You are on page 1of 26
PETA JALAN ANTROPOLOG] [INDONESIA ABAD KEDUA PULUH SATU: Memahami Invisibilitas (Budaya) dj Era Globalisasi Kapital UNIVERSITAS CADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Umu Budaya Universitas Gadjah Mada Diueapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 27 Oktober 2009 di Yogyakarta Oleh: Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A. Yang terhormat Kenia dan Auggota Majetis Wali Amanah Kea, Sekrcrans dan Anggota Majelis Guru Besitr, Kena, Selveraris dan Anggota Senat Akademik, Rektor, para Wakil ReXtor cast para Dekun, Dekan, para Wakil Dekan Fakultas Hu Budaya dan segenap Stvitas Akademika Universitas Gadjah Mada Para tamu undangen, teman sejawer, seria Reluarga tercinta Selamat pagt, salam sejahtera dan semaga Tuhan memberkatt kita semua Puji syusur kepada Allah Maha kesib, atas perkenenNya pagi ini kite berkumpul bersama pada Repat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada dalam keadaan seal. Atas karuniaNya pula saya berdiri di sini, dan dengan ijin Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, saya mendapat kehormatan untuk menyampaixan pidato pengukukan sebagai Guru Besar dalam Tmu Antropologi Budaya pada Fakulias {imu Budaya Universitas Gadjah Mada dengan judul: PETA JALAN ANTROPOLOGI INDONESIA ABAD KEDUA PULUH SATU: Memahanti Invisibilitas (budaya) di Era Globalisasi Kapital Pimplnan dan Hadirin yang terhormat Sungguh bukan peckara mudah, Ada terlalu banyak Tal akademik dan non akadernik yang harus dipertanggungiawabkan deri 30 tahun mase bakti, Meski pun demikian perkenarkanlah saya untuk memilih tema yeng mudah-mudahan relevan dengan tunlamgan yang sejatinya dihadapi antropotogi Indonesia, yaitu pada proses dialektika antara “duaia lama” kita dan “dunia bart” yang diaagkut globalisasi Kepital. Dalam hal ini saya menggunakan kata peta jalan secara agak longgar untuk mengatskan ape yang secara samar-samar saya pahamti sebagai mode! metodologi yang selama ini saya pili. ‘Yantangan Hadiria vang terkormat Kalau saja ada pesneringkatan karya yarig paling berpengarah antropologi Indonesia abad 20, maka saya akan mecominasikan buku Pengantar Aatropologi karya alm. Prof. Keen(jaraningrat, meestro antropologi kita di Indonesia. Pembacaan bul ini amat luas dan memiliki rentangan panjang (hingga hari ini 40 th), Banyak pemerhati budaya terinspirasi dari konsop-konsep yang ada di dalanaya. Surber uiama buku itu adalah discrtasinya (1958). Di sama ia meletakkan dasur sejarah kelshiran antropologi “domestik.” yaita antropologi olehvictiang orang Indonesia, la membukskan kasarah antropclogi Indonesia Serbahasa Belanda (asing) sambil menuaman para “murid“nya bergerak membangum sih-discipline ethnology: and ethnography yam samgat relevan bagi pergeraken’ pembangunan bangsa kita. Obsesi hesarny membangua antropologi Indonesia untuk memmperhatikan soal-sozl akuluurasi (1959: 478) Te sepertinya meruperbaharui diserlasinya dengan menerbitkan Anshropotogy in Indonesia (1975a). Di situ ia meagklaim, bahwa pemahumun’ yang sesunggukaya mengenai akulturosi kanye dapat dicapai melalui penclitian indukti? dari para pribadi yang sedang bborinteraksi satu sama lain pada sejumlah tatanan sosial yang berbeda dan benubah (idem: 167}. La menolak penjelasan psikologis deduktif BLO. Schrieke, babwa budaya-budaya Indonesia mengalami inferiority. complex terhadap pengaruh kolonial Belanda (Barat) Katanya: “Identifikasi pada éudaya Timur tidak masuk akal, kacena konsepaye diciptekan di Barat den untak kebutuban Barat” (1975a: 173), Sementara itu, kembali mengidentifikasi diri dengan lingkungan lama di kampung halaman juga absuucd, kerena hanya akan ‘mentautkan orang dengan budaya etnik dan Xekerabatan yang sempit. Jadi juga tidak akan member’ peluang bagi mereka menegakkan martabat dan identitas sosial-budayanya dalam kerangka Indonesia modem. Inilab kira-kica Kompromi yang dibayangkan Koentjaraningrat. Segala usuha kembali ke budaya primordial, akhimnya menjadi urusan pribadi, Oleh kerena itu satu-satunya eeuan yang mungkin bagi daser idcntitas budaya dan marabat mnenusia adalah kesatuan nasional, yang 3 sesuagguhnya merupakan inovasi Baret. Jadi sari patl_masalah akulurasi di Indonesia adalah bagaimana mengisi nasionalisinc dengan "jiwa” bara (197Sa: 173-174)? Isu Strategis Hatlirin yang terhormat Kini kita berada di abad keXX1, abad Ketika intetkoneksi global telah menjadi kenyetaan hampir di seluruh sudut burni Indonesia Masalah beser antropologi yang sudah diidentifikasi maestro kita di akhir abad lala itu beluin teriuntaskun, bahkan raenjadi semakin cuit. Ini terjaci bukan saja karena tantangan baru dani perubahan tetanan sosial-polilik-ekonomi global, tetapi juga karena_pergeseran- pergescran paradigma penelitian antropologi yang mendasar. Pergescrannya melipuli perscalan metafisika (keyakinan desar) dan patadigma-paradigra penelitian atas isurisu praklis yang ib. Behkan oleh Egon G, Guba dan Yvonna S. Lincoln (2005: 191-215) seeara skemutik pergeseran itu dipotakun sebagai pertentengan paradigmatik'filosofis yang nyaris tidak terajukkan. Ada palmg tdak lima tonggak paradigma utara yang memiliki sircein pembeda yang khas sulit cingjukkan dalam penelitian antropolozi, yaitu tonggek —positivisme. —postpositivisme, teorl—krlis., Konstruksionisme dan penelitian alternatif. Rekhasan paradigma-paradigma ita meliputi aras ontologi, epistemologi, metodologi, serta posisi atas isu-isu terpilih.' Apabila kita memitih jalur penelitian altemasif (transforma) partisipatoris yang pereaya bahwa kenyataan itu bersifat partisipetif (subyektif- obyektit) diciptekan oleh Chubungan) pikiran dan lingkungan yang ada, pada subyek-obyek, maka rentangan epistemologi yang kita hadapi akan mencmpatkan kebenaran tergantung pada “subycktifias iaitis, Ita pun terjadi melalui transaksi partisipatoris kira dengan lingkungan kita” (Guba dan Lincoln 2005). Artinya, deri sisi epistemologi 1emuan itu adalah hasil upaya bersama; hasi! tahu lewat pengalaman, proposisi dan praktek. Dengan demikian dani sisi metodolog., peneliti akan ambil bagian politis dalam snatu tindakan kolaboratif; pengutamaan aksi; dan penggunaan bahasa yang berasal dari