan, dan tidak membahas tentang tuduhan zina.

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian yang
sumber datanya diperoleh dari beberapa buku karya-karya tulis yang relevan dengan pokok
permasalahan yang diteliti9. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu suatu penulisan
yang dilakukan untuk mengeneralisasikan dan mengidentifikasi secara kritis yaitu dengan
menemukan fakta pengertian serta permasalahan dengan diikuti oleh analisa yang
memadai10. Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penelitian ini masalah
pendekatan kajian pustaka (library research). Nama lain dari penelitian hukum normative

6
Arifin, Pencemaran Nama Baik Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia,
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009)
7
Nurul Afifah, Qadzaf Menurut Hukum Islam Dan KHI, Jurnal Hukum, vol. 12, STAIN Jurai Siwo
Metro, pdf
8
A. Vebriyanti Rasyid, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Terhadap Pencemaran Nama
Baik Melalui Tulisan, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar (2014)
9
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian-Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,(Jakarta: Rineka
Cipto, 1991), hlm.11
10
Koncaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Cet. ke-7, (Jakarta : Gramedia 1985), hlm. 19
adalah penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya
pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.11
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini, maka
teknik pengumpulan dilakukan melalui pencarian terhadap berbagai literatur yang berkaitan
dengan objek pembahasan ini. Data-data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan
data sekunder. Adapun sumber primer penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan
sumber sekunder meliputi buku-buku, jurnal, pendapat ataupun pernyataan ahli hukum
yang mendukung, terkait dalam pembahasan skripsi ini.

Setelah pengumpulan data-data yang diperlukan, selanjutnya dilakukan analisis


secara sistematis terhadap pandangan-pandangan, pernyataan-pernyataan yang tertuang
dalam data-data tersebut kaitannya dengan obyek penelitian skripsi ini. Kemudian
dilakukan komparasi untuk memperoleh gambaran mengenai ketentuan-ketentuan antara
hukum Islam dan hukum pidana di Indonesia terkait masalah jarimah qadzaf.

LANDASAN TEORI
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam
hukuman had atau ta’zir.12Jarimah bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Akan tetapi, ada
sedikit perbedaan pengertian jarimah atau tindak pidana menurut hukum positif dalam
kaitan masalah hukuman ta’zir. Menurut hukum Islam hukuman ta’zir adalah hukuman
yang tidak tercantum nash atau ketentuannya dalam al-qur’an dan as-sunnah, dengan
ketentuan yang pasti dan terperinci. Sedangkan menurut hukum positif, hukuman itu harus
tercantum dalam undang-undang.
Sedangkan qadzaf, asal makna qadzaf adalah arramyu (melempar), umpamanya
melempar dengan batu atau dengan yang lain. Firman Allah SWT dalam surat QS. Thaha’
39 yaitu:
   
   
   
     
   
 
Artinya: Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai
(Nil), Maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun)
musuh-Ku dan musuhnya. dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang
yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS.
Thaha’: 39)13

11
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Cet. ke-2, (Bandung: Alfabeta, 2014),
hlm. 51
12
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hlm. 9
13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press), hlm. 605
Akan tetapi kata arramyu bisa juga berarti kinayah, seperti yang terdapat dalam surah
an-Nur ayat 4, yang berbunyi:
   
   
   
    
   
    
    
 
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali
orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 4-
5)14

