You are on page 1of 11

JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO.

1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018


KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

PERANAN PLASMAFARESIS PADA KERACUNAN BISA ULAR TIPE NEUROTOKSIK


(STUDI KASUS DI RSCM JAKARTA)

Agus Sumedi

Universitas Islam Sumatera Utara


Jl. Sisingamangaraja-Teladan, Medan
agus.sumedi@fk.uisu.ac.id

Abstract
Female 19-year old with severe general neuroparalytic, admitted in intensive care unit with
respiratory failure. He suffer from snake bite during night sleeping 2 hours before arrived in
emergency unit of RSCM hospital. In early after snake bite, patient complained nausea, dizziness,
limb parasthesia then felt uncomfortable eyesight. During observation in emergency unit anti
venom serum (AVS) was given immediately 2 vial (10 ml) in 250 ml normal saline for an hour and
then 2 vials in 250 normal saline in 3 hours ,but about 3 hours post bitten, patient suffer from
ptosis, opthalmoplegia and quadriplegia, respiratory shortness followed by respiratory arrest. We
diagnosed it as respiratory failure and neuromotoric paralytic ec. snake venom intoxication. After
intubation and second dose AVS, patient moved to ICU for mechanical ventilation support and
further treatment. We did CVVHDF for three days, AVS shcedulles 6 vials in 24 hours for 6 days.
Until 7 days stay in ICU there were neuroparalytic improvement but not progressively and patient
still on ventilator. Pasmapharesis then performed at 8thand 12th day in ICU. Weaning process
going on smoothly and patient extubated at 14th day. Patient discharged from ICU at 16th day with
fully aware, normal heart rate and blood pressureand score muscle strength is 4 until 5. We
concluded that the neurotoxin venom in this case destructed vesicles presynaptic of nerve
terminalmake resistant to AVS and neostigmin. We suspect this patient was exposedto high dose
and more toxic venom where released continuously from bite site tissue or lymph circulation to
blood and threaten recovery process. Plasmapharesis improve neuroparalytic and sympathetic
overactivity significantlyand decrease lenght of stay in ICU.

Keywords: Plasmafaresis, neuroparalytic, snake bite

1. PENDAHULUAN (Daboia russelii siamensia), Viper lainnya (Tibbals,


Terdapat 300 spesies ular berbisa dari 2014; Yanuartono, 2008).
3000 spesies ular di dunia dengan kasus 100.000 Venom neurotoksin bekerja pada
kematian pertahun. Ular berbisa dapat mematikan presinaps atau postsinaps motor end plate pada
melalui venom (bisa) yang bersifat neurotoksik, berbagai neuron termasuk yang mempersarafi
hematotoksik, sitotoksik dan kardiotoksik. system penglihatan, alat gerak dan otot
Famili Elipidae yang meliputi ular Kobra, Krait pernafasan sedangkan venom hematotoksin
memiliki venom yang bersifat neurotoksik bekerja dengan mempengaruhi sistem
sedangkan famili Viperidae meliputi bermacam- anitikoagulan dan prokoagulan dengan manifestasi
macam ular Viper memiliki venom yang bersifat klinik berupa perdarahan atau disseminated
hematotoksik (David, 2010; Tibbals, 2014; intravascular coagulation atau trombositopenia.
Yanuartono, 2008). Beta bungarotoksin, adalah suatu fosfolipase A2
Di Indonesia beberapa ular yang terkenal dari venom ular Krait (>20%) dari protein yang
berbahaya dari famil Elapidae adalah King Kobra terkandung dalam venom yang palingneurotoksik
(Ophiopagus Hannah), Kobra (Naja sputatrik), menyebabkan gagalnya neurotransmisi dalam
Weling (Bungarus candidus), Welang (Bungarus dengan merusak vesikel pada presinaps,
fasciatus) dan dari family Viperidae: Malayan Pit menimbulkan gejala klinis optalmoplegi, ptosis,
Viper (Calloselasma rhodostoma), Vipera Ruselli dispagia, qudraplegi dan kelumpuhan otot

