ISSN C854394
Ec nny
3 ea DS
Volume V, Nomor 2, 1997
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan
Institut Pertanian Bogor‘Jornal Limu-iimu Perairan dan Perikanan Indonesia (1997), V(2): 73 -82 B
ULASAN ILMIAH
TOKSISITAS PADA PLANKTON DAN MAKANAN LAUT :
METODE ANALISIS DENGAN HPLC
Ngurah N. Wiadnyana!
PENDAHULUAN
Seperti banyak diungkapkan oleh para pakar planktonologi, plank-
ton berperan utama sebagai produser bahan organik dalam ekosistem
akuatik dan sumber makanan bagi organisasi tingkat tinggi, seperti ikan
dan kerang-kerangan. Selanjutnya biota ini merupakan produk laut yang
disenangi masyarakat sebagai bahan makanan, karena mengandung
banyak protein dan rendah kalesterol. Namun demikian, banyak spesies
fitoplankton dapat memproduksi racun, yang selanjutnya terakumulasi
pada biota konsumer plankton tersebut sampai pada konsentrasi sangat
tinggi, yang melebihi konsentrasi awal yang diproduk oleh plankton
beracun (Ogata et al., 1982). Biota yang banyak mengakumulasi racun ini
dapat membahayakan kesehatan manusia atau hewan lainnya yang
kebetulan mengkonsumsinya sebagai makanan, lebih-lebih masyarakat
pesisir yang menggantungkan hidupnya sehari-hari pada produk laut
sebagai lauk pauk.
Ada beberapa jenis toksin yang dapat menyebabkan berbagai pe-
nyakit yang banyak mendapat perhatian, di antaranya ciguatera, diar-
thetic shellfish poisoning (DSP), dan paralytic shellfish poisoning (PSP).
Hal ini disebabkan karena seringnya kasus-kasus ketiga jenis keracunan
tersebut, yang melanda masyarakat dunia (Shumway, 1990; Hallegraeff,
1993).
Berbagai metode telah dikembangkan oleh banyak negara untuk
menganalisa jenis-jenis toksin dengan tujuan untuk menginventarisasi dan
mengevaluasi keberadaan toksin agar dapat mencegah, menghindari dan
mengurangi korban dari keracunan makanan laut, Salah satu di antaranya
adalah metode "High Performance Liquid Chromatography" (HPLC).
Metode ini diharapkan dapat mempelajari toksin secara kuantitatif dan
kualitatif terutama DSP dan PSP. Pada masa yang akan datang, analisis
toksisitas pada plankton dan makanan laut di Indonesia sangat
1 Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI, Poka Ambon 972334
diharapkan, mengingat kasus-kasus keracunan akibat_mengkonsumsi
makanan laut tampak semakin meningkat (Praseno dan Adnan, 1994;
Wiadnyana, 1996).
Tulisan ini mencoba menguraikan aspek toksisitas plankton dan
makanan laut serta metode analisis dengan menggunakan HPLC.
MAKANAN LAUT PENTING BAGI MASYARAKAT
Laut mengandung berbagai jenis organisasi yang merupakan sum-
ber makanan bagi manusia di antaranya ikan dan kerang-kerangan, yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan energi,
protein dan berbagai macam vitamin. Produk laut tersebut mengandung
protein tinggi dan kolesterol rendah, sehingga merupakan bahan makanan
yang baik untuk kesehatan, di samping secara ekonomis dapat terjangkau
oleh masyarakat luas.