Jadi, kata arramyu selain berarti melempar, juga berarti menuduh. Maka dengan
demikian kata arramyu mempunyai arti sama dengan qadzaf. Kemudian, yang dimaksud
qadzaf zina adalah menuduh zina.
Menurut hukum Islam, ada dua jenis qadzaf, yaitu hukuman pokok, yaitu dera. Dan
hukuman tambahan, yaitu tidak diterima kesaksiannya. Qadzaf yang pelakunya wajib
dijatuhi hukuman hudud adalah menuduh orang baik-baik (muhsan) berzina atau menafikan
nasabnya. Qadzaf yang pelakunya harus dijatuhi hukuman ta’zir adalah menuduh orang
muhsan atau bukan muhsan dengan selain zina dan menafikan nasabnya. Mencaci dan
mengumpat hukumnya sama dengan qadzaf dan pelakunya harus dijatuhi hukuman ta’zir.15
Hukuman dera (atas tindak pidana qadzaf) berjumlah delapan puluh (80) kali dera.
Hukuman tersebut tidak bisa diganti atau dikurangi. Penguasa tidak mempunyai hak untuk
mengampuni hukuman tersebut. Beda halnya dengan tertuduh (korban qadzaf). Menurut
sebagian ulama, ia mempunyai hak untuk mengampuni, sedangkan yang lain menyatakan
bahwa ia tidak berhak mengampuni.
Persoalan ini bertitik tolak kepada penempatan hak qadzaf itu sendiri, apakah hak
qadzaf itu termasuk hak Allah SWT atau hak pribadi, atau hak Allah SWT sekaligus hak
pribadi, tetapi yang lebih dominan hak Allah SWT, atau sebaliknya, hak ini adalah hak
Allah SWT sekaligus hak pribadi, tetapi yang dominan adalah hak pribadi. Ulama fiqih
sepakat menyatakan bahwa dalam tindak pidana qadzaf tergabung hak Allah SWT dan hak
pribadi.16

14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya… hlm. 684
15
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad‘Iy, Cetakan
Pertama, (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), hlm. 17
16
A. Rahman Ritonga dkk., Ensiklopedi Hukum Islam… hlm. 1457
Para ulama sepakat bahwa disamping dijatuhi hukuman hudud (dera), kesaksian
pelaku tidak akan diterima. Allah SWT berfirman,
    …
 …  
Artinya: “... dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya... ” (QS.
An-Nur: 4)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai gugur atau tidaknya kesaksian pelaku qadzaf
jika ia bertobat. Imam abu hanifah berpendapat bahwa kesaksian pelaku tetap gugur (tidak
dapat diterima) meskipun ia sudah bertobat. Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin
Hanbal berpendapat bahwa kesaksian pelaku qadzaf dapat diterima jika ia sudah bertobat.
Tuduhan adalah kata benda yang berarti perbuatan menuduh. Sedang kata menuduh
itu sendiri, menurut purwadarminta ialah: “menunjuk dan mengatakan bahwa berbuat yang
kurang baik”. Selain itu menuduh juga dapat berarti mendakwa. Dan kata mendakwa
mempunyai arti: “menyangka bahwa melakukan perbuatan yang melanggar hukum”.
Jadi menuduh adalah melakukan perbuatan menuduh dengan menunjuk dan
mengatakan kepada seseorang bahwa ia melakukan perbuatan yang kurang baik atau
perbuatan yang melanggar hukum. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tidak ada kata yang langsung menunjuk kepada perbuatan menuduh zina, yang ada
hanya kata-kata menuduh, tuduhan atau dituduhkan terhadap hal-hal yang dapat merusak
kehormatan atau mencemarkan nama baik seseorang. Perbuatan tersebut dilakukan dengan
sengaja agar tuduhan tersebut diketahui oleh umum. Kata menuduh ini terdapat dalam pasal
310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
a. “Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan
tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara
selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
b. Kau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan
pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista
dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan
atau denda sebanyak-banyak Rp. 4.500,-.
c. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si
pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu
untuk mempertahankan dirinya sendiri.”17
Dalam melakukan tuduhan tertentu kepada seseorang, tuduhan itu tidaklah perlu
dikatakan sangat tegas dengan menyebutkan tempat dan waktu perbuatan itu dilakukan,
tetapi sebaliknya tidak boleh terlalu kabur, karena yang terpenting dari perbuatan itu ialah
maksud dan tujuan melakukan tuduhan itu, yaitu agar tuduhan itu tersebar dan tersiar dalam
masyarakat.
Menurut Wirjono Prodjodikoro S.H., perbuatan yang dituduhkan ini harus berdaya
guna mengurangi kehormatan atau nama baik si korban, misalnya ia dituduh melakukan
pencurian atau penipuan. Jadi tuduhan itu harus bersifat kurang baik dalam penilaian