41
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

pernafasan. Kelumpuhan ini resisten terhadap dan akhirnya pasien mengalami henti nafas.
terapianti venom dan antikolinesterase dan Tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi
pemulihan berlangsung lama (Nirthanan, 2003; 120x/menit, pupil dilatasi dengan refleks cahaya
Bawaskar, 2015). negatif.
Dengan cara yang berbeda alfa Dilakukan intubasi dan bantuan ventilasi
bungarotoksin umumnya berasal dari venom ular mekanik, dan selanjutnya pindah ke ruang rawat
Kobra, menyebabkan kelumpuhan dengan ICU dengan diagnose Gagal Nafas Akut
berikatan pada reseptor asetikolin postsinaps danKelumpuhan neuromotorik ec. Intoksikasi Bisa
neuro-muscular junction dan respon dengan Ular Suspect Tipe Neurotoksik.
terapi anti bisa ular dan antikolinesterase sehingga Perawatan ICU diawali dengan ventilasi
pemulihan lebih cepat (David, 2010; Tibbals, mekanik mode SIMV 12 PC 15, PEEP +5, FiO2 40
2014; Bhattacharya, 2007). %, infus SABU 2 vial/3 jam/hari dan stabilisasi
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hemodinamik dengan sedasi-analgetik, beta bloker
beratnya intoksikasi, antara lain jenis ular, usia, (bisoprolol) dan antiarritmia amiodaron infus.
ukuran , makanan , dosis dan venom, lokasi Dilakukan CRRT (mode CVVHDF, blood flow 90-
gigitan, immunitas korban, dan lamanya waktu 100 ml/menit, fluid replacement 500 ml/jam,
mendapatkan interfensi medis. Pemulihan paralitik dialisat 500 ml/jam, fluid remove 50 ml/jam) pada
neurotoksin presinaps tergantung kepada hari pertama selama 9 jam dan yang kedua
regenarasi jaringan saraf dan dapat lebih lama selama 8 jam karena sistem mengalami clotting.
dipengaruhi waktu, dosis, potensi terafi anti CVVHDF dilanjutkan selama kurang lebih 24 jam
venomdan interaksi toksin dengan sistem limfa pada hari ketiga.
(David, 2010; Bawaskar, 2015; Ahmad, 2014; Terdapat fluktuasi hipertensi dan
Helden, 2014). takkikardi sejak awal perawatan ICU dan
dikendalikan dengan sedasi, analgetik,
2. KASUS antihipertensi perdipin drip dan beta bloker
Seoarang wanita umur 19 tahun digigit bisoprolol.
ular saat tidur malam hari dirumah kediamannya Amiodaron diberikan karena adanya
di Jakarta. Diketahui ular tersebut belang hitam- paroksismal atrial fibrilasi pada 3 hari pertama
putih dengan panjang lebih kurang 1 meter perawatan ICU. Luka bekas gigitan berbentuk 2
dengan bekas gigitan pada jari tengah kaki kiri titik yang disertai warna kehitaman pada kulit
tampa disertai nyeri dan pembengkakan yang sekitarnya tanpa adanya pembengkakan,
bermakna. Satu jam kemudian pasien mengeluh perdarahan dan tanda-tanda nekrosis (intoksikasi
pusing,mual dan kesemutan pada kedua kaki. local).
Berikutnya mulai timbul rasa tidak nyaman pada Pemberian methyl prednisolone injeksi
kedua mata disertai gangguan penglihatan dan 4x250 mg dan antibiotiktopikal mata ditujukan
sulit menelan. untuk optalmoplegi neurotoksik dan keratitis
Dua jam setelah gigitan pasien mendapat optalmikus. Pada hari perawatan -2, kesadaran
pertolongan medis di unit gawat darurat RSCM pasien mulai pulih ditandai dengan adanya upaya
berupa perawatan luka, anti tetanus toxoid, menggerakkan kelopak mata menurut perintah,
antibiotika dan pemberian SABU (serum anti bias pupil masih dilatasi dengan refleks cahaya mulai
ular) 2 vial dalam 250 ml NaCl 0.9% dilanjutkan 2 positif.
vial dalam 250 ml NaCl 0.9% melalui infus per 3 Hasil laboratorium Hb, APTT, PTT,
jam. Dalam masa observasi mulai dirasakan Fibrinogen dan D-dimer tidak menunjukkan tanda-
kelemahan pada anggota gerak atas dan bawah, tanda perdarahan atau gangguan koagulasi.
gangguan penglihatan dan menelan bertambah Kekuatan otot motorik alat gerak atas : bawah
berat. Pada jam ke-2 masa observasi timbul mulai timbul pada hari perawatan ke-3 dengan
ptosis, opthalmoplegi, kelumpuhan tungkai skor 2-1-1-1 : 2-1-1-1, dan secara bertahap
disertai gerakan pernafasan yang semakin lemah meningkat kemudian mengalami perlambatan dan

42
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

sebahagian menurun menjadi 2-1-1-1 : 3-2-2-2 2, weaning ventilator berjalan lancer. Kekutan otot
pada hari perawatan ke-7. Pemulihan kekuatan motorik meningkat bermakna. Refleks batuk dan
otot ini terkesan lambat sehingga dicoba diberikan menelan mulai optimal. Pada hari ke-14
antikolinesterase neostigmin drip selama 2 hari perawatan ICU, setelah melewati tahapan
tetapi tidak ada respons. spontaneous breathing trial (SBT) beberapa jam
Pada hari ke-8 dan 12 dilakukan tindakan kemudian pasien berhasil di ekstubasi. Takkikardi
plasmafaresis dengan menarik cairan plasma 2200 dan hipertensi membaik menuju nilai normal,
ml yang digantikan dengan 2000 ml albumin 5 pasien bernafas spontan dengan oksigen 3-4
%.Mode of ventilation yang dimulai dengan SIMV L/menit pace mask menghasilkan analisa gas
12 PC 14, PEEP 5 FiO2 40% sempat dicoba untuk darahrelatif normal dan pasien dipindahkan ruang
weaning pada awal minggu ke-2 dan tidak rawat biasa pada hari perawatan ICU ke-16.
berhasil. Dua hari setelah plasmafaresis yang ke-