Dalam proses kehidupan di laut, ikan dan kerang-kerangan
memerlukan plankton sebagai makanan, di antaranya fitoplankton, yang
dapat menghasilkan bahan organik dan berperan sebagai produser
primer. Di laut terdapat berbagai jenis fitoplankton, yang secara umum
didominasi oleh kelompok diatom dan dinoflagellata. Terdapat beberapa
jenis fitoplankton yang dapat memproduksi racun (toksin), terutama dari
kelompok dinoflagellata. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang
adanya toksin pada plankton sering menimbulkan keracunan bahkan
kematian ketika mereka memakan hidangan dari ikan ataupun kerang-
kerangan, yang terkontaminasi oleh fitoplankton beracun, seperti yang
terjadi di beberapa lokasi di Indonesia (Praseno & Adnan, 1994; Praseno
& Wiadnyana, 1996; Wiadnyana & Praseno, 1997), Ikan dan kerang-
kerangan dapat dengan mudah dikumpulkan olch masyarakat pantai dan
dijadikan berbagai macam hidangan. Bahkan sering dijumpai hidangan
ikan bakar dan makanan kerang-kerangan terjual di beberapa restoran di
kota-kota besar di Indonesia.
Di samping berbagai jenis plankton, terungkap juga bahwa bakteri
yang dalam kehidupannya berasosiasi dengan plankton, dapat
memproduksi toksin. Walaupun jumlah toksin yang diproduksi sangat
sedikit, namun bahaya yang dapat ditimbulkannya dapat berarti bagi
kehidupan manusia, karena sewaktu-waktu bakteri dapat berkembang
dengan cepat. Dengan berasosiasi dengan plankton, akibat yang
ditimbulkannya juga dapat berlipat ganda.
Adanya fenomena fitoplankton beracun yang dapat terakumu-
lasi pada ikan atau kerang-kerangan perlu mendapat perhatian dan‘Jornal Iimu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (1997), V(2): 73-82 5
penanganan yang serius. Di Jepang makanan laut telah demikian
membudaya di dalam kehidupan masyarakat setempat, sehingga industri
perikanan demikian berkembang dan maju. Hampir setiap teluk diman-
faatkan untuk usaha budidaya berbagai jenis kerang-kerangan dan ikan.
Untuk menjamin dan mencegah timbulnya bahaya keracunan, Jepang
mengembangkan sistem pengontrolan produk laut. Di samping adanya
pusat-pusat penelitian toksisitas, pada daerah-daerah dimana budidaya
lautnya sangat berkembang, dibangun pusat-pusat teknologi perikanan
seperti yang dijumpai di wilayah Iwate, Jepang bagian-timur laut. Selain
melakukan pengontrolan kandungan toksin, Pusat Teknologi Perikanan
ini juga melakukan pengembangan pengolahan hasil perikanan budidaya
dan tangkap. Kondisi ini sangat berbeda dengan di Indonesia dimana
masyarakat memanfaatkan makanan dari laut dengan cara
mengumpulkan langsung dari laut, sedangkan budidaya laut belum
berkembang. Dengan kondisi yang demikian, praktis sistem pengontrolan
mutu makanan laut belum dilaksanakan seperti yang terdapat di Jepang.
Oleh karena itu sering timbul malapetaka bagi penduduk yang memakan
kerang-kerangan, yang saat itu mengandung toksin yang berasal dari
fitoplankton beracun.
Seperti diketahui makanan laut sangat penting bagi masyarakat,
sementara informasi mengenai toksisitas pada plankton dan daging
makanan laut sangat kurang. Sementara itu diperlukan informasi yang
jelas bagi masyarakat agar mereka dapat terhindar dari bahaya keracunan.
‘Untuk itu penelitian toksisitas pada plankton maupun makanan laut akan
sangat bermanfaat untuk mencari jalan keluar agar masyarakat tidak
terkena bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh plankton.
KULTUR PLANKTON
Pengembangan kultur plankton diharapkan dapat menghasilkan
pengetahuan tentang jenis-jenis fitoplankton yang bersifat toksik. Plank-
ton dapat diisolasi secara langsung dari sampel-sampel yang dikumpulkan
dari laut, Plankton yang sudah diisolasi dikembangkan dalam suatu media
kultur seperti Guillard F/2 dan H/2, T1, K adn ES (K. Koike, Komunikasi
Langsung). Mengkultur dinoflagellata lebih sulit dibanding membuat kul-
tur diatom. Beberapa jenis dinoflagellata tidak dapat tumbuh, bahkan
mati dengan cepat, ketika dicoba dikembangkan dalam salah satu media
Kultur, Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang ekofisiologinya
untuk mengetahui kondisi lingkungan yang tepat bagi pertumbuhan jenis-
jenis dinoflagellata yang sulit dikembangkan dalam media kultur.16
Keberhasilan pengembangan teknik kultur dinoflagellata akan sangat
menunjang dalam mempelajari jenis-jenis toksin yang terkandung di
dalamnya dan keberadaan toksin pada biota konsumer plankton.