konteks bersama. Pilihan ini jika diterapkan dalam penetitian 4 ctnografis akan menempstkan peneliti pada piliban metode kualitatit varian ontologis daripada varian metodologis (Schwandt 1994:12) Jaci etnografi yang akan dihasilkan pun akan memuat proses reflektif daripada suats temuan bebas nilai, Peneliti maju bersama komunitas yang ditclitinya dalam suatu proses sosial-budaya menjalin sejarah (baru). Proposisi itu menuntut antropelogi menjadi bagian dari suatu gerakzn perababan sosial dalam Komunitasnya, Aniropologi disuntut berpartisipasi dalam merciplakan sejarch, yaitu menyelesaikan, misalnya, lima maselah besar yang tela diidentifikasikan Koontjaraningrat (197Sa 237): imegrasi_nasional, pertumbuhan, penduduk, perubahan sosial budaya, pendidikan dan pengembangen komunites. Kalau begita, bagaimanakah peta jalan antropologi yang harus kita tempuh’? Kelima masalah desar itu bagaimana pun dapat saling berkaitan, tergantung pada bungkus isu yang kita terapkan, Tanpa mengelaikan pentingnys masalah kependudukan dan pendidikan, mungkin kita dapat membungkus masalah integrasi nasional, peruhahan sosial- budaya dan pengembangan komunitas ke dalam satu isu, yait ideatitas budaya kita, Isu ini scmakin mendesak untuk dibicarakan dalam era dunia yang penuh berbagai krisis saat ini. Scbab kita semua nyaris sudah terikat dalam sistem komunikasi sosia} (radio, telpon, televisi dan intemet) dan dalam sistem ekotiomi yang mondial. Lalu apa lagi yeng dapat kita pahami sebagai diri, sebagai identitas (budaya), kita sendiri (yang unixy? Metodologi Hadirin yang terkormat Ada perdebatan yang panjung mengenai soal kesadaran diti (Saya) sebagat subyek Perdetatan dimulat deri “Alsatat identitas” G.W.F. Hegel, hanwa apa yang berlawanan (realitas dan keterasingennya, kenyataan dan keitik kepadanya) menjadi satu dalam proses dialcitika, Dalam hal ini "penciptaan dirt manusia dipahami sebagai proses, objcktivasinya sebagai de-cbjeklivasi, sebagai cksteriorisasi dan poniadaan cksteriorisasi itu.” Diri manusia itu buken substansi, (elapi “subyck” yang nyata. [ta pun sejauh ia merspakan 3 gerakan penempatan diri atau pengantaraan menjadi lein dengan dirinya seadiri, Oich karcna itu subjck adalah negativitas, nyata Karena peayengkalannya dan dengan demikian realitas (scjarah} mengalir sebagai “momen” atau tahap pendobrakan akal badi menuju pengasingan alan kebebasunnya sendiri sehayai perangsang bagi dialektika baru. Jadi nagativitas berperan positif dalam kemajnan pengetahian bani, yang, mekipun absolut sifatnya tidak pemah final. “Pengotahuan dan pengertign yang baru sclalu negatif, dislektis, karona sclalu menggescr pengetaiwan dan pengertian yang kurang tepat”* (Magnis-Suseno 200 : 74-81). Dalam kisah budak dan tuan, Hegel miselnya menceritaken, bahwa jati disi mereka, sebagai kesadaran diri, tercapai hanya kalau keduanya hidup (berjuang mengatasi kemati:n). Syaratnya, mereks saling memberikan rexognisi yang menjamin kehenaran objektif dan kepastian dirinya. Dengan demikian keduanya masuk dalam relasi twan-budak dan saling meajamin rekegnisi. Namun relasi ini tidak berakhir bahagia dan ticaklah mencapai kesadaran diri (status normatif) secara penuh. Rekognisi dari budak semata-mata karene takot mati. Sementara kesadaran-diri si tuan tergantung pada rekognisi si budak dan juga memiliki hubungan tidak langsung dengan alam: budak bekerja dengan alam dan menghasilkan preduk untuk tuse. Keduanya tidak dapat diangeap memiliki kesadaran-diri penuh. Ini seperti kita yang susa mereduksi crang lain sebayai alat belake, Pada hal orang tidak lehir beik sebagai tuan maupun budak tetapi membuat ditinya sendiri seperti itu secara suka rela, Pertentangan karakter ‘budak dan tuan sdalah dasar dari proses sejarah yang tergantung pada penyangkalan perbudakan afeh budak (Sarup 1993: 13-19), Filsafat identitas Hegel yang dialektis itu dapet dikatakan sebagai asal mula atau biang filsafat ksitis seperti Kas] Marx, Lenin, Togliati, Lukacs, Herberi Marcuse, Theodore Adorno, dail Jureen Habermas (Mngnis Suseno 2005: 76). Dati dalam antropologi, Claude Levi-Strauss, sang maestro strukturalisine, dikonal mengakui salah satu maestronya adalah Marx, selain Sigmund Freud dan Geologi Levi-Strauss hahkan sepakat dengan Marx, misainya menyangkul hubungan dialektik entara xapitalis dan para proletar. Mereke menganggap hubungan itu hanya sebagai suatu kasus khusus lain dari hubungen antara penjajah dan terjajah. Industrialisasi bukanlah 6 sehagai gejala olonom datang dari langit. tetapi adalah fungsi (Sumbangen), atau hasil tidak lengsung, dari koudisi_masyarskat- masyarakat yang disebut “primiti€™ Jadi sccara historis dan logis, Kolonisasi “ mendahulai_kapitalisme, dan regim —_kapitelis, memperlakukan orang Borat seperti sebelumnys orang Barat memperbudak para penduduk ssli di negeri terjajah (Levi-Sirauss 1977: 313-316) Dalam perselisihannya dengan Sartre menyangkut penjelasan tentang pembedaan kesadaran scjarah “primitit” dan “beradab", nalar dialeKLK dan nalar analitik, Levi-Surauss babkan mengatakan, bahia Sartre hanya ingat sctcugah kombinasi ajaran Marx dan Sigmund Freud. Kalanye Sartte hanya ingal, bahwa manusia hermakna hanya bila is memandang dirinya bermakna. Barangkali dalam bahasa gaul ansk-anak kita bari ini; manusia bar benmakna kalau "narsis,” seperti ayam jago berkokok sambil membayangkan kuasanya mama imenerbitkan matzhari setiaa pegl. Padabal, yang terjadi justers sebaliknya jago berkokok Karena matuhai “terbit. Jadi dalam peraknaan dict itu harus ditambahkan bakwa tidak pernah ada makua yang pelng benar, Sia-sialah kalau kita ingin mencari makna paling benar pada kesadaron sejarah, seperti harapan Sartre, Dalam pemahaman Levi-Strauss atas Marx, oposisi nalar dialektik dan malar amalitik itt relatif, jadi keduanya saling mendukung, masing-masing, tidak ckslusif. Nalar dialektik itu seperti jembatan yang selatu memanjang tetapi malar anatiik taku bahwa dj ujung sana ckan mendaral (Levi-Strauss 1960:252-254) Hubungan nalar dialektik dan nztar analitik ini ofch Levi-Strauss {idem.) diterangkan sehagai halnya metode kerja antropologi yang terdiri dani dua kali langkah progresif-regresif. Katanya, pada langkuh