Tabel 1. Follow up dan terapi penyokong hari ke-1 hingga hari ke-7

43
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

Tabel 2. Follow up dan terapi penyokong hari ke-8 hingga hari ke-14

44
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

Tabel 3. Efek simpatis venom dan terapi


Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Perawata
n
Sistolik 180 185 180 180 180 180 160 14 18 14 15 14 14 13 14 14
tertinggi 120 120 100 120 120 120 110 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Diastolik 130 120 100 120 120 110 110 10 10 90 90 80 80 80 80 90
tertinggi 0 0 11 11 11 11 10 10 11
H R 2.5 5 5 5 5 5 5 10 11 0 0 0 0 0 0 0
tertinngi - - 1 1 1 3 5 0 0
Terapi : - - - - - 5 10 5 5 5 5 5 5 5
Bisoprolol 5 5 - - - - - - -
Perdipin 3 - 5 5 5 - - - -
Amlodipin 10 5

Post ekstubasi pasien bernafas spontan Ular Krait/Bungarus (Ular Welang, Weling).
dengan oksigen pace mask 3- 6 L/menit dan Ular jenis Bungarus berukuran 80-160 cm
menghasilkan AGD yang relative normal. Tekanan (Weling), 110-215 cm (Welang), biasanya
darah dan laju jantung secara bertahap menuju menggigit malam hari saat korban tidur. Dari
normal. Terdapat gangguan psikologis berupa literature diketahui venom bersifat neurotoksik
cemas, mimpi buruk dan waham dan diatasi yang bekerja pada presinaps motor end plate
dengan terapi halloperidol dan membaik dalam 2 dimana pada awalnya memacu pelepaskan
hari. Pasien dipindahkan keruang rawat biasa asetilkolin kemudian merusak vesikel presinaps
dengan kondisi sadar penuh, dapat beraktifitas dan sebagai tempat produksi asetilkolin sehingga tidak
berjalan kaki dengan bantuan. Setelah 3 hari terjadi neurotransmisi. Ikatan toksin pada vesikel
perawatan diruang rawat bedah pasien bersifat irreversible sehingga mengakibatkan
dipulangkan untuk selanjutnya rawat jalan paralisis yang lama karena pemulihan bergantung
(Gambar 1.) kepada regenerasi saraf (Ahmad, 2014; Huang,
2013; Berger, 1989; Prasarnpun, 2005).
3. PEMBAHASAN
Berdasarkan riwayat gigitan yang terjadi
Gambar 1. Grafik hubungan neuroparalitik dan
malam hari oleh ular belang hitam putih dengan
terapi
ukuran lebih kurang meter, bekas gigitan dan
adanya tanda-tanda keracunan sistemik awal yaitu
nausea,sakit kepala dan gangguan penglihtan
ringan, dapat diduga ini adalah gigitan ular berbisa
spesies Bungarus c, famili Elipidae. Dalam waktu
3jam sejak gigitan timbul ptosis, optalmoplegi,
kudriplegi diikuti kelumpuhan otot pernafasan
walaupun telah mendapat serum anti bisa ular
(SABU) sehingga harus dilakukan intubasi dan
bantuan ventiasi mekanik (ventilator). Berdasarkan
gejala diatas ditambah dengan tidak adanya
tanda-tanda perdarahan lokal maupun sistemik,
pembengkakan, nyeri hebat, nekrosis pada luka
bekas gigitan mengesankan keracunan yang
terjadi pada kasus ini disebabkan venom tipe Ular Krait mempunyai taring pendek yang
neurotoksik (David, 2010; Huang, 2013; Pillai, panjangnya kira-kira 3 mm maka venom yang
2012; Berger, 1989; Azad, 2013; Vinod, 2013). dinjeksikan hanya mencapai jaringan kulit atau