Selain itu juga dapat dipelajari tentang perkembangan
dinoflagellata mulai dari stadia sista, yang dapat dikumpulkan dari dasar
Jaut dengan menggunakan alat "corer". Pendekatan ini tampak cukup
efektif untuk memperoleh informasi mengenai sebaran sista di laut, yang
akhirnya bermanfaat untuk dapat memprediksi tentang keberadaan dan
sebaran dinoflagellata toksik di laut.
ANALISIS TOKSIN
Keracunan akibat mengkonsumsi makanan laut dapat dibedakan
menurut jenis toksin penyebab Keracunan (S. Sato, Komunikasi
Langsung), seperti: (i) ciguatera, keracunan akibat memakan ikan yang
mengandung toksin antara lain ciguatoxin (CTX), maitotoxin (MTX),
scaritoxin (SCTX), ostreotoxin (OTX), fast-acting toxin (FAT) dan
banyak lagi yang belum diketahui nama toksinnya; (ii) diarrhetic shellfish,
poisoning (DSP), keracunan akibat memakan kerang-kerangan yang
mengandung toksin (ada 9 macam) seperti okadoic acid (OA), dino-
physistoxin-1 (DTX1), dinophysistoxin-3 (DTX3), tiga jenis pectonotoxin
1-3 (PTX1-3), pectonotoxin-6 (PTX6), yessotoxin (YTX) dan 45-hydroxy
yessotoxin (4SOH-YTX); (iii) paralytic shellfish poisoning (PSP),
keracunan akibat memakan kerang-kerangan yang mengandung berbagai
jenis toksin (ada 18 jenis), antara lain 4 jenis N-sulfo-carbomoyl toxin
1-4 (C1-4), 6 jenis gonyautoxin 1-6 (GTX1-6), 4 jenis decarbamoyl
gonyautoxin 1-4 (dcGTX1-4), 4 jenis epigonyautoxin-4 (EpiGTX4), saxi-
toxin (STX), neosaxitoxin (neoSTX) and decarbamoyl saxitoxin (deSTX).
Masing-masing jenis toksin tersebut berasal dari jenis fitoplankton
yang berbeda-beda (Shumway, 1990; Hallegraeff, 1993). Ciguatera toksin
berasal dari jenis-jenis dinoflagellata seperti Gambierdiscus toxicus,
Amphidinium carteri, Ostreopsis lenticularis, Coolia monotis, O. heptagona,
O. ovata, O. siamensis, Prorocentrum cassibicum, P. concavurn, P. lima dan
P. mexicanum. DSP toksin terdapat pada dinoflagellata seperti Dinophysis
{fortii, D. mitra, D. rotundata, D. acuta, D. norvegica, D. acuminata dan
Prorocentrum lim, sementara PSP toksin berasal dari dinoflagellata seperti
Pyrodinium —bahamense, Alexandrium —tamarense, Gymnodinium
catenatum, Protogonyaulax tamarensis dan Protogonyaulax catenella.
Pada saat ini telah berhasil diketahui beberapa jenis fitoplankton
yang dapat memproduksi toksin. Namun penelitian toksisitas padaJumal Imo-imu Perairan dan Perikanan Indonesia (1997), V(2): 73-82 7
plankton masih perlu terus dikembangkan untuk mengetahui sebanyak
mungkin jenis-jenis fitoplankton beracun. Seperti halnya di Jepang
dewasa ini sedang dikembangkan penelitian mengenai toksisitas pada
diatom dan bakteria.
