You are on page 1of 2

4.

Konfrontasi Terhadap Malaysia Masalah Malaysia merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk
mendapatkan tempat dalam kalangan pimpinan negara. Masalah ini berawal dari munculnya keinginan
Tengku Abdul Rahman dari persekutuan Tanah Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura untuk
menyatukan kedua negara tersebut menjadi Federasi Malaysia. Rencana pembentukan Federasi
Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia. Filipina menentang karena memiliki keinginan
atas wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina menganggap bahwa wilayah Sabah secara historis
adalah milik Sultan Sulu. Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden
Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk
mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai
proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu, berdirinya
negara federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia. Untuk meredakan ketegangan di antara
tiga negara tersebut kemudian diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) di
Filipina pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963. Hasil-hasil pertemuan puncak itu memberikan kesan bahwa
ketiga kepala pemerintahan berusaha mengadakan penyelesaian secara damai dan sebaik-baiknya
mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia yang menjadi sumber sengketa. Konferensi
Maphilindo menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila dan
Komunike Bersama. Inti pokok dari tiga dokumen tersebut adalah Indonesia dan Filipina menyambut
baik pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu. Mengenai
pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta Sekjen PBB untuk
melakukan pendekatan terhadap persoalan ini sehingga dapat diketahui keinginan rakyat di daerah-
daerah yang akan dimasukkan ke dalam Federasi Malaysia. Kemudian ketiga kepala pemerintahan
tersebut meminta Sekjen PBB membetuk tim penyelidik. Menindaklanjuti permohonan ketiga pimpinan
pemerintahan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB membetuk tim penyelidik yang dipimpin oleh
Lawrence Michelmore. Tim tersebut memulai tugasnya di Malaysia pada tanggal 14 September 1963.
Namun sebelum misi PBB menyelesaikan tugasnya dan melaporkan hasil kerjanya, Federasi Malaysia
diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963. Oleh karena itu, pemerintah RI menganggap
proklamasi tersebut sebagai pelecehan atas martabat PBB dan pelangggaran

Komunike Bersama Manila, yang secara jelas menyatakan bahwa penyelidikan kehendak rakyat Sabah
dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum Federasi Malaysia diproklamasikan. Presiden
Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman karena
menganggap referendum tidak dijalankan secara semestinya. Hal itu merupakan suatu perwujudan dari
“act of bad faith” dari Tengku Abdul Rahman. Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang
dibalas pula dengan aksi-aksi demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada
tanggal 17 September 1963, hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan. Pemerintah RI pada
tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan
Sabah. Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat
Kalimantan Utara dalam melawan Neokolonilisme Inggris. Konflik di Asia Tenggara
ini menarik perhatian beberapa negara dan menghendaki
penyelesaian pertikaian secara damai. Pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan Thailand berusaha
melakukan mediasi menyelesaikan masalah ini. Namun masalah pokok yang menyebabkan sengketa dan
memburuknya hubungan ketiga negara tersebut tetap tidak terpecahkan, karena PM Federasi Malaysia,
Tengku Abdul Rahman tidak menghadiri forum pertemuan tiga negara. Upaya lainnya adalah melakukan
pertemuan menteri-menteri luar negeri Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bangkok. Namun pertemuan
Bangkok yang dilakukan sampai dua kali tidak menghasilkan satu keputusan yang positif, sehingga
diplomasi mengalami kemacetan. Di tengah kemacetan diplomasi itu pada 3 Mei 1964 Presiden
Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) di hadapan apel besar sukarelawan. “Kami
perintahkan kepada dua puluh satu juta sukarelawan Indonesia yang telah mencatatkan diri: perhebat
ketahanan revolusi Indonesia dan bantuan perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura,
Sabah, Serawak dan Brunai untuk membubarkan negara boneka Malaysia”. (Taufik
Abdullah dan AB Lapian, 2012) Untuk menjalankan konfrontasi Dwikora, Presiden
Soekarno membentuk Komando Siaga dengan Marsekal Madya Oemar Dani sebagai Panglimanya.
Walaupun pemerintah Indonesia telah memutuskan melakukan konfrontasi secara total, namun upaya
penyelesaian diplomasi terus dilakukan. Presiden RI menghadiri pertemuan puncak di Tokyo pada
tanggal 20 Juni 1964

Ditengah berlangsungnya Konfrontasi Indonesia Malaysia, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak
tetap Dewan Keamanan PBB. Kondisi ini mendorong pemerintah Indonesia mengambil sikap menolak
pencalonan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap Indonesia ini langsung
disampaikan Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 31 Desember 1964. Presiden Seokarno
menegaskan bahwa: “Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang tidak lagi
mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan,
kita, Indonesia, akan keluar, kita akan meninggalkan PBB sekarang”. (Taufik Abdullah
dan AB Lapian, 2012) Dari pidato tersebut terlihat bahwa keluarnya Indonesia dari PBB
adalah karena masuknya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ketika tanggal 7
Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan
spontan Presiden Sokearno menyatakan “Indonesia keluar dari PBB”. Walaupun Indonesia sudah keluar
dari PBB, sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia
Malaysia dan perombakan PBB tetap tidak tercapai. Karena dengan keluarnya Indonesia dari PBB,
Indonesia kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian persengketaan
dengan Malaysia secara

You might also like