45
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

bawah kulit sehingga absorbsi dan manifestasi Sementara hampir semua literatur menyebutkan
klinis lebih lambat. bahwa variasi komponen venom ular sangat tinggi
Pada studi klinik retrospektif melibatkan antar spesies.
210 pasien yang digigit ular Krait spesies Bungarus Spesies yang berbeda atau populasi yang
caeruleus di Sri Lanka, memerlukan ventilator berbeda dalam spesies yang sama selain
bervariasi antara 12 jam – 29 hari (Prasarnpun, menimbulkan neuroparalitik yang resisten, juga
2005). dapat menyebabkan hiponatremia, hyperkalemia,
Absorbsi venom dari intramuskular adalah odem paru, gagal ginjal, hipertensi berat dan
proses yang lambat yang memerlukan waktu 72 kerusakan otot jantung dan aritmia yang
jam, dilain pihak Riviere dkk menemukan dalam 1 mematikan (mengandung komponen kardiotoksik,
jam venom tidak ditemukan lagi intramuscular, sitotoksik).
sementara yang berada didalam sirkulasi hanya Kekuatan racun ular Krait/Bungarus 10
25%. Diduga sebahagian besar venom telah kali kekuatan racun ular Kobra. Efek neuro-paralitik
diabsorbsi ke dalam sirkulasi limfa atau jaringan dapat menyebabkan gagal nafas yang mematikan
interstisial. Hipotesa ini sejak lama telah diketahui bila tidak mendapat bantuan ventilasi mekanik.
oleh Barnest dan Trueta tetapi belum ada petunjuk Efek otonom dapat bermanifestasi takkikardi dan
yang menyatakan berapa lama toksin tersebut hipertensi atau ventrikel takkikardi karena
kembali kedalam sirkulasi darah (Bawaskar, 2015; kerusakan miokard (Bawaskar, 2015; Pillai, 2012;
Helden, 2014; Prasarnpun, 2005; Hung, 2010). Vinod, 2013; Agarwal, 2006; Law, 2014).
Seperti yang diketahui bahwa pembuluh Menurut guideline WHO 2010 tentang
limfa memiliki katup satu arah tidak memiliki penatalaksanaan gigitan ular, keracunan berat bisa
sistem pompa sehingga alirannya lambat.Aliran ular ditandai dengan: teridentifikasi sebagai ular
limfa tergantung dari beberapa faktor yaitu : yang berbahya, pembengkakan lokal meluas cepat,
pulsasi arteri, fluktuasi tekanan vena sentral dan nodul limfa membesar lebih dini, gejala sistemik
kontraksi otot rangka (Ahmad, 2014; Helden, cepat muncul, perdarahan spontan dini, urine
2014). bewarna coklat tua/hitam (David, 2010). Pasien ini
Faktor lain yang mungkin membuat mengalami henti nafas 3 jam sejak gigitan
adanya variasi gejala klinis (berat dan lamanya sehingga dilakukan intubasi dan dukungan
paralitik) variasi toksisitas venom antar spesies, ventilator sejak di unit emergensi sampi 14 hari
geografi, makanan dan musim (Bhattacharya, perawatan ICU. SABU infus diberikan 3 x 2 vials
2007; Kuch, 2011). Pasien ini telah mendapat per 24 jam dengan tujuan untuk menetralisir
SABU antara 2-3 jam setelah gigitan sebelum toksin yang masih beredar dalam sirkulasi darah.
timbul paralitik. Kemungkinan pertamakarena Venom (bisa) ular Kobra walaupun bersifat
sebahagian toksin lebih dahulu mencapai presinaps neurotoksik tetapi bekerja pada post sinapsmotor
neuron terminal sebelum berinteraksi dengan endplate dengan menduduki reseptor asetilkolin.
SABU, sedangkan telah diketahui SABU tidak dapat Venom cepat diabsorbsi ke sirkulasi sehingga
menetralisisr toksin yang telah berikatan dengan gejala klinis timbul lebih cepat dan kematian dapat
presinaps neuron. Kemungkinan kedua, terjadi dalam waktu 8 menit. Tetapi ikatan toksin
imunoreaktif antibodi SABU lemah (protein Ab dengan reseptor asetilkolin bersifat reversibel
tidak identik dengan protein Ag) sehingga tidak sehingga respons klinis sangat baik terhadap anti
dapat berikatan dengan baik dengan antigen bisa ular dan antikolinesterase (David, 2010;
toksin venom atau cenderung mengalami disosiasi Yanuartono, 2008).
setelah berikatan. Secara biokimia venom mengandung lebih
SABU buatan Biofarma Indonesia diporoduksi dari 20 komponen termasuk protein (90%), enzim,
venom ular Krait yang diwakili spesies Bungarus toksin polipetida nonenzim, factor growth,
fasciatus, sedangkan kasus ini disebabkan gigitan nontoksik, hialuronidase, metalase, lipid, asam
ular Bungarus candidus memperkuat kemungkinan amino bebas, nukletida, karbohidrat, amine
berperannya faktor imuno-reaktif antibody SABU. biogenic, dan bermacam-macam aktifator