Pada bagian lainnya, pengetahuan mengenai metode analisis jenis
toksin penyebab ciguatera masih cukup terbatas, Metode yang telah
tersedia dirasakan masih belum akurat. Saat ini digunakan "latex antibody
test" (LAT) atau pengembangan dari metode "solid-phase immunobead
assay" (SPIA), seperti yang dijelaskan oleh Bomber & Aikman (1988).
Menganalisis toksisitas dari jenis toksin DSP dan PSP dapat
dilakukan dengan 3 metode yaitu injeksi pada tikus atau "mouse bioassy",
menggunakan "High Performance Liquid Chromatography (HPLC)" dan
"Blectrophoresis". Metode pertama dan terakhir hanya dapat digunakan
untuk membuktikan tentang ada dan tidaknya toksin. Sedangkan metode
HPLC dapat menentukan toksin secara kuantitatif dan kualitatif (Kotaki
et al., 1981; Yasumoto et al., 1981; Lee et al., 1987; Oshima et al., 1989),
Dalam analisis toksin dengan metode HPLC, alat ini dapat diprogram
sesuai dengan jenis toksin yang dianalisis.
Pada analisis toksin PSP digunakan 3 pompa, 1 pemanas dan 1
monitor flouresense dan | integerator (Gambar 1). Pompa 1 dihubungkan
dengan "mobile phase" dan injektor. Pompa 2 dihubungkan dengan
Post - Column HPLC System for PSP Toxins Analysis
+
Flourescent Monitor :
Reaction Solvent exciton xo0 om ——_‘legrator
Devin _} Ennion 90 ow
Gain 100 108
Gambar 1. Rangkaian sistem dari HPLC untuk analisistoksin PSP, yang terdiri dari 3 pompa,
1 pemanas, 1 monitor fluoresense dan 1 integrator.B
Jarutan pereaksi. Larutan ’mobile phase’ dan sampel yang diinjeksi masuk
ke dalam kolom dan bertemu dengan larutan pereaksi. Ketiga larutan
tersebut menjadi satu dan menuju ke pemanas (70 °C). Pompa 3
dihubungkan dengan Jarutan 05 N asam asetat (gunanya untuk
menetralkan larutan) dan bertemu dengan larutan dari pompa 1 dan 2.
Semuanya bertemu pada monitor fluoresense dan hasilnya dicetak pada
integrator. Monitor fluoresense juga dihubungkan dengan pembuangan.
Sebelum pengukuran sampel, terlebih dahulu diukur larutan baku untuk
kalibrasi
Oleh karena itu ada tiga kelompok toksin, yaitu STX, GTX dan
toksin kelompok C, maka ‘mobile phase" harus dibuat sesuai dengan
kelompok toksin itu. Namun jika analisa sampel hanya menggunakan satu
sistem, maka akan memerlukan waktu yang cukup lama, Karena harus
mengganti "mobile phase". Lebih-lebih kalau terdapat banyak sampel yang
dianalisis. Untuk itu, ‘sebaiknya dibuat tiga sistem untuk menganalisis
masing-masing kelompok toksin. Larutan "mobile phase" yang berfungsi
untuk membantu proses analisis dalam sistem dibuat sebagai berikut :
= Kelompok toksin "STX" terdiri dari natrium 1-heptanesulfonate
(0,41 g), 85 % asam sulfat (3,48 ml) dan H2O destilasi (800 ml). Derajat
keasaman (pH) larutan diatur menjadi 7,1 dengan NH4OH, ditambah
air destilasi sampai 950 ml dan asam asetat (50 ml). Larutan kemudian
disaring dengan filter PTFE 0,5 mm dan gas dalam larutan dihilangkan.