pertama kita mengamali data pengalaman, menganalisanya dalam kekiniannya, memahami amesecen kesejarahannya sejauh bisa kita selami, den Kemudian kita menbawa semua faklanya ke dalam, totalitas bermakna, Pada langkeh kedua, kita mengulangi langkah portama tstapi pada dataran dan ars yang berbeda. Realita dipandangnya berlapis-lopis. Apa yang sudaiy tcrinternelisasi itu kemudian hanya menetapkan jarak, yang scharusnya tereakup nalar analitik, serta menelapkan Iengkab yang harus dibuat untuk meautup Kesenjangan antara Kompleksitas yang tidak pemah terduga dan cara 7 cara intelcktual yang sudah ada pada diri kita? Dengan demikian nalar analiti harus ‘merubah dirinys menjadi malar dialektik, denyan harapan (otalitas baru yang dipcrolehnya akan dipaduican ke dalam totalitas fain, sehingya sedikit demi sedikil nalar diafektik akan melinat cakrawala dan obyck lain. Hadivin yang terhormat Kini kita dab belajar, bahwa kritik terhadap strukturalisme telah melzhiskan gerakan pascastruktural dan pascakolonial yang mendorong wacaua icori kembali pada dialextika proses kesadaran (kritis). Ya, kembali karena wacana itu telah dibawa strukturalisme ke renah objektif di Iuar kesadaran, Secara garis besar para pengarut pascastrukturalisme beranggapan, bahwa strukturalisme terlstu betsandar pada fakta bahwa bahasa (struktur) itu merupakan toualisasi Gi luar Kesadaren dani di luar kebendak yang tidak membias dan memiliki nalaraya senuici. Posisi ini monempatkan sang strukturalis, penemu stuktur, ada di alas "angin” hbungan sosial-budaya sehati- hari musyarakut yang ditelitinya, Artinya, kerja strukturalisme telah dianggap meaghasilkan pengasingan warga masyarakal partisipan budlaya terientu dari wacana sosial-budayanya sendin Tentu saja hubunesa antata strukiuralisme dan gurakan pascastruktural jauh lebih Kompleks daripada yany dapat dimuat dalam format pidato satu jam pengukuhan guru besar ini, Waleupen demikien, demi perdebatan dan kezja kita lebih laajux, bail kalaw saya canangkan bahwa sesungguhaya hubungan antata_strukturalisme dengan gerakan pasca struktural tidak ubshnya seperti huburyan dialektika antara naler analitik dengan malar dialektik yang diungkepkan Levi-Strauss dalam kriiknya pada Sarre itu, Pengalaman saya mengajar pada dua jalur wacana ini kira-kira mengatakan bahwa keduanya tidaklah cksklusif, sata jalur hanya terpshami karen dan demi jalar Jainnya, Kritik pascatruktural yang dikenal dekonstruktif ita menekankan perlunya gerakan di dalam hermeneutix {lmu tafsir simbol) antik kembali mengapresiasi pengalamen dan refleksi, sehinggi persoalan identitas budaya adalah porsoalan resistensi atau negativitas (Barthes 1981) dan subjok itu merupakan getakan sosiat (Touraine 1995) terhadap marka/ianda hampa makna (ffiksi}. Jadi kita diajak bergerak 8 kembali pada nalar dialcktik yang ada dalam rantai komunikasi pengembangan kowiunites agar bebas mengenali identitas budayanya dan dengan demikizn mampu mengorganisasiken dirinya seadiri. Untuk geraksn semacam itu, metodology strikiuralisme terbatas, karena ia terpaku pada obyektifasi-obyektifasi (seni, bahasa, pranata- Pranate dan agama-againa) pikiran manusia. Ketika dililit tuntuven untuk menyelesaikan pertentangan isu obychtifitas-subyektifitas, strukturalisme misalnya menilai obycicif Icbin sahih, schingga subycktifitas tereliminas! dan tatsir yang dihasilkannya jadi transenden. Asumsinya adalah bahwa (straktur) itu merupakan suaiu entitas menentukan dim seperti abjek yang menunggu untuk ditemukan dalam suatu teks, budaya atau pikiran scorang aktor sosial (Schwandt 1994:12)." Di sana etnografi, hasil kerja antropologi, diznggap sebavz} tafsir obyektif budaya Tein dan dijadikan representasi (bahkan sering dianggap asli) dari suatu. kebudayean. ‘Akibatuya terjadi suam penjajahan wacana mengenai Zien (the other), Karena penelifi telah merekatkan fiyan dalam teks/einografi yang ciprodnksinya (Fine 1994: 70-71), Para pascastnikiuralis, seperti yang dinyatakan olch Hexleger, Gadamer dan Taylor, berpendapat, bahwa hermeneutik itu berhubungar dengan soal ontologi (menjadi), yaitu suatu penjelasan fenemenologi (cksistensial) dari kondisi eksistensi atan menjadi-di- dunia. Di sini lingkaran hermenoutik atoa tafsir ity merupaken suaiu “kondisi ontologis pemahaman; ia maju dani suatu komunalitas yang mengikat kita secara umum pada tradisi dan secara khusts pada obyek interpretasi kita: ia menyediakan hubungan antara finalitas din universalitas, antara teori dan praksis. Dengan posisi seperti ini para pascastrukturalis dapat muclawaa pengasingan fiven dan dapat melantunkan tafsizan sceara lebih aktual. Menuret jalur ini, tafsiran tidak bethenti peda usaha menghasilkan nilai-nilai, kebijakan- Kebijakan, atau kebudayaan lain semata, tetapi lebih padz usaha-vsaha reflektif, yaitu proses pemaknaan yang mensintesakan fungsi-fingsi identifikasi dan predixatif akibat interaksi antera penetiti dan fivita- nya (pribadi-pribadti lain)? Tbatat membaca sebuah teks, maka penciifien antropologi iy ‘bemartisipesi tenat di dalam produksi makna melalui partisipasi dalam Tingkaran pembacaan dan interpretas} (Gadamer 1989 dan Taylor 9 1971/1987 via Schwandt 1994:121), Oleh karena itu interpretasi atau ponafsiran tidak lagi borsangkut paut dengan pengertian metodoloyi sebagai suata tuntunan, Akibainya kerja ponafsiran iru jou dari tuntutan verifikasi dan reliabilitas. Penafsiran menjadi sebuah soni (Sumaryono 1995: 79), Dalam hal ini pemahaman atau talsir tidak pernah obyektif dan statis di Ivar kerangka waktu, tetapi justeru sebsliknya. Tafsir itu selalu terikat oleh ruang dan waktu, artinya selalu bergerak menyejaran. Oleh karenanya di sena tidak ada proscdur verifikasi tempat kita bersandar. "Kita hanya dapat tenus- meneres menawarkan tafsir; kita ada dalam lingkaran tefsir” {Taylor 1971/1987 via Schwandt 1995: 121). Di sini saya condong untuk mengutamakan pengertian bahwa tafsir itu diskursifdialektis, ia bagian dari tafsir-tafgir lainnya, Dalam perspektif ini para peneliti antropologi dan humaniora pada umumna saya pandang punya tugas untuk memanifestasikan wacana secara ponuh dalam menulis. Saya sepakat dengan Ricoeur (1976: 43) banwa menulis ite