MERINGKUK di penjara karena perkara korupsi ternyata tidak membuat
Bupati Kudus Muhammad Tamzil jera. Hanya berselang empat tahun setelah
keluar dari bui, Tamzil kembali ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi
pada Jumat, 26 Juli lalu. Ia diduga menerima suap jual-beli jabatan di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus dari pelaksana tugas Sekretaris
Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Kudus,
Akhmad Sofyan.
Bupati Tamzil menjadi residivis kasus korupsi. Saat menjabat Bupati Kudus
periode 2003-2008, dia dihukum 22 bulan penjara dalam kasus korupsi
pengadaan sarana dan prasarana pendidikan tahun anggaran 2004-2005.
Meski pernah menjadi narapidana, pada 2018 dia terpilih kembali menjadi
bupati. Tamzil pun menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat
kasus korupsi. KPK mencatat 115 kepala daerah ditangkap dalam kurun
waktu 2004-2019. Sebelum menciduk Tamzil, KPK menangkap Gubernur
Kepulauan Riau Nurdin Basirun pada 10 Juli lalu karena diduga menerima
suap pemberian izin proyek reklamasi.Penangkapan demi penangkapan kepala daerah oleh KPK terbukti gagal
memberikan efek jera. Indonesia Corruption Watch menyebut salah satu
penyebabnya adalah vonis yang ringan. Lembaga itu mencatat, dari 1.053
perkara korupsi dengan 1.162 terdakwa sepanjang tahun lalu, 918 terdakwa
atau 79 persen divonis ringan, yaitu antara 1 dan 4 tahun penjara. Putusan
hukum untuk tindak pidana korupsi rata-rata 2 tahun 5 bulan kurungan.
Vonisnya meningkat dibanding pada tahun sebelumnya, yang rata-rata 2 tahun
2 bulan kurungan, tapi masih jauh dari harapan publik bahwa pelaku
kejahatan luar biasa tersebut harus dihukum berat.
Bukan hanya penegakan hukum yang masih longgar terhadap koruptor.
Banyak pihak, termasuk partai politik, juga masih berkompromi dengan para
penggarong uang rakyat itu. Sejumlah partai politik bahkan berkukuh
mengajukan bekas terpidana kasus korupsi sebagai calon kepala daerah. Partai
politik kerap berlindung di balik undang-undang pilkada. Undang-undang
tersebut tidak melarang bekas terpidana perkara korupsi mencalonkan diri
sebagai kepala daerah, asalkan secara terbuka telah mengemukakan kepada
publik bahwa yang bersangkutan adalah bekas narapidana.Revisi undang-undang pilkada dengan memasukkan pasal larangan bekas
terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah dapat menekan
terjadinya kejahatan serupa. Sikap yang sangat toleran terhadap koruptor
tidak hanya merusak demokrasi, tapi juga membuat korupsi akan terus
merajalela. Koruptor telah mencederai kepercayaan rakyat, sehingga tidak
pantas mencalonkan diri kembali.
Penegak hukum tindak pidana korupsi juga perlu mengenakan pasal
pencabutan hak politik bagi setiap pelaku dalam jangka waktu tertentu agar
para penjarah uang rakyat itu tak mendapat peluang berkuasa kembali.
Pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Pasal 18 ayat 1 d Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tentang pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu.
Hukuman itu dapat membantu masyarakat menghindari memilih koruptor
sebagai pejabat publik.