= Kelompok toksin "GTX" terdiri dari natrium 1-heptanesulfonate
(0,41 g), 85 % asam sulfat (1,16 ml) dan HzO destilasi (800 ml). Derajat,
keasaman (pH) larutan diatur menjadi 7,2 dengan NHgOH, ditambah
air destilasi sampai 1000 ml, Larutan kemudian disaring dengan filter
NC 0,45 mm dan gas dalam larutan dihilangkan.
= Kelompok toksin "C" terbuat dari 0,5 M ion Pair Chromatography
(IPC)-Tetra n-butylammonium (TBA)-Phosphate (Ph) 2 ml ditambah
air destilasi 450 ml. Derajat keasaman diatur sampai 6 dengan
menambahkan 0,5 N asam asetat. Volume larutan dijadikan 500 ml
dengan air destilasi yang difiltrasi. Terakhir gas dalam larutan
dihilangkan.
= Larutan pereaksi dibuat dari "periodic acid" (HIO42H20) 1,6 g, Di
dium orthophosphate monohydrogen (Na2HPO412H20) 17,9 g, air
destilasi yang difiltrasi 800 ml. pH larutan dijadikan 9,0 dengan NaOH
dan volume larutan dijadikan 1000 ml dengan menambahkan air
destilasi difiltrasi. Gas dalam larutan dihilangkan.Jurnal limu-iimu Perairan dan Perikanan Indonesia (1997), V(2): 73-82 ”
= Larutan penetral yang dibuat dari 0,5 N AcOH (asam asetat) difiltrasi
dan gas dalam larutan dihilangkan.
Dalam analisis toksin PSP dengan menggunakan metode electro-
phoresis, sampel harus dipurifikasi terlebih dahulu untuk menghindari
pengaruh dari partikel-partikel yang berasal dari bahan yang dianalisis.
Sementara dengan metode HPLC, ekstraksi dapat langsung diinjeksi ke
dalam rangkaian. Namun demikian, sampel yang dipurifikasi dapat
memberikan hasil yang lebih baik (M. Kodama, Komunikasi Langsung).
Analisis toksin DSP menggunakan rangkaian HPLC lebih seder-
hana, hanya memerlukan satu pompa (Gambar 2). Namun analisis ini
memerlukan perlakuan awal pada sampel sebelum diinjeksi pada rangkai-
an HPLC, yang lebih rumin daripada persiapan sampel untuk analisis
toksin PSP. Pompa 1 dihubungkan dengan “mobile phase" dan injektor.
Sampel diinjeksi pada injektor. Bertemu dengan larutan "mobile phase’,
cairan menuju kolom dan akhirnya ke monitor fluoresense dan hasilnya
dicetak pada alat cetak "integrator". Monitor fluoresense dihubungkan
dengan pembuangan. Larutan baku dideterminasi terlebih dahulu untuk
kalibrasi, Larutan "mobile phase" terdiri dari acetonitril, methanol dan ait
destilasi dengan perbandingan volume 8:1:1. Larutan disaring dengan
filter NC 0,45 mm dan gas dalam larutan dibebaskan.
Pre - Column HPLC System for DSP Toxins Analysis,
Flow rae
Ci colume >
Mobile Phase: —>) | (4.6 250.m0, § nm)
MeCN: MeOH»
WO — 8ST (emp ‘Wakapeck 0055
Colume
Gambar 2. Rangkaian sistem dari HPLC untuk analisis toksin DSP, yang terdiri dari
1 pompa, 1 monitor fluoresense dan 1 integrator.Pada dasarnya, untuk menganalisis kandungan toksin baik dengan
metode HPLC maupun electrophoresis, diperlukan larutan-larutan baku
sesuai dengan kelompok toksin yang akan dianalisis.
PROSPEK PENGEMBANGAN PENELITIAN
Pengembangan penelitian toksisitas pada plankton sudah barang
tentu disesuaikan dengan kebutuhan. Di negara-negara dimana produk
makanan laut merupakan bahan utama bagi masyarakat setempat dan
sumber pendapatan negara, penelitian tentang toksisitas baik pada
makanan laut maupun plankton sangat diperlukan, untuk menjamin mutu
produk hasil laut dan menyebarluaskan informasi tentang keadaan toksin.