sebagai kasus khusus dari ikonisitas (seperti lukisan menggamburkan dunia) atau penulisen kembali realitas. Oleh karena itm insktipsi wacana adalah transkripsi dunia, dan transkripsi ilu bukanlzh teduphkasi, tetap: metamofosa, Dalam prosos metamortosa itt tetjadi dialektika antara proses penjarakan ata cistansiasi dan apropriasi. Distansiasi terjadt karena menulis ita mengabaiken pembacanya sera menyembunyikan poaulisays, Scdang apropriasi adalah proscs menjadikan sesuatu yang asing” menjadi "milik” kita, sehingga penjerakan waktu menus ita didekatkan Kembali, Menumit Ricoeur menulis dan membaca ada dalam perjuangan (dialektis) ini. Membaca itu kemudian mondekatkan Kembali makna yang terjarakkan karena tulisan, memasukkan fiyan dalam diri pembaca, Eksplorasi Hadirin yang terhormat Kembali pada persoalan identitas budaya kita di zaman gobalisasi seat ini. Kita pzham, baiwa karena koneksinya dengan glcbalisasi, komunitas-kormunitas tempatan ayaris di seluruh duaia tidak ‘lagi dapet cipahanti dalam isolasi yang eksotis, Relasi mereka 10 Sergan (pasar) dunia telah menjadi keniscayaan, Ted C. Lewellen (2002: 7-8) secara garis besar mendefinisikan: “Globalisasi rmzsa kini sebagai peningkatas arus potdagangan, keuangan, kebudayaan, gagasan dan manusia sebagai akibat deri teknolegi canggih di bidang, Komanikasi dan perjalanan dan dari persebaran kapitalismte neoliberal ke seluruh penjuru dunia, dan juga adaptasi lokal dan regional serta perlawaman terhadap anis-arus itt.” Pada titik pertemman anlara geris depan globalisasi dengan komunitas-komunitas tempatan di Indonesie, baik kita belajar enengenai apa yang olch Anna Lauwenhaup: Tsing (2005: 3-4) disebut sebagai friksi. Katanya, friksi adalah fragmen-fragmen ketika orang- orang Indonesia nemanfaatkan peluang (bersiasat) di garis depan (ruang bampa makna”} perjumpaan globalisasi dengan sumber- sumber alam den sumberdaya manusia. Di sana dapat ditemukan kualitas-kualitas interkoneksi yang anch, tidak sepadan, tidak stabil dan kreatif. Dalam [riksi itulah secara torus menerus ideatitas daa kebudayaen lokal dan kedudayaan apa saja direptoduksi menjadi sesuata yang sulit sekali diduga ujung pangkalnya, Dalam sckaiian proses itu apa Saja jaci komoditi, yaitu barang, (éagangan) produk kapitalis dan obyek hastat kensumen. Komoditi biasanya kita anggap sedemikian rupa siap saji di sepanjang mata rantal sciak dari talap produksi hingga tabap distribusi. Tiap mata rantai itu kate Tsing dapat dipabami sebagai arena produksi budaya ata friksi. Ta mecunjukkan, bahwa pade setiap tahxp pemrosesan komoditi, lahir “kisah aneh-anch” (Jw. ceng-aong), kekuranyan kuslilas distasi secura teknis dan juga secara verbal. Semuanya momiliki kisah dalam ekonomi (penampilan) Kapitalisme global dibuat dalam friksi pada mata rantai ini Ketika bentuk-bentuk ckonorai yang berbeda (ersambung seringkali sccara anel. Di situ perusahaan- peruszhaan perintis harus mendramatisir mimpinya, Conich yang diangkat Tsing misalnya adalah kasus penjualan saham (ambang emas Busamg di Kalimantan Timur, vang diceritskan sebagai tambang emas dengan deposit terbesar di dunia padshal omong Kosong. Dalam kasus lain, misalnya kita temukan bagaimana suku cadang moter atau mobil diperdagangkan dalam berbayai versi yang bermacam-macam (asli dan tirvan) dengan “omong kosong” yang bermacam-macam pula ft semua sckedar untuk menaikkan WW harga, schingga kita tidak jarang membeli suatu barang bukan karcna kebutuhan kita tetapi kareoa harganya (ceritanys) saja. Akibammya para kapitslis dapat mengakumulasi uang secara spektakuler. Di sini pulalzh tenjadi kroniisme franchise yang menandai_saling ketergantungan antara korupsi dan investasi asing. Bersama budaya frontier (garis depan), kroniisme franchise can modal finansis! mengikat Lubungan saling tcrgantung di seputar akumulasi spektakuler semacam itu, ‘Ada banyak siasat melawen tekanan globatisasi untuk melantunkan identitas Kultural kita. Misalnya sejak bampir satu dekade ini, rekan saya Budi Susanta (1993, 1995, 1997, 2000. 2/108) sccara Konsisten, cengan pendekatan pasca Kolonial, memantau berbagai siasat (politik) massa rakyat kita (di Youya). Kemudian di harian Kompes, kita juga banyak disuguhi tulisan features olch Sindhuaata (2007). Salah satu tulisannye adalah mengenei kisah bidup mbok Tukinem. la buta sejak umur sebelas tahun, snaknya empat tetapi satu per satu mati sekit pada usia sebelum sepuluh tahun suaminya. yang juga buta, kena kanket di usia senja. Meskipun malang terus mendera, siasal hidupnya tidak kenal menyerah. Pada masa kecil dia ikut ibunya menggendong getabah dagengan dari Sleman hings Semarang (100 km.) jalan kaki, kerena hasilnya tidak cukup bayar sewa mobil, Kemudian setclah tua, ia kerja menganyam tukar, sclembar due minggu kerja. Hasilnya tidak cukup untuk makan dan mengobati_ suami yang selalu mengerang menahan sakit. la bertahan dalam Aidup dan harapin kasih Tehannya tanpa pemiah mengemis atau nvolongan. Para pembace artikel itu konon menyalu dengan derita dan teladan hidupnya, Mereka mengurapufkan dara hingga cukup untuk mengobati sami di rumah sakit dan cukup uncuke bbeli beberapa ekor lembu. Para pembaca mampu meneraukan identitas diri mereka sendiri sehingga banyak di anlaranya menyambang besar tanpa mau dicatat identitasny2, seperti belanja untuk diti sendiri. Dalam kesempatan tertentu, says sendiri sceara sambil laln juga mevcoba mengamati satu dua peristiwa schari-nari pelantanan identitas somzcam itu. Salah satu di anearanye terjadi pada hari minggu tanggal 5-11-2600, di PPPG Kesenian Yogya. Kelika itu seratus lebih rakyat terpinggircan dari ocgara-negera Asia Tenguara dalom acara SEAFEST (Southeast Asian Festival) berkurnpul. Pada 12 aeara pembukaan selepas maken malem tiba-tiba terdengar pak. Aetepak..pak. pak, suara tabuhan kencang bertalu-talu. Sujud Sutrisno. pengendang jalanan legendaris dari Yogya, kota kelahiran saya, tampil menghibur peserta diitingi suara angkluog yeng dimainkan oleh rekannya yang buta. Tentu ini kejuten lear biase buat saya. Citranye 40 tahun lalu langsung terbayang dalam relung mate saya. Dudu ia seorang bocah pengamtien yang ke luar masuk lorong-lorong kampung