46
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

atauinaktifator fisiologi. Dari banyak enzim terlanjur terjadi tidak memberi petunjuk tentang
tersebut yang terpenting adalah enzim proteolitik, aktifitas toksin yang sedang berlangsung ataupun
fosfolipase dan hialuronidase. Venom Krait dan efektivitas SABU yang sedang diberikan. Adanya
Kobra mengandung asetilkolin esterase, fosfolipase gejala takakikardi dan hipertensi yang progresif,
B dan glikorofosfase. Yang telah banyak dipelajari adanya periode kemunduran kekuatan otot
secara luas adalah fosfolipase A2 yang mana dapat motorik pada fase pemulihan, memperkuat dugaan
merusak mitokondria, sel darah merah, leukosit, terjadinya latent toxin release phnomena yang
platelet, ujung saraf tepi, otot, endotel pembuluh dalam literatur dapat terjadi sampai 2 minggu
darah, neurotoksik presinaps, opiate-like sedative setelah peristiwa gigitan (Charles, 2015).
effect dan pelepasan histamine (Bawaskar, 2015; SABU juga memiliki efek samping
Berger, 1989). anafilaksis, reaksi pirogen, dan reaksi lambat yang
Pemberian serum antivenom ular timbul 1–12 hari (David, 2010; Yanuartono, 2008).
merupakan terapi utama, tetapi pada Beberapa faktor yang tidak menguntungkan pada
beberapakasus hasilnya tidak efektif (Hung, 2010). kasus ini adalah jenis ular Bungarus candidus
Efektifitasnya berkaitan dengan waktu pemberian, dikenal penghasil venom yang paling toksik,
dosis , tempatkerja neurotoksin presinaps atau gigitan terjadi pada musim panas yang menurut
post sinaps neuromuscular junction, dan faktor literatatur akan meningkatkan volume dan
imunoreaktif protein antibody.Imunoreaktif anti toksisitas toksin. Korban yang digigit saat tidur
venom sehubungan dengan antibodi protein yang mempunyai refleks yang lebih lama untuk
terbentuk saat produksi mungkin tidak identik menghindar sehingga ular yang mengira sedang
dengan protein antigen venom dari ular yang mengigit mangsa akan mempunyai waktu yang
menggigit. lebih lama untuk menginjeksikan venomnya
Venom ular mengandung beraneka ragam dibanding ular yang karena terdesak dan
protein dengan berat molekul yang berbeda. menggigit korban yang sadar penuh.
Variasi komponen venom antar populasi ular dalam Menurut WHO (2010) kematian karena
spesies yang sama sering dilaporkan. Faktor-faktor gigitan ular yang tercatat di Indonesia sekitar 20
tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan kasus/tahun terbanyak disebabkan oleh Bungarus
immune reactivity venom untuk bereaksi dengan candidus dan tidak ada laporan karena gigitan
protein anti venom (IgG). Serum anti bisa ular Bungarus fasciatus, tetapi kematian karena gigitan
diproduksi menggunakan venom dari populasi ular ular di Indonesia diduga ribuan pertahun (David,
yang berbeda dengan ular yang menggigit 2010). Disisi lain SABU yang ada di Indonesia
sehingga mungkin tidak identik dengan antigen diproduksi menggunakan venom ular Bungarus
yang terkandung pada venom ular tersebut. Di Fasciatus, NajaSputatrix, Calloselasma
Indonesia, serum anti bisa ular (SABU) trivalent rhodostoma, bukan dari B. candidus, sehingga
(polyvalent) yang diproduksi BioFarma adalah kemungkinan protein antibodi SABU tidak identik
berasal dari venom 3 ular yaitu: ular Kobra, ular dengan protein venom yang akan mempengaruhi
Welang, dan ular tanah (David, 2010; Yanuartono, potensi terapi SABU.
2008; Kuch, 2011). Eliminasi obat dan toksin secara ektra
Protein serum anti bisa ular mempunyai korporal pada kasus keracunan merupakan hal
berat molekul yang jauh lebih besar dari berat penting dalam tatalaksana keracunan dimana
molekul venom dan volum distribusi yang lebih teknik dan indikasinya masih dalam perdebatan.
rendah dari venom. Perbedaan-pebedaan tersebut Indikasi untuk kasus keracunan adalah adanya
mempengaruhi potensi terafi dan efektifitas kerja riwayat terpapar dengan toksin yang dialisable,
serum anti bisa ular (Yanuartono, 2008). Pada konsentrasi dalam darah yang menetap, dan
kasus ini sulit untuk menyatakan apakah SABU kurang efektifnya antidotum (Holubek, 2008;
efektif untuk menetralisir toksin yang diduga masih Monaghan, 2011).
berada dalam sirkuasi karena konsentrasi toksin Tipe terapi extracorporeal yang digunakan
dalam plasma tidak diperiksa. Paralitik yang telah adalah CVVH (continuous venovenous