Di Indonesia, produk makanan laut jelas sangat diperlukan baik untuk
konsumsi langsung masyarakat maupun dalam meningkatkan ekspor non
migas. Jadi pada dasarnya, penelitian toksisitas juga sangat penting
dikembangkan di Indonesia. Oleh karena selain dapat menyebar luaskan
informasi tentang keberadaan toksin, juga untuk menjaga mutu produk
makanan laut. Mutu produk makanan laut yang tinggi dan stabil sangat
diperlukan agar tidak meresahkan masyarakat dan dapat meningkatkan
persaingan dalam pemasaran produk makanan laut Indonesia di manca
negara.
Dari segi lainnya kontaminasi suatu wilayah perairan oleh
fitoplankton beracun dapat terjadi setiap waktu. Penyebaran plankton
dapat terjadi secara meluas ke berbagai perairan melalui buangan air
balas kapal dan sista yang terbawa arus. Penyebaran plankton melalui
buangan air balas telah terbukti di perairan Australia dimana kapal-kapal
peti kemas Jepang berlabuh dan membuang air balas sebelum menaikkan
muatan peti kemas (Hallegraeff, 1993). Hal yang demikian dapat juga
terjadi di perairan-perairan Indonesia, karena arus pelayaran kapal dari
berbagai negara ke wilayah Indonesia tampak semakin meningkat dari
waktu ke waktu. Namun informasi tentang penyebaran plankton beracun
melalui buangan air balas kapal maupun penyebaran sista masih sangat
langka, karena belum berkembangnya penelitian mengenai topik itu.
Sementara data yang ada menyebutkan bahwa ledakan "red tide" di
Teluk Kao (Halmahera Utara) disebabkan oleh Pyrodinium bahamense
var compressum (Wiadnyana et al., 1996). Suatu jenis dinoflagellata yang
ternyata sering menimbulkan ledakan red tide di perairan Filipina dan
kerugian ekonomi, mengganggu kesehatan manusia bahkan sampai
menyebabkan kematian (Maclean, 1989). Sampai saat ini belum diketahuiJournal Iimu-iimu Peraran dan Perikanen Indonesia (1997), V(2): 73-82 81
secara pasti apakah kedua populasi dinoflagellata terscbut mempunyai
hubungan satu sama lain.
Jenis dinoflagellata, P. bahamense var compressum dapat mem-
produksi toksin PSP, terutama toksin GTXS dan GTX6. Gejala yang
dapat dirasakan oleh penderita berupa pusing-pusing, muntah, kejang dan
bahkan kematian bagi mereka yang memakan kerang-kerangan atau ikan
yang terkontaminasi PSP. Di daerah Teluk Kao, korban keracunan sudah
semakin berkurang, karena masyarakat setempat sudah mengetahui ten-
tang adanya red tide, penduduk setempat menyebutaya sebagai peristiwa
munculnya “air beracun", Namun demikian, penyebaran fitoplankton
toksik dapat terjadi setiap waktu melalui cara seperti dijelaskan di atas
Oleh karena itu penelitian tentang toksisitas pada plankton dan makanan
laut di Indonesia seyogyanya mendapat perhatian yang serius demi
mencegah, mengurangi serta menghindari bahaya keracunan akibat
memakan makanan dari laut.
UCAPAN TERIMA KASIB
Tulisan ini merupakan hasil kajian selama mengikuti kunjungan ilmiah ke Jepang
‘melalui program kerjasama JSPS-LIPT pada tahun 1994 dan 1995, Untuk itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak ISPS Jepang dan LIPI utas kesempatan
yang diberikan kepada penulis. Ucapan yang sama disampaikan kepada semua pihak yang
telah banyak membantu schingga program ini dapat terlaksana dengan baik, khususnya
kepada Dr. S. Soemodihargo (P30-LIPI), Dr. Y. Fukuyo (University of Tokyo) dan Dr. M
Koodama, Dr. K. Kotaki, Dr. S. Sato serta Mr. K. Koike (Kitasato University)
DAFTAR PUSTAKA
Bomber, WJ. & KE. Aikman, 1988. The ciguatera dinoflagellates. Biol. Oceanogr, 6:
291-311
Hallegraeff, G.M. 1993. A review of harmful algal blooms and their apparent global increase.