17
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 225
umum. Sifat kurang baik ini sangat relatif dan sering ada peranan dari cara mengucapkan
tuduhan.18
Menurut R. Soesilo, bahwa perbuatan yang dituduhkan seperti mencuri, berzina dan
sebagainya itu sudah jelas akan mengurangi dan merusak kehormatan seseorang, karena
perbuatan tersebut adalah perbuatan yang dilarang yang pelakunya dapat dihukum.
Sebagaimana ia berkata: “Perbuatan yang dituduhkan itu tidaklah perlu suatu perbuatan
yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup
dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh,
bahwa seseorang pada suatu waktu tertentu telah masuk melacur di rumah persundalan. Ini
bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang
berkepentingan bila diumumkan.19
Berdasarkan pendapat di atas, maka menuduh kepada perbuatan biasa pun, bila
perbuatan itu cukup memalukan maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang dapat
merusak dan mencemarkan nama baik seseorang. Apalagi bila tuduhan tersebut kepada
perbuatan yang dapat dihukum, seperti menuduh zina maka si korban akan lebih malu yang
menyebabkan martabatnya jatuh di mata masyarakat dan bisa merusak keharmonisan
rumah tangga seseorang akibat dari tuduhan itu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perbuatan menuduh zina tersebut di atas dapat
dimasukkan ke dalam pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu pasal tentang
penistaan yang terdapat dalam bab penghinaan.
1. Jarimah Qadzaf sebagai Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik
Pengertian pencemaran nama baik, menurut al-Ghazali pencemaran nama baik
adalah, menghina (merendahkan) orang lain di depan manusia atau di depan umum.20
2. Jarimah Qadzaf termasuk Tindak Pidana Penghinaan
Penghinaan adalah nama judul dari bab XVI buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa perbuatan
menuduh zina itu termasuk dalam pasal 310 kitab undang-undang hukum pidana,
karena perbuatan menuduh zina termasuk menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang adalah suatu penghinaan
Dalam rumusan tersebut dikatakan suatu perbuatan “dengan sengaja menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang”, sedang kata-kata selanjutnya yaitu “dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan
tersiarnya tuduhan itu adalah merupakan pengkhususan atau sifat dari tindak pidana
penistaan.
Dalam hal tersebut R. Soesilo menulis sebagai berikut: “supaya dapat dihukum
menurut pasal 310 ayat 1 ini (menista), maka penghinaan itu harus dilakukan dengan
cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud tuduhan
itu akan tersiar (diketahui).”21 Jadi yang dilarang dalam pasal 310 adalah perbuatan
menista. Akan tetapi berdasarkan pendapat R. Soesilo tersebut, semata-mata menista

18
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2014) hlm. 103
19
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 226
20
Abdul Hamid Al-Ghazali, Ihyaul Ulumuddin, (Ciputat: Lentera Hati, 2003) hlm. 379
21
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 226
bukanlah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman. Oleh karena itu agar
perbuatan itu dapat dihukum maka menista tersebut haruslah oleh si pelaku
dimaksudkan agar tuduhan itu tersiar dalam masyarakat.
Apabila dalam pemeriksaan itu ternyata bahwa terdakwa telah berbuat penghinaan
tersebut bener-benar untuk membela kepentingan umum atau membela diri yang dapat
dibenarkan oleh hakim, maka terdakwa tidak dihukum.
Apabila masalah untuk pembelaan itu tidak dibenarkan oleh hakim, sedangkan
dalam pemeriksaan itu ternyata bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak
benar maka terdakwa tidak disalahkan menista, akan tetapi dikenakan pasal 311 yaitu
tentang memfitnah, yang berbunyi:
1. “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan,
dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada
dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya
tidak benar, dihukum karena salah mempitnah dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun.
2. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35
No. 1-3.”22
Menurut pasal ini, jika tuduhannya itu dipersoalkan oleh hakim tentang kebenaran
atau tidaknya tudukan itu, maka tindak pidana ini beralih menjadi tindak pidana
memfitnah, bukan lagi tindak pidana menghina atau menista. Jika tudukan terdakwa itu
terbutki tidak benar, maka berdasarkan rumusan pasal 311 KUHP tersebut diancam
dengan hukuman penjara maksimal empat tahun.
3. Jarimah Qadzaf sebagai Tindak Pidana Aduan
Tindak pidana tuduhan zina ini sebagai tindak pidana aduan terdapat di dalam
ketentuan seperti yang diatur di dalam pasal 319 KUHP, yang berbunyi:
“Penghinaan yang dapat dihukum menurut bab ini, hanya dapat dituntut atas
pengaduan orang yang menderita kejahatan itu, kecuali dalam hal yang tersebut
di pasal 316.”23
Semua penghinaan itu, termasuk tuduhan zina, hanya dapat dituntut apabila ada
pengaduan dari orang yang menderita, kecuali bila penghinaan itu dilakukan terhadap
seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan tugasnya atau pekerjaannya
yang sah (pasal 316 dan 319). Obyek daripada penghinaan tersebut di atas harus
manusia perseorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu
perkumpulan, golongan penduduk dan lain-lain.
Tindak pidana aduan adalah suatu tindak pidana yang hanya dituntut jika ada
pengaduan dari pihak yang menderita. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 313
KUHP yang berbunyi:
“Tentang bukti sebagai yang dimaksud dalam pasal 312 tidak diizinkan, jika
perbuatan yang dituduh itu hanya dapat dituntut atas pengaduan dan
pengaduan tidak dilakukan.”24