dengan dandenan badut menor berbedak tebal, berkalungkan selendang dan kendang. Tiap langkahnya di kampung selalu dikcuntit anakeanak kecil (lermasuk saya sendiri) yang tersihir oleh kendangannya yang lincah, Suaranya yang scrak, mimiknya yang luow dan semua ciri istimewa yang tidak dimiliki anak-anak schayanya di Kampung sangat memukau. Meskipun ia juga orang Yogya, ia mewakib dunia eksotik anak-anak kampung saya pada waktu itu. Suara tabuian kerdangnya selalu datang di kampung lebih dahulu dari orangnye dan suara itulah yang mendahului keberadaannya yang menyedot anak-anak untuk menghampirinya. Expat puluh whun kemudian, ia saya temukan kembali di panggung menghibur rekyat dari berbagai ncgara. Kini meski tidak lagi termpil menor soperti badul, suara kendangnya masih menemani keboradaanya. la tidak texpisabkm dari suara kendang yang menjadi begit bersrisertz_punya pesona di pelukannya. Sued dan Kendangnya jali cwitungeal yang nyata. dialektika manusia dan alavieknologi (kendang) menghasilkan keberadaan penuh pesona. Porjalanan waktu saya 40 tahun tiba-tiba tampak beyitu singkat sara gara kehadiran Sujud. Tentu saja kami berdua banyak mengatami perubahan, rambul kami sama-sama memutib, Saya bukan lag? anak- anak, yang suka membuntutinya. Ia sudah punya dua orang anzk yang dhsekelahkan di SMEA dan sudah dapat membelikan tanah dan rumalt untuk kedua orang tuenya. Semua sukses diraihnya dani nganen dengan kendang ke luar masuk lorong kota Yogya dan dari saiu pentas ke pentas latmya, Namun demikian, kehadirannya maiam ity telah mengingatkan ada sesuata yong kuat beriaban di antara kami. “Sang waktu” yang 40 hur lamanya iti seolah-olak mandeg atau transenden. Kengpa ini mungkin terjadi? Sujud melakukan sesuatu yang tidak saya atau orang lain lakukan. la menghibur langganannya® secara sangat teratur, setia dan 3 berranggungiawab. 1a mentbatasi rotasi kunjungannya hanya sekali sebulan untuk Gap tempavorang. 1a kumpulkan wang receh (uang tak berarti) dari langgananmya menjadi tands-tanda keberhasilan (tanah, rumah dan sckolah anak} dan kelesterian, [a merjamin perhatian kecil (uang receh) yeng, diberikan para pelanggannya itu tidak sia-sia dan jadi sesuatu yang bernilai. Kehadirannya di PPPG Keseniae malam itu Jelas atas prakarsa panitia/warge kota yang mengenalnya, tetapi tidak terlepas dari jaminar: karya/kerja Sujud scbagai seniman kendang. Jadi ci sini kita menyaksikan tritunggal akwaVsesaal, yang terdiri deri Sujud-kendang-warga kota, saling menghadirkan “waktu transenden" tkenangan berkomunitas) yang 40 tahun seolah tidak berubah itu Dengan kata Iain seni itu melibatkan suatu kompleks eclasi yang saling berketindan. fa sda dalam ranah pengalaman berkomumitas antara seniman (penikmet)-karya-penixmal (seniman) yang. dalam kasus Sulud-Saya"orang Yogya tainnya,” produkti? menghasilkan kescimbangan makna, semua menyatu dalam ruang dan wakte, dalam, seni (liyan) yang bersejarah itu Peristiwa itu mengingatken saya pada kisah Quesalid, dukun dan sihimya serta efektifitas simbol, yang ditulis Levi-Strauss (1997) Dukun menggenapi pasien dan warga yang kekurangan xoherensi bahasa untuk mengatakan sakimya dan dengan demikian untuk menyembubkannya. Si dukun, yang asaloya bukan dukun sama sekali, menjadi dukun karcaa ia menerima disinya dinemai dukun dan menunjukkan tingkah aach sebagai dukun yang diakui para pemegany Kuas# masyarakainya. Katanya kesembuhan pasien yang dilayaninya tetjadi akibat abreaksi (dari psikologi) pasien. yang justery berhasil mentautken kesadarannya dengan (sistem) bahasa (Kacau) si dukun loi niasuk akal sejauh si dukun ity kemudian vidak dibuauh sepeni ‘yang terjadi di Jawa Timur. James T Siegel (2006: 210-231) dalam bukunya tentang dukun santet di Jawa Timur justera menuajukkan semua iu tergantung pada hagsimana kebudayazn mengasimilasikan sesuat yang tidak dapat Giasimilasikan, tergantung bagaimana dukun dinamai. Dalam kasus Quesalid, ia diakui para pemegang kuasa masyarakatnya karena alasan kuasa semata, sebab ia momiliki kuasa (pengetahuan) yang paca penguasa masyarakatnya tidak memilikinya. Jadi ia diterima bukan Karena terjadi kejumbuban dua sistem bahase yang berbeda. Yang 4 tetjadi di Jawa Timur menurut Siegel adalah kegagalan penamaan sescorung scbagai dukun. Para duiun samiet dibunuhi karena penarnaannya telah mengarah pada kekerasun yang tidak terujukkan akibat penyinigkiran unsur-vosur yang tidak dapat didukung karena tidak dapat diasimilasikan. Indi mereka cibunuh Karena kegagalan mengasimilastkan Konsep dukun (santet) dan Karena itu ada ketidak- seimbangaa pertukaran (budi banasa). Orang tidak dapat menerukan rekognisi dirinya pada orang lain, schingya ia uamai orang lain itu dukun (sanict). Pembenacannya pun berdasar gosip, omong kosong, rerasan den Katanya (dia dukun beneran). Padahal orang tain itu sesungguhaye sama alau idectik dengan dirinya sendin. Temuan Siegel ini mengingstkan bahwa kelincan berkormumitas antara seniman (penikmat)-karya-genikmat (seniman) seperti dalam kasus Sujud tadi itu tidak lak selalu berlangsung seimbang. Di sana selalu ada kemungkinan komuntkasi gayal karcna ada perbedaan kekuasaan clan canapur tangan pemegang kuasa arus besar. Hadirin yang terhormat Baru saja seya sampaikun betapa kompleks persoalan ideniitas badaya yang kita hadapi. Scluma hampir 30 tahun masa pengabdian sya di Universitas Gadjah Mada, banyak waktu den usaha saya arankan bersama-sama para mahasiswa yang dipercayakan kepada saya untuk memikitkan hal-hal ini. Sejak tahun 1990 saya membuka kelas Einofotografi, Kelas inj dimaksudkan sebagaj kelay pengantar untuk antropologi visual yang isinya lebii Gari sekedar isu teknik fotografi. Melalui kelas itu kami bersama-sama membicarakan isu mengenai orang Icin {etnilc} menggunakan mediasi dalam beatuk foto- foto, yang sclaly merupakan fiyan kita, Jadi kami menggunakennya sebagai sarana potensial untuk mengkonstruksikan ctnografi. Ketidak terhinggaan foto dalam merepresenasiken pevistiwa, yang tidak nampak invisible) bagi mata biologis kita yeng sangal selcktif, menygjikan sumber yang tidak terbatas bagi para antropalog untuk menemukan argumen yang memadai untuk menghasilkan klaim etnogtafi yang