47
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

hemofiltration) menggunakan proses konveksi, Hemo- Hemo- Hemo-


CVVHD (continuous venovenous hemodialysis) dialysis filtration perfusion
menggunakan proses difusi, dan CVVHDF Solubility Water Water Water or
(continuous venovenous hemodiafiltration) lipid
menggunakan kombinasi konveksi dan difusi Molecular < 500 Da < 40.000 < 40.000
(Monaghan, 2011). weight Da Da
CRRT dapat mengeluarkan molekul yang Protein Low Low Low or
lebih besar (20.000 - 30.000 Da) dibanding high binding (<80%) high
flux HD (haemodialysis) yang terbatas pada Volume Of < 1 L/kg <1 L/kg < 1 L/kg
molekul ukuran sampai 1000 Da, tetapi hig flux HD distribution
lebih efektif karena bloodflow dan dialysate flow (Vd)
lebih besar. Efektifitas CRRT ditentukan juga oleh Endogenous <4 < 4 < 4
blood flow rate, protein binding, sifat membran, clearance ml/min/kg ml/min/kg ml/min/kg
dan volum distribusi. Distribution Short Longer Short
Kebanyakan obat mempunyai berat time
molekul < 500 Da, ada beberapa mempunyai berat Dikutip dari Chih, 2015
molekul yang lebih besar seperti vancomycin
sampai 1485 Da. CRRT telah digunakan sebagai Eliminasi molekul sampai 30.000 dalton
terafi keracunan litium, carbamazepin, asam terjadi melaui proses difusi dan konveksi melalui
valproic, metformin, salisilat, teopilin, metotreksat membranehigh flux sedangkan malekul-molekul
dan racun-racun lainnya (Graffit, 1011; Chih, yang lebih besar sampai 54.000 dalton dan
2015; Goodman, 2006; Dargon, 2003). Data-data mediator yang berikatan dengan sel/protein,
klinis tentang eliminasi mediator inflamasi dan eliminasi dapat terjadi melalui proses adsorpsi
manfaat hemofiltrasi dan hasilnya masih terbatas. pada membrane (Monaghan, 2011).
Braun dkk, Wakabayashietal, Kellum dkk Pasien ini telah mengalami optalmoplegia, ptosis,
menemukan menurunnya konsentrasi TNF, IL6, kuadriplegi dan paralisis otot pernafasan
IL8 dalam darah selam proses hemofiltrasi.Liu Zh sebelumnya, sehingga CVVHDF tidak mungkin
dkk melaporkan kasus keracunan methanol dan Na menetralisir interaksi toksin pada target presinaps
Ferrosianida yang dieliminasi dengan CRRT dan ujung saraf yang telah terjadi dan bersifat
plasmafaresis dengan hasil yang memuaskan. 30 irrevesibel. CVVHDF ditujukan untuk mengeluarkan
Karena keterbatasan studi klinis, maka sampai sat toksin yang mungkin masih berada dalam sirkulasi
ini dasar untuk melakukan tindakan CRRT darah yang berasal dari slow release venom dari
tergantung kepada kondisi klinis pasien, kasus softtissue dan pembuluh limpa superficial sekitar
keracunan berat dan sifat biokimia dari toksin lokasi (ular Krait Bungarus sp yang bertaring +3
tersebut. Solut dengan berat molekul yang lebih mm cendrung mendeposit venom). Penyerapan
kecil, volume distribusi < 0.71 L/kg, protein toksin pertama kali oleh pembuluh limfa superfisial
binding < 80 % akan lebih mudah dikeluarkan oleh yang berada tepat dibawah kulit yang
HD dan CRRT (Chih, 2015). beranastomosis dengan pembuluh limfa dalam.
Berdasarkan jenis ular yang menggigit Dari saluran limfa ini sebahagian toksin dialirkan
pasien ini berat molekul enzim bisa ular diketahui masuk sirkulasi darah dan sebahagian menuju
dari literatur bervariasi antara 13.000 – 150.000 sirkulasi limfa sentral untuk suatu saat kembali
Da, fosfolipase dan three-finger toxin: 10.000- masuk ke vena subclavia. Sistem limfa mempunyai
15.000 Da, sedangkan venom neurotoksin dan katup aliran satu arah, cairan limfa bergerak
kardiotoksin mempunyai berat molekul 5000- karena perbedaan konsentrasi, pengaruh denyut
14.000 Da. Volum distribusi venom (Viper) 0.4 + arteri, kontraksi otot dan fluktuasi tekanan vena
0.3 sampai 0.7 + 0.5 L/kg (Liu, 2015) sentral. Hal inilah yang mendasari hipotesa slow
release dan rebound phenomena pada
Tabel 4. Extracorporeal properties berbagai kasus keracunan. Untuk mencegah

48
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

jumlah dan kerusakan vesikel presinaps lebih venom, diketahui kelumpuhan mulai terjadi dalam
lanjut dan mengurangi efek otonom yang waktu 30–60 menit diikuti fase deep paralytic 2-3
menimbulkan takkikardi dan hipertensi toksin jam dan fase recovery 7 hari. Pada pasien ini
release ini harus dikeluarkan dari sirkulasi (Law, respons motorik mulai terlihat pada hari ke-2 post
2014). CVVHDF, tetapi perkembangan selanjutnya
Paralisis otot pernafasan didukung ventilasi berlangsung lambat.
mekanik menggunakan mode SIMV 12 PC14 PEEP Kemungkinan terjadi karena sirkulasi limfa
5 FiO240 % terlihat cukup efektif ditandai dengan yang telah menyerap dan membawa toksin masuk
hasil analisa gas darah yang relatif normal. Pada sirkulasi sentral sistem limfa, kemudian
kasus ini adanya infeksi paru (VAP) berdasarkan mengeluarkan toksin kembali kedalam sirkulasi
gambaran infiltrat pada pemeriksaan radiologi, darah (rebound phenomena). Fungsi motorik dan
sputum yang purulen leukositosis, dan demam pernafasan yang masih belum optimal, takkikardi
yang fluktuatif. Untuk itu diberikan antibiotika dan hipertensi yang fluktuatif merupakan tanda
empiris Piperasilin tazobactam 4x4.5 gr dan kemungkinan toksin masih masih aktif pada
Amikasin 1x1 grmulai hari ke-7 sebagai terapi system saraf otonom (Agarwal, 2006).
empiris VAP. Selanjutnya pada hari ke-12 Total pemakaian SABU selama di ICU
antibiotika diganti dengan Imepenem 3x1gr adalah 30 vial dan pada hari ke- 7 dan seterusnya
sebagai terapi definitive untuk Klebsiela Pneumoni SABU tidak diberikan lagi sehingga kemungkinan
sesuai kultur sputum. Pada foto toraks hari ke-9 toksin tersebut menduduki kembali vesikel
infiltrat berkurang dan pada hari perawatan ke-11 presinaps neuromuscular junction yang sedang
gambaran paru tidak tampak infiltrat. mengalami proses regenerasi atau sebahagian
Menurut literatur fase pemulihan yang telah pulih.
neuroparalitik dimulai setelah melewati 3 hari fase
deep paralitik (studi pada hewan) dan berlangsung
2-3 minggu.
Prasarnpun (2005) telah melakukan studi pada
binatang yang diinjeksi dengan dosis tunggal