22
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
23
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 230
24
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang… hlm. 227
Dengan adanya ketentuan seperti di atas, berarti jika seseorang menuduh zina,
maka mereka itu secara mutlak tidak dapat dituntut. Maka tuntutan terhadap penuduh
itu hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak si korban.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada bab IV dari hasil penelitian yang penulis lakukan
mengenai jarimah qadzaf menurut hukum pidana islam dan hukum pidana di Indonesia,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut hukum pidana Islam, jarimah qadzaf hukumannya sudah tercantum jelas di
dalam QS. An-Nur ayat 4-5 yang hukumannya berupa dera sebanyak delapan puluh kali
(80) dan hukuman yg berupa ta’zir yaitu kesaksiannya tidak akan diterima. Adapun
pembuktian untuk jarimah qadzaf yaitu dengan menghadirkan saksi, pengakuan dan
sumpah.
2. Di dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak ada kata yang langsung
menunjuk kepada perbuatan menuduh zina, yang ada hanya kata menuduh melakukan
suatu perbuatan. Dalam penafsiran pada pasal 310 KUHP ayat 1, perbuatan yang
dituduhkan harus berdaya guna mengurangi kehormatan atau nama baik, perbuatan
yang dituduhkan seperti mencuri, berzina dan sebagainya itu sudah jelas akan
mengurangi dan merusak kehormatan seseorang, karena perbuatan tersebut adalah
perbuatan yang dilarang yang pelakunya dapat dihukum.
3. Menurut hukum pidana di Indonesia, jarimah qadzaf di bagi dalam beberapa klasifikasi,
diantaranya jarimah qadzaf sebagai tindak pidana pencemaran nama baik, jarimah
qadzaf termasuk tindak pidana penghinaan, jarimah qadzaf termasuk tindak pidana
memfitnah, jarimah qadzaf termasuk tindak pidana aduan. Adapun hukuman yang
dikenakan terhadap pelaku jarimah qadzaf dibedakan tergantung dari jenisnya deliknya
yang ketentuan hukumannya tercantum dalam KUHP yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman Ritonga. dkk. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Afifah, Nurul. Jurnal Hukum. Qadzaf Menurut Hukum Islam Dan KHI. STAIN Jurai Siwo
Metro.
Al-Ghazali, Abdul Hamid. 2003. Ihyaul Ulumuddin. Ciputat. Lentera Hati.
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika.
Arifin. 2009. Skripsi. Pencemaran Nama Baik Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Indonesia. Fakultas Syari’ah Universitas IClam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian-Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta. Rineka Cipto.
Audah, Abdul Qadir. 1998. Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil
Wad‘Iy”. Beirut. Muatsatsah Al-Risalah.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2005. “Al-Qur`an dan Terjemahanya”. Bandung.
Gema Risalah Press.
Koncaraningrat. 1985. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia.
Munajat, Makhrus. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta. Logung Pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar
Grafika.
Prodjodikoro, Wirjono. 2014. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung.
Refika Aditama.
Rasyid, A. Vebriyanti. 2014. Skripsi. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Terhadap
Pencemaran Nama Baik Melalui Tulisan. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta. Gema Insane Press.
Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor. Polites.
Suratman dan Philips Dillah. 2014. Metode Penelitian Hukum. Bandung. Alfabeta.

You might also like