You are on page 1of 3

A nulliparous woman was receiving oxytocin for labor induction based on a protocol

starting at 2 mU/min and increasing by 2 mU/min every 20 min. Within 6 hr, the rate was
38 mU/min. Uterine activity was irregular, with coupling and tripling of contractions. After
20 hr of labor, the oxytocin rate was 44 mU/min, having been increased, decreased,
discontinued, and reinitiated several times over the course of labor as a result of
hyperstimulation and/or a nonreassuring FHR pattern. A series of recurrent variable
decelerations was noted for 25 min. A sudden bradycardia occurred that was
unresolved by repositioning and discontinuing oxytocin. A vaginal exam ruled out
umbilical cord prolapse.
An emergent cesarean birth performed within 23 min of the beginning of the
bradycardia revealed uterine rupture. Uterine atony and a significant postpartum
hemorrhage occurred (estimated blood loss = 3,000 mL). A hysterectomy was required.
Twenty-two units of blood products were administered during the intraoperative and
immediate postpartum period. The woman was admitted to the ICU and developed
disseminated intravascular coagulation and pulmonary edema. She required kidney
dialysis for several days. The baby’s Apgar scores were 1, 3, and 4 at 1, 5, and 10 min,
respectively, with umbilical cord blood gas results indicating metabolic acidemia (pH
6.84, pCO2 59, base excess -18). At 20 hr of life, the baby developed seizures. The
baby was discharged from the neonatal ICU (NICU) after 30 days with a presumptive
diagnosis of hypoxic ischemic encephalopathya

Untuk menghindari keadaan tersebut, maka harus dilakukan langkah- langah strategis
sebagai berikut:

1. Pembuatan SOP pemberian oksitosin

1. Persiapan
a. Persiapan alat dan obat
b. Persiapan pasien
c. Persiapan penolong

2. Cara pemberian oksitosin :


a. Oksitosin tidak diberikan secara oral karena dirusak di dalam lambung oleh
tripsin.
b. Oksitosin diberikan secara bucal, nasal spray, intramuskuler, dan intravena.
(2,3)
c. Pemberian oksitosin secara intravena (drips/tetesan) banyak digunakan karena
uterus dirangsang sedikit demi sedikit secara kontinyu dan bila perlu infus dapat
dihentikan segera.
d. Pemberian tetesan oksitosin harus dibawah pengawasan yang cermat dengan
pengamatan pada his dan denyut jantung janin.

3. Cara pemberian oksitosin dengan janin hidup :


a. 5 IU oksitosin dalam 500 ml dekstrose 5%. Ini berarti 2 tetesan mengandung
1 mIU.
b. Dosis awal 1-2 mIU (2-4 tetes) per menit.
c. Dosis dinaikkan 2 mIU (4 tetes) per menit setiap 30 menit.
d. Dosis maksimal 20-40 mIU (40-80 tetes) per menit.
e. Untuk meningkatkan keberhasilannya bisa dilakukan amniotomi, striping of
the membrane atau menggunakan balon kateter.
f. Selama permberian oksitosin dilakukan monitoring/ 30 menit.
g. Jika pemberian oksitosin dengan dosis maksimal selama 6 jam atau muncul
tanda bahaya sebelum 6 jam pada janin dan/atau ibu segera hentikan
pemberian oksitosin

4. Cara pemberian oksitosin dengan janin mati:


a. Teknik Satu
1) Menggunakan 500 cc ringer laktat (1 botol).
2) Mula-mula dipakai 10 IU oksitosin dalam 500 cc ringer laktat.
3) Kecepatan tetesan 20 tetes per menit.
4) Bila tidak timbul kontraksi yang adekuat, dosis dinaikkan 10 IU tiap 30 menit
tanpa mengubah kecepatan tetesan sampai timbul kontraksi yang adekuat dan
ini dipertahankan.
5) Dosis tertinggi yang dipakai 140 IU.
6) Bila dengan jumlah cairan tersebut (500 cc ringer laktat) tidak berhasil maka
induksi dianggap gagal.

b. Teknik Dua
Botol I:
1) Mulai dosis 10 IU oksitosin dalam 500 cc ringer laktat. Kecepatan 20 tetes per
menit.
2) Bila tidak timbul kontraksi adekuat maka dosis dinaikkan 10 IU setiap habis 100
CC tanpa mengubah kecepatan tetesan sampai timbul kontraksi yang
adekuatdan ini dipertahankan.
3) Dosis tertinggi yang dipakai dalam botol I 50 IU oksitosin.
4) Bila belum timbul kontraksi adekuat, langsung dilanjutkan dengan botol II.

Botol II :
1) Mulai dengan dosis 50 IU oksitosin dalam 500 cc ringer laktat.
2) Bila belum timbul kontraksi adekuat maka dosis dinaikkan 20 IU setiap habis
100 cc tanpa mengubah kecepatan tetesan sampai timbul kontraksi yang
adekuat dan ini dipertahankan.
3) Dosis tertinggi yang dipakai dalam botol II adalah 130 IU oksitosin. Bila setelah
ke-2 botol tersebut kontraksi belum adekuat, induksi dianggap gagal.

Untuk meningkatkan keberhasilan maka dianjurkan :


1.Pemasangan laminaria sebelumnya (dilatasi serviks).
2. Melakukan amniotomi (bila memungkinkan).
Bila gagal, penderita diistirahatkan dan induksi diulangi lagi keesokan harinya.
Tetesan oksitosin dosis rendah : persiapan maupun cara pemberian sama
dengan tetesan oksitosin dosis tinggi (teknik I), hanya disini dimulai dengan
dosis oksitosin 5 IU dan bila tidak timbul kontraksi yang adekuat, dosis
dinaikkan 5 IU setiap 30 menit, maksimal 70 IU.
Bila ditemukan water intoxication dengan gejala-gejala seperti kebingungan,
stuporous, kejang dan koma maka tindakan-tindakannya :
– Tetesan segsssera dihentikan.
– Mengusahakan diuresis secepat dan sebanyaak mungkin.
Sebelum melakukan pemberian tetesan oksitosin terutama pada janin mati perlu
dilakukan pemeriksaan proses pembekuan darah.

2. Dilakukan inform consent terkait indikasi cara pemberian, resiko dan


komplikasi pemberian oksitosin kepada pasien dan keluarga

3. Melakuan sosialiasasi SOP pemberian oksitosin kepada pihak terkait (dokter


spesialis, dokter jaga, bidan, perawat dan mahasiswa pendidikan klinik)

3. Dilakukan dokumentasi secara tertulis di rekam medis terkait dengan


pemberian oksitosin

4. Melakuan monitoring evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan SOP

5. Pembuatan SOP penanganan obat high alert

6..Mengirimkan tenaga kesehatan untuk mengikuti pelatihan terkait pemberian


oksitosin dan penangangan obat high alert lainnya

You might also like