Table 5.
Farmakokinetik anti Venom oleh Riviere

Dengan pertimbangan tersebut pada hari sentirifugal dapat mengumpulkan eritrosit


ke-8 dan hari ke-10 diputuskan dilakukan mencapai hematocrit 80% atau lebih, low blood
plasmafaresis dengan menarik cairan 2200 ml flow melalui vena sentral atau perifer,
yang diganti dengan albumin 5% 1500 ml. memproses 1.5 kali volume darah untuk
Plasmafaresis adalah metode pemurnian darah mengeluarkan 1.2 kali volum plasma.
yang dirancang untuk membuang substrat dengan Larutan pengganti dapat menggunakan
berat molekul tinggi meliputi toksin, antibody, albumin 5% atau plasma darah. Larutan ini dapat
kompleks imun dan lain-lain. Ada dua tipe dilengkapi dengan NaCl 0.9% atau cairan kristaloid
plasmafaresis yaitu sentrifugal dan filtrasi. Mesin lainnya. Plasmafaresis telah digunakan sebagai

49
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

terapi utama beberapa penyakit autoimun seperti Pada kasus ini serum anti bisa ular diduga
Guillian Barre Syndrome dan Myastenia Gravis. tidak efektif karena dosis awal yang tidaktepat
Indikasi plasmafaresis berkembang kepada kasus- atau karena imunoreaktif antibodi yang lemah dari
kasus neurologi, hematologi, metabolik, gangguan anti venom (SABU).
ginjal, sepsis, gagal hati, snake bite dan berbagai Venom ular Weling (B. Candidus) pada
kasus keracunan (Vinov, 2013; Ward, 2011; Grace, kasus ini juga memiliki komponen yang bersifat
2015; Nguyen, 2013; Yildirim, 2006). menghambat sistem saraf otonom sehingga
Setelah plasmafaresis 2 kali, terlihat menimbulkan efek symphatetic overshoot berupa
perbaikan gejala-gejala neuroparalitik secara takkikardi dan hipertensi.
bertahap. Gerakan kelopak dan bola mata Sulit untuk menyimpulkan sejauh mana
mendekati normal, kekuatan otot motorik tungkai manfaat CVVHDF pada kasus ini, tetapi
atas dan bawah meningkat bertahap namun kemungkinan bermanfaat mengeluarkan mediator-
kelihatan tungkai bawah lebih dominan. mediator tertentu dan neurotoksin yang diduga
Pasien diekstubasi 2 hari setelah berasal dari efek slow dan latent toxin release.
plasmafaresis yang terakhir. Pasien mengalami Pada kasus ini terjadi penurunan kembali fungsi
gangguan psikologis berupa cemas, mimpi buruk motorik setelah mengalami tahapan pemulihan
dan waham. Hal ini mungkin disebabkan critical dan juga terjadi sympathetic hyperactivity yang
illness atau dampak psikologis dimana terror progresif dalam bentuk takkikardi dan hipertensi
serangan ular menimbulkan trauma psikologis. yang diduga karena adanya efek latenttoxin
Kemungkinan lain adalah efek toksin pada sel release yang bekaitan soft tissue toxin deposit.
otak. Bungarotoxin mungkin melewati blood brain Plasmafaresis menunjukkan efek perbaikan klinis
barrierpada dosis rendah(Huang, 2013), namun yang nyata terhadap kondisi tersebut sehingga
belum jelas apakah berkaitan dengan gejala mengurangi length of stay di ICU.
psikologis.
Gangguan psikologis ini tidak terlalu sulit
diatasi dengan memberikan terapi farmokologi dan
DAFTAR PUSTAKA
psikoterpi. Selama lebih kurang 3 hari perawatan
Agarwal R et al. 2006. Elapid snakebite as a cause
kondisi mental pasien kembali pulih bersamaan of hypertension. J Emerg Med. Vol 30 (3), pp.
normalnya fungsi motorik dn hemodinamik. 319-20.
Ahmad Rusmili MR. at al. 2014. In-vitro
4. KESIMPULAN Neurotoxicity of Two Malaysian Krait Species
Gigitan ular Weling (Bungarus candidus) (Bungarus candidus and Bungarus fasciatus)
pada kasus ini telah menimbulkan paralitik otot Venom: Neutralization by Monovalent and
Polyvalent Antivenoms from Thailand. Toxins
rangka termasuk otot pernafasan yang relatif lama
Vol 6, pp. 1036-1048;
dan tidak respons dengan terapi serum anti bisa doi:10.3390/toxins6031036
ular dan antikolinesterase sehingga memerlukan Azad Ch. Et al. 2013. Locked-in Syndrome as a
bantuan ventilasi mekanik sebagai lifesaving dan Presentation of Snakebite. Indian Pediatr Vol
plasmafaresis untuk mengurangi length of stay di 50, pp. 695-696
ICU. Tidak respons terhadap antikolinesterase Bawaskar HS. 2015. Snake bite poisoning. Journal
(prostigmin) mengesankan paralitik yang terjadi of Mahathma Gandhi Institute of medical
Sciences, Vol 20 (1).
karena toksin bekerja pada presinaps motor
Berger B.J. 1989. Snake venom component and
neuron. their cross-reactivity: a review. BIOCHEM.
Paralitik yang lama pada kasus ini CELL BIOL. Vol 67.
mengesankan toksin ular Weling bekerja dengan Bhattacharya P. 2007. Neurotoxic snake bite with
merusak vesikel neuron terminal sehingga respiratory failure. Indian J Crit Care Med , Vol
pemulihan bergantung pada proses regenarasi 11 (2).
Charles W.H. dan Eike F.F. 2015. Reccurent
neuron.
Coagulopathy after Rettlesnake Bite Requiring
Continuous Intravenous Dosing Antivenom.