meneerahkan, Di sana kami menerima foto buken sekedar sebagai rekaman penstiwa yang didapat dari mata biologi kita di masa lalu, tetapi scbagui citra tampa kode (Barthes 1981: 88), yang mengundaag signifikasi (pemaknzan) lambshan ke permukazn dari 1s delaiinya yang tidak terbatas. Kami percaya pada pandangen popaler dalam antropologi bahwa langkah yang paling ponting untuk mereka yang ingia menjadi ctografer, amatir sckalipun, adalah melatih matanye untuk melihat invisibilitas (yang tidak tampak} dalam suatu ekspresi: budaya. Sepanjang perkutiahan, mahzsiswa bersama dosen pengampu berlatih bersama secara partisipatoris, schagaimana sebuah kemunitas akademik schanisnya bekerja, ciundang untuk menciskusikan isu-isu yang muncul dari citra visual foro-fote yang mereka produksi dan dari Bahan bacaen (dari pengalamen). Scjak dari awal semester, para imahasiswa difasilitasi untuk srenemuken satu ist borsama yang dapat meteka pelajari sepanjang semester baik di lapangan mauput: di kelas. Kepentingan-kepentingan perorangan sedapat mungkin disclarsskan dengan fokus belajar kolektif. Dengen demikian struktur kelas dibertuk sebagai kelompok lokakarya partisipatoris. Mesing-masing di kelas dibarapkan memainkan peran ektif tidak hanya dala diskvsi ctapi juga di dalam mengorganisasi kelompok ketike mereka harus melakukan Kerja lapangan, pomrosesan foto di kamar gelap, dan publikasi hasil melalui pameran, seminar dan penerbitan, Pameran- pameran yang mereka selenggarakan ketika ity sering mendapat sairbulan diskusi haagat dari publik, babkan ada yeng kemudian diminta—masyarekat Kampung untuk = membantu warganya mengidcntifikasi permasalahan kampung mereka. Dengen meajalani Proses-proses. ini para mahasiswa dapat memporoleh svat pengalaman langsung bertautan dengan praktek nyata melakukan etnografi (partisipatoris) dan mengorganisasi suatu komuritas akademik baik secara internal dengan rckan sejawatnya maupun ekstemnal dengan publik yang lebih lias, Dalam beberapa tahun trakhir, sebagai tindak Jenjut Kelas etaofolografi, Jucusan antropologi UGM metibuka kelas Antropologi Visaal untuk program $1 dan kelas Visvalitas Baru untuk mahasiswa pasca satjana. Kelas antropologi visual merupakan kelanjutan program eimafotografi dengan tambahan media videografi. Sementara dalam Kelas Visualitas Baru, praktek penguaszan media ditiadakan dan kclas diisi dengan dissusi yang lebih tcoretik mengenai soal visualitas (Ponglihalan). Antara tain kami membicarakan visualitas sebagai Fakta sosial yang berupa sistem jaringan pemsknaan pada pandangan (musta) 16 kita, Di dalam visualitas ini terjadi wacana visual yang mengendupkan segala sesuatu sehclum dan sesudah kita lihat (dengan mata kepala), sehingga ia aken torus bertahan behkan setelah kita tidak melthatnya lagi. Dengan kata Jain visualitas adalzh pandangan yang termaediasi dalam berbagai citre yang memuat makna dan bukan hanya pandangan kosong.” Karcne memuat makna tertentu, visualitas itu memiliki konteks sosial. Jadi visualitas itu merupakan produk dari proses- proses di dalam wilayah liminal/ambang (dalam komuaites tertenta), di mana gcrakan sosial, demokrasi populer, kesamaan, totalilus, kuasa rakyat dan segala macam perlawanan terlekat.” Dari perspelcif teoretik yang secara ringkas mempertautkan pengertian visualitas dengan konsep komunitas, gerakan sosi¢l serta proses-proses yang ada di dalemnya itu, saya menyarankan pentingnya reflcksi berkelaajutan, agar proses pelembagaan (mediasi) pengalaman dapat berlangsung terorganisasikan, partisipateris dan apresiatif icthadap identites yang berbeda-beda. Selama hampir 20 tahun terakhir ini banyak pekerjaan penelitian yang telah saya lakukan. sedekat mungkin dengan Saran seperti ini. Bersama warga masyarkat adat dan para sktivis ORNOP (Organisasi Non Pemerintah) kami melakukan penclitian partisipateris menyangkui isu-isu lingkungan dan advokasi kebijakan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTT, Maluku den Papua. Salah satu di antaranya adalah menulis etnografi bersama warga masyarakat adat aktivis perdamaian di Kepulauan Kei. Melalui workshop pertulisan partisipatotis kami mendokumentasikan sekaligns memproyeksikan pengalaman (pelajaran baik} para aktivis perdamaian itu mendorong penyelesaian konflik SARA di kepulauan Kei tahun 1999, Hasil lokakarya itu dapat ditemukan dalam buku Ker Su Fuak: Bonih-Benih Perdamaian dari Kepulavan Kei yang kami sunting bersama Rocm Topatimasang, Dari pekesjaan-pekerjaan di luar kampus ini saya melihat semakin (crang betapa antropologi ity dapat member sumbangan yang sungguf-sungguh berarti bagi penegakkan identitas budaya rakyat kita untuk menyambut (antangan sbad XX1. Di dalam kampus, bersama-sama puluhan rckan di Pusat Studi Asia-Pasifik UGM, kami mengembangkan Program Studi Antar Budaya, Hampir 4@an mahasiswa $2 bdersama 40on mitra pembimbing, dari berbagai fakultas din jurusan klaster ilmu-ilmu sosial, kami dukung dengan samangat ini untuk secaras tintas disipiin 7 berpasang-pasangan mencliti masyarakat dan budaya di luar tempat kelahiranaya. Kami berharap agar mereka dapat mienemukan identites, budaya dirinya sebagai warga Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika Witayah kajian mereka hampit merata dari Sumatera hinges Papua Banyek sekali pengalaman mereka yang tidak dapet saya sampaikan satu per satu di sini, Secara umum, meski pun untuk sebagian besar belum depat mereka tuangkan dalem tugas akhir mereka, para pencliti itu sering mengaku bangga menemukan “kelndonesiaan” mereka Karena pernah berjumpa dengan masyarakat dan budaya yang sehelumnya asing bagi mereka. Bamyak perubahan kesadaran (akademik maupun sosial-politik) mereka ungkapkan selepas menjaleni program antar budaye, Jelaslah bahwa program semacar ini telah mengambil inspisasi dari antropologi reflektif untuk: diterapken pada kebutuban akademik khusus pada jurusan dan (ekultas pilihan mereka. Kemi bersama-sama telah menghimpun pengetahuan yang tumayan besar. Banyak di antaranya sedang diusatiakan ferbit dalam jummal dan Suku. Sementara itu secara berkomunitas Kami torus berusaha mctakukan metamorfosa agar program semacam ity dapat memberikan sumbangan yang. icity berarti bagi