Phycologhia, 32 (2): 79.99.
Kotaki, Y,, Y. Oshima & T. Yasumoto. 1981. Analysis of paralytic shellfish toxins of marine
snails. Bull, Japanese Soc, Sci. Fish., 47 (7): 943-946.
Lee, JS, T. Yanagi, R. Kenma & T. Yasumoto, 1987. Fluorometric determination of
Giarthetic shelifish toxins by High-Performance Liquid Chromatography. Agric. Biol
Chem, 51 (3): 877-881.
Maclean, J.L, 1989. An overview of Pyrodinium red tides in the western Pacific. Dalam: G.
M. Hallegraeff and J.L, Maclean (Eds.). Biology, Epidemiology and Management of
Pyrodinium Red Tides. ICLARM Confrence Proceeding 21. Fisheries Department,
Ministry of Development, Brunei Darussalam and International Centre for Living
Resources Management, Manila, Philippines. Hal. 1-882
Ogata, T., M. Kodama, Y. Fukuyo,-T. Inoue, H. Kamiya, F. Matsuura, K. Sekiguchi & S.
Watanabe. 1982. The occurence of Pratogonyaulas spp. in Ofunat Bay, in association
with the toxification of the scallop Patinopecten yessoensis. Bull. Japanese Soe. Sci.
Fish, 48 (4): 563-566.
Oshima, Y., K. Sugino & T. Yasumoto, 1989. Latest advances in HPLC analysis of paralytic
shellfish toxins. Dalam: S, Natori, K. Hashimoto & ¥. Ueno (Eds.), Mycotoxins and
Phycotoxins "88. Elsevier Sci.Pub, B.V., Amsterdam, Hal. 319-326.
Praseno, D.P. & Q. Adnan, 1994. Studi tentang ‘red tide’ di perairan Indonesia. Dalam:
Hasil-hasil Penelitian Oseanologi tahun 1992/1993 (Sulistijo, D.P. Praseno & T.
Susana, Eds.). Proyek Litbang Sumberdaya Laut Jakarta. Puslitbang Oseanologi-
LIPL. Hal, 138-146,
Praseno, D.P. & NIN. Wiadnyana. 1996, HAB organisms in Indonesian waters. Dalam: R
W. Penney (Ed.) Proceedings of the Fifth Canadian Workshop on Harmful Marine
Algne. Canadian Technical Report of Fisheriesand Aquatic Sciences 2138, Hal 69-75
Shumway, S.E. 1990, A review of the effects of algal bloomson shellfish aquaculture. J. World
Aquacul. Soe, 21: 65-103
Wiadnyana, N.N. 1996. Mikroalga berbahaya di perairan Indonesia. Oscanologi dan
‘Lomnologi di Indonesia, 29: 15-28.
Wiadnyana, N.N. & D.P. Praseno. 1997. Dampak munculnya spesies red tide terhadap
perikanan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Simposium Perikanan IT, 23-24
September 1997, di Ujung Pandang.
Wiadnyana NN, A. Sediaci, T. Sidabutar & A, Yusut. 1996. Bloom of the dinoflageliae,
Pyrodinium bahamense vat. compressum in Kao Bay, North Moluccas, Proceedings
of the IOC - WESTPAC, Third International Scientific Symposium, 22-26 November
1994, Bali, Indonesia, Hal. 104-111
Yasumoto, T., Y. Oshima & T. Konta. 1981, Analysis of Paralytic Shelllish Toxins of xanthid
crabs in Okinawa, Bull, Japanese Soc. Sci. Fish., 47 (7): 957-959