50
JURNAL PENELITIAN VOL. 1 NO. 1 EDITION: MEI-OKTOBER 2018
KEPERAWATAN MEDIK
http://ejournal.delihusada.ac.id/index.php/JPKM
RECEIVED: 06 AGUSTUS 2018 REVISED: 8 SEPTEMBER ACCEPTED: 09 OKTOBER 2018

Emergency Medicine. Liu Zh et al. 2015. Acute Self Induced Poisoning


http://dx.doi.org/10.1155/2015/19302. With Sodium Ferrocyanide and Methanol
Chih Wu Ch. 2015. Successful Elimination of Treated with Plasmapharesis and Continuous
Methotrexate by Continuous Veno-venous Renal Replacement Therapy Succesfully.
Haemofiltration in a Psoriatic Patient with Medicine , Vol 94 (21).
Methotrexate Intoxication. Acta Derm Monaghan. K.N. 2011. Extracorporeal Removal of
Venereol, Vol 95, pp. 626-627 Drugs and Toxins. Vet Clin Small Anim Vol 41,
Dargon P.I. et al. 2003. Severe mercuric sulphate pp. 227-238.
poisoning treated with 2,3- Nguyen. TC. Et al. 2013. The Role of
dimercaptorpropane-1-sulphonate and Plasmapharesis in critical Illness. Critical Care
haemodiafiltration. Critical Care, Vol 7 (3). Clin. Vol 28 (3), pp. 453-468
David A Wrrel. 2010. Guidelines for the Nirthanan. S and Gwee Matthew C.E. 2003. Three-
management of snake bite. WHO Regional Finger -Neurotoxins and the Nicotinic
Office for South-East Asia. Acetylcholine Receptor, Forty years On.
Goodman JW, Goldfarb DS. 2006. The roleof Journal of Pharmacological Sciences The
continuous renal replacement therapy in the Japanese Pharmacological Society.
treatment of poisoning. Semin Dial, Vol 19 Pillai LV et al. 2012. Severe Neurotoxic
(5), pp. 402-7 Envenoming and Cardiac Complication after
Grace M et al. 2015. Secondary capillary leak the Bite of a ‘Sind Krait’ (Bungarus cf.
syndrome- Plasmapharesis: Is it the answer? sindanus) in Maharashtra, India. Tropical
International Arcives of Integrated Medicine, Medicine and Health, Vol 40 (3).
Vol 2, (4). Prasarnpun S. 2005. Envenoming bites by kraits:
Graffit C. 2011. High-dose continuous venovenous the biological basis of Treatment-resistant
hemofiltration combined with charcoal neuromuscular paralysis. Brain, Vol 128, pp.
hemoperfusion for methotrexate removal. NDT 2987-2996.
Plus, Vol 4, pp. 87-89 Riviere G et al. Absorbtion and Elimination of Viper
Helden D.F. et al. 2014. Pharmacological Venom after Antivenom Administration. The
Approaches That Slow Lymphatic FlowAs a Journal of Pharmacology and Experimental
Snakebite First Aid. PLOS Neglected Topical Therapeutics, Vol. 285 (2).
Disease. www.plosntds.org. Vol 8 (2). Tibbals. J. Envenomation . 2014. OH’S Intensive
Holubek W.J. et al. 2008. Use of hemodialysis and Care Manual. 7th Ed. Elsevier. Butterworth
hemoperfusion in poisoned patients. Kidney Heinemann, pp. 851 – 860
International Vol 74, pp. 1327-1334. Vinod K.V. 2013. Snakebite, dysautonomia and
Huang. Y.P et.al. 2013. A Young Girl Presenting central nervous system signs. Q J Vol 106, pp.
with Acute Respiratory Failure and Paralysis 865-86
Due to a Suspected Taiwan Banded Krait Bite. Vinov V.A. 2013. Plasmapharesis for critically ill
Journal complication, Taiwan Society of patients. Saint-Petersburg. ISBN 5-9900263-4-
Pediatric Pulmonology. X.
Hung H.T. et al. 2010. A Controlled Clinical Trial of Ward D.M. 2011. Conventional Apheresis
A Novel Antivenom in Patients Envenomed by Therapies: A Review. Journal of Clinical
Bungarus multicinctus. J.Med.Toxicol Vol 6, pp. Apheresis, Vol 26, pp. 230-238.
393-397. Yanuartono. 2008. Efek samping pemberian anti
Kuch K. et al. 2011. Fatal Neurotoxic bisa ular pada kasus gigitan ular. Review
Envenomation from the bite of a lesser black artikel. J. Sain Vet. Vol 26 (1).
Krait (Bungarus lividus) In Nepal. Southeast Yildirim C et al. 2006. The use of therapeutic
Asian J Trop Med Public Health, Vol 42 (4). plasmafaresis in the treatment of Poisoned and
Law A.D et al. 2014. Indian common krait snake bite victim: an academic emergency
envenomation presenting as coma and department experinces. Journal of Clinical
hypertension: A case report and literature apheris, Vol 21 (4), pp. 219-23
review. J Emerg Trauma Shock, Vol 7 (2), pp.
126-128

51

You might also like