kalangan yang lebih las Penutup Hadirin yang terhormat Peta jalan antropologi. yang baru saja saya paparkan, berangkat dari kepedulian maestro antopologi Indonesia, elmarhum Prof. Kocngjaraningrat, yang sangat besar untuk mengembangkan antropologi domestik Indonesia yang mampu memecahken masalah- masalah besar nasional, Peta jalan yang saya ecba paparkan memang terbatas pada isu identitas budaya, yang tentu saja toreckup oleh isu integrasi nasional dan perubahan sosial-budaya. Memang sampai sekarang soal ini masih wtap krusial apalagi dengan terjadinya interkoncksi antera komunilas-komunitas tempatan kite dengan dunia akibat globatisasi kapital. Pendckatan yang kami tawarkan adalah meialui ransh Kognitif dan simbotik dengen menggunakan cara-cara yang reflestif partisipatoris. Dengan demikian antropologi Indonesia i abad XXT dituntut bekerja peda isu-isu praktis calam hidup seheri- 18 ari dan bersama para warga komunitasnya mengembengkan penelitian untuk enengidentifikasi masalzh di sekelitingnya, jadi juga mengidentifikasi diri_masyarakat dan din amtropolog itt sendici Dalam hal ini antropologi ikut bersama warge masyarekat {berpolitik}) membangun sejacah baru. Pada posisi ini antropologi memang tidak bbebas nilai, ia menjadi imu yang terliba: dalam proses-proses sosial- budaya di masyarakat. Dati pengelaman, scjauh ini ada baiknye amtropologi tetap focus pada isu strategis yang berkaitan dengan ontologi identitas budaya, yaitu pada proses bagaimnana kesadaran diri yang dialektis menyandarkan pada canta’ kemunikasi yang jumbuh, anrara “saya” dan “kamu” yang saling membesi pengakuan nyat. Scmega melalui pemetzan ini menjadi jelas betapa kormplcksaya tantangan antropologi pacla masa-masa yang akan datang. Kita tclah renyaksikan betapa komtnitas-komunitas tempatan kita di garis depan globalisasi torus mendapat tckanzn dari modal yang terus mengaproniasi sumber-sumber alam yang berada jusicru herdekatan dengan komunitas-komunitas itu, Mereka dan kita scmua selayaknya sama-sama meresakan betapa sulitaya menegakkan identitas cite dalam situasi yang serba tontekan seperti itu. Oleh katena itu jalan yang rerbuka kemudian adalah mentautkan entropologi dengan xgerckan-gerakan sosial untuk menghinéari kegagelan penamaan yang hanya berdasar kekuasact dan mengarah pada kekerasan akihat penyingkiran unsur-unsur yang tidak dapat diasireslasi pemeyang kuasa arus besar masyarakat Sevara lebih khusus saya telah menawarken wilayah eksplorasi akademik dengan memperhatikan persoalan invisibilitas dari ekspresi- ckspresi budaya. Kita dapat “hermain” tefsir misalaya atas pengalaman-pengalaman visual kita dalam hidup —schari-hari Selanjutnya kita dapat berbagi kuasa kita alas pengetahuan Penggunaan alat-alat penelitian kita bersama masyarakat untuk mengungkap relasi-relasi yang tidak seimbang dan tidak adil. Ini artinya kita mulai mengungkapkan visualitss sebagai fakta sosial sistem jaringan pemaknaan pada pandangan mata kita sebagai produk Proses-proses dalam kornunitas (gorakan sosial). Lebih jauh lagi peta jalan antropologi abad XX1 semestinya dapat membimbing kita untuk mengembangkan wacana antar budaye melalui program-program pendidikan partisipatoris miericrtemukan civitas akudemik kits 19 dengan fyannya. Kata kuncinya antropologt perlu masuk dalam rung refleksi yang berkelanjutan dan torus menghasilkar etnografi yang semakin reflekti pula, Hactirin yang rerhormat Schelum mengokhiri pidsto ini, perkenankenlah saya mengueapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu saya meniti karir hingga memporoleh jabatan Guru Besar, serta membantu (erselenggaranya pidato peagukuhan ini. Tidak ada guru tanpa murid. Oleh karena itu Ucapan icrimakasih pertamatame saya (ujukan kepada para matwsiswa dan bekas mebasiswa saya yang tidak dapat saya schutkan satu per satu Merekalah yang sejatinya membuat saya jadi guru. Selanjuinya saya berterimakasih kepada pemerintah Indonesia yang melalui surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia (no: 44270'Ad 5! KP/2008), telzh mengangkat saya sebagai Gun Besar Antropotogi pada Fakultas [Imu Budaya, Universitas Gadjah Mada, kepada Reklor Universitas Gadjeh Made bescrta seluruh anggota Mejelis Guru Besar dan Scnat Akadomiknya, kepada Dekan Fakulias mu Budaya yang tolu Prof Dr. Syamsul Hadi, S.U. M.A., beserta Ketwa Senat den Seksetaris Senat yang laly, Prof, Dr. Djoko Suryo dan Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro, serta segenap anggota Senat Fakultas [nu Budaya. Universitas Gadjah Mada, yang telah menyetujui dan memperjuangkan agar saya dapat menduduki jabatan Guru Besar Antropologi. Kepada Keluarga hesar dosen dan karyawan Fakattas Thmu Budaya, terutama kepada ibu dekan Dr. Ida Rochani Adi SU, dan kopsda para mantan dekan almarhum Prof. Dr. Sulastin Sutrisno, almarhum Prof. Dr. brahim Alfian, Prof. Dr. Djoko Sakiman, Prof, Dr. Djoke Suryo, Prof. Dr. Siti Chamamah, Prof. Dr. Sjafti Sairin, saya ucaphan banyak terimekasin. Secara Khusus, saya sangat berterimakasih kepada rekan-refsan saya di Jurusan Antropologi yang. begitu toleran dengan perabewaun saya.* Pada kesempatan ini saya juge sngin menyampaikan terimakasih kepeda teman-teman kerja pada awal karir saya di Lembage Kependudukan {sekerang Pusat Studi Kepondudukan) UGM: dan di Pusat Stadi Lingkungan Ridup.'* Kenndian saya ucapkan ferimakesib 20 kepada semua rckan di Pusat Studi Asia Pasifik UGM: almarhum Prof. Dr. Dibyo Prabowo, Dr. Sri Adiningsih, Dra Nurwidyohening ‘SU, dan Noor Rahmaat, M.Sc. Dalam hal ini saya ingin seeara khusus mengucapkan terimakasih atas dukungan intelektual dan moral kepada rekan-rekan pengelola dan tutor program Beastudi Antarbudaya yang selama hampir sepuiuh tahun terakhir tidak Kenel lelah bekerjasama mengembangkan kontunitas akademik dan ilmu yang sebagian besar sudah saya sampaikan di muka.' Terimakasih juga saya sampaikan untuk para gama saya di SD Pangudilubur Kidul Loji, Seminari Stolla Maris di Bogor, dan SMA Kolese de Brito; dan kepada para dosen saya di Universitas Gadjah ‘Mada, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, dan Universitas Comell.' Dari mereka semua saya mendapatkan curahan ilmu yang tidak terbatas. Kepada rekan-rekan semasa studi S2 di Leiden." dan kepada rekan-rekan sclama studi S3 di Ithaca," tcrimakasih sekali alas dukungantiya yang begita berarti bagi perjalanan karit dan hidup saya, Semoga Tuhan melimpahkan rahmat dan karunignya untuk anda semua Akhimya, saya ingin menyampaikan dharma hakti saya, kalau mungkin tanpa kata-kata karena (erlalu dalam untuk diketakan, kepada almarbur ibu dan bepak saya MW dan J Kastowo, yang terus menerus berdoa dan bekerja membesakan kami 12 berseudara, dengan pendidixan yang istimewa. Kepada Mas Nano, mbak An, mas Pius, Nanik, Aji, Sinta dan Pang, Silvi, Carla, Sasi dan si bungsu Fajar, serta keluargamu semua, terimakasih atas kasih dan dukunganrmn semua, Terimakasih yang tidak rerhingga juga ingin saya sampaikan kepada Tou dan Bapak mertua saya beserta selurth keluerge besar AM Rustinah dan AY Suyitno yang telah dengan tulus kasih memperkenankan saya dua kali jadi anak menaotu. Saya juga bertorimakasih, kepada keluarga besa sinbak Wahyosudibyo dan mbah Wates, Akhienya untuk isteriku alm. LM Widiastuti Rahayn dan ‘Yuliona Widiati Nuraini, serta anak-anakku Monica Maria Widi Setyorini, Fransiscus Sales Magastowo dan Patricia Pratita Sari, kupersembahkaa cintaku, Terimekasih alas kehadivan dan kesaharannya mengikuti pidato pengukuhan ini, Semoya Tuban yang Mahakasib melimpahkan rahmat den karunianya untuk kita semua yang hadir di sini, a Daftar Pustaka Bogan, R dan, S. J. Taylor 1975. friroduction to Quatitutive Research Methods. New York: Jobn. Wiley &Sons Inc... Fine, M. 1994. “Working the Hyphens: Reiaventing Self and Other in Qualitative Research,” dalam Norman K. Denzin dan Yvonne S. Lincoln (eds.). Hanbuok of Qualitetive Research. Thousand aks, London, New Delhi: Sage Publications. Goetrz, C. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Koentjaraningral, 1961, Metode Antropologi. Djakarta: Penerbitan Universitas. 1975, Anthropology in Indonesia. KITLV Biographical Scries 8.°S-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1989. Pengantar Him: Antrepologé. Cotakan ketujub. Jakarta: Ponerbit Aksara baru Jakarta. Laksono, P.M, 2007. “Visualitas gempa Yogya 27 Mei 2006,” dalam Masvarakot Indonesia, Majalah Iimu-ilmu Sosial Indonesia, him. 15-45 2000, Permainan Tafsir: Polittk mana af Jalan pada Penghujung Orde Baru, Yogyakarta: Kerjasama lasist Press dan Jerat Budaya, Laksono, PM. dan Roc Topatimasang,, 2004. Ken Sa faak: Benih- henih Perdamaian dari Kepulauan Kei, Yogyakarta: Nen Mas I-Insist Prose. Levi-Strauss, C. 1966. The Savage Mind. Chieago: The University of Chicago Press. (977. Structural Anthropology. Volume I. Thetford, Norfoik: Allen fane. 1997, Mitos, Dukwn & Sihir. Yogyakarta: Penetbit Kanisius. ‘Magnis-Suscno, F.. 2005. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakaria: Penerbit Kanisius. Maanen, J. Van (ed.}. 1979. Qualitative Methodology. Beverly Hille: Sage Publications. Ricocut, P.. 1976. Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning. Forth Worth, Texas: The Texas Christian. University Press 22 Sarup, M. 1994, dx datroductory Guide 10 Post Sirueturalism and Postmodernism, Second edition. Athens: Tho University of georgia Pross Schwands, T, A. 1004, “Constructivist, Interpretivist Approaches to Homan Inquiry,” dalam Nonnan K, denvin, dan Yvonna S. Lincoln (eds.) idem. Siegel, J. T. 2005. Naming the Witch. Stanford, California: University Press, Sindhunata, 2007. Segetas Beras untuk Berdua. Jakana: Penerbit Buku Kompas. Sumaryono, E. 1995. Hermoneutik: Schuah Metode Filsafist ‘Youyakarta: Penerbit Kanisius, cetakan kedua. Susanto, B. 1993. Perisiiwa Yegya 1902: Sigsat Politik Massa Kakvat Kota. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga Studi Realino. _____1991. Ketoprak. The Politics of the Past in the Present-Day Java. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2000. Imajinasi Penguasa dan Idewites Posikolonial: Sasast Politik (Kethoprak) Massa Rukjct. Seri Siesat Kehudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lombags Studi Realino, Susanio,B. (ed). 2008. Gefmerslap Nasionatas Pastkotontal. Yopyakarta: Pencrbit Kanisius dan Lembaga Studi realino Susanto, B. dan AM.T, Suptistma,, 1995. ABR/: Siusar Kebudavean 7943-1993, Yogyakartu: Penerbit Kanisius da Lembaga Studi Realine Toursine, A. 1995. Critique of Modernity. Translated by David marcey. Oxfont UK & Cambridge USA: Blackwell Publishing, I, 358-374 ‘Tsing, A. L.. 2005, Friction.dw Evhnography of Glebat Connection. Princeton and Oxford: princeton University Press. Turner, V. 2002, “Liminality and Communitas,” dalam Michael Lambek ed., 4 reader in Anthropology of Religion, Blackwell Pubiishing, hlra. 358-374 Walker, JA & Sarah C.. 1977. Visual Culture: An Introduction, ‘Manchester and New York: Manchester University Press. tan ford 23 BIODATA P. M. LAKSONO. Menyclesaikan sarjana mudanya di Universitas Gadjah Mada pads tabun 1975 sebelum —mempercleh gelar_—_serjana Antropologi dari Universitas Indonesia pada tahun 1980, Pria kelahiran Yogyakarta 6 April 1953 ini aktif dalam perelitian sejak tahun 1974, setelah itu aktif menulis buku dan artikel ci berbagai jumal ilmiah, baik di dalam maypun di luar negeri. Ta menyelesaikan program raster ($-2)_bidang Antropologi di Universitas Leiden, Belenda, dan stadi doktoral ditempuhnya di Cornel! University, Amerika Serikat dengan disertasi Wuret Ainmehe Nifin, Manut Ainmehe Tilor (Eggs from One Fish and One Bird): Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Ket Istands. ka rocnikab dengan Yulisna Widyati Nuraini dar. dikaruniai tiga nak. Selain kesibukannys sebagai dosen Antropolagi, FIB, UGM, dia juga bekerja sebagai wakil direktur Pusat Studi Asia Pasifik UGM. Tahun 2005-2006 ia menerima tadian Fulbright dalam program schiclar ia residence untuk menjadi dosen tamu di Lafayette College, Easton, Pennsylvania, U.S.A. Saat ini ia tinggal di desa Banjarsari, Sukoharjo, Neaghik, Slenan, CATATAN AKHIR " Pada ares ontologi, penclitian positivis uisalaya menganut realisone asi eryacaan itu "nyota” serta dapat dipabam’ (sepenvknya). Semecrars penelitian postpesitivis mengurat realism: kris: Kenyataan ite "nyata” Wetapi hanya